• Tidak ada hasil yang ditemukan

IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. ketika masih ada masyarakat yang tidak memahami pengaruh sanitasi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. ketika masih ada masyarakat yang tidak memahami pengaruh sanitasi yang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sanitasi jamban sehat menjadi masalah tersendiri yang sangat kompleks, ketika masih ada masyarakat yang tidak memahami pengaruh sanitasi yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya penanganan, pengendalian dan strategi sanitasi sehat pada masyarakat akan menjadi semakin kompleks dengan bertambahnya terus laju pertumbuhan penduduk yang ada. Termasuk perkembangan permukiman penduduk, kepemilikan lahan yang sempit pada perumahan perkampungan kota, keterbatasan area atau lahan untuk pembuatan fasilitas sanitasi jamban sehat, seperti: mandi-cuci- kakus, cubluk, septic-tank dan pada bagian bidang peresapan serta tidak tersedianya penganggaran dana yang cukup dari pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana sanitasi, hal-hal inilah yang menyebabkan kondisi sanitasi lingkungan semakin memburuk (Cronk, Slaymaker & Bartram, 2015). Penanganan dan pengendalian pada sanitasi sehat telah menjadi target utama untuk pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dalam era Revolusi Industri 4.0 pada saat ini. Proses penanganan dan pengendalian sanitasi sehat, pemerintah Indonesia telah melaksanakan kegiatan Sanitasi oleh Masyarakat pada tahun 2014 adanya Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM, Kemenkese RI, 2014), dimana penyebabnya adalah sebagian besar masyarakat masih melakukan buang air besar sembarangan

(2)

BABS tidak pada tempatnya (WHO, 2017). Jamban sehat atau pada umumnya disebut juga toilet merupakan salah satu sarana prasarana sanitasi penting, berwujud sebuah tempat yang lembab atau basah dan cenderung lebih sering basah, sehingga akan menjadi tempat perkembangan bakteri, kuman penyakit berbahaya terlebih lagi pada toilet yang kotor sebagai penyebab bakteri dan kuman cepat tumbuh, berkembang sangat tinggi (Mulogo, et. al., 2018).

Berdasarkan hasil pemeringkatan kebersihan pada tingkat Benua Asia mengenai jamban sehat umum, Indonesia menduduki peringkat ke-12 terburuk dari 18 negara di Asia. Tingginya jumlah dan mobilitas penduduk Indonesia, sangat mempengaruhi tingkat kebutuhan akan jamban sehat, itupun masih belum cukup memadai akan kebersihan sanitasi, sangat masih jauh dari kebutuhan yang diharapkan. Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan kondisi jamban sehat yang belum mencapai pemenuhan standar jamban sehat dan belum layak serta belum bersih, akan dengan mudah menimbulkan berbagai penyakit, erlebih lagi Indonesia memiliki iklim khusus yaitu tropis. Perbaikan dan standarisasi jamban sehat bertujuan selain untuk meningkatkan sarana prasarana sanitasi yang sehat dan layak, juga bertujuan untuk perubahan hidup yang lebih bersih dan sehat bagi masyarakat.

Kesehatan lingkungan sehat merupakan keadaan lingkungan masyarakat yang tidak beresiko atau berbahaya terhadap kesehatan dan keselamatan hidup manusia (Guo, et. al., 2017). Kesehatan warga atau penduduk sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial budaya, dan pada konsep aspek sosial budaya berupa, terdiri dari: 1). Pola sosial budaya yang dapat dipelajari, karena pola tersebut ditentukan

(3)

oleh sifat genetik dan biologis; 2). Budaya memiliki tata nilai yang akan melengkapi keseimbangan; 3). Pola budaya kemungkinan akan memuat adanya interaksi yang sangat diperlukan didalam kehidupan sosial diantara anggota masyarakat (Mara, et. al., 2010). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2015), rumah tangga di Indonesia yang mempunyai sanitasi layak pada 1999 hanya 32,56% (16,67 juta rumah tangga).

Kondisi ini memang terus mengalami perbaikan setelah pemerintah mencanangkan program peningkatan kesehatan sebagai bagian dari MDGs (Millenium Development Goals). Pada tahun 2015 saat MDGs berakhir, rumah tangga bersanitasi layak bisa mencapai 62,14% (40,76 juta rumah tangga).

Meskipun sudah dianggap berhasil, bila dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan lainnya, Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Keberadaan SDGs (Sustainable Development Goals) yang merupakan lanjutan dari MDGs yang harus dipenuhi pemerintah adalah menjamin ketersediaan dan pengelolaan air bersih dan sanitasi berkelanjutan (Howaldt dan Schwarz, 2017). Sesuai data Badan Pusat Statistik tahun 2018, persentase Rumah Tangga Yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak dan berkelanjutan (40% bawah) terjadi peningkatan 55.47%.

Peran semua lembaga pemerintahan, lembaga swasta dan peran penting masyarakat yang peduli akan kesehatan, pemerintah telah melakukan secara intensif dengan melaksanakan berbagai program sehingga saat ini menurut catatan Monitoring Evaluation (Monev) Sanitasi Total Berbasis Masyarakat/ STBM, (STBM- Kementerian Kesehatan RI, 2015). Rumah tangga yang telah mempunyai

(4)

sanitasi layak mengalami perubahan positif dan kemajuan yang signifikan sebesar 13.99% dari jumlah KK yang terdata secara aktual dengan jumlah: 71.848.785 KK dan data di BPS berjumlah 65.653.965 KK. hingga tahun 2019, rumah tangga yang layak sanitasi di Indonesia telah mencapai 76,13% (Monitoring dan Evaluasi STBM kemenkes RI, 2015). Program Indonesia Sehat merupakan salah satu ikhtiar pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut, dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2030 sesuai dengan target SDGs. Pada 2016 pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mencanangkan Program Gerakan Masyarakat Hidup Bersih dan Sehat (Germas). Gerakan nasional tersebut bertujuan memasyarakatkan budaya hidup sehat serta meninggalkan kebiasaan dan perilaku yang kurang sehat.

Welie dan Romijn (2018) mengatakan ada 17 (tujuh belas) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dapat dijelaskan sebagai referensi tambahan pedoman dalam menjalankan komitmen bersama antar negara di belahan dunia ini, yaitu: 1.) Tanpa Kemiskinan; 2.) Tanpa Kelaparan; 3.) Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan; 4.) Pendidikan yang berkualitas; 5.) Kesetaraan Gender; 6.) Air Bersih dan Sanitasi; 7.) Energi Bersih dan Terjangkau; 8.) Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan yang Layak; 9.) Industri, Inovasi, dan Infrastruktur; 10.) Energi Bersih dan Terjangkau; 11.) Mengurangi Kesenjangan; 12.) Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab; 13.) Aksi Terhadap Iklim; 14.) Kehidupan Bawah Laut; 15.) Kehidupan di Darat; 16.) Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian;

17.) Kemitraan untuk Mencapai Tujuan.

(5)

Ketujuh belas tujuan Komitmen bersama dibuat antar negara dalam SDGs tersebut, dalam rencana penilitian ini akan terlaksanakan tiga hal yang terpenting, tanpa kemiskinan, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, air bersih dan Sanitasi.

Sanitasi bagian yang tak terpisahkan sebagai kesadaran kesehatan masyarakat miskin dalam membangun jamban sehat, yang sangat erat dengan pengembangan perubahan perilaku masyarakat selalu hidup bersih dan sehat dengan tidak membuang air besar sembarangan atau Open Defecation (OD) merupakan target capaian Open Defecation Free (ODF). Tujuan utamanya antara lain: Pertama, komitmen tanpa kemiskinan, berharap tidak akan ada kemiskinan dalam bentuk apapun di seluruh penjuru dunia sebagai harapan besar. Kedua, komitmen menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur, dan yang Ketiga, komitmen menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.

Menurut Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Kesehatan Masyarakat (2017) ada indikator indikator keluarga sehat Indonesia, satu poin di dalamnya yang terpenting adalah keluarga yang memiliki/ memakai air bersih dan memakai jamban sehat yang akan memperkuat pencapaian keluarga sehat meliputi: 1.) Indikator Gizi, dan Kesehatan Ibu dan Anak; 2.) Indikator Pengendalian Penyakit Menular dan Tidak Menular; 3.) Indikator Perilaku Sehat; 4.) Indikator Rumah dan Lingkungan Sehat; 5.) Indikator Kesehatan Jiwa (Joshi dan Amadi, 2013).

Dengan masih adanya masyarakat yang masih BABS (Buang Air Besar Sembarangan), perlu adanya peran para pemangku pemerintahan dalam penanganan dengan kesungguhan salah satunya dengan pelaksanaan program

(6)

STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) pada Pilar Pertama ODF (Open Defecation Free) yang berarti tidak ada lagi yang Buang Air Besar di sembarang tempat (McGranahan, 2015).

Program STBM pada Pilar Pertama yaitu STOP BABS, artinya salah satu daerah berharap agar menjadi ODF merupakan program unggulan yang mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang berperilaku kurang baik, dengan melakukan buang air besar di sembarang tempat menjadi STOP BABS dan memastikan bahwa dalam setiap KK akan memiliki jamban sehat sendiri yang terdiri dari ada Closet, Septictank dan peresapan sebagai jamban sehat merupakan suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan limbah kotoran manusia/ tinja dan urine (Permenkes No. 3 Tahun 2014). Juga menurut SNI 03- 2398-2002 tentang tata cara perencanaantangki septictank dengan sistem resapan yang dikeluarkan Departemen Pengairan Umum didalamnya mengatur prosedur pembangunan septic tank, dan dipastikan bahwa setiap anggota keluarga harus Buang Air Besar pada jamban sehat tersebut.

Dinas Kesehatan propinsi Jawa Timur dalam layanan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar guna memperkecil resiko terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan sebagai akibat dari lingkungan yang kurang sehat, telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Beberapa indikator yang menggambarkan kondisi lingkungan yang berkualitas antara lain: rumah sehat, air bersih dan sarana sanitasi dasar, pembuangan air limbah rumah Tangga, tempat sampah dan kepemilikan jamban sehat serta sarana pengolahan limbah pelayanan kesehatan. (Dinkes Jatim, 2017).

(7)

Upaya peningkatan kondisi penyehatan lingkungan dan sanitasi dasar di Jawa Timur telah melaksanakan kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan. Pada tahun 2015, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur yang memiliki total 666 kecamatan, 777 kelurahan, dan 7.724 desa, dan berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), tiga provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Jawa Barat 46.668.214 penduduk, Jawa Timur 38.828.061 penduduk, dan Jawa Tengah 33.753.023 penduduk. sedangkan penambahan jumlah penduduk terkecil terjadi di Provinsi Jawa Timur disbanding provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, yaitu penambahan di Jawa Timur 1.370.366 penduduk.

Terkait dengan pilar 1 BABS hingga bulan Nopember 2016, akses sanitasi jamban di Provinsi Jawa Timur dengan program ―Stop BABS‖ sudah mencapai 82,88 %, berarti masih tersisa 17,22%, sedangkan desa yang sudah mencapai status Stop BABS mencapai 2005 desa (25,96 %) dari 7724 Desa (profil Dinas Kesehatan Tahun 2016 Propinsi Jawa Timur, 2016). Sedangkan untuk tahun 2019 terjadi perubahan perilaku pada masyarakat yang sudah tidak lagi BABS mencapai 90.45% (Monev STBM Kemenkes RI, 2019).

Menurut F. Rooslan Edy Santosa (2015), kepadatan penduduk Surabaya cukup tinggi dapat dilihat terjadi banyaknya perkampungan padat penduduk , antar rumah saling berhempitan satu dengan lainnya, jalan atau gang-gang sempit terbentuk pada ruas ruas jalan tertentu, yang berakibat sangat rentannya terbentuk kondisi lingkungan yang tidak sehat dengan terbentuklah sanitasi yang buruk.

Tidak adanya lahan yang cukup untuk membangun dan membuat sanitasi sehat

(8)

yang lebih layak pada lingkungan area tersebut. Pada umumnya yang terjadi di perkampungan padat penduduk tentang sanitasi adalah mereka rata rata telah memiliki kloset jongkok pada setiap rumah mereka ketika melakukan buang air besar. Hanya saja, saluran pipa dari closet (tinja) tersebut dialirkan ke sungai atau drainase atau melalui saluran parit kecil dan mereka berharap bisa mengalir ke sungai utama. Menurut Dinas Kesehatan kota Surabaya, 2015 melakukan tindakan yang demikian tersebut diatas, merupakan kategori ―buang air besar sembarangan―,yang menjadikan tantangan terbesar di kota Surabaya untuk mengubah perilaku warga yang masih BABS dengan terus memberikan edukasi berkelanjutan hingga terjadi perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dengan sanitasi layak bagi masyarakat.

Perubahan tangga sanitasi merupakan tangga sanitasi untuk membantu banyak masyarakat atau keluarga, untuk mengidentifikasi tingkatan sanitasi di komunitas tersebut dan sebagai proses penyadaran perubahan perilaku secara bertahap dalam melakukan perbaikan yang dapat dilakukan langkah demi langkah, (WHO, 2015). Data menunjukkan bahwa di Surabaya pada beberapa wilayah diketahui fasilitas jamban masih minim dan diketahui berdasarkan tabel dibawah sebagai bukti adanya masalah, dengan sejumlah rumah tangga yang masih belum memiliki ketersediaan jamban sehat layak di Surabaya sebagai berikut:

(9)

Tabel 1.1. Jumlah Warga/ Keluarga yang masih BABS Kota Surabaya Tahun 2019

No Kelurahan Jumlah Rumah yang BABS

1 Sidosermo 0

2 Kejawan putih tambak 1

3 Panjang Jiwo 3

4 Bongkaran 8

5 Mulyorejo 10

6 Rungkut kidul 10

7 Genteng 14

8 Tenggilis 14

9 Kedung baruk 15

10 Waru Gunung 17

11 Sawonggaling 21

12 Sumber Rejo 21

13 Alon Contong 22

14 Kedurus 22

15 Keputran 22

16 Kenjeran 25

17 Ngagel 25

18 Margorejo 27

19 Sukolilo Baru 28

20 Putat Gede 32

21 Kedung Cowek 34

22 Kendang Sari 35

23 Tambak Wedi 35

24 Kupang Krajan 38

25 Nyamplungan 44

26 Peneleh 49

27 Medokan ayu 52

28 Simomulyo Baru 53

29 Pacar Kembang 54

30 Gubeng 55

31 Bendul Merisi 56

32 Kedungdoro 61

33 Simolawang 64

34 Medokan Semampir 66

35 Rungkut Menanggal 67

36 Sidodadi 71

37 Krembangan Sel 72

38 Kemayoran 73

39 Rangkah 76

(10)

No Kelurahan Jumlah Rumah yang BABS

40 Petemon 78

41 Kapasan 79

42 Airlangga 80

43 Dr.Soetomo 80

44 Dukuh Sutorejo 80

45 Karangpilang 80

46 Gunung Anyar 81

47 Simomulyo 84

48 Kalirungkut 88

49 Tanah Kali K 88

50 Kertajaya 102

51 Wonorejo 109

52 Asemrowo 119

53 Jemurwonosari 123

54 Putat Jaya 130

55 Tambakrejo 130

56 Tembok Dukuh 139

57 Bulak Banteng 145

58 Dupak 148

59 Gunung Anyar Tambak 151

60 Perak Utara 166

61 Pacar Keling 170

62 Rungkut Tengah 177

63 Mojo 178

64 Jepara 182

65 Genting kalianak 187

66 Darmo 189

67 Jagir 190

68 Ngagelrejo 215

69 Keputih 240

70 Wonokromo 243

71 Krembangan Utara 252

72 Sawahan 259

73 Ujung 263

74 Wonokusumo 288

75 Wonorejo 295

76 Pegirian 321

77 Sukomanunggal 324

78 Kapasari 328

79 Kapasmadya Baru 381

80 Tambak Osowilangon 396

81 Perak Timur 403

82 Tambak sarioso 432

(11)

No Kelurahan Jumlah Rumah yang BABS

83 Simokerto 500

84 Morokrembangan 621

85 Ampel 632

86 Sidotopo 943

Total 12281

(Sumber: Dinas Kesehatan Surabaya, 2019)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jumlah jamban sehat seluruh Surabaya tidak seimbang dengan jumlah penduduk ideal Surabaya saat ini. Hal ini menunjukkan perlu adanya pendampingan bagi warga Surabaya untuk sadar membangun serta memiliki jamban sehat. Pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang telah dilaksanakan masyarakat didampingi oleh pemerintah selama ini, banyak dilakukan pada daerah pedesaan atau rural, dan terbukti masyarakat sadar melakukan perubahan dengan membuat fasilitas sanitasi atas biaya masyarakat sendiri. Demikian juga penyadaran bagi masyarakat wilayah urban pada perkampungan padat di kota seperti yang terjadi di kota Surabaya, untuk mau melakukan pengembangan perubahan perilaku untuk hidup bersih dan sehat. Wilayah urban perkampungan padat penduduk seperti di kota Surabaya ini, dalam beberapa tahun telah dilaksanakan bersama masyarakat yang bisa berhasil terpicu untuk mengubah perilaku sehat dengan cara ―pola pemicuan‖ melalui program STBM (Permenkes RI nomor 3 tahun 2014).

Ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi dasar di lingkungan perumahan/

permukiman seperti: sarana sanitasi air bersih, sanitasi jamban sehat yang layak, bagi masyarakat kota Surabaya, berdampak pada peningkatan penggunaan Sanitasi layak jamban sehat dengan capaian 89% pada tahun 2017 (Data STBM Kemenkes RI 2017). Sebagian besar pemukiman yang kumuh/ penduduk miskin

(12)

telah banyak yang melakukan perubahan perbaikan tangga sanitasi yang layak jamban sehat, seperti: adanya kloset, septictank (tangki septik), lubang peresapan merupakan kondisi sanitasi layak yang telah tertata sesuai dengan standart Permenkes RI nomor 3 tahun 2014. Sebagian warga yang tinggal di kota Surabaya sudah tidak lagi melakukan buang air besar di sembarang tempat, kesungai, ke saluran air mandi, ke saluran parit kecil disekitar rumah, telah menunjukkan upaya kemajuan dengan progress yang signifikan sebesar 98,03% pada tahun 2019.

(Monev STBM Kemenkes RI, 2019).

Menurut Dinkes Kota Surabaya, 2017, dinas kesehatan kota Surabaya telah melakukan berbagai strategi dan kebijakan yang diteruskan pada Pusat Kesehatan Masyarakat (Pusekesmas) kota Surabaya. Melakukan secara terus menerus dan berkesinambungan penyadaran dengan model pemicuan pada masyarakat, sebagai upaya menciptakan lingkungan bersih dan sehat, merupakan tanggung jawab bersama atas kesehatan masyarakat di Surabaya. Berbagai program tersebut telah dilaksanakan antara lain, seperti; Pemicuan, Monitoring, Evaluating dan penyuluhan/sosialisasi tentang STBM. Fakta yang ada menunjukkan bahwa perilaku masyarakat belum sepenuhnya memiliki kesadaran untuk sanitasi layak, diharapkan program STBM tersebut khususnya pada pilar pertama STOP BABS, terus disosialisasikan mulai dari lingkungan Kelurahan (RT dan RW), hingga Kecamatan yang masyarakatnya masih BABS. Dalam hal ini, memerlukan motivasi tersendiri untuk mencapai hal tersebut dengan meningkatkan status Open Defacation (OD) yang masih BABS, menjadi Open Defacation Free (ODF) yang

(13)

sudah memiliki jamban sehat, sehingga Kota Surabaya akan menjadi kota yang terbebas dari buang air besar sembarangan/ ODF.

Program STBM pilar pertama oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya, diharapkan dapat mengurangi jumlah masyarakat yang masih melakukan buang air besar di sembarang tempat dapat menurun dan masyarakat dengan sadar akan melaksanakan perbaikan dengan pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Hal hal yang menguatkan program STBM seperti: tentang pelaksanaan STBM; Komitmen ODF Kota Surabaya tahun 2017; Pelaksanaan ODF disesuaikan dengan Tupoksi masing- masing SKPD; Surat edaran walikota No 442.52/735/436.3.4/2017 perihal Pendataan warga yang belum memiliki Septik tank/MCK, Surat edaran Walikota No 443/310/436.6.3/2015 tanggal 21 Januari 2015 tentang peningkatan kesehatan masyarakat; dan dikuatkan oleh Perda Surabaya No.2 tahun 2014.

Faktor lingkungan yang kurang sehat dan kondisi kesehatan masyarakat yang sangat buruk, akan mempercepat timbulnya berbagai penyakit menular dan penyakit lainnya. Masyarakat yang sehat tidak dilihat dari tindakan penyembuhan penyakitnya saja, melainkan melakukan upaya berkesinambungan dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan warga secara nyata. Tentang konstruksi sosial atas fakta dan realitas kemiskinan pada warga miskin di tengah tengah kota dan pinggiran kota Surabaya yang belum berperilaku stop buang air besar sembarangan, meliputi wilayah wilayah khusus, seperti pada stren kali kota yang sangat tidak memperhatikan kesehatan lingkungannya. Demikian juga daerah padat penduduk yang saling berdekatan dengan terbentuknya parit dan selokan

(14)

aliran air buangan yang kecil, sebagai parit bentukkan antar tetangga yang mengarah ke sungai dimana pinggiran sungai berada sekitar 1 km hingga 2 km.

Rata-rata dari warga warga tersebut melakukan buang air besar sembarangan dengan menggunakan saluran pipa dari rumah yang diarahkan ke selokan kecil untuk menuju sungai yang ada disekitar rumahnya. (data WHO yang ada di Road Map STBM, 2013).

Menurut WHO, bahwa kematian mencapai 3.400.000 jiwa per tahun yang disebabkan oleh waterborne disease, dan kematian terbesar sebesar 1.400.000 jiwa per tahun merupakan penyebab dikarenakan diare. Penyebab kedua hal kematian tersebut, bermula pada sanitasi yang buruk dan kualitas air yang sangat buruk dsn tidak layak pula. Program STBM 2014, mengajak warga masyarakat untuk segera menyadari akan kondisi lingkungan sanitasi yang buruk, dijadikan sarana perubahan untuk menciptakan kesadaran masyarakat akan pentingnya sanitasi yang sehat.

Ada beberapa faktor untuk membuat masyarakat sadar akan kehidupan sehat dan berkeinginan untuk mengubah perilaku kebiasaan dengan lingkungan sanitasi buruk menjadi perubahan menjadi sanitasi sehat yaitu, pertama, adanya faktor ide atau gagasan atau pencetus awal untuk perubahan; kedua, adanya faktor motivator atau pendorong; dan ketiga, adanya faktor pendukung atas perubahan tersebut.

Ketiga faktor tersebut diharapkan pada masyarakat untuk memulai berpikir, memulai menyadari dan berani memulai untuk meninggalkan kebiasaan kebiasaan dengan sanitasi buruk atas BABS (Open Defecation) yang sangat berpengaruh pada kesehatan dirinya, keluarga dan lingkungannya. Tindakan yang dilakukan ini

(15)

biasanya menjadi akar penguat dan pendorong bagi masyarakat luas dalam kebiasaan melakukan pola hidup sehat (Green, dalam Ambar Wati, 2020).

Kekurangan atau ketidakmampuan berperilaku hidup sehat dapat juga disebabkan oleh kemiskinan yang melanda dalam kehidupannya, sehingga mengalami kesulitan dalam membuat jamban sehat dari sisi ketidakmampuan ekonominya. Kemiskinan diperkotaan khususnya kota Surabaya berbeda dengan kemiskinan yang terjadi di desa. Diperkotaan terjadi dikarenakan lingkungan yang tidak mendukung, berbeda pada kebiasaan hidupnya, berbeda pada mata pencahariannya, berbeda atas perilaku kesehariannya dan perilaku kehidupan dalam komunikasi antar tetangga, sehingga akan memunculkan kategori konsep miskin yang tidak sama, antara kemiskinan di perkotaan Surabaya pada umumnya. (F. Rooslan, 2016). Kondisi yang sangat padat inilah memungkinkan Surabaya memiliki daerah aliran sungai dan keberadaan sungai inilah yang dimungkinkan menjadi alasan masyarakat untuk melakukan kegiatan buang air besar sembarangan atau Open Defecation (OD) sehingga akan berdampak timbulnya suatu penyakit. Perilaku BABS atau OD sangat dipengaruhi karena adanya akses masyarakat terhadap jamban yang masih belum secara total memiliki akses Jamban sehat. Rekapitulasi data rumah BABS di Indonesia, Jawa Timur dan beberapa kota kota di Jawa Timur yang sudah mendapatkan Predikat 100% Open Defecation Free (ODF) dan kota Surabaya yang masih mendapatkan predikat sebagian keluarga masih melakukan Open Defecation (OD) sampai dengan Juni 2019 hingga sekarang. (Monev STBM,Kemenkes 2019)

(16)

Warga yang tinggal di wilayah Kelurahan Kedungdoro, pada umumnya telah memiliki kloset jongkok pada setiap rumah mereka ketika melakukan buang air besar (Crocker, et. al., 2017), hanya saja, saluran pipa dari closet (tinja) tersebut dialirkan ke sungai atau drainase atau melalui saluran parit kecil dan para warga berharap bisa mengalir ke sungai utama. Menurut Dinas Kesehatan Kota Surabaya melakukan tindakan pembuangan tinja manusia melalui kloset dan pipa yang dialirkan ke badan sungai, masih dikategorikan ―buang air besar sembarangan (BABS)‖. Ini yang menjadi tantangan terbesar Sanitasi buruk di kota besar. Mengubah kebiasaan berperilakunya warga yang masih BABS, tentunya memberikan sosialisasi berkelanjutan hingga tercapainya perubahan tangga sanitasi bagi keluarga (Kuncoro, 2004). Ngatimin (2003), mengatakan bahwa perubahan perilaku sanitasi sehat, merupakan tangga sanitasi untuk membantu banyak masyarakat, untuk mengidentifikasi tingkatan sanitasi di komunitas, dan sebagai proses penyadaran perubahan perilaku, dilakukan secara bertahap dalam melakukan perubahan tersebut dengan tidak serta merta berhasil.

Pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang telah dilaksanakan masyarakat dengan didampingi oleh pemerintah selama ini, yang diawali pemerintah pada daerah pedesaan atau rural. Di daerah pedesaan tersebut terbukti, bahwa masyarakat ada kemauan untuk mengubah perilakunya dengan membuat fasilitas sanitasi atas biaya masyarakat sendiri. Pola penyadaran perubahan perilaku sehat bagi masyarakat tersebut, masyarakat sadar bahwa hidup bersih dan sehat merupakan hal terpenting. Model pendekatan STBM di atas, juga diterapkan pada wilayah urban atau wilayah perkotaan, contohnya di Kota

(17)

Surabaya. Kota Surabaya melalui Dinas Kesehatan Kota Surabaya telah dilaksanakan beberapa tahun terakhir ini. Pemerintah bersama masyarakat Kota Surabaya telah berhasil memberikan sosialisasi dan masyarakat terpicu dan sadar akan pentingnya sarana sanitasi layak menuju perilaku hidup bersih dan sehat. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan panduan pemicuan dan tata cara ―model pemicuan‖ pada program STBM (Permenkes RI nomor 3 tahun 2014).

Ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi dasar di lingkungan perumahan/

permukiman seperti: sarana sanitasi air bersih, sanitasi jamban sehat yang layak, bagi masyarakat kota Surabaya, adalah sangat penting dalam pembentukan perilaku hidup bersih dan sehat. Pada tahun 2017, penggunaan Sanitasi layak seperti jamban sehat telah mencapai 89%, sebagian besar pemukiman kumuh/

penduduk padat miskin telah banyak yang melakukan perubahan dan perbaikan tangga sanitasi yang layak untuk jamban sehat. Sesuai dengan Standarisasi Nasional SNI 2398, jamban layak dan aman merupakan sarana sanitasi yang terdiri dari: kloset, septic tank (tangki septik), lubang peresapan dengan kondisi sanitasi yang telah tertata. Hal ini sesuai dengan standart Permenkes RI nomor 3 tahun 2014 dan Badan Standardisasi Nasional SNI 2398:2017. Sebagian warga yang tinggal di Kota Surabaya sudah tidak lagi melakukan buang air besar di sembarang tempat seperti ke badan sungai, saluran air selokan, saluran parit kecil di sekitar rumah, telah menunjukkan upaya kemajuan baik atau progress yang sangat signifikan sebesar 98,03% pada tahun 2019 dibanding pada tahun 2017.

(Monev STBM Kemenkes RI 2019)

(18)

Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku kehidupan kesehatan yang dilakukan atas kemauan akan kesadaran bagi semua anggota keluarga dan warga masyarakat, sehingga mereka semua dapat membantu dirinya sendiri untuk sehat dan berperan aktif dan mau melakukan kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat (Pusat Promkes Depkes RI, 2009). Berbagai hal ide yang menimbulkan gagasan perubahan; ide pencipta motivator dan ide pendukung perubahan tersebut. Dengan adanya beberapa faktor tersebut diharapkan pada masyarakat untuk memulai berpikir, memulai menyadari dan berani memulai untuk meninggalkan kebiasaan kebiasaan dengan sanitasi buruk atas BABS (Open Defecation) yang sangat berpengaruh pada kesehatan dirinya, keluarga dan lingkungannya. Lingkungan yang memiliki sanitasi yang buruk tersebut, dapat menjadi tempat dan sumber berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan kehidupan manusia. Apabila kesehatannya terganggu, maka akan berpengaruh pada kesejahteraan yang juga akan berkurang. Kekurangan atau ketidakmampuan berperilaku hidup sehat dapat juga disebabkan oleh kemiskinan yang melekat selama ini, dalam menjalakan kehidupannya sehari-hari. Sehingga mengalami kesulitan dalam kepemilikan jamban dari sisi ketidakmampuan secara ekonominya (Lal dan Kavitha, 2015).

Berdasarkan informasi awal pada kondisi di lapangan di beberapa wilayah, telah diperoleh gambaran bahwa sebagian besar masyarakat memiliki perilaku yang berbeda-beda dalam menggunakan jamban warga. Dimana sesuai hasil pengamatan awal, bahwa perilaku warga yang tidak memliliki jamban dalam melakukan buang air besar, dilakukan dari rumah dan dialirkan selokan sekitar

(19)

rumah, terus kesungai. Hal yang mendasari masyarakat yang tidak mempunyai jamban keluarga, dikarenakan faktor ekonomi terbatas dan lahanpun terbatas, lahan hanya berada seluas rumahnya. Terdapat sebagian kecil warga yang memiliki kesadaran dengan membuang kotoran di jamban (Kemenkes RI, 2010).

Masih banyak warga yang belum berperilaku sehat, karena kurangnya kesadaran dalam membuang kotoran tinja yang seharusnya dengan menggunakan jamban keluarga (STBM, 2014). Penyediaan sarana pembuangan tinja dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena peran masyarakat/ warga sangat penting.

Peran serta masyarakat sangat erat kaitannya dengan pembentukan kebiasaan atau perilaku sehat, yang berkaitan dengan tingkat ekonominya, kebudayaan dan pendidikan warga (F. Rooslan, 2016). Pembuangan tinja manusia perlu mendapat perhatian khusus, karena salah satu bahan buangannya akan banyak mendatangkan masalah. Dalam bidang kesehatan, tinja/ kotoran manusia selain sangat berhaya bagi manusia, juga sebagai media bibit penyakit, seperti: diare, typhus, muntaber, disentri, cacingan dan gatal-gatal serta dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta estetika (Joshi &

Amadi, 2013).

Namun situasi yang lain, tampaknya kebiasaan berperilaku buang air besar masih merupakan suatu kebiasaan yang kurang menunjang upaya peningkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat (World Health Organization, 2015). Masih ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, bahwa masyarakat enggan mengadakan atau membuat dan menggunakan jamban milik warga sendiri, diantaranya: rendahnya akan tingkat pengetahuan pada masyarakat, belum

(20)

paham betapa pentingnya jamban keluarga. Sehingga mereka kurang cepat tanggap, memahami atau merespon untuk menerima informasi tentang manfaat bagi dirinya (Andersson, Dickin & Rosemarin, 2016). Di samping itu, akan adanya sikap dan tindakan perilaku yang mengarah pada kebiasaan hidup masyarakat yang selalu membuang kotoran tidak pada tempatnya, cenderung semaunya, membuang di sembarang tempat.

Hal ini menunjukkan penting adanya sosialisasi dan pengkajian lebih dalam tentang pentingnya penggunaan jamban sehat keluarga, seperti didalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen-PU) Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman. Dalam Permen-PU secara implisit tidak disebutkan adanya istilah jamban, namun ketika melihat di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534 Tahun 2001, tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Dalam keputusan menteri tersebut disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal yang berupa jamban, dan pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 852 Tahun 2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) disebutkan bahwa: ―Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang sangat efektif untuk memutuskan mata rantai alur penularan penyakit‖.

Setiap warga masyarakat dapat dipastikan memiliki daya, akan tetapi terkadang warga tidak menyadari adanya daya (power) yang ada pada dirinya masing masing yang masih belum diketahuinya secara eksplisit. Daya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut, harus terus digali, dan kemudian dikembangkan

(21)

sebagai sumber daya yang memang berada pada diri mereka. Jika asumsi ini berkembang menjadi sumber daya manusia yang mampu di implementasikan dan di ekspresikan, maka sumber daya warga yang ada merupakan upaya untuk membangun daya dengan melakukan secara terus menerus dalam memberikan dorongan semangat, cara hidup lebih bersih dan sehat, dan memotivasi. Untuk terus membangkitkan kesadaran pada mereka akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan kesadaran dalam perubahan berperilaku hidup bersih dan sehat. Sumber daya atau pemberdayaan, sesungguhnya terkandung unsur partisipasi tentang bagaimana masyarakat ikut terlibat, dalam proses pembangunan kesehatan lingkungan, dan masyarakat memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan yang dilakukannya. Secara umum, proses ini merupakan proses penting untuk melihat dalam mengalihfungsikan individu yang tadinya obyek menjadi subyek (McGranahan, 2015). Permasalahan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat pada sumber daya manusia (SDM) merupakan isu yang sangat penting dalam ikut mengisi pembangunan khusunya bidang sanitasi buruk dan berperilaku kurang sadar akan pentingnya sanitasi. Pada sisi yang lain pembangunan sumber daya manusia (SDM) sangat erat hubungannya dengan perubahan perilaku warga untuk selalu mengembangkan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Berdasarkan latar belakang permasalahan inilah penulis ingin meneliti mengenai ―Konstruksi Sosial Pengembangan Perubahan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Melalui Jamban Sehat Pada Warga di Kota Surabaya (Studi di Kelurahan Kedungdoro, Kecamatan Tegalsari Kota Surabaya)‖.

(22)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang ada, maka pertanyaan pada penelitian ini yang bisa diajukan antara lain sebagai berikut:

1) Bagaimana makna pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, melalui jamban sehat pada warga di Kelurahan Kedungdoro Kota Surabaya?

2) Bagaimana konstruksi sosial dalam penerapan pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melalui jamban aman pada warga di Kelurahan Kedungdoro Kota Surabaya?

3) Bagaimana manfaat pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melalui jamban aman pada warga di Kelurahan Kedungdoro Kota Surabaya?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan di atas, maka tujuan penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut:

1) Untuk mengungkap makna pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melalui jamban aman pada warga di Kelurahan Kedungdoro di Kota Surabaya.

2) Untuk mengungkap konstruksi sosial dalam penerapan pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melalui jamban aman pada warga Kelurahan Kedungdoro di Kota Surabaya.

(23)

3) Untuk mengungkap pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melalui jamban aman pada warga Kelurahan Kedungdoro di Kota Surabaya

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi keilmuan pengembangan sumber daya manusia. Peneliti sendiri bisa mengembangkan wawasan, pengetahuan dalam proses multi-literasi informasi konstruksi sosial perubahan sumber daya manusia melalui jamban sehat di Kota Surabaya. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan atas penerapan program- program kesehatan lingkungan, pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, terutama terkait sanitasi yang layak dan aman bagi masyarakat miskin dan masyarakat umum. Serta bermanfaat bagi Puskesmas, Kelurahan, Dinas Kesehatan, Pemerintahan daerah dan pemerintah pusat.

Memberikan masukan bagi para pemegang kendali di pemerintahan Kemenetrian Kesehatan RI (Stakeholder), bahwa salah satu permasalahan besar dan yang belum tuntas diselesaikan di bumi Indonesia tercinta saat ini adalah masalah sanitasi. Begitu menguatkan semangat peneliti, untuk bisa menuntaskan Indonesia terbebas dari Buang Air Besar Sembarangan. Capaian sementara hingga tahun 2020, adalah 79,01% kepala keluarga yang telah Stop BABS, mereka dengan telah sadar dalam perubahan perilaku positif dan berkembang. Pada sisi lain data pada tahun 2020 menunjukkan jumlah masyarakat yang masih buang air besar

(24)

sembarangan /BABS 8.676.000 Kepala Keluarga di Indonesia, (http://monev.stbm.kemenkes.go.id/ ), 2020.

1.4.2 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi terhadap pengembangan sumber daya manusia atas konstruksi sosial melalui program jamban sehat yang berfokus pada multiliterasi informasi, dan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat bagi keluarga miskin di Kota Surabaya. Penelitian ini dapat mengkonstruksi penemuan berbagai hal yang berkaitan dengan masalah pengembangan sumber daya manusia, khususnya berkaitan dengan masalah perilaku hidup bersih. Merekonstruksi sistem pembelajaran pengembangan sumber daya manusia, agar menghasilkan perubahan perilaku yang signifikan dan dekonstruksi terkait masalah konstruksi sosial yang dijelaskan melalui teori Peter L. Berger & Thomas Luckman, dengan mengkontruksi dari hasil temuan yang didapat selama penelitian. Penambahan pembahasan penelitian yang dikaitkan dengan eksternalisasi, menjangkau untuk pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat melalui jamban sehat dan aman.

Selain itu, secara akademik hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi konstruksi perubahan perilaku hidup bersih dan sehat khususnya bagi sumber daya manusia (SDM) pada generasi saat ini dan mendatang. Harapan yang lain adalai dari hasil peneletian ini juga dapa menjadi referensi bagi mereka yang bermaksud melakukan kajian lebih lanjut dengan fokus pada bidang lain yang terkait dengan konstruksi perubahan perilaku dalam

(25)

peningkatan pelayanan dalam pengembangan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat pada warga Kota besar kedua di Surabaya.

Gambar

Tabel  1.1.  Jumlah  Warga/  Keluarga  yang  masih  BABS  Kota  Surabaya  Tahun  2019

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu literatur terkait tindak tutur meminta maaf yang menjadi referensi dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ridwan (2014) yang mengkaji

Konjungsi dalam bahasa Jepang dibagi menjadi tujuh jenis, yaitu heiretsu no setsuzokushi, gyakusetsu no setsuzokushi, junsetsu no setsuzokushi, tenka no

Oleh karena itu, maka pemahaman mengenai konstruksi hegemoni pemerintah Orde Baruterhadap tokoh-tokoh PKI dalam novel Pulang menjadi hal yang sangat penting dalam

Film yang mengandung nilai-nilai moral adalah film yang memiliki cerita yang menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, mengandung ajaran tentang tingkah laku yang baik, itu akan

Clayton, dkk (2016) dalam penelitiannya masih banyak menemukan pekerja bangunan sebanyak 71% yang rentan dalam ketahanan pangan. Selain itu, juga disebutkan apabila

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengetahui faktor- faktor apa yang berpengaruh terbesar terhadap loyalitas konsumen Kinesio Kinematics Tex

Itulah pilihannya, itulah keasyikannya, dan itulah cerita yang nanti akan disampaikan para QRPer dalam buku diari-nya. Jangan frustasi ya menanti station mereka

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi dan atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa Fakultas Hukum khususnya bagi mahasiswa