• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendataan Dan Pengkajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Di Wilayah Kabupaten Bandung 2004.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendataan Dan Pengkajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Di Wilayah Kabupaten Bandung 2004."

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LAPORAN AKHIR (FINAL REPORT)

PENDATAAN DAN PENGKAJIAN POTENSI PAJAK PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C

DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG 2004

KEGIATAN KAJIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BANDUNG

Kerjasama dengan

PUSAT STUDI ILMU PEMERINTAHAN UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI

(3)

SUSUNAN TIM PENELITI

PENDATAAN DAN PENGKAJIAN POTENSI PAJAK PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG

TAHUN 2004

Penanggung Jawab : Dr. Sutejo Atmowasito Ketua : A. Widanarto, Drs., M.Si. Sekretaris : Agus Subagyo, S.IP., M.Si.

Anggota : RM. H. Yuddy Prabowo, SE., MP. Dadan Kurniansyah, S.IP.

Sri Ari Wardana, Ir. Keuangan : Chris Endang W. Sekretariat : Tulus Haryono

Susmeidy Syamsi

Surveyor : Mahasiswa Fakultas Teknik dan FISIP UNJANI Cimahi Staf Administrasi : Herwibowo C. Atmowasito

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah Hirrobul Alamin, akhirnya laporan penelitian tentang Pendataan dan Pengkajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2004 dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerjasama. Penelitian ini dilakukan atas kerjasama antara Kegiatan Kajian Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Bandung, berdasarkan Surat Perjanjian Kerjasama Nomor: 074/PK/2004, dengan Pusat Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi berdasarkan Surat Perjanjian kerjasama Nomor: SK/B/01/PSIP-UNJANI/K/VII/2004 Pada Bulan Juni 2004.

Gagasan Bupati Bandung dengan memberikan tugas kepada aparat Pemerintah Daerah untuk meneliti potensi pajak daerah nampaknya didasarkan pada arti penting peningkatan Pendapatan Asli Daerah bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah yang dewasa ini bertumpu pada kemampuan daerah dalam rangka aplikasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan utama bagi Pemerintah Kabupaten Bandung dalam menyusun kebijakan, khususnya pada kebijakan yang berkaitan dengan peningkatan PAD. Proses pelaksanaan penelitian ini tidak sedikit menemuai kendala, namun kami terus berupaya untuk dapat menemukan soluasinya yang dapat mengoptimalkan hasil penelitian ini. Data yang diperoleh di samping dari instansi pemerintah daerah, juga dengan melakukan pengumpulan data melalui penelitian lapangan.

Harapan kami semoga hasil penelitian ini berguna bagi Pemerintah Kabupaten Bandung, khususnya bagi instansi yang berkompeten dan memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dalam upaya optimalisasi potensi PAD. Tidak ada gading yang tak retak. Kritikan dan saran yang konstruktif guna perbaikan laporan penelitian ini tentunya terbuka lebar. Terima kasih.

Cimahi, 1 Februari 2005 Ketua Tim Peneliti

(5)

DAFTAR ISI

Susunan Tim Peneliti Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian B. Identifikasi Masalah

C. Pokok-pokok Permasalahan D. Ruang Lingkup Penelitian E. Tujuan Penelitian

F. Output/Keluaran G. Outcome/Hasil H. Benefit/Manfaat I. Impact/Dampak J. Pendekatan Normatif K. Metode Penelitian

L. Populasi dan Teknik Sampling M. Sistematika Laporan hasil Penelitian N. Penyusunan Laporan Akhir

O. Sistem Pelaporan P. Lokasi Kegiatan

BAB II KAJIAN NORMATIF

A. Kontribusi PAD Terhadap APBD Masih Rendah

B. Kajian Normatif Perda Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C.

C. Kajian Normatif Keputusan Bupati No. 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan bahan Galian Golongan C.

d. Kajian Normatif Keputusan Bupati Nomor 973/Kep.161a-Dipenda/2003 tentang Harga Standar bahan Galian Golongan C.

BAB III OBYEK PENELITIAN A. Letak Geografis

B. Kondisi Demografis dan Luas Wilayah C. Gambaran Umum Bahan Galian Golongan C.

BAB IV KAJIAN EMPIRIS HASIL PENELITIAN

A. Potensi Minimal Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C. B. Peningkatan Potensi Pajak secara Intensif dan Ekstensif.

C. Dampak Lingkungan Penambangan Bahan Galian Golongan C.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Rekomendasi

(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tehili membawa

nuansa baru bagi penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

telah merubah paradigma lama pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan

bertanggungjawab diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota. Sedangkan otonomi daerah

pada daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. Penyelenggaraan otonomi daerah

dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi

dan keanekaragaman daerah. Perubahan secara fundamental tersebut adalah dalam upaya

mewujudkan kemandirian daerah dalam rangka mencapai tujuan otonomi daerah, yakni:

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat serta peningkatan kehidupan yang

demokratis.

Kota kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kesejahteraan

masyarakat. Strategi untuk, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selain melalui

pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah secara adil dan berkelanjutan, juga

melalui langkah-langkah strategic kebijakan pemerintah dalam upaya menggali sumber

keuangan daerahnya sendiri. Oleh karena itu daerah harus memiliki keleluasaan untuk

menentukan sendiri mengenai cara mengatur dan mengurus rumah tangganya. Upaya untuk

memperbesar lumbung keuangan daerah merupakan salah satu cara yang mesti dilakukan

agar keleluasaan dapat diwujudkan di samping prasyarat lain, mengingat pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang besar tidak cukup hanya mengandalkan dari dana

perimbangan dan subsidi Pemerintah Pusat saja, tetapi daerah harus dapat memberdayakan

seoptimal mungkin potensi yang ada di daerah itu sendiri agar memberikan kontribusi yang

optimal terhadap pendapatan daerah.

Upaya yang dilakukan daerah dalam memperbesar sumber keuangan daerah adalah

dengan memfokuskan bagaimana cara meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah

satu sumber untk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi PAD (khususnya dari

pajak dan retribusi daerah) harus merupakan konsep yang dinamis dan berkesinambungan.

Pendapatan asli daerah sejauh ini kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang

ada di daerah. Hal ini merupakan bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat.

(7)

daerah, sehubungan kedua komponen tersebut merupakan penyumbang terbesar dalam pos

pendapatan APBD. Akibatnya Pemerintah Daerah berusaha meningkatkan pajak daerah,

retribusi daerah, sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa Pemda meminta bagian atas

hasil BUMD yang ada di daerahnya.

Pajak merupakan alat untuk menstabilkan anggaran daerah. Pajak ibarat "minyak

angin" untuk mengobati krisis ekonomi yang masih berlangsung, namun persoalannya kini,

sejauhmana efektivitas pemungutan pajak itu sendiri. Pemerintah Daerah harus bijaksana

dalam memungut pajak ini sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Artinya daerah

dapat memungut pajak dalam jumlah yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonominya.

Termasuk dampak inflasi harus dipertimbangkan. Jangan sampai pemungutan pajak yang

besar ini mengakibatkan kelesuan ekonomi, sehingga investor menjadi ragu untuk

menanamkan modalnya. Selain itu perlu kehati-hatian Pemerintah Daerah terutama untuk

menentukan pajak apa yang harus dikenakan dan masyarakat/publik atau sektor mana yang

harus dibebani pajak, agar tidak mengganggu kestabilan kehidupan makro dan mikro

ekonomi masyarakat secara keseluruhan.

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah,

bahwa jenis pajak yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah:

1. Pajak Hotel;

2. Pajak Restoran;

3. Pajak Hiburan;

4. Pajak Reklame;

5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Pengambilan Pe gambilan Bohan Galiaa. Golongan C

7. Pajak Parkin

Pemerintah Kabupaten Bandung perlu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dalam

upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini penting untuk menghindari

ketergantungan APBD Kabupaten Bandung terhadap dana perimbangan, khususnya dana

alokasi umum yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Sehingga penyelenggaraan otonomi

daerah yang mensyaratkan kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus rumah

tangganya sendiri dapat terwujud.

(8)

Bandung pada tahun anggaran 2002 dan 2003 telah melaksanakan Pendataan dan Pengkajian

Potensi Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan dalan, Pajak Parkir dan Pajak

Restoran di Kabupaten Bandung, yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Perguruan

Tinggi. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan mengenai potensi pajak daerah lainnya,

khususnya potensi pajak pengambilan bahan galian C di Wilayah Kabupaten Bandung yang

potensinya sangat besar dan bisa menunjang upaya peningkatan PAD.

Berdasarkan data yang ada, target dan realisasi sektor pajak pengambilan bahan galian

C selama ini dirasakan masih kurang optimal jika dibandingkan potensi riil/sesungguhnya

yang dimiliki Kabupaten Bandung. Hal ini bisa dilihat dari data secara kuantitatif tentang

target dan realisasi penerimaan pajak pengambilan bahan galian C selama 3 tahun anggaran

Berta target tahun 2004, sebagaimana tercantum dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1.1

Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Tahun Anggaran 2001 s/d 2003 serta Target Tahun 2004

(dalam Jutaan Rupiah)

No. Tahun

Anggaran

Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

Target Realisasi

1. 2001 310.000.000,00 299.351.259,00

2. 2002 437.500.000,00 314.327.119,00

3. 2003 462.500.000,00 493.377.285,00

4. 2004 650.000.000,00

Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bandung, 2003

Dari data tersebut di atas, maka tergambar dengan jelas bahwa target yang ditetapkan

oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Target yang

ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2002

tidak terpenuhi. Artinya, realisasi penerimaan pajaknya tidak sesuai dengan target yang

ditetapkan. Khusus untuk tahun 2003, realisasi penerimaan pajaknya melebihi target yang

ditetapkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung belum

memiliki patokan yang jelas mengenai berapa sebenarnya potensi yang dimiliki oleh

Pemerintah Kabupaten Bandung dari sektor Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.

Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten

Bandung, sudah sangat mendesak kiranya dilakukan pendataan dan pengkajian potensi pajak

(9)

Kegiatan pendataan dan pengkajian potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C ini

perlu dilakukan agar supaya jangan sampai, tiba-tiba muncul suatu aturan yang menyangkut

penanganan sumber pajak pengambilan bahan galian golongan. C dengan pertimbangan yang

spekulatif, tanpa melalui suatu proses pengkajian secara ilmiah.

Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Pusat Studi

Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani (PSIP - UNJANI) melakukan kegiatan “Pendataan dan Pengkajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C di Wilayah Kabupaten Bandung”.

B. Identifikasi Masalah

Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Masalah series dalam pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah adalah bagaimana

Pemerintah Kabupaten Bandung mendapatkan dana yang memadai, sementara

kemampuan sumber daya manusia dan kewenangan daerah dalam menggali sumber

keuangan sangat terbatas.

2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pernenntah

Pusat dan Daerah yang menganut sistem bagi hasil atas eksploitasi sumber daya alam,

secara teori hanya beberapa daerah yang akan memetik keuntungan optimal.

Daerah-daerah lain masih akan menggantungkan secara penuh pendanaannya dari Pusat

melalui Dana Alokasi Umum. Begitu pula, dengan kondisi yang terjadi di Kabupaten

Bandung dimana DAU yang diterima dari Pusat merupakan 70,42 % dari total

pendapatan dalam APBD tahun anggaran 2004.

3. Dalam membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah, Kabupaten Bandung

tidak dapat hanya mengandalkan bagian dari dana perimbangan saja, namun perlu

mengupayakan secara mandiri dalam menggali dan mengelola, potensi yang ada

dengan jalan meningkatkan penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah, sehingga pada

gilirannya nanti PAD sebagai penopang utama APBD, sedangkan dana perimbangan

sebagai suplemen saja. Namun demikian, deskripsi saat ini posisi PAD dalam APBD

Kabupaten Bandung tahun 2004 hanya memberikan kontribusi sebesar 29,58 %. Hal

ini dirasakan relatif kecil dibandingkan dengan potensi PAD di Kabupaten Bandung

yang begitu besar, terutama dari sektor pajak daerah.

4. Kekhawatiran lain, jika daerah tertantang untuk lebih serius menggali sumber

keuangannya tanpa arahan, bukan tidak mungkin yang muncul justru tambahan beban

(10)

5. Rencana penerimaan sumber PAD dari pajak daerah terutama pajak pengambilan

bahan galian golongan C dalam APBD tahun 2004 (Rp. 650.000.000,00) masih relatif

rendah dibandingkan dengan potensi yang ada di lapangan. Adapun kondisinya

sebagai berikut: Pajak pengambilan bahan galian golongan C memberikan kontribusi

hanya sebesar 0,6% dari total target pajak daerah, yaitu sebesar Rp.

45.687.500.000,00

6. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang sudah tergah menurut

pendapat beberapa kalangan baru sekitar 12% dari potensi riil atau yang sebenarnya

dimiliki Kabupaten Bandung. Untuk itu diperlukan kegiatan pengkajian dan

pendataan potensi yang sebenarnya dari bahan galian golongan C.

C. Pokok-pokok Permasalahan

Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka pokok

permasalahan yang akan diteliti, yaitu:

1. Secara kuantitatif, seberapa besar potensi pajak daerah dari jenis Pajak Pengambilan

Bahan Galian Golongan C di Kabupaten Bandung untuk tahun 2004?

2. Apakah pendapatan dari jenis pajak tersebut masih berpotensi untuk ditingkatkan,

baik secara intensif maupun secara ekstensif?

3. Apes dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya penambangan bahan galian

golongan C?

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pengkajian potensi Pajak Pengambilan Bahan

Galian Golongan C di Kabupaten Bandung. Ruang lingkup penelitian meliputi:

1. Pengumpulan data sekunder dari Dinas Pendapatan Daerah.

2. Pengumpulan dan analisis data primer dari lapangan yang diperoleh melalui

wawancara dan angket dari subyek dan obyek pajak, kepada informan dan semua titik

Pengambilan. Bahan Galian Golongan C di setiap kecamatan di Kabupaten Bandung

3. Analisis potensi besarnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

4. Analisis masalah dan rekomendasi pemecahannya

5. Proyeksi target besarnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.

E. Tujuan

(11)

1. Untuk mengetahui seberapa besar potensi pendapatan asli daerah yang dimiliki dan

dapat digali di wilayah Kabupaten Bandung dari sektor Pajak Pengambilan Bahan

Galian Golongan C.

2. Untuk menghimpun dan menganalisis objek pajak yang masih berpotensi untuk

ditingkatkan secara intensif dan ekstensif dari jenis pajak tersebut.

3. Untuk menguraikan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya penambangan

bahan galian golongan C.

F. Output/Keluaran

1. Hasil Penelitian yang menggambarkan potensi pajak pengambilan bahan galian

golongan C di Kabupaten Bandung yang bisa digali dan dikembangkan berdasarkan

aturan yang berlaku.

2. Adanya hasil kajian yang akurat dan komprehensif tentang potensi riil pajak

pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung yang dapat dijadikan

sebagai bahan pengambilan kebijakan bagi Pemerintah Kabupaten Bandung untuk

menentukan target pajak pengambilan bahan galian golongan C yang bisa dicapai

dalam upaya meningkatkan PAD Kabupaten Bandung.

G. Outcome/Hasil

Outcome atau hasil yang diharapkan adalah berupa data/gambaran, rekomendasi dan

saran tindak terhadap potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten

Bandung.

H. Beneflit/Manfkat

Pemerintah Kabupaten Bandung dapat menetapkan target atas pajak pengambilan bahan

galian. golongan C yang lebih akurat dan sesuai dengan potensi sebenarnya berdasarkan

hasil penelitian di lapangan.

L. Impact/Dampak

PAD dari sektor Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dapat meningkat secara

kuantitatif dan dampak negatif lingkungan hidup atas eksistensi penambangan galian C

(12)

J. Pendekatan Normatif

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

merupakan wujud kesungguhan untuk mengakomodasi tuntutan daerah dalam

mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan demikian,

pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang bersumber dari PAD,

khususnya dari pajak dan retribusi daerah sangat berpeluang untuk ditingkatkan. Ada

beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu:

Pertama, hal ini terlihat dari penambahan jenis pajak yang diserahkan kepada

Kabupaten/Kota, seperti tercantum dalam pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) tentang jenis pajak

yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Kedua, dibedakannya pajak hotel dan pajak

restoran untuk kabupaten/kota yang semula dijadikan satu. Ketiga, pajak pengambilan

dan pengolahan bahan galian golongan C (untuk Kabupaten/Kota) yang diubah menjadi

pajak pengambilan bahan galian golongan C. Keempat, masih untuk Kabupaten/Kota,

ditambahkannya pajak parkir sebagai sumber penerimaan pajak baru. Kelima, di samping

tambahan maupun perluasan jenis pajak tersebut, Kabupaten/Kota juga diberikan

keleluasaan untuk menambah dengan jenis jenispajak baru, walaupun ada rambu-rambu

atau kriterianya.

Dalam rangka melaksanakan undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat telah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan

Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tentang Retribusi Daerah. Dengan berlakunya kedua

Peraturan Pemerintah tersebut, semua Peraturan Pemenntah yang berkaitan dengan Pajak

dan Retnbusi praktis tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan beberapa peraturan daerah

yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah harus mengalami perubahan. Alasan

pertama adalah untuk menyesuaikan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah

baru yag telah diubah. Alasan kedua adalah untuk menyesuaikan dengan dinamika daerah

itu sendiri sesuai dengan potensi sumber-sumber PAD yang berkembang.

K. Metode Penelitian

Penelitian ini akan mempergunakan metode survey. Sementara jenis atau tipe

penelitian ini adalah deskriptif. Analisis data dilakukan secara deskriptif artinya tidak

hanya sebatas pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi menuturkan dan

menafsirkan (interpret) tentang arti data tersebut, sehingga nantinya Pemerintah Daerah

(13)

lebih akurat. Pada bagian akhir akan ditarik kesimpulan-kesimpulan (generalisasi) yang

didasarkan kepada data-data yang representatif.

Dalam pelaksanaan pendataan dan kajian potensi pajak daerah di wilajah

Kabupaten Bandung, dibutuhkan langkahlangkah persiapan dan tahapan-tahapan sebagai

berikut:

1. Tahapan Persiapan

a. Penyamaan Persepsi

1) Menyamakan persepsi dilakukan melalui diskusi terbatas antara pihak pemberi

kerja dengan pelaksana pekerjaan, dengan sasaran dapat tercapai hasil secara

maksimal;

2) Pihak pelaksana pekerjaan mengajukan usulan penanganan pekerjaan

(proposal) yang dilaporkan pada Laporan Pendahuluan;

3) Pihak pelaksana pekerjaan melaksanakan paparan Laporan Pendahuluan atau

Paparan Rencana Penelitian di hadapan pengguna hasil penelitian tersebut.

b. Persiapan Teknis Survei

Persiapan Teknis Survei dilakukan setelah terjadi kesepakatan atau kesamaan

persepsi antara pihak pemberi dan pelaksana pekerjaan.

2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

a. Teknik Pengumpulan Data

Jenis data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data kualitatif dan data

kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu:

1) Observasi. Ada dua jenis observasi yang akan dilakukan terhadap objek pajak:

(i) Teknik observasi langsung - Peneliti melakukan pengamatan dan

pencatatan secara langsung terhadap gejala-gejala obyek yang diteliti.

(ii) Teknik Observasi Tidak Langsung - Peneliti melakukan pengamatan

terhadap obyek yang diteliti melalui cara Check List, dokumen-dokumen

resmi, seperti Laporan Tahunan Pajak Daerah dari Pemerintah Kabupaten

Bandung serta Dinas Pendapatan Daerah dan dari sumber informasi

lainnya yang relevan seperti dari media massa.

2) Kuesioner (Angket). Penelitian ini mempergunakan angket berstruktur, karena

jawaban yang diharapkan dari responder adalah jawaban yang singkat, tegas,

konkrit dari pertanyaan-pertanyaan yang terbatas. Angket ini ditujukan kepada

para pengusaha yang melakukan pengambilan bahan galian golongan C di

(14)

3) Wawancam (Intennew). Wawancara dilakukan terhadap responder terpilih,

yaitu DISPENDA Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pihak Pengusaha

Penambangan Galian C. Data yang diperoleh dari teknik wawancara ini

selanjutnya digunakan untuk cross check validitas datanya dan untuk

melengkapi data primer dan data sekunder.

Alasan yang mendasari mengapa teknik pengumpulan data menggunakan

beberapa tahap sebagaimana diuraikan di atas adalah karena ukuran populasinya yang

demikian besar, lokasi penelitian yang begitu luas.

Di camping itu, dalam penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data

sekunder yang diperoleh dari dokumendokumen pemerintah, yang meliputi peraturan

perundangundangan yang terkait dengan objek penelitian, jenis pajak daerah, jumlah

wajib pajak, serta target dan realisasi penerimaan daerah dari jenis pajak.

3. Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian yang mengkaji potensi pajak pengambilan bahan galian

golongan C dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Kedua metode ini digunakan

secara bersamaan agar hasil penelitian mencapai sasaran dan tujuan yang

dimaksudkan yaitu secara kuantitatif dapat menetapkan potensi besarnya pajak

pengambilan bahan galian golongan C dan secara kualitatif dapat memahami

persoalan-persoalan yang bersifat normatif dan persoalan-persoalan implementasi

peraturan perundang-undangannya termasuk berbagai kendalanya.

4. Tahap Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

1) Pengolahan data Kuantitatif dilakukan dengan koding, editing, klasifikasi,

kategorisasi, dan tabulasi dengan pengukuran secara kuantitatif sehingga,

dapat menunjukkan data berupa angka.

2) Pengolahan data kualitatif dilakukan secara deskriptif dengan

menggambarkan, menjelaskan, menggolongkan, menggeneralisasikan, dan

mengkonseptualisasikan data sekunder dan data primer melalui kata-kata,

kalimat, gambar, simbol, skema, bagan, tabel dan grafik.

b. Analisa Data

(15)

kualitatif.

1) Analisis data kuantitatif terhadap kajian empiris potensi besarnya pajak

pengambilan bahan galian golongan C dilakukan dengan pembandingan

melalui tabulasi besarnya target pajak berdasarkan data sekunder dari Dinas

Pendapatan Daerah dibandingkan dengan potensi besarnya pajak berdasarkan

hasil penelitian.

2) Analisis data kualitatif dilakukan melalui:

(a) Reduksi data, yakni memilih dan memilah data-data pokok yang sesuai

dengan fokus penelitian.

(b) Display/penyajian data, yakni langkah menyajikan data dalam bentuk

kata-kata, kalimat, gambar, simbol, skema, bagan, tabel dan grafik.

(c) Verifikasi data, yakni data-data yang telah ada diuji secara empiris

sehingga validitas, reliabilitas, dan objektivitas data terpenuhi.

Apabila dalam rangka melakukan reduksi data, display/penyajian data, dan

verifikasi data, masih terdapat keraguan terhadap validitas dan reliabilitas

data, maka dipergunakan teknik analisis data berikut ini:

(a) Triangulasi data, yakni cross check atau pemeriksaan silang antar data,

dengan tujuan untuk memperoleh kepercayaan dan akurasi data.

(b) Interpretasi data, yakni mencari pemahaman, pemaknaan dan penghayatan

terhadap data yang telah diolah. Teknik analisis data seperti ini sering

disebut dengan teknik analisis Verstehen.

5. Unit Analisis Data

Unit analisis data dalam penelitian ini adalah individu dan badan hukum yang secara

potensial dapat dijadikan sebagai wajib pajak berdasarkan peraturan daerah,

keputusan bupati dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan

pengambilan bahan galian golongan C.

L. Populasi dan Teknik Sampling

Populasi adalah kumpulan yang lengkap dari elemen-elemen (objek penelitian) yang

sejenis yang dibedakan karena karakteristiknya (Supranto, 1992:28). Data jumlah titik

pengambilan bahan galian golongan C dari 14 Kecamatan adalah berjumlah 104 titik.

(16)

sesungguhnya, pengumpulan data dilakukan dengan teknik sensus dan uji petik melalui

cara pencatatan di lapangan terhadap semua titik potensi pajak pengambilan bahan galian

golongan C dari berbagai jenis kelompok usaha di setiap Kecamatan. Data ini sangat

penting karena dapat dijadikan dasar potensi dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi

objek pajak.

M. Sistematika Laporan Akhir Penelitian

Adapun sistematika laporan Hasil Penelitian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian

Golongan C di Wilayah Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut:

I. Pendahuluan

II. Kajian Normatif

III. Objek Penelitian

IV. Kajian Empiris Hasil Penelitian

V. Penutup

a. Kesimpulan

b. Rekomendasi

Buku Laporan Hasil Penelitian ini dilengkapi dengan tabel yang di dalamnya terdapat

angka-angka yang disusun secara sistematis dan analitik sehingga menghasilkan beberapa

rekomendasi penting yang siap digunakan sebagai bahan penunjang dalam pengambilan

kebijakan pemerintah Kabupaten Bandung meningkatkan dan menggali potensi PAD

secara optimal.

N. Penyusunan Laporan Akhir

Pada tahap ini hasilnya berupa Draft Laporan Akhir yang ditindaklanjuti dengan

Presentasi Draft Laporan Akhir yang akan digandakan oleh pihak pemberi pekerjaan di

hadapan pengguna (stakeholder] hasil kajian untuk penyempurnaan Laporan Akhir. Saran

dan masukan yang dianggap penting (baik angka/data maupun redaksionalnya) kemudian

dimasukkan demi penyempurnaan Laporan Akhir. Laporan Akhir yang telah

disempurnakan kemudian diserahkan kepada pihak pemberi pekerjaan untuk digandakan

lebih lanjut yang disertai/ditandai Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan.

O. Sistem Pelaporan

(17)

pekerjaan yang memuat elaborasi dan metode pelaksanaan pekerjaan yang akan

dilakukan serta memuat kegiatan kerja dan pengerahan tenaga kerja (Sumber Daya

Manusia) yang terhbat;

2. Laporan Akhir, laporan ini berisi proses seleksi, klasifikasi dan tabulasi data dari hasil

survey institusional maupun lapangan yang disertai analisis yang kemudian

dipresentasikan di hadapan pemakai/pengguna hasil kajian.

P. Lokasi Kegiatan

Kegiatan Kajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ini tersebar di 14

(18)

BAB II

KAJIAN NORMATIF

Terhitung mulai 1 Januari 2001 pemerintah secara resmi memberikan Undang-undang Nomor 32 Tahn 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Secara umum, subsidi kedua undang-undang itu merupakan wujud aspirasi daerah dalam konteks desentralisasi atau sering disebutnya dengan otonomi daerah. Bahkan, sebagian besar masyarakat memandang kedua undang-undang ini jauh lebih aspiratif terhadap tuntutan otonomi daerah ketimbang Undang-undang Nomor 5 tahun 1974. Dengan ditetapkannya paket otonomi daerah, menjadi hak dan kewajiban Pemerintah Kabupaten Bandung untuk memanfaatkan secara optimal kewenangannya sehingga dapat memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi penciptaan nilai tambah pembiayaan serta penerimaan daerah.

Salah satu perubahan penting dalam melihat potensi dan dinamika perekonomian daerah adalah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui PAD dapat terlihat langsung besarnya penerimaan dan pengeluaran pembangunan darah. Semakin besar nilai PAD, semakin ringan beban Pemerintah Daerah dalam membiayai pembangunan daerah. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil nilai PAD, semakin berat beban Pemerintah Daerah dalam membiayai pembangunan daerah.

A. Kontribusi PAD Terhadap APBD Masih Rendah

Menurut data pada tahun anggaran 1998/1999, kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Jawa Barat secara rata-rata masih relatif rendah, yakni berkisar antara 4,86 persen (Kabupaten Indramayu) sampai dengan 32,26 persen (Kota Bandung). Tabel 2.1 berikut ini akan menunjukkan kontribusi PAD/APBD kabupaten/Kota se-Jawa Barat.

Tabel 2.1

Kontribusi PAD/APBD Kabupaten Kota Se-Jawa Barat, 1997/1998 dan 1998/1999

No. Kabupaten/Kota Kontribusi PAD/APBD (%)

1997/1998 1998/1999

1. Kab. Pandeglang 7,50 6,69

2. Kab. Lebak 9,83 6,20

3. Kab. Bogor 32,11 25,66

4. Kab. Sukabumi 13,98 5,55

5. Kab. Cianjur 12,59 5,95

6. Kab. Bandung 14,40 12,21

7. Kab. Garut 8,50 7,51

8. Kab. Tasikmalaya 15,09 10,39

9. Kab. Ciamis 9,23 5,43

10. Kab. Kuningan 10,22 7,14

11. Kab. Cirebon 10,09 7,30

12. Kab. Majalengka 11,09 6,60

(19)

14. Kab. Indramayu 8,13 4,86

15. Kab. Subang 18,81 9,32

16. Kab. Purwakarta 24,32 23,64

17. Kab. Karawang 28,16 21,70

18. Kab. Bekasi 33,03 22,55

19. Kab. Tanggerang 32,57 23,00

20. Kab. Serang 35,60 27,21

21. Kota Bogor 32,86 25,43

22. Kota Sukabumi 28,88 22,92

23. Kota Bandung 35,22 32,26

24. Kota Cirebon 32,62 29,11

25. Kota Tangerang 42,97 23,82

26. Kota Bekasi na 21,87

Sumber: Diolah dari BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II, Kabupaten Bandung, 1997/1998-1998/1999

Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di tahun 1998/1999 mengalami penurunan untuk semua kabupaten/kota dibandingkan dengan tahun 1997/1998. Penurunan PAD secara riil maupun sebagai persentase dari APBD dapat disebutkan oleh dampak krisis ekonomi yang telah berlangsung sejak pertengahan 1997 dan implikasi implementasi UU 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Puncak krisis ekonomi di Jawa Barat dirasakan pada tahun 1998, yang ditandai dengan laju pertumbuhan PDRB Jawa Barat terpuruk hingga -14 persen. PAD yang terdiri dari komponen utamanya, pajak daerah dan retribusi daerah, umumnya bersifat elastis terhadap perubahan PDRB.

Di samping krisis ekonomi, penurunan PAD bisa juga disebabkan atau dipertajam oleh implikasi pemberlakuan UU Nomor 18 tahun 1997 yang merasionalisasikan dan mengefisiensikan jumlah dan pemungutan pajak daerah serta retribusi daerah. Tentang penyebab penurunan riil PAD hanya dapat ditentukan dengan menghitung dampak penurunan PDRB terhadap penerimaan PAD, serta implikasi perubahan komponen pajak daerah dan retribusi daerah terhadap penerimaan PAD.

Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan wujud kesungguhan untuk mengakomodasikan tuntutan daerah dalam mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah di Kabupaten/Kota yang bersumber dari PAD, khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah sangat berpeluang untuk ditingkatkan.

(20)

yang positif bagi kemandirian daerah dalam pembiayaan pembangunan daerah demi terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah yang berkesinambungan.

Dalam rangka melaksanakan undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tentang Retribusi Daerah. Karena itu, dengan berlakunya kedua Peraturan Pemerintah tersebut, semua Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Pajak dan retribusi praktis tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan beberapa peraturan daerah yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah terbaru ini harus mengalami perubahan. Alasannya bukan hanya untuk menyesuaikan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah baru yang telah diubah, tetapi juga untuk menyesuaikan dengan dinamika daerah itu sendiri sesuai dengan potensi sumber-sumber PAD yang berkembang di daerah.

Namun demikian, di Kabupaten Bandung, masih ada Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati yang masih berlaku, meskipun dibuat dan ditetapkan sebelum adanya PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati tersebut adalah: Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan bahan Galian Golongan C; dan Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golingan C. Oleh karena itu, fokus kajian normatif dalam penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji kedua peraturan perundang-undangan di tingkat daerah Kabupaten Bandung tersebut.

B. Kajian Normatif Perda No. 3 Tahun 1998 Tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C.

Sebelum menguraikan permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan diterapkannya Perda No. 3/1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, terlebih dahulu akan dipaparkan secara detail pasal-pasal krusial dan penting yang terdapat dalam Perda tersebut.

1. Pasal-pasal Krusial dan Penting

Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 diuraikan bahwa:

a. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang selanjutnya disebut Pajak adalah pungutan daerah atas Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C.

b. Bahan Galian Golongan C adalah semua bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan bahan galian strategis (A) dan golongan bahan galian vital (B).

c. Eskploitasi Bahan Galian Golongan C adalah pengambilan Bahan Galian Golongan C dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

Dalam Bab II Nama, Obyek Pajak dan Sumbyek Pajak Pasal 2 diuraikan bahwa:

a. Dengan nama Pajak Pengambilan dan Bahan Galian Golongan C dipungut pajak atas kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C.

b. Obyek Pajak adalah kegiatan eksploitasi Bahan Galian Golongan C. c. Bahan Galian Golongan C sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi:

(21)

c) Batu Setengah Permata d) Batu Kapur

e) Batu Apung f) Batu Permata g) Bentonit h) Dolomit i) Felspar

j) Garam Batu (Halite) k) Grafit

l) Granit m) Gips n) Kalsit o) Kaolin p) Leusit q) Magnesit r) Mika s) Marmer t) Nitrat u) Okeril

v) Pasir dan Kerikil w) Pasir Kuarsa x) Perlit

y) Phospat z) Talk

aa) Tanah Serap ab) Tanah Liat ac) Tawas (alum) ad) Tras

ae) Yarosif af) Zeolit ag) Opsidien ah) Tanah Diatome

Sedangkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) diuraikan bahwa:

a. Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengeksploitasi atau mengambil bahan galian golongan C.

b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan eksploitasi bahan galian golongan C.

Dalam Bab III Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Pasal 4 diuraikan bahwa:

a. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.

(22)

c. Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada masing-masing jenis bahan galian golongan C ditetapkan secara periodik oleh kepala daerah sesuai dengan harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat.

d. Harga standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh insansi yang berwenang dalam bidang penambangan bahan galian golongan C.

Sedangkan Pasal 5 diuraikan bahwa: Tarif ditetapkan sebesar 20%.

C. Kajian Normatif Keputusan Bupati No. 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Aperda Kebupaten Daerah Tingkat II Bandung No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C.

Sebelum menguraikan permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan diterapkannya Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kabupaten Daerah Tingkat II No 3/1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C, terlebih dahulu akan dipaparkan secara detail pasal-pasal krusial dan penting yang terdapat dalam Keputusan Bupati tersebut.

1. Pasal-pasal Krusial dan Penting

Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 diuraikan bahwa:

a. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang selanjutnya disebut Pajak adalah pungutan daerah atas Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C.

b. Bahan Galian Golongan C adalah semua bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan bahan galian strategis (A) dan golongan bahan galian vital (B).

c. Eskploitasi Bahan Galian Golongan C adalah pengambilan Bahan Galian Golongan C dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.

Dalam Bab II Nama, Obyek Pajak dan Sumbyek Pajak Pasal 2 diuraikan bahwa: a. Obyek pajak adalah kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C.

b. Bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini meliputi: 1. Asbes

2. Batu Tulis

3. Batu Setengan Permata 4. Batu Permata

5. Batu Kapur 6. Batu Apung 7. Bentonit 8. Dolomit 9. Felspar 10. Garam Batu 11. Grafit

12. Granit/Andesit/Diorit/Dasit 13. Gips

(23)

17. Magnesit 18. Mika 19. Marmer 20. Nitrat 21. Opsidan 22. Oker

23. Pasir dan Kerikil a. Pasir Beton b. Pasir Pasang c. Pasir Urug d. Sirtu 24. Pasir Kuarsa 25. Perlit

26. Phospat 27. Talk

28. Tanah Sedap 29. Tanah Diatome 30. Tanah Liat

a. Tanah Liat Tahan Api b. Tanah Liat untuk Bangunan 31. Tawas (Alum)

32. Tras 33. Yarosit 34. Zeolit

Dalam Bab IV Dasar Pengenaan dan tarif Pajak pasal 6 diuraikan bahwa:

a. Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran dan atau yang seharusnya dibayar untuk menonton atau menikmati hiburan.

b. Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil eksploitasi dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis bahan galian golongan C.

c. Nilai pasar atau harga standar sebagaimana dimaksud pada masing-masing jenis bahan galian golongan C akan ditetapkan kemudian secara periodik oleh kepala daerah sesuai dengan harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat.

Dalam Bab V Tata Cara Perhitungan dan Penetapan pajak Pasal 9 diuraikan bahwa: a. Masa pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C adalah 1 (satu)

bulan takwim.

b. Pajak-pajak terjadi saat terjadinya eksploitasi bahan galian golongan C.

D. Kajian Normatif keputusan Bupati Nomor 973/Kep.161a-Dipenda/2003 tentang Harga Standar Bahan Galian Golongan C.

(24)

Keputusan Bupati yang berkiatan dengan harga standar dan jenis bahan galian golongan C berikut ini:

Tabel 2.2

Harga Standar dan Jenis Bahan Galian Golongan C Di kabupaten Bandung

No. Jenis Bahan Galian Harga Standar Dasar (Rp/Ton

Harga Lama Harga Baru

1. Batu Kapur 2.000 3.500

2. Granit/Andesit/Dionit/Dasit 3.000 9.000

3. a. Marmer

b. Barangkal Marmer

30.000 30.000

4. Pasir dan Kerikil a. Pasir Beton b. Pasir Pasang c. Pasir Urug d. Sirtu

3.000 2.500 2.000 1.500

15.000 12.000 4.000 6.000

5. Pasir Kuarsa 6.000 18.000

6. Tanah Urug 1.500 2.000

7. Tanah Liat untuk Bangunan 1.000 3.000

8. Tras 2.500 8.000

(25)

BAB III OBJEK PENELITIAN

Dalam bob III ini akan diuraikan secara singkat Tatar belakang obyek penelitian, mulai dari letak geografis, kondisi demografis clan Was wilayah Kabupaten Bandung Berta gambaran umum penambangan bahan gahan golongan C yang terdapat di sebagian kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung, khususnya Bandung bagian Barat.

A. Letak Geografis

Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah di Propinsi Jawa Barat. Wilayah ini merupakan lokasi yang paling dekat dengan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Dampak positif keberhasilan pembangunan di jantung Jawa Barat juga paling dirasakan oleh penduduk di Kabupaten Bandung.

Wilayah Kabupaten Bandung, mengelilingi seluruh wilayah Kota Bandung, terletak di tengah-tengah daerah Jawa Barat yang dikelilingi oleh beberapa daerah kabupaten, yaitu: 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta

dan Kabupaten Subang.

2. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut. 4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.

Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah terluas di Propinsi Jawa Barat bersama beberapa daerah kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2001, daerah ini barn berjumlah 39 (tigapuluh sembilan) kecamatan setelah Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi Tengah dan Cimahi Utara memisahkan diri menjadi Kota Cimahi. Sesuai dengan laju pembangunan di Kabupaten Bandung, jumlah kecamatan pada bulan Agustus 2001 dimekarkan menjadi 43 (empau puluh tiga) kecamatan, yaitu Kecamatan Nagrek merupakan pemekaran dari kecamatan Cicalengka, Kecamatan Rongga merupakan pemekaran dari Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Solokan Jeruk merupakan pemekaran dari Kecamatan Majalaya, dengan 436 (empat ratus tiga puluh enam) desa/kelurahan.

Pada pertengahan tahun. 2003 ini jumlah kecamatan bertambah duo lagi yaitu Kecamatan Cihampelas merupakan pemekaran dari Kecamatan Cihhn, dan. Kecamatan Cangkuang

merupakan pemekaran dari Kecamatan Banjaran. Dengan demikian, pada akhir tahun 2003 ini jumlah kecamatan di Kabupaten Bandung menjadi 45 (empat puluh lima) kecamatan.

Dori 45 kecamatan yang ado di Kabupaten Bandung, secara rinci dapat dikemukakan nama-nama kecamatan sebagai berikut:

1.Kecamatan Pad-.ilarang. 2.Kecamatan Batujajar. 3.Kecamatan Cipatat. 4.Kecamatan Ngamprah. 5.Kecamatan Cileunyi. 6.Kecamatan Cimenyan. 7.Cilengkrang.

8.Kecamatan Bojongsoang. 9.Kecamatan Margahayu. 10. Kecamatan Margaasih. 11. Kecamatan Ketapang. 12. Kecamatan Dayeuhkolot. 13. Kecamatan Banjaran. 14. Kecamatan Cangkuang **) Kecamatan Pemeungpeuk.

(26)

17. Kecamatan Ranca Bali 18. Kecamatan Arjasari. 19. Kecamatan Cimaung. 20. Kecamatan Cililin.

21. Kecamatan Cihampelas **) 22. Kecamatan Sinciangkerta. 23. Kecamatan Cipongkor 24. Kecamatan Gununghalu 25. Kecamatan Rongga *) 26. Kecamatan Cikalong Wetan

27. Kecamatan Cipeundeuy 28-. Kecamatan Cicalengka 29. Kecamatan Nagrek *)

30. Kecamatan Cikancung Kecamatan Rancaekek

31. Kecamatan Ciparay 32. Kecamatan Pacet 33. Kecamatan Kertasari 34. Kecamatan Baleendah 35. Kecamatan Majalaya

36. Kecamatan Solokan Jeruk *) 37. Kecamatan Paseh

38. Kecamatan Ibun 39. Kecamatan Soreang 40. Kecamatan Pasirjambu 41. Kecamatan Ciwidey 42. Kecamatan Lembang 43. Kecamatan Cisarua

44. Kecamatan Parongpong.

Keterangan Hasil Pemekaran Kecamatan Tahun 2001 Hasil Pemekaran Kecamatan Tahun 2003

& Kondisi Demografis dan Luca Wilayah

Penduduk Kabupaten Bandung berdasarkan hasil registrasi tahun 1997 adalah sebanyak 3.557.665 jiwa, dengan perincian. 1.774.949 laki-laki dan 1.782.718 perempuan. Sex Ratio penduduk di Kabupaten Bandung umumnya di bawah 100, kecuali untuk beberapa kecamatan ado yang di atas 100. Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki. Tetapi secara rata-

rata angka ini masih di bawah 100. Ini terlihat angka sex ratio untuk Kabupaten Bandung hanya sebesar 99,56.

Secara rinci, mengenai lugs wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di Kabupaten Bandung, dapat dilihat di dalam Tabel 3.1. sebagai berikut:

Tabel 3.1.

Was Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Wilayah Kabupaten Bandung

(27)

(sebelum dimekarkan menjadi 2 kecamatan pads tahun 2001), clan wilayah yang paling sempit yaitu 9,63 Km2

adalah . Kecamatan Margahayu, dengan. Was- rata-rata tiap, kecamatan adalah 67,91 Km2. Kecamatan yang memiliki Was mendekati rata-rata yaitu terdiri dari Kecamatan: Banjaran (sebelum dimekarkan), Cimaung, Cipongkor, dan Soreang.

Dori jumlah penduduk Kabupaten Bandung pads akhir tahun 2000 sebanyak 3.205.659 jiwa (tidak termasuk Kota Cimahi), penduduk yang paling banyan .terdapat di -Kecamatan Majalaya (sebelum dimekarkan mepjadi 2 kecamatan), yaitu sebanyak 181.619 jiwa, dan paling sedikit terdapat di Kecamatan Cilengkrang, yaitu sebanyak 27.004 jiwa. Dengan demikian, maka jumlah penduduk rata-rata tiap, kecamatan sebanyak 84.707 jiwa.

1 a .Memperhatikan Was wilayah dan j umlah penduduk tersebut, kepadatan penduduk , tertinggi di Kecamatan Margahayu yaitu sebesar 8.323,78 Km2, dan kepadatan penduduk paling rendah terdapat di Kecamatan Cilengkrang yaitu sebanyak 243,41 jiwa/Km2, dan diikuti oleh Kecamatan Gununghalu (sebelum dimekarkan menadi 2 kecamatan) yaitu sebesar 426 jiwa/KM2, dan Kecamatan Kertasari yaitu sebesar 428 jiwa/Km2 dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar

1.247,39 jiwa/KM2•

Gambaran Umum Penambangan Bahan Galian Golongan C

Wilayah Kabupaten Bandung yang secara umum terdiri dari pegunungan dan perbukitan, mengandung potensi sumber daya alam yang sangat potensial dan strategic. Salah satu potensi tersebut adalah bahan galian golongan C yang banyak sekali terkandung di ,%ilayah Kabupaten Bandung, khususnya di wilayah Bandung bagian Bast. Sebagai potensi. sumber daya alam yang tidak dapat di,perbaharui, pengelolaan. bahan galian golongan C perlu.dilakukan secara berdaya

guna, berhasil guna, bertanggungjawab dan berkelanjutan serta pemanfaatannya ditujukan bagi sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat.

Pemerintah Daerah, sebagai institusi formal yang berwenang untuk melakukan pengelolaan pertambangan umum, khususnya bahan galian golongan C harus merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan, pengaturan, pengurusan, pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan potensi sumber daya alam tersebut.

Secara ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pajak untuk pendapatan daerah, Dinas Pendapatan Daerah adalah institusi pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk memungut yak pengambilan bahan galian golongan C sesuai -dengan aturan

perundang-undangan yang berlaku. Pajak yang dipungut tersebut secara normatif dipergunakan untuk program pembangunan daerah yang pada akhirnya bermanfaat bagi seluruh rakyat.

Dori aspek lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan dampak lingkungan di sekitar lokasi penambangan galian. C, Dinas lingkungan adalah institusi resmi yang mempunyai kewenangan untuk memperhatikan dampak-dampak.. - lingkungan yang kemungkinan bisa ditimbulkan dengan adanya penambangan bahan galian golongan C. Realitas empiris sekarang ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan penambangan yang melakukan penambangan tanpa memperhatikan dampak lingkungan di sekitar lokasi penambangan. Bahkan, meskipun perusahaan penambangan tersebut tidak memiliki izin penambangan alias PETI (Penambangan. Unpa Izin), khususnya tidak adanya Surat izin UPL/UKL, pars pengusaha penambangan nekat melakukan penambangan.

Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, di wilayah Kabupaten Bandung, terdapat 14 Kecamatan yang terdapat potensi usaha penambangan bahan galian golongan C. Dwi 14 Kecamatan tersebut, sebagian besar berasal dari wilayah Bandung bagian Barat, seperti Padalarang, Cipatat, Cikalong Wetan, Rom Jajar dan Cihhn Bahan galian golongan C yang paling banyak ditambang adalah batu andesit. Sampai saat ini, di wilayahj kabupaten bandung, terdapat 102 perusahaan penambangan yang melakukan eksploitasi bahan galian golongan C. Tabel 3.2 berikut ini akan menunjukkan sebaran lokasi penambangan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung.

Daftar perusahaan penambangan bahan galian golongan., C sebagaimana yang terdapat

(28)

perusahaan penambangan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung yang belum memiliki SIPD alias PETI. Beberapa alasan yang menyebabkaamercka belum memiliki SIPD adalah karena : (1) Lokasi penambangan merupakan daerah terlarang. Artinya, lokasi penambangan dianggap, tidak layak karena bisa membahayakan warga di sekitar lokasi atau mengganggu keseimbangan lingkungan; (2) Masih menunggu UPL/UKL yang belum dipresentasikan dan bahkan ada yang belum disusun; (3) Status Tanah di lokasi penambangan yang masih menjadi sengketa dan belum ada, kesepakatan penyelesaian; (4) Melanggar Instruksi Bupati No. 545/instr-14-Perek/86 tanggal 15 September 1986 tentang larangan kegiatan pengusaha bahan galian golongan C dalam radius 5 Km dari Kota Soreang.

Meskipun belum memiliki SIPD dan dilarang untuk melakukan penambangan, namun di lapangan masih terlihat ada beberapa perusahaan penambangan yang masih aktif melakukan penambangan sehingga harus memerlukan penanganan yang serius

mengmgat kegiatan tersebut tentunya melanggar ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan. Belum lagi, masih terdapatnya penambangan kecil-kecilan dan dilakukan secara manual oleh beberapa warga di beberapa lokasi penambangan dengan alasan pekerjaan tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan hasil observasi di lapangan, dari 102 lokasi penambangan sebagaimana dipaparkan di atas, terdapat 68 lokasi penambangan bahan galian golongan. C yang masih aktif alias beroperasi, baik yang resmi maupun tidak resmi. Tabel 3.3 berikut ini akan menunjukkan jumlah lokasi penambangan bahan galian golongan C yang masih aktif beroperasi di wilayah Kabupaten Bandung berdasarkan hasil observasi tiro peneliti di lapangan sehingga secara otomatis dapat ditetapkan sebagai objek pajak.

Dari 26 Perusahaan penambangan yang belum memiliki SIPD atau tidak resmi, 14 Perusahaan belum mengajukan permohonan SIPD dan 12 Perusahaan telah mengajukan permohonan SIPD namun belum keluar alias dalam proses pembuatan SIPD. Daftar Perusahaan Penambangan Galian C yang belum memiliki SIPD dapat dilihat dalam Lampiran Ill.

(29)

BAB IV

KAJIAN EMPIRIS HASIL PENELITIAN

Dalam Bab IV ini dijelaskan dan dianalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan (data primer) membandingkan dengan data sekunder yang diperoleh dari instansi yang berkaitan dengn pajak pengambilan bahan galian golongan C, sehingga akan tergambar dengan jelas berapa potensi pajak secara nominal dari kedua jenis pajak yang diteliti tersebut. Setelah itu, akan dipaparkan secara berurutan peningkatan potensi pajak secara intensif dan ekstensif, kendala normatif dan kendala prosedural implementasi Perda No. 3 Tahun 1998 tetnang pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan dampak lingkungan penambangan bahan galian golongan C.

A. Potensi Minimal Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C

Dalam rangka menghitung potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung, perlu kiranya dianalisis terlebih dahulu data potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang diperoleh dari DISPENDA dan Dinas Lingkungan Hidup seperti yang tergambar dalam Keputusan Bupati Bandung Tahun 2002 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan Kegiatan dan Proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2003.

Menurut data dari DISPENDS dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung terdapat 102 buah Perusahaan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kabupaten Bandung. Pada perkembangannya, selain banyak lokasi penambangan baru yang muncul dan beroperasi sehingga dapat masuk dalam kriteria wajib pajak, ada pula beberapa wajib pajak pengambilan bahan galian golongan C yang tercantum dalam data sekunder tahun 2004 tidak beroperasi lagi pada tahun 2004 ini.

Dalam rangka pengkajian ulang potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C, maka dilakukan pengumpulan data terhadap seluruh objek pajak pengambilan bahan galian golongan C yang tercantum menurut data dari DISPENDA dan Dinas Lingkungan Hidup serta ditambah dengan data lapangan lain berhasil dihimpun.

Untuk menghitung berapa potensi pajak pengambilan pengambilan bahan galian golongan C ini, maka terlebih dahulu harus dikumpulkan data tentang:

1. Nama, alamat & pemilik penambangan 2. Jumlah pegawai

3. Jumlah upah/gaji pegawai

4. Jumlah modal kerja yang dikeluarkan per hari dan bulan 5. Jumlah rata-rata produksi galian C yang dikeluarkan 6. Jumlah obzet rata-rata per hari per bulan

Rumus dalam menghitung besarnya potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C adalah didasarkan pada dasar pengenaan tarif dan tarif pajak sebagaimana tercantum dalam Perda No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C sebagai berikut:

1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.

2. Nilai jual dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil eksploitasi dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis bahan galian golongan C.

(30)

Tabel 4.1

Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian

Golongan C yang Sudah Memiliki SIPD Setiap Bulan

Berdasarkan hasil Penelitian di Kabupaten Bandung Tahun 2004

No. Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Pajak (Rp)

1. Padalarang 7 228.558.500,00

2. Cililin 2 153.000.000,00

3. Margaasih 2 252.450.000,00

4. Batujajar 11 851.130.000,00

5. Baleendah 6 443.700.000,00

6. Pameungpeuk 1 91.850.000,00

7. Cicalengka - -

8. Soreang - -

9. Cimenyan 1 16.830.000,00

10. Cipatat 9 433.500.000,00

11. Cikalong Wetan 1 15.000.000,00

12. Cikancung 2 114.750.000,00

Total 42 2.600.768.500,00

Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang sudah memiliki SIPD per bulan di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:

1. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 berjumlah Rp 2.600.768.500,00

2. Jika dihitung per tahun (dikalikan 10 bulan) berjumlah sebesar Rp 26.007.685.000,00. Perkaliannya hanya sepuluh bulan adalah dengan asusumsi bahwa ada perusahaan galian golongan C menerapkan satu hari libur dalam seminggu.

3. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan target pajak pengambilan bahan galian golongan C yang ditetapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk tahun 2004 sebesar Rp 650.000.000,- maka terdapat selisih atau perbedaan yang sangat besar. Dengan kata lain bahwa berdasarkan hasil penelitian terdapat potensi yang dimiliki sebesar Rp 25.357.685.000,- Artinya terdapat selisih yang sangat luar biasa, yakni sekitar 3.901%.

Sedangkan jumlah potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang belum memiliki SIPD di Kabupaten Bandung per bulan pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.2

Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian

Golongan C yang Belum Memiliki SIPD Setiap Bulan

Berdasarkan hasil Penelitian di Kabupaten Bandung Tahun 2004

No. Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Pajak (Rp)

1. Padalarang 3 117.750.000,00

2. Cililin 3 145.350.000,00

3. Margaasih 1 Baru mulai produksi

(31)

5. Baleendah 1 Baru mulai produksi

6. Pameungpeuk - -

7. Cicalengka 2 36.126.000,00

8. Soreang 5 84.150.000,00

9. Cimenyan 4 52.020.000,00

10. Cipatat 7 12.250.000,00

11. Cikalong Wetan - -

12. Cikancung - -

Total 26 447.645.000,00

Setelah mengetahui secara terpisah jumlah potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C, baik yang sudah memiliki SIPD maupun yang belum memiliki SIPD, maka di bawah ini akan ditunjukkan penggabungan jumlah potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C baik yang sudah maupun yang belum memiliki SIPD.

Tabel 4.3

Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian

Golongan C Setiap Bulan baik yang Memiliki SIPD maupun yang Belum Memiliki SIPD Berdaarkan hasil Penelitian

Di Kabupaten Bandung tahun 2004

No. Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Pajak (Rp)

1. Padalarang 10 325.308.500,00

2. Cililin 5 298.350.000,00

3. Margaasih 3 252.450.000,00

4. Batujajar 11 851.130.000,00

5. Baleendah 7 443.700.000,00

6. Pameungpeuk 1 68.850.000,00

7. Cicalengka 2 36.125.000,00

8. Soreang 5 84.150.000,00

9. Cimenyan 5 68.850.000,00

10. Cipatat 16 475.750.000,00

11. Cikalong Wetan 1 15.000.000,00

12. Cikancung 2 77.100.000,00

Total 68 3.048.363.500,00

Sumber: Hasil Penelitian Lapangan tahun 2004 Asumsi: Eksploitasi per minggu 6 hari

Keterangan: Data secararinci bisa dilihat pada lampiran II.

Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 adalah sebagai berikuit:

1. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 ternyata sangat besat.

2. Terlihat jumlah omzet perbulan seluruh galinan C di Kabupaten Bandung adalah sebesar Rp 15.241.817.500,-

(32)

4. Jika dihitung pertahun (dikalikan 10 bulan) berjumlah sebesar Rp 30.483.635.000,-. Perkaliannya hanya sepuluh bulan adalah dengan asumsi bahwa ada perusahaan galian golongan C menerapkan satu hari libur dalam seminggu.

5. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan target pajak pengambilan bahan galian golongan C yang ditetapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk tahun 2004 sebesar Rp 650.000.000,- terdapat selisih atau perbedaan yang sangat besar. Dengan kata lain yang dimiliki sebesar Rp 29.833.635,- Artinya terdapat selisih yang sangat luar buasa, yakni sekitar 4.590%.

Mengapa demikian besar

Menurut informasi dari Dispenda, dasar penentuan besarnya jumlah pajak yang ditetapkan oleh Dispenda kepada masing-masing objek pajak didasaran pada self assesment yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada Dispenda setiap bulan. Atas dasar self assesment tersebut, Dispenda mengeluarkan SKPD (Surat keputusan Pajak Daerah). Dari alur yang demikian, dapat dianalisis bahwa bisa saja selt assesment yang dibuat oleh wajib pajak tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Artinya sangat mungkin terjadi wajib pajak tidak memberikan informasi yang sebenarnya tentang jumlah omzet dan overhead cost yang dikeluarkan per hari dan per bulannya. Hal ini mungkin terjadi karena tidak ada mekanisme cross check dari self assesment terhadap fakta di lapangan, yang bisa saja sebenarnya dilakukan oleh Dispenda sehingga akan mendapatkan informasi yang benar-benar akurat.

B. Peningkatan Potensi pajak Secara Intensif dan Ekstensif

Dari hasil observasi di lapangan, potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung sebenarnya masih dapat dikembangkan dan digali lagi, baik secara intensif maupun secara ekstensif.

1. Secara Intensif

a. Pemungutan pajak bisa dilakukan dengan cara menerapkan penagihan pajak pengambilan bahan galian golongan C yang lebih ketat dan simultan, yakni menurunkan petugas langsung ke pihak wajib pajak untuk memungut pajak.

b. Melakukan inspeksi dan wawancara yang bersifat kooperatif terhadap produktivitas penambangan galian C. Hal ini dilakukan karena selama ini ada kesan bahwa pihak pengusaha penambangan enggan dan bahkan terkesan menutup-nutupi besaran produktivitas perusahaan dengan alasan “rahasia perusahaan”.

c. Sosialisasi guna menyadarkan kepada wajib pajak untuk membayar pajak pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan pendapatan (omzet) yang wajar dan tepat pada waktunya.

d. Menyusun langkah-langkah perencanaan, memperbaiki sistem administrasi, melakukan pengawasan dan melakukan pelatihan manajemen pemungutan pajak secara rutin kepada petugas pajak.

2. Secara Ekstensif

a. Pemungutan pajak bisa dilakukan dengan cara memperluas pendapatan objek pajak pengambilan bahan galian golongan C yang baru. Hal ini bisa dilakukan dengan cara koordinasi secara intensif kepada para Camat dan Lura/Kepala Desa yang mengetahui secara detail wilayah-wilayah yang terdapat aktivitas penambangan galian C namun belum memiliki izin, sehingga dihimbau untuk mengurus izin penambangan dengan harapan dapat dipungut pajaknya setiap bulan.

(33)

kondisi daerah masing-masing sehingga ketika ada aktivitas penambangan baru, mereka ditugaskan untuk menginfortmasikan ke petugas pemungut pajak.

Langkah-langkah kreatif intensifikasi dan ekstentifikasi pemungutan pajak galian C sebagaimana diterangkan di atas didasarkan pada kondisi yang sesungguhnya di lapangan bahwa ternyata ada wajib pajak yang enggan untuk membayar pajak apabila tidak ada petugas pajak yang datang ke obyek pajak dan banyak wajib pajak baru yang beru meuncul dan tumbuh, namun belum didata dan didaftar secara resmi oleh Dispenda dan Dinas Lingkungan Hidup.

C. Dampak Lingkungan Penambangan Bahan Galian Golongan C

Di bawah ini akan diuraikan dampak lingkungan penambangan bahan galian golongan C yang ada di Kabupaten Bandung. Dampak lingkungan yang dimaksud adalah dampak positif dan dampak negatif, khususnya yang langsung berkaitan dan dirasakan oleh masyarakat. Data tentang dampak lingkungan ini diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan responden yang dianggap representatif.

Dampak positif dari kegiatan penambangan galian golongan C di wilayah Kabupatea Bandung adalah;

1. Penyerapan Tenaga Kerja. Masyarakat di sekitar lokasi penambangan merasa bahwa dengan beroperasinya penambangan galian golongan C dapat menyerap tenaga kerja. Banyak dari kegiatan penambangan mengangkat karyawan atau pekerja yang berasal dari warga sekitar, khususnya para pemuda yang sebelumnya menjadi pengganggur alias tidak memiliki pekerjaan.

2. Kontribusi Pada Kas RT/RW. Seperti diketahui bahwa setiap truk yang keluar dari lokasi penambangan dengan membawa bahan galian golongan C dipungut biaya retribusi kurang lebih Rp. 1.000,- per truk. Retribusi ini dimasukkan ke kas RT/RW setempat. Rata-rata per hari mereka bisa memungut sampai jumlah Rp. 100.000,-

3. Pembangunan Jalan Desa. Para pengusaha atau pemilik penambangan galian golongan C seringkali melakukan perbaikan terhadap jalan kampung atau jalan desa yang dilalui oleh truk-truk penambangan. Atau ada juga yang setiap bulan memberikan sumbangan untuk perbaikan jalan.

4. Sumbangan Kas Desa. Sebagian pemilik penambangan galian golongan C ada yang tiap bulan atau tiap tahun memberikan setoran sebagai sumbangan ke Kas Desa sebagai wujud kepedulian mereka terhadap program pemberdayaan masyarakat disekitar lokasi penambangan.

Sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung berdasarkan analisis kualitatif adalah:

1. Debu. Debu yang beterbangan di sekitar lokasi penambangan karena truk-truk yang lalu lalang mengangkut galian C, terutama jika musim kemarau. Debu yang beterbangan tiap hari ini meresahkan warga, karena mengganggu kesehatan warga dengan bukti banyak warga yang batuk-batuk dan terganggu saluran pernapasannya. Hal ini banyak diungkapkan oleh penduduk yang rumahnya berada di sekitar lokasi penambangan.

(34)

3. Tembok Rumah Retak akibat dinamit. Secara umum rumah-rumah penduduk yang berada. di sekitar lokasi penambangan mengalami retak-retak pada temboknya. Hal ini disebabkan oleh pihak penambang yang menggunakan alat seperti dinamit dalam memecahkan batu di lokasi penambangan sehingga getaran keras dari ledakan dinamit tersebut membuat retak tembok dari rumah-rumah penduduk.

4. Tanah Longsor. Ada sejumlah lokasi penambangan galian golongan C yang rawan menimbulkan longsor sehingga mengkhawatirkan warga sekitar. Hal ini disebabkan karena lokasi penambangan yang berada dalam posisi di atas pemukiman penduduk. Ditambah lagi dengan kondisi tanah yang mudah untuk bergerak ke bawah apabila hujan deras terjadi.

5. Kekurangan Air. Karen lokasi penambangan galian C yang sebagian besar berada di atas dan di lereng bukit, maka daya serap air menjadi berkurang sehingga menurut warga sekitar lokasi penambangan pada musim kemarau sering terjadi kekurangan dan kesulitan air.

6. Batu Longsor. Ada sejumlah lokasi penambangan yang mengakibatkan karyawannya meninggal karena tertimbun oleh longsornya, batu-batu pada saat mereka bekerja. Hal ini terjadi karena pihak penambangan kurang memperhatikan posisi batu yang ditambang. Kejadian ini berlangsung di lokasi penambangan dan menimpa karyawannya sendiri.

Secara kuantitatif, dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung ini bisa dilihat dalam tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4

Jumlah Dampak Lingkungan yang Diakibatkan oleh Penambangan Galian C di Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2004

No. Jumlah Penambang

Dampak Lingkungan Jumlah Dampak

Persenase Dampak

1. 68 Debu 25 17

2. 68 Jalan Rusak 26 17,68

3. 68 Tembok Rumah Retak 14 9,52

4. 68 Tanah Longsor 5 3,4

5. 68 Kekurangan Air 8 5,44

6. 68 Batu Longsor 6 4,08

Catatan : Messing-messing perusahaan penambangan galian C bisa menimbulkan tidak hanya satu dampak lingkungan, melainkan bisa lebih dari satu.

Dari tabel 4.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak negatif lingkungan yang paling banyak diakibatkan oleh penambangan galian C adalah masalah debu yang berasal dari lokasi penambangan sehingga mengganggu kesehatan pernafasan masyarakat di sekitar lokasi penambangan. Sedangkan dampak negatif lingkungan yang paling sedikit diakibatkan oleh penambangan galian C adalah adalah tanah Longsor yang sering terjadi di wilayah Cililin.

Sedangkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan yang menonjol sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus dan segera, berkaitan dengan eksistensi penambangan bahan galian golongan C adalah:

(35)

menghentikan kegiatan penggalian tersebut dengan meminta aparat pemerintah desa untuk turun tangan menghentikan dan menutup usaha penggalian pasir liar tersebut. Namun sampai surat ini dilayangkan tidak ada tanggapan, baik itu dari pihak pemerintah desa maupun pihak pengusaha galian pasir. Padahal, dampak dari adanya kegiatan tersebut sudah cukup mengganggu masyarakat antara lain jalan raga menuju Batujajar berlumpur, banjir Lumpur menimpa rumah penduduk yang ada di bawah lokasi pengupasan bukit, tembok rumah sekitar lokasi retak/pecah akibat getaran alat berat yang berlalu lalang, bising oleh suara alat berat yang bekerja tidak kenal waktu, lalu lintas macet akibat dari truk pasir yag lalu lalang dan parkir seenaknya. Intinya masyarakat sekitar lokasi penambangan merasa resah melihat dampak kerusakan lingkungan akibat pengeksploitasian alam secara berlebihan, dan yang lebih penting lagi adalah tidak adanya legalitas dan perijinan yang dimiliki oleh pengusaha galian pasir tersebut.

(36)

BAB V PENUTUP

Dalam bab V ini akan dipaparkan secara singkat berbagai kesimpulan yang telah dibahas dalam bab IV. Setelah itu, berdasarkan kesimpulan tersebut, akan dirumuskan suatu rekomendasi yang bersifat aplikabel dan workabel berkaitan dengan pendataan dan pengakjian potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung.

A. Kesimpulan

1. Besarnya potensi minimal pajak pengambilan bahan galian golonga

Gambar

Tabel 1.1 Target dan Realisasi Penerimaan
Tabel 2.1 Kontribusi PAD/APBD Kabupaten Kota Se-Jawa Barat, 1997/1998 dan 1998/1999
Tabel 2.2 Harga Standar dan Jenis Bahan Galian Golongan C Di kabupaten Bandung
Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang sudah memiliki SIPD per bulan di Kabupaten Bandung pada tahun 2004
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana

Selain informasi yang didapatkan dari hasil wawancara dengan Informan, berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di kantor operasional atau Pool Bus TransJakarta, di sana

Dari hadits-hadits yang telah kami sebutkan, jelaslah bagi pencari kebenaran bahwa ilmu nujum (astrologi), yang dinamakan peramal, membaca telapak tangan, membaca gelas,

[r]

KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT: JAMALUDDIN KARIM Dua alat bukti saja, Yang Mulia. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT:

Tugas Akhir ini disusun oleh penulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai derajat Strata-1 pada Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas

yang dinyatakan DITERIMA sebagai Calon Mahasiswa Baru Program Magister (S2) Jalur Ujian Tulis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2016 wajib melaksanakan registrasi dengan

Tanaman kapulaga dapat tumbuh di bawah naungan pohon, menghendaki suhu 20-30 o C, RH 70%, dan curah hujan 2.000-4.000 mm/th serta menghendaki ketinggian tempat 200-1000 mdpl