ANALISIS KEWAJARAN TERJEMAHAN
WACANA FORMAL, NETRAL, INFORMAL,
DAN LITERER
T E S I S
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Studi
Pengajaran Bahasa Indonesia
Oleh
Furqanul Aziez
949638/XXVI-18
PROGRAM PASCASARJANA
INSTTTUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BANDUNGDisetujui dan disahkan untuk Ujian Tahap I oleh:
1. Pembimbing I
Prof. Dr. H. Ahmad Slamet Harjasujana, M.A.
2. Pembimbing II:
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PEHGANTAR i
UCAPAN TERIMA KASIH iii
DAFTAR ISI v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang dan Masalah 1
1.1.1. Latar Belakang 1
1.1.2. Masalah 5
1.2. Signifikansi Penelitian 8
1.3. Perumusan dan Pembatasan Masalah 9
1.3.1. Perumusan Masalah 9
1.3.2. Pembatasan Masalah 10
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 11
1.4.1. Tujuan Penelitian 11
1.4.2. Manfaat Penelitian 12
1.5. Anggapan Dasar 13
Bab II IHWAL PENERJEMAHAN, TINGKAT KEWAJARAN,
FAKTOR SOSIOLINGUISTIS, DAN PRONOMINA 15
2.1. Penerjemahan 15
2.1.1. Konsep Penerjemahan 15
*? v Kompetensi Penerjemah 19
2.2.1. Perbedaan Komunikasi Monolingual dengan
Penerjemahan 19
2.2.2. Kompetensi Penerjemah 23
2.2.3. Kompetensi Komunikatif 29
2.3. Tingkatan dalam Penerjemahan 29
2.3.1. Tingkat Tekstual 30
2.3.2. Tingkat Referensial 30
2.3.3. Tingkat Kekohesifan 31
2.3.4. Tingkat Kewajaran 31
2.4. Tingkat Kewajaran dalam Penerjemahan 31
2.6. Faktor Sosiolinguistis dalam Penerjemahan 34
2.6.1. Masyarakat dan Bahasa 34
2.6.2. Ragam Bahasa 38
2.6.3. Gaya, Register dan Penerjemahan 41
2.7. Pronomina 47
2.7.1. Pronomina Persona Bahasa Inggris 48
2.7.2. Pronomina Persona Bahasa Indonesia 48 2.7.3. Perbandingan Pronomina Persona
Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia 52
BAB III METODE PENELITIAN 63
3.1. Metode dan Langkah-langkah Penelitian 63
3.1.1. Metode Penelitian 63
3.2. Populasi dan Sampel 64
3.2.1. Populasi 64
3.2.2. Sampel 85
BAB IV ANALTSIS DATA 67
4.1. Wacana Formal. . .; 67
4.1.1. Pronomina Pertama. Tunggal 67
4.1.2. Pronomina Pertama Jamak 74
4.1.3. Pronomina Kedua Tunggal 79
4.1.4. Pronomina Kedua Jamak 83
4.1.5. Pronomina Ketiga Tunggal 86
4.1.6. Pronomina Ketiga Jamak 91
4.2. Wacana Netral 96
4.2.1. Pronomina Pertama Tunggal 96
4.2.2. Pronomina Pertama Jamak 100
4.2.3. Pronomina Kedua Tunggal 103
4.2.4. Pronomina Kedua Jamak 108
4.2.5. Pronomina Ketiga Tunggal 109
4.2.6. Pronomina Ketiga Jamak 118
4.3. Wacana Informal 119
4.3.1. Pronomina Pertama Tunggal 119
4.3.2. Pronomina Pertama Jamak 125
4.3.3. Pronomina Kedua Tunggal 128
4.3.4. Pronomina Kedua Jamak 132
4.3.6. Pronomina Ketiga Jamak 136
4.4. Wacana Literer 138
4.4.1. Pronomina Pertama Tunggal 139
4.4.2. Pronomina Pertama Jamak 154
4.4.3. Pronomina Kedua Tunggal 156
4.4.4. Pronomina Kedua Jamak 163
4.4.5. Pronomina Ketiga Tunggal 164
4.4.6. Pronomina Ketiga Jamak 172
4.5. Simpulan Analisis 174
4.5.1. Wacana Formal 174
4.5.2. Wacana Netral 175
4.5.3. Wacana Informal 176
4.5.4. Wacana Literer 177
4.6. Hasil Angket Tentang Penggunaan Bahasa
Responden dan Hal Lain yang Terkait 179
4.7. Pembahasan 185
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI 197
5.1. Simpulan 197
5.2. Rekomendasi 206
DAFTAR PUSTAKA 210
LAMPIRAN 213
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Masalah
1.1.1. Latar Belakang
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 dan 4, pendidikan
mem-punyai fungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu
kehidupan dan martabat manusia. Pendidikan nasional antara lain juga
diarahkan untuk dapat membentuk peserta didik untuk memiliki pengeta
huan, keterampilan, kesehatan jasmani-rohani, kepribadian serta rasa
tanggung jawab. Tujuan ini tentu saja merupakan tugas berat sekaligus
tantangan bagi kalangan pendidikan.
Tantangan tersebut semakin transparan jika dikaitkan dengan
persaingan yang semakin ketat di antara negara-negara di dunia
memasuki abad ke 21. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai
kehidupan yang bermutu di dalam undang-undang tersebut harus lebih
diartikan sebagai kehidupan yang sejahtera lahir batin dan memiliki
martabat yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Untuk
merealisasi-kannya, pendidikan harus mampu melihat dan merespon dengan tepat
kebutuhan-kebutuhan yang muncul di tengah-tengah masyarakat dunia.
