• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam empat aliran utama: traits, behavioural, contingency, dan visionary

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam empat aliran utama: traits, behavioural, contingency, dan visionary"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

KAJIAN PUSTAKA Kepemimpinan Transformasional

Banyak teori yang diusulkan telah memberikan kontribusi besar bagi pemahaman mengenai konsep kepemimpinan. Teori ini dapat dikategorikan ke dalam empat aliran utama: traits, behavioural, contingency, dan visionary (Hemsworth et al., 2013). Khuntia dan Suar (2004) menyatakan bahwa semua teori mengenai kepemimpinan menekankan pada tiga gagasan yang dibangun baik secara bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pengikut; dan (3) faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim organisasi, dan budaya. Luthans (2006:638) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok proses, kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapaian tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Menurut Rivai dan Mulyadi (2012:133), kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang lain, melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota kelompok, menggerakkan kemampuan dengan menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai.

Aliran visioner telah mendapatkan popularitas selama dekade terakhir. Bass mengembangkan konseptualisasi kepemimpinan berdasarkan aliran visioner dengan bukunya yang berjudul Leadership and Performance Beyond Expectations (Hemsworth et al. 2013). Bass (1985) mengembangkan apa yang sering disebut

(2)

dalam literatur sebagai Full-Range Leadership Theory (FRLT). Teori tersebut membagi gaya kepemimpinan menjadi dua kategori besar yaitu transaksional dan transformasional.

Kepemimpinan transaksional tradisional mencakup hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya. Kepemimpinan transaksional adalah resep bagi keadaan seimbang, sedangkan kepemimpinan transformasional membawa keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan. Karakteristik dan pendekatan pemimpin transaksional yaitu (Luthans, 2006:654): 1) Penghargaan kontingen, yaitu kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha

yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui pencapaian atau prestasi.

2) Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif), yaitu: mengawasi dan mencari pelanggaran terhadap aturan dan standar, mengambil tindakan korektif.

3) Manajemen berdasarkan kekecualian (pasif), yaitu: intervensi hanya jika standar tidak dipenuhi.

4) Sesuka hati, yaitu: menghindari tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.

Adapun karakteristik dan pendekatan pemimpin transformasional yaitu (Luthans, 2006:654):

1) Karisma, yaitu: memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek dan kepercayaan.

(3)

2) Inspirasi, yaitu: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana.

3) Stimulasi intelektual, yaitu: menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati.

4) Memperhatikan individu, yaitu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.

Hughes et al. (2012:542) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional memiliki visi, keahlian retorika, dan pengelolaan kesan yang baik dan menggunakannya untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dengan pengikutnya. Luthans (2006:654) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional lebih sering memakai taktik legitimasi dan melahirkan tingkat identifikasi dan internalisasi yang lebih tinggi, memiliki kinerja yang lebih baik, dan mengembangkan pengikutnya. Menurut Robbins dan Judge (2013:382), kepemimpinan transformasional lebih unggul daripada kepemimpinan transaksional, dan menghasilkan tingkat upaya dan kinerja para pengikut yang melampaui apa yang bisa dicapai kalau pemimpin hanya menerapkan pendekatan transaksional.

Berdasarkan kajian kepemimpinan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kepemimpinan berdasarkan pendekatan transformasional. Pendekatan transformasional merupakan pendekatan atau perspektif yang paling populer yang digunakan dalam mempelajari kepemimpinan pada saat ini, serta dipandang sesuai dengan obyek yang akan diteliti. Hemsworth et al. (2013) juga menyatakan, gaya

(4)

kepemimpinan transformasional mendapatkan perhatian penuh selama dekade terakhir dalam berbagai obyek penelitian seperti , rumah sakit, perbankan, olahraga, penjualan, kepolisian, manufaktur dan pemerintah.

Pemerintah Indonesia membangun gaya kepemimpinan transformasional bagi pemimpin-pemimpin organisasi pemerintah, termasuk di Balai Diklat Industri melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim). Asmoko (2015) menganalisis peran pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim) dalam rangka pengembangan kepemimpinan transformasional menyatakan diklatpim dapat menunjang pengembangan kepemimpinan transformasional. Asmoko (2015) juga menyatakan bahwa inti dari kompetensi kepemimpinan dalam diklatpim tersebut adalah terbentuknya pemimpin yang mampu melakukan perubahan.

Bass (1985) mendefinisikan pemimpin transformasional sebagai individu yang memiliki karakteristik tertentu, yang mampu memotivasi pengikut untuk bergerak di luar kepentingan pribadi dan berkomitmen untuk tujuan organisasi, sehingga tampil melampaui harapan. Antonakis et al. (2003) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai sebuah perilaku yang bersifat proaktif, meningkatkan perhatian atas kepentingan bersama kepada para pengikut, dan membantu para pengikut mencapai tujuan pada tingkatan yang paling tinggi. Khuntia dan Suar (2004) menekankan bahwa dalam kepemimpinan transformasional, pemimpin merubah kepercayaan, nilai, dan perilaku para pengikut sehingga konsisten dengan visi organisasi. Khuntia dan Suar (2004) menegaskan bahwa pemimpin yang menerapkan kepemimpinan transformasional memberikan pengaruhnya kepada para pengikut dengan melibatkan pengikutnya

(5)

berpartisipasi dalam penentuan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan memberikan umpan balik melalui pelatihan, pengarahan, konsultasi, bimbingan, dan pemantauan atas tugas yang diberikan.

Pemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mendorong para pengikutnya untuk merubah motif, kepercayaaan, nilai, dan kemampuan sehingga minat dan tujuan pribadi dari para pengikut dapat selaras dengan visi dan tujuan organisasi (Goodwin et al., 2001). Krishnan (2005) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional merubah dan memperluas minat para pengikutnya, dan menghasilkan kesadaran akan penerimaan tujuan dan misi bersama. Nguni (2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memerlukan peningkatan level motivasi dari para pengikut melebihi nilai yang dipertukarkan dan melebihi dari apa yang diharapkan oleh para pengikut, dengan demikian para pengikut dapat mencapai kinerja pada level yang lebih tinggi dan terwujudnya aktualisasi diri. Asgari et al. (2008) menyatakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi para pengikutnya dengan mengajak para pengikutnya untuk menginternalisasi dan memprioritaskan kepentingan bersama yang lebih besar di atas kepentingan pribadi. Yukl (2010:320) mengemukakan bahwa para pemimpin transformasional membuat para pengikut menjadi lebih menyadari kepentingan dan nilai dari pekerjaan dan membujuk pengikut untuk tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri demi organisasi.

Para pemimpin transformasional yang sesungguhnya yakni ketika mereka memberikan kesadaran tentang apa itu benar, baik, indah, ketika mereka membantu meninggikan kebutuhan dari para bawahan dalam mencapai apa yang diinginkan

(6)

dan dalam mencapai aktualisasi, para pemimpin membantu dalam mencapai tingkat kedewasaan moral yang lebih tinggi, dan ketika para pemimpin itu mampu menggerakkan para bawahannya untuk melepaskan kepentingan diri mereka sendiri untuk kebaikan group, organisasi, maupun masyarakat (Sopiah, 2008:295). Rivai dan Mulyadi (2012:132) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk berbuat lebih baik dengan apa yang sesungguhnya diharapkan bawahan itu dengan meningkatkan nilai tugas, dengan mendorong bawahan mengorbankan kepentingan diri sendiri demi kepentingan organisasi yang dibarengi dengan menaikkan tingkat kebutuhan bawahan ke tingkat yang lebih baik.

Menurut Robbins dan Judge (2013:382), pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka demi kebaikan organisasi dan mereka mampu memiliki pengaruh yang luar biasa pada diri para pengikutnya. Pemimpin transformasional menaruh perhatian terhadap kebutuhan pengembangan diri para pengikutnya, mengubah kesadaran para pengikut atas isu-isu yang ada dengan cara membantu orang lain memandang masalah lama dengan cara yang baru, serta mampu menyenangkan hati dan menginspirasi para pengikutnya untuk bekerja keras guna mencapai tujuan-tujuan bersama.

Luthans (2006:653-654) menyimpulkan bahwa pemimpin transformasional yang efektif memiliki karakter sebagai berikut:

1) Mereka mengidenditifikasi dirinya sebagai alat perubahan 2) Mereka berani

(7)

4) Mereka motor penggerak nilai 5) Mereka pembelajar sepanjang masa

6) Mereka memiliki kemampuan menghadapi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian

7) Mereka visioner

Yukl (2010:316-319) mengemukakan beberapa pedoman bagi para pemimpin yang berusaha untuk menginspirasikan dan memotivasi pengikut, yaitu:

1) Menyatakan visi yang jelas dan menarik.

Para pemimpin transformasional memperkuat visi yang ada atau membangun komitmen terhadap sebuah visi baru. Sebuah visi yang jelas mengenai apa yang dapat dicapai organisasi atau akan jadi apakah sebuah organisasi itu akan membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran dan prioritas dari organisasi. 2) Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai.

Tidaklah cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik, pemimpin juga harus meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan. Amatlah penting untuk membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah strategi yang dapat dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah dibangun jika strateginya memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan nilai bersama dari para anggota organisasi.

3) Bertindak secara rahasia dan optimis.

Para pengikut tidak akan meyakini sebuah visi kecuali jika pemimpinnya memperlihatkan keyakinan diri dan pendirian. Pemimpin harus tetap optimis tentang kemungkinan keberhasilan organisasi dalam mencapai visinya,

(8)

khususnya dalam menghadapi halangan dan kemunduran sementara. Keyakinan dan optimisme seorang pemimpin dapat amat menular. Keyakinan diperlihatkan baik dalam perkataan maupun tindakan.

4) Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut.

Pengikut akan memiliki kinerja yang lebih baik saat pemimpinnya memiliki harapan yang tinggi bagi mereka dan memperlihatkan keyakinan terhadap mereka.

5) Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai penting

Tindakan dramatis dengan perilaku kepemimpinan yang konsisten dengan visi organisasi merupakan cara efektif untuk menekankan nilai penting. Tindakan simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan sebuah nilai penting akan memberikan pengaruh saat pemimpin itu membuat resiko kerugian pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau melakukan hal-hal yang tidak konvensional.

6) Memimpin dengan memberikan contoh.

Salah satu cara seorang pemimpin mempengaruhi komitmen bawahan adalah dengan menetapkan sebuah contoh dari perilaku yang dapat dijadikan contoh dalam interaksi keseharian dengan bawahan. Seorang pemimpin yang meminta bawahan untuk membuat pengorbanan khusus harus menetapkan sebuah contoh dengan melakukan hal yang sama. Nilai-nilai yang menyertai seorang pemimpin harus diperlihatkan dalam perilakunya sehari-hari, dan harus dilakukan secara konsisten bukan hanya saat diperlukan.

(9)

7) Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk mencapai visi.

Pemimpin mendelegasikan kewenangan kepada bawahan untuk keputusan tentang bagaimana melakukan pekerjaan. Ini berarti pemimpin meminta bawahan untuk menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi atau mencapai sasaran

Menurut Robbins dan Judge (2013:382), Bass (1985) terdapat empat komponen kepemimpinan transformasional, yaitu:

1) Idealized Influence (Pengaruh Ideal)

Idealized influence adalah perilaku pemimpin yang memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, serta mendapatkan respek dan kepercayaan bawahan. Idealized influence disebut juga sebagai pemimpin yang kharismatik, dimana pengikut memiliki keyakinan yang mendalam pada pemimpinnya, merasa bangga bisa bekerja dengan pemimpinnya, dan mempercayai kapasitas pemimpinnya dalam mengatasi setiap permasalahan. Idealized Influence dibedakan menjadi attributed idealized influence dan behavioural idealized influence (Bass dan Avolio, 1995). Idealized Influence Attributes mengacu pada persepsi pengikut mengenai karakteristik seorang pemimpin yang menggambarkan seorang pemimpin merupakan panutan teladan, dikagumi dan dihormati oleh pengikutnya, sedangkan Idealized Influence Behaviours mengacu pada persepsi pengikut terhadap perilaku yang tampak dari para pemimpin yang menggambarkan seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan memiliki standar moral dan etika yang tinggi (Bass & Avolio, 1995)

(10)

2) Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional)

Inspirational motivation adalah perilaku pemimpin yang mampu mengkomunikasikan harapan yang tinggi, menyampaikan visi bersama secara menarik dengan menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan menginspirasi bawahan untuk mencapai tujuan yang menghasilkan kemajuan penting bagi organisasi.

3) Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)

Intellectual stimulation adalah perilaku pemimpin yang mampu meningkatkan kecerdasan bawahan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi mereka, meningkatkan rasionalitas, dan pemecahan masalah secara cermat.

4) Individualized Consideration (Pertimbangan Individual)

Individualized consideration adalah perilaku pemimpin yang memberikan perhatian pribadi, memperlakukan masing-masing bawahan secara individual sebagai seorang individu dengan kebutuhan, kemampuan, dan aspirasi yang berbeda, serta melatih dan memberikan saran. Individualized consideration dari kepemimpinan transformasional memperlakukan masing-masing bawahan sebagai individu serta mendampingi mereka, memonitor dan menumbuhkan peluang.

Gaya kepemimpinan transformasional pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Multi-leadership Questionnaire (MLQ) dari Bass dan Avolio (1995).

Kepercayaan Terhadap Atasan

Kepercayaan merupakan harapan atau keyakinan bahwa kita dapat mengandalkan tindakan dan kata-kata seseorang dan / atau bahwa orang tersebut

(11)

memiliki niat baik terhadap kita (Cook dan Wall, 1980; Robinson, 1996). Fokus keyakinan atau harapan dalam penelitian ini, ditujukan pada pemimpin organisasi, sehingga kepercayaan merupakan harapan atau keyakinan bahwa organisasi dapat mengandalkan tindakan atau kata-kata pemimpin dan bahwa pemimpin memiliki niat baik terhadap organisasi. Kepercayaan kepada atasan/pemimpin adalah tingkat keyakinan dan loyalitas kepada pemimpin (Podsakoff et al., 1990). Mahdi (2008:160) menyatakan, kepercayaan terhadap atasan adalah sikap tidak ragu-ragu dari seseorang karyawan kepada atasannya atas kebijakan yang dilakukan atasan tersebut. Robbins dan Judge (2013:388) menyatakan, kepercayaan adalah atribut utama yang terkait dengan kepemimpinan, mengabaikan hal tersebut dapat menyebabkan efek samping yang serius pada kinerja kelompok.

Menurut Robbins dan Judge (2013:389) terdapat tiga karakteristik kunci yang membuat kita percaya bahwa pemimpin dapat dipercaya antara lain :

1) Integritas (Integrity). Integritas mengacu pada kejujuran dan kebenaran

2) Kebajikan (Benevolence). Kebajikan berarti orang yang dipercaya memiliki daya tarik di hati anda, bahkan jika anda tidak selalu sejalan dengan mereka. Perilaku peduli dan mendukung merupakan bagian dari ikatan emosional antara pemimpin dan pengikut.

3) Kemampuan (Ability). Kemampuan meliputi pengetahuan dan keterampilan teknis dan interpersonal individu.

Kepercayaan antara supervisor dan karyawan memiliki sejumlah keuntungan penting (Robbins dan Judge, 2013:390) seperti:

(12)

1) Kepercayaan mendorong dalam hal pengambilan risiko. Setiap kali karyawan memutuskan untuk menyimpang dari cara yang biasa dilakukan atau mengikuti arahan supervisor untuk hal yang baru, mereka mengambil risiko dimana hubungan saling percaya dapat memfasilitasi hal tersebut.

2) Kepercayaan memfasilitasi dalam hal berbagi informasi. Salah satu alasan besar karyawan gagal untuk mengungkapkan keprihatinan mereka di tempat kerja adalah bahwa mereka tidak merasa aman secara psikologis mengungkapkan pandangan mereka, ketika para manajer menunjukkan bahwa mereka mendengar dan mempertimbangkan ide-ide karyawan dan secara aktif melakukan perubahan, karyawan lebih bersedia untuk berbicara.

3) Kelompok yang percaya lebih efektif. Ketika seorang pemimpin menunjukkan rasa percaya dalam kelompok, anggota lebih bersedia untuk membantu satu sama lain dan mengerahkan upaya ekstra, yang selanjutnya meningkatkan kepercayaan, sebaliknya kelompok yang tidak percaya cenderung curiga satu sama lain, waspada terhadap eksploitasi, dan membatasi komunikasi dengan orang lain dalam kelompok. Tindakan ini cenderung untuk melemahkan dan akhirnya menghancurkan kelompok.

4) Kepercayaan meningkatkan produktivitas. Karyawan yang percaya pada supervisor cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi.

Kepercayaan terhadap atasan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Adams et al. (2008). Adams et al. (2008) mengukur kepercayaan terhadap atasan dengan menggunakan 4 faktor antara lain:

(13)

1) Kompetensi (Competence), sejauh mana orang tersebut menunjukkan keterampilan, kompetensi dan karakteristik yang memungkinkan mereka untuk memiliki pengaruh.

2) Integritas (Integrity), sejauh mana orang tersebut dipandang terhormat dan kata-kata mereka sesuai tindakan.

3) Kebajikan (Benevolence), sejauh mana orang tersebut dipandang benar-benar peduli dan prihatin.

4) Prediktabilitas (Predictability), sejauh mana perilaku seseorang konsisten Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting (Luthans, 2006:243). Rivai dan Mulyadi (2012:246) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Garboua dan Montmarquette (2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja menggambarkan perasaan pekerja yang didasari atas pengalaman kerjanya. Gibson et al. (2009:152) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap para pekerja mengenai pekerjaannya yang dihasilkan dari persepsi mereka terhadap pekerjaannya berdasarkan faktor-faktor yang terdapat dalam lingkungan kerja seperti gaya penyelia, kebijakan dan prosedur, afiliasi kelompok kerja, kondisi kerja, dan manfaat lainnya bagi pekerja.

(14)

Robbins dan Judge (2013:74) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Dalam konsep tersebut, pekerjaan seseorang lebih dari sekedar aktivitas mengatur kertas, menulis kode program, menunggu pelanggan, atau mengendarai sebuah truk. Setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan kerja dan atasan-atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan organisasional, memenuhi standar-standar kinerja, menerima kondisi-kondisi kerja yang kurang ideal, dan lain-lain. Penilaian seorang karyawan tentang seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian yang rumit dari sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Luthans (2006:243) menyatakan terdapat tiga dimensi kepuasan kerja, yaitu:

1) Kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi dan kondisi kerja, dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. 2) Kepuasan kerja sering ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai

memenuhi atau melampaui harapan. Misalnya, jika anggota organisasi merasa bahwa mereka bekerja terlalu keras daripada yang lain dalam departemen, tetapi menerima penghargaan lebih sedikit, maka mereka mungkin akan memiliki sikap negatif terhadap pekerjaan, pimpinan, atau rekan kerja mereka. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa mereka diperlakukan dengan baik dan dibayar dengan pantas, maka mereka mungkin akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka.

(15)

Luthans (2006:243) mengemukakan bahwa karyawan yang tingkat kepuasannya tinggi cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, mempelajari tugas yang berhubungan dengan pekerjaan baru dengan lebih cepat, memiliki sedikit kecelakaan kerja, mengajukan lebih sedikit keluhan, meningkatkan kinerja, mengurangi pergantian karyawan dan ketidakhadiran. Cara-cara untuk meningkatkan kepuasan kerja, diantaranya:

1) Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan

2) Memiliki gaji, benefit, dan kesempatan promosi yang adil

3) Menyesuaikan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian mereka

4) Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan

Hughes et al. (2012:337) menyatakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan sikap seseorang mengenai kerja, dan ada beberapa alasan yang membuat kepuasan kerja merupakan konsep yang penting bagi pemimpin. Penelitian menunjukkan pekerja yang puas lebih cenderung bertahan bekerja untuk organisasi. Pekerja yang puas juga cenderung terlibat dalam perilaku organisasi yang melampaui deskripsi tugas dan peran mereka, serta membantu mengurangi beban kerja dan tingkat stres anggota lain dalam organisasi. Pekerja yang tidak puas cenderung bersikap menentang dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan terlibat dalam berbagai perilaku yang kontraproduktif. Ketidakpuasan juga alasan utama seseorang meninggalkan organisasi.

Castillo dan Cano (2004) mengemukakan beberapa faktor yang menyebabkan kepuasan dan ketidakpuasan kerja, yaitu:

(16)

1) Pengakuan (recognition)

Tindakan berupa pujian ataupun sikap menyalahkan yang disampaikan oleh atasan, rekan sejawat, manajemen, klien, dan atau masyarakat umum.

2) Pencapaian (achievement)

Segala upaya yang dilakukan untuk meraih keberhasilan termasuk mengambil sikap atas kegagalan yang terjadi.

3) Kesempatan berkembang (possibility of growth)

Kesempatan untuk berkembang yang tercermin dari perubahan status. 4) Kemajuan (advancement)

Perubahan nyata yang terjadi pada status pekerjaan 5) Gaji (salary)

Konsekuensi dari kompensasi yang memainkan peran utama. 6) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations)

Hubungan yang terjalin antara atasan, bawahan, dan rekan sejawat. 7) Pengawasan (supervision)

Kemampuan pengawas dalam mendelegasikan tanggung jawab dan membimbing bawahan.

8) Tanggung jawab (responsibility)

Kepuasan yang timbul berasal dari adanya kendali dan tanggung jawab yang diberikan dalam suatu pekerjaan.

9) Administrasi dan kebijakan (policy and administration)

Tindakan dimana beberapa aspek atau secara keseluruhan berdampak pada kepuasan kerja.

(17)

10) Kondisi kerja (working condition)

Kondisi kerja secara fisik seperti fasilitas kerja dan kualitas pekerjaan. 11) Pekerjaan itu sendiri (work it self)

Kinerja pekerjaan secara nyata yang berhubungan dengan kepuasan kerja. Schleicher et al. (2004); Luthans (2006:243); Robbins dan Judge (2013:79); Azeem (2010) mengungkapkan bahwa terdapat lima komponen kepuasan kerja, yaitu:

1) Pembayaran (Pay)

Sejumlah upah yang diterima dan tingkat di mana hal ini bisa dipandang sebagai hal yang dianggap pantas dibandingkan dengan orang lain dalam organisasi. Hal ini merupakan sesuatu yang lumrah bagi setiap pegawai dimana para pegawai mengharapkan pembayaran yang diterima sesuai dengan beban kerja yang mereka dapatkan. Pegawai membandingkan apakah dengan beban kerja yang sama, pegawai tersebut mendapatkan gaji yang sama atau berbeda. Hal ini mempengaruhi kepuasan yang mereka rasakan.

2) Pekerjaan (Job)

Pekerjaan yang diberikan dianggap menarik, memberikan kesempatan untuk pembelajaran bagi pegawai serta kesempatan untuk menerima tanggung jawab atas pekerjaan. Pegawai akan merasa senang dan tertantang bila diberikan pekerjaan yang dapat membuat mereka mengerahkan semua kemampuannya. Apabila beban dan tantangan pekerjaan yang diberikan jauh dibawah kemampuan yang mereka miliki, para pegawai cenderung merasa bosan, akan tetapi apabila diberikan beban kerja dan tanggung jawab lebih besar,

(18)

kemungkinan timbul rasa frustrasi sebagai akibat dari kegagalan pegawai dalam memenuhi tuntutan kerja yang telah diberikan oleh organisasi.

3) Kesempatan promosi (Promotion opportunities)

Kesempatan bagi pegawai untuk maju dan berkembang dalam organisasi, misalnya: kesempatan untuk mendapatkan promosi, penghargaan, kenaikan pangkat serta pengembangan individu. Hal ini terkait dengan pengembangan diri setiap pegawai. Pegawai memiliki keinginan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri sehingga pegawai akan merasa puas apabila organisasi memberikan kesempatan untuk berkembang dan mendapatkan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.

4) Atasan (Supervisor)

Kemampuan atasan untuk menunjukkan minat dan perhatian tentang pegawai, memberikan bantuan teknis, serta peran atasan dalam memperlakukan pegawai mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari, selain itu atasan dituntut memiliki kemampuan dalam melakukan pengambilan keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak kepada para bawahannya.

5) Rekan kerja (Co-workers)

Sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, bersahabat, dan saling mendukung dalam lingkungan kerja. Peranan rekan kerja dalam interaksi yang terjalin diantara pegawai mempengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan pegawai. Perselisihan yang timbul diantara sesama pegawai meskipun bersifat sepele dapat mempengaruhi perilaku pegawai dalam pekerjaannya sehari-hari.

(19)

Kepuasan kerja pada penelitian ini diukur dengan menggunakan Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) yang dikembangkan oleh Weiss et al. (1967). Weiss et al. (1967) mengembangkan MSQ berdasarkan theory of work adjustment. Teori ini berdasar pada konsep atas hubungan antara individu dengan lingkungannya (Dawis et al., 1968: 3). Hubungan keduanya dapat digambarkan dengan hubungan yang harmonis antara individu dengan lingkungannya, kecocokan individu dengan lingkungannya, begitu juga sebaliknya, dan hubungan saling melengkapi antara individu dengan lingkungannya. Setiap individu mempunyai keinginan yang harus dipenuhi oleh lingkungannya, begitu juga lingkungan, juga memiliki persyaratan untuk dipenuhi oleh individu, untuk dapat bertahan dalam lingkungannya, setiap individu harus memiliki hubungan yang baik dengan lingkungannya. MSQ terbagi dalam dua dimensi, dimensi intrinsik dan dimensi ekstrinsik (Weiss et al., 1967).

Spector (1997:15) mengatakan bahwa kepuasan kerja intrinsik mencerminkan tugas pekerjaan itu sendiri dan bagaimana orang-orang merasakan pekerjaan yang mereka lakukan. Adkins dan Naumann (2002:142-143) berpendapat bahwa kepuasan kerja intrinsik meliputi proses kerja itu sendiri. Weiss et al. (1967) membagi dimensi kepuasan kerja intrinsik ke dalam beberapa faktor sebagai berikut:

1) Activity, segala macam bentuk aktivitas yang dilakukan dalam bekerja. 2) Independence, kemandirian yang dimiliki karyawan dalam bekerja.

3) Variety, variasi yang dapat dilakukan karyawan dalam melakukan pekerjaannya

(20)

4) Social Status, derajat sosial dan harga diri yang dirasakan akibat dari pekerjaan 5) Moral values, nilai-nilai moral yang dimiliki karyawan dalam melakukan

pekerjaannya seperti rasa bersalah atau terpaksa.

6) Security, rasa aman yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaannya. 7) Social Service, perasaan sosial karyawan terhadap lingkungan kerjanya. 8) Authority, wewenang yang dimiliki dalam melakukan pekerjaan.

9) Ability Utilization , pemanfaatan kecakapan yang dimiliki oleh karyawan. 10) Responsibility, tanggung jawab yang diemban dan dimiliki.

11) Creativity , kreatifitas yang dapat dilakukan dalam melakukan pekerjaan. 12) Achievement , prestasi yang dicapai selama bekerja.

Spector (1997:15) mendefinisikan kepuasan kerja ekstrinsik sebagai aspek kerja yang tidak berhubungan langsung atau sedikit berhubungan dengan melakukan tugas pekerjaan. Adkins dan Naumann (2002:142-143) menyatakan bahwa kepuasan kerja ekstrinsik memperhatikan aspek-aspek kerja yang berhubungan dengan ruang lingkup pekerjaan tetapi tidak termasuk dalam proses kerja itu sendiri, seperti kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap pengawasan. Weiss et al. (1967) membagi dimensi kepuasan kerja ekstrinsik ke dalam beberapa faktor sebagai berikut :

1) Supervision-Human Relations, dukungan yang diberikan oleh badan usaha terhadap pekerjanya.

2) Supervision-Technical, bimbingan dan bantuan teknis yang diberikan atasan kepada karyawan

(21)

3) Company Policies and Practices , kebijakan yang dilakukan adil bagi karyawan

4) Compensation, segala macam bentuk kompensasi yang diberikan kepada para karyawan.

5) Advancement, Kemajuan atau perkembangan yang dicapai selama bekerja. 6) Recognition, pengakuan atas pekerjaan yang dilakukan.

7) Working Conditions, keadaan tempat kerja dimana karyawan melakukan pekerjaannya.

8) Co-workers, rekan sekerja yang terlibat langsung dalam pekerjaan.

MSQ mempunyai dua bentuk, yang pertama adalah long form yang terdiri dari 100 pertanyaan dan yang kedua adalah short form yang terdiri dari 20 pertanyaan, keduanya berisikan dimensi dan indikator yang sama. Pengukuran kepuasan kerja pada penelitian ini menggunakan MSQ short form.

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1) berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta (3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB) atau the extra-role behavior (Huang, 2012).

Robbins dan Judge (2013:27) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun

(22)

mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang (2010) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kumar et al. (2009) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem reward organisasi. Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan:

1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlukan, oleh karena itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut. 2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak

secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal organisasi.

3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.

4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara keseluruhan.

Organ et al. (2006:8) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau

(23)

deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal. Organ et al. (2006:8-10) menguraikan definisi tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut:

1) Perilaku individu yang bebas.

Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks tertentu bukan merupakan persyaratan mutlak yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempraktekkan perilaku tersebut.

2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal. Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman, pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara tertulis. Tuntutan tersebut jika dicantumkan dalam deskripsi pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Perilaku yang termasuk OCB bukan berarti tidak akan mendapatkan penghargaan sama sekali, sebagai contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang dimunculkan tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja dan atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Perbedaan penting yang

(24)

mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan imbalan tersebut.

3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi. Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara luas. Penelitian mengenai OCB secara umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan pendapatan.

OCB sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al. (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan:

1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja. 2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial.

3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan produktif.

4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan.

5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar anggota-anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja.

(25)

6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang handal.

7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.

8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya.

Shweta dan Srirang (2010) mengemukakan bahwa, konsep OCB pertama kali diperkenalkan oleh Smith, Organ, dan Near pada tahun 1983 yang menggambarkan OCB dalam dua komponen yaitu altruism dan generalized compliance (bentuk lain dari conscientiousness), kemudian Organ pada tahun 1988 menambahkan sportsmanship, courtesy, dan civic virtue sebagai komponen lain pada OCB disamping altruism dan generalized compliance. Williams dan Anderson (1991) mengelompokkan OCB dalam dua kategori yang berbeda yaitu: OCBI – perilaku yang mengarah pada individu dalam organisasi, terdiri dari altruism dan courtesy; dan OCBO – perilaku yang mengarah pada peningkatan efektivitas organisasi, terdiri dari conscientiousness, sportsmanship dan civic virtue. Komponen OCB yang digunakan dalam penelitian ini merupakan komponen yang dikemukakan oleh Konovsky dan Organ (1996); Jahangir et al. (2004); Organ et al. (2006:22); DiPaola dan Neves (2009); Ahmed et al. (2012), Chiang dan Hsieh (2012), yaitu:

1) Altruism

Altruism adalah perilaku berinisiatif untuk membantu atau menolong rekan kerja dalam organisasi secara sukarela. Komponen altruism secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(26)

b. Menggantikan peran atau pekerjaan rekan kerja yang berhalangan hadir. c. Rela membantu rekan kerja yang memiliki masalah dengan pekerjaan. d. Membantu rekan kerja yang lain agar lebih produktif.

e. Membantu proses orientasi lingkungan kerja atau memberi arahan kepada pegawai yang baru meskipun tidak diminta.

2) Courtesy

Courtesy adalah perilaku individu yang menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari perselisihan antar anggota dalam organisasi. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Komponen courtesy secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Menghormati hak-hak dan privasi rekan kerja.

b. Mencoba untuk tidak membuat masalah dengan rekan kerja. c. Mencoba menghindari terjadinya perselisihan antar rekan kerja.

d. Mempertimbangkan dampak terhadap rekan kerja dari setiap tindakan yang dilakukan.

e. Berkonsultasi terlebih dahulu dengan rekan kerja yang mungkin akan terpengaruh dengan tindakan yang akan dilakukan.

3) Sportsmanship

Sportsmanship adalah kesediaan individu menerima apapun yang ditetapkan oleh organisasi meskipun dalam keadaan yang tidak sewajarnya. Komponen sportsmanship secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(27)

a. Tidak menghabiskan waktu untuk mengeluh atas permasalahan yang sepele.

b. Tidak membesar-besarkan permasalahan yang terjadi dalam organisasi. c. Menerima setiap kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh organisasi. d. Mentolerir ketidaknyamanan yang terjadi di tempat kerja.

4) Conscientiousness

Conscientiousness adalah pengabdian atau dedikasi yang tinggi pada pekerjaan dan keinginan untuk melebihi standar pencapaian dalam setiap aspek. Komponen conscientiousness secara lebih rinci memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Ketika tidak masuk kerja, melapor kepada atasan atau rekan kerja terlebih dahulu.

b. Menyelesaikan tugas sebelum waktunya.

c. Selalu berusaha melakukan lebih dari apa yang seharusnya dilakukan. d. Secara sukarela melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi organisasi

disamping tugas utama.

e. Tidak membuang-buang waktu kerja.

f. Tidak mengambil waktu istirahat secara berlebihan.

g. Mematuhi peraturan dan ketentuan organisasi meskipun dalam kondisi tidak ada seorang pun yang mengawasi.

5) Civic Virtue

Civic virtue adalah perilaku individu yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki tanggung jawab untuk terlibat, berpartisipasi, turut serta, dan

(28)

peduli dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi. Komponen civic virtue secara lebih rinci, memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. Peduli terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi.

b. Turut serta dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi. c. Mengambil inisiatif untuk memberikan rekomendasi atau saran inovatif

untuk meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan.

Perilaku organizational citizenship behavior (OCB) pada penelitian ini diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Nguni (2005) dimana responden diminta untuk menunjukkan sejauh mana mereka setuju dengan pernyataan yang mencerminkan perilaku OCB.

(29)

29

Referensi

Dokumen terkait

(b) Meningkatnya sosialisasi, penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat petani ternak dan ikan. Terlaksananya pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak.

Peran dan tanggung jawabnya adalah menghimpun dana dari masyarakat melalui sumbangan wajib pemilik kendaraan bermotor yang dilakukan setiap tahunnya, dan disalurkan kembali

Surat kuasa KPA/pemimpin BLU kepada Kuasa BUN Pusat dan Kuasa BUN di Daerah untuk memperoleh informasi dan kewenangan terkait Rekening yang dibuka pada Bank

Perusahaan dengan struktur aktiva yang aktiva tetapnya sesuai untuk dijadikan agunan kredit akan cenderung menggunakan hutang hipotik yang lebih besar, karena

Padahal, ribuan jamaah haji yang berthawaf siang dan malam itu tidaklah seluruhnya menunaikan thawaf wajib (qudum atau thawaf umrah), tetapi hanya sekedar thawaf sunat

Pasal 28I ayat (4) mengenai perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan tumbuhan untuk kesehatan reproduksi oleh masyarakat lokal Kedang belum diikuti dengan publikasi ilmiah, sehingga penelitian

0HQJDSD SDVDQJDQ +DGL - 'RQ \DQJ GLGXNXQJ ROHK NRDOLVL SDUWDL VHEDQ\DN SDVDQJDQ %,66$ \DQJ GLGXNXQJ ROHK NRDOLVL SDUWDL VHEHVDU ELVD GLNDODKNDQ ROHK SDVDQJDQ *DJDK \DQJ GLGXNXQJ