4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Hama Kumbang Tanduk (O. rhinoceros) Klasifikasi hama O.rhinoceros ini adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Coleopteran Family : Scarabaeidae Genus : Oryctes
Species : Oryctes rhinoceros Sumber : Susanto dkk, 2012
2.2 Siklus Hidup Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)
Gambar 2.1 Siklus hidup kumbang tanduk (O.rhinoceros)
a. Telur
Telur kumbang tanduk berwarna putih kekuningan dengan diameter 3-4 mm, bentuk telur biasanya oval kemudian mulai membengkak sekitar satu minggu setelah peletakan, dan menetas pada umur 8-12 hari. Kumbang tanduk betina dalam satu siklus hidup mampu menghasilkan 30-70 butir. Kumbang tanduk bertelur pada bahan organik yang telah dalam proses pelapukan (Susanto dkk, 2012) dapat dilihat pada gambar 2.2.
5
Sumber : Setyadi, 2017 Gambar 2.2 Telur kumbang tanduk.
b. Larva
Larva bewarna putih, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut dan melengkung setengah lingkaran kepala keras dan dilengkapi dengan rahang yang kuat. Larva berkembang pada kayu lapuk, kompos dan hampir semua bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan dengan kelembapan yang cukup. Batang kelapa sawit yang membusuk adalah tempat yang baik untuk tempat hidup larva ini (Sulistyo, 2010) dapat dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Larva O.rhinoceros c. Pre-Pupa
Prapupa terlihat menyerupai larva, hanya saja lebih kecil dari larva instar terakhir dan menjadi berkerut serta aktif bergerak ketika di ganggu. Lama stadia Prepupa berlansung selama 8-13 hari. Pupa berwarna coklat kekuningan, berukuran sampai 50 mm dengan waktu 17-28 hari. Pupa kemudian berubah menjadi imago (Susanto dkk, 2012) dapat dilihat pada gambar 2.4.
6
Sumber : Silaban, 2016 Gambar 2.4. Pupa O.rhinoceros.
d. Imago
Kumbang berukuran sekitar 4cm dan bewarna cokelat tua. Dibagian ujung kepala kumbang jantan terdapat sebuah tanduk kecil. Sementara itu, diujung perut jenis kumbang betina terdapat sekumpulan bulu kasar (Lubis &
Widanarko, 2011). Umur betina lebih panjang dari umur jantan. Imago betina mempunyai lama hidup 274 hari, sedangkan imago jantan mempunyai lama hidup 192 hari. Dengan demikian, satu siklus hidup hama kumbang tanduk dari telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan (Susanto, dkk.2012) dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 kumbang tanduk
7
Total siklus hidup kumbang tanduk adalah sekitar 260 hari bisa dilihat pada tabel 2.1.
Fase Jangka Waktu (hari)
Telur 8 – 12
Instar I 10 – 21
Instar II 12 – 21
Instar III 60 – 165
Prapupa 8 – 13
Pupa 17 – 28
Kumbang Dewasa Betina 274 Kumbang Dewasa Jantan 192
Total 115 – 260
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006
2.4 Tempat Berkembang Biak Kumbang Tanduk (O. rhinoceros)
Menurut (Susanto dkk, 2012), tempat berkembang biak kumbang tanduk (O.
rhinoceros) yaitu :
1. Rumpukan batang kelapa sawit sisa dari hasil replanting.
2. Rumpukan batang yang telah di cacah.
3. Tanaman yang masih berdiri pada system underplanting, sasaran untuk peletakan telur.
4. Larva berkembang sangat baik pada tandan kosong kelapa sawit yang diaplikasikan pada gawangan maupun pada lubang tanaman besar.
2.5 Gejala Serangan Kumbang Tanduk (O, rhinoceros)
Stadia kumbang tanduk yang menyerang tanaman kelapa sawit adalah imago atau kumbang dewasa. Makanan kumbang dewasa baik jantan maupun betina adalah tajuk tanaman kedalam titik tumbuh. Selama hidupnya kumbang berpindah-pindah dari satu tanaman ke tanaman lain setiap 4-5 hari, sehingga seekor kumbang dapat merusak 6-7 pohon/bulan. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Namun
8
demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini juga dijumpai pada areal TM. Pada areal replanting kelapa sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25% (Hartanto, 2011).
Gejala serangan hama kumbang tanduk pada tanaman kelapa sawit antar lain (Sulistyo, 2010) :
1. Tunas tanaman di TBM menjadi kering karena gerekan dibagian pangkalnya dapat dilihat pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Tunas Kering
2. Pelepah muda yang patah akibat gerekan hama kumbang tanduk tersebut dapat dilihat pada gambar 2.7.
Gambar 2.7 Pelepah Patah
9
3. Adanya lubang bekas gerekan kumbang pada bagian pangkal pelepah muda tanaman dapat dilihat pada gambar 2.8.
Gambar 2.8 Lubang Bekas Gerekan
4. Pelepah daun terlihat terpotong-potong sehingga daunnya membentuk huruf V dapat dilihat pada gambar 2.9.
Gambar 2.9 Daun Berbentuk Huruf V
Menurut (Lubis, 2008) kategori kerusakan yang disebabkan oleh hama kumbang tanduk adalah sebagai berikut :
Ringan (R) = Tanaman digerek, pucuk belum rusak.
Sedang (S) = Tanaman digerek, pucuk rusah tetapi tumbuh lagi.
Berat (B) = Tanamn digerek, pucuk tidak tumbuh dan perlu disisip.
10 2.6 Teknik Pengendalian O. rhinoceros
Pengendalian O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit menggunakan system pengendalian hama terpadu (PHT). System PHT ini bertumpu pada kegiatan utama yaitu monitoring atau sensus kumbang tanduk atau intensitas kerusakan tanaman kelapa sawit. Hasil sensus ini selanjutnya digunakan sebagai dasar pengendalian kumbang tanduk. Ada dua cara yang digunakan untuk melakukan, monitoring kumbang tanduk yaitu berdasarkan populasi kumbang di lapangan dan berdasarkan serangan baru atau intensitas kerusakan baru. Karena keduanya memiliki kelemahan, sebaiknya dilakukan sekaligus pada saat sensus. Sensus berdasarkan popolasi kumbang lebih cepat dan mudah sekali dilaksanakan serta dapat mengetahui potensi ancaman kumbang pada masa yang akan datang. Sedangkan kelemahannya adalah jumlah kumbang belum tentu berkolerasi dengan kerusakan kelapa sawit di lapangan. Sensus kerusakan berdasarkan gejala baru mempunyai kelebihan yaitu mengetahui kondisi faktual kerusakan tanaman kelapa sawit, sedangkan kelemahannya adalah tidak mengetahui stadia O. rhinoceros sehingga potensi ancaman ke depan tidak di ketahui (Susanto, 2012).
Adapun skor atau tingkat serangan yang diakibatkan oleh (O. rhinoceros) : 0 = Tidak ada gejala serangan baru
1 = Serangan baru atau kerusakan kurang dari 5% atau pelepah yang digerek hanya 1-2 pelepah.
2 = Serangan baru atau kerusakan 5-10% atau pelepah yang digerek 3-5 pelepah
3 = Serangan baru dengan kerusakan tanaman 10-25% atau sebagian besar pelepah tergerek dan membentuk seperti kipas
4 = Serangan baru dengan kerusakan 25-50% atau sebagian besar pelepah tergerek dan tanaman tampak kerdil
5 = Serangan berat dengan kerusakan lebih dari 50% atau pupus terpuntir atau pupus tidak ada atau tanaman mati.
Teknik pengendalian O. rhinoceros yang selama ini telah dilakukan meliputi pengutipan larva dan kumbang, mengurangi tempat perkembangbiakan hama,
11
aplikasi kimiawi, penggunaan jamur entomopatogen Metharizium anisoplae, aplikasi virus, serta pemanfaatan feromon agregat. Dalam skala yang luas hanya aplikasi virus yang belum di terapkan. Teknik pengendalian kumbang tanduk yang umum juga dilaksanakan adalah dengan pengelolaan tanaman penutup tanah (Leguminose cover crop), system pembakaran, system pencacahan batang, pengutipan kumbang dan larva, secara kimiawi dan hayati. Semua metode pengendalian diaplikasikan secara tunggal ataupun terpadu menunjukkan keterbatasan dalam skala yang besar. Metode yang dilaksanakan dalam pengendalian kumbang O. rhinoceros biasanya terdiri dari mekanis, biologis, dan kimiawi.
2.6.1 Pengendalian Secara Mekanis
Pengendalian secara mekanis dilakukan dengan mengutip (hand Picking) larva maupun kumbang. Larva dapat dikutip dengan membongkar tempat berkembangbiak atau sarang hama seperti janjang kosong kelapa sawit, rumpukan batang kelapa sawit, kotoran berbagai hewan ternak dan bahan organik lain. Sedangkan kumbang dapat diperoleh dengan mencucukkan kawat berpancing kedalam lobang gerekan kumbang tanduk (Sudono, 2016).
2.6.2 Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian kimiawi masih diperlukan dalam pengendalian hama O. rhinoceros karna tidak semua yang ditarik ethyl 4 methyloctanoate masuk
dalam ferotrap. Oleh karna itu penggunaan insektisisda untuk tanaman di sekeliling feromon wajib dilaksanakan. Dengan demikian, penggunaan insektisida tidak harus digunakan untuk semua tanaman kelapa sawit.
Kelebihan teknik secara kimiawi adalah teknik ini langsung mematikan kumbang apabila terjadi kontak antar kumbang dengan insektisisda.
Sedangkan kelemahannya adalah mahal dan relatif mencemari lingkungan, dan insektisida yang biasa digunakan adalah marshal karena ramah lingkungan dan selektif terhadap hama sasaran dan tidak membunuh musuh alami hama (Hartanto, 2018).
12 2.6.3 Pengendalian Secara Biologi
Larva kumbang tanduk pada mulsa tandan kosong kelapa sawit di areal tanaman menghasilkan (TM) dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur Metarrhizum anisopliae sebanyak 20 g/m2. M. anisopliae merupakan entomopatogenik yang efektif untuk larva O. rhinoceros. Dengan masa inkubasi kira-kira 1-2 minggu larva kumbang tanduk akan mengalami mumifikasi dengan konidium lama-kelamaan akan berwarna hijau kebiruan.
Larva yang terinfeksi ini selanjutnya dapat di aplikasikan kembali kelapangan (Sulistyo dan Bambang. 2010).
2.6.4 Perangkap Ethyl 4 methyloctanoate
Ethyl 4 methyloctanoate adalah senyawa kimia berbahan aktif Ethyl 4- Methyloctanoate yang dapat mengeluarkan aroma khusus sedemikian sehingga dapat mengundang imago/kumbang dewasa untuk terbang mendekati sumber aroma yang membangkitkan gairah sex kumbang tanduk.
Imago kumbang tanduk yang berada disekitar Ethyl 4 methyloctanoate akan segera berdatangan. Ethyl 4 methyloctanoate dilapangan dipasang pada ferotrap (Perangkap) dan diletakkan di lapangan pada tiang gantungan khusus dengan ketinggian berkisar 1,5 – 2,0 meter di atas permukaan tanah.
Pemasangan ferotrap utamanya dilakukan untuk upaya pencegahan terhadap serangan kumbang tanduk. Hanya saja yang sering terjadi di lapangan, ferotrap baru dipasang setelah tingkat serangan kumbang tanduk berada pada tingkatan yang sudah sangat tinggi. Setiap 1 ferotrap dapat menjangkau 2 s/d 5 hektar. Pada tingkat pencegahan, pemasangan ferotrap dilaksanakan ditepian luar batas kebun dengan kerapatan 1 ferotrap setiap 5 hektar lahan.
Sedangkan pada tingkat serangan yang tinggi, pemasangan ferotrap dilakukan dengan kerapatan 1 ferotrap setiap 2 hektar lahan. Ethyl 4 methyloctanoate dipasang disetiap ferotrap dan mampu bertahan selama 2 – 3 bulan (Hartanto, 2011).
13
2.7 Tanaman Nanas (Ananas comocus (L) Merr) 2.7.1 Klasifikasi Tanaman Nanas
Klasifikasi Tanaman Nanas menurut (Samadi, 2014) : Divisi : Spermatophyte (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Monocotiledonae
Ordo : Farinosae Family : Bromeliaceae Genus : Ananas
Spesies : Ananas comocus (L) Merr
Nanas (Ananas comocus (L) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari Amerika tropis, yakni Brazil, Argentina, dan Peru.
Kini tanaman itu telah tersebar luas ke seluruh dunia, terutama di daerah sekitar khatulistiwa, antara 30ᵒLU dan 30ᵒLS. Tanaman nanas adalah salah satu komoditas buah buahan yang bisa hidup pada berbagai musim (penerial).
Tanaman nanas dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi, sekitar 1.200 m dpl. Tanaman nanas bisa hidup dihampir semua jenis tanah, tetapi lebih cocok pada tanah yang subur, gembur, dan cukup kandungan bahan organiknya (Samadi, 2014).
Didalam buah nanas terdapat komponen-komponen volatil seperti ester, lakton, furanoid dan komponen sulfur, Aroma nanas yang berhasil dideteksi sangat ditentukan oleh komponen-komponen volatil. Metil 2-metil butanoat (sweet, fruity), etil 2-metil butanoat (sweet, fruity, apple-like), 2,5-dimetil-4- hidroksi-3(2H)-furanon (caramel, pineapple-like) dan komponen-komponen dari senyawa lakton (coconut-like) Komponen-komponen ini merupakan senyawa yang termasuk sebagi komponen aroma aktif, komponen volatil inilah yang memiliki peranan penting sebagai pemberi aroma pada nanas.
Buah nanas disini berperan sebagai pengganti aroma yang di keluarkan oleh Ethyl 4 methyloctanoate yang berfungsi untuk menarik kumbang jantan maupun betina (Silamba, 2011).
14
Tabel 2.2 Komposisi kimia buah nana segar dalam 100 gram bahan No Kandungan Kimia Jumlah
1 Kalori 5.200 kalori
2 Protein 0,4 gram
3 Lemak 0,2 gram
4 Karbohidrat 13,7 gram
5 Fosfor 11,0 gram
6 Kalsium 16,0 gram
7 Besi 0,3 gram
8 Vitamin A 130 IU 9 Vitamin B 0,08 mg 10 Vitamin C 24 mg
11 Air 85,3 gram
Sumber : Samadi, 2014
2.8 Insektisida Karbosulfan
Karbosulfan merupakan insektisida sistemik yang mengandung bahan aktif karbosulfan 5 % sangat efektif mengendalikan kumbang tanduk (O.
rhinoceros) dan telah mendapatkan rekomendasi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Penggunaan karbosulfan sangat dianjurkan untuk melaksanakan pencegahan sebelum kumbang tanduk menyerang. Insektisida berbahan aktif karbosulfan selain dapat meracuni kumbang tanduk yang memakan bagian pucuk yang telah diberi perlakuan juga dapat mencegah serangan disebabakan bahan aktif karbosulfan juga dapat mengeluarkan uap yang dapat mencegah terjadinya serangan. Keunggulan karbosulfan antar lain (Hartanto, 2018) :
Bahan aktif bersifat kontak dan sistemik, sehingga dapat lebih cepat mengendalikan kumbang tanduk.
Ramah lingkungan dan selektif terhadap hama sasaran dan tidak membunuh musuh alami hama.
15
Pada penelitian ini karbosulfan berguna untuk mematikan kumbang yang sudah masuk kedalam perangkap yang sebelumnya sudah diisi dengan nanas yang berguna sebagai pengganti aroma dari Ethyl 4 methyloctanoate dan kapas yang sudah direndam dengan larutan karbosulfan selama 1 malam.
Karbosulfan merupakan salah satu jenis pestisida yang banyak digunakan oleh petani. Hal ini dikarenakan karbosulfan memiliki potensi untuk membasmi berbagai macam hama serangga pada pertanian (Moekasan dkk, 2012).