1
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Film terbagi kedalam tiga kategori utama yakni film fitur, documenter, serta animasi (Danesi, 2010). Pertama adalah film fitur, merupakan karya fiksi dengan struktur berupa narasi yang menggambarkan scene yang ada (Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, 2010). Pembuatan film fitur terbagi dalam tiga tahap yakni praproduksi, produksi, dan post produksi. Kedua adalah film dokumenter, merupakan karya non-fiksi yang memberikan penggambaran kehidupan nyata seseorang (Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, 2010). Penggambaran akan perasaan, perilaku, dan pemikiran dalam perjalanan hidup seseorang. Ketiga adalah animasi, merupakan bentuk film yang menggunakan teknik untuk menciptakan gerakan seperti ilusi, baik itu gambaran dua dimensi atau tiga dimensi.
Diawali dengan penyususunan storyboard yakni sketsa yang merepresentasikan bagian penting dalam sebuah cerita. Kemudian menambahkan ilustrasi, dekorasi, serta karakter sebagai pengganti actor. Zaman modern seperti sekarang kebanyakan film animasi dibuat secara digital menggunakan komputer dengan berbagai macam efek.
Sama halnya dengan film pada umumnya animasi juga mempunyai penanda dan petanda yang bisa diartikan sebagai elemen semiotika. Dalam tataran penandanya, animasi merupakan kumpulan teks yang memuat citra fotografi dan mampu memberikan ilusi gerak dalam segi tindakan yang cukup relevan di dunia nyata (Danesi, 2010, p. 134). Sedangkan dalam tataran petanda, animasi merupakan cerminan kehidupan yang sifatnya metaforis (Danesi, 2010, p. 134). Semiotika sendiri memiliki arti sebagai studi akan makna dan tanda. Dalam kajian semiotic, semua bentuk film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi s semiotika.
Seperti dikemukakan oleh Van Zoest (1992) “bahwasannya film dibangun dengan kumpulan tanda.” Tanda yang ada menghadirkan sebuah sistem tanda yang bekerja sama satu dengan lainnya untuk mencapai dan mengkonstruksi efek yang diharapkan (Sudjiman & Zoest, 1992, p. 128).
2
Film animasi sebagai kategori film memiliki banyak Bahasa yang memuat maupun termuat dalam sebuah tanda. Tanda dalam film sendiri ada sebagai sebuah representasi objek (Endraswara, 2013, pp. 64-65), hal ini juga berlaku pada film animasi. Dimana objek yang dimunculkan merupakan representasi yang sesuai dengan realita. Film animasi menjadi salah satu jenis media komunikasi yang mampu menggabungkan berbagai macam gagasan, konsep, serta mampu memunculkan feedback dari penayangannya.
Film sebagai representasi budaya, selain mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu, juga mampu memberikan penggambaran terkait bagaimana nilai budaya diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi oleh khalayak. Dengan kata lain ada proses pertukaran kode kebudayaan dalam tindakan menonton film yang memfokuskan pada representasi budaya. Kompleksitas semiotika dalam film mampu mencerminkan budaya yang dimasukkan berdasar tanda-tanda kebudayaan yang dimasukkan. Bisa dibilang bahwa film mampu menjadi kreasi pengekal identitas budaya yang mampu merepresentasikan bentuk realitas budaya di masyarakat. Ada ikon, indeks, serta symbol yang ditampilkan dalam penggambaran akan sebuah budaya hal ini terrwakili baik dari gambar maupun perilaku verbal dan non verbal dalam film.
Sesuai dengan Judul dimana objek utama penelitian ini adalah Budaya Jepang dalam Film Animasi Jepang atau lazimnya disebut “Anime”. Film Animasi di Jepang sudah ada sejak awal abad 20 lebih tepatnya tahun 1906. Alasan lain kenapa Jepang disebut sebagai salah satu penyumbang film animasi terbanyak adalah karena adanya salah satu Anime dengan total episode mencapai 6000-an.
Melansir dari kumparan.com Anime dengan judul Sazae-San ini sudah mengudara sejak 1969 dan telah mendapat Guiness World Record sebagai tayangan animasi terlama pada 2019.
Budaya Jepang kebanyakan dipengaruhi oleh tradisi lain baik itu dari benua Asia, Eropa, maupun Amerika. Kroeber mengatakan bahwa tidak ada budaya yang tidak mengadopsi budaya lain (Kroeber, 1948, p. 425). Kemunculan Buddha, tulisan Jepang, Ilmu Medis, konsep jati diri “self-help”, makanan, bahkan konsep Bushido merupakan beberapa contoh nyata bahwasannya ada proses
3
cultural borrowing dan akulturasi yang dilakukan oleh Jepang. Hebatnya orang Jepang adalah mampu merekonstruksi dan merekayasa hal-hal tersebut sebagai budaya tradisional mereka dengan unsur dan suasana Jepang yang kental.
Anime Jepang bukan hanya tentang hiburan ataupun rekreasi semata namun juga mengandung pesan, informasi, tradisi dan makna moral tersembunyi tebalut dalam sketsa grafis yang menarik. Sebagai contoh ada Anime Fate, memberikan informasi akan tokoh-tokoh sejarah maupu mitologi. Anime Gundam mengajarkan permainan politik dan intrik didalamnya. Anime Bakuman mengajarkan akan seni budaya Jepang, Anime Hataraku Saibo (Cells at Work) mengajarkan cara kerja sel- sel dalam tubuh manusia serta bagaimana menjaga kesehatan. Dengan kata lain ada pesan yang ingin di sampaikan oleh creator/author kepada khalayak melalui medium film animasi.
Anime dan manga (komik Jepang) keduanya saling berkaitan erat, dimana adaptasi sebuah anime kebanyakan dari sebuah manga. Perkembangan anime sudah dimulai sejak sebelum Perang Dunia II, namun sempat mengalami kemandekan saat kekalahan Jepang dari Amerika. Keberadaan anime sendiri sejatinya adalah untuk nation branding, yakni memperkenalkan anime sebagai bentuk efektifitas diplomasi budaya Jepang dan membangun soft power mereka. Selain itu ada keinginan untuk lebih dikenal maupun merubah stigma dan citra buruk di tanah jajahannya dulu.
Mengutip dalam jurnal “Upaya Jepang dalam Mempopulerkan Program Cool Japan Sebagai Nation Branding” Joseph S. Nye Jr menyatakan bahwa “pasca berakhirnya Perang Dingin, sumber kekuatan sebuah Negara tidak hanya bergantung pada kekuatan militer melainkan bisa menggunakan media lain seperti budaya dan segala pendekatan yang berbentuk soft power.” (Mustaqim, 2018).
Memasuki tahun 1980-an sampai tahun 2000-an, pemerintah Jepang dengan gencarnya menyebarkan produk budaya mereka seperti anime dan manga ke pasar internasional. Pada masa itulah Anime mulai masuk ke Indonesia.
Pada tahun 2011, setelah Tsunami melanda Jepang, mereka dengan gagahnya menerapkan kebijakan “Cool Japan Initiative”. Melansir dari (www.cao.go.jp) kebijakan ini sendiri merupakan usaha Jepang dalam pengenalan
4
negara mereka ke dunia luar lewat budaya popular mereka (Strategy, Cool Japan, 2014). Uniknya dalam pengaplikasiannya, Jepang juga memasukkan budaya tradisional, mereka membalutnya dalam suasana modern animasi. Contoh budaya Jepang yang paling sering dilihat dalam anime adalah pakaian, baik itu tradisional seperti kimono maupun modern dimana memunculkan istilah baru yang disebut J- Fashion atau J-Style. Keberadaan anime juga memunculkan sub-budaya baru lainnya yang disebut Cosplay. Selain itu muncul pula sub budaya Otaku yang mengidentifikasikan sebagai seseorang dengan ketertarikan lebih pada anime maupun manga.
Sejak diberlakukannya kebijakan Cool Japan, ekspor budaya dilakukan Jepang secara besar-besaran. Memberikan pertukaran budaya secara tak langsung lewat tayangan anime, manga (komik Jepang), musik, maupun drama. Indonesia menjadi salah satu negara tujuan ekspor Jepang. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tayangan anime yang masuk ke platform streaming baik legal maupun ilegal. Setiap produk anime maupun manga yang diekspor memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut sebagian besar mengartikan bagaimana dan seperti apa kebudayaan di Negeri Matahari Terbit sendiri.
Dari hal ini menunjukkan jikalau ada tujuan dengan dimasukkannya nilai budaya ke dalam produk kebudayaan. Nilai kebudayaan tidak hanya menggambarkan masyarakatnya, tetapi juga memberikan gambaran bagaimana masyarakat Jepang dalam berkomunikasi maupun bertindak. Jepang sebagai negara yang cukup maju, seakan tak pernah melupakan budaya tradisional mereka. Dalam kebanyakan anime, budaya Jepang baik itu modern maupun tradisional mampu disajikan dengan secara gamblang maupun menggunakan tanda. Tanda ini bisa berupa ikon, indeks, serta symbol, yang merupakan salah satu dari beberapa klasifikasi C.S Pierce dalam memaknai tanda.
Salah satu anime yang mampu meberikan pengaruhnya dalam hal pengenalan budaya Jepang adalah anime Anohana. Memiliki judul lengkap: “The Flower We Saw That Day” (Jepang: あの日見た花の名前を僕達はまだ知らない。
(Ano Hi Mita Hana no Namae o Bokutachi wa Mada Shiranai)) dalam Bahasa Indonesia "Kita Masih Belum Tahu Nama Bunga yang Kita Lihat Hari Itu." Dan
5
biasa disebut sebagai Anohana. Anime ini hadir dengan 11 episode, rilis pada bulan April-Juni tahun 2011. AnoHana merupakan projek anime studio A-1, Fuji TV, dan Aniplex. Anime ini disutradarai oleh Tatsuyuki Nagai dan skenarionya ditulis oleh Mari Okada.
Seri Anime ini menggunakan kota Chichibu di Perfektur Saitama sebagai latarnya. Pengambilan setting ini didasarkan pada penulis skenario yang di masa mudanya tinggal di kota Chichibu. Mari Okada dalam bukunya yang berjudul
“From Truant to Anime Screenwriter: My Path to ‘Anohana’ and ‘The Anthem of the Heart’” menceritakan perjalanan hidupnya. Dibesarkan di kota Chichibu, sebuah kota pedesaan dekat pegunungan di mana anime remajanya yang pedih Anohana dan The Anthem of the Heart berlangsung.
Dalam anime ini konteks representasi Budaya dihadirkan melalui tanda seperti ikon, indeks, dan simbol. Seperti indeks penggunaan butsudan (altar Buddha), ikon kamidana (tempat Kami), indeks mengucapkan salam, maupun indeks mengucapkan “Itadakimasu”. Penggambaran budaya melalui tanda ini setidaknya mampu memberikan interpretasi akan keberadaan dan makna budaya Jepang. Secara garis besar tanda budaya Jepang mampu diterima dan dimengerti oleh penonton, sekalipun secara pemaknaan tidak sepenuhnya dipahami.
Anime Anohana mampu menunjukkan dan mempromosikan budaya Jepang dalam tataran sebuah tanda seperti scene maupun dialog. Anime ini mampu memberikan gambaran baik umum maupun khusus akan kebudayaan Jepang.
Kebudayaan itu dimunculkan dalam tanda yang merekonstruksi kehidupan sehari- hari orang Jepang, khususnya di kota pegunungan Chichibu, perfektur Saitama. Hal ini seperti kebiasaan untuk menghormati, kehidupan social bahkan prosesi dalam berdoa. Peran tanda seperti ikon, indeks dan symbol terlihat mendukung pemaknaan budaya Jepang dalam Anime ini. Namun dalam hal merepresentasikan budaya Jepang sebagaimana orang Jepang lakukan dan terima, penonton harus mencari makna itu sendiri.
Alasan utama kenapa peneliti memilih Anime Anohana selain karena kualitas cerita dan tanda budaya Jepang di kota Chichibu. Juga karena Anime ini mampu mempromosikan Kota Chichibu baik dari segi budaya dan pariwisata
6
sebagaimana dikutip dalam fun-japan.jp. Dalam penggambaran beberapa lokasi di anime sesuai dengan realita yang ada di Chichibu, seperti Stasiun Chichibu, Jembatan Chichibu dan kuil yang ada di Chichibu. Begitu pula dengan budayanya seperti festival Ryusei. Alasan lain kenapa Anohana dipilih karena sang penulis asli yakni Mari Okada menerjemahkan masa mudanya yang cukup bermasalah dan pengenalan kota Chichibu. Pada tahun 2013, Anohana dijadikan sebagai Ambassador dan ikon kota Chichibu oleh Komite Pariwisata Chichibu. Selain itu, Anohana juga mampu menempati posisi 10 besar “Serial Anime Populer” dan
“Serial Anime Tersedih” di tahun 2020 dan 2013 sebagaimana dikutip dari MyAnimeList.com. Anohana juga menerima penghargaan “Pemilihan Juri divisi Animasi” dalam “Festival Seni Media Jepang ke-15.” dan masuk kedalam daftar
“100 Anime Terbaik” oleh NHK TV.
Menggunakan semiotika Peirce dalam mengklasifikasikan objek ke dalam tiga bentuk yakni Icon (ikon), Index (indeks) dan Symbol (symbol). Selain melihat makna dari sebuah tanda, Peirce juga menemukan apa yang disebut Interpretant (penafsir). Peirce menggunakan Interpretant selain sebagai penafsir juga dijadikan sebagai unsur pengantar. Dalam teori segitiga makna Peirce, yaitu sign (tanda), object (objek), dan interpretant (penafsir), Interpretant terlibat sebagai proses dalam pembuatan makna. Penelitian ini memilih menggunakan Peirce karena dalam proses menginterpretasikan objek penelitian ini melibatkan analisis objek dari penafsir.
Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis akan meneliti tentang “Analisis Semiotika Representasi Budaya Jepang dalam Anime AnoHana (Studi Semiotika C.S Pierce dalam Anime AnoHana)”. Penulis menggunakan teori semiotika Charles S. Pierce dalam pencarian objek berupa ikon, symbol, dan indeks yang dimunculkan pada tanda budaya Jepang dalam scene maupun dialog anime Anohana. Kemudian akan dianalisis lebih lanjut menggunakan segitiga makna Pierce. Dalam penyajiannya penulis menggunakan paradigma konstruktivisme dan metode penelitian deskriptif kualitatif dalam mendeskrispsikan dan menginterpretasikan semiotika yang ada. Metode ini dipilih guna menghasilkan data deskriptif yang terbangun atas pandangan dan pemaknaan peneliti akan tanda budaya Jepang dalam film AnoHana.
7
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa makna tanda Budaya dalam ikon, indeks, dan symbol pada anime Anohana?
I.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui makna tanda budaya Jepang dalam ikon, indeks, simbol dalam Anime Anohana.
I.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sebuah referensi, wawasan sekaligus informasi terkait pemaknaan symbol dalam sebuah seri film khususnya anime bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi maupun jurusan lainnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan serta pengetahuan khususnya dalam memahami pesan budaya Jepang yang tersampaikan dalam bungkus film animasi.
I.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan objek berupa serial anime Anohana yang berjumlah 11 episode. Berfokus pada tanda budaya Jepang yang dimunculkan dalam anime Anohana. Peneliti akan menggunakan teori semiotika C.S Pierce dalam pembedaan tipe tanda, yakni ikon, indeks, dan symbol. Yang kemudian akan dianalisis menggunakan segitiga makna milik Pierce.