• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V REKONSTRUKSI KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI BIDANG KETENAGANUKLIRAN YANG MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V REKONSTRUKSI KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI BIDANG KETENAGANUKLIRAN YANG MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

221

REKONSTRUKSI KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DI BIDANG KETENAGANUKLIRAN YANG MEWUJUDKAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

A. Rekonstruksi Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di Bidang Ketenaganukliran yang Mewujudkan Perlindungan Masyarakat.

Perubahan sosial di Indonesia menjadi masyarakat yang maju dan modern tidak dapat menghindarkan diri dari penerapan iptek yang telah menghasilkan jasa-jasa yang dibutuhkan masyarakat luas.1 Perkembangan yang pesat di bidang penggunaan tenaga nuklir baik untuk maksud-maksud perang maupun untuk maksud-maksud damai, meninggalkan perkembangan hukum jauh di belakangnya.2 Sehubungan dengan perkembangan masyarakat di Indonesia dan dunia internasional tersebut, maka kebijakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional.

Hartiwiningsih3 berpendapat bahwa dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi diikuti pula dengan perkembangan kualitas kejahatan yang semakin canggih, dan seringkali mempunyai dampak internasional atau transnasional. Hal ini tentunya berlaku juga terhadap perkembangan teknologi di bidang nuklir. Perkembangan globalisasi serta kemajuan-kemajuan di bidang iptek nuklir, kemungkinan diikuti pula dengan meningkatnya kriminalitas di bidang ketenaganukliran. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah kebijakan untuk mengantisipasi bentuk-bentuk tindak pidana yang mungkin akan terjadi dalam menghadapi pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia.

1 Bambang Purnomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan

Hukum Pidana, ed. Kedua, ctk. Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1993, hlm. 211.

2 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, ctk. Keenam, Rajawali, Jakarta, 1991,

hlm. 105.

3 Hartiwiningsih, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum Pidana

(2)

Berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran dalam peraturan perundang-undangan saat ini (ius

constittutum) sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV, dapat diketahui bahwa

kebijakan formulasi hukum pidana yang ditetapkan dalam ius constitutum tersebut cenderung belum memadai dalam mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Hasil kajian tersebut sekaligus mendorong penulis untuk melakukan pembahasan lebih lanjut untuk merekonstruksi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan (ius

constituendum). Hal ini dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau

pembaharuan kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran di Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

Rekonstruksi mengandung arti membangun kembali atau menata ulang. Jadi rekonstruksi kebijakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran mengandung makna membangun kembali kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran menuju kualitas yang lebih baik. Dalam hal ini, rekonstruksi yang dimaksudkan adalah rekonstruksi kebijakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran yang adekuat4 dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

Dilihat dari sudut sistem hukum (legal system)5 yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture), maka rekonstruksi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran dalam penelitian ini hanya dibatasi pada komponen substansi hukum pidana materil yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir saja. Oleh karena itu, rekonstruksi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran dalam penelitian ini mencakup 3 (tiga)

4 Kata “adekuat” artinya sama dengan: memadai, memenuhi syarat, sama harkatnya. Lihat

Ajarotni Nasution, Suradji dan Mugiyati (Ed), Tesaurus Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2008, hlm. 3.

5 Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, ctk. Keempat, Nusa

(3)

masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi pidana.

Upaya perlindungan masyarakat merupakan perwujudan dari usaha untuk mencapai tujuan bangsa sebagaimana telah diamanatkan di dalam UUD NRI 1945, yaitu “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Tujuan ini kemudian lebih diperinci lagi dalam batang tubuh UUD NRI 1945, yaitu mengenai Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.6 Perlindungan masyarakat ini berkaitan pula dengan perlindungan sosial, yaitu semua upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial.7 Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.8 Upaya perlindungan masyarakat ini sejalan pula dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (The

Universal Declaration of Human Rights/UDHR), di antaranya Pasal 22 (hak

atas jaminan sosial/the right to social security) dan Pasal 25 (hak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dan hak atas jaminan sosial/the right to a standard of living adequate for the health and well-being and the right to social security).9

Berdasarkan hasil kajian, menunjukkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran dalam peraturan perundang-undangan saat ini belum memadai dalam memberikan perlindungan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan formulasi hukum pidana di bidang

6 Sampai saat ini UUD 1945 telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Pertama, tanggal

19 Oktober 1999; kedua, tanggal 18 Agustus 2000; ketiga, tanggal 9 Nopember 2011; dan keempat, tanggal 10 Agustus 2002.

7 Pasal 1 angka 9 UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

8 Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Guncangan

dan kerentanan sosial yaitu keadaan tidak stabil yang terjadi secara tiba-tiba sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan fenomena alam (Penjelasan Pasal 14 ayat (l) UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial).

9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human

(4)

ketenaganukliran ke depan harus mampu memberikan perlindungan yang memadai kepada masyarakat.

Selain bermanfaat, tenaga nuklir juga memiliki potensi bahaya radiasi bagi manusia dan lingkungan hidup. Untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya bahaya radiasi nuklir, maka terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenaganukliran diperlukan suatu pengaturan. Suatu kegiatan manusia yang hanya melibatkan bahaya dan tanpa ada manfaatnya disebut suatu rezim hukum larangan, bukan pengaturan.10

Pengaturan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ketenaganukliran dapat disebut dengan istilah Hukum Nuklir atau Hukum Ketenaganukliran. Carlton Stoiber, dkk. mendefinisikan Hukum Nuklir, sebagai:11

The body of special legal norms created to regulate the conduct of legal or

natural persons engaged in activities related to fissionable materials, ionizing radiation and exposure to natural sources of radiation.

(Seperangkat norma-norma hukum khusus yang diciptakan untuk mengatur perilaku orang atau badan hukum yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bahan-bahan dapat belah, radiasi pengion dan paparan radiasi sumber alam).

Adapun tujuan dari Hukum Nuklir adalah untuk memberikan suatu kerangka hukum dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan tenaga nuklir dan radiasi pengion dengan cara yang cukup melindungi masyarakat, harta benda, dan lingkungan.12

Peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran pada dasarnya merupakan hukum pengaturan, sehingga termasuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum administrasi. Penggunaan hukum atau sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga dan menciptakan

10 A human activity that involves only hazards and no benefits calls for a legal regime of

prohibition, not regulation, Carlton Stoiber, et al, Handbook on Nuclear Law, International Atomic Energy Agency, Vienna, 2003, hlm. 3.

(5)

perilaku dan keadaan yang sesuai dengan norma-norma yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam hal ini hukum pidana sifatnya menunjang penegakan norma-norma di bidang ketenaganukliran. Jadi, kebijakan menggunakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran merupakan bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentalisasi hukum pidana di bidang administrasi.13 Oleh karena itu pengaturan hukum pidana atau perumusan ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran adalah untuk melengkapi ketentuan KUHP (supplementary

criminal law).

Oleh karena itu, dalam merumuskan kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran yang memberikan perlindungan masyarakat ke depan harus memperhatikan pokok-pokok kebijakan sebagai berikut:

1. Kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan harus menjamin perlindungan kepentingan, yang dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Dari aspek menjadi korban potensial,14 yaitu:

1) Petugas atau pekerja radiasi yang bekerja di bidang penelitian, yang meliputi: peneliti, perekayasa, pranata nuklir, penyelidik bumi, pengawas radiasi, petugas proteksi radiasi, teknisi, operator, dan tenaga administrasi;

2) Petugas atau pekerja radiasi di bidang kesehatan, yang meliputi: dokter (dokter spesialis radiologi, dokter spesialis onkologi radiasi, dokter spesialis kedokteran nuklir, dokter gigi spesialis radiologi, dokter spesialis kardiologi), radiografer, fisikawan medis, perawat, tenaga teknisi, tenaga radiofarmasi, tenaga kamar gelap radiologi, dan tenaga administrasi radiologi yang bekerja pada pelayanan radiologi

13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, op.cit, hlm. 11.

14 Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fifik, mental, dan/atau kerugian

(6)

diagnostik, radioterapi, kedokteran nuklir, radiologi gigi, dan kardiologi intervensional;15

3) Petugas atau pekerja radiasi di bidang industri, yang meliputi: petugas proteksi radiasi, petugas radiografer industri, well logging, fotofluorografi, gauging, dan lain-lain;

4) Pekerja atau petugas yang terkait dengan pengangkutan dan penyimpanan zat radioaktif, seperti pengemudi;

5) Inspektur keselamatan nuklir dan pengawas radiasi; 6) Pengguna, termasuk pasien dan pendampingnya;

7) Anggota masyarakat sekitar suatu instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion; dan

8) Lingkungan hidup.

b. Dari aspek subjek tindak pidana, yaitu:

1) Petugas atau pekerja radiasi pada angka 1) sampai dengan 4) dan Inspektur keselamatan nuklir sebagaimana diuraikan di atas, apabila dalam melaksanakan pekerjaan atau tugasnya melakukan perbuatan yang menyimpang, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaiannya. Oleh karenanya, petugas atau pekerja radiasi, selain dapat menjadi korban potensial juga sekaligus menjadi pelaku tindak pidana potensial; dan

2) Korporasi.

c. Dari aspek jenis kepentingan, yaitu:

1) Perlindungan terhadap nyawa, tubuh dan kesehatan; 2) Perlindungan terhadap barang-barang (harta benda); 3) Perlindungan terhadap keamanan dan ketertiban umum; 4) Perlindungan terhadap kelestarian lingkungan hidup.

2. Kebijakan formulasi hukum tindak pidana di bidang ketenaganukliran ke depan harus dirumuskan dengan baik dan jelas mengenai jenis perbuatan yang dapat dipidana, sebagai berikut:

15 Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 138 Tahun 2014 tentang Tunjangan Bahaya Radiasi

(7)

a. Menyempurnakan rumusan tindak pidana dalam Pasal 41 ayat (1) UU Ketenaganukliran, dengan memperluas cakupan kriminalisasi yang meliputi instalasi nuklir lainnya (tidak hanya reaktor nuklir saja);

b. Menyempurnakan rumusan tindak pidana dalam Pasal 43 ayat (1) UU Ketenaganukliran, dengan merumuskan atau menetapkan secara spesifik mengenai perizinan. Hal ini untuk menghindarkan kerancuan atau multitafsir sehingga memberikan suatu kepastian hukum;

c. Penambahan delik baru yang melarang korporasi atau pihak pemberi kerja untuk tidak mempekerjakan petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya dan di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion yang tidak memiliki izin;

d. Perlu dipertimbangkan kebijakan kriminalisasi terhadap penghasil limbah radioaktif dan/atau pengelola limbah radioaktif yang melakukan kegiatan pengelolaan limbah radioaktif dengan tidak memperhatikan norma, standar atau prosedur, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Perlu pembedaan apakah perbuatan tersebut dapat mengakibatkan

gangguan kesehatan pekerja dan masyarakat, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan; dan

2) Perlu pembedaan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan orang mati atau luka berat.

e. Perlu dipertimbangkan untuk merumuskan delik-delik baru lainnya yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan nuklir, seperti sabotase terhadap instalasi nuklir atau fasilitas nuklir dan tindakan kriminal lainnya yang melibatkan bahan-bahan nuklir atau radioaktif, misalnya untuk tujuan terorisme.

(8)

a. Pengertian setiap orang harus dirumuskan dengan jelas;

b. Mengatur secara tegas (eksplisit) korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang ketenaganukliran dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan adanya subjek tindak pidana korporasi, maka harus ada sistem pertanggungjawaban pidana yang berorientasi pada korporasi, yaitu: 1) Pertanggungjawaban pidana mutlak (strict liability atau absolute

liability).16 Pertanggungjawaban mutlak adalah pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Dalam hal ini delik dirumuskan tanpa mensyaratkan adanya mens rea (sikap batin jahat/tercela), pelaku sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam UU tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Penerapan sistem pertanggungjawaban mutlak diperlukan mengingat sulitnya membuktikan adanya kesalahan pada delik-delik tindak pidana ketenaganukliran dan kesalahan pada korporasi.

2) Pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability), yaitu pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain.17 Pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability) ini didasarkan pada “the delegation

principle” di mana seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut UU kepada orang lain itu.18 3) Pertanggungjawaban pidana korporasi (enterprise liability).

Pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability) dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban korporasi. Korporasi pada asasnya dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi

16 Pertanggungjawaban mutlak sering dikenal dengan sebutan “strict liability” atau

“absolute liability”, walaupun ada pendapat bahwa strict liability tidak selalu berarti sama dengan absolute liability, Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, op.cit, hlm. 117.

17 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, ed. Revisi, ctk. ke-9, Rajawali Pers,

Jakarta, 2011, hlm. 52.

(9)

berdasarkan teori identifikasi.19 Berdasarkan teori identifikasi (identication theory), perbuatan/kesalahan pejabat senior (senior

officer) diidentifikasi sebagai perbuatan/kesalahan korporasi.20

Selain itu, perlu ada ketentuan khusus yang mengatur kapan atau dalam hal bagaimana suatu korporasi dikatakan melakukan tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Dengan adanya subjek tindak pidana korporasi, maka kebijakan formulasi sanksi pidana di bidang ketenaganukliran ke depan seharusnya juga berorientasi pada korporasi. Dengan demikian harus ada ketentuan khusus yang mengatur mengenai jenis-jenis sanksi khusus untuk korporasi dan aturan pemidanaannya. Selain itu, perlu pemberatan pidana (baik pidana penjara maupun denda) terhadap penghasil limbah radioaktif dan pengelola limbah radioaktif yang melakukan kegiatan pengelolaan limbah radioaktif dengan tidak memperhatikan norma, standar atau prosedur yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. Selain itu juga, perlu ditambahkan saksi pidana tambahan, yaitu berupa pencabutan izin atau penutupan perusahaan.

5. Kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan harus memperhatikan perlindungan bagi korban tindak pidana, yang meliputi pengertian perlindungan korban untuk tidak menjadi korban dan pemberian ganti rugi kepada korban tindak pidana di bidang ketenaganukliran. Untuk memenuhi aspek perlindungan terhadap korban tindak pidana di bidang ketenaganukliran, maka dalam kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran yang akan datang perlu mengatur tentang pidana ganti rugi sebagai salah satu jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Selain itu, ruang lingkup pemberian ganti rugi tidak hanya terbatas pada kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir saja, melainkan meliputi juga kerugian yang disebabkan oleh misalnya kecelakaan radiasi. Dengan dimasukkannya

19 Ibid, hlm. 55-56.

(10)

pidana ganti rugi sebagai pidana tambahan dalam kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran yang akan datang, maka akan lebih menjamin korban tindak pidana di bidang ketenaganukliran untuk memperoleh ganti rugi. Hal ini akan dirasakan lebih adil oleh masyarakat, karena penyelesaian masalah dengan menjatuhkan sanksi pidana pokok saja kepada pelaku tindak pidana belum menyelesaikan masalah secara tuntas.

Rekonstruksi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran di atas, merupakan pedoman dalam merumuskan kebijakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana di bidang ketenaganukliran. Oleh karenanya rekonstruksi kebijakan tersebut dapat dijadikan pedoman oleh pembuat kebijakan atau pembentuk peraturan perundang-undangan dalam merumuskan dan menetapkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran ke depan dalam upaya untuk mencegah dan melindungi masyarakat dari bahaya radiasi.

B. Rekonstruksi Kebijakan Formulasi Hukum Pidana di Bidang Ketenaganukliran yang Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat.

Upaya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam UUD NRI 1945. Sila kelima Pancasila menyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan Pembukaan UUD NRI 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggungjawab untuk mensejahterakan masyarakat. Oleh karena itu, pemanfaatan tenaga nuklir haruslah untuk kesejahteraan masyarakat.

Liek Wilardjo21 berpendapat bahwa ilmu dan teknologi harus dimanfaatkan, akan tetapi arah dan laju serta batas-batas perkembangannya, dan juga pemanfaatannya harus dikendalikan. Teknologi akan memberikan dampak positif sekaligus dampak negatif bagi kehidupan manusia.22 Oleh karena itu, hukum harus tampil untuk mengatur, yaitu untuk menghilangkan

21 Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakarta,

1990, hlm. 208.

22 Suteki, Hukum dan Alih Teknologi: Sebuah Pergulatan Sosiologis, ctk. Pertama, Thafa

(11)

dampak negatif dari kemajuan teknologi baru, atau setidak-tidaknya berperan untuk mengurangi dampak negatif tersebut sehingga tidak menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat.23 Sementara itu, Jujun S. Suriasumantri berpendapat bahwa menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan, maka moral hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia.24

Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa ukuran kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini adalah terciptanya rasa aman, tentram dan damai dalam masyarakat serta terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat melalui pemanfaatan tenaga nuklir. Pemanfaatan tenaga nuklir memiliki peran penting dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya yaitu: (1) dapat meningkatkan kesehatan masyarakat; (2) dapat menunjang ketahanan pangan nasional; dan (3) dapat menunjang usaha penyediaan tenaga listrik. Taswanda Taryo,25 berpendapat bahwa perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di negara-negara yang mengoperasikan PLTN cenderung lebih berkembang pesat setelah negara tersebut mengoperasikan PLTN, misalnya Korea Selatan dan Perancis.

Berdasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran dalam peraturan perundang-undangan saat ini belum memadai dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Mengingat keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan tenaga nuklir sebagaimana diuraikan di atas, maka kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat mendorong peningkatan dan perluasan pemanfaatan tenaga nuklir dalam berbagai bidang kehidupan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan

23 Loc.cit.

24 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1990, hlm. 255-257.

25 Wawancara dengan Taswanda Taryo, Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir BATAN,

(12)

formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan harus dirumuskan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir ke depan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.

2. Kebijakan hukum di bidang ketenaganukliran, termasuk kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran harus dirumuskan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan.

3. Kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran yang akan datang harus memperhatikan kepentingan investor, pemerintah dan masyarakat secara serasi, selaras dan seimbang dalam rangka menciptakan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Untuk menjamin agar tenaga nuklir dan radiasi pengion digunakan untuk tujuan-tujuan damai (peaceful uses) dan mencegah penggunaannya untuk tujuan-tujuan non-damai (non-peaceful uses), maka ada 3 bidang teknik yang perlu diperhatikan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran, yang disebut dengan konsep 3S (“the three-S (3S) concept”), yaitu: keselamatan (safety), keamanan (security) dan pengamanan (safeguards).26 Konsep 3S tersebut dapat digunakan sebagai pedoman dalam merancang peraturan perundang-undangan (legislative drafting) di bidang ketenaganukliran. Hal ini dapat membantu pembuat kebijakan untuk menghindari kesenjangan, tumpang tindih dan inkonsistensi yang dapat menimbulkan masalah dalam interpretasi maupun penerapannya.27

Rekonstruksi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran berkaitan dengan pembaharuan peraturan perundang-undangan. Pembaharuan peraturan perundang-undangan berarti berkaitan pula dengan pembuatan atau pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan

26 Carlton Stoiber, et al, Handbook on Nuclear Law: Implementing Legislation,

International Atomic Energy Agency, Vienna, 2010, hlm. 4.

(13)

demikian, rekonstruksi kebijakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran berkaitan dengan pembentukan UU, baik pembentukan UU tentang Perubahan atas UU Ketenaganukliran maupun UU pengganti atau UU yang baru. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah pembentukan norma-norma hukum yang berlaku ke luar dan yang bersifat umum dalam arti yang luas.28 Perumusan suatu norma hukum dapat berwujud suatu norma hukum tunggal atau norma hukum yang berpasangan. Norma hukum tunggal adalah suatu norma yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan (das

sollen) tentang bagaimana seseorang bertindak atau bertingkah laku.

Sedangkan norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri atas dua norma hukum, yaitu norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Norma hukum primer, yaitu norma hukum yang berisi patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam masyarakat. Sedangkan norma hukum sekunder adalah norma hukum yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum primer itu tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila suatu norma hukum primer tidak dipatuhi, dan norma hukum sekunder ini mengandung sanksi bagi seseorang yang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer.29 Oleh karena itu, dalam merumuskan dan menetapkan norma-norma hukum di bidang ketenaganukliran ke depan sebaiknya berwujud norma hukum yang berpasangan. Perumusan norma hukum primer yang berisi kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi di bidang ketenaganukliran, sebaiknya diikuti pula dengan norma hukum sekunder yang dilekati sanksi pidana atau sanksi pemaksa. Norma hukum sekunder perlu untuk penegakan hukum apabila norma hukum primer itu tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini sekaligus memberikan pedoman

28 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV), Disertasi untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 314.

(14)

bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila seseorang tidak memenuhi suatu ketentuan dalam norma hukum primer.

Agar kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran dapat memproteksi atau melindungi masyarakat dan menyejahterakan masyarakat, maka pengaturan hukum nuklir harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum nuklir (principles of nuclear law), yaitu:30

1. Prinsip keselamatan (the safety principle); 2. Prinsip keamanan (the security principle);

3. Prinsip pertanggungjawaban (the responsibility principle); 4. Prinsip perizinan (the permission principle);

5. Prinsip pengawasan terus menerus (the continuous control principle); 6. Prinsip ganti rugi (compensation principle);

7. Prinsip pengembangan berkelanjutan (the sustainable development

principle);

8. Prinsip pemenuhan (the compliance principle); 9. Prinsip kebebasan (the independence principle);

10. Prinsip keterbukaan (the transparency principle); dan

11. Prinsip kerjasama internasional (the international co-operation principle). Prinsip-prinsip hukum nuklir (principles of nuclear law) di atas perlu mendapat perhatian dan dapat dijadikan pedoman dalam menentukan hal-hal yang perlu dilakukan dalam pengaturan hukum di bidang ketenaganukliran di Indonesia.

Mengingat ketenaganukliran berkaitan dengan banyak bidang/sektor, maka pengaturan hukum pidana di bidang ketenaganukliran haruslah harmonis dan sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketenaganukliran. Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti tidak ada pertentangan antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi peraturan yang satu dengan yang lainnya saling memperkuat ataupun mendukung. Sedangkan harmonisasi secara horisontal untuk memastikan bahwa substansi atau materi muatan yang diatur

(15)

dalam peraturan perundang-undangan tersebut serasi dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama. Harmonisasi horisontal ini berangkat dari asas lex posterior derogat legi priori yang artinya adalah suatu peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan atau mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist derogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Harmonisasi horisontal peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang ketenaganukliran yang dilandasi kedua asas tersebut sangat penting karena pada hakikatnya peraturan perundang-undangan tersebut bersifat lintas sektoral dan tidak berdiri sendiri. Peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran berhubungan dengan berbagai bidang hukum lain, akan tetapi masih saling berkaitan satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kondisi tumpang tindih antar bidang hukum dalam sistem hukum, hal mana berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya yang pada akhirnya menggagalkan tujuan dibentuknya peraturan perundang-undangan tersebut. Penerapan asas lex

specialist derogat legi generalis dalam harmonisasi horisontal peraturan

perundang-undangan di bidang ketenaganukliran diperlukan guna membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mempunyai karakteristik khusus dan berbeda (sui generis) dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Namun demikian, peraturan perundang-undangan bidang ketenaganukliran tersebut hendaknya tetap berada dalam suatu kesatuan sistem hukum yang ada, sehingga tidak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penerapannya. Selain itu, peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran harus harmonis dengan asas-asas pembentukan dan materi muatan peraturan perundang-undangan.

(16)

meningkat, sehingga akan tercipta rasa aman, tentram dan damai dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu faktor penghambat pemanfaatan tenaga nuklir di bidang energi di Indonesia saat ini adalah masih adanya rasa takut atau kekhawatiran dari sebagian masyarakat, khususnya di mana PLTN tersebut akan dibangun, terhadap dampak negatif dari pembangunan PLTN. Sehingga sebagian masyarakat masih cenderung melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan PLTN di Indonesia.

Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap keselamatan dan keamanan pemanfaatan tenaga nuklir, diharapkan dapat menjadikan masyarakat bisa menerima kehadiran pemanfaatan iptek nuklir dengan baik, sehingga dapat mendorong terwujudnya peningkatan pemanfaatan tenaga nuklir dalam berbagai bidang kehidupan. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, meningkatnya pemanfaatan tenaga nuklir berarti membuka lapangan kerja baru dan bergairahnya perekonomian yang secara tidak langsung dapat pula meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, rekonstruksi kebijakan formulasi hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan harus dirumuskan untuk menciptakan rasa aman, tentram dan damai dalam masyarakat serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan tenaga nuklir.

Adi Sulistiyono31 berpendapat bahwa hukum walaupun senantiasa menyempurnakan diri untuk menjalankan fungsinya dengan baik di tengah-tengah masyarakat, hukum tetap saja mempunyai keterbatasan-keterbatasan manakala harus berhadapan dengan kompleksitas perkembangan dunia bisnis yang segala sesuatunya senantiasa diukur mendasarkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas, mekanisasi, dan velocity. Oleh karena itu, apabila hendak memperoleh tingkat efisiensi yang tinggi, maka sistem hukum harus senantiasa diusahakan agar dapat menampung ide-ide baru dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang berubah.32

31 Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, ctk. Kesatu,

LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2007, hlm. 126.

(17)

Penggunaan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran merupakan salah satu kebijakan dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana di bidang ketenaganukliran yang berpotensi menimbulkan bahaya radiasi. Akan tetapi penggunaan hukum pidana dalam usaha pencegahan dan penanggulangan tindak pidana sangatlah terbatas. Herbert L. Packer, berpendapat bahwa sanksi pidana memiliki keterbatasan, antara lain sebagai berikut:33

1. The criminal sanction is indispensable, we could not, now or in the

foreseable future, get along without it (Sanksi pidana sangat diperlukan, kita

tidak dapat hidup tanpanya, sekarang maupun di masa yang akan datang); 2. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with

gross and immediate harms and threats of harm (Sanksi pidana merupakan

sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera dan menghadapi ancaman-ancaman bahaya-bahaya); 3. The criminal sanctions is at once prime guarantor and prime threatener of

human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor, used indiscriminately and coercively, it is threatener (Sanksi pidana pada suatu

ketika merupakan penjamin utama dan pengancam utama kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hati-hati dan secara manusiawi, ia adalah pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa).

Menurut Sudarto,34 bahwa pengaruh atau effek dari sanksi pidana sangat terbatas. The limits of criminal sanction merupakan suatu kenyataan, hal mana berarti kita tidak boleh terlalu mengharapkan ketaatan orang pada suatu peraturan hanya dengan mengandalkan sanksi pidana belaka meskipun kita tidak boleh mengatakan bahwa sanksi pidana itu tidak ada artinya sama sekali. Hukum pidana mempunyai kemampuan terbatas dan penerapan hukum pidana banyak mengandung dampak keburukan yang merugikan individu maupun sosial.35 Hukum pidana memiliki kemampuan terbatas yang harus dipahami

33 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanctions, Stanford University Press,

California, 1968, hlm. 364-366.

34 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op.cit, hlm. 83-84.

35 Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan

(18)

mengandung aspek kebaikan dan keburukan, apabila tidak disadari akan mendapatkan kebalikan dari hasil yang diharapkan.36

Hal senada juga dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa penggunaan hukum pidana dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana mengandung beberapa kelemahan, yaitu:37

1. Secara dogmatis/idealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras, karenanya sering disebut sebagai ultimum remedium;

2. Secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi, yaitu Undang-Undang, lembaga/aparat pelaksana dan menuntut biaya yang tinggi;

3. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur atau efek samping yang negatif;

4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana hanya merupakan hal yang bertujuan menanggulangi/menyembuhkan gejala. Hukum sanksi pidana hanya merupakan pengobatan simbiotik dan bukan pengobatan kasuistik, karena sifat-sifat kejahatan yang demikian kompleks di luar jangkauan hukum pidana;

5. Hukum sanksi pidana hanya merupakan bagian kecil dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah tindak pidana sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang kompleks;

6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual, tidak bersifat struktural dan fungsional; dan

7. Efektivitas pidana masih bergantung kepada banyak faktor, karenanya masih sering dipermasalahkan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menjalankan fungsinya mencegah dan menanggulangi tindak pidana. Oleh karenanya, keterbatasan kemampuan hukum pidana tersebut hendaklah menjadi perhatian pembentuk UU di dalam menetapkan kebijakan hukum pidana di bidang ketenaganukliran ke depan.

36 Ibid, hlm. 166.

37 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Penyelenggaraan SPIP pada tingkatan pemerintah Kota Cilegon dilakukan oleh satuan tugas yang disebut Satuan Tugas Penyelenggara SPIP pemerintah Kota Cilegon

Jika A adalah tingginya lebih dari 6 kaki , dan B adalah peristiwa yang digit adalah > 7, mak intuitif, A dan B yang "independen" dalam arti bahwa

Hasil studi bertujuan untuk mengetahui fenomena aliran dan perpindahan panas pada elliptical tube banks , ditinjau secara kualitatif menggunakan visualisasi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh diferensiasi produk terhadap brand image pasta gigi Sensodyne pada mahasiswa Fakultas Ekonomi dan

Frame relay melakukan enkapsulasi pada paket data, menggunakan indentitas koneksi Data Link Connection Identifet (DLCI), yang dimana pembuatan jalur circuit virtual akan

Menurut seorang psikolog perkembangan anak, Efrina Djuwita, sekolah alam membuat anak tidak terpaku hanya pada teori saja, sebab mereka juga dapat mengalami langsung pengetahuan

To conclude my essay, I also took the case of Jimmy Savile, a renowned entertainer, paedophile, necrophile and neurotic to establish the presence of Guilt in his behaviour and

STUDI KASUS KESULITAN BELAJAR MAHASISWA ANGKATAN 2010 DI DEPARTEMEN PENDIDIKAN SENI MUSIK FPSD UPI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |