• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori 1. Nilai Humanisme

a. Hakikat Nilai

Eyre dan Linda dalam Gunawan (2012: 31) menyebutkan bahwa nilai yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan suatu prilaku dan prilaku itu berdampak positif, baik bagi yang menjalankan maupun bagi orang lain. Sedangkan menurut Achmadi (2011: 123) nilai berkaitan baik dan buruk.

Menurutnya, segala sesuatu itu bernilai jika berguna atau dibutuhkan umat manusia, baik kaitannya dengan hubungannya dengan Allah, diri sendiri dan sesame manusia.

Menurut pandangan Gazalba (1981: 471) nilai merupakan suatu yang bersifat abstrak, ideal. Nilai bukan benda konkret, bukan fakta, bukan hanya persoalan benar dan salah, yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.

Nilai menurut Fitri (2012: 89) merupakan realita abstrak. Nilai kita rasakan dalam diri kita masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Oleh sebab itu, nilai menduduki tempat penting dan strategis dalam kehidupan seseorang, sampai pada suatu tingkat di mana orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka daripada mengorbankan nilai.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas dapat disintesiskan bahwa nilai adalah suatu hal yang berada dalam hati nurani manusia dan menghasilkan perilaku positif baik secara individu maupun universal sekaligus sebagai pendorong dan penyemangat dalam kehidupan.

b. Hakikat Humanisme

Hart (2007: 10) mengatakan, “The entire topic of human races is a contentious issue, beset by ideological passions. Indeed, so intense are these passions that some people speak as if race is nothing but skin color, others assert

7

(2)

that the notion of race is just a “social construct,” and others claim that there is no such thing as race or races. (Pembicaraan tentang kemanusiaan sebenarnya hanyalah memperdebatkan tentang kesukaan terhadap sesuatu yang dipengaruhi oleh paham tertentu. Perdebatan mengenai arti kemanusiaan itu sangat mendasar, ada yang terfokus pada adanya perbedaan warna kulit, ada yang beranggapan membicarakan kemanusiaan itu tentang tatanan sosial masyarakat, ada juga yang berpandangan membicarakan kemanusiaan itu bukan masalah perbedaannya).

Berawal dari perdebatan mengenai kemanusiaan Carriere (2019: 8) mengungkapkan, “It has been seventy years since signing the Declaration of Human Rights, yet human right violations are still happening across the globe. This review asks the question – what is the impact of perceived threat on changing support for human rights into support for not-all-humans’ rights? In approaching human rights violations with a four-level model – institutions, cultures, groups, and individuals, issues of capabilities, historical emotions, connectedness, and personality emerge. At the heart of these is the impact perceived threat has at each level within each issue. Limitations of current work, disagreements across the literature, and future directions are discussed.” (bahwa sudah tujuh puluh tahun sejak penandatanganan deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi di seluruh dunia. Tinjauan ini merupakan dampak dari ancaman yang dirasakan akibat pergeseran perilaku manusia yang semakin kurang menghargai hak asasi manusia lainnya hanya karena perdebatan budaya tentang perbudakan, pembebasan perempuan, dan gerakan hak-hak sipil. Sejak munculnya perbudakan sejak itu pula nila kemanusiaan dilanggar).

Berbicara mengenai humanisme Qodir (2017: 191) mengatakan bahwa pada dasarnya kata “Humanistik” merupakan suatu istilah yang mempunyai banyak makna sesuai dengan konteksnya. Misalnya, humanistik dalam wacana keagamaan berarti tidak percaya adanya unsur supranatural atau nilai transendental serta keyakinan manusia tentang kemajuan melalui ilmu dan penalaran. Di sisi lain humanistik berarti minat terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat ketuhanan.

Sedangkan humanistik dalam tataran akademik tertuju pada pengetahuan tentang

budaya manusia, seperti studi-studi klasik mengenai kebudayaan Yunani dan Roma

(3)

Hakim (2012 :89) berpendapat bahwa humanisme merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan.

Humanistik berkembang menjadi a third force atau a third power atas reaksi terhadap dua aliran psikologi sebelumnya yaitu behaviorisme dan psikoanalisme/psikoanalisa.

Humanisme menurut Abidin (2000: 41) berasal dari kata “humanitas” yaitu pendidikan menusia dan dalam bahasa Yunani disebut Paideia: pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi dan sarana utamanya. Mereka yakin dengan seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi manusia bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Humanisme pada waktu itu dengan tema pokoknya kebebasan menentang dogma gereja, namun kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan absolut atau sebagai anti tesis dari determinatisme abad pertengahan. Sebab kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan berkarakter manusiawi dan mereka juga tidak mengkhayal adanya kekuatan-kekuatan metafisik atau ilahiyah. Pada pokoknya, menurut mereka kebabasan itu ada, dan perlu dipertahankan dan diekspresikan.

