• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN BEROBAT DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS HELVETIA KOTA MEDAN TAHUN 2015.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN BEROBAT DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU DI PUSKESMAS HELVETIA KOTA MEDAN TAHUN 2015."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN TINGKAT KEPATUHAN BEROBAT DENGAN KEBERHASILAN PENGOBATAN PENDERITA TB PARU DI

PUSKESMAS HELVETIA KOTA MEDAN TAHUN 2015

Oleh :

CITRA ARDILA LAOLI 130100311

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah dikenal sejak lama dan telah melibatkan manusia sejak zaman purbakala, seperti terlihat pada peninggalan sejarah. Bukti-bukti penyakit ini terlihat pada tulang belakang fosil yang berasal dari tahun 25.000-10.000 SM. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB Paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2015. Dengan metode penelitian menggunakan rancangan crosssectional dengan pendekatan retrospektif. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Helvetia Kota Medan pada bulan Maret sampai dengan November 2016.

Penderita TB Paru sebagian besar terdapat pada kelompok umur 21-40 (37;39,4%), mayoritas jenis kelamin laki-laki (63;67%). Dengan kasus BTA+ (89

;94,7%), Sebagian besar penderita TB paru patuh dalam melakukan pengobatan (86;91,5%) dan sembuh (86;91,5%).

Hasil analisis data diperoleh p-value sebesar 0,000 (<0,05), artinya ada hubungan yang bermakna antara tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan penderita TB Paru.

Kata kunci : Tingkat kepatuhan, keberhasilan, TB Paru.

(3)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a diseasethatalreadyknownfor a long timeand has

involvedmansinceancienttimes, as seen ON Historicalrelics.

Evidenceofdiseasesingerlooks IN spine, fossilStemmingFromYear 25.000 to 10.000 BC. Singer study aimstoreviewdetermineRelationsCompliance Level BETWEEN THE successoftreatmentPulmonary TB Treatment in Patients AT PHC Helvetia Medan Year 2015 ResearchMethodsArticleSearch Google usingcrosssectionaldesign WITH retrospectiveapproach.

SingerResearchconductedatthehealthcenter in Medan Helvetia In March Until WITH November 2016.

Pulmonary TB patients are mostlyfound in theagegroup 21-40 (37;

39,4%), themajorityofthe male sex (63; 67%). Withthecaseof BTA + (89; 94.7%), Mostofpulmonary tuber culosi spatientsadherenttotreatment (86; 91.5%) andrecovered (86; 91.5%).

ResultoftheanalysisObtained p-valueof 0.000 (<0.05), meaningthatthereis a significantrelationshipbetweenthe level of treatment compliance with the successful treatment of Patients with pulmonary TB.

Keywords: compliancerate, success, pulmonarytuberculosis

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. atas selesainya skripsi yang berjudul “Hubungan Tingkat Kepatuhan berobat dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita TB Paru Di Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2015” yang salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. dr. Aldy S Rambe, SpS(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan Saran dalam penyusunan skripsi ini.

2. dr. Syamsul Bihar, M.Ked (Paru), Sp.P selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.

3. dr. Siti Syarifah, M.Biomed selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.

4. dr. Letta Sari Lintang, M.Ked(OG), Sp.OG selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. dr. Dedi Ardinata, M.Kes, AIFM selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Kedua Orang Tua yang penulis hormati dan sayangi Yusmin Laoli dan Yarni Zebua.

7. Syamsunnihar Hasibuan, S.K.M, M.Kes, selaku kepala bagian Tata Usaha Puskesmas Helvetia Kota Medan yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Orang terdekat penulis Roni Syah Putra Waruwu yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi.

(5)

membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi.

10. Sahabat-sahabat penulis Mirna, Sari, Dewi, Tari, Fitri, Mia yang membantu serta selalu memberikan semangat dalam penyelesaian skripsi.

11. Saudara, kerabat dan teman-teman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan sebagai masukan penulisan selanjutnya.

Semoga hasil peneitian ini bermantfaat.

Medan, Desember 2016

Citra Ardila Laoli

(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Kepatuhan ... 5

2.1.1 Pengertian ... 5

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan ... 6

2.1.3 Keberhasilan Pengobatan ... 8

2.1.4 Kategori Hasil Pengobatan ... 9

2.2 Tuberkulosis Paru ... 10

2.2.1 Defenisi Tuberkulosis Paru ... 10

2.2.2 Etiologi ... 10

2.2.3 Faktor Resiko ... 11

2.2.4 Klasifikasi ... 11

2.2.5 Patogenesis ... 13

2.2.6 Gambaran Klinis ... 15

2.2.7 Diagnosis ... 16

2.2.8 Penatalaksanaan ... 18

2.2.9 Terapi Permbedahan... 23

(7)

2.2.10 Komplikasi ... 25

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 26

3.1 Kerangka Teori... 26

3.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 27

3.3 Hipotesis ... 27

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 28

4.1 Rancangan Penelitian ... 28

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

4.2.1 Lokasi Penelitian ... 28

4.2.2 Waktu Penelitian ... 28

4.3 Populasi Dan Sampel Penelitian ... 28

4.3.1 Populasi Penelitian ... 28

4.3.2 Sampel Penelitian ... 28

4.3.3 Besar Sampel ... 49

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 30

4.5 Pengolahan Data Dan Analisis Data ... 30

4.5.1 Pengolahan Data... 30

4.5.2 Analisis Data ... 30

4.6 Defenisi Operasional ... 30

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

5.1 Hasil Penelitian ... 32

5.2 Deskripsi Lokasi Penelitian... 32

5.3 Karakteristik Responden ... 32

5.3.1 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Umur ... 32

5.3.2 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamain ... 33

5.3.3 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang ... 34

5.3.4 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Pengobatan ... 34

(8)

5.3.5 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Tingkat

Kepatuhan ... 35

5.3.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Umur ... 35

5.3.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36

5.3.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Pengobatan ... 37

5.3.9 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Keberhasilan Pengobatan TB Paru... 38

5.3.10 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan Pada Penderita TB Paru Berdasarkan Umur ... 38

5.3.11 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan Pada Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

5.3.12 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan Pada Penderita TB Paru Berdasarkan Pengobatan ... 40

5.3.13 Hubungan Tingkat Kepatuhan Berobat Dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita TB Paru... 41

5.4 Pembahasan ... 42

5.4.1 Karakteristik Responden ... 42

5.4.2 Tingakt Kepatuhan ... 43

5.4.3 Keberhasilan Pengobatan ... 44

5.4.4 Hubungan Tingkat Kepatuhan Berobat Dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita TB Paru... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1 Kesimpulan ... 46

6.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang sudah dikenal sejak lama dan telah melibatkan manusia sejak zaman purbakala, seperti terlihat pada peninggalan sejarah. Bukti-bukti penyakit ini terlihat pada tulang belakang fosil yang berasal dari tahun 25.000-10.000 SM. 1

Tahun 1882 Robert Koch menemukan basil penyebab tuberkulosis dan istilah saat itu untuk penyakit ini adalah “consumption”, yang merupakan penyebab kematian utama di masa itu Pada tanggal 24 Maret 1882, Koch mempersentasikan hasil penemuannya tersebut di Berlin dan hasil penelitiannya itu dipublikasikan pada jurnal setempat, sehingga setiap tanggal 24 Maret diperingati sebagai hari tuberkulosis di seluruh dunia.i

Di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah menurun seara tajam, di Amerika Utara, saat awal orang Eropa berbondong-bondong bermigrasi disana, kematian akibat TB pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000 penduduk, tahun 1860 turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun 1900 menjadi 210 per 100.000 penduduk, pada tahun 1920 turun lagi menjadi 100 per 100.000 penduduk, dan pada tahun 1969 turun secara drastis menjadi 4 orang per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena TB di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah turun menjadi 1,4 per 100.000 penduduk. Penurunan angka kesakitan maupun angka kematian ini diyakini disebabkan oleh :

Pada tahun 1915, di Amerika Serikat dilakukan kampanye pemberantasan TB, saat itu masih dianut paham bahwa penularan TB adalah melalui kebiasaan meludah disembarangan tempat dan ditularkan melalui debu dan lalat. Hingga tahun 1960, paham ini masih dianut di Indonesia.2

a. Membaiknya Keadaan Sosioekonomi

b. Infeksi Pertama Yang Terjadinya Pada Usia Muda

(10)

c. Penderita Yang Sangat Rentan Segara Meninggal (Tidak Menjadi Sumber Penularan)

d. Serta Ditemukannya Obat Tb Yang Ampuh.ii

Pada pertengahan 1980-an angka kesakitan TB paru di Amerika Utara maupun Eropa Barat meningkat kembali dan bahkan dengan penyulit yaitu terapi standar tidak lagi mampu untuk melawannya. Pada tahun 1992, angka kematian TB menjadi 6,8 per 100.000 penduduk (naik hampir 5 kali dibandingkan angka kematian tahun 1976 yang hanya 1,4 per 100.000 penduduk).2

TB paru merupakan penyakit menular yang selalu menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Dari laporan WHO dinyatakan bahwa masalah TB paru di negara berkembang sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan, karena sebanyak 95% kasus TB paru berada di negara tersebut, dan sebanyak 98% kematian yang ada dinegara itu disebabkan oleh TB paru, pada tahun 2007 WHO menyatakan jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (Global Tuberculosis Control, 2010). Sampai saat ini, belum satupun negara di dunia yang terbebas dari TB Paru. Bahkan untuk negara maju yang pada mulanya angka tuberkulosis sudah menurun, belakangan naik lagi mengikuti peningkatan penderita HIV positif dan AIDS. 17

Case Notification Rate (CNR) adalah angka yang menunjukkan jumlah seluruh pasien TB yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah. Angka CNR berguna untuk menunjukkan kecenderungan peningkatan atau penurunan penemuan pasien TB di suatu wilayah. Hal ini dapat di lihat pada Grafik 1.1 yang menunjukkan semua kasus TB di tingkat nasional sejak 1999 cenderung meningkat, namun CNR mengalami stagnansi dalam 4 tahun terakhir (2011-2014).iii

Indonesia merupakan negara pertama diantara HBC di wilayah Asia

(11)

keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan serta diobatidan lebih dari 169.213 kasus diantaranya terdeteksi kasus TB BTA+. Dengan demikian, CNRuntuk kasus TB BTA+ adalah 73 orang per 100.000 penduduk. Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.iv

Berdasarkan jumlah penderita TB Paru di Indonesia tahun 2010, Sumatera Utara menempati urutan ke-7. Jumlah penderita TB Paru di Sumatera Utara pada tahun 2010 sebanyak 104.992 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 13.744 orang serta yang sembuh sebanyak 9.390 orang atau sekitar 68,32%. Jumlah kasus TB paru meningkat pada tahun 2012, secara klinis sebanyak 123.790 orang setelah dilakukan pemeriksaan dan yang diobati sebanyak 16.392 orang serta yang sembuh sebanyak 12.154 orang atau sekitar 74,15%. Kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi TB Paru tertinggi di Sumatera Utara antara lain yaitu kabupaten Tapanuli Selatan, Sibolga, Nias, Tanjung Balai, Madina, Padang Lawas, Pematang Siantar dan Gunungsitoli.v

1.2 Rumusan Masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah diatas memberikan dasar bagi peneliti sebagai berikut :

1. Apakah hubungan antara tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB Paru di Helvetia Kota Medan Tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan berobat dengankeberhasilan pengobatan penderita TB Paru

(12)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik responden yang menderita TB Paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan, meliputi :

a. Jenis Kelamin b. Usia

c. Kategori Pengobatan

2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan berobat responden yang menderita TB Paru di Puskesmas Kota Medan

3. Untuk mengetahui keberhasilan pengobatan responden yang menderita TB Paru di Puskesmas Kota Medan

4. Untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan penderita TB Paru di Puskesmas Kota Medan Tahun 2015.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis

Bagi Puskesmas penelitian ini dapat menjadi data dasar dan sumber informasi penting bagi petugas di puskesmastersebut

2. Manfaat Pada Ilmu Pengetahuan

Secara teoritis dapat mendukung pengembangan ilmu promosi kesehatan dan ilmu perilaku, serta dapat dimanfaatkan sebagai acuan ilmiah untuk pengembangan ilmu kesehatan khususnya tentang TB Paru.

3. Manfaat Bagi Peneliti

Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang penyakit TB Paru.

(13)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepatuhan 2.1.1 Pengertian

Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan pengobatan/mengambil obat sesuai dengan yang disarankan oleh dokternya atau oleh orang lain.viKepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan atau juga dapat di defenisikan kepatuhan atau ketaatan terhadap pengobatan medis adalah suatu kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang telah ditentukan.vii

Kepatuhan terhadap pengobatan membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam manajemen perawatan diri dan kerja sama antara pasien dan petugas kesehatan.viiiPenderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan. Penderita dikatakan lalai (Drop Out) jika tidak datang berobat lebih dari 2 bulan berturut-turut dari tanggal perjanjian.ix

Pengobatan memerlukan jangka waktu yang panjang akan memberikan pengaruh-pengaruh pada penderita seperti :

a. Menimbulkan suatu tekanan psikologis bagi seorang penderita tanpa keluhan atau gejala penyakit saat dinyatakan sakit dan harus menjalani pengobatan sekian lama.

b. Bagi penderita dengan keluhan atau gejala penyakit setelah menjalani pengobatan 1-2 bulan atau lebih lama keluhan akan segera berkurang atau hilang sama sekali penderita akan merasa sembuh dan malas untuk meneruskan pengobatan kembali.

c. Datang ke tempat pengobatan selain waktu yang tersisa juga menurunkan motivasi yang akan semakin menurun dengan lamanya waktu pengobatan.

d. Pengobatan yang lama merupakan beban dilihat dari segi biaya yang harus dikeluarkan

(14)

e. Efek samping obat walaupun ringan tetap akan memberikan rasa tidak enak terhadap penderita.

f. Sukar untuk menyadarkan penderita untuk terus minum obat selama jangka waktu yang ditentukan.x

Karena jangka waktu yang ditetapkan lama maka terdapat beberapa kemungkinan pola kepatuhan penderita yaitu penderita berobat teratur dan memakai obat secara teratur, penderita tidak berobat secara teratur (defaulting), penderita sama sekali tidak patuh dalam pengobatan yaitu putus berobat.xi

Menurut Cramer, kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi : 1. Kepatuhan Penuh (Total Compliance)

Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai obat secara teratur sesuai petunjuk.

2. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non Compliance)

Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat sama sekali.xii

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan

Menurut Smet, faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah :

a. Faktor Komunikasi

Berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter, ketidakpuasan terhadap obat yang diberikan6

b. Pengetahuan

Ketetapan dalam memberikan informasi secara jelas dan eksplisit terutama dalam pemberian antibiotik. Karena sering kali pasien menghentikan obat tersebut setelah gejala yang dirasakan hilang bukan saat obat itu habis. 6

(15)

c. Fasilitas kesehatan

Fasilitas kesehatan merupakan sarana penting dimana dalam memberikan penyuluhan terhadap penderita diharapkan penderita menerima penjelasan dari tenaga kesehatan yang meliputi : jumlah tenaga kesehatan, gedung serba guna untuk penyuluhan dan lain-lain.6 Sementara itu menurut Niven, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah :

a. Faktor penderita atau individu

1. Sikap atau motivasi individu ingin sembuh

Motivasi sikap yang paling kuat adalah dalam diri individu sendiri.

Motivasi individu ingin tetap mempertahankan kesehatannya sangat berpengaruh terhadap faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penderita dalam kontrol penyakitnya. 7

2. Keyakinan

Keyakinan merupakan dimensi spiritual yang dapat menjalani kehidupan. Penderita yang berpegang teguh terhadap keyakinannya akan memiliki jiwa yang tabah dan tidak mudah putus asa serta dapat menerima keadaannya, demikian juga cara perilaku akan lebih baik. Kemauan untuk melakukan kontrol penyakitnya dapat dipengaruhi oleh keyakinan penderita, dimana penderita memiliki keyakinan yang kuat akan lebih tabah terhadap anjuran dan larangan kalau tahu akibatnya. 7

b. Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga merupakan bagian dari penderita yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Penderita akan merasa sangat senang dan tentram apabila mendapat perhatian dan dukungan dari keluarganya, karena dengan dukungan tersebut akan menimbulkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi atau mengelola penyakitnya dengan lebih baik, serta penderita mau menuruti saran-saran yang diberikan oleh keluarga untuk menunjang pengelolaan penyakitnya. 7

(16)

c. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.7

d. Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas kesehatan merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut merupakan hal penting. Begitu juga mereka dapat mempengaruhi perilaku pasien dengan cara menyampaikan antusias mereka terhadap tindakan tertentu dari pasien, dan secara terus menerus memberikan penghargaanyang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi dengan program pengobatannya.7

2.1.3 Keberhasilan pengobatan

Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain programDirectly Observed Treatment Short Course(DOTS) dimana Indonesia hampir mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85%

diantaranya berhasil disembuhkan. xiiiLaporan langsung dari beberapa negara yang menggunakan DOTS sebagai kunci keberhasilan dari komponen strategi ini direkomendasikan untuk digunakan diseluruh dunia oleh WHO dalam mengontrol dan mencegah penyakit TB Paru. xiv

Angka Keberhasilan Pengobatan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB Paru terkonfirmasi bekteriologis yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB paru terkontaminasi bakteriologis yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

(17)

Tinggi rendahnya TSR dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Faktor pasien: pasien tidak patuh minum obat anti TB (OAT), pasien

pindah pengobatan, dan kasus TB yang diderita pasien ini termasuk yang resisten terhadap OAT

2. Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO): PMO tidak ada, PMO ada tetapi kurang memantau

3. Faktor obat: suplai OAT terganggu sehingga pasien menunda atau tidak meneruskan minum obat, dan kualitas OAT menurun karena penyimpanan tidak sesuai standar.3

2.1.4 Kategori Hasil Pengobatan 15 a. Sembuh

Penderita dikatakan sembuh apabila penderita telah menyelesaikan pengobatanna secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada akhir pemeriksaan (AP) dan atau sebulan sebelum akhir pemeriksaan (AP), dan pada satu pemeriksaan follow upsebelumnya).

b. Lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh / tidak ada hasil.

c. Meninggal

Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun

d. Pindah

Penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota lain.

e. Defaulted atau Drop Out

Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

(18)

2.2 Tuberkulosis paru

2.2.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis kompleks yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.1

2.2.2 Etiologi1

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikron, lebar 0,3-0,6 mikron. Mycobacterium tuberculosis ini akan tumbuh optimal pada suhu sekitar 37°C dengan pH optimal 6,4-7. Sebagian besar Mycobacterium tuberculosisterdiri atas asam lemak, lipidinilah yang menyebabkan lebih tahan asam dan lebih kuat terhadap gangguan kimia dan fisik. Mycobacterium Tuberculosis dapat hidup pada udara kering dan dingin. Hal ini terjadi karenaMycobacterium Tuberculosis berada dalam keadaan dorman yang dapat bangkit kembali dan menjadi TB aktif pada keadaan tertentu.

Di dalam jaringan, Mycobacterium Tuberculosishidup dalam sitoplasma makrofag sebagai parasit intraselular. Makrofag yang semula memfagositosis adalah aerob yang menunjukan bahwa Mycobacterium ini lebih menyukai jaringan yang tinggi kadar oksigennya.

Mycobacterium tuberculosis ini terbagi atas empat populasi kelompok populasi yaitu :

1. Populasi A: Mycobacterium tuberculosis tumbuh dan berkembang terus dengan cepat, banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi pH netral.

2. Populasi B: Mycobacteriumtuberculosis tumbuh sangat lambat dan berada dalam lingkungan asam,lingkungan asam inilah yang melindunginya terhadap OAT tertentu.

3. Populasi C: Mycobacteriumtuberculosis berada dalam keadaan dorman hampir sepanjang waktu. Hanya kadang-kadang saja kuman mengalami

(19)

metabolisme secara aktif dalam waktu singkat, jenis ini banyak terdapat pada dinding kavitas.

4. Populasi D: Mycobacteriumsepenuhnya bersifat dorman sehingga sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh OAT. Jumlah populasi jenis ini tidak jelas dan hanya bisa dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh manusia itu sendiri.

2.2.3 Faktor Resikoxv

Berikut ini adalah individu yang rentan/memiliki faktor risiko tertinggi untuk menderita TB, yaitu :

1. Berasal dari negara berkembang

2. Anak-anak dibawah umur 5 tahun atau orang tua 3. Pecandu alkohol atau narkotik

4. Infeksi HIV 5. Diabetes mellitus

6. Penghuni rumah beramai-ramai 7. Imunosupresi

8. Hubunngan intim dengan pasien yang mempunyai sputum positif 9. Kemiskinan dan malnutrisi.

2.2.4Klasifikasi1

1. Tuberkulosis Paru

Tuberklulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

i.

a. TB paru BTA (+)

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA (+)

2. Hasil satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

(20)

3. Hasil satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan biakan positif.

b. TB paru BTA (-)

1. Hasil pemeriksaan dahak 3 x menunjukkan BTA (-), gambaran klinis dan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

2. Hasil pemeriksaan dahak 3 x menunjukkan BTA (-), dan biakan Mycobacteriumtuberculosis positif.

ii.

a. Kasus Baru

Berdasarkan tipe pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif

c. Kasus gagal atau drop out

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan lebih atau sama dengan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih, sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

e. Kasus kronis

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dengan pengawasan yang baik

f. Kasus Bekas TB

(21)

Gejala klinis tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru yang ditinggalkan. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada). Gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB tidak aktif atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

2. Tuberkulosis Ekstraparu

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal dan lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau PA dari tempat lesi bila memungkinkan.

2.2.5 Patogenesis 1

Patogenesis tuberkulosis terbagi dua yaitu tuberkulosis primer dan post- primer:

a.

Kuman TB terhirup masuk ke saluran napas sampai ke alveoli, ia akan ditelan oleh makrofag dan berkembang di dalam. Dari sini kuman dapat terbawa masuk ke organ lain. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis kecil atau sarang pneumonia yang disebut sarang primer atau efek primer. Sarang primer ini dapat timbul dibagian manapun di dalam paru, pembentukan sarang primer tersebut dapat menimbulkan proses peradangan pada saluran getah beningsekitar efek primer menuju hilus ( terjadi limfangitis lokal ) kemudian diikuti dengan pembesaran getah bening hilus (terjadi limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer.1

Tuberkulosis Primer

Kompleks primer ini selanjutnya dapat mengalami keadaan sebagai berikut:

1. Sembuh sempurna tanpa meninggalkan cacat.

2. Sembuh dengan menggunakan sedikit bekas, dapat berupa garis fibrotik, klasifikasi di hilus atau kompleks Ghon.

(22)

3. Mengalami komplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya), bronkogen (pada proses ini kuman dapat tertelan dan bersarang dalam usus), limfogen dan hematogen.

4. Penyebaran secara limfogen dengan hematogen berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh spontan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat dapat menimbulkan kelainan yang gawat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini memungkinkan tuberkulosis pada orang lain sperti ginjal, tulang, genitalia, dan sebagaianya.1

b.

Kuman yang dorman dapat bangkit kembali bertahun-tahun kemudian setelah infeksi primer oleh karena sesuatu hal, seperti daya tahan tubuh menurun, infeksi virus maupun penyakit kronik lainnya menjadi TB postprimer. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menjadi sumber penularan. Dimulai dari sarang primer yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior (regio atas paru), mengadakan invasi ke parenkim dan tidak ke hilus paru.

Tuberkulosis Post Primer

Sarang primer ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil, kemudian akan berubah tergantung dari jumlah dan virulensi kuman menjadi :

a. Mengalami resopsi kembali dan sembuh tanpa cacat

b. Mula-mula meluas tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan serbukan jaringan fibrosis, ada yang membungkus diri lebih keras dan sembuh dalam bentuk perkapuran.

c. Meluas dimana jaringan granuloma berkembang menghancurkan jaringan disekitarnya membentuk jaringan keju (perkejuan) yang akan menjadi kavitas bila dibatukkan keluar. Kavitas mula-mula berdinding tipis lama kelamaan dinding menjadi sklerotik. Kavitas dapat meluas dan menimbulkan sarang baru atau dapat menjadi padat dan

(23)

membungkus diri menjadi tuberkuloma atau bersih dan menyembuh yang disebut Open Healed Cavity.

2.2.6 Gambaran Klinis1

Gambaran Klinis pada pasien TB Paru adalah : A.

1. Demam

Gejala Sistemik

Biasanya timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip demam influenza yang segera mereda. Demam seperti ini dapat hilang timbul dan makin lama makin panjang masa serangannya, sedangkan masa bebas serangan makin pendek. Demam dapat mencapai suhu tinggi 40°C

2. Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksi dan berat badan menurun

3. Gejala ekstraparu, tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada pleuritis TB terdapat gejala sesak dan nyeri dada pada sisi yang terlibat, pada limfadenitis TB terdapat pembesaran KGB yang lambat dan tidak nyeri.

B.

1. Batuk lebih dari 2 minggu Gejala Respiratorik

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus.

Batuk mula-mula terjadi karena iritasi bronkus yang selanjutnya akibat peradangan pada bronkus, batuk menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk membuang produk ekskresi peradangan. Dahak dapat bersifat mukoid atau purulen.

a. Batuk darah

Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah. Batuk darah tidak selalu timbul akibat pecahnya aneurisma pada dinding kaviti, juga dapat terjadi karena ulserasi pada mukosa bronkus.

(24)

b. Sesak napas

Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru yang cukup luas. Pada awal penyakit gejala ini tidak pernah didapat.

c. Nyeri dada

Gejala ini timbul apabila sistem persarafan yang terdapat di pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.

2.2.7 Diagnosis1,16

I. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai sangat tergantung pada organ yang terlibat. Pada TB paru kelainan yang di dapat tergantung pada keterlibatan dan kelainan struktural paru serta bronkus oleh proses TB:

a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dll) b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum c. Sekret di saluran napas serta ronki

d. Suara amforik berhubungan dengan kaviti yang berhubungan langsung dengan bronkus.

II. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan radiologik yang menjadi standar adalah foto toraks posteroanterior (PA) dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain sepertitoplordotik, oblik dan CT-scan toraks dilakukan atas dasar indikasi. Pada foto toraks rutin mungkin telah ditemukan tanda-tanda awal TB walaupun secara klinis belum ada gejala.

Sebaliknya bila tidak ada kelainan foto toraks biasanya kelainan tersebut baru terlihat minimal 10 minggu setelah infeksi. Pada foto toraks PA, TB dapat memberikan gambaran yang bermacam- macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

(25)

a. Gambaran berawan/nodular disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan superior lobus bawah

b. Kavitas terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular

c. Bayangan bercak milier dan efusi pleura 2. Pemeriksaan Bakteriologik

Pada pemeriksaan bakteriologik yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) tiga kali, setiap pagi, tiga hari berturut-turut atau sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Pada SPS, dahak diperiksa pada saat pasien pertama kali datang, kemudian keesokan paginya dan siang harinya, jadi pasien datang ke laboratorium hanya 2 hari. Jika dari tiga kali pemeriksaan dahak hanya satu kali saja yang positif tanpa ditunjang hasil pemeriksaan lain (foto toraks dan biakan) maka pemeriksaan BTA diulang. Hasil dinyatakan positif bila pada pengulangan didapatkan hasil positif walaupun hanya satu kali.

3. Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan darah diltemukan laju endap darah (LED) yang meningkat atau normal dan limfositosis. Kedua pemeriksaan tersebut kurang menunjukan indikator yang spesifik untuk TB. Laju endap darah yang normal tidak menunjukan TB.

4. Pemeriksaan Histopatologik Jaringan

Pemeriksaan histopatologik adalah pemeriksaan yang memberikan diagnosis pasti infeksi TB bila memberikan hasil berupa granuloma berupa perkijuan. Sediaan diambil dari biopsi organ/jaringan atau pembesaran KGB yang dicurigai.

5. Uji Tuberkulin

Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti pada orang dewasa dalam penegakan diagnosis. Uji ini bermakna bila terdapat

(26)

konversi, bula atau apabila terdapat hasil positif dari uji yang di dapat besar sekali.

6. Tes Mantoux

Untuk tes mantoux pemberian Purified Protein Derivate (PPD) diberikan dengan penyuntikan 0,1 cc secara secara intradermal.

Kemudian diameter indurasi yang timbul dibaca 48-72 jam setelah tes. Dikatakan positif jika diameter indurasi lebih besar dari 10 mm.

2.2.8 Penatalaksanaan1

I. Dasar penatalaksanaan pasien dengan TB paru adalah sebagai berikut :

1. Pendidikan penderita dan peran serta keluarga.

Tingginya kasus putus obat merupakan penyebab utama kegagalan pengobatan, yang disebabkan oleh :

a. Kurangnya penyuluhan dokter pada pasien akan pentingnya berobat secara teratur untuk jangka waktu tertentu

b. Kurangnya kesadaran/pengertian dari pasien sendiri disamping faktor lain yang bersifat ekonomi, sosial, budaya

c. Biaya pengobatan yang mahal

2. Penegahan penularan dan perbaikan lingkungan sekitarnya

3. Faktor yang mempengaruhi hasil pengobatan: kemoterapi adekuat, keteraturan berobat, luasnya penyakit.

4. Dasar-dasar kemoterapi : i. Aktivitas obat :

a. Bakterisid, yaitu kemampuan obat membunuh sejumlah besar Mycobacteriumtuberculosisyang mengadakan metabolisme aktif

b. Sterilisasi yaitu

c. kemampuan membunuh Mycobacteriumtuberculosiskhusus yang mengadakan metabolisme lambat atau intermitten yang juga persisten

(27)

d. Kemampuan mencegah resistensi yang didapat dengan mematikan mutan yang resisten pada suatu populasi Mycobacteriumtuberculosis e. Kemampuan obat-obat yang dapat digunakan secara intermiten.

ii. Faktor kuman : Populasi Mycobacteriumtuberculosisdi dalam jaringan lesi serta obat yang bekerja pada masing-masing populasi.

a. Populasi A → obat yang bekerja : INH, rifampisin, streptomisin. INH bekerja sangat baik

b. Populasi B → obat yang bekerja : Pirazinamid c. Populasi C → obat yang bekerja: Rifampisin d. Populasi D → obat yang bekerja tidak ada iii. Paduan obat :

Obat antituberkulosis (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga.

Dasar pemberian obat ganda adalah karena selalu ditemukan Mycobacterium yang sejak semula resisten terhadap salah satu obat pada populasi kuman yang sensitif.1Pengelompokan OAT dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel2.1 Pengelompokan OAT Golongan dan Jenis Obat

Golongan dan Jenis Obat

Golongan-1 obat lini pertama Isoniazid (H) Pyrazunamide (Z) Ethambutol (E) Rifampicin (R)

Streptomycin (S)

Golongan-2/obat suntik/ Kanamycin(Km) Amikacin (Am) Suntikan lini kedua Capreomycin (Cm)

Golongan-3/ Golongan Ofloxaccin (Ofx) Moxifloxacin (Mfx) Floroquinolone Levofloxacin (Lfx)

Golongan-4/obat Ethionamide (Eto) Para amino salisilat Proyhionamide (Pto) (PAS)

(28)

Cycloserine (Cs) Terizidone (Trd)

Golongan-5/obat yang Clofazimine (Cfz) Thiocetazone (Thz) belum terbukti efikasinya Linezolid (Lzd) Clarithromycin (Clr) dan tidak di rekomen- Amoxilin-Clavulanate Imipenem (Ipm) dasikan oleh WHO (Amx-Clv)

Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) adalah : kanamisin, amikasin, kuinolon, makrolid dan amoksilin + asam klavulanat (masih dalam penelitian), serta beberapa obat lain yang tersedia dalam jumlah terbatas di Indonesia seperti kapreomisin, sikloserin, para amino silisilat (PAS), thionamides, derivat rifampisin dan INH.Pengobatan tuberkulosis dilakukakan dengan berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination FDC) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien meminum obat, dilakukan 2. pengawasan langsung oleh seorang PMO.

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1.

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Tahap Awal (intensif)

b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

c. Sebagian besar pasien TB BTA (+) menjadi BTA (-) atau konversi dalam 2 bulan.

2.

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat yang lebih sedikit,namun jangka waktu yang lebih lama

Tahap Lanjutan

(29)

b. Pada tahap lanjutan ini juga dapat membunuh mycobacterium yang persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia :

:

i. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

iii. Kategori 2 : 2(HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3.

iv. Kategori Anak : 2HRZ/4HR

iii. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofoksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.1

Kemasan OAT dapat berupa obat tunggal yang disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol, atau berupa obat kombinasi dosis tetap yang terdiri dari tiga atau empat obat dalam satu tablet.

a. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-FDC) . Tablet OAT kombinasi dosis tetap ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

b. Paket Kombipak, adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT-FDC

c. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan.1

a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal Keuntungan kombinasi dosis tetap :

b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja

(30)

c. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan yang tidak disengaja

d. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan standar

e. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

f. Menurunkan resikopenyalahgunaan obat tunggal dan Multi Drug Resistant (MDR) akibat penurunan penggunaan monoterapi.

Pada kasus gagal, dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu faktor obat, faktor drop out, dan faktor penyakit. Faktor obat misalnya paduan obat tidak adekuat, dosis tidak adekuat, minum obat tidak teratur, jangka waktu pengobatan tidak sesuai atau terjadi resistensi obat.

Drop out dapat disebabkan karena kondisi ekonomi kurang, pendidikan yang rendah menyebabkan tidak tahu persoalan penyakit sehingga merasa sudah sembuh dan malas berobat, jarak geografik yang jauh dari pusat pelayanan atau transportasi yang sulit, serta lamanya pengobatan sering membuat pasien bosan untuk berobat. Penyebab drop out lain adalah faktor penyakit misalnya lesi yang terlalu luas, ada penyakit penyerta dan gangguan imunologik.

II. Tatalaksana Pasien TB Paru Putus Berobat

Bila pasien menghentikan pengobatan kurang dari 2 minggu maka pengobatan dilanjutkan sesuai jadwal.

Bila pasien menghentikan pengobatan lebih dari 2 minggu, maka pengobatan sebagai berikut :

1. Bila pengobatan lebih dari 4 bulan, pemeriksa BTA (-), klinis dan radiologis negatif, maka OAT dihentikan.

2. Bila pengobatan lebih dari 4 bulan, pemeriksa BTA (+), maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama (lebih dari 6 bulan)

3. Bila pengobatan kurang dari 4 bulan, BTA (+), maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.

(31)

4. Bila pengobatan kurang dari 4 bulan dan berhenti berobat lebih dari 1 bulan, tetapi BTA (-), klinis dan radiologis positif maka pengobatan dimulai dari awal lagi dengan paduan obat yang sama.

5. Bila pengobatan kurang dari 4 bulan, BTA (-) dan berhenti berobat kurang dari 1 bulan maka pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.

2.2.9 Terapi Pembedahan, Evaluasi Pengobatan i. Terapi Pembedahan

Indikasi Operasi 1. Indikasi Mutlak

:

a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif

b. Pasien batuk darah masif yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif

c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif

2. Indikasi relatif

a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

c. Sisa kaviti yang menetap.

ii. Tindakan Invasif (selain pembedahan)

a. Bronkoskopi, dilakukan bila dicurigai terdapat fistel bronkopleura, batuk darah-masif, atau untuk mengambil sediaan dari bilasan bronkus.

b. Punksi Pleura

c. Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD), dapat dilakukan bila terjadi komplikasi efusi pleura masif, empiema atau pneumotoraks. 1

(32)

iii. Evaluasi Pengobatan

a. Pasien dievaluasi setiap dua minggu pada satu bulan pertama selanjutnya setiap satu bulan, dievaluasi respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit Evaluasi Klinis

b. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan dan pemeriksaan fisik.

Evaluasi Bakteriologis

(Pada awal pengobatan, bulan ke -2, bulan ke-6/9 pengobatan) c. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak

d. Pemeriksa dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis : 1. Sebelum pengobatan dimulai

2. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) 3. Satu bulan sebelum akhir pengobatan

Pada akhir pengobatan

e. Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

(Pada awal pengobatan, bulan ke-2, bulan ke-6/9 pengobatan) Evaluasi Bakteriologis

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada : a. Sebelum pengobatan

b. Setelah dua bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang dipikirkan kemungkinan keganasan, foto toraks dapat dilakukan setelah satu bulan pengobatan)

c. Pada akhir pengobatan

a. Penting dilakukan penyuluhan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang dilakukan kepada pasien, keluarga dan lingkungan

Evaluasi Keteraturan Berobat

b. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi

(33)

Evaluasi Pasien yang telah sembuh

Pasien yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk mengetahui bila ada kekambuhan. Dievaluasi sputum BTAdan foto toraks. Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada bulan ke-3, 6, 24 setelah dinyatakan sembuh, sedangkan evaluasi foto toraks dilakukan pada bulan ke-6 , 12 dan 24.

2.2.10 Komplikasi 1

Komplikasi yang dapat timbul pada pasien TB Paru adalah : a. Batuk darah

b. Empiema c. Luluh paru d. Pneumotoraks e. Bronkiektasis f. Gagal napas g. Efusi pleura

(34)

BAB 3

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Teori

TB Paru

Kepatuhan Keberhasilan

pengobatan

Patuh Tidak Patuh

Sembuh

Tidak Sembuh Pengobatan

Pemeriksaan Penunjang

Kategori 1 Kategori 2 BTA (+) BTA (-)

Kategori 2

(35)

3.2 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB paru di Puskesmas Kota Medan tahun 2015.

3.3 Hipotesis a. Hipotesis Nol (0)

Tidak ada hubungan antara kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan penderita TBParu di PuskesmasHelvetia Kota Medan 2015.

b. Hipotesis Alternatif (Ha)

Ada hubungan antara kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan penderita TBParu di Puskesmas Helvetia Kota Medan 2015.

(36)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara analitik untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan pada penderita TB paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan tahun 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah Deskriptif dengan pendekatan retrospektif.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Helvetia Kota Medan 4.2.2 Waktu Penelitian

Keseluruhan penelitian dilakukan dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan Maret – November 2016. Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan, dimulai dari bulan Agustus – November 2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah pasien TB Paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan sebanyak 1500 pasien, periode Januari – Desember tahun2015 4.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah pasien TB Paru di Puskesmas Kota Medan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam sampel ini adalah :

a. Kriteria inklusi

1. Rekam medis yang lengkap

2. Rekam medis dengan pasien TB Paru yang selesai pengobatan periode Januari – Desember tahun 2015

(37)

3. Penderita TB Paru yang diobati dengan kategori 1 – 3 4. Penderita TB Paru dengan BTA (+) dan BTA (-) b. Kriteria Eksklusi

1. Penderita TB Paru dengan kategori TB Paru anak 2. Pasien yang tidak melanjutkan pengobatan.

4.3.3 Besar Sampel

Penentuan besar sampel dilakukan dengan menggunakan Rumus Slovin, seperti berikut ini :

1 Ne2

n N

= +

n= 1500

1+1500 (0.1)2

= 1500

1+1500 (0.01)

= 1500

1+15

= 93,75 ≈ 94 responden keterangan :

n: jumlah sampel N: jumlah populasi

e: batas toleransi kesalahan (error tolerance) 4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yang dilakukan secara konsekutif sampling dengan mengambil data secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi yang sudah ada berupa data rekam medik pasien TB paru di Puskesmas Kota Medan.

(38)

4.5 Pengolahan Data Dan Analisis Data 4.5.1 Pengolahan Data

Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan kemudian diolah dengan menggunakan program Statistical Package For Social Science (SPSS) yang dilakukan dengan menghitung jumlah pasien TB Paru berdasarkan tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Kota Medan.

4.5.2 Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis Bivariat. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel indpenden dengan variabel dependen dengan menggunakan uji Chi squaredengan tingkat kepercayaan 95%.

4.6 Definisi Operasional a. Kepatuhan

Definisi : Kepatuhan atau ketaatan (compliance/adherence) adalah tingkat pasien melaksanakan pengobatan/mengambil obat sesuai dengan yang disarankan oleh dokternya.

Alat Ukur : Lembar Ceklis dari hasil rekam medis i. Cara ukur : dilihat (observasi)

ii. Hasil : a. Patuh b. Tidak Patuh iii. Skala ukur : Nominal

b. Kesembuhan Pengobatan Tb paru Definisi :

Kesembuhan TB didefinisikan sebagai :

1. Definisi sembuh : Penderita dikatakan sembuh apabila penderita telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) paling sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada akhir pemeriksaan (AP) dan atau sebulan sebelum

(39)

akhir pemeriksaan (AP), dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya).

2. Definisi Tidak Sembuh :

Penderita dikatakan tidak sembuh apabila tidak patuh dalam menyelesaikan pengobatan.

i. Alat ukur : Lembar Ceklis dari data rekam medis ii. Cara ukur : dilihat (observasi)

iii. Hasil :

a. Berhasil b. Tidak berhasil

(40)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2016 sampai dengan 16 November 2016 di Puskesmas Helvetia Kota Medan dengan jumlah sampel sebanyak 1500 pasien penderita TB Paru dari bulan Januari-Desember Tahun 2015. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB Paru, berdasarkan data rekam medis, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5.2 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Helvetia Jalan Kemuning Perumnas Helvetia, Kelurahan Helvetia, Kecamatan Medan Helvetia.

5.3 Karakteristik Responden

Informasi berikut ini menunjukkan karakteristik penderita TB Paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan pada Bulan Januari-Desember tahun 2015 sebanyak 1500 pasien penderita TB Paru yang berobat ke Puskesmas Helvetia Kota Medan. Adapun karakteristiknya adalah sebagai berikut :

5.3.1 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Umur

Pada penelitian ini, distribusi frekuensi penderita TB Paru berdasarkan umur yang terbagi dalam golongan umur <20 tahun, 21-40 tahun, 41-60 tahun,

>60 tahun dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah ini.

(41)

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Umur

No. Umur Frekuensi Persentase

1 <20 Tahun 3 3.2

2 21-40 Tahun 37 39.4

3 41-60 Tahun 37 39.4

4 >60 Tahun 17 18.1

Total 94 100.0

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa penderita TB Paru paling banyak pada kelompok umur 21-40 tahun dan 41-60 tahun yaitu masing-masing sebanyak 37 orang (39,4%) diikuti kelompok umur >60 tahun yaitu sebanyak 17 orang (18,1%), selanjutnya paling sedikit kelompok umur <20 tahun hanya ada 3 orang (3,2%). Dapat disimpulkan bahwa penderita TB Paru sebagian besar umur 21-60 tahun yaitu sebanyak 74 orang (78,8%).

5.3.2 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Jenis Kelamin Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi penderita TB Paru berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.2 dibawah ini.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

1 Laki-laki 63 67.0

2 Perempuan 31 33.0

Total 94 100.0

Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa proporsi tertinggi penderita TB Paru terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 63 orang (67%) dan perempuan sebanyak 31 orang (33%).

(42)

5.3.3 Distibusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Pemeriksaan Penunjang

Pada penelitian ini, distribusi frekuensi penderita TB Paru berdasarkan pemeriksaan penunjang terbagi dua katagori yaitu BTA+ dan BTA- dapat dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini.

Tabel 5.3 Distibusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Pemeriksaan Penunjang

No Pemeriksaan Penunjang Frekuensi Persentase (%)

1 BTA+ 89 94.7

2 BTA- 5 5.3

Total 94 100.0

Berasarkan tabel 5.3 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan pemeriksaan penunjang pada penderita TB Paru proporsi tertinggi terdapat pada BTA+ yaitu sebanyak 89 kasus (94,7%) sedangkan BTA- dijumpai ada 5 kasus (5,3%).

5.3.4 Distibusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Pengobatan Pada penelitian ini, distribusi frekuensi penderita TB Paru berdasarkan pengobatan yang terdiri dari kategori 1, 2 dan kategori 3 diuraikan di tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Pada Penderita TB Paru berdasarkan Pengobatan

No Pengobatan Frekuensi Persentase (%)

1 Kategori 1 86 91.5

2 Kategori 2 5 5.3

3 Kategori 3 3 3.2

Total 94 100.0

(43)

Berasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan pengobatan pada penderita TB Paru proporsi tertinggi dijumpai pada pengobatan dengan kategori 1 yaitu sebanyak 86 pasien (91,5%), kategori 2 ada 5 pasien (5,3%) dan kategori 3 ada 3 pasien (3,2%)

5.3.5 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Tingkat Kepatuhan

Pada penelitian ini, distribusi frekuensi penderita TB Paru berdasarkan tingkat kepatuhan ditunjukkan pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Tingkat Kepatuhan

No Tingkat Kepatuhan Frekuensi Persentase (%)

1 Patuh 86 91.6

2 Tidak Patuh 8 8,5

Total 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah patuh terhadap pengobatan TB Paru yaitu sebanyak 86 orang (91,5%) tetapi masih ada yang tidak patuh dalam pengobatan TB Paru yaitu sebanyak 8 orang (8.5%).

5.3.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru berdasarkan Umur

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi tingkat kepatuhan penderita Tb paru berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 5.6 dibawah ini.

(44)

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru berdasarkan Umur

No Umur (Tahun)

Tingkat Kepatuhan

Jumlah Patuh Tidak Patuh

f % f % f %

1 ≤20 tahun 3 3.2 0 0 3 3.2

2 21-40 tahun 37 39.4 0 0 37 39.4

3 41-60 tahun 35 37,2 2 2.1 37 39.4

4 >60 tahun 11 11.7 6 6.4 17 18.1

Jumlah 87 92,6 8 8,5 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.6 di atas dapat diketahui bahwa dari 3 orang responden penderita TB Paru usia ≤20 tahun sebanyak 3 orang (3,2%) semuanya patuh terhadap pengobatan TB paru dan juga dari 37 orang responden usia 21-40 tahun seluruhnya patuh terhadap pengobatan TB Paru. Dari 35 orang responden usia 41-60 tahun sebagian besar sebanyak 36 orang (37,2%) patuh dan ada 1 orang (1,1%) tidak patuh terhadap pengobatan TB Paru. Dan dari 17 orang responden usia >60 tahun sebanyak 11 orang (11,7%) patuh dan ada 6 orang (6,4%) tidak patuh terhadap pengobatan TB Paru.

5.3.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru berdasarkan Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi tingkat kepatuhan penderita Tb paru berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.7 dibawah ini.

(45)

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin

Tingkat Kepatuhan

Jumlah Patuh Tidak Patuh

f % f % F %

1 Laki-laki 55 58,5 8 8,5 63 67,0

2 Perempuan 31 33,0 0 0,0 31 33,0

Jumlah 86 91,5 8 8,5 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.7 di atas dapat diketahui bahwa dari 63 orang responden dengan jenis kelamin laki-laki ada 8 orang (8,5%) tidak patuh terhadap pengobatan TB paru.

5.3.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru Berdasarkan Pengobatan

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi tingkat kepatuhan penderita TB paru berdasarkan pengobatan dapat dilihat pada tabel 5.9 dibawah ini.

Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepatuhan Penderita TB Paru berdasarkan Pengobatan

No Pengobatan

Tingkat Kepatuhan

Jumlah Patuh Tidak Patuh

f % f % f %

1 Kategori 1 83 88,3 3 3,2 86 91,5

2 Kategori 2 2 2,1 3 3,2 5 5,3

3 Kategori 3 1 1,1 2 2,1 3 3,2

Jumlah 86 91,5 8 8,5 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.8 di atas dapat diketahui bahwa dari 86 orang responden dengan pengobatan kategori 1 ada 3 orang (3,2%) tidak patuh terhadap

(46)

pengobatan TB Paru. Dari 5 orang responden dengan pengobatan kategori 2 ada 2 orang (2,1%) patuh dan sebanyak 3 orang (3,2%) tidak patuh terhadap pengobatan TB Paru. Dan dari 3 orang pasien yang mendapatkan pengobatan kategori 3 ada 1 orang (1,1%) pasien tidak patuh terhadap pengobatan TB Paru.

5.3.9 Distribusi Frekuensi Tingkat Keberhasilan Penderita TB Paru berdasarkan Keberhasilan Pengobatan TB Paru

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi tingkat keberhasilan penderita TB paru berdasarkan keberhasilan pengobatan TB paru dapat dilihat pada tabel 5.9 dibawah ini.

Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru berdasarkan Keberhasilan Pengobatan TB Paru

No Keberhasilan Frekuensi Persentase (%)

1 Sembuh 86 91.5

2 Tidak Sembuh 8 8.5

Total 94 100.0

Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan sebagian besar responden telah sembuh dari penyakit TB Paru yaitu sebanyak 86 orang (91,5%), tetapi masih ada yang tidak sembuh yaitu sebanyak 8 orang (8,5%).

5.3.10 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan Pada Penderita TB Paru Berdasarkan Umur

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi keberhasilan pengobatan pada penderita TB paru berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel 5.11 dibawah ini.

(47)

Tabel 5.10 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan pada Penderita TB Paru berdasarkan Umur

No Umur (Tahun)

Keberhasilan

Jumlah Sembuh Tidak sembuh

f % f % F %

1 ≤20 tahun 3 3.2 0 0 3 3.2

2 21-40 tahun 37 39.4 0 0 37 39.4

3 41-60 tahun 35 37.2 2 2.1 37 39.4

4 >60 tahun 11 11.7 6 6.4 17 18.1

Jumlah 86 91.5 8 8.5 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.10 di atas dapat diketahui bahwa dari 3 orang responden penderita TB Paru usia ≤20 tahun sebanyak 3 orang (3,2%) semuanya sembuh dari dari penyakit TB paru dan juga dari 37 orang responden usia 21-40 tahun seluruhnya sembuh dari penyakit TB Paru. Dari 37 orang responden usia 41-60 tahun sebagian besar sebanyak 36 orang (38,3%) sembuh dan ada 1 orang (1,1%) tidak sembuh dari penyakit TB Paru. Dan dari 17 orang responden usia

>60 tahun sebanyak 12 orang (12,8%) sembuh dan ada 5 orang (5,3%) tidak sembuh dari penyakit TB Paru.

5.3.11 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan Pada Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi keberhasilan pengobatan pada penderita TB paru berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.11 dibawah ini.

(48)

Tabel 5.11 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Penderita TB Paru berdasarkan Jenis Kelamin

No Jenis Kelamin

Keberhasilan

Jumlah Sembuh Tidak sembuh

f % f % f %

1 Laki-laki 57 60.6 6 6.4 63 67.0

2 Perempuan 31 33.0 0 0 31 33.0

Jumlah 88 93.6 6 6.4 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.11 di atas dapat diketahui bahwa dari 63 orang responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 57 orang (60,6%) sembuh dan ada 6 orang (6.4%) tidak sembuh dari penyakit TB paru. Dari 31 orang responden dengan jenis kelamin perempuan seluruhnya (31%) sembuh dari penyakit TB Paru.

5.3.12 Distribusi Frekuensi Keberhasilan Pengobatan Pada Penderita TB Paru Berdasarkan Pengobatan

Dalam penelitian ini, distribusi frekuensi keberhasilan pengobatan pada penderita TB paru berdasarkan pengobatan dapat dilihat pada tabel 5.14 dibawah ini.

Tabel 5.12 Distribusi Frekuensi Tingkat Keberhasilan Penderita TB Paru berdasarkan Pengobatan

No Pengobatan

Keberhasilan

Jumlah Sembuh Tidak sembuh

F % f % f %

1 Kategori 1 83 88,3 3 3,2 86 91,5

2 Kategori 2 2 2,1 3 3,2 5 5,3

3 Kategori 3 1 1,1 2 2,1 3 3,2

(49)

Jumlah 86 91.5 8 8.5 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.12 di atas dapat diketahui bahwa dari 86 orang responden dengan pengobatan kategori 1 sebagian besar sebanyak 83 orang (88,3%) sembuh dan ada 3 orang (3,2%) tidak sembuh dari penyakit TB Paru.

Dari 5 orang pasien yang melakukan pengobatan dengan kategori 2 ada 2 pasien (2,1%) sembuh, dan sebanyak 3 orang (3,2%) tidak sembuh. Dan dari 3 orang pasien yang melakukan pengobatan dengan kategori 3 ada 1 pasien (1,1%) sembuh dan sebanyak 2 pasien (2,1%) tidak sembuh.

5.3.13 Hubungan Tingkat Kepatuhan Berobat dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita TB Paru

Dalam penelitian ini, tingkat kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan penderita TB paru di puskesmas helvetia kota medan dapat dilihat pada table 5.13 dibawah ini.

Tabel 5.13 Distribusi Tingkat Kepatuhan Berobat dengan Keberhasilan Pengobatan Penderita TB Paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan

No Tingkat Kepatuhan

Keberhasilan

Jumlah P-

value Sembuh Tidak sembuh

F % F % F %

1 Patuh 86 91.5 0 0.0 86 91.5

0,000

2 Tidak Patuh 0 0.0 8 8.5 8 8.5

Jumlah 86 91.5 8 8.5 94 100.0

Berdasarkan Tabel 5.13 di atas dapat diketahui bahwa dari 86 orang pasien dengan tingkat kepatuhan patuh, seluruhnya (91,5%) sembuh dan dari 7 orang pasien dengan tingkat kepatuhan tidak patuh ada 1 pasien (1,1%) sembuh dan sebanyak 6 orang pasien (6,4%) tidak sembuh. Hasil uji statistik menunjukkan p- value sebesar 0,000. Artinya ada hubungan yang signifikan antara tingkat

(50)

kepatuhan berobat dengan keberhasilan pengobatan penderita TB paru di Puskesmas Helvetia Kota Medan.

5.4 Pembahasan

5.4.1 Karakteristik Responden

Dari hasil penelitian pada tabel 5.1 dapat diketahui bahwa penderita TB Paru sebagian besar berada pada kelompok umur 21-40 yaitu masing-masing sebanyak 37 orang (39,4%) diikuti kelompok umur >60 tahun yaitu sebanyak 17 orang (18,1%), selanjutnya paling sedikit kelompok umur <20 tahun hanya ada 3 orang (3,2%). Penelitian ini sependapat dengan Nurmala H.S (2002) yang menyatakan bahwa kebanyakan penderita ada pada kelompok usia 23-37 tahun yaitu sebanyak 20 orang.18

Dari hasil penelitian pada tabel 5.2 dapat diketahui bahwa proporsi tertinggi penderita TB Paru terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 63 orang (67%) dan perempuan sebanyak 31 orang (33%). Penelitian ini sependapat denganKholifatul (2012) yang menyatakan bahwa distribusi pasien menurut jenis kelamin menunjukkan sebagian besar pasien TB paru adalah laki-laki sebanyak 23 pasien (72%).19Dan juga sejalan dengan temuan Leli (2012), pasien terbanyak dalam penelitiannya berjenis kelamin laki-laki yaitu 33 orang (33/45) dan 12 orang (12/45) berjenis kelamin perempuan.20

Dari hasil penelitian pada tabel 5.3 dapat diketahui bahwa frekuensi berdasarkan pemeriksaan penunjang pada penderita TB Paru proporsi tertinggi terdapat pada BTA+ yaitu sebanyak 89 kasus (94,7%), BTA- 5 kasus (5.3%).

Penelitian ini sejalan dengan Eni, Irvan, Erkadius (2014) yang menyatakan bahwa penderita TB paru di Lubung Alung periode Januari 2012-Desember 2012 ditemukan lebih banyak BTA (+) sebanyak 784 orang (70,8%).21

Dari hasil penelitian pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa distribusi frekuensi berdasarkan pengobatan pada penderita TB Paru proporsi tertinggi dijumpai pada pengobatan dengan kategori 1 yaitu sebanyak 86 pasien (91,5%), kategori 2 ada 5 pasien (5,3%) dan kategori 3 ada 3 pasien (3,2%). Penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitin Nurmala H.S (2002) yang menyatakan

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Biasanya untuk menyelesaikan permasalahan subyek dan istrinya tidak membutuhkan waktu yang sangat lama, menurutnya ketika sedang mengalami masalah dengan istri paling lama dua hari

[r]

Selanjutnya, untuk mendapatkan gambaran seberapa besar pengaruh Prestasi Belajar Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Pengaruhnya Terhadap Akhlak Sosial Siswa

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan uji friedman , pada aspek warna dalam dan aspek tekstur menunjukkan bahwa terdapat pengaruh substitusi pure

Persamaan Master adalah sebuah persamaan diferensial fenomenologis orde pertama yang penyelesaiannya memberikan evolusi waktu dari (fungsi) peluang suatu sistem

a. Hanya membahas sistem kerja dan karakteristik dari sensor gas. Tidak membahas internal sensor secara detail maupun tingkat ketahanan sensor. Tidak membahas fan

(7) Lafz al- Jalalah ( ﷲﺍ ) yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mudaf ilayh (frase nomina),

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa faktor penghambat kegiatan ekstrakurikuler bolavoli mini di SD Negeri 2 Tribuana Kecamatan Punggelan