15
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam bab ini akan penulis paparkan 3(tiga) hal yaitu tinjauan pustaka, hasil-penelitian, dan analisa.
A. Tinjauan Pustaka
1. Perlindungan Anak dan Istri
Dalam perkawinan yang tidak dicatatkan menimbulkan celah hukum dimana hak-hak anak dan istri tidak terpenuhi. Penulis akan menjabarkan tentang perlindungan anak dan istri yang akan dibagi menjadi pengertian perlindungan hukum, perlindungan hukum terhadap anak, hak asasi anak. untuk perlindungan perempuan dibagi dalam pengertian perlindungan istri, perlindungan istri dalam hukum perdata.
a. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum kedalam bentuk perangkat baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang lisan maupun tulisan. Bahwa perlindungan hukum sebagai suatu gambaran tersendiri dari fungsi hukum itu sendiri, hukum memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.
Satjipto Rahardjo berpendapat perlindungan hukum ialah adanya upaya
16
melindungi kepentingan sesorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.
1Menurut Philipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.
2Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah- kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.
3Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
4a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
1 Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah, Jurnal Masalah Hukum, 1993.
2 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Rakyat Bagi Rakyat di Indonesia
(sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara), Surabaya, 1987, PT. Bina Ilmu, h. 25
3 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Surakarta, magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003, h. 14.
4 Ibid. h. 20
17
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam, yaitu:
51. Sarana Perlindungan Hukum Preventif
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum diputuskan suatu perkara agar tidak terjadi sengketa.
2. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Yang dilakukan dalam Pengadilan Umum.
Jadi perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum yang dilakukan sebelum terjadinya suatu tindakan yang merugikan secara hukum.
Sehingga perlindungan preventif merupakan perlindungan hukum yang dibuat untuk mencegah sesuatu terjadi. Sedangkan perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang harus diakukan saat itu dengan menjatuhkan sanksi, sehingga dapat disimpulkan perlindungan represif adalah perlindungan akhir jika perlindungan hukum preventif tidak membuahkan hasil.
5 Philipus M. Hadjon. Op Cit. h. 30
18
1.b. Perlindungan Hukum Terhadap Subyek Hukum Menurut HAM
I. Pengertian Anak dan Perlindungan Anak
Pengertian anak dalam sistem hukum Indonesia belum ada keseragaman, tiap peraturan perundang-undangan memberikan batasan usia anak yang berbeda.
Jadi dari berbagai defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang gelar anak tersebut.
6John Lock mengemukakan bahwa anak merupakan pribadi yang masih bersih dan peka terhadap ransangan-ransangan yang berasal dari lingkungannya. Anak juga tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecendrungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan bersifat memaksa.
7Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak adalah seorang yang memiliki batasan umur sehingga dapat dikatakan masih sebagai anak dan sebuah hasil dari akibat pekawinan yang juga memilik hak.
Pengertian perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik
6 Beni Ahmad, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Jakarta, 2007, H. 37.
7 Irma S. Soemitro, Aspek Hukum perlindungan Anak, Bumi Aksara. Jakarta, 1990, h. 19
19
fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
8Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Perlindungan anak diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi;
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapaterlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Bismar Siregar SH menyebutkan bahwa aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum anak belum dibebani kewajiban.
9Perlindungan secara hukum inilah yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak:
a. Anak sebagai subjek hukum anak digolongkan sebagai makhluk yang memiliki hak asasi manusia yang terikat oleh peraturan perundang- undangan.
8 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Cet. II, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2010, h. 33
9 Irma Setyowati Soemitro, Op. cit, h. 3.
20
b. Persamaan hak dan kewajiban anak akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang dewasa sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.
Adapun unsur eksternal dalam diri anak ialah:
a. Adanya ketentuan hukum dengan asas persamaan dalam hukum (equality before the law)
b. Adanya hak-hak istimewa (privilege) dari pemerintah melalui Undang-Undang Dasar 1945.
II. Hak Asasi Anak
Hak Asasi Anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Perlindungan anak sendiri diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Selain itu Negara dan Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban
dan tanggung jawab untuk menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak
tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau
mental. Negara dan pemerintah juga berkewajiban serta bertanggungjawab untuk
memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak. Pengaturan mengenai kewajiban dan tanggung jawab negara
dan pemerintah tercantum dalam ketentuan Pasal 21 dan Pasal 22 Undang-
21
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur mengenai jaminan negara dan pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan anak, yang berisi sebagai berikut;
Pasal 22 menyatakan:
(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak.
(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
Dalam Pasal 24 menyatakan:
Negara dan pemerintah juga menjamin anak untuk menggunakanhaknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Dengan demikian jaminan yang diberikan oleh negara dan pemerintah tersebut diikuti pula dengan pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
Perlindungan anak juga diatur dalam UU Perkawinan karna anak merupakan
hasil dari sebuah perkawinan sehingga haknya juga dilindungi dalam Undang-
undang tersebut. Dalam Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa
Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya, hal ini membuat bahwa anak memiliki prirotas untuk disayangi dan
22
dididik sehingga orang tua tidak boleh melalaikan hak anak tersebut karna memiliki akibat hukum tersendiri bagi orang tua yang menelantarkan anaknya.
III. Tentang Perempuan (Istri) dan Perlindungan Perempuan (Istri)
Perempuan (istri) merupakan makhluk lemah lembut dan penuh kasih sayang karena perasaannya yang halus. Secara umum sifat perempuan yaitu keindahan, kelembutan serta rendah hati dan memelihara. Dalam bukunya Zaitunah Subhan perempuan berasal dari kata “empu” yang artinya dihargai.
Lebih lanjut Zaitunah menjelaskan pergeseran istilah dari wanita ke perempuan.
Kata wanita dianggap berasal dari bahasa Sanskerta, dengan dasar kata Wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsuai atau merupakan objek seks. Jadi secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita ke perempuan adalah megubah objek jadi subjek. Tetapi dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata want, atau men dalam bahasa Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Kata tersebut mempunyai arti like, wish, desire, aim. kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya wanted. Jadi, wanita adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu seseorang yang diingini.
10Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus dalam hukum adalah perempuan.
11Istri adalah orang yang dapat hamil melahirkan anak, menyusui dan keterbatasan fisik (lemah) yang berbeda dengan kaum pria lebih kekar dan kuat secara fisik. Tanpa adanya perlakuan khusus, istri tidak akan dapat mengakses perlindungan hukum karena perbedaan dan
10 Zaitunah Subhan, Qodrat Perempuan Taqdir atau Mitos, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2004, h. 1.
11 Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, h. 448
23
pembedaan yang dihasilkan dan dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis. Perlindungan tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi terhadap perempuan dan tidak mampu mencapai keadilan. Domestikfikasi perempuan menjadi pemicu betapa rendahnya keterlibatan kaum perempuan berada di ruang publik.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvesi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Diantara perjanjian perjanjian HAM internasional adalah konvensi pengahapusan segala bentuk diskriminasi terhadapperempuan merupakan konvensi perlindungan terhadap perempuan. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (3) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin telah dilarang oleh hukum. Aturan hukum lainnya harus meniadakan diskriminasi dalam setiap aspek kehidupan, sosial, politik, budaya, ekonomi dan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia selalu di tujukan pada semua orang jenis kelamin dan golongan, dalam memberikan perlindungan juga terhadap perempuan, anak dan masyarakat adat.
Istri seringkali dinomor duakan oleh tradisi dan budaya untuk menikmati hak- haknya dan selalu berdampak pada posisi yang tidak beruntung. Bentuk perlindungan dalam menikmati hak-haknya yaitu hak ekonomi, sosial dan budaya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap istri tertuang pula
pada Intruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
24
(kesetaraan) Gender yang mengharuskan setiap institusi penyelenggara pemerintah mengintegrasikan pengarusutamaan (kesetaraan) gender dalam program dan budgetnya.
Dari beberapa peraturan dan perundang-undangan yang tersurat maupun tersirat memberikan perlindungan terhadap istri dalam satu sisi menjadi angin segar bagi perempuan tetapi disisi lain masih perlu dikaji lebih jauh dalam implementasi, penerapan dan penjabaran lebih lanjut. Untuk mengakses perlindungan terhadap perempuan.
Sehingga macam-macam bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap perlindungan istri adalah: UU No 7/1984 Tentang Ratifikasi CEDAW dan UU No 39/1999 tentang HAM. Hak Perempuan dicantukan dalam Pasal 7 Undang- Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi CEDAW yang memiliki pokok isi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan publik Negara dan khususnya memastikan hak-hak perempuan setara dengan laki-laki.
IV. Hak Asasi Istri
Hak asasi istri merupakan bagian dari Hak asasi manusia. Penegakan hak
asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai
dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB 1993, maka perlindungan,
pemenuhan dan penghormatan hak asasi istri adalah tanggung jawab semua pihak
baik lembaga-lembaga Negara (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun Partai
politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
25
istri. Sehingga dapat dikatakan hak asasi perempuan, yaitu hak yang dimiliki oleh seorang istri, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan.
Istri memiliki 5 hak asasi dalam berbagai bidang yang membuat menjadi seorang manusia bebas. Salah satunya mengenai hak istri dalam perkawinan dan keluarga. Dalam hak tersebut hak istri harus ingat bahwa ia punya hak yang sama dengan laki-laki dalam perkawinan. Istri punya hak untuk memilih suaminya secara bebas, dan tidak boleh ada perkawinan paksa. Perkawinan yang dilakukan haruslah berdasarkan persetujuan dari kedua belah pihak. Dalam keluarga, istri juga memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, baik sebagai orang tua terhadap anaknya, maupun pasangan suami-istri.
Selain itu Hak Asasi istri juga tertuang dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 dan dalam pasal 71 pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan menegakkan Hak Asasi istri sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
2. Tentang Perkawinan
Dalam hal ini penulis akan membagi materi perkawinan dimulai dari
pengertian perkawinan, syarat-syarat perkawinan, tahap-tahap perkawinan, dan
akibat perkawinan.
26
a. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan berada didalam Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan merumuskan bahwa ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga perkawinan merupakan perikatan yang suci.
12Dalam Pasal 2 KHI dikatakan bahwa perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dapat disimpulkan perkawinan merupakan suatu perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang sah dimata hukum, serta akan timbul hak dan kewajiban bersama selaku suami istri.
b. Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan secara umum diatur dalam UU Perkawinan, syarat yang terdapat dalam UU Perkawinan terbagi 2 yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat materil dalam UU Perkawinan terletak pada Pasal 6 sampai Pasal 11, berikut syarat materil Perkawinan menurut UU Perkawinan:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
12 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-harta Benda dalam Perkawinan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, h. 43
27
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
4. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Selain syarat materil, dalam UU perkawinan menyebutkan tentang syarat- syarat formil. Syarat formil terdapat pada Pasal 12 UU Perkawinan dan tindak lanjuti dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975. Ada empat tahapan penting untung menyelenggarakan pencatatan perkawinan, yakni;
1. Pemberitahuan
2. Penelitian dan Pemeriksaan 3. Pengumuman
4. Pencatatan Perkawinan
28
Selain syarat perkawinan yang berada dalam UU Perkawinan, KHI juga mengatur tentang syarat perkawinan agar sesuai dengan syariat agama Islam.
mengatur syarat-syarat perkawinan agar berkawinan dianggap sah, syarat-syarat KHI tersebut dibagi menjadi 2 bagian yaitu syarat umum dan syarat khusus.
Syarat umum perkawinan menurut KHI adalah:
1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 UU Perkwinan yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun (Pasal 15).
2. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas (Pasal 16).
3. Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Sedangkan syarat khususnya adalah;
1. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan yang beragama Islam,
calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak
29
(conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, dan sudah akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan.
2. Adanya wali nikah yang Beragama Islam. Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Wali nikah harus beragama Islam, aqhil dan baliqh. Wali nikah yang ditunjuk Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk akan menjadi Wali hakim.
3. Adanya saksi yang beragama Islam, saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli serta Beragama Islam
4. Dilakukannya akad nikdah dengan ijab dan Kabul. Ijab dan kabul antara
wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang
waktu. Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah
yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.
30
c. Tahap-Tahap Dalam Perkawinan
Tahapan dalam mencatatatkan perkawinan tedapad dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975. Dalam Pasal 2 menjelaskan mengenai pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukuan sesuai dengan agamanya dan yang selain beragama Islam dapat melakukannya di kantor pencatatan sipil. Tahapan perkawinan ditulis dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 PP No. 9 Tahun 1975 dan diurutkan sebagai berikut;
Ad.1. Pemberitahuan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.
Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3 sampai dengan Pasal 5).
Ad.2. Penelitian dan Pemeriksaan
Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti,
apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar
khusus untuk hal tersebut (Pasal 6 sampai dengan Pasal 7). Hal-hal yang
harus diperksika dan diteliti adalah identitas calon apakah telah memenuhi
syarat yang berlaku, memastikan status mempelai apakah sesuai agar
diketahui syarat perkawinan terpenuhi, dan Agama harus diperiksa dan
diteiti agar terjadi yang sesuai dengan agama pasangan calon suami istri.
31
Ad.3. Pengumuman
Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain; Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (Pasal 8 sampai dengan Pasal 9). Tujuan dari pengumuman untuk memberi kesempatan bagi pihak yang keberatan untuk mengajukan keberatan apabila terhadap calon mempelai tersebut ada halanganuntuk melangsukan perkawinan karena ada syarat-syarat materiil yang tidak terpenuhi.
13Ad. 4. Pencatatan Perkawinan
Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10 sampai dengan Pasal 13).
13 Christiana Tri Budhiyanti, Mengenal Hukum Perdata Di Indonesia, Widya Sari Press, Salatiga, 2019, h. 46.
32
Selain dalam PP No. 9 Tahun 1975, yang mengatur pencatatan perkawinan terdapat dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang berisi:
(1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundangundangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUA Kecamatan.
(5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan.
(6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta PencatatanSipil.
(7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.
Jika suatu perkawinan tidak melakukan tahap-tahap tersebut dan tidak mencatatakan perkawinananya, maka perkwinan tersebut tidak memiliki bukti perkawinan berupa akta nikah, sehingga dapat dikatakan perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum negara.
d. Akibat Perkawinan
33
Dalam membangun suatu perkawinan pasti muncul akibat-akibat dalam perkawinan yang akan terjadi, hal tersebut telah diatur dalam UU Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam KHI.
Perkawinan menurut UU Perkawinan akan menimbulkan akbibat terhadap;
akibat terhadap hubungan suami-istri, terhadap harta kekayaan, dan terhadap anak. Akibat perkawinan terhadap suami-istri diatur dalam Pasal 30 sampai Pasal 37 dan dalam Pasal 42, yakni timbulnya hak dan kewajiban suami-istri;
1. Suami Istri mempunyai kewajiban untuk menegakkan rumah tangga. (Pasal 30)
2. Kedudukan Suami Istri seimbang, masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum, suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. (Pasal 31)
3. Suami Istri saling menghormati. (Pasal 33) 4. Suami wajib melindungi istri. (Pasal 34)
Dalam KHI hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 84
KHI, adapun isi dalam Pasal-Pasal tersebut secara garis besar sama dengan Pasal
30- Pasal 34 terutama pada Pasal 77. Hal yang membuat berbeda tercantum
dalam Pasal 77 ayat (3) diamana suami istri wajib mendidik anaknya sehingga
pertumbuhannya agar sehat secara jamani dan cerdas rohani dan pendidikan
agamanya, serta kewajiban suami lebih menonjol dari seorang istri. Secara lebih
jelas berikut adalah kewajiban suami dalam rumah tangga yang diatur dalam KHI
adalah;
34
(1) Membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam rumah tangga yang penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.
(2) Melindungi isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat dan kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak serta membiayai pendidikan anak.
Hal yang berbeda antara UU Perkawinan dan KHI yakni kewajiban seorang suami untuk memberikan pendidikan agama untuk sang istri. Dimana suami bertanggungjawab mengenai ahlak sang istri.
Selain hak dan kewajiban suami istri, ada akibat perkawinan lain sebagaimana tercantum dalam Pasal 42 UU Perkawinan, menyatakan bahwa anak yang lahir adalah akibat dari suatu perkawinan yang sah merupakan anak sah. Anak sah akan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tuanya dan keluarga orangtua. Kedua orang tuanya mempunyai kewjiban untuk terus mendidik dan memelihara hingga anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri.
Sedangkan dalam Pasal 99 KHI menyebutkan anak sah merupakan akibat hukum
dari suatu perkawinan yang sah yang lahir dari Rahim ibunya. Pada Pasal 100
35
KHI mengatakan anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Akibat perkawinan lainya adanya percampuran harta antara suami dan istri atau yang dikenal sebagai harta “gono-gini” jika terjadi perkawinan, yang di cantumkan dalam Pasal 35, Pasal 85 dan Pasal 91 UU Perkawinan. Istilah “gono- gini” merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah yang digunakan adalah “gono-gini”, yang secara hukum artinya,” Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri”. Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik dalam UU Perkawinan, KUHPer, maupun KHI, adalah harta bersama.
14Dijelaskan dalam Pasal 35 sampai pasal 37 UU Perkawinan membahas mengenai jenis harta suami istri yang terjadi karena akibat perkawinan, dalam UU Perkawinan membagi menjadi dua yakni harta bersama dan harta bawaan.
Terhadap harta yang didapatkan bersama saat masa perkawinan menjadi harta bersama kecuali harta warisan dan hibah sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi; Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum perkawinan atau harta yang diperoleh selama perkawinan yang berasal dari
14 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, Visi Media, Jakarta, 2008, h.
8
36
warisan atau hibah.
15Berdasarkan pada ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada hakekatnya dalam suatu perkawinan terdapat dua jenis harta kekayaan, yaitu harta yang diperoleh selama dalam perkawinan yang disebut dengan harta bersama, dan harta yang diperoleh oleh masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan sebagai hadiah warisan yang lazim disebut dengan harta bawaan. Harta bersama dan harta bawaan tidak bisa dicampurkan, terkecuali suami dan isteri telah menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sehingga harta perkawinan menurut UU Perkawinan dapat terbagi menjadi tiga yaitu:
1. Harta bawaan, yang dibawa calon suami dan calon istri. Harta tersebut diperoleh sebelum mereka melangsungkan perkawinan. (Pasal 35 UU Perkawinan). Untuk jenis harta ini dikuasai oleh suami-istri.
2. Harta masing-masing suami istri yang diperoleh melalui warisan, hibah, wasiat, hadiah dalam perkawinan. Jenis harta ini-pun penguasaannya ada pada masing-masing suami-istri.
3. Harta bersama (harta gono-gini), yakni harta yang diperoleh suami atau istri secara bersama-sama selama masa perkawinan.
Pengertian harta bersama menurut KHI dijelaskan pada Pasal 1 huruf (f) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dengan tidak mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak tertutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri (Pasal 85 KHI).
Harta bersama tersebut dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud (Pasal 91 ayat (1)). Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak,
15 Christiana Tri Budhiyanti, Op.cit, h. 50.
37
benda bergerak dan surat-surat berharga (Pasal 91 ayat 2), sedangkan harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban (Pasal 91 ayat 3).
Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya (Pasal 91 ayat (4)).
16Untuk harta bawaan KHI mengaturnya dalam Pasal 85 sampai Pasal 97 KHI.
Pada Pasal 86 ayat (2) menyatakan bahwa harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya, karena pada dasarnya tidak ada percampuran harta ketika perkawinan terjadi. Harta bawaan lain adalah harta yang didapatkan sebelum kawin atau dalam masa kawin yang diperoleh secara hibah, warisan atau sodaqoh sebagamana diatur dalam Pasal 87 KHI.
Dalam KHI juga membahas tentang akibat perkawinan mengenai harta bersama yang terjadi dalam suatu perkawinan serta pembagian harta jika terjadi putusnya perkawinan. Pada Pasal 89 KHI mengatur pengelolan harta bersama, dimana suami bertanggunjawab menjaga harta bersama dan sedangakan istri hanya turut menjaga harta bersama. Dari Pasal 89 memiliki konsekuensi jika dalam masa perkawinan memiliki hutang keluarga yang diatur dalam Pasal 93 yaitu:
1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
16 Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Penyuluhan Hukum, Jakarta, 1995, h. 197
38
2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Sehingga dapat disimpulkan dari Pasal 93 suami mempunyai tanggungjawab yang lebih besar dalam pengelolan harta bersama, sedangkan istri harta bertanggungjawab jika harta bersama dan harta suami tidak cukup untuk melunasi utang keluarga.
Dengan demikian pihak dari suami atau isteri harus jelas mengetahui sejauh mana harta yang dikuasai oleh mereka yang termasuk dalam ruang lingkup harta bersama agar nantinya tidak terjadi kesimpang siuran dalam kepemilikan harta tersebut. Untuk itu pihak suami atau isteri tidak bisa mengubah status dari harta bersama, dalam artian menjual atau memindahkannya tanpa seijin dari salah satu pihak.
17Hal ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat melakukan hal- hal yang berurusan dengan soal rumah tangga dengan penuh tanggung jawab.
Tanpa adanya persetujuan tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan besar sekali. Oleh karena itu kompilasi dalam pasal berikut, membicarakan pertanggungjawaban utang yang bersifat pribadi, bukan untuk kepentingan keluarga. Pada Pasal 93 KHI menyatakan:
1).Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.
2).Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama.
3). Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
17 Lihat pasal 92 Kompilasi Hukum Islam
39
4). Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta
isteri
Meskipun ketentuan Pasal 93 tersebut seakan mengesankan adanya pemisahan antara harta kekayaan suami dan isteri, karena tidak ada penjelasan tentang kepada hutang suami atau isteri itu dilakukan, maka penafsiran yang dapat dilakukan adalah apabila hutang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan keluarga. Namun sebaliknya, untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, jika harta bersama tidak mencukupi maka diambil dari harta pribadi masing-masing suami atau isteri.
Berdasarkan pada Pasal 86 ayat (1) KHI dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
Untuk itulah dalam ayat berikutnya ditegaskan bahwa harga kekayaan yang dimiliki oleh suami atau isteri tetap menjadi milik mereka dan berhak untuk mengatasinya. Harta kekayaan yang seperti ini dapat berupa hadiah atau warisan yang diperoleh oleh masing-masing suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan. Harta kekayaan yang semacam ini disebut dengan harta bawaan dan harta semacam ini tidak bisa dimasukkan dalam rung lingkup harta bersama kecuali suami isteri telah mengaturnya dalam perjanjian perkawinan.
18Perjanjian perkawinan biasanya berisi tentang pemisahan harta kekayaan, yaitu antara harta bawaan dan harta bersama. Antara suami dan isteri tidak bisa mencampur adukkan kedua jenis harta kekayaan tersebut karena keduanya
18 Happy Susanto, op. cit, h. 9
40
bersifat berdiri sendiri. Kalaupun terjadi perselisihan antara suami isteri mengenai harta kekayaan semacam ini maka para pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukannya ke Pengadilan Agama, berdasarkan pada Pasal 88 KHI.
Jadi harta bersama adalah istilah untuk harta benda yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan dan menjadi hak kepemilikan berdua diantara suami isteri. Adapun harta yang sudah dimiliki oleh suami atau isteri sebelum menikah, demikian pula mahar bagi isteri, juga warisan, wasiat dan hibah milik isteri atau suami tidak termasuk harta bersama.
B. Hasil Penelitian
Dalam membangun suatu perkawinan perlu adanya pembagian hak antar suami, istri dan juga anak. Pengaturan pembagian hak bagi suami, istri dan anak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang menjelaskan pengaturan hak dalam UU Perkawinan dan KHI, selain dalam UU Perkawinan dan KHI hak dan bagi perempuan dan anak diatur dalam UU HAM dan secara khusus untuk anak diatur dalam UU Perlindungan anak, UU Perlindungan Perempuan (CEDAW), dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
1. Pengaturan Hak Istri
Pengaturan hak istri diatur dalam UU Perkawinan, KHI, UU HAM, UU Perlindungan Perempuan, dan KUHPer. Hak dan seorang istri yang diatur dalam UU Perkawinan terdapat pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU Perkawinan.
Hak istri dalam Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
41
Hak dan kedudukan peristri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa suami dan istri memiliki kesataran hak dan kewajiban dalam sebuah hubungan perkawinan.
Pengaturan hak seorang istri diatur dalam UU Perkawinan. Hak dari seorang istri terdapat pada Pasal 34 ayat (1) UU perkawinan menyatakan:
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
KHI juga menyatakan hak untuk seorang istri. Hak seorang istri dalam perkawinan merupakan kewajiban seorang suami, dimana seorang istri berhak mendapatkan perlindungan dari seorang suami dan pendidikan agama dari suaminya, selain itu perihal tempat tinggal, seorang istri berhak mendapatkan kediaman yang layak sesuai dengan kempauan suami,
19selain itu hak istri jika suami memiliki istri lebih dari seorang diatur dalam Pasal 82 KHI mengatakan:
Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan, sehingga istri berhak diperlakukan adil oleh suaminya.
UU HAM juga mengatur mengenai hak perempuan diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 51 UU HAM. Hak perempuan dalam UU HAM yang berhubungan dengan perkawinan diatur dalam Pasal 51 UU HAM, dimana dalam Pasal 51 ayat (1) UU HAM menyatakan:
Hak seorang istri adalah seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas
19 Lihat Pasal 80 dan 81 Kompilasi Hukum Islam
42
semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita yang selanjutnya disebut UU Perlindungan Perempuan (CEDAW) juga menjelaskan mengenai hak seorang istri dalam sebuah perkawinan. hak seorang istri dalam perkawinan yang dikaitkan kdengan konvensi internasional yang terdapat pada Article 16 ayat (1) CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang berisi;
States Parties shall take all appropriate measures to eliminate discrimination against women in all matters relating to marriage and family relations and in particular shall ensure, on a basis of equality of men and women:
(a) The same right to enter into marriage;
(b) The same right freely to choose a spouse and to enter into marriage only with their free and full consent;
(c) The same rights and responsibilities during marriage and at its dissolution;
(d) The same rights and responsibilities as parents, irrespective of their marital status, in matters relating to their children; in all cases the interests of the children shall be paramount;
(e) The same rights to decide freely and responsibly on the number and spacing of their children and to have access to the information, education and means to enable them to exercise these rights;
(f) The same rights and responsibilities with regard to guardianship,
wardship, trusteeship and adoption of children, or similar institutions
43
where these concepts exist in national legislation; in all cases the interests of the children shall be paramount;
(g) The same personal rights as husband and wife, including the right to choose a family name, a profession and an occupation;
(h) The same rights for both spouses in respect of the ownership, acquisition, management, administration, enjoyment and disposition of property, whether free of charge or for a valuable consideration.
Dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut;
Negara berpihak dan harus mengambil seluruh langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan keluarga dan khususnya harus memastikannya, berdasarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan:
(a) Hak yang sama untuk menikah;
(b) Hak yang sama bebas untuk memilih pasangan dan menikah hanya dengan persetujuan penuh dan bebas mereka;
(c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan saat berpisah;
(d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka; dalam semua kasus, kepentingan anak-anak akan menjadi yang terpenting;
(e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak anak-anak mereka dan juga memiliki akses ke informasi, pendidikan dan sarana untuk memungkinkan mereka menggunakan hak-hak ini;
(f) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian,
kepengurusan, perwalian dan adopsi anak-anak, atau lembaga serupa di
mana konsep-konsep ini ada dalam undang-undang nasional; dalam
semua kasus, kepentingan anak-anak adalah yang terpenting;
44
(g) Hak pribadi yang sama dengan suami dan istri, termasuk hak untuk
memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan;
(h) Hak yang sama untuk kedua pasangan sehubungan dengan kepemilikan, perolehan, manajemen, administrasi, penikmatan dan disposisi properti, baik gratis atau untuk pertimbangan berharga.
Dalam CEDAW yang merupakan hak seorang istri dalam perkawinan adalah:
(a) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan saat berpisah;
(b) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka; dalam semua kasus, kepentingan anak-anak akan menjadi yang terpenting;
(c) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak anak-anak mereka dan juga memiliki akses ke informasi, pendidikan dan sarana untuk memungkinkan mereka menggunakan hak-hak ini;
(d) Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, kepengurusan, perwalian dan adopsi anak-anak, atau lembaga serupa di mana konsep-konsep ini ada dalam undang-undang nasional; dalam semua kasus, kepentingan anak-anak adalah yang terpenting;
Maka dalam CEDAW pengaturan mengenai hak seorang istri menjadi sebuah tanggungjawab sebuah negara, sehingga negara memiliki wewenang untuk menegakkan peraturan tersebut.
Dalam pembagian hak waris seorang istri dalam ikatan suami istri terdapat dalam yang terdapat dalam KUHPer. Prisnsip pewarisan terdapat dalam Pasal 852 huruf (a) KUHPer menyatakan:
Dalam hal warisan dan seorang suami atau isteri yang telah meninggal
lebih dahulu, suami atau istri yang ditinggal mati, dalam menerapkan
ketentuan-ketentuan bab ini, disamakan dengan seorang anak sah dan orang
yang meninggal, dengan pengertian bahwa bila perkawinan suami isteri itu
adalah perkawinan kedua atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu
45
ada anak-anak atau keturunan-keturunan anak-anak itu, suami atau isteri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dan bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak itu, atau oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris.
Maka istri dalam KUHPer merupakan pewaris golongan 1, yang berarti menjadi ahli waris yang memiliki bagian waris yang lebih besar dari anaknya.
2. Pengaturan Hak Anak
Pengaturan mengenai hak anak dalam UU Perkawinan diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU Perkawinan. Hak anak dalam UU Perkawinan terdapat pada Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan, dalam Pasal tersebut bahwa anak harus dipelirahara dan diberi pendidikan oleh kedua orang tuanya.
KHI juga menuliskan mengenai hak dan kewajiban anak. Dalam KHI menyatakan Hak anak bahwa anak juga berhak mendapatkan tempat tinggal dan mendapatkan biaya untuk hidup dari orang tuanya.
20Dalam hak yang dincantukan hanya terhadap anak Pasal 52 sampai dengan Pasal 66 UU HAM. Hak anak dalam UU HAM yang pertama pada Pasal 52 UU HAM yang menyatakan:
(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
20 Lihat Pasal 80 dan 81 Kompilasi Hukum Islam
46
(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak
itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.
Pada Pasal yang lain seperti pada Pasal 56 UU HAM menyatakan:
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri.
(2) Dalam hal orang tua anak tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan secara khusus mengenai hak seorang anak diatur didalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak. Tidak hanya hak dan kewajiban anak saja, tapi pada UU Perindungan Anak juga dicantumkan kewajiban orang tua.
Hak seorang anak tercantum dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 19 UU Perindungan Anak, dalam hal ini hak anak yang mengacu pada orang tua dan berlangsung pada masa perkawinan terdapat pada Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang mengatakan:
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri,
Pada Pasal 14 UU Perlindungan Anak yang mengatakan:
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
47
Dalam UU Perlindungan anak tidak hanya menjelaskan mengenai hak anak, melainkan juga menjelaskan kewajiban orang tua untuk merawat anaknya, sehingga juga dapat dikatakan merupakan hak anak. Kewajiban orang tua yang merupakan hak anak tercantum pada Pasal 26 ayat (1) UU Perlindungan anak yang menyatakan:
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, serta menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, selain itu orang tua berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Dalam KUHPer juga menjelaskan hak anak dalam waris. Dalam Pasal 852 KUHPer menyatakan:
Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri;
mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
mengatur juga mengenai hak anak, pengaturan hak anak terdapat pada Pasal 2
sampai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak.
48
Hak anak dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak adalah anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar, anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna, anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
21Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan. Anak yang tidak mempunyai orang tua berhak memperoleh asuhan oleh negara atau orangatau badan. Anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Pelayanan dan asuhan, juga diberikan kepada anakyang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim. Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dan kesanggupan anak yang
21 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
49
bersangkutan. Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik, dan kedudukan sosial.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak juga menjelaskan mengenai kewajiban orang tua terhadap anak yang merupakan hak anak, sehingga kewajiban orang tua yaitu, orangtua bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial, orangtua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali. Pencabutan kuasa asuh tidak menghapuskan kewajiban orang tua yang bersangkutan untuk membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya Pencabutan dan pengembalian kuasaasuh orang tua ditetapkan dengan keputusan hakim.
22Tabel 1.1
Tentang Hak Istri dan Anak
Hak diatur dalam
Istri Anak
22 Lihat Pasal 9 sampai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
50
UU
Perkawinan
Hak Istri yaitu seorang istri harus mendapat perlindungan dari seorang suami dan
mendapatkan kebutuhan hidup yang layak semasa
perkawinan.
Bentuk hak lain dari UU perkawinan, dimana istri dapat mengajukan perceraian
kepengadilan jika suami tidak memenuhi kebutuhan secara jasmani ataupun rohani.
Hak anak yaitu anak harus dipelirahara dan diberi pendidikan oleh kedua orang tuanya.
KHI Hak istri seorang istri berhak mendapatkan perlindungan dari seorang suami dan pendidikan agama dari suaminya, selain itu perihal tempat tinggal, seorang istri berhak mendapatkan kediaman yang layak sesuai dengan kempauan suami.
Hak anak yaitu anak juga berhak mendapatkan nafkah, tempat tinggal dan mendapatkan biaya untuk hidup dari orang tuanya.
UU HAM Hak seorang istri yaitu seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan
Hak anak yaitu anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.
Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk
kepentingannya hak anak itu
51
perkawinannya, hubungan
dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama.
diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan, selain itu setiap anak berhak untuk
mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuannya sendiri. Dalam hal orang tua anak tidak mampu
membesarkan dan
memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
UU Perlindungan
Anak
-
UU Perlindungan
Perempuan (CEDAW)
Hak seorang istri yaitu memiliki hak yang setara didalam keluarga dan juga memiliki akses ke informasi, pendidikan dan sarana lain didalam masyarakat
-
52
KUHPer Hak istri dalam KUHPer yaitu
mengenai hak waris dari suaimi kepada istri, bahwa istri adalah pewaris sah dari suami.
Hak anak dalam KUHPer adalah mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga- keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu, serta
mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala.
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan
Anak
Orangtua bertanggungjawab atas terwujudnya
kesejahteraananak baik secara rohani, jasmani maupun sosial, orangtua yang terbukti
melalaikan tanggungjawabnya
Hak anak dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak adalah anak berhak mendapakan pendidikan dan pelayanan oleh keluarganya agar bisa bersosialisasi dengan baik, hak itu
didapatkan semenjak dalam kandungan hingga lahir. bagi anak yang memiliki
keterbatasan seperti tidak
memiliki keluarga harus
53
dilayani dengan baik dan bisa diasuh oleh panti asuhan atau sesorang yang ingin merawatnya yang sesuai dengan peraturan undang- undang, serta bagi anak cacat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai.
Sumber: Diolah dari UU Perkawinan, KHI, UU HAM, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan Perempuan (CEDAW), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan.
C. Analisis
Dalam tulisan ini terkait perumusan masalah mengenai: Adakah hak anak dan istri dengan tidak dicatatkannya suatu perkawinan?.
Perlindungan hukum terhadap anak dan istri dalam tidak dicatatkannya perkawinan, timbul karena adanya ketiadaan hak-hak anak dan istri dengan tidak dicatatakannya suatu perkawinan.
Hak-hak yang seharusnya diapatkan pada anak dan istri jika melangsungkan
perkawinan secara sah tercantum pada UU Perkawinan, KHI, UU HAM, UU
Perlindungan anak, UU perlindungan permpuan (CEDAW), dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, maka anak dan istri dalam
perkawinan yang tidak dicatatkan tidak dapat memiliki hak untuk hidup layak,
hak waris, hak hatas harta kekayaan, dan hak kesetaraan dalam perkawinan yang
54
seharusnya didapatkan jika perkawinan langsung dicatatakan secara resmi oleh negara.
Dengan adanya hak-hak yang hilang milik anak dan istri, maka perlu dilakukan sebuah perlindungan hukum secara preventif, yang berarti perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang- undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.
23Perlindungan hukum bagi anak terdapat dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan untuk perlindungan perempuan terdapat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvesi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita atau UU Perlindungan Perempuan (CEDAW) yang berisi tentang konvensi CEDAW.
1. Ketiadaan Hak Istri Jika Perkawinan Tidak Dicatatkan
Dalam sebuah perkawinan seorang istri sah memiliki hak-hak yang didapatkan agar seorang istri dapat hidup dengan layak. Berbeda dengan pasangan yang perkawinannya tidak dicatatkan, diamana seorang istri dapat kehilangan haknya jika perkawinan tidak dicatatkan tersebut.
23 Muchsin, Op.cit, h. 14
55
Hak-hak yang tidak dapat diperoleh seorang istri yang tidak mencatatkan perkawinannya adalah hak untuk hidup layak, hak waris, hak atas harta kekayaan, dan hak sesetaraan dalam perkawinan. Hak layak hidup adalah hak dimana seorang dapaat terpenuhi kebutuhan pokoknya berupa sandanng, pangan, dan papan, sedangkan hak waris merupakan hak seseorang istri maupun suami jika salah satunya meninggal maka istri atau suami yang hidup terlama akan menjadiahli waris, dan hak kesetaraan adalah hak antara suami dan istri adalah sama dalam suatu hubungan perkawinan diamana memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam suatu perkawinan.
Hak istri sah menyangkut hak untuk hidup layak diatur hanya diatur dalam UU Perkawinan dan KHI. Dalam UU Perkawinan hak seorang istri diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU perkawinan, dimana seorang istri harus mendapat perlindungan dari seorang suami dan mendapatkan kebutuhan hidup yang layak semasa perkawinan.
Dalam KHI mengatur juga tedapat pada Pasal 80 KHI dan Pasal 81 KHI seorang istri berhak mendapatkan perlindungan dari seorang suami dan pendidikan agama dari suaminya, selain itu perihal tempat tinggal, seorang istri berhak mendapatkan kediaman yang layak sesuai dengan kempauan suami, serta dalam Pasal 82 KHI jika suami memiliki istri lebih dari seorang maka hak istri untuk memperoleh perilaku dan biaya yang hidup secara adil oleh suaminya.
Hak waris merupakan hak seorang istri juga dalam suatu perkawinan, hak
waris terdapat dalam KUHPer. Dalam KUHPer status istri dalam pembagian
56
waris terdapat pada Pasal 832 KUHPer adalah dengan adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris, dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia, karena Pasal 852 huruf (a) KUHPer menyatakan istri merupakan golongan pertama yang juga mendapatkan hak waris suami jika meninggal dunia. Dalam perkawinan yang tidak dicatatkan suami meninggal dunia maka seorang istri tidak dapat menjadi ahli waris suami, karena tidak adanya bukti sah yang menyatakan istri yak tidak mencatatatkan perkawinan merupakan istri sah menurut negara.
Hak atas kekayaan merupakan hak seorang istri dalam perkawinan. Dalam
UU Perkawinan dan KHI menjelaskan tentang hak-hak harta kekayaan dalam
perkawinan yang seharusnya didapatkan seorang istri. Dalam UU Perkawinan
mnegatakan akan ada percampuran harta jika terjadi suatu perkawinan yang
disebut harta bersama, pada Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan mengatakan harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga
perkawinan yang tidak dicatatakan suami pergi meninggalkan istri sah maka
harta bersama yang berada di tempat istri sah akan sepenuhnya dikuasai istri sah,
kecuali terdapat perjanjian perkawinan mengenai pembagian harta bersama. Pada
KHI tidak mengatur mengenai harta bersama namun mempertegas mengenai hak
harta bawaan istri maupun suami, hal tersebut tercantum dalam Pasal 86 ayat (2)
yang menyatakan harta istri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya,
57
sehingga hak atas harta kekayaan istri dalam KHI hanya harta bawaannya saja.
Dalam perkawinan yang tidak dicatatakan tidak terjadi pencampuran harta suami dan istri, sehingga merugikan istri kara tidak memiliki harta untuk jaminan hidupnya, karena harta yang diperoleh suami akan menjadi harta milik suami sendiri.
Hak kesetaraan dalam perkawinan tedapat dalam UU Perkawinan, UU
HAM, dan UU Perlindungan Perempuan (CEDAW). Dalam UU Perkawinan
menjelasakan mengenai hak setaraan dalam rumah tangga dalam Pasal 31 ayat
(1) UU Perkawinan menyatakan bahwa Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa
suami dan istri memiliki kesataran hak dan kewajiban dalam sebuah hubungan
perkawinan, selain dalam UU Perkawinan, UU HAM juga menyebutkan hak
kesetaraan dalam perkawinan yaitu dalam Pasal 51 ayat (1) UU HAM hak
seorang istri adalah seseorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai
hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang
berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya,
dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama. Dalam UU Perlindungan
Perempuan (CEDAW) juga menyatakan hak kesetaraan dalam Article 16 ayat (1)
huruf (C) CEDAW yang berisi The same rights and responsibilities during
marriage and at its dissolution, yang memiliki arti dalam Bahasa Indonesia
sebagai berikut; Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan saat
58