Humanisme menurut Masruri (2005: 98) juga berasal dari studi humanitatis yang mengandung arti kesenian liberal atau studi kemanusiaan dari Cicero. Inti kesenian liberal adalah membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui pengembangan intelektual yang meliputi tata bahasa, retorika (berbicara), syair, sejarah, dan filsafat moral. Dalam studi humanitatis, ilmu-ilmu ini dianggap paling mampu mengembangkan potensi manusia untuk berpikir dan bertindak secara bebas dan mandiri.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disintesiskan humanisme merupakan

pandangan yang memosisikan manusia sebagai individu yang terbebas dari segala

kungkungan secara lahir dan batin sehingga manusia itu bebas dalam berekspresi

dan bersikap namun tetap menjaga nilai-nilai karakter yang terpuji. Titik tekan studi

humanisme adalah nilai kemanusiaan yang tertuang melalui penggunaan tata

bahasa, retorika (berbicara), syair, sejarah, dan filsafat moral. Dalam teori

(4)

humanisme harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bebas dan merdeka.

c. Sejarah Humanisme

Pembicaraan tentang humanisme tidak akan lepas dari sejarah perkembangan humanisme itu sendiri. Perkembangan humanisme dibagi menjadi tiga periode yaitu: zaman antik, pra-renaisance, dan humanisme modern.

Periode zaman antik, yang ditandai bangsa romawi 2000 tahun yang lalu menggunakan kata humanis untuk menunjukan cita-cita yang mengusahakan pengembangan tertinggi etis kultural kekuatan-kekuatan manusia dalam bentuk secara estetik sempurna, bersama dengan sikap baik hati dan kemanusiaan.

Periode pra-renaisance, tahap ini adalah kunci kelahiran abad modern. Pada abad ke-14 Italia, dunia kristiani, Yunani, dan Romawi mulai menemukan cita- kemanusiaan. Manusia mulai ditempatkan sebagai pusat perhatian. Pendidikan dipandang sebagai pengembangan manusia. Manusia dianggap tolak ukur kewajaran kehidupan; pada waktu itu teks kuno dalam filsafat mulai diteliti sastra dan diterjemahkan. Seni klasik mulai berkembang terutama patung-patung tubuh manusia memberi sumbangan besar seni di zaman itu.

Periode humanisme modern, humanisme modern untuk sebagian bangsa eropa berpengaruh terutama dalam kehidupan rohani. Pihak gereja mentranformasikan diri dari dalam dan mencoba ke dalam hidup batin di sisi lain.

Gerakan pembaharuan religious Eropa terjadi di abad ke-15 dan renaisance di abad ke-16. Devotia modern, di Eropa utara terjadi pendalaman mistis, banyak kelompok yang melakukan pertapaan (bertapa). Kehidupan katolik di abad ke-16 ditandai oleh kelompok mistik dan hidup rohani, Santa Theresia dan Avila, Santo Johanes dan Cruz, dan Santo Ignasius dari Yolala.

Humanisme modern dibagi menjadi dua aliran yaitu humanisme keagamaan

dan humanisme sekuler. Humanisme keagamaan berakar dari tradisi Renaisance

dan diikuti banyak seniman, para cendekiawan dalam kesenian bebas, dan umat

Kristen garis tengah. Kelompok ini berpandangan fokus pada martabat dan

kebudiluhuran dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia.

(5)

Humanisme sekuler menitikberatkan pandangannya pada akal manusia yang mendorong bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama.

d. Nilai-Nilai Humanisme

Kalau kita lihat secara umum, istilah humanisme (Amin, 2013: 66) dapat diartikan sebagai pembebasan dalam arti suatu ajaran yang tidak berpatokan kepada doktrin-doktrin yang dinilai tidak memberikan leluasa atau kebebasan kepada individu manusia. Adapun doktrin-doktrin yang sifatnya otoritatif sangat bertentangan dengan prinsip dasar dari humanisme, yang pada dasarnya selalu memberikan kebebasan kepada setiap individu manusia dalam menentukan hidupnya, baik dalam urusan beragama, kebebasan berpendapat bahkan sampai dalam urusan menuntut haknya, tetapi maskipun demikian nilai-nilai dasar kemanusiaan dan hak-hak sesama tetap selalu diperhatikan.

Bila kita tengok sejarah perkembangan humanisme yang ada di muka bumi seperti yang telah diuraikan di atas, nilai humanisme yang dikemukakan Hardiman (2012: 7-36) mengacu pada humanisme modern. Nilai humanisme modern memang sudah membebaskan diri dari aliran humanisme renasance, artinya pada humanisme modern doktrin-doktrin yang ada di humanisme renasance banyak yang ditinggalkan. Humanisme modern sendiri terbagi menjadi dua, yaitu religius dan sekuler. Jika kita melihat nilai humanisme yang dikemukakan Hardiman yaitu ada enam hal, maka termasuk ke dalam humanisme religius. Nilai-nilai humanisme menurut Hardiman (2012: 7-36) ada 6 nilai, yaitu kebebasan, kerja sama, rela berkorban, peduli, tolong-menolong (gotong-royong), dan solidaritas.

1) Nilai Kebebasan

Nilai kebebasan di sini memberi arti bahwa setiap warga negara diberi hak

dalam kebebasan berpendapat, hal ini telah diatur dalam Undang-Undang dalam

sebuah sitem politik dan demokrasi. Undang-Undang kebebasan berpendapat

tersebut tertuang dalam Undang-Undang HAM pasal 28 E tentang kebebasan

memeluk Agama, meyakini kepercayaan, memilih kewarganegaraan, memilih

tempat tinggal, kebebasan serikat, berkumpul dan berpendapat. Dengan adanya

kebebasan berpendapat berarti setiap individu sudah bisa menghormati orang lain

(6)

dan dengan adanya kebebasan tersebut setiap warga negara telah diperlakukan sama dan dianggap mempunyai derajat sama di depan Undang-Undang.

2) Nilai Kerjasama

Kerjasama merupakan sebuah perbuatan yang diperlukan untuk mengatasi problem dalam masyarakat, kerjasama yang dimaksud di sini adalah kerjasama dalam hal kebajikan. Ruskin mengatakan bahwa setiap orang harus bekerja bersama-sama dan kepemilikan bersama jauh lebih penting dari pada kepemilikan pribadi. Artinya, nilai kebersamaan jauh kita kedepankan dari pada kepentingan pribadi semata, karena dengan kebersamaan semua akan terlihat indah dan damai.

Apalagi manusia disebut sebagai makhluk sosial yang harus hidup sebagai anggota masyarakat sesamanya dan manusia harus mampu menjalin hubungan baik di antara mereka.

3) Nilai Rela Berkorban

Rela berkorban di sini diartikan sebagai suatu pengorbanan, baik itu berupa waktu, tenaga, dan pikiran dalam bentuk apapun demi kebaikan. Rela berarti seseorang tersebut sudah ikhlas, tidak mengharapakan pujian atau imbalan dari orang lain dengan kemauan dari diri sendiri. Adapun berkorban adalah sesuatu yang dimilki diri sendiri diberikan kepada orang lain sekali pun itu membuat dirinya menderita.

4) Nilai Peduli

Peduli merupakan nilai dasar kemanusian dan sikap memperhatikan dan menumbuhkan tindak atau sikap proaktif terhadap keadaan yang ada di sekitar kita.

Peduli adalah merasakan kekhawatiran tentang orang lain atau sesuatu, misalnya ketika melihat teman yang dalam kesusahan, atau sakit, maka muncullah perasan yang sama seperti yang dirasakannya, sehingga tumbuhlah rasa ingin membantu.

Sikap peduli seperti ini merupakan sikap mulia atau kalau dalam agama Islam dikenal dengan akhlak mahmudah atau akhlak terpuji.

5) Nilai Tolong-Menolong (Gotong-Royong)

Nilai tolong-menolong merupakan suatu karakter dari bangsa Indonesia yang

selalu suka menolong. Menurut Buhanudin tolong-menolong adalah mau

membantu atau menolong baik itu sifatnya material maupun moral, dengan kata

(7)

lain tolong-menolong membantu sesorang yang sedang kesulitan untuk meringankan bebannya.

6) Nilai Solidaritas

Solidaritas ialah kesedian untuk mengedepankan kepentingan dan bekerjasa dengan orang lain di atas kepentingan pribadi. Nilai solidaritas mengikat manusia yang sama-sama memiliki kebebasan untuk mepertimbangkan kepentingan pihak lain. Sebagai nilai, solidaritas dapat menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, saling mengasihi, dan murah hati kepada sesama.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai humanisme terdiri atas enam hal, yaitu kebebasan, kerja sama, rela berkorban, peduli, tolong- menolong (gotong-royong), dan solidaritas.

2. Nilai Keadilan a. Hakikat Keadilan

Keadilan menurut Lebacqz (2015: 161) adalah suatu kondisi persaudaraan yang di dalamnya tidak terjadi konflik kepentingan. Sesuai dengan Lebacqz tersebut, oleh karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar- menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang mengizinkan kita untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik; secara analogis, ketidakadilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai kebijakan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat.

Rawls dalan Kelsen (2011: 7) menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.

Nasution (2015: 61) mengungkapkan kata ‘keadaan’ berasal dari bahasa Arab

al-adl yang berarti keadaan yang terdapat dalam jiwa seseorang yang membuatnya

menjadi lurus. Keadilan berasal dari kata kerja ‘adala yang berarti pertama,

(8)

meluruskan atau duduk lurus, mengamandemenkan atau merubah. Kedua, melarikan diri berangkat atau mengelak dari satu jalan (yang keliru) menuju jalan lain yang benar. Ketiga, sama atau sepadan atau menyamakan. Keempat, menyeimbangkan atau mengimbangi, sebanding atau berada dalam suatu keadaan yang seimbang.

Berdasarkan pada teori-teori tersebut dapat disintesiskan keadilan sebagai hal yang berkenaan dengan sikap dalam menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Keadilan itu tidak membeda-bedakan antara satu dan lainnya, semua diperlakukan yang sama. Barang siap yang melanggar tata tertib, dialah yang harus mendapat sanksi atas konsekuensi atas perbuatannya.

b. Sejarah Keadilan

Keadilan menurut Moorhead (2013: 98) muncul ketika karyawan mempersepsikan bahwa rasio dari input mereka (usaha) terhadap hasil mereka (penghargaan) sama dengan rasio karyawan yang lain. Ketidakadilan muncul ketika rasio tersebut tidak sama, rasio dan hasil seorang individu dapat lebih besar atau kurang dari milik orang lain.

Menurut Jackson (2010: 147), Sudah jelas bahwa memperlakukan pegawai dengan adil sangat baik bagi pegawai. Keadilan juga baik untuk bisnis, Ketika pegawai diperlakukan dengan adil, mereka akan memperlakukan pelanggan dengan baik juga. Pegawai yang merasa tidak diperlakukan dengan adil bisa menjauhkan pelanggan. Keadilan merupakan keyakinan bahwa kita diperlakukan dengan adil dalam hubungan dengan orang lain sedangkan ketidakadilan sebagia keyakinan bahwa kita diperlakukan secara tidak adil dibandingkan dengan orang lain.

Menurut Ivancevich (2006: 160) orang-orang membentuk persepsi keadilan

dengan membandingkan situasi mereka dengan situasi orang lain. Jika mereka

mengalami keadilan, mereka akan termotivasi untuk mempertahankan situasi

sekarang. Ketika mereka mengalami ketidakadilan, mereka akan termotivasi untuk

menggunakan satu atau lebih strategi yang diperlihatkan disini untuk mengurangi

ketidakadilan. Orang-orang dapat menggunakan salah satu dari enam metode

umum untuk mengurangi ketidakadilan seperti mengubah masukan, mengubah

(9)

hasil, mengubah persepsi atas diri, mengubah persepsi atas orang lain, mengubah perbandingan, meninggalkan situasi.

Menurut Jhon M. Ivancevich dan Robert (2006: 169) ada empat istilah penting dalam teori keadilan, yaitu:

a. Orang (person). Individu kepada siapa keadilan dan ketidakadilan dipersepsikan.

b. Perbandingan dengan orang lain (comparison other). Setiap kelompok atau orang yang digunakan oleh seseorang sebagai refrensi berkenaan dengan input dan hasil.

c. Input. Karakteristik individu yang dibawa oleh seseorang ketempat kerja.

d. Hasil Apa yang diterima seseorang dari pekerjaan (misalkan tunjangan, pengakuan, dan gaji).

Keadilan muncul ketika karyawan mempersepsikan bahwa rasio dari input mereka (usaha) terhadap hasil mereka (penghargaan) sama dengan rasio pada karyawan yang lain. Ketidakadilan muncul ketika rasio tersebut tidak sama, rasio input dan hasil seorang individu dapat lebih besar, atau kurang dari milik orang lain.

c. Jenis-Jenis Keadilan

Ada tiga hubungan keadilan yang berbeda yang dikembangkan oleh Robert Kreitner (2014: 220) yaitu; keadilan (equity), ketidakadilan negatif (negative inequity), dan ketidakadilan positif (positive inequity). Keadilan timbul bagi seorang individu ketika rasio pendapatan yang diterima dengan masukan setara dengan rasio hasil dan masukan terhadap rekan kerja. Karena keadilan didasarkan pada perbandingan rasio hasil dan masukan, maka ketidakadilan tidak harus dirasakan hanya karena orang lain menerima penghargaan yang lebih besar.

Apabila hasil tambahan orang lain disebabkan karena masukannya yang lebih

besar, perasaan keadilan masih bisa muncul. Namun, apabila orang-orang yang

diperbandingkan menghendaki hasil yang lebih besar dengan masukan yang sama,

maka ketidakadilan negatif (negative inequity) yang akan dirasakan. Sedangkan

seseorang akan mengalami ketidakadilan positif (positive inequity) ketika rasio

hasil terhadap masukannya lebih besar dari pada rekan kerjanya.

(10)

Terori keadilan menurut Aristoteles dalam terjemahan W.D. Ross (2000) diidentifikasikan sebagai berikut.

1) Keadilan komutatif, yaitu perlakuan kepada seseorang tanpa melihat jasa-jasa yang sudah dilakukan. Misalnya, seseorang yang menerima sanksi tanpa peduli status dan jasanya.

2) Keadilan distributif, yaitu perlakuan kepada seseorang sesuai dengan jasa- jasa yang sudah dilakukan. Misalnya, seorang pekerja yang dibayar sesuai dengan pekerjaan yang sudah dilakukan.

3) Keadilan kodrat alam, yaitu perlakuan kepada seseorang yang sesuai dengan hukum alam. Misalnya saja seseorang yang berlaku baik akan menerima perlakuan yang baik juga.

4) Keadilan konvensional, yaitu keadilan yang ditetapkan lewat sebuah kekuasaan khusus. Misalnya warga negara yang harus mematuhi aturan.

5) Keadilan perbaikan, yaitu keadilan yang dilakukan kepada orang yang mencemarkan nama baik orang lain. Misalnya artis yang melakukan konferensi pers untuk meminta maaf.

Teori keadilan yang isinya hampir sama dengan teori Aristoteles adalah Faturarochman (2002: 20) yang menyatakan “Keadilan merupakan situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi. Pemahaman keadilan sering menekankan keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional”.

1) Keadilan Distributif

Keadilan distributif menurut Robbins (2008: 249) adalah keadilan tentang

jumlah dan pemberian penghargaan di antara individu-individu. Sedangkan men

urut Raymond (2011: 10) di luar fokusnya pada persepsi keadilan, elemen penting

lain dari keadilan organisasional adalah pandangan bahwa keadilan itu

multidimensional. Sebagai contoh berapa banyak kita dibayar menurut pemikiran

kita, sangatlah penting. penilaian yang dibuat orang terkait hasil yang diterimanya

dibandingkan hasil yang diterima orang lain yang menjadi acuan.

(11)

Teori ini mengemukakan bahwa seseorang akan menilai keadilan dengan cara membandingkan outcomes yang ia terima dengan input yang ia berikan dan kemudian membandingkannya dengan outcomes dan input dari yang dijadikan pembanding. Menurut Noe (2011: 42) mendefinisikan keadilan distributif merupakan keadilan imbalan sebagai penilai yang dibuat orang terkait imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang diterima orang lain yang menjadi acuannya.

Menurut Cropanzano (2007: 34) menyebutkan bahwa keadilan distributif terdiri atas 3 dimensi sebagai berikut.

a) Keadilan: menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya.

b) Persamaan: menyediakan kompensasi bagi setiap karyawan yang secara garis besar sama.

c) Kebutuhan: meneyediakan benefit berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang.

Persepsi atas keadilan menurut Moorhead (2013: 387) distributif mempengaruhi kepuasan individu dengan beragam hasil terkait-kerja, seperti bayaran, pemberian kerja, pengakuan, dan kesempatan untuk maju. Secara khusus, semakin adil orang-orang melihat penghargaan didistribusikan, semakin puas mereka dengan penghargaan tersebut; semakin tidak adil mereka melihat penghargaan didistribusikan, semakin tidak puas mereka. Selain itu, individu yang merasa bahwa penghargaan tidak didistribusikan secara adil dapat cenderung untuk mengatributkan ketidakadilan tersebut dengan penyalahgunaan kekuasaan.

2) Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural menurut Robbins (2008: 250) yaitu keadilan yang dirasa dari proses yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan. Dua elemen penting dari keadilan prosedural adalah pengendalian proses dan penjelasan.

Perusahaan harus mengembangkan kebijakan sebagai tuntunan umum dalam membersihkan suatu koordinasi, konsistensi, dan keadilan dalam menggaji karyawan.

Menurut Cropanzano (2007: 35) ada 6 dimensi dari keadilan prosedural yaitu sebagai berikut:

a) Konsistensi: semua karyawan diperlakukan sama.

(12)

b) Kurangnya bias: tidak ada orang atau kelompok diistimewakan atau diperlakukan tidak sama.

c) Keakuratan: keputusan dibuat berdasarkan informasi yang akurat.

d) Pertimbangan wakil karyawan: pihak-pihak terkait dapat memberikan masukan untuk pengambilan keputusan.

e) Koreksi: mempunyai proses banding atau mekanisme lain untuk memperbaiki kesalahan.

f) Norma pedoman profesional tidak dilanggar.

Ketika pekerja mempersepsikan tingkat keadilan prosedural yang tinggi, mereka lebih berpeluang termotivasi untuk berpartisipasi dalam aktivitasaktivitas, untuk mengikuti aturan dan menerima hasil yang relevan sebagai keadilan, namun jika pekerja mempersepsikan ketidakadilan prosedural yang lebih besar, mereka cenderung menarik diri dari kesempatan untuk berpartisipasi, untuk kurang menaruh perhatian pada peraturan dan kebijakan, dan melihat hasil yang relevan sebagai ketidakadilan. Persepsi atas ketidakadilan prosedural dapat di barengi dengan interpretasi berdasarkan pada kekuasaan dan perilaku politis orang lain.

3) Keadilan Interaksional

Keadilan interaksional menurut Robbinson (2008: 251) yaitu persepsi individu tentang tingkat sampai mana ia diperlakukan dengan martabat, perhatian dan rasa hormat. Berbeda dengan definisi dari Kreitner (2014: 222) yang menyatakan bahwa kualitas perlakuan antarpribadi yang di terima orang-orang ketika prosedur diimplementasikan ketika individu diperlakukan dalam cara yang tidak adil mereka akan merespon dengan membalas dendam. Terdapat empat faktor penentu keadilan interaksional yaitu penjelasan, kepekaan sosial, ketegangan dan empati. Penggunaan sistem yang mendorong keadilan interaksional di lintas organisasi akan menciptakan karyawan yang lebih terpuaskan dan angkatan kerja yang lebih produktif.

Persepsi keadilan Jackson (2010: 152) interaksional mencerminkan perasaan

pegawai mengenai apakah manajer peka terhadap masalah mereka dan

memperlakukan mereka dengan sopan dan penuh hormat (manajer yang peka bisa

memberikan dorongan kepada pegawai yang tidak mendapatkan kenaikan jabatan,

dan mereka memberikan dukungan emosional kepada pegawai yang diberhentikan.

(13)

Manajer yang menghargai situasi negatif ini dan menyatakan kepeduliannya dapat memperkecil dampak kerusakan dari permasalahan tersebut.

d. Nilai Keadilan

Kelsen (2011: 12) mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar- besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh fakto-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat ditegaskan bahwa nilai keadilan sesuatu yang dapat diukur atas perbuatan manusia terhadap manusia lainnya dalam konteks mengedepankan kebenaran. Nilai keadilan yang dapat dianalisis berdasarkan perilaku manusia di muka bumi ini dapat dianalisis menggunakan teori yang dikemukakan Faturarochman (2002) yang menyatakan bahwa nilai keadilan berkaitan dengan norma-norma dan kelayakan hidup yang dipenuhi yang menekankan keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional.

3. Novel

a. Hakikat Novel

Novel menurut Teeuw (1967: 67) adalah salah satu jenis ragam prosa yang

pada dasarnya merupakan satu bentuk cerita panjang. Novel lebih panjang

(setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi

keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Novel adalah genre prosa

yang menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang

luas, selain itu novel juga menyajikanmasalahmasalah kemasyarakatan yang paling

luas. Sedangkan, menurut Ratna (2004: 336) pada umumnya sebuah novel bercerita

tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh

(14)

karena itu, novel dikatakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.

Kenney (1966: 31) juga menjelaskan bahwa novel adalah suatu fiksi naratif yang panjang dan merupakan imitasi dari keadaan sebenarnya. Nurgiyantoro (2010:

4) mengemukakan bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang yang kesemuanya bersifat imajinatif, walaupun semua yang direalisasikan pengarang sengaja dianalogilan dengan dunia nyata tampak seperti sungguh ada dan benar terjadi, hal ini terlihat sistem koherensinya sendiri.

Menurut Tarigan (2000: 164) kata novel berasal dari kata latin novelius yang pula diturunkan pada kata noveis yang berarti baru. Dikatakan baru karena kalau dibandingkan dengan jenis-jenis karya sastra lain seperti puisi, drama, dan lain-lain maka jenis novel ini muncul kemudian.

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel merupakan buah pikiran pengarang yang sengaja direka untuk menyatakan buah pikiran atau ide, diolah penulis yang dihubungkan dengan kejadian atau peristiwa di sekelilingnya, bisa juga merupakan pengalaman orang lain maupun pengalaman penulis, pola penulisan mengalir secara bebas yang tidak terikat oleh kaidah seperti yang terdapat pada puisi.

b. Unsur-Unsur Novel

Menurut Nurgiantoro (2013: 23) unsur-unsur pembangun sebuah novel terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Lebih lanjut Nurgiyantoro menyebutkan bahwa novel termasuk karya fiksi yang konstruksinya terbangun atas kedua unsur tersebut sehingga bangunan yang diciptakan berupa makna-makna realitas kehidupan yang bermanfaat. Hal ini berarti bahwa novel diibaratkan bangunan yang kokoh dan kerangka bangunan itu adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

1) Unsur Intrinsik

Menurut Wahid (2004: 84) unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang

membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah karya sastra terdiri atas:

(15)

tema, latar, amanat, alur, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa. Unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Kepaduan antara unsur inilah yang membuat sebuah novel terwujud.

Menurut Sukada (2013: 56) unsur instrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, tanpa melihat kaitannya dengan data di luar cipta sastra tersebut. Unsur intrinsik hadir sebagai kerangka dasar yang membangun teks sastra.

Dengan kerangkat itu, maka karya sastra dapat berdiri kokoh sebagai suatu narasi yang utuh.

Pendapat yang dikemukakan Sukada berbeda dengan yang diungkapkan Sehandi. Menurut Sehandi (2016: 76) mengemukakan bahwa eksistensi karya sastra terletak pada unsur intrinsiknya tanpa mengabaikan unsur ekstrinsiknya. Itu berarti bahwa kekuatan karya sastra memang berasal dari unsur intrinsik sebagai pondasinya, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari unsur ekstrinsik. Sebab unsur itu akan memberi warna pondasi yang dibangun.

Pendapat Esten (2013: 25) unsur intrinsik suatu karya fiksi disebut juga sebagai unsur struktur cerita-rekaan (fiksi). Unsur tersebut meliputi lima hal, yaitu (1) alur, (2) penokohan, (3) latar, (4) pusat pengisahan, dan (5) gaya bahasa.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disintesiskan bahwa unsur intrinsik novel adalah segala sesuatu berasal dari mana saja yang dapat membangun cerita dan bermakna bagi pembacanya. Segala sesuatu yang membangun cerita novel tersebut adalah terdapat pada tema, latar, alur, tokoh dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik menurut Nurgiyantoro (2015: 30) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari luar. Meskipun unsur-unsur itu berada di luar teks sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun atau sistem organisme teks tersebut. Secara lebih khusus, ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi itu tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.

Berbeda dengan Nurgiyantoro, Mido (2016: 76) mengemukakan bahwa unsur

ekstrinsik itu merupakan latar belakang dan sumber informasi bagi karya sastra

yang tidak dapat diabaikan karena mempunyai nilai, arti, dan pengaruhnya. Biarpun

(16)

penting kehadirannya, tetapi unsur ekstrinsik itu tidak menjadi dasar eksistensi kehadiran sebuah karya sastra.

Menurut Sehandi (2016: 80) unsur ekstrinsik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur ekstrinsik memberi warna dan rasa khusus terhadap karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhi karya sastra dapat juga dijadikan sebagai potret realitas objektif masyarakat dan lingkungannya pada saat karya sastra tersebut diciptakan.

Berpijak pada pendapat ahli-ahli sastra yang disebutkan di atas dapat disintesiskan bahwa unsur ekstrinsik pada novel adalah segala sesuatu yang membentuk cerita novel yang berasal dari luar karya itu sendiri, namun keberadaannya sangat penting dan harus diikutkan dalam pemaknaan sebuah cerita.

Segala sesuatu yang berasal dari luar yang mempengaruhi cerita itu di antaranya meliputi pengarang, latar budaya, kondisi masyarakat, nilai-nilai kehidupan, dan sebagainya.

B. Kerangka Berpikir

Penindasan kemanusiaan sejak zaman dahulu sudah ada. Di belahan dunia mana pun banyak cerita tentang penindasan dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Demikan juga di zaman sekarang penindasan demi penindasan selalu menyertai di setiap kehidupan manusia. Penindasan zaman dahulu dengan zaman sekarang tentu bentuknya berbeda. Pada zaman dahulu penindasan jelas-jelas nyata dan mudah dideteksi, akan tetapi penindasan di zaman sekarang sulit dideteksi. Apapun bentuknya penindasan selalu menyengsarakan korbannya dan mengingkari nilai- nilai kemanusian yang seharusnya dijunjung tinggi.

Senada dengan penindasan, keadilan juga banyak mendapat pelanggaran

sehingga perlu diperhatikan dalam kehidupan ini. Penguasa yang tidak adil

sebenarnya telah menciptakan penindasan baru, yaitu penindasan kepada rakyatnya

sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak dari sikap penguasa

yang tidak adil ini bagi penguasa sendiri merasa sangat diuntungkan akan tetapi di

sisi masyarat merasa sangat dirugikan. Pelaku penindasan sebenarnya tidak hanya

para penguasa saja, di kehidupan sehari-hari di masyarakat banyak kita jumpai

perlakuan penindasan. Keuntungan yang berasal dari penindasan terhadap orang

(17)

lain tidak dapat dikatakan sebagai suatu kebenarannya. Jika ada yang mempercayai bahwa penindasan itu dibenarkan maka hal ini menunjukkan bahwa pemahaman nilai-nilai keadilan di masyarakat tersebut kurang baik. Oleh sebab itu, sangat penting memahamkan nilai-nilai keadilan kepada masyarakat.

Nilai-nilai humanisme dan keadilan perlu dipahamkan kepada masyarakat sejak dini sebab hal ini penting untuk kehidupan masyarakat itu sendiri di masa depan. Nilai-nilai tersebut banyak diangkat dalam karya sastra, puisi, drama, ataupun novel. Novel diciptakan oleh pengarangnya melalui proses yang sangat mendalam sehingga di dalamnya terkandung ajaran-ajaran yang berupa pengalaman hidup yang bermanfaat bagi pembacanya. Dengan membaca novel orang dapat tersentuh hatinya dan mereka terkena dampak dari isi yang terkandung dalam novel. Di balik isi cerita dari sebuah novel yang dibaca di dalamnya terkandung bermacam-macam nilai kehidupan yang bermanfaat, salah satu nilai yang terkandung dalam novel adalah nilai humanisme. Pembaca akan memiliki kepekaan kepada sesama manusia sebagai akibat dari buah hasil membaca novel.

Banyak novel yang manengangkat nilai humanisme dan akhirnya menjadi best seller. Hal ini berarti, novel yang mengangkat nilai humanisme diterima oleh masyarakat dengan baik.

Nilai kehidupan yang kedua adalah nilai keadilan. Di dalam novel yang dibaca terkandung nilai keadilan yang dapat ditiru oleh pembacanya agar menjadi lebih berkualitas hidupnya. Peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh dalam novel berupa potret kehidupan di suatu masyarakat yang sebenarnya ada, namun dikembangkan oleh pengarangnya agar lebih dahsyat kandungan maknanya.

Peristiwa pelanggaran nilai keadilan akibat ulah dari salah satu tokoh novel atau sebaliknya adanya tokoh novel yang menjadi menderita dan sengsara dalam hidupnya akibat ulah tokoh lainnya, sesungguhnya hal ini mengajarkan kepada pembaca betapa pentingnya menjaga nilai keadilan itu sendiri di masyarakat.

Dengan mempelajari nilai-nilai humanisme dan keadilan masyarakat akan

memiliki sikap humanis dan berlaku adil. Apabila rakyat selalu menjunjung tinggi

nilai-nilai humanisme dan keadilan, rakyat akan saling menghormati, memelihara

kerukunan, suka menolong sesama, dan meninggalkan penindasan. Di dunia

pendidikan, batasan-batasan nilai-nilai humanisme dan keadilan perlu diajarkan

(18)

kepada peserta didik. Peserta didik harus diajari saling menghormati dan tidak suka menindas. Hal ini berarti sangat perlu diadakan penelitian tentang humanisme dan keadilan dan pemanfaatannya sebagai bahan ajar menganalisis novel. Novel yang mengandung nilai humanisme dan keadilan di antaranya adalah novel karya Andrea Hirata yang berjudul Orang-Orang Biasa dan novel Selena karya Tere Liye. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dikaji nilai humanisme dan keadilan dalam novel Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata dan novel Selena karya Tere Liye serta relevansinya sebagai bahan ajar menganalisis novel.

Berikut ini adalah skema atau bagan kerangka berpikir penelitian ini.

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir

NOVEL

BAHAN AJAR ANALISIS NOVEL

Nilai Keadilan Nilai Humanisme

Kebebasan Kerjasama Rela Berkorban

Peduli

Keadilan Distributif

Keadilan Interaktif Keadilan Prosedural

Tolong-Menolong Solidaritas

Gambar

Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir   NOVEL

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7/Permen – KP/2019 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Penerbitan Sertifikat Cara Penanganan Ikan yang Baik.. Pengendalian Mutu adalah

Untuk menonjolkan pengalaman nyata yang dirasakan responden saat menggunakan aplikasi, maka proses evaluasi dilakukan pada konteks penggunaan yang sesungguhnya,

Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP

(2) Pengelolaan database kependudukan oleh satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan kependudukan dan pencatatan sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40

Teknik mikroabrasi email digunakan untuk mengatasi adanya pewarnaan gigi akibat fluorosis sebagai terapi awal yang diikuti oleh bleaching pada kasus pewarnaan yang berat

Setelah saya diberi tahu itu saya tanya juga sama dokter, kan saya juga gak tahu penyakit kanker serviks itu apa (tertawa kecil) saya juga bertanya sama

“Novice Speakers” shall have the same meaning as described in Article 4 of this Rule, subject to the provision of this Rule; “Novice Speaker Awards” means individual awards

Berdasarkan pendapat para ahli, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia adalah suatu aktifitas yang dilakukan siswa dalam ilmu kebahasaan mulai