• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory)

Teori agensi yaitu teori yang memaparkan tentang hubungan antara agen (agent) dan pemilik (principal). Jensen dan Meckling (1976) mengartikan hubungan keagenan merupakan hubungan kontrak antara pemilik dan agen, dimana manajer bertugas melaksanakan kegiatan atas nama pemilik untuk mewujudkan kepentingan pemilik. Pemegang saham sebagai principal akan memberikan otoritas kepada manajer untuk membuat kebijakan perusahaan dan mengambil keputusan yang tidak merugikan pemilik. Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan apabila hubungan antara agent dan principal adalah pemaksimalan utilitas, maka agen tidak selalu membuat kebijakan dan mengambil keputusan sesuai kepentingan pemilik.

Shareholder tentunya menginginkan dividen yang tinggi, sedangkan manajer berusaha untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan sustainability perusahaan di masa depan. Hal tersebut memungkinkan perusahaan untuk tidak membagikan dividen yang tinggi untuk membiayai operasional perusahaan.

Dalam artikelnya, Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan bahwa pemilik mampu membatasi perbedaan kepentingannya dan manajer dengan memberikan kompensasi atau bonus yang sesuai untuk mengawasi kegiatan manajer agar tidak menyimpang dari kepentingan principal, sehingga menyebabkan dana agensi.

Jensen & Meckling (1976) mengartikan biaya agensi merupakan total dari bonding expenditures by the agent (bonding cost), monitoring expenditures by the principal (monitoring cost), dan residual loss. Tindakan manajer yang merugikan principal dapat timbul sebab terdapat asimetri informasi dan perbedaan kepentingan antara agent dan principal sehingga memungkinkan manajer untuk merekayasa laporan keuangan (Widyawati & Anggraita, 2013). Salah satu tindakan yang mungkin terjadi sebab asimetri informasi dan konflik kepentingan antara principal dan agent adalah praktik manajemen laba. Manajemen laba adalah praktik dimana manajer

(2)

memanipulasi laba untuk mencapai kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan pemegang saham. Manajemen laba sangat mungkin dilakukan oleh manajer terutama dalam meningkatkan laba untuk menarik minat pemodal maupun calom pemodal.

Biaya agensi dapat diminimalisir dengan beberapa metode, seperti audit, sistem kontrol formal, pembatasan anggaran, dan pembentukan sistem kompensasi insentif untuk mengidentifikasi kepentingan antara principal dan agent (Jensen &

Meckling, 1976). Corporate governance yaitu suatu bentuk sistem kontrol formal yang dapat mengawasi dan mengontrol tindakan manajer dalam mengelola perusahaan. Dalam teori agensi, mekanisme pemantauan bisa menyesuaikan kepentingan antara principal dan agent serta mengurangi perilaku oportunistik manajemen yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan (Alves, 2012). Auditor ialah pihak eksternal perusahaan yang bertugas untuk memeriksa laporan keuangan klien dan menjamin bahwa laporan keuangan yang diberikan sudah berdasarkan kondisi keuangan perusahaan. Independensi auditor sangat dibutuhkan dalam mengaudit laporan keuangan agar para pengguna laporan keuangan percaya bahwa laporan keuangan sudah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kualitas audit yang tinggi diharapkan bisa meminimalisir asimetri informasi antara manajer dan pemegang saham.

2.1.2 Manajemen Laba (Earnings Management)

Healy dan Wahlen (1999) mengungkapkan bahwa manajemen laba terjadi saat manajer mempergunakan penilaiannya pada laporan keuangan serta mengganti transaksi untuk mengelabui pemangku kepentingan dalam mengetahui keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Laporan keuangan mencerminkan kinerja manajemen, terutama informasi laba. Hal tersebut memungkinkan manajer untuk memanipulasi laba agar mendapat bonus dari pemangku kepentingan atas kinerja yang telah dicapai. Dalam teori agensi, manajemen laba ialah suatu tindakan yang diakibatkan terjadinya konflik kepentingan antara principal dan agent. Hasty dan Herawaty (2017) mengartikan manajemen laba merupakan tindakan oportunistik manajer untuk merekayasa laba menggunakan metode tertentu. Menurut Dechow

(3)

et al. (1996), motivasi manajer dalam memanipulasi laba perusahaan adalah untuk menarik pembiayaan eksternal dengan biaya yang rendah, hal tersebut dilakukan bahkan setelah mengendalikan motif kontrak yang telah dibahas oleh pihak yang bersangkutan.

Manajemen laba bisa dilakukan melalui 2 cara, yakni manajemen laba riil dan manajemen laba akrual (Octavia, 2017). Manajemen laba akrual ialah manajemen laba melalui pemilihan metode akuntansi yang digunakan, sedangkan manajemen laba riil adalah manajemen laba melalui kegiatan riil perusahaan (Ningsih, 2015).

Roychowdhury (2006) menyatakan sejumlah cara dalam melaksanakan manajemen laba riil, yakni manipulasi penjualan, overproduction, dan mengurangi biaya diskresioner. Hastuti (2011) menyatakan bahwa manajemen laba akrual dibuktikan melalui adanya discretionary accrual. Discretionary accrual adalah nilai akrual yang bisa berubah berdasarkan kebijakan akuntansi yang diambil oleh manajemen seperti metode untuk perhitungan umur aset tetap, sedangkan non-discretionary accrual yaitu nilai akrual yang tidak bisa berubah sebab keputusan yang diambil manajer seperti perubahan piutang karena penjualan yang meningkat secara signifikan (Sulistiawan et al., 2011:51). Beberapa penelitian terdahulu, pengukuran manajemen laba seringkali menggunakan proksi akrual diskresioner sehingga pada penelitian ini juga memanfaatkan proksi discretionary accruals. Untuk mewujudkan keinginannya, manajer akan memanajemen laba dengan merekayasa akrual tersebut (Christiani & Nugrahanti, 2014).

2.1.3 Good Corporate Governance

Istilah good corporate governance pertama kali dikenalkan dalam laporan komite cadburry tahun 1992 yang disebut sebagai “Cadbury Report”. Istilah GCG mulai dikenal di Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi di tahun 1997. Sejak saat itu, pemerintah mulai memperkenalkan konsep GCG pada perusahaan BUMN melalui surat keputusan menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 yang ditetapkan pada 31 Juli 2002 mengenai Penerapan Praktik GCG pada BUMN.

Dalam memberikan dorongan lebih untuk implementasi GCG di Indonesia, pemerintah membentuk KNKCG (komite nasional kebijakan corporate

(4)

governance) tahun 1999 melalui keputusan Menko Ekuin No.

KEP/31/M.EKUIN/08/1999 dan dilanjutkan dengan membentuk komite nasional kebijakan governance di tahun 2004 melalui keputusan Menko perekonomian No KEP/49/M.EKON/11/2004 sebagai pengganti KNKCG. Pembentukan KNKG bertujuan untuk menerbitkan pedoman GCG di Indonesia. Tata kelola perusahaan mencakup serangkaian hubungan antara dewan perusahaan, stakeholders, manajemen, dan para pemegang kepentingan, yang memberikan struktur untuk menetapkan tujuan perusahaan serta sarana untuk memenuhi tujuan tersebut dan mengawasi kinerja yang ditetapkan (OECD, 2015). Fanani (2014) menyatakan bahwa GCG merupakan aspek penting untuk memaksimalkan efisiensi ekonomi yang mencakup hubungan antara stakeholders dan manajemen. Dari pengertian diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa corporate governance ialah sistem yang membimbing atau mengontrol suatu perusahaan yang mengatur relasi antara manajemen dan pihak yang memegang kepentingan yang dapat meyakinkan para stakeholders atas pengelolaan (dana) perusahaan oleh manajemen.

Perusahaan publik di Indonesia telah diwajibkan untuk menerapkan GCG sebagaimana dalam peraturan OJK No. 21/POJK.04/2015 terkait Penerapan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka (OJK, 2015). Perusahaan publik perlu menerapkan GCG untuk mewujudkan transparansi atas pelaksanaan manajemen yang baik, termasuk transparansi dalam pelaporan keuangan. OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) telah mengembangkan prinsip tata kelola perusahaan dengan pemahaman bahwa GCG mempunyai peranan penting untuk mencapai tujuan ekonomi yang lebih luas yang berkaitan dengan kepercayaan investor, pembentukan modal dan alokasi. Komite nasional kebijakan corporate governance juga sudah mengeluarkan pedoman GCG pertama di Indonesia yang dikembangkan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada, dan mencakup asas GCG (akuntabilitas, transparansi, independensi, responsibilitas, dan kewajaran) yang harus dipergunakan oleh semua perusahaan di Indonesia.

Teori agensi menduga bahwa setiap orang bertindak atas setiap kepentingan sehingga akan berusaha untuk mencapai kepentingan pribadi dengan meningkatkan

(5)

keuntungan masing-masing melalui peningkatan laba dan dividen saham (Faishal

& Hadiprajitno, 2015). Dechow et al (1996) menyatakan bahwa struktur tata kelola internal dibentuk untuk menjaga dan mempertahankan kredibilitas laporan keuangan serta menghindari perilaku oportunis, seperti manajemen laba. Penerapan tata kelola yang baik dinilai dapat memitigasi manajemen laba sebab terdapat pengendalian yang baik dan memadai. Pada penelitian ini, good corporate governance melalui komite audit, kepemilikan institusional, dewan komisaris, dewan komisaris independen, serta kepemilikan manajerial, diharapkan dapat meminimalisir tindakan manajemen dalam memanipulasi laba yang akan dimasukkan pada laporan keuangan perusahaan.

1. Dewan Komisaris

KNKG (2006) memaparkan bahwa dewan komisaris ialah suatu unsur penting perusahaan yang mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi serta menasihati direksi, ataupun memastikan penerapan GCG di perusahaan. Komisaris sebagai pihak yang mengawasi kegiatan dan tindakan serta kebijakan manajemen, diharapkan bisa menyesuaikan kepentingan antara manajemen dan stakeholders, dengan demikian konflik kepentingan dapat diminimalisir. Dalam teori agensi, kemampuan dewan komisaris dalam mengawasi manajer secara efektif tergantung pada kekebasannya pada manajemen (Dechow et al., 1996). Dewan komisaris sebagai pihak yang berperan mengawasi tindakan dan keputusan yang diambil manajemen, diasumsikan dapat mengurangi perilaku oportunistik manajer dalam merekayasa laba. Komisaris mempunyai peranan penting untuk memberi laporan keuangan yang andal, sehingga keberadaannya berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan (Sulistyanto, 2008:139).

2. Dewan Komisaris Independen

Komisaris independen yaitu pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan penerapan GCG yang menjamin keadilan bagi stakeholders, transparansi laporan keuangan, serta penyampaian informasi ditengah perbedaan kepentingan (Sulistyanto, 2008:137). Komisaris independen mempunyai beberapa tugas penting untuk membuat lingkungan kerja yang baik, antara lain: mendorong

(6)

terciptanya objektivitas keputusan manajerial, mendorong penerapan prinsip GCG di Indonesia, dan bertanggung jawab atas penerapan GCG melalui komisaris (Sulistyanto, 2008:128). Dalam teori agensi, untuk mengurangi atau mencegah hal- hal yang tidak diinginkan, termasuk manajemen laba, dibutuhkan pengawasan yang baik dari pihak yang independen. Dengan adanya sistem pengawasan dan pengendalian yang baik dan efektif, dinilai mampu menjadi penghalang bagi manajer dalam membuat kebijakan untuk kepentingannya sendiri tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak lain (Sulistyanto, 2008:137). Kian besar proporsi komisaris independen dari semua anggota dewan komisaris bisa mengurangi tindakan manajemen laba (Launa & Respati, 2017).

3. Komite Audit

Badan Pengawas Pasar Modal (2012) mendefinisikan komite audit sebagai komite yang dibuat oleh dewan komisaris yang tugasnya membantu dalam melaksanakan kewajiban atau fungsinya serta mempunyai tanggung jawab pada dewan komisaris, terutama dalam proses pelaporan keuangan. Komite audit memerlukan efektivitas dan independensi dalam pengawasannya terhadap laporan keuangan untuk mengunrangi kecurangan dan kesalahan oleh manajemen pada laporan keuangan. Kesalahan akuntansi yang terjadi dapat disebabkan karena kurangnya anggota komite audit dalam perusahaan (Defond & Jiambalvo, 1991).

Launa dan Respati (2017) menyatakan bahwa kian banyak komite audit dalam perusahaan, pengawasan pada penerapan peraturan internal dan kepatuhan dalam pelaporan keuangan akan lebih baik, sehingga dapat menghindari kemungkinan adanya asimetri informasi dan manajemen laba. Dalam melaksanakan pengawasan terhadap laporan keuangan, komite audit diharapkan dapat memberikan pengawasan terbaik untuk menjaga kredibilitas laporan keuangan (Restuningdiah, 2011).

4. Kepemilikan Manajerial

Launa dan Respati (2017) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial ialah kepemilikan saham oleh manajemen. Manajer merupakan pengelola perusahaan bertugas untuk menentukan kebijakan serta mengambil keputusan operasional dan

(7)

non-operasional perusahaan. Melalui kepemilikan manajerial, diasumsikan bisa memaksimalkan pengawasan pada tindakan dan kebijakan manajemen agar tidak hanya menguntungkan salah satu pihak, serta mengurangi kemungkinan risiko yang dapat merugikan perusahaan dan stakeholders (Panjaitan & Muslih, 2019). Manajer dapat melakukan pelanggaran dalam standar akuntansi, seperti merekayasa laba dengan mengubah prosedur dan metode yang lama menjadi yang sesuai untuk mewujudkan keinginannya (Sulistyanto, 2008:29). Jensen dan Meckling (1976) memaparkan bahwa dengan menaikkan kepemilikan saham agen bisa meminimalisir tindakan oportunis manajer seperti merekayasa laba. Dengan memaksimalkan kepemilikan manajerial, manajer dapat menyesuaikan kepentingan antara manajemen dan shareholder. Launa dan Respati (2017) berargumen bahwa tinggi rendahnya kepemilikan manajerial akan mempengaruhi manajemen laba. Kian banyak saham yang dimiliki manajer bisa meminimalisir tindakan manipulasi laba (Octavia, 2017).

5. Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional yaitu banyaknya saham yang perusahaan miliki dari jumlah saham yang beredar (Lestari & Murtanto, 2018). Menurut Fanani (2014), kepemilikan institusional ialah persentase saham yang perusahaan miliki, seperti bank, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan perusahaan investasi. Dari beberapa pengertian tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa kepemilikan institusional yaitu banyaknya saham perusahaan yang perusahaan miliki dari total saham yang beredar di masyarakat. Teori agensi menyatakan bahwa pengawasan dan pemantauan oleh investor institusi mampu menjadi tata kelola yang penting pada perusahaan (Mangkusuryo & Jati, 2017). Investor institusi dianggap mampu mengawasi secaar baik pada tindakan dan kebijakan manajemen karena memiliki kemampuan dan sumber daya yang cukup, sehingga dapat mengurangi perilaku oportunis manajer. Pengawasan oleh investor institusi akan mandorong manajemen lebih hati-hati untuk berbuat kecurangan dan mendororng manajer untuk fokus dalam meningkatkan kinerja perusahaan, sehingga mampu meminimalisir praktik manajemen laba (Lestari & Murtanto, 2018).

(8)

2.1.4 Kualitas Audit

Kualitas audit sangat dibutuhkan oleh semua perusahaan karena dapat mencerminkan kebenaran informasi dalam laporan keuangan perusahaan. De Angelo (1981) menjelaskan kualitas audit merupakan probabilitas kombinasi atas kemampuan auditor untuk mendapatkan manipulasi pada laporan keuangan dan sistem akuntansi klien serta memberitahukan hal tersebut. Auditor sebagai pihak independen harus memiliki kemampuan yang memadai dalam melakukan audit serta kemampuan untuk mendeteksi kesalahan didalamnya. Kemampuan auditor dalam menemukan pelanggaran klien juga tergantung pada kemampuan auditor, prosedur audit yang dipergunakan, serta besarnya sampel audit (De Angelo, 1981).

Audit atas laporan keuangan merupakan mekanisme penting untuk mengendalikan perilaku manajer, termasuk perilaku oportunis, namun setiap KAP tidak mungkin memiliki nilai audit yang sama sebagai mekanisme pengendalian (Defond &

Jiambalvo, 1991). Audit atas laporan keuangan oleh auditor eksternal yang dilakukan dengan baik dan tepat dapat meminimalisir terjadinya asimetri informasi antara pengguna laporan keuangan dan manajemen.

Kualitas audit bisa dihitung mempergunakan ukuran KAP (KAP big 4 dan non-big 4). KAP big 4 diasumsikan memiliki reputasi, kemampuan, independensi, serta pengalaman yang lebih banyak dan baik daripada KAP non-big 4. Francis dan Krishnan (1999) menyatakan bahwa semakin besar ukuran KAP, seperti KAP big 4 maka tingkat independensinya juga tinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur kualitas audit. KAP yang berafiliasi dengan KAP big 4 dinilai memiliki kompetensi, independensi, serta kemampuan yang memadai dalam melakukan audit serta berani untuk mengemukakan kesalahan dalam laporan keuangan, sehingga dapat mereduksi tingkat manajemen laba karena mampu melaksanakan prosedur audit yang lebih ekstensif dalam mendeteksi manipulasi laba (Astuti & Pangestu, 2019). Kualitas audit pada penelitian ini mempergunakan variabel dummy, yakni dengan memberi skor 0 untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP yang berafiliasi dengan KAP non-big 4 dan skor 1 untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP yang berafiliasi dengan KAP big 4.

(9)

2.2 Penelitian Terdahulu

Sejumlah penelitian sebelumnya sudah melaksanakan penelitian dan uji coba terkait pengaruh good corporate governance dan kualitas audit terhadap manajemen laba. Penelitian oleh Yendrawati dan Nugroho (2012) dengan judul

“Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan dan Praktek Corporate Governance terhadap Manajemen Laba”. Penelitian ini dilakukan pada 16 perusahaan LQ 45 tahun 2008-2010. Variabel struktur kepemilikan diukur dengan total kepemilikan terbesar oleh individu, ukuran perusahaan diukur dengan menghitung logaritma jumlah penjualan perusahaan pada akhir tahun, dewan komisaris dihitung dengan membagi banyaknya komisaris independen dengan total anggota komisaris, dan spesialisasi auditor diukur dengan memberi nilai 1 untuk perusahaan yang diaudit oleh KAP spesialis, serta nilai 0 untuk perusahaan yang tidak diaudit oleh KAP spesialis. Manajemen laba sebagai variabel dependen, menggunakan proksi discretionary accrual yang dihitung dengan rumus modified jones model. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa komposisi dewan komisaris dari luar perusahaan memberi pengaruh negatif pada manajemen laba. Sementara struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, serta spesialisasi industri KAP tidak mempengaruhi manajemen laba.

Penelitian oleh Kumaat (2013) yang berjudul “Corporate Governance dan Struktur Kepemilikan terhadap Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan”

membuktikan bahwa struktur kepemilikan dan corporate governance berpengaruh terhadap manajemen laba dan kinerja keuangan perusahaan. Penelitian ini tujuannya untuk melihat apakah manajemen perusahaan serta struktur kepemilikan berpengaruh pada kinerja keuangan dan manajemen laba perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI periode 2007-2011. Hasil membuktikan bahwa kepemilikan manajerial, komisaris independen, serta struktur kepemilikan terkonsentrasi berpengaruh positif pada manajemen laba. Sedangkan komite audit tidak dapat mempengaruhi manajemen laba dan kinerja keuangan. Kepemilikan manajerial memberi pengaruh negatif pada kinerja keuangan perusahaan. Komisaris independen dan struktur kepemilikan terkonsentrasi berpengaruh positif pada

(10)

kinerja keuangan, dimana komisaris independen sebagai pihak yang menjamin efektivitas pengawasan terhadap direksi dan kebijakan yang diambil telah melakukan tugas dan fungsinya dengan baik, dengan demikian bisa memaksimalkan kinerja keuangan perusahaan. Namun, penelitian ini membuktikan bahwa discretionary accruals tidak berpengaruh pada kinerja keuangan yang diukur dengan cash flow return on assets.

Reyna (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “The Effect of Ownership Composition on Earnings Management: Evidence for the Mexican Stock Exchange”

membuktikan bahwa komposisi kepemilikan saham dapat mempengaruhi tingkat manajemen laba pada perusahaan yang tercatat di Mexican Stock Exchange periode 2005-2015. Penelitian ini memanfaatkan sampel sejumlah 67 perusahaan yang tercatat di MSE dengan 737 data observasi selama 10 tahun. Hasil penelitian membuktikan bahwa bertambahnya tingkat kepemilikan institusi atau keluarga dapat mengurangi tingkat manajemen laba secara signifikan. Hasil juga membuktikan bahwa investor institusi dapat meminimalisir tingkat manajemen laba di perusahaan keluarga. Namun, investor dengan kepemilikan saham >5%

(blockholder investors) tidak memberi pengaruh dalam menurunkan manajemen laba serta tidak mampu memoderasi pengaruh family ownership di perusahaan keluarga. Ukuran perusahaan, leverage, dan ROE berpengaruh positif pada manajemen laba. Berarti, semakin besar perusahaan dilihat dari total asetnya, hutang perusahaan, dan profitabilitas perusahaan, semakin tinggi juga potensi terjadinya manajemen laba di perusahaan yang tercatat di Mexican Stock Exchange.

Penelitian oleh Lestari dan Murtanto (2018) berjudul “Pengaruh Efektivitas Dewan Komisaris dan Komite Audit, Struktur Kepemilikan, Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba”. Sampel penelitian sebanyak 42 perusahaan yang tercatat di BEI periode 2013-2015. Penelitian ini menggunakan variabel efektivitas efektivitas komite audit, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris, kepemilikan terkonsentrasi, dan kualitas audit sebagai variabel independen. Variabel terikat pada penelitian ini yaitu manajemen laba yang dihitung dengan rumus modified jones model. Penelitian ini menambahkan

(11)

leverage, ukuran perusahaan, serta kinerja perusahaan sebagai variabel kontrol.

Hasil membuktikan bahwa kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan manajerial, efektivitas dewan komisaris, ukuran perusahaan, dan leverage dapat mengurangi tingkat manajemen laba. Sementara efektivitas komite audit, kepemilikan institusional dan KAP big 4 tidak memberi pengaruh pada manajemen laba.

Sedangkan kinerja perusahaan memberi pengaruh positif terhadap manajemen laba.

Penelitian oleh Kouaib & Jarboui (2014) dengan judul “External Audit Quality and Ownership Structure: Interaction and Impact on Earnings Management of Industrial and Commercial Tunisian Sectors”. Objek penelitian ini yaitu perusahaan bidang industri dan sektor komersial yang terdaftar di Tunisia Stock Exchange tahun 2007-2011. Penelitian ini mempergunakan sampel sejumlah 61 perusahaan, yang terdiri dari 41 perusahaan sektor industri dan 20 perusahaan sektor komersial. Hasil penelitian membuktikan bahwa auditor dari KAP big 4, kepemilikan terkonsentrasi, dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada manajemen laba. Sementara senioritas auditor eksternal tidak berpengaruh pada manajemen laba. Hasil juga membuktikan bahwa hubungan antara reputasi auditor dan kepemilikan terkonsentrasi hanya berpengaruh negatif terhadap manajemen laba di sektor industri dan tidak berpengaruh pada sektor komersial serta hubungan antara reputasi auditor eksternal dan kepemilikan institusional dapat menurunkan kemampuan manajer untuk memanipulasi laba. Sedangkan hubungan antara senioritas audit eksternal dan kepemilikan terkonsentrasi tidak memberi pengaruh pada manajemen laba di sektor industri dan komersial, ataupun hubungan antara senioritas auditor eksternal serta kepemilikan institusional juga tidak memberi pengaruh pada kemampuan manajer dalam mengelola hasil.

Penelitian oleh Astuti dan Pangestu (2019) menguji pengaruh karakteristik perusahaan dan kualitas audit terhadap manajemen laba. Penelitian yang berjudul

“Kualitas Audit, Karakteristik Perusahaan, dan Manajemen Laba” ini dilakukan pada perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI periode 2011-2018. Variabel kualitas audit menggunakan proksi ukuran KAP, yakni perusahaan yang laporan keuangannya diaudit oleh KAP yang berafiliasi dengan KAP big 4, sedangkan

(12)

karakteristik perusahaan menggunakan proksi ukuran perusahaan (total aset), leverage (DER), dan profitabilitas (ROA). Penelitian ini memaparkan bahwa ukuran KAP dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh pada manajemen laba. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penggunaan jasa KAP big 4 tidak bisa menjamin manajer untuk tidak melakukan manipulasi laba riil dan besar kecilnya perusahaan juga tidak berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat manajemen laba.

Sementara leverage dan profitabilitas memberi pengaruh negatif pada manajemen laba riil. Tingkat leverage pada perusahaan manufaktur selama 2011-2018 masih tergolong aman sehingga manajer tidak tertarik melakukan manipulasi laba, begitu juga tingkat profitabilitas perusahaan.

2.3 Pengembangan Hipotesis

2.3.1

Pengaruh Dewan Komisaris terhadap Manajemen Laba

Dalam teori agensi, untuk mengurangi manajemen laba oleh manajer, dibutuhkan pihak yang mengawasi tindakan manajemen. Pengawasan oleh dewan komisaris merupakan suatu cara yang dilakukan agar mengurangi biaya agensi yang muncul akibat terjadinya konflik keagenan dalam perusahaan (Dwiharyadi, 2017).

Oleh karena itu, dewan komisaris harus mampu menjembatani kepentingan antara stakeholders dan manajer serta memastikan bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan stakeholders. Komite nasional kebijakan corporate governance (2006) memaparkan bahwa banyaknya dewan komisaris harus berdasarkan tingkat kompleksitas perusahaan dengan memperhitungkan efektivitas pembuatan kebijakan dan harus mampu mengambil keputusan secara efektif, tepat dan independen. Dewan komisaris ialah suatu mekanisme GCG yang berfungsi dalam mengawasi aktivitas manajer dalam mengelola serta melakukan aktivitas operasional perusahaan, sehingga dapat menurunkan manajemen laba (Lestari &

Murtanto, 2018). Semakin banyak jumlah dewan komisaris diharapkan mampu melakukan pengawasan yang baik dan efektif terhadap tindakan dan kebijakan serta keputusan manajemen sehingga mampu mereduksi praktik manajemen laba (Mangkusuryo & Jati, 2017). Lestari dan Murtanto (2018) dalam penelitiannya membuktikan bahwa dewan komisaris yang efektif dinilai bisa meminimalisir

(13)

konflik kepentingan antara manajer dan stakeholders. Berdasarkan teori dan pendapat ahli, dapat dirumuskan hipotesis berikut:

H1: Jumlah dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

2.3.2

Pengaruh Komisaris Independen terhadap Manajemen Laba

Dalam teori agensi, untuk meminimalkan biaya agensi akibat konflk kepentingan antara manajer dan pemegang saham, dapat dilakukan dengan membentuk sistem kontrol formal (Jensen & Meckling, 1976). Sistem kontrol formal dapat dilakukan dengan membentuk proses tata kelola internal perusahaan ntuk menjaga kredibilitas laporan keuangan dan melindungi dari perilaku oportunistik manajemen seperti merekayasa laba (Mangkusuryo & Jati, 2017).

Dalam konflik keagenan dibutuhkan mekanisme yang dapat menjamin perlindungan hak para investor (Wahidahwati, 2018). Dewan komisaris independen ialah pihak yang memegang tanggung jawab untuk memastikan penerapan GCG yang menjamin keadilan bagi stakeholders, transparansi laporan keuangan, serta penyampaian informasi ditengah perbedaan kepentingan (Sulistyanto, 2008:137).

Dalam penerapan GCG, setiap perusahaan diharuskan memiliki dewan komisaris independen untuk memotivasi ataupun membuat lingkungan yang bebas, objektif, serta menyelaraskan kepentingan antara pemegang saham minoritas dan mayoritas dan pemegang kepentingan lain (Ambarita & Nuswantara, 2009). Komisaris independen bertugas untuk mengawasi kegiatan dan keputusan manajemen dengan mempertahankan independensinya. Dengan demikian, semakin banyak jumlah komisaris independen, pengawasan pada pelaporan keuangan semakin ketat, maka dapat meminimalisir kecurangan dan manajemen laba dalam laporan keuangan (Esqueda, 2016).

H2: Proporsi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

2.3.3

Pengaruh Komite Audit terhadap Manajemen Laba

Defond dan Jiambalvo (1991) menyatakan bahwa kontrol yang baik dalam pelaporan keuangan dapat mereduksi kemungkinan adanya kesalahan yang

(14)

disengaja dan tidak disengaja dalam pelaporan keuangan. Dalam teori agensi, dibutuhkan pihak yang mengawasi tindakan manajer termasuk dalam pelaporan keuangan, seperti komite audit yang berperan untuk memastikan efektivitas pengendalian internal perusahaan sehingga dapat mengurangi perilaku oportunis manajer untuk merekayasa laba (Ghazali et al., 2015). Komite audit yaitu komite yang dibentuk dan bertanggung jawab pada dewan komisaris untuk menjalankan kewajiban atau fungsi komisaris (OJK, 2015). Pamudji dan Trihartati (2010) memaparkan bahwa komite audit adalah bagian dari GCG yang berperan penting pada sistem pelaporan keuangan perusahaan, termasuk mengawasi manajer ataupun auditor independen dalam proses pelaporan keuangan. Komite audit harus menjaga independensinya dalam menjalankan tugasnya sebagai penghubung antara auditor eksternal dan manajemen (Lestari & Murtanto, 2018). Defond dan Jiambalvo (1991) pada penelitiannya membuktikan bahwa perusahaan yang meningkatkan laba (overstated) cenderung tidak mempunyai komite audit untuk mengawasi proses pelaporan keuangan perusahaan. Berdasar teori serta hasil penelitian terdahulu, dibuat rumusan hipotesis berikut:

H3: Jumlah komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

2.3.4

Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba

Dalam teori agensi menyatakan bahwa setiap orang akan berusaha untuk memenuhi kepentingan pribadinya (Waworuntu et al., 2012). Setiap orang tentunya mempunyai kepentingan yang berbeda, termasuk kepentingan antara manajer dan shareholders, sehingga memungkinkan manajer memanipulasi keuntungan untuk mencapai tujuan pribadinya. Untuk meminimalisir konflik kepentingan antara principal dan agent bisa dilakukan dengan meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer (Jensen & Meckling, 1976). Salim et al. (2016) meyatakan bahwa kepemilikan saham oleh manajemen bisa menyesuaikan kepentingan manajer dan shareholders, dengan demikian bisa meminamilisir konflik kepentingan antara shareholders dan manajer. Manajer mungkin termotivasi untuk merekayasa laba dengan memilih metode akuntansi yang sesuai (Amertha et al., 2014). Hasty dan Herawaty (2017) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa kepemilikan

(15)

manajerial memberi pengaruh pada manajemen laba. Hasil tersebut menyatakan bahwa pengawasan terhadap manajemen semakin efektif dengan adanya kepemilikan manajerial, oleh karenanya manajemen akan lebih hati-hati dalam bertindak manajemen laba.

H4: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

2.3.5

Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba

Dalam teori agensi, kepemilikan institusional berfungsi sebagai elemen pengendalian yang efektif (Kouaib & Jarboui, 2014). Investor institusi dinilai baik dalam mengawasi tindakan manajemen dan mengetahui kondisi operasional perusahaan yang sebenarnya (Dai et al., 2013). Kepemilikan saham oleh institusi pada perusahaan manufaktur yang tercatat di BEI cenderung mempunyai persentase saham lebih dari 5%, yang menunjukkan bahwa investor institusi akan ikut serta pada pembauatn kebijakan perusahaan. Dengan terdapat kepemilikan saham oleh institusi bisa memotivasi pengawasan terhadap kinerja manajer dan perusahaan secara optimal (Mahawyahrti & Budiasih, 2017). Mekanisme GCG melalui kepemilikan institusi dinilai dapat melakukan pengawasan yang baik terhadap manajer karena mempunyai keahlian dalam mengontrol manajer melalui monitoring secara efektif, dengan demikian bisa meminimalisir praktik manajemen laba (Octavia, 2017). Investor institusi berperan aktif dalam memantau manajer untuk memaksimalkan mutu laporan keuangan dan memastikan bahwa manajer bertindak untuk memaksimalkan nilai jangka panjang perusahaan (Dai et al., 2013).

Reyna (2018) dalam penelitiannya membuktikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusi dapat mereduksi tingkat manajemen laba secara signifikan.

H5: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba

2.3.6

Pengaruh Kualitas Audit (KAP big 4) terhadap Manajemen Laba Dalam teori agensi, untuk meminimalkan biaya agensi akibat konflik kepentingan, dapat dilakukan dengan cara audit laporan keuangan (Jensen &

Meckling, 1976). Audit yaitu kegiatan auditor yang terdiri dari revisi informasi

(16)

keuangan, yang memiliki peran untuk menjamin kredibilitas dan keandalan laporan keuangan (Huguet & Gandía, 2016). Menurut IAI, audit yang berkualitas adalah audit yang dilaksanakan berdasarkan standar audit atau standar pengendalian mutu yang sudah ditentukan (Lestari & Murtanto, 2018). Dalam teori agensi, kualitas audit merupakan mekanisme monitoring yang efektif, termasuk dalam mendeteksi manipulasi oleh manajemen, sehingga bisa menyesuaikan kepentingan antara principal dan agent (Alzoubi, 2019). Kualitas audit bisa diukur dengan ukuran KAP (KAP big 4), dimana besarnya KAP dapat mempengaruhi independensi dan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dalam laporan keuaangan (Hasty & Herawaty, 2017). Kualitas audit yang diukur dengan KAP big 4 memiliki keterkaitan positif dengan manajemen laba, dimana kualitas audit dari KAP big 4 dapat menurunkan kecenderungan manajemen laba oleh manajer (Alhadab &

Clacher, 2018). Jarboui dan Kouaib (2014) membuktikan bahwa perusahaan yang mempergunakan jasa auditor dari KAP big 4 dapat mengurangi tingkat manipulasi laba. Berdasar teori serta hasil penelitian terdahulu, bisa dikembangkan hipotesis seperti berikut:

H6: Ukuran KAP (big 4) berpengaruh negatif terhadap manajemen laba 2.4 Kerangka Konseptual

Jumlah dewan komisaris perusahaan Komposisi dewan komisaris independen

Jumlah komite audit perusahaan

Kepemilikan manajerial Kepemilikan institusional

Manajemen laba

Variabel Kontrol:

- Ukuran Perusahaan - Leverage

Ukuran KAP (big 4)

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “ hubungan Antara Pola Asuh Authoritative Dengan Tingkat Disiplin Anak pada Anak TK BA Aisyiyah Mertasari Kecamatan Purwanegara Kabupaten

2.1 Be able to respond to the meaning on the monolog text using spoken language varieties accurately, fluently, and acceptably in the daily life context in form of: report,

Dalam pengolahan data akademik masih secara konvensional dengan sistem pendataan yang sekarang dirasakan masih banyak kekurangan yang terjadi, dikarenakan sistem

Kemudian pada blok mikrokontroller berfungsi sebagai pembentuk sinyal dc chopper yaitu pulsa-pulsa pwm untuk mengendalikan kecepatan motor dimana pulsa- pulsa

Dalam penelitian ini peneliti memberikan gambaran secara menyeluruh tentang fungsi sistem kredit semester (SKS) pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 1 Surabaya,

Hasil dari penelitian ini bersifat arahan desain, dalam upaya menghidupkan potensi Kampung Tua Tanjung Riau sebagai kawasan wisata bahari/maritim melalui

Organisasi Darud Da’wah wal Irsyad adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh ulama- ulama Sulawesi Selatan. Inisatif pendiriannya bermula dari Musyawarah

Berdasarkan pengolahan data di atas, dapat diketahui bahwa keputusan pembelian di Mirota Batik Cabang Malioboro Yogyakarta telah berada pada kategori baik,yaitu