• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN ADAT DAN BUDAYA MANDAILING KAJIAN: TRADISI LISAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERUBAHAN ADAT DAN BUDAYA MANDAILING KAJIAN: TRADISI LISAN SKRIPSI"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN ADAT DAN BUDAYA MANDAILING KAJIAN: TRADISI LISAN

SKRIPSI

DISUSUN OLEH : HAMDANI HARAHAP

NIM: 120703022

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

(2)

ABSTRAK

Hamdani Harahap, 2016, Judul Skripsi: Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan Mandailing Pada Masyarakat Kota Padang Sidempuan Kecamatan Batang Angkola yang terdiri dari V BAB

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan di Mandailing Kecamatan Batang Angkola. Masalah dalam penelitian ini akan mengungkapkan hal-hal apa saja yang mengalami perubahan dalam perkawainan Mandailing sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa- apa yang telah mengalami perubahan didalam perkawinan Mandailing di Kecamatan Batang Angkola.

Metode yang dipergunakan penulis dalam menganalisis masalah ini ialah metode kualitatif dengan teknik lapangan. Penelitian ini menggunakan teori tradisi lisan.

Adapun tradisi didalam perkawinan di Mandailing Keacamatan Batang Angkola haruslah tetap terjaga sehingga kemurnian dalam tatacara perkawinan Mandailing yang telah diwariskan untuk generasi penerus harus tetap terjaga walaupun perlahan-lahan telah mengalami perubahanakibat perkembangan zaman.

Kata Kunci: Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan Mandailing Kajian Tradisi Lisan

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulismengucapkanpuji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Adapun judul skripsi ini yaitu “Perubahan Adat dan Budaya Mandailing Kajian Tradisi Lisan”.

Terwujudnya skripsi ini bukanlah semata mata jerih payah penulis sendiri melainkan mendapat bantuan dari berbagai pihak. Maka, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen saya yang membimbing saya Bapak Drs. Yos Rizal MSP sebagai pembimbing I, serta Bapak Drs. Irwan M.Hum sebagai pembimbing II yang telah memberikan masukan dan penyelesaian proposal skripsi ini dengan baik.

Untuk memudahkan pemahaman dalam isi skripsi ini, penulis membaginya menjadi V bab. Bab I membahas tentang pendahuluan, yang terdiri darilatar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II membahas tentangkajian pustaka, yang terdiri dari kepustakaan yang relevan, dan landasan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Bab IV merupakan pembahasan yang ada pada rumusan masalah. Bab V merupakan kesimpulan dan saran.

(4)

Harapan saya semoga skripsi ini dapat membantu dan menambah pengetahuan beserta pengalaman bagi para membaca, sehingga saya dapat memperbaiki isi skripsi ini menjadi lebih baik untuk kedepannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini jauh dari kata sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, dan penulisannya. Oleh karenaitu,penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dimasa mendatang.

Medan, 13 Desember 2016 Penulis

Hamdani Harahap 120703022

(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama-tama dan yang paling utama adalah puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah membrikan saya nikmat kesehatan, kesempatan dan berkatnya yang tiada henti didalam kehidupan penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan Mandailing Kajian Tradisi Lisan pada masyarakat Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan, saran, dan bimbingan dari orang-orang disekitar penulis. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya kepada kedua orangtua ayahanda dan ibunda yang telah merawat dan mendidik mulai dari kecil sehingga dengan memotivasi yang diberikan penulis dapat menempuh pendidikan dijenjang perguruan tinggi.

Ayah dan bunda yang tidak pernah lupa membawakan nama penulis didalam doanya yang akan senantiasa mengiringi setiap perjalan kehidupan untuk meraih cita-cita yang penulis harapkan. Ayah dan bunda yang telah mencukupi dana yang dibutuhkan penulis untuk membiayai pendidikan mulai dari SD hingga menyelesaikan perkuliahan. Semoga penulis dapat memberikan yang terbaik dan membanggakan ayahanda dan ibunda. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1) Bapak Dr. Budi Agustono, MS, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Bapak pembantu Dekan I, pembantu Dekan II, dan pembantu Dekan III, serta seluruh staf maupun pegawai dijajaran Fakultas Ilmu Budaya.

(6)

2) Bapak Drs, Warisma Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memotivasi penulis baik dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.

3) Ibu Herlina Ginting, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan nasehat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

4) Bapak Drs. Yos Rizal, MSP selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu, memberikan saran, dan pengetahuan kepada penulis disetiap bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5) Bapak Irwan, M.Hum selaku dosen pembimbing II yang senantiasa meluangkan waktu serta memberikan perhatian untuk membimbing penulis dengan sabar dan memberikan arahan yang membangun pada saat bimbingan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

6) Penulis berterimakasih kepada seluruh dosen Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik, memberi nasehat dan memotivasi dalam menempuh perkuliahan.

7) Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Camat dan seluruh informan yang ada di Kecamatan Batang Angkola yang telah meluangkan waktu dan memberikan informasi yang penulis butuhkan untuk mengerjakan skripsi ini.

8) Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kak Fifi selaku pegawai Sastra Daerah yang telah membantu penulis dalam kelancaran proses

(7)

skripsi dan administrasi penulis dan melengkapi persyaratan yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

9) Untuk sahabat-sahabatku yang terbaik stambuk 2012, Tri Putra Rajagukguk, Sarmino Berutu, Olihi Solin, Subur Naibaho, Tri Hamdani Padang, Tumbur Naibaho, Jekli Silalahi, Bob Valentino, Paulus Napitupulu, Ria Sinaga, Sri Elsita, Rianti Simbolon, Fertika Sinaga, Octavia S. Nababan, Ramayanti Sitanggang, Dewi Simanungkalit, Roni Uli Sinaga dan teman seperjuangan organisasi saya yaitu HMI yang terus memberikan dukungan dan motivasi kepada saya serta teman-teman satu kontrakan Maulana Ahmad, Udin, Zulfikar Lubis, Rizki Pohan, Andi Wiranata serta teman-teman lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu terimakasih buat motivasi dan dukungan dalam penulisan skripsi ini.

10) Terimakasih juga buat abangda saya Obi Darlin Tanjung, Mustaqim Tanjung, Fadlan Sitorus, Surya Dharma, Fachrizal Fachri, Munawir Rao dan Yunus Lubis dan selau memberikan solusi dan membimbing saya dalam setiap kesulitan yang dilewati untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dari proses perkuliahan hingga skripsi ini dapat selesai tersusun. Pada kesempatan ini penulis akan selalu berdoa dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga selalu senantiasa diberikan kemudahan dalam kehidupannya.

Penulis

Hamdani Harahap NIM: 120703022

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ……….iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1Manfaat Praktis... 6

1.4.2 Manfaat Teoritis...7

1.5 Anggapan Dasar... 7

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 8

1.6.1 Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Selatan... 9

1.6.2 Keadaan Penduduk... 9

1.6.3 Budaya dan Adat Istiadat Masyarakat Mandailing... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 11

2.1.1Pengertian Tradisi lisan ... 13

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal ... 17

2.1.3 Pengertian Adat dan Budaya ...18

2.1.4 Pengertian Dalian Na Tolu ... 20

(10)

2.2 Teori Yang Digunakan ...20

2.2.1 Tradisi Lisan ...21

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Metode Dasar... 23

3.2 Lokasi Penelitian... 25

3.3 Sumber Penelitian ... 25

3.4 Instrumen Penelitian ... 26

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 26

3.5.1 Metode Observasi...26

3.5.2 Metode Wawancara Mendalam dan Terbuka... 27

3.5.3 Metode Kepustakaan... 28

3.6 Metode Analisis Data... 28

BAB IV PEMBAHASAN ... 30

4.1 Tata Cara Adat Istiadat Perkawinan Mandailing ... 30

4.1.1 Acara Rumah di Boru Na Ni Uli (Pabuat Boru) ... 30

4.1.2 Manulak Sere ... 34

4.1.3 Mangalehen Mangan Pamunan ... 40

4.1.4 Acara Pernikahan ... 49

4.1.5 Membawa Pengantin Ke Tepian Raya Bangunan ... 51

4.1.6 Mangalehen Gorar ( Menabalkan Gelar Adat) ... 53

4.2 Adat dan Budaya Mandailing Yang Mengalami Perubahan ... 55

4.2.1 Acara Rumah di Boru Na Ni Uli ( Pabuat Boru) ... 57

4.2.2 Manulak Sere ... 61

(11)

4.2.3 Acara Pernikahan ... 61

4.2.4 Pintu Gerbang Pada Acara Adat ... 64

4.2.5 Pakaian Pengantin dan Pakaian Raja ... 65

4.2.6 Uning-uningan dan Tor-tor ...67

4.3 Kearifan Lokal Pada Adat dan Budaya Mandailing ... 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 78

LAMPIRAN ... 80

Lampiran 1 Daftar Pertanyaan ... 80

Lampiran 2 Daftar Informan ... 81

Lampiran 3 Gambar Pernikahan Mandailing ... 82

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan, keberagaman dan perbedaan. Perbedaan dalam hal warna kulit, agama, bahasa, dan juga adat istiadat. Perbedaan tersebut dijadikan oleh para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa yang memperjuangkan kemerdekaan adalah seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku.

Sumatera Utaramerupakan salah satu provinsi yang terdapat di Indonesia yang memiliki beragam kebudayaan seperti budaya Batak, Melayu, India, Tionghoa dan lain lain. Jika dibahas mengenai provinsi Sumatera Utara, maka secara spontan yang ada didalam pikiran kita adalah “Batak”. Mengapa demikian?

Karena Batak merupakan suatu etnik yang mendominasi kebudayaan Sumatera Utara (SUMUT). Batak memiliki 5 sub etnik yaitu Batak Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, dan Angkola Mandailing.

Namun penulis akan fokus pada etnik Mandailing. Berdasarkan ke 5 sub etnik yang ada di Sumatera Utara, Mandailing merupakan salah satu etnik yang memiliki 99% mayoritas agama muslim diantara etnik lainnya yaitu salah satunya di kota Padang Sidempuan.

Adat istiadatdan budaya merupakan warisan leluhur yang masih ada di tengah-tengah masyarakat, karena adat istiadat dan budaya merupakan tatanan yang mengatur kehidupan di masyarakat secara turun temurun. Masyarakat yang beradat lebih tertib dalam menjalankan berbagai persoalan kehidupan

(13)

bermasyarakat. Begitu pula adat dan budaya yang masih dipakai masyarakat di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Mandailing.

Pada prosesi pelaksanaan upacara perkawinan adat di Mandailing, tokoh adat selalu menggunakan media bahasa yang disampaikan secara lisan. Tradisi lisan dilakukan pada upacara perkawinan adat, di samping persyaratan adat yang harus dipenuhi agar upacara adat tersebut dapat terselenggara. Tradisi lisan pada upacara adat merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh komunitas adat untuk menyampaikan maksud sesuai dengan bahasa adat dan aturan adat yang berlaku.

Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa, para penutur dan komunitas tradisi lisan semakin berkurang . Hal ini akibat proses pewarisan secara alamiah tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sementara perubahan kebudayaan berjalan dengan cepat. Dihadapkan pada kenyataan ini, satu-satunya yang penting dalam upaya menjaga tradisi lisan pada upacara adat sebagai pengetahuan pada masa kini dan yang akan datang adalah sistem pewarisan adat istiadat dan budaya Mandailing

.Dalam buku (Robert Sibarani : 2004:1) menjelaskan bahwa secara etimologi tradisi adalah suatu kata yang mengacuh pada adat atau kebiasaan yang turun menurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” dimana kedua hal tersebut adalah hasil karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat karena kedua kata tersebut dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya. Tradisi dan budaya adalah dua kata yang tidak tertulis dalam ilmu hukum tetapi kedua kata

(14)

tersebut dapat dijadikan menjadi cerminan untuk menata kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.

Tradisi budaya berusaha menggali, menjelaskan dan menginterpensi secara ilmiah warisan-warisan budaya pada masa lalu, menginterpensikannya dan implementasi pada pembentukan karakter generasi pada masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi masa mendatang. Tradisi budaya atau tradisi lisan termasuk kandungannya yang memiliki makna dan fungsi, nilai dan norma budaya.

Tradisi berasal dari kata traditio (diteruskan) masa lalu yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dimasa yang akan datang, biasanya dari suatu suku bangsa, budaya, agama, yang dianut komunitasnya. Dengan demikian tradisi dapat kita artikan sebagai informasi yang perlu diwariskan dari generasi ke gemerasi lainnya baik secara lisan maupun tulisan. Karena tanpa adanya tindakan seperti ini sebuah tardisi dapat rusak atau punah.

Lebih lanjut Sibarani (2014:47) menyebutkan bahwa tradisi lisan merupakan kegiatan tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun menurun dengan media lisan dari satu ke generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal).

Tradisi budaya atau tradisi lisan selalu mengalami perubahan akibat perkembangan zaman dan akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman.

Kehidupan sebuah tradisi pada hakikatnya berada pada proses perubahan karena sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami perubahan. Dalam tradisi

(15)

budaya yang mengalami perubahan terdapat inovasi akibat sebuah persinggungan sebuah tradisi dengan modernisasi. Kemampuan penyesuaian tradisi budaya dengan modernisasi atau konteks zaman merupakan kedinamisan sebuah tradisi.

Ada indikasi bahwa, pengetahuan masyarakat tentang tradisi lisan pada upacara perkawinan adat, belum dikembangkan melalui jalur pendidikan, sehingga tradisi lisan pada upacara perkawinan adat Mandailingkian terabaikan.

Padahal bila dikaji dan analisis, dalam tradisi lisan tersebut mengandung kearifan lokal dan mengandung nilai-nilai filosofis adat dan tradisi yang terpatri pada komunitas adat. Karena tidak dipelajari, adat istiadat yang mengandung nilai-nilai tradisi dan kaya makna itu menjadi terlupakan. Akibatnya generasi muda Mandailing pun berpaling kepada nilai-nilai Barat yang membuatnya terasing dan kehilangan kepribadian (Nasution, 2005: 483). Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Sinar (2010: 70) bahwa banyak bahasa daerah di Indonesia berada di ambang kritis, semakin sulit untuk “hidup”, bertahan, berfungsi, dan terwaris secara utuh. Banyak nilai yang tergusur dan punah. Belum lagi dengan ancaman hegemoni dan dominasi beberapa bahasa internasional, regional, dan nasional yang semakin mendesak bahasa-bahasa minoritas.Begitu pula pemikiran Nasution, “Tidak sedikit adat dan pola-pola tradisi masyarakat disebabkan karena hantaman palu pembangunan yang dilancarkan dengan semangat kapitalisme yang tanpa moral, ekologi, hutan dan tanah adat digusur demi pembangunan ( Adisaputra, 2005: 485).

Hal ini sesuai dengan pendapat Adisaputra (2010: 57) bahwa, kondisi ekologi yang berubah, maka sejumlah entitas akan mengalami perubahan,

(16)

maka sejumlah entitas pun akan mengalami perubahan, penyusutan atau bahkan hilang sama sekali. Lubis (2001) menyebutkan, pada masa ini sebagian besar orang Mandailing yang lahir tahun 1940-an tidak banyak mengenal sepenuhnya kebudayaan Mandailing dan generasi keturunan mereka sekarang ini lebih tidak mengenal lagi kebudayaan Mandailing dari kedua generasi tersebut ternyata pula tidakbanyak yang sungguh-sungguh memperdulikan kebudayaan Mandailing dan kondisinya yang terus menerus mengalami erosi. Perubahan yang terjadi pada tradisi upacara perkawinan adat akibat perkembangan zaman, sehingga tradisi masyarakat yang menjadi kebiasaan tersebut sedikit demi sedikit mulai disederhanakan.

Faktor penyebabnya adalah agama, finansial, dan efektifitas waktu, sehingga penyelenggaraan upacara perkawinan adat mulai disederhanakan. Begitu juga terjadinya penurunan jumlah pelaku adat dan komunitas adat, akibatnya remaja sebagai pewaris adat mulai menjauh dari adat, karena terjadi penyusutan yang dipakai dalam upacara adat perkawinan.

Faktor eksternal penyebab terjadinya pemahaman tradisi lisan pada upacara perkawinan adat di kotaPadang Sidempuan ada beberapa faktor, seperti: ketua adat (pelaku adat) belum maksimal mengajari adat, lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja, remaja tidak mengenal benda-benda adat yang dipakai pada upacara adat, remaja tidak pernah manortor sehingga tidak mengetahui nama-nama alat musik tradisional yang dipakai saat upacara perkawinan adat.

(17)

Adat baik sebagai hukum maupun sebagai adat dan budaya hanya dapat dipahami dengan menyelami kehidupan, menyelidiki asal mulanya dan mencari caranya orang menerangkan. (Hurgronje dalam Soekanto, 1958 : 55)

Adat sifatnya tidak tertulis. Adat dikenal oleh masyarakat dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Untuk mengetahui adat dan budaya yang berlaku di dalam suatu masyarakat, kita harus hidup berbaur dan menyatu dalam masyarakat itu sendiri.Berkaitan dengan kenyataan yang disebutkan di atas mengundang perlunya peneliti untuk melakukan penelitian revitalisasi adat dan budaya pada tradisi lisan dalam upacara perkawinan adat Mandailing pada komunitas remaja di Padang Sidempuan.

Nilai-nilai kearifan lokal tradisi lisan pada upacara perkawinan yaitu unsur nilai tradisi lisan yang terkandung dalam penelitian ini memiliki nilai kearifan gotong royong, nilai kerukunan, nilai keikhlasan bekerja (tanpa pamrih), nilai identitas dalihan na tolu sebagai penguat, dalam mencegah konflik, nilai kekerabatan pada upacara perkawinan adat pada nasihat, manat markahanggi, elek maranak boru, dan somba marmora.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah adalah bagian sangat penting bagi pembuatan proposal skripsi ini, karena dengan adanya perumusan masalah ini maka deskripsi masalah akan terarah sehingga hasilnya dapat dipahami dan di mengerti oleh pembaca.

Masalah adalah suatu bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan.

(18)

Adapun masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana tata cara istiadat perkawinan Mandailing?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan adat dan budaya perkawinan Mandailing?

3. Tradisi apa saja yang mengalami perubahan adat dan budaya perkawinan Mandailing?

4. Bagaimana kearifan lokal yang terdapat pada adat dan budaya Mandailing?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitianini adalah untuk :

1. Mengetahui bagaimana tata cara istiadat perkawinan Mandailing

2. Mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan adat dan budaya perkawinan Mandailing.

3. Mendeskripsikan tradisi apa saja yang berubah pada adat dan budaya perkawinan Mandailing.

4. Mendeskripsikan kearifan lokal yang terdapat pada adat dan budaya Mandailing.

(19)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian tradisi lisan perubahan adat dan budaya Mandailing ini akan mendeskripsikan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan adat dan budaya Mandailing yang dimana terdapat pergeseran dan kearifan lokal dari adat dan budaya Mandailing tersebut. Sedangkan manfaat teoritisnya adalah di bidang pendidikan seperti penjelasan dibawah ini.

1.4.1 Manfaat Praktis

1. Bermanfaat bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk tetap menjaga adat dan budaya Mandailing.

2. Bermanfaat untuk para pembaca sebagai bahan pembelajaran.

1.4.2 Manfaat Teoritis

1. Sebagai dokumentasi kearifan lokal tentang perubahan adat dan budaya Mandailing pada Departemen Sastra Daerah FIB USU

2. Sebagai referensi Sastra Daerah khususnya Sastra Batak terhadap perubahan adat dan budaya Mandailing.

3 Mendorong program pelestarian Sastra Daerah sebagai bagian dari kebudayaan Nasional.

4 Sebagai sumber informasi bagi mahasiswa yang hendak melakukan

(20)

1.5. Anggapan Dasar

Anggapan Dasar adalah suatu inti yang dijadikan dasar penelitian terutama dalam pola pikir untuk menyelesaikan suatu masalah pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Surakhmad (1994:107) bahwa dasar adalah suatu titik tolak pemikiran yang kebenarannya dapat diterima oleh penyelidik tersebut. Anggapan dasar membantu penulis dalam memperjelas dan menetapkan objek yang ada pada adat dan budaya perkawinan Mandailing.

Adapun angagapan dasar penulis dalam penelitian ini adalah tentang

“Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan Mandailing” pada masyarakat Mandailing di Kota Padang Sidempuan dan mengetahui fungsi dari pada nilai sosial budaya yang terjadi pada masa kini. Sepengetahuan penulis tentang Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan Mandailing belum ada yang membalas, mengkaji dan mengembangkan di Departemen Sastra Daerah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1.6.1 Letak Geografis Kabupaten Tapanuli Selatan

Secara geografis, daerah Tapanuli Selatan berada di belahan Barat Indonesia dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 0,02’ s/d 2,3’

derajat Lintang Utara dan 98,49’ s/d 100,22’ derajat Bujur Timur. Selain memiliki gunung-gunung yang indah, Tapanuli Selatan juga memiliki panorama yang indah akan danaunya seperti Danau Tao di Kecamatan Sosopan, Danau Siais di Kecamatan Siais dan danau Marsabut di Kecamatan Sipirok. Wilayah Tapanuli

(21)

Selatan juga dialiri banyak sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil.

Bahkan aliran sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik tenaga air, Industri maupun irigasi, di antaranya sungai Batang Pane, sungai Barumun dan lain-lain.

Secara topografi daerah Tapanuli Selatan terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit dan dataran tinggi bergunung dengan ketinggian antara 0 s/d 1500 meter di atas permukaan laut. Daerah ini dikelilingi oleh gunung Gongonan di Kecamatan Batang Angkola, gunung Sorik Marapi di Kecamatan Panyabungan, gunung Lubuk Raya di Kecamatan Padang Sidempuan dan gunung Sibual-buali di Kecamatan Sipirok. Luas wilayah Tapanuli Selatan adalah 18.006 Km2 atau 1.800.600 H.A. dari luas Propinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah bagian terluas di Sumatera Utara dari daerah bagian lainnya.

(22)

1.6.2 Keadaan Penduduk

Sesuai dengan keadaan alamnya mata pencaharian penduduknya adalah petani.

Penduduk Mandailing sebahagian besar petani sawah dan sebahagian besar petani perkebunan sesuai dengan keadaan alamnya yang bergunung - gunung. Tanaman perkebunan yang ditanam adalah karet, kopi, kulit manis, cengkeh dan lain-lain.

1.6.3 Budaya Adat Istiadat Masyarakat Mandailing

Kebudayaan Mandailing yang sifatnya ditandai oleh bahasa, tulisan dan adat istiadatnya dapat dilihat dalam pergaulan hidup sehari-hari dan didalam upacara perkawinan.

1. Bahasa Mandailing sampai sekarang masih dipakai didaerah Mandailing dan di daerah daerah lainnya di perantauan dalam pelaksanaan komunikasi

(23)

diantara sesama etnik Mandailing. Bahasa Mandailing memiliki aksen (irama) yang lemah lembut dan dibawakan dengan suara halus.

2. Tulisan Mandailing yang disebut huruf tulak tulak. Disebut dengan huruf tulak tulak karena cara penulisannya hampir semuanya dengan gerak dorong dan maju serta jarang sekali dengan gerak mundur. Jumlah huruf tulak tulak yang ada dalam masyarakat Mandailing yaitu sebanyak 21 huruf dasar.

3. Adat istiadat Mandailing baik dalam kehidupan sehari –hari maupun dalam upacara upacara adat tertentu masih tetap dipakai oleh orang Mandailing namun terdapat perubahan ketika didalam upacar perkawinan . 4. Sifat orang Mandailing adalah suka merantau, religius, kritis, mudah menyesuaikan diri, berani menegakkan kebenaran dan mempunyai rasa malu yang besar.

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan Yang Relevan

Kajian pustaka merupakan paparan atau konsep yang mendukung pemecahan masalah dalam suatu penelitian. Paparan atau konsep tersebut berasal dari pendapat para ahli, empiris (pengalaman peneliti), dokumentasi, dan nalar penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Penulisan proposal ini diambil dari beberapa buku pendukung yang relevan.

Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian proposal ini adalah buku Robert Sibaraniyang berjudul “Kearifan Lokal (hakikat, peran, dan metode tradisi lisan)”.

Buku ini menyatakan bahwa tradisi tidak sekedar penuturan, melainkan konsep pewarisan sebuah budaya dan bagian dari diri kita sebagai makhluk sosial. Tradisi lisan tidak hanya kelisanan yang membutuhkan tuturan seperti peribahasa, dongeng, legenda, mantra dan pantun, tetapi juga bagaimana kelisanan itu diwariskan secara epistimologi dan suatu tradisi lisan yang hidup bagi setiap etnik di Indonesia yang berisi nilai dan norma budaya dalam mengatasi dan menjawab persoalan sosial yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, tradisi lisan menjadi sumber kearifan lokal untuk mengatur tatanan kehidupan yang arif dan bijaksana. Kearifan lokal adalah suatu nilai budaya lokal yang dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat yang arif dan bijaksana.

(25)

Kearifan lokal juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa. Kita berharap karakter bangsa ini berasal dari kearifan lokal kita sendiri sebagai nilai dan warisan leluhur bangsa. Dimana kita membutuhkan karakter dalam kearifan lokal yang dapat membangun karakter bangsa untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

Selain di atas, penulis juga memakai buku yang berjudul “ Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman” (Pandapotan Nasution, 2005) menjelaskan tentang Pada zaman sebelum datangnya Islam ke Mandailing, adat dan budaya Mandailing telah dipengaruhi oleh kepercayaan aninisme yang menyembah roh- roh halus. Dengan masuknya agama Islam ke Mandailing tentu mempengaruhi adat istiadat etnik Mandailing seperti kepercayaan terhadap roh-roh halus yang dikenal pada zaman aninisme karena dianggap bertentangan dengan agama Islam.

Runtung Sitepu dalam buku “Adat Budaya Mandailing Tantangan Zaman”

Runtung Sitepu dalam makalahnya “Pergeseran Hukum Adat” di Sumatera Utara, menyebutkan :

Perubahan terhadap hukum adat dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, pertama dari sisi hukum adat itu sendiri dan yang kedua dari substansinya.

Apabila perubahan hukum adat itu dilihat dari sisi substansinya, maka faktor yang pertama-tama sekali mempengaruhi hukum adat Indonesia adalah masuknya pengaruh hindu ke Indonesia yang kemudian disusul oleh pengaruh hukum agama Kristen dan Islam serta hukum kolonial. ( 2003;5)

(26)

Disamping itu pengaruh agama, adat istiadat dan kebudayaan dapat berubah karena situasi dan kondisi. Perubahan dapat terjadi karena pengaruh kejadian- kejadian dan pengaruh kehidupan yang silih berganti. Pada situasi-situasi tertentu dalam kehidupan sehari-hari dan peristiwa-peristiwa yang terjadi adakalanya tanpa mengakibatkan terjadinya perubahan peraturan adat.

2.1.1 Pengertian Tradisi Lisan

Dalam buku (Robert Sibarani : 2004:1) menjelaskan bahwa secara etimologi tradisi adalah suatu kata yang mengacuh pada adat atau kebiasaan yang turun menurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” dimana kedua hal tersebut adalah hasil karya masyarakat yang dapat membawa pengaruh pada masyarakat karena kedua kata tersebut dapat dikatakan makna dari hukum tidak tertulis dan ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar adanya.Tradisi dan budaya adalah dua kata yang tidak tertulis dalam ilmu hukum tetapi kedua kata tersebut dapat dijadikan menjadi cerminan untuk menata kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.

Tradisi budaya berusaha menggali, menjelaskan dan menginterpensi secara ilmiah warisan-warisan budaya pada masa lalu, menginterpensikannya dan implementasi pada pembentukan karakter generasi pada masa kini demi mempersiapkan kehidupan yang damai dan sejahtera untuk generasi masa mendatang. Tradisi budaya atau tradisi lisan termasuk kandungannya yang memiliki makna dan fungsi, nilai dan norma budaya.

(27)

Tradisi berasal dari kata traditio (diteruskan) masa lalu yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dimasa yang akan datang, biasanya dari suatu suku bangsa, budaya, agama, yang dianut komunitasnya. Dengan demikian tradisi dapat kita artikan sebagai informasi yang perlu diwariskan dari generasi ke gemerasi lainnya baik secara lisan maupun tulisan. Karena tanpa adanya tindakan seperti ini sebuah tardisi dapat rusak atau punah.

Lebih lanjut Sibarani (2014:47) menyebutkan bahwa tradisi lisan merupakan kegiatan tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara turun menurun dengan media lisan dari satu ke generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lisan yang bukan lisan (non-verbal).

Tradisi budaya atau tradisi lisan selalu mengalami perubahan akibat perkembangan zaman dan akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman.

Kehidupan sebuah tradisi pada hakikatnya berada pada proses perubahan karena sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami perubahan. Dalam tradisi budaya yang mengalami perubahan terdapat inovasi akibat sebuah persinggungan sebuah tradisi dengan modernisasi. Kemampuan penyesuaian tradisi budaya dengan modernisasi atau konteks zaman merupakan kedinamisan sebuah tradisi.

Kebudayaan merupakan suatu hal yang bersifat dinamis. Sifat semacam itu ditandai dengan perubahan dan perkembangan sesuai dengan konteks dan gelombang zaman. Kedinamisan budaya itu dipengaruhi oleh kemampuan manusia sebagai penciptanya. Kebudayaan menjadi pola hidup bermasyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dari waktu ke waktu. Oleh karena

(28)

itu perubahan terhadap kebudayaan nenek moyang kita sekarang ini atau tidak lagi menjadi kebudayaan kita. Sebaliknya kebudayaan kita sekarang sebagai kebudayaan baru tidaklah sama dengan kebudayaan nenek moyang kita.

Perubahan dan kedinamisan yang menjadi hakikat tradisi budaya atau tradisi lisan perlu diperhatikan agar seorang peniliti dapat memperhatikan peranya dalam memandang dan membahas kebudayaan. Tradisi budaya pada zaman dahulu oleh nenek moyang pada umumnya diteruskan melalui kelisanan, sedangkan tradisi budaya sekarang ini didominasi oleh keberaksaraan sehingga segala praktis kebudayaan itu diteruskan dalam dua cara yakni dengan tradisi lisan dan tradisi tulis atau dengan kelisanan dan keberaksaraan.

Tradisi lisan diartikan sebagai segala wacana yang diucapkan atau sistem wacana yang bukan aksara. Hal tersebut muncul atas pendapat Sweeney (dalam Sibarani : 2014) yang menegaskan bahwa pengertian kelisanan harus dikaitkan dalam konteks interaksinya dengan tradisi lisan. Dalam kaitan ini perlu terlebih dahulu diutarakan kekaburan pemakaian istilah “oral” dan istilah “orality”. Istilah yang lama berkaitan dengan suara. Konsep oral dalam arti ini menjadi sangat luas, meliputi segala sesuatu yang diujarkan, seperti wacana kuliah. Dengan istilah lain oral disini tidak berkaitan dengan beraksara atau tidak beraksara penutur yang bersangkutan.

Kendala lain yang muncul dalam menggunakan sumber lisanadalah kreativitas penutur. Didalam setiap pertunjukan terkandung makna penciptaan sebuah karya atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam setiap penuturan atau setiap pertunjukan adalah sebuah kreasi atau komposisi (Pudentia. 2000:53).

(29)

Hal ini sejalan dengan pemikiran tentang analisis wacana kritis yang menganggap bahwa sebuah praktik wacana meliputi produksi (penciptaan) distribusi (penyampaian) dan konsumsi (penerimaan). Lord menegaskan tentang hakikat atau tuturan kelisanan sebagai proses penciptaan sebuah komposisi kelisanan,

“the moment of composition is the performance” (1964:3) dengan kata lain pertunjukan merupakan sebuah karya seni yang mengalami proses penciptaan tertentu yang menggabungkan penutur dengan khalayak pendukungnya dalam satu situasi dan pemahaman yang sama. Kreativitas dan pemaknaan yang dibuat oleh audiens atau masyarakatnya menciptakan dialektika tersendiri. Namun, masa sekarang tradisi lisan sudah mengalami perubahan karena pengaruh modernisasi dan konteks zaman yang kita lakukan sekarang. Seperti yang kita ketahui sebelumnya, tradisi lisan merupakan kegiatan masa lalu yang berkaitan dengan masa kini dan perlu diwariskan dengan mendatang untuk mempersiapkan generasi mendatang.

Menurut Pudenta (Sibarani 2014:11-15) bahwa tradisi memiliki cakupan hubungan dengan sastra, biografi dan jenis pengetahuan dan kesenian yang dituturkan dari mulut ke telinga. Tradisi lisan tidak juga hanya mencakup cerita rakyat, peribahasa, dongeng, legenda, teka-teki, hikayat, mite, dan puisi tetapi juga berkaitan dengan kognitif budaya masyarakat, hukum adat, dan pengobatan tradisional. Namun, tradisi masa sekarang tidak sama dengan tradisi sebelumnya karena adanya pengaruh dan perubahan zaman modern sesuai dengan konteks perkembangan zaman yang kita lihat saat ini. Akan tetapi nilai dan norma tradisi lisan dapat kita terapkan dalam masa kini. Nilai dan norma tradisi lisan dapat

(30)

mereka untuk menghadapi masa depan sebagai generasi penerus. Tradisi lisan merupakan kegiatan leluhur masa lalu yang berkaitan dengan masa lalu yang berkaitan dengan masa mendatang untuk mempersiapkan masa depan ke generasi yang akan mendatang.

Kesimpulannya adalah bahwa kearifan lokal merupakan bagian dari suatu tradisi lisan yang harus terus dilakukan oleh masyarakat sehingga memiliki suatu ciri didalam masyarakat itu sendiri yang dilakukan secara terus penerus.

2.1.2 Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) terdiri atas dua kata yakni kearifan (wisdom) dan lokal (local). Kata “kearifan” (wisdom) yang artinya “kebijaksanaan”

sedangkan kata lokal berarti “setempat”. Dengan demikian kearifan lokal dapat diartikan sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilakssanakan oleh anggota masyarakat (Sibarani: 2004).

Kearifan lokal diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan yang secara turun menurun diwarisi untuk menata kehidupan masyarakat dalam segala bidang kehidupannya.

Disinilah keterkaitan, keterhubungan dan keberlanjutan warisan budaya leluhur dalam sejarah peradaban masa lalunya dengan kehidupan generasi sekarang ini untuk mempersiapkan “rumah masa depan” generasi penerus bangsa.

(31)

Menurut Balitbangos Depsos RI (Sibarani 2004:115) kearifan lokal atau local wisdem merupakan kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang menggambarkan sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif untuk mengembangkan potensi dan sumber lokal ( material maupun non material) yang digunakan sebagai benteng untuk mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik dan positif. Dalam arti lain kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi lisan atau tradisi budaya yang diwariskan secara turun menurun dan dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat yang arif dan bijaksana.

Menurut Sibarani (2015 : 79) menyatakan kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai dan budayanya sendiri dengan menggunakan akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Kearifan lokal pada hakikatnya sudah sangat lama merupakan bagian dari kehidupan masyarakat dan hingga saat ini masih dimanfaatkan terutama oleh komunitas pedesaan.

Dalam kaitan ini Iwasaki (2011) berkata bahwa aktivitas yang tidak mewariskan masa depan yang dapat membahagiakan generasi selanjutnya tidak dapat disebut pembangunan. Dengan kata lain, Iwasaki hendak mengatakan bahwa pembangunan adalah aktivitas yang mewariskan masa depan yang dapat membahagiakan generasi selanjutnya.

2.1.3 Pengertian Adat dan Budaya Mandailing

Secara etimologi, menurut Jalaluddin Tunsam adat berasal dari bahasa Arab

(32)

perbuatan yang dilakukan berulang-ulang lalu menjadi kebiasaan yang tetap dan dihormati orang, maka kebiasaan itu menjadi adat. Adat merupakan kebiasaan- kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta di patuhi masyarakat pendukungnya.

Pandaapotan Nasution dalam buku bahwa adat memiliki beberapa pengertian yaitu

a. Adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat( Kamus besar bahasa indonesia, 1988:56).

b. Adat istiadat adalah perilaku budaya dan aturan-aturan yang telah berusaha diterapkan dalam lingkungan masyarakat.

c. Adat istiadat merupakan ciri khas suatu daerah yang melekat sejak dahulu kala dalam diri masyarakat yang melakukannya.

d. Adat istiadat adalah himpunan kaidah-kaidah sosial yang sejak lama ada dan telah menjadi kebiasaan (tradisi) dalam masyarakat.

Dengan demikian unsur-unsur terciptanya adat adalah adanya tingkah laku seseorang, dilakukan terus-menerus, adanya dimensi waktu, dan diikuti oleh masyarakat.Pengertian adat istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat istiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau bangsa dan negara memiliki adatistiadat sendiri-sendiri.

(33)

Menurut Sibarani (2014;95) Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan yang kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan, dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkukngannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan kesejahteran hidupnya.

Menurut Tylor Budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Menurut Trenholm dan Jensen Budaya adalah seperangkat nilai, norma, kepercayaan dan adat-istiadat, aturan dan kode, yang secara sosial mendefinisikan kelompok-kelompok orang, mengikat mereka satu sama lain dan memberi mereka kesadaran bersama.

Menurut Geert Hofstede Budaya adalah pemograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dengan kategori lainnya.

Geert menyebutkan bahwa nilai-nilai adalah inti suatu budaya, sedangkan simbol- simbol merupakan manifestasi budaya yang paling dangkal, sementara pahlawan- pahlawan dan ritual-ritual berada di antara lapisan luar dan tercakup dalam praktik-praktik. Unsur-unsur budaya ini terlihat oleh pengamat luar, tetapi maknanya tersembunyi dan makna persisnya terdapat dalam penafsiran orang dalam.

(34)

2.14 Pengertian Daliha Na Tolu

Dalihan Na Tolu filosofis atau wawasan sosial budaya yang menyangkut masyarakat dan budaya batak. Dalihan Na Tolu dibagi menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan satu kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Na Tolu dikenal dengan adanya tiga kedudukan fungsional sebagai suatu kontruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar bersama. Ketiga tunggu tersebut yaitu

1. Somba Marhula artinya hormat kepada keluarga pihak isteri 2. Elek Marboru artinya sikap membujuk mengayomi wanita

3. Manat Mardongan artinya bersikap hati-hati terhadap teman keluarga Dalihan Na Tolu yang artinya tungku yang berkaki tiga bukan berkaki empat atau lima. Tungku yang berkaki tiga sangat membutuhkan keseimbangan yang mutlak.

Jika dari satu ketiga kaki tersebut rusak, maka tungku tidak dapat digunakan.

Kalau kaki lima, jika satu kaki rusak masih dapat digunakan dengan sedikit penyesuaian meletakan beban begitu juga dengan tungku berkaki empat. Untuk menjaga keseimbangan tersebut kita harus menyadari bahwa semua orang akan pernah menjadi hula-hula, pernah menjadi boru, dan pernah menjadi boru dan pernah menjadi dongan tubu.

2.2 Teori Yang Digunakan

Berdasarkan judul, teori yang digunakan penulis untuk membahas judul

“Perubahan Adat dan Budaya Mandailing Kajian Tradisi Lisan” digunakan teori tradisi lisan. Berikut penjelasan mengenai teori tersebut.

(35)

2.2.1 Tradisi Lisan

Tradisi lisan adalah salah satu kebiasaan masyarakat dalam menyampaikan sejarah melalui tutur lisan dari generasi ke generasi. Tradisi bukan hanya “tradisi yang lisan”, melainkan semua tradisi budaya yang diwariskan turun-menurun pada satu generasi ke generasi lain “dari mulut ke telinga” dengan menggunakan media lisan. Dalam hal inilah tradisi lisan sering disebut sebagai tradisi budaya (Sibarani, 2014:15).

Memahami tradisi lisan secara teoritis akan dapat memberi arah dalam membongkarkeseluruhan tradisi itu demi kemaslahatan manusia. Tradisi lisan harus dilihat dari tiga dimensi waktu yang menjalin keberlanjutan masa lalu, masa kini dan untuk masa depan. Tanpa membongkar tiga dimensi ini, penelitian tradisi lisan hanya sebagai inventarisasi yang akan tersimpan diperpustakaan. Teori ini akan dilengkapi dengan teori pragmatis yang berusaha untuk melihat manfaat sebuah tradisi, mulai dari pemahaman manfaat tradisi masa lalu, mengkaitkan masa kini dan proyeksi manfaat masa akan datang. Nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai warisan masa lalu harus dipahami maknanya pada komunitas masa lalu, bagaimana nilai dan norma budaya itu dapat dilestarikan, direvitalisasi dan direalisasikan pada generasi masa kini untuk mempersiapkan masa depan yang damai dan sejahtera. Proyeksi masa depanlah yang mendorong perlunya model revitalisasi atau pelestrarian untuk tradisi lisan dan kearifan lokal sebagai kandungannya.

Penelitian tradisi lisan yang bertujuan untuk menggali nilai dan norma

(36)

mengangkat nilai dan norma budaya itu. Kandungan tradisi lisan itu harus kita pertimbangkan secara matang dan harus kita renungkan secara mendalam.

Perenungan spekulasi yang secara terus menerus dan mendalam dengan berbagai tahapan sebelumnya akan menghasilkan interpretasi yang baik. Langkah berikutnya adalah analisis dengan dua tahapan yakni pembuktian hasil spekulasi dengan data empiris atau barang bukti serta penerapan logika pada hasil spekulasi itu. Inilah cara kerja berfilsafat yang dapat dimanfaatkan untuk memahami kandungan tradisi lisan.

Adapun yang akan dibahas oleh penulis dalam penelitian yang dilakukan di Kota Padang Sidempuan tentang Perubahan Adat dan Budaya Perkawinan Mandailing yaitu hal-hal apa saja yang telah mengalami perbuahan didalam perkawinan Mandailing. Sehingga masyarakat yang melakukan upacara perkawinan tidak lupa lagi yang telah dilakukan oleh leluhur mereka dan bagaiaman agar tatacara perkawinan yang dilakukan menurut tardisi orang Mandailing sesuai adat yang mereka percayai agar generasi penurus berikutnya dapat melakukan upacara perkawinan yang menjadi tradisi meraka dan dapat menjaga agar tidak mengalami mengalami perubahan yang signifikan akibat daripada perkembangan zaman.

(37)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode merupakan jalan yang berkaitan dengan cara kerja dalam mencapai sasaran yang diperlukan bagi penggunanya, sehingga dapat memahami objek sasaran yang dikehendaki dalam upaya mencapai sasaran atau tujuan pemecahan masalah.

Penelitian adalah penyaluran rasa ingin tahu manusia terhadap suatu masalah dengan perlakuan tertentu seperti memeriksa, mengusut, menelaah, dan mempelajari secara cermat, dan sungguh-sungguh sehingga diperoleh sesuatu seperti mencapai kebenaran, memperoleh jawaban, pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagianya.

Metode penelitian adalah jalan atau tata cara yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan dan memiliki langkah-langkah yang sistematis.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif.Menurut Bogdan dan Taylor metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2007:4).

Penelitian kualitatif bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh mengenai suatu hal yang akan diteliti. Penelitian kualtitatif berhubungan dengan

(38)

Tujuan metode penelitian kualitatif dapat dipahami sebagai makna menjelaskan bagaimana fungsi, nilai, norma dan kearifan lokal, sedangkan pola dapat dipahami sebagai kaidah, struktur, formula yang pada gilirannya dapat menghasilkan model. Penelitian kualitatif ini mengikuti langkah-langkah Miles dan Huberman (Sibarani, 2014:24-27) yakni:

1. Data Collection (Pengumpulan Data), yakni pengumpulan data berupa kata kata dengan cara wawancara, pengamatan, intisari dokumen, perekaman dan pencacatan.

2. Data Reduction ( Reduksi Data) yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, mefokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan “menyisihkan” yang tidak perlu.

3. Data Display (Penyajian Data) yaitu memperlihatkan data, mengklasifikasikan data, menyajikannya dalam bentuk teks yang bersifat naratif atau bagan.

4. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan) yaitu penarikan kesimpulan dan verifikasi sehingga dapat merumuskan temuan-temuan peneliti.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kota Padang Sidempuan Provinsi Sumatera Utara.

Alasan penulis untuk memilih lokasi penelitin ini adalah karena Kota Padang Sidempuan merupakan lokasi yang tepat untuk dijadikan objek penelitian.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hanya sumber data primer saja yaitu berupa catatan hasil wawancara yang diperoleh langsung melalui

(39)

informan. Data primer adalah sumber data yang secara langsung memberikan data kepada pengumpul data (Sugiyono, 2012:225).

3.3 Sumber Penelitian

Salah satu pertimbangan dalam memilih masalah penelitian adalah ketersediaan sumber dan yang dimaksud dengan sumber adalah data dalam penelitian adalah subjek dari aman data yang diperoleh.

Sumber penelitian terbagi atas dua bagian yaitu:

1. Sumber data primer

Sumber data primer adalah sumber data-data mentah yang diperoleh dari lapangan dan belum pernah di analisis.

2. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data yang sudah pernah diteliti dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya dari sudut pandang orang lain. Dalam penyusunan skripsi ini penulis mneggunakan sumber data primer yang berupa hal-hal yang merangkum keterangan tradisi lisan yaitu Perubahan Adat dan Budaya Mandailing di kota Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan.

3.4Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh penulis dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Suharsimi, 2010).

(40)

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan alat perekam suara (handpone), kamera digital, serta alat tulis.

Handpone digunakan untuk merekam data lisan saat wawancara, kamera digital digunakan untuk mengambil gambar, serta alat tulis digunakan untuk mencatat, cacatan tersebut berupa catatan lapangan.

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Metode Observasi

Data yang terkumpul harus data lingual yang sah (valid) dan sekaligus terandal atau terpercaya (reliable), karena hanya dengan kesahihan dan keterandalan itu dimungkinkan dilakukan langkah awal analisis yang diharapkan benar dan tepat (Sudaryanto, 1990).

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan mengunakan dua cara yaitu:

a. Observasi

Penulis mengumpulkan data melalui pengamatan langsung pada lokasi penelitian. Penulis mengamati bagaimana perubahan yang terjadi mengenai adat dan budaya Mandailing di Kota Padang Sidempuan. Serta hasil pengamatan digunakan penulis sebagai informasi tambahan dalam penelitian.

b. Wawancara

Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terbuka. Penulis bertanya langsung kepada informan yang dipilih, yaitu tokoh Adat Batak yang berkompeten yang dianggap mampu memberikan gambaran dan

(41)

informasi yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini (Sugiyono, 2009:140).

3.5.2 Metode Wawancara Mendalam dan Terbuka

Metode ini dilakukan secara purporsive sampling kepada para informan terpilih untuk menjawab pertanyaan pertama, kedua dan ketiga. Wawancara mendalam dan terbuka ini dilakukan kepada yang mengetahui tentang kebudayaan Mandailing. Hasil wawancara ini akan dicatat sehingga tidak ada informasi yang tertinggal. Sesuai dengan kriteria pendekatan kualitatif, jumlah informan ditentukan berdasarkan keadaan, kecukupan dan keakuratan data sehingga jika tidak terdapat lagi informan baru (redundant) pada informasi tertentu, maka pencarian informasi dari informan dicukupkan sampai disitu.

Panduan wawancara yang mencantumkan pertanyaan-pertanyaan yang mengenai rumusan masalah dipersiapkan pada pengumpulan data wawancara mendalam dan terbuka.

3.5.3 Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan adalah mengumpulkan data dengan membaca buku- buku yang relevan untuk membantu dan menyelesaikan dan melengkapi data yang berhubungan dengan penulisan skripsi.

(42)

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematis sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2009:244).

Dalam metode analisis data ini, penulis menggunakan metode kulitatif deskriptif. Data yang diperoleh memalui wawancara penelitian akan di analisis dengan menggunakan analisis desriptif kualitatif yaitu dengan perolehan data hasil wawancara yang dilakukan dengan informan kemudian dideskripsikan secara menyeluruh.

Adapun tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu:

1. Penulis membuat transkip hasil wawancara dengan kembali memutar rekaman terhadap informan.

2. Hasil wawancara disederhanakan menjadi susunan bahasa yang baik kemudian di transformasikan kedalam catatan.

3. Selanjutnya penulismembuatreduksi data dengancaraabstraksi, yaitumengambil data sesuaidengankontekspenelitiandanmengabaikan data yang tidakdiperlukan.

4. Melakukan penyajian data yaitu berupa penjelasan tentang Perubahan Adat dan Budaya Mandailing di Kota Padang Sidempuan.

5. Setelah semua data tersaji, permasalahan yang menjadi objek penelitian dapat dipahami, maka kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan hasil dari penelitian.

(43)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Tata Cara Adat Istiadat Perkawinan di Mandailing 4.1.1Acara di Rumah Boru Na Ni Oli (Pabuat Boru)

A. Manyapai Boru

Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan saling kenal dan saling suka diharapkan hubungan ini harus dilanjutkan ke jenjang perkawinan. Untuk melanjutkan niat baik tentunya harus dilakukan menurut tatacara yang diadatkan, karena perkawinan merupakan perbuatan yang sangat sakral. Perempuan yang akan masuk kedalam keluarga laki-laki diharapkan membawah tua, oleh sebab itu tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang dibenarkan menurut kebudayaan Mandailing.

Dengan perkawinan telah dipertemukan keluarga laki-laki dan keluarga perempuan didalam suatu ikatan kekeluargaan. Hubungan ini harus dipertahankan sebaik-baiknya dengan ikatan kekeluargaan ini bukan saja menimbulkan dua hubungan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan, namun lebih luas lagi yaitu hubungan kekeluargaan yang bersifat Dalihan Na Tolu (kahanggi , anakboru dan mora). Oleh sebab itulah pelaksanaan perkawinan selalu dilakukan dengan upacara upacara adat yang dapat memakan waktu berhari-hari.

(44)

B. Mangaririt Boru

Dalam acara mangaririt boru ini pihak dari orangtua laki laki menjelaskan terlebih dahulu bahwa anaknya (laki-laki) telah berkenalan dengan anak perempuan mereka yang telah bergaul. Pada waktu dulu calon pengantin tidak saling kenal, hanya orangtua yang saling kenal atau sebaliknya calon pengantin yang saling kenal tetapi orangtua tidak saling mengenal. Pengantin tidak saling mengenal disebut perkawinan yang dijodohkan. Jika orangtuanya yang tidak saling mengenal maka pihak laki-laki akan menyelidiki terlebih dahulu siapa orangtua perempuan tersebut. Hal ini penting untuk penyesuain apakah kedua keluarga ini dapat dipertemukan atau untuk melihat apakah perempuan berkelakuan baik. Jika orangtuanya sudah saling mengenal anaknya, karena ada pepatah yang menyatakan “sifat anak tidak jauh dari orangtuanya”.

Mangaririt boru biasanya dilakukan oleh orangtua laki laki secara langsunng seperti membawa kahanggi dan anak boru . Biasanya orangtua perempuan tidak langsung menerima keinginan pihak laki-laki. Orangtua perempuan akan meminta waktu dengan alasan untuk menanyakan anaknya apakah menerima pinangan orang lain. Sesuai dengan kesibukan masing-masing kalau sudah ada kesesuaian pihak keluarga laki-laki langsung meminta agar semua syarat-syarat yang akan dipenuhi dibucarakan sekaligus. Hal ini dapat terjadi karena hubungan informasi yang sangat mudah sekarang ini bahwa pihak keluarga perempuan sudah mengetahui pihak keluarga laki-laki.

(45)

C. Padamos Hata

Jika pada waktu Mangaririt boru tidak adal hal-hal yang mengalangi untuk melanjutkan pembicaraan ketujan semula, maka pembicaar akan sampai pada tahap padamos hata. Pihak keluarga laki-laki akan datang kembali kerumah keluarga perempuan untuk meminang. Didalam acara meminang ini akan dibicarakan sekaligus tentang.

a. Hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi (patobang hata).

b. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi nanti, yaitu apa saja yang harus dipersiapkan, berapa mas kawin dan dalam bentuk tuhor (mahar) dan perlengkapan-perlengkapan lainnya.

D. Patobang Hata

Dalam tahap patobang hata ini dapat dikatakan bahwa peminangan telah dilakukan secara resmi. Pada acara patobang hata ini pihak keluarga laki-laki yang diwakili kahanggi dan anak boru harus terlebih dahulu manopot ( menjumpai) kahanggi. Manopot kahanggi maksudnya adalah menjumpai anak boru dari keluarga pihak perempuan. Artinya pihak kahanggi akan membimbing mereka untuk menyampaikan segala maksud dan tujuan agar berjalan sesuai dengan rencana yang diinginkan. Dalam acara patobang hata ini pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan hasratnya dengan kata yang benar-benar menunjukan kesungguhan dan keinginan yang amat mendalam.

(46)

Dengan kata lain keluarga mengharapkan pihak laki-laki terhadap keluarga pihak perempuan yaitu

1. Lopok ni tobu sisuamon ( meminta anak gadis mereka untuk penerus keturunan)

2. Andor na mangolu parsiraisan (meminta keluarga sih gadis menjadi tempat berlindung dalam meminta kesediaan mereka untuk menjadi mora).

3. Titian batu na sora buruk (meminta merak untuk menjalin hubungan kekeluargan selamanya)

Setelah acara patobang hata atau acara pinangan secara resmi telah diterima,acara selanjutnya adalah menyapai batang boban ( beban yang harus dipikul oleh pihak laki-laki). Batang boban ini merupakan syarat-syarat pada waktu padomas hata sudah dibayangkan, tetapi secara resmi pada acara patobang hata harus dipertegas kembali dengan disaksikan oleh seluruh keluarga yang hadir pada saat itu dalam menentukan besar kecinya batang boban.

Mora dari pihak perempuan turut serta berperan sehingga setelah acara patobang hata selesai semuanya maka akan ditentukan kapan waktunya untuk acara selanjutnya yaitu manulak sere. Biasanya diberikan waktu satu atau dua minggu agar baik keluarga laki-laki maupun perempuan dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Pemberitahuan mengundang saudara terutama pihak laki-laki yang harus menyediakan uang antaran beserta uang untuk lainnya.

(47)

4.1.2 Manulak Sere

Tibalah saatnya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan keluarga laki- laki datang kembali menghantar apa yang telah disepakati pada acara patobang hata. Pada waktu manulak sere ini semua saudara harus lengkap.pihak keluarga laki-laki.sebelum berangkat, setelah kahanggi, anak boru dan anak moranya sudah hadir terlebih dahulu disampaikan maksud dan tujuan suhut yaitu akan datang kerumah perempuan untuk manulak sere ( mangantar perlengkapan pernikahan). Dan ditetapkan akan siapa-siapa aja yang ikut mangantar sere.

Biasanya yang berangkat sepuluh atau lima belas orang. Jumlah ini sudah ditentukan pada waktu patobang hata yang disesuaikan dengan kemampuan atau untuk mempersiapkan segala sesuatu dirumah keluarga perempuan.

Dalam proses manulak sere, pihak keluarga laki-laki membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya kerumah keluarga perempuan. Pada waktu manulak sere, dirumah keluarga perempuan sudah siap menunggu yang akan manulak sere.

Peserta Upacara

a. Pimpinan adat setempat

b. Mora (pangapalan boru, pambuatan boru dan harajaon) c. Suhut (orangtua, abang dan adik)

d. Kahanggi (hombar suhut dan pareban)

e. Anak boru ( sibuat boru, busir ni pisang, bona bulu) f. Kerabat terdekat lainnya

(48)

a. Suhut (abang, adik, dan orangtua) b. Kahanggi (hombar suhut dan pareban)

c. Anak boru (sibuat boru, busir ni pisang, bona bulu)

Yang memimpin acara adalah pimpinan adat setempat. Rombongan yang datang biasanya membawa batang boban, juga membawa silua (oleh-oleh) berupa indahan tungkus ( nasi yang dibungkus) dengan daun serta lauk-pauknya dan ketan yang sudah dimasak lengkap dengan intinya.

Indihan tungkus ini bermakna yaitu kebesaran hati terhadap keluarga pihak perempuan (calon mora) juga dengan harapan yang diberikan semoga sukses dan terkabul. Sedangkan pulut beserta intinya akan dihidangkan pada waktu acara manulak sere dilaksanakan yang maknanya agar segala sesuatunya yang dibicarakan sama-sama melekat didalam hati.

Pada pertemuan ini segala sesuatu yang telah dibicarakan sebelumnya dan sudah saling mengetahui pada saat acara formal ini semua dianggap tidak pernah terjadi. Selesai mangaririt dilanjutkan dengan menyapai boru dan seterusnya batang boban garda kewajiban-kewajiban pihak laki-laki).

Jenis jenis batang boban yang akan diserahkan ada dua macam yaitu sere na godang sebagai okuandar ( jaminan). Serena godang artinya harus dengan jumlah besar dengan pengertian bukan berarti emas dalam arti sebenarnya, tetapi berupa benda berharga yang terdiri dari:

a. Horbo sabara (kerbau satu kandang) b. Lombu sabara (lembu satu kandang) c. Eme sa hopuk (padi satu lumbung)

(49)

d. Sere (emas) 30 tail, 30 pa. Besar kecilnya tergantung pada status.

Apa yang disebutkan dengan sere na godang ini sebenarnya hanyalah sebagai simbol yang tidak harus dipenuhi oleh keluarga laki-laki (calon anak boru). Oleh sebab itu apa yang telah dijanjikan sebenarnya tidak harus semuanya diserahkan, yang diserahkan hanya sejumlah uang menurut kebiasaan yang disebut dengan sere na menek. Jadi untuk yang tidak terpenuhi tersebut dianggap sebagai hutang sepanjang masa. Itulah sebabnya anak boru disebut berutang sapanjang aek sapanjang rura. Aek (sungai) dan rura (lembah) berarti hutang yang terus sepanjang masa dan sebesar lembah yang tak terkira.

Sere na godang ini secara simbolik diserahkan dengan jaminan berupa orang dari perwakilan keluarga laki-laki yaitu kahanggi dan anak boru. Pihak yang menjadi jaminan ini adalah sebagai jaminan (okuandar), apabila dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau melanggar janji yang disepakati.

Sere na lamot atau sere na menek yang disebut sebagai tuhor ni boru (uang antaran). Sere na lamot ini biasanya berbentuk uang ditambah dengan beberapa keperluan calon pengantin wanita yang sekarang ini disebut seperangkat pakaian pengantin sere na lamot yang berupa uang dan seperangkat pakaian pengantin diserahkan khusus untuk calon pengantin perempuan. Disamping itu masih ada yang harus disediakan oleh pihak laki-laki yang disebut dengan parkayan yang akan diserahkan kepada sanak keluarga perempuan sebagai pangobat hati karena salah satu anggota keluarganya akan dibawa menjadi keluarga pihak laki-laki.

(50)

Keluarga laki-laki juga harus menyiapkan sejumlah uang untuk dibagikan kepada semua keluarga yang hadir dalam permufakatan sebagai uang saksi atau uang dengar yang disebut dengan ingot-ingot. Jumlahnya tidak ditentukan tergantung kepada kesanggupan. Biasanya jumlahnya dibagi dua, sebahagian untuk pihak laki-laki dan sebahagian lagi untuk pihak perempuan dan dibagikan langsung ke tangan masing-masing yang hadir dengan jumlah yang sama. Ingot- ingot ini disebut istilah na muhut na.

Secara rinci yang berhak menerima parkayan adalah:

a. Uduk api, diberikan kepada ibu calon pengantin perempuan b. Apus ilu, diberikan kepada namborunya.

c. Tutup uban, untuk ompungnya.

d. Upa tulang, untuk tulangnya

e. Hariman markahanggi, untuk amang tua atau udanya.

f. Tompas handang, untuk anak boru.

g. Parorot tondi, untuk raja di huta

Jumlah bahan tujuh ini dapat diartikan sebagai penggambaran dari pitu sundut suada mara (tujuh turunan tanpa mara bahaya).

Dalam acara manulak sere yang dipimpin oleh raja ni huta, penyerahan sere na godang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada mora dari pihak perempuan.

Mora adalah tamburan (tempat sedangkan anak borunya adalah sipandurung (tukang tangkuk).

.

(51)

4.1.3 Mangalehen Mangan Pamunan

Didalam perkawinan menurut adat Mandailing yang menganut sistem patrineal, anak perempuan yang akan melangkah ke jenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami. Oleh sebab itu sebelum calon pengantin perempuan tersebut diberangkatkan, maka orangtuanya beserta sanak keluarga akan berkumpul untuk memberikan makan untuk anaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan).

Pada mulanya acara pemberi makan ini, sih calon pengantin perempuan mengajak teman-teman sepermainannya untuk turut bersama-sama makan.

Makan-makan perpisahan diartikan bukan saja dimaksudkan perpisahan secara lahiriah tapi lepas dari masa gadis dan tanggung jawab keluarga dan membentuk keluarga sendiri.

Sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan perkotaan acara mangalehen pangan ini diperbesar, bukan saja hanya dihadiri keluarga tapi juga diikut sertakan unsur dalihan na tolu dan harajoan dalam acara serta penganan yang dihidangkan sama dengan yang dihidangkan pangupa. Hanya saja biasanya makanan yang dihidangkan adalah kambing yang sudah masak sempurna, kepala, hati dan sepasang kaki bagian atas harus masih terlihat bentuknya yang diletakan diatas tampi yang dialasi dengan ujung daun pisang, lengkap dengan nasi, telur, udang ikan , daun ubi serta garam, serta upacara mangalehen mangan ini hampir sama dengan acara mangupa. Bedanya upacara mangalehen mangan ini dengan upacara mangupa adalah makanan yang dihidangkan harus benar-benar dimakan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, serta

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Penulis panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, serta

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, penulis panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan karunia