Masyarakat yang tersekat-sekat lebih oleh kepentingan dan kebutuhan
ketimbang oleh batasan geografis.
per-tanyaan. la sudah menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap
masyarakat dunia yang ingin berdiri sejajar dengan masyarakat lain.
Dan salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah dengan menguasai
sumber-sumber informasi yang tersedia, seperti buku-buku, jurnal,
majalah, dan internet, yang sebagian besar dikomunikasikan dalam
bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Dalam kerangka itulah pengajaran bahasa asing di lembaga-lembaga
pendidikan kita semakin memperoleh perhatian yang lebih baik. Ini
ditunjukkan dengan pemberian bobot SKS yang lebih banyak serta
penye-diaan sarana dan prasarana yang lebih lengkap. Diharapkan, dengan
kebijakan yang kondusif seperti itu, mahasiswa kita akan mampu
menye-rap beragam informasi yang disampaikan melalui bahasa asing.
Pada perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa asing atau
pendidikan bahasa asing pengajaran menerjemahkan memperoleh perlakuan
khusus. Seperti di IKIP Bandung, matakuliah menerjemahkan memperoleh
bobot 8 SKS dan diberikan dalam 3 semester — semester 6, 7 dan 8
dengan masing-masing berbobot 4 SKS, 2 SKS, dan 2 SKS. Ini merupakan
jawaban terhadap ganjalan bahasa yang selama ini merintangi
akselera-si penguasaan sains dan teknologi tersebut.
Sebagaimana kita maklumi, penguasaan sains dan teknologi
me-nuntut kita mampu berkomunikasi (baik secara reseptif dan atau
produktif) dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, bahasa yang
paling tersebar pemakaiannya. Kenyataannya, bagaimanapun, saat ini
hanya sedikit saja para cendekiawan kita yang mampu berbahasa
membaca buku-buku berbahasa Inggris.
Untuk menjembatani antara tuntutan dan kenyataan ini, upaya
penerjemahan buku-buku dan sumber-sumber informasi lain perlu
diga-lakkan. Sutan Takdir Alisyahbana (1990 dalam Abdullah: 1996)
menyata-kan "bahasa kita akan tetap terbelakang bila buku-buku dalam bahasa
Indonesia tidak cukup (banyak) tentang ilmu, teknologi, tentang
kema-juan ekonomi, pendeknya tentang kemakema-juan dunia moderen dewasa ini.
Dan sampai sekarang bangsa kita masih belum sadar akan hal ini,
sehingga buku-buku terjemahan kita masih terlampau sedikit ... kalau
Pemerintah sesungguhnya mau tinggal landas maka dalam kaitan ini,
dapatlah kita katakan bahwa kita menghadapi dua hambatan utama.
Yang
pertama adalah rendahnya penguasaan bahasa asing di kalangan
intelek-tual kita, sehingga konsumsi IPTEK dari sumber aslinya terhambat.
Yang kedua adalah langkanya penerjemahan sumber-sumber informasi
IPTEK, yang sebenarnya bisa mengurangi hambatan pertama.
Selain bidang IPTEK, bidang lain yang terpengaruh oleh situasi
ini adalah SOSBUD. Perfilman merupakan salah satu contoh yang paling
nyata. Ketegangan yang sering diperdebatkan adalah, di satu pihak,
kenyataan sedikitnya pemirsa yang dapat menikmati film-film asing
secara langsung tanpa ada penerjemahan merupakan suatu tantangan. Di
lain pihak, upaya penerjemahan selain berbiaya tinggi juga sering
menimbulkan berbagai dampak kultural yang kontroversial.
Dampak kultural yang dimaksud bermuara kepada unsur-unsur
buda-ya asing buda-yang tidak selaras dengan budabuda-ya kita. Selain itu, penerje
kelemahan-kelemahan tertentu, seperti kelemahan pada aspek sosiolinguistis.
Kelemahan ini tentunya tidak saja disebabkan oleh keterbatasan
penguasaan teknik-teknik penerjemahan, tetapi juga oleh keterbatasan
penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, dalam hal ini bahasa
Indonesia.
Bila kita mempertanyakan sebabnya, jawaban yang paling mudah
tersedia barangkali adalah fakta bahwa (1) kita belum memiliki
lembaga khusus pendidikan penerjemahan. Matakuliah menerjemahkan
memang diberikan di perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa
asing, namun matakuliah itu sendiri justru diberikan oleh dosen yang
tidak berlatarbelakangkan pendidikan menerjemahkan. Bobot SKS-nya
juga rata-rata kurang dari mencukupi. (2) Kita memang sulit menguasai
bahasa asing sebaik penutur asli menguasainya; ini terutama disebab
kan oleh terbatasnya pemaparan kita terhadap bahasa sasaran dan
terhadap konteks budaya masyarakat bahasa yang mengitari pemakaian
bahasa tersebut. Dan (3) praktek pengajaran bahasa Indonesia selama
ini cenderung mengabaikan aspek sosiolinguistis, yang sebenarnya
tidak kalah pentingnya dengan aspek-aspek lain. Mungkin para praktisi
pendidikan bahasa Indonesia sendiri sudah take for granted potensi
masyarakat kita sebagai wahana yang cukup efektif bagi pengasahan
sensitifitas sosiolinguistis siswa.
Berkaitan dengan aspek tersebut pengalaman memang sering
menun-jukkan bahwa mahasiswa masih banyak membuat kesalahan-kesalahan yang
berkait dengan aspek itu. Padahal jika kita ingat, pembelajaran
merentang tidak kurang dari 12 tahun, dan pemaparan yang lebih lama
lagi terhadap bahasa tersebut di masyarakat. Jika kita melihat
rea-litas ini sejumlah pertanyaan muncul, seperti sudah baikkah
penyusu-nan kurikulum bahasa Indonesia yang ada selama ini? Bagaimanakah
bahasa Indonesia diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan kita?
Seberapa besar porsi yang dialokasikan bagi pengajaran aspek sosio
linguistis dalam kerangka pengajaran bahasa Indonesia secara
keselu-ruhan?
Pertanyaan semacam itu penting diperhatikan bila kita
menghen-daki mahasiswa mampu melakukan penerjemahan secara optimal, terutama
dalam hal kewajarannya. Apa yang disebut dengan kewajaran di sini
merujuk kepada kualitas terjemahan yang ditulis dengan bahasa yang
wajar, dengan tata-bahasa, idiom, dan kata-kata yang sesuai dengan
situasi wacana.
Permasalahan semacam ini tentu perlu dikaji secara serius bila
kita menghendaki situasi yang lebih baik. Situasi di mana
kesulitan-kesulitan mahasiswa dalam menerjemahkan, khususnya dalam hal kewaja
ran, teridentifikasi, sehingga pencarian pemecahan masalah baginya
menjadi lebih mudah. Pertimbangan-pertimbangan semacam inilah yang
mendorong penulis melakukan penelitian ini.
1.1.2. Masalah
Bila kita mendengar kata penerjemahan, maka gagasan yang segera
muncul di benak kita adalah suatu proses rumit mengganti pesan atau
yang sama dalam bahasa lain. Dikatakan rumit karena ia tidak saja
melibatkan kemampuan berdwibahasa penerjemah, tetapi juga melibatkan
unsur-unsur lain seperti keakraban penerjemah dengan kultur masyara
kat bahasa sumber, pengetahuan penerjemah tentang bidang yang tengah
ia terjemahkan, dan penguasaan konvensi-konvensi bahasa tulis
penerjemah.
Pada aspek kemampuan berdwibahasa penerjemah pengetahuan tentang
bahasa saja tidaklah cukup. Ia sudah merentang jauh sampai, sebagai
contoh, pada kesesuaian butir-butir bahasa dengan situasi percakapan
atau tuturan. Ini dimungkinkan bila pada diri penerjemah sudah
terbangun kepekaan terhadap apa saja yang ada dan berlangsung selama
percakapan atau tuturan terjadi.
Hal-hal seperti itulah yang membentuk apa yang disebut dengan
kewajaran (naturalness) berbahasa. Dengan demikian, seorang penerje mah dituntut untuk dapat menghasilkan terjemahan yang tidak saja (1)
bisa dipahami, tetapi juga (2) wajar, ditulis dengan bahasa yang
wajar, dengan tata-bahasa, idiom, dan kata-kata yang wajar, yang
sesuai dengan situasi wacana (Newmark, 1988).
Dalam banyak kasus, terutama berdasarkan pengamatan penulis
selama mengajar matakuliah menerjemahkan, mahasiswa masih menemui
kesulitan dalam aspek ini. Mereka cenderung menerjemahkan dengan
mengesampingkan faktor-faktor di luar materi teks. Mereka seakan
menerjemahkan untuk diri mereka sendiri, tanpa ada terbersit
pemiki-ran tentang khalayak sasapemiki-ran seperti apakah yang dikehendaki penulis
tulisannya, yang pada gilirannya akan menentukan bahasa seperti
apakah yang akan ia gunakan di dalam terjemahannya.
Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan bagian dari kultur, atau
kultur itu sendiri. Ia merupakan mahluk yang unik, yang memiliki
ciri-ciri pemerlain yang berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang
lain, bahkan dari kelompok penutur yang satu ke kelompok penutur
yang lain pada bahasa yang sama, atau bahkan dari satu orang ke
orang yang lain pada bahasa yang sama. Ini tentu tidak bisa
dilepas-kan dari faktor kultur penutur yang memakai bahasa itu. Pengabaian
terhadap faktor ini sama saja dengan pengabaian keberadaan bahasa itu
sendiri. Pesan dengan segala nuansanya, dengan demikian, akan
teringkari.
Tentu kita bisa berargumen bahwa urusan penerjemah adalah materi
teks itu sendiri. Apa yang ada di luar teks adalah di luar kewenangan
penerjemah. Akan tetapi kita tidak bisa mengelak bahwa apa yang ada
di dalam teks sering menuntut kita merambah apa yang ada di luar
teks. Sebagai contoh, bila kita menerjemahkan kalimat She is as
beautiful as moon ke dalam bahasa Irian Jaya, haruslah dengan Dia
secantik matahari, bukan Dia secantik rembulan. Karena kata rembulan
dalam bahasa Irian Jaya berkonotasi dan digunakan bila berhubungan
dengan lelaki, sedangkan kata matahari sebaliknya. Bila kita
memaksa-kan penggunaan rembulan pada kalimat terjemahan tersebut, maka kata
dia akan merujuk kepada subjek laki-laki, sedangkan yang dikehendaki
akan menimbulkan pengingkaran pesan (Muhammad, 1985).
Kasus lain dengan derajat nuansa yang lebih halus adalah peng
gunaan kata ganti orang (pronomina). Di dalam bahasa Indonesia
dikenal beberapa bentuk pronomina untuk tiap kategori. Penggunaan
masing-masing bentuk ditentukan oleh situasi tuturan. Artinya,
perubahan situasi tuturan akan mengubah pula pilihan pronomina kita
untuk kategori yang sama. Yang membuat hal ini menjadi pelik adalah
kenyataan bahwa perubahan situasi itu tidak berlangsung secara
drastis, tidak terputus-putus dari satu sekat ke sekat yang lain.
Alih-alih, ia terjadi dengan gradasi nuansa yang halus, sehingga
memerlukan kepekaan yang baik untuk dapat memilih pronomina yang
tepat sesuai dengan situasi yang ada. Penggunaan pronomina kamu, kau,
engkau, dikau, situ, anda.. saudara , sebagai contoh, tidak bisa
dipertukarkan begitu saja tanpa memperhatikan situasi tuturan yang
ada. Pada sebagian bahasa lain, seperti bahasa Inggris, kasus semacam
ini tidak dijumpai. Di dalam bahasa Inggris, untuk merujuk kepada
tujuh pronomina bahasa Indonesia di atas cukup digunakan satu kata,
yaitu you, untuk semua situasi.
Inilah salah satu aspek yang mempengaruhi kewajaran terjemahan
dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Ia sekaligus merupakan
aspek yang rawan kekeliruan, karena menuntut kepekaan dan kemampuan
mengekspresikan kepakaan tersebut dalam terjemahannya.
1.2. Signifikansi Penelitian
proses menerjemahkan sangat beragam. Kekeliruan dalam hal kewajaran
merupakan salah satu kekeliruan yang cukup mengganggu. Kekeliruan
semacam itu tentu akan terus mereka bawa dalam kehidupan pasca
pendidikan formal mereka di universitas, seperti yang sering kita
saksikan dalam penerjemahan karya-karya asing di layar kaca. Kita
belum mengetahui secara pasti penyebab utama munculnya situasi
semacam ini. Karena itu, langkah-langkah apa yang yang mesti kita
ambil dalam mengatasinya pun belum kita ketahui dengan pasti.
Berangkat dari realitas seperti itu penting bagi kita untuk melakukan
[image:15.595.73.507.86.559.2]penelitian guna memperoleh masukan yang dibutuhkan agar diperoleh
gambaran yang jelas ihwal langkah apa saja yang perlu diambil untuk
mengatasi masalah yang ada.
1.3. Perumusan dan Penbatasan Masalah
1.3.1. Perunisan Masalah
Masalah yang ada dalam penelitian ini berkisar pada masalah
kemampuan menerjemahkan mahasiswa dan masalah non-menerjemahkan.
Masalah menerjemahkan, yang merupakan masalah pokok dalam penelitian
ini dibatasi pada masalah kewajaran terjemahan mahasiswa, khususnya
dalam pemakaian pronomina bahasa Indonesia. Masalah non-menerjemahkan
dikaji karena ia diduga memiliki kaitan dengan masalah menerjemahkan.
Masalah-masalah kewajaran terjemahan tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Pada penerjemahan teks formal, kekeliruan pada pronomina manakah
2. Pada penerjemahan teks netral, kekeliruan pada pronomina manakah
yang banyak dilakukan dan bagaimana bentuk-bentuknya?
3. Pada penerjemahan teks informal, kekeliruan pada pronomina manakah
yang banyak dilakukan dan bagaimana bentuk bentuknya?
4. Pada penerjemahan teks literer, kekeliruan pada pronomina manakah
yang banyak dilakukan dan bagaimana bentuk bentuknya?
sedangkan masalah non-menerjemahkan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah di dalam pengajaran bahasa Indonesia guru membahas pronomi
na dalam kaitannya dengan butir-butir sosiolinguistik?
2. Bahasa apakah yang digunakan responden di lingkungan keluarga; dan
di lingkungan kampus dengan teman, dengan pejabat universitas,
dengan pegawai, dengan dosen jurusan, serta dengan dosen jurusan
lain?
6. Bahasa apakah yang digunakan responden bila berkirim surat untuk
orang-tua dan untuk teman?
7. Bagaimanakah
tanggapan
atau sikap responden
terhadap
pelajaran
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di SLTA dulu?
1.3.2. Penbatasan Masalah
Masalah penerjemahan dalam penelitian ini menyangkut kewajaran
terjemahan
mahasiswa. Sebagaimana diketahui,
kewajaran
dicerminkan
oleh beberapa karakteristik, seperti susunan kata, struktur
kalimat,
idiom,
dan
pemilihan
kata. Dari
beberapa
karakteristik
tersebut
penelitian ini dibatasi pada kemampuan mahasiswa dalam hal
pemilihan
kata, yang dalam penelitian ini dibatasi pada:
1. pemilihan pronomina pada penerjemahan teks formal,
2. pemilihan pronomina pada penerjemahan teks netral,
3. pemilihan pronomina pada penerjemahan teks informal,
4. pemilihan pronomina pada penerjemahan teks literer.
Sedangkan masalah non-penerjemahan dibatasi pada:
1. kepedulian guru bahasa Indonesia terhadap aspek sosiolinguistis
dalam berbahasa,
2. kebiasaan berbahasa responden di lingkungan keluarga; di lingku
ngan kampus dengan teman, dengan pejabat universitas, dengan pega
wai, dengan dosen jurusan, dengan dosen jurusan lain?
3. bahasa apakah yang digunakan responden bila menulis surat untuk
orang tua dan untuk teman?
4. tanggapan mereka terhadap pelajaran bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia pada waktu di SLTA dulu?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjaring informasi tentang:
1. penguasaan responden terhadap pronomina bahasa Indonesia pada
penerjemahan wacana formal,
2. penguasaan responden terhadap pronomina bahasa Indonesia pada
3. penguasaan responden terhadap pronomina bahasa Indonesia pada
penerjemahan wacana informal,
4. penguasaan responden terhadap pronomina bahasa Indonesia pada
penerjemahan wacana literer,
5. kepedulian guru bahasa Indonesia yang bersangkutan di SLTA dulu
terhadap aspek sosiolinguistis dalam pengajaran mereka,
6. kebiasaan berbahasa responden dengan dosen,
7. kebiasaan berbahasa responden dengan pegawai universitas,
8. kebiasaan berbahasa responden dengan teman di kampus,
9. kebiasaan berbahasa responden dalam berkorespondensi dengan
orang-tua dan dengan teman.
10. tanggapan mereka terhadap pelajaran bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia di tingkat SLTA dulu.
12. Selain butir yang telah disebut di atas, penelitian ini juga
diarahkan untuk mengupayakan penyusunan tabel-tabel perbandingan
pronomina bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dan skala formalitas
pronomina bahasa Indonesia.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Temuan-temuan yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai:
1. bahan
masukan
bagi para perumus kurikulum bahasa
Indonesia
dan
bahasa
Inggris, khususnya yang berkenaan dengan
aspek
sosiolin
guistis kata ganti orang.
2. bahan
masukan
bagi para pengajar penerjemahan, yaitu
dalam
hal
kelemahan-kelemahan mana saja yang masih sering dilakukan peserta
didik, dan dengan demikian perlu memperoleh perhatian khusus.
3. bahan masukan bagi lembaga-lembaga yang berkepentingan dengan pe
nerjemahan, sehingga upaya perbaikan mutu terjemahan dapat lebih
terbantu.
4. (khusus kaitannya dengan perbandingan dan skala formalitas kata
ganti orang) sebagai bahan ajar bagi para pengajar^bahasa Indone
sia dan penerjemahan.
5. bahan masukan bagi pengajar bahasa Indonesia bagi
perbaikan-perbaikan metodologis, sehingga matapelajaran bahasa Indonesia
lebih disukai para peserta didik.
6. bahan perbandingan dan dorongan bagi penelitian lain dalam wilayah
penerjemahan.
1.5. Anggapan Dasar
Penelitian ini dibangun di atas aggapan dasar berikut
1. Setiap
mahasiswa yang mengikuti perkuliahan
menerjemahkan
sudah
memperoleh pengajaran bahasa Indonesia setidaknya selama 12 tahun.
Ini berarti mereka semestinya telah menguasai hampir seluruh
kaidah dan konvensi yang hidup di dalam pemakaian bahasa tersebut.
2. Proses menerjemahkan yang melibatkan penggunaan bahasa
Indonesia,
dengan demikian, tidak lagi memunculkan kesulitan.
3. Salah
satu
kualitas
terjemahan
yang
bisa diamati
dari
segi
kebahasaannya adalah kewajaran (naturalness) bahasanya.
4. Fakta, bagaimanapun, menunjukkan bahwa kewajaran bahasa terjemahan
bukan merupakan sesuatu yang mudah dicapai. Artinya, terjemahan
mahasiswa masih menunjukkan kelemahan-kelemahan di sisi ini.
5. Bukti-bukti pendukung mengindikasikan adanya faktor-faktor yang
diduga kuat merupakan penyebabnya.
CD
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode dan Langkah-langkah Penelitian
3.1.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah apa yang
disebut dengan metode deskriptif. Metode ini digunakan untuk
mendeskripsikan terjemahan mahasiswa dari teks berbahasa Inggris ke
dalam teks berbahasa Indonesia dalam hal kewajarannya. Metode ini
sesuai dengan bentuk data yang akan dikaji, yaitu data aktual yang
diambil dari pekerjaan responden, yang disusun, dianalisis, dan
kemudian ditafsirkan.
Pekerjaan terjemahan mahasiswa yang diperoleh, dipilah-pilah
berdasarkan kategori wacananya, yang dimulai dari wacana literer
sampai kepada wacana informal. Pada masing-masing wacana dibuat lagi
kategorisasi, yaitu dari pronomina pertama tunggal sampai kepada
pronomina ketiga jamak. Pada masing-masing kasus, kalimat atau
bagian kalimat bahasa Inggrisnya disertakan agar diperoleh gamba-ran
situasi padanannya.
Data terjemahan yang dijadikan objek kajian, sebagaimana
di-ketahui, diperoleh dari pekerjaan mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Jawa
3.1.2. Langkah-langkah Penelitian
Peneliti mengambil langkah-langkah berikut dalam melakukan
penelitiannya:
1. melakukan kajian kepustakaan guna memperoleh gagasan-gagasan yang
diperlukan, terutama dari penelitian sebelumnya pada bidang yang
re levari.
2. menjaring terjemahan mahasiswa dengan meminta mereka menerjemah
kan empat jenis wacana, satu per satu selama empat hari
bertu-rut-turut.
3. menganalisis terjemahan mahasiswa.
4. menyebarkan angket kepada mahasiswa.
5. melakukan wawancara informal dengan mahasiswa responden.
6. melakukan wawancara informal dengan dosen Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah terjemahan yang dihasilkan oleh
mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang pada saat
diadakan-nya penelitian ini ada pada semester V. Jumlah mahasiswa yang ada
pada semester V pada saat diadakannya penelitian ini adalah 57
orang. Populasi ini diambil dengan pertimbangan bahwa mereka pada
saat penelitian telah memperoleh matakuliah Translation, walaupun
baru matakuliah Translation I. Untuk mahasiswa yang telah menempuh
matakuliah Translation II, yaitu mahasiswa yang ada pada semester
VII, saat ini mereka tengah mengikuti program praktek lapangan (PPL)
di sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh karesidenan Banyumas.
Menjaring data dari para mahasiswa tersebut tentu saja sangat sulit,
mengingat waktu yang dimiliki peneliti sangat terbatas.
3.2.2. Sanpel
Purposive sampling merupakan cara menentukan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini. Langkah pertama adalah menentukan
lembaga pendidikan mana yang akan dijadikan sampel. Penentuan ini
didasarkan kepada pertimbangan apakah lembaga pendidikan tersebut
(1) memiliki jurusan bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, dan
(2) apakah di dalam kurikulumnya ditawarkan matakulian menerjemah
kan. Pertimbangan yang lain tidak berkait dengan substansi peneli
tian, alih-alih lebih berkait dengan kemudahan pelaksanaan peneli
tian, seperti jarak lokasi penelitian dengan tempat tinggal peneli
ti, keakraban responden dengan peneliti, dan pada gilirannya alokasi
biaya penelitian.
Dari jumlah mahasiswa sebanyak 59 orang, peneliti berhasil
mengumpulkan 45 hasil terjemahan. Dari 45 hasil terjemahan tersebut
peneliti mengambil 20 terjemahan sebagai sampel. Pengambilan sampel
tersebut didasarkan kepada kelengkapan terjemahan yang mereka
lakukan. Artinya, dari jumlah 45 hasil terjemahan ada sebagian yang
mahasiswa yang tidak menerjemahkan bagian wacana tertentu, sebagian
lagi tidak menerjemahkan kalimat tertentu, sebagian tidak menerje
mahkan frasa tertentu, dan sebagian lagi ada yang tidak menerjemah
kan kata tertentu. Padahal, bagian, kalimat, frasa, dan kata yang
tidak diterjemahkan tersebut merupakan data linguistis yang sangat
penting dalam penelitian ini. Ke 20 terjemahan tersebut kemudian
dianalisis untuk ditafsirkan ihwal penggunaan pronomina mereka dalam
kaitannya dengari situasi wacana bahasa. sumber dan situasi padanannya
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Simpulan
Sebagai upaya untuk memindahkan makria suatu wacana dari satu
bahasa ke dalam bahasa lain, keberhasilan penerjemahan ditentukan
oleh berbagai variabel, seperti kemampuan mengidentifikasi situasi
atau gaya wacana dan mengejawantahkan gaya tersebut dalam
terjema-hannya. Identifikasi situasi wacana ini menjadi penting bila kita
tengah menerjemahkan wacana berbahasa barat ke dalam bahasa-bahasa
Asia, seperti bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan tiada lain karena
kultur masyarakat pengguna kedua bahasa tersebut banyak menunjukan
perbedaan, terutama perbedaan dalam hal hubungan antar pribadi
anggota masyarakat, yang secara nyata dicerminkan dalam
bentuk-bentuk bahasanya. Masyarakat Asia, sebagai contoh, sangat menaruh
perhatian terhadap pola-pola hubungan di antara anggota
masyarakat-nya, sehingga tiap individu begitu jelas kedudukannya di dalam suatu
situasi. Kedudukan ini kemudian mengatur bentuk bahasa yang harus
digunakannya, baik yang merujuk kepada dirinya sendiri, kepada mitra
tutur, maupun kepada pihak lain yang tengah dibicarakan.
Pemadanan situasi atau gaya wacaria bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran dalam penerjemahan memiliki andil besar bagi terciptanya apa
yang disebut sebagai kewajaran bahasa terjemahan.
Pemadanan gaya wacana ini dilakukan melalui pemilihan kata dan
tata-bahasa yang tidak menyimpang dalam bahasa sasaran. Karena itu,
pemahaman terhadap wacana sumber saja tidaklah cukup. Ia menuntut
pula sensitivitas gaya dan pengejawantahan sensivitas tersebut dalam
terjemahan; Sekalipun diyakini banyak pihak bahwa setiap anggota
masyarakat akan menguasai beberapa gaya sekaligus saat ia mencapai
usia tertentu, pengalaman bagaimanapun menunjukkan sesuatu yang
berbeda. Ini ditunjukkan dengan hasil terjemahan mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Muhammadiyah
Purwoker-to, yang kemudian dijadikan responden dalam penelitian ini.
Seperti disebutkan di atas, terjemahan mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris masih menunjukkan kelemahan-kelemahan
dalam hal kewajaran yang berhubungan dengan gaya ini. Kelemahan
tersebut merentang dari pemilihan kata sampai struktumya. Kaitannya
dengan pemilihan kata, dalam hal ini kata ganti orang, yang merupa
kan fokus penelitian ini, terungkap hal-hal sebagai berikut. Setelah
itu dibahas pula hasil angket tentang hal-ihwal yang berkaitan
dengannya.
1. Wacana formal. Wacana jenis ini ditandai dengan pemakaian
struktur kalimat pasif atau dengan kata ganti bentuk formal,
seperti
saya, kami, Anda, beliau.
Kelemahan masih
ditunjukkan
responden di hampir seluruh kategori persona. Pada persona
pertama tunggal, sekalipun mayoritas responden sudah
menunjukkan
upaya
pemadanan
yang
baik,
tercatat
tujuh
kali
kekeliruan
dilakukan, yaitu dipakainya bentuk aAu dan -Au alih-alih saya
atau Aami. Untuk persona jamak, situasinya lebih buruk. Lebih
dari separuh jumlah responden (68%) masih mengacaukari bentuk
Aami dan Aita. Mereka menggunakan bentuk Aami saat wacana
menghendaki Aita, dan sebaliknya. Dalam hal ini, tidak saja
kewajaran yang terganggu, tetapi juga inti pesannya. Kelemahan
pemadanan situasi juga terjadi pada persona kedua tunggal, yang
merupakan persona paling sensitif situasi. Dikatakan demikian
karena acuannya adalah mitra tutur yang tengah diajak berbicara.
Pada wacana formal ini, alih-alih bentuk Anda (hanya 9 kali),
responden sebagian besar menggunakan bentuk A'amu (21 kali) dan
-mu (6 kali). Untuk bentuk jamaknya, dari dua kali upaya
pemadanan, seluruhnya memakai bentuk kalian, alih-alih Anda
sekalian atau saudara sekalian. Sementara pada persona ketiga
tunggal, tidak dijumpai kekeliruan pemadanan, karena
bentuk-bentuk pada kategori ini memang relatif fleksibel untuk hampir
semua situasi. Hal serupa juga terjadi pada bentuk jamaknya.
Bentuk mereka adalah bentuk yang labih lentur dibanding bentuk
honorifik beliau-beliau. Dengan demikian, adalah merupakan hal
yang sangat wajar jika semua pemadanan pada kategori ini (50
kali) berbentuk mereka.
2. Wacana netral. Gaya konsultatif, atau dalam penelitian ini dise
but gayal netral, biasanya digunakan pada situasi yang mendekati
resmi, seperti saat berbicara dengan orang yang baru pertama
kali kita jumpai atau saat atasan berbicara dengan stafnya.
Hasil penelitian menunjukkan, dari 40 kali upaya pemadanan, 13
kali di antaranya menggunakan bentuk-bentuk aAu, -Au, dan Au-.
Ini tentu saja menghasilkan terjemahan yang tidak wajar.
Bentuk jamak dari kategori ini juga demikian. Responden masih
melakukan kekeliruan. Mereka menyalahpadankan we dengan Aami
dan/atau Aita secara manasuka. Dalam hal ini akibat yang timbul
bukan saja ketidakwajaran terjemahan, tetapi juga penyimpangan
pesan. Kekurang-mairipuan memadankan situasi juga ditemui pada
kategori persona kedua. Dari 76 kali pemadanan, bentuk yang
tepat situasi, yaitu Anda, hanya dipakai 20 kali. Ini jauh lebih
sedi-kit dibandingkan dengan bentuk yang tidak serasi dengan
situasi, yaitu A'amu. Bentuk klitika -mu, yang juga tidak serasi
situasi, juga banyak dipakai (18 kali). Dan bentuk Aau dipakai 2
kali. Sekalipun bentuk dikau tidak muncul dalam terjemahan
mereka, penyalahpadanan bentuk kata ganti lain ini sudah cukup
untuk membuat terjemahan mereka tidak wajar. Yang muncul kemu
dian adalah apa yang disebut dengan under-translation. Sedangkan
untuk bentuk ketiga baik tunggal maupun jamak, kekeliruan tidak
dilakukan responden sama sekali. Tercatat, dari 385 kali pemada
nan hanya 17 kali bentuk ia dipakai, dibanding 140 kali bentuk
-nya dan 228 kali bentuk dia. Secara keselumhan, kategori
netral yang dikehendaki penulis wacana sumber diubah ke arah
kategori informal.
3. Wacana informal. Kekeliruan pemadanan situasi pada wacana jenis
ini tidak banyak dilakukan responden. Dari 168 frekuensi
pemun-culan persona pertama tunggal, kekeliruan yang ada hanya ber
bentuk ketidak-paralelan bentuk. Artinya, dalam satu kalimat
atau paragraf, responden menggunakan dua atau lebih bentuk yang
berbeda untuk kategori yang sama. Sebagai contoh, responden
menggunakan bentuk saya dan aAu dalam satu kalimat yang sama.
Sekalipun kesalahannya tidak sampai merusak pesan, namun karena
frekuensinya cukup tinggi (lebih dari sepamh/60% upaya), kewa
jaran terjemahannya pun terganggu. Untuk bentuk jamaknya, Aami
dan A'ita, kasus kekeliruannya sama dengan pada wacana sebelum
nya. Mereka memperlakukan bentuk tersebut seperti bisa
disaling-pertukarkan secara manasuka. Berbeda kasusnya dengan persona
pertama, pada persona kedua, baik yang tunggal maupun jamak, ti
dak dijumpai kekeliruan pemadanan. Di sini tercatat bahwa
responden lebih menyukai bentuk Aamu (27 kali) daripada bentuk
Aau (5 kali), pemakaian persona ketiga juga menunjukkan hal
serupa. Responden bahkan tidak melakukan kekeliruan. Lebih dari
itu, responden mampu melakukan transposisi sebagai upaya
menga-tasi kesenjangan padanan, yaitu saat mereka menerjemahkan bentuk
she dan he yang muncul secara bersama-sama dalam satu kalimat.
4. Wacana literer. Yang menjadi persoalan pokok saat menerjemahkan
karya sastra adalah (1) bila penekanannya tidak hanya pada
bentuk, tetapi juga pada isi pesan; dan (2) bila ada kesenjangan
budaya antara pembaca wacana BS dan BT. Merujuk pada kendala
pertama penerjemahan wacana literer, sebagian besar responden
sebenarnya sudah cukup akrab dengan konvensi literer Indonesia.
Setidaknya, pada kurikulum sekolah menengah ada dicantumkan
genre puisi. Selain itu, syair-syair lagu yang banyak berbedar
juga sebagian besar masih memegang konvensi tersebut. Akan
tetapi, apabila kita melihat terjemahan mereka kesan yang
ditimbulkan adalah bahwa mereka tidak mengenal betul konvensi
tersebut, setidaknya pada tataran kata ganti orang. Pada. kata
ganti orang pertama tunggal, bentuk yang khas literer daku tidak
dipakai sama sekali, sedangkan bentuk aAu dan klitikanya -Au
semuanya dipakai 467 kali. Walaupun lebih kecil jika dibanding
kan dengan jumlah keseluruhan ketiga bentuk tersebut, bentuk
tidak khas literer saya yang mencapai 152 kali frekuensinya
tergolong tinggi, dan sangat berpengaruh bagi kewajaran bahasa
terjemahan. Kekeliruan lain pada kategori ini adalah pada bentuk
jamaknya, kekeliruan yang juga terjadi pada wacana jenis lain,
yaitu kemanasukaan pemakaian bentuk Aami dan Aita sebagai
padanan we atau us. Pengabaian konvensi literer juga terjadi
pada kategori kedua tunggal. Bentuk khas sastra dikau tidak
muncul sama sekali. Bentuk kau hanya 22 kali, bentuk -mu 152
kali, dan bentuk engkau 12 kali. Dan bentuk-bentuk yang tidak
khas sastra Anda dan A'amu banyak pula dipakai, dengan
masing-masing muncul sebanyak 9 kali dan 86 kali. Jumlah ini sudah
barang tentu cukup untuk menciptakan ketidakwajaran bahasa
terjemahan. Terakhir, pada kategori ketiga, baik tunggal
maupun
jamak, tidak dijumpai penyalahpadanan. Bentuk honorifik dan
tidak khas literer beliau tidak dipakai sama sekali. Sementara
yang
lain,
yang
memang lebih
fleksibel
dibandingkan
dengan
bentuk-bentuk lain, dipakai semua. Klitika -nya memiliki fre kuensi tertinggi dengan 171 kali, disusul bentuk dia sebanyak 100 kali, sedangkan ia hanya 6 kali. Bentuk jamak mereka menjadi satu-satunya pilihan padanan bagi they, sedangkan bentuk
honorifik beliau-beliau tidak dipakai. Ini berarti sudah selaras
dengan konvensi literer Indonesia. Secara singkat dapat
disim-pulkan bahwa performansi responden pada wacana literer ini masih
jauh dari memadai. Terjemahan mereka masih terkesan tidak wajar
jika dikaitkan dengan upaya pemadanan kata ganti orang. Bagaima
napun, dua hal yang menggembirakan adalah (1) kemampuan mereka
melakukan transposisi yang inovatif saat mereka menghadapi
kesenjangan padanan dalam bahasa target; dan (2) pada kategori
ketiga, baik tunggal maupun jamak, responden tidak melakukan
penyalahpadanan berarti. Ini terutama didukung oleh fakta bahwa
kategori tersebut memang relatif lebih fleksibel terhadap
berbagai situasi dibanding kategori lain, dan untuk bentuk
jamaknya, mereka merupakan alternatif termudah dan tidak
memiliki keterbatasan situasi wacana.
5. Hasil angket menunjukkan bahwa 80% responden menggunakan bahasa
Jawa
bila
berbicara
di lingkungan
keluarga.
20%
selebihnya
menggunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia. Di lingkungan kampus saat berbicara dengan teman, 15%
responden menggunakan bahasa Jawa, 25% menggunakan bahasa
Indonesia, dan yang terbanyak, 60%, menggunakan bahasa
campuran
antara bahasa Jawa. dan bahasa Indonesia. Bila berbicara dengan
para pejabat universitas, 85% dari mereka menggunakan bahasa
Indonesia dan hanya 15% yang menggunakan bahasa campuran bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia. Yang cukup menarik adalah saat
responden berbicara dengan dosen jurusan mereka. 45% responden
menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan 55% sisanya menggunakan
bahasa Inggris diselingi bahasa Indonesia. Dengan dosen dari
jurusan lain, 95% responden menggunakan bahasa Indonesia; 5%
yang lain menggunakan bahasa Jawa. Pada saat menulis surat untuk
teman, 55% responden menggunakan bahasa Indonesia dan 45%
lainnya menggunakan bahasa Inggris dan/atau bahasa Indonesia.
Ini berbeda dengan pada saat mereka menulis surat untuk
orang-tua, di mana 55% responden menggunakan bahasa Jawa, 30% menggu
nakan bahasa Indonesia, dan 15% menggunakan bahasa campuran
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Sehubungan dengan sikap
responden terhadap matapelajaran bahasa Inggris pada waktu
mereka duduk di bangku sekolah lanjutan, 55% di antara mereka
mengatakan senang, 35% menyatakan biasa-biasa saja, dan hanya
10% menyatakan bosan atau kurang menyukai pelajaran tersebut.
Untuk
pelajaran
bahasa
Indonesia, hanya
20%
responden
yang
menyatakan
senang, 70% menyatakan biasa-biasa saja,
dan
hanya
10% yang menyatakan bosan. Ihwal kelompok pertanyaan terakhir
dalam angket mengenai pernah tidaknya. responden diberi penjela
san tentang kata ganti orang 65% responden menyatakan pernah,
25%
menyatakan tidak pernah, dan 10% menyatakan
pernah
tetapi
penjelasannya tidak rinci dan tidak jelas. Kemudian mengenai
pernah
tidaknya responden diberi penjelasan tentang kata
ganti
orang dalam hal formalitasnya, 75% responden menyatakan pernah,
20% menyatakan tidak pernah, dan hanya 5% yang menyatakan pernah
tetapi tidak rinci. Melihat kurikulum sekolah lanjutan dan hasil
angket tentang pemah tidaknya mereka diberi penjelasan mengenai
kata ganti dengan seluk beluknya sampai kepada skala
formali-tasnya, nampaknya ada yang tidak selaras dengan apa yang
ditemukan dalam penelitian ini.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengungkapkan
kembali makna setepat mungkin dengan tetap memperhatikan situasi
wacana, yang tercermin dari pemilihan katanya secara tapat, belum
dimiliki secara baik oleh responden. Ini terbukti dari empat jenis
wacana yang mereka terjemahkan semuanya mengandung penyalahpadanan
situasi, yang dengan demikian menyalahi kewajaran. Ini terutama
nampak pada wacana formal dan literer. Sementara pada wacana
informal upaya pemadanan situasi relatif berhasil. Bahkan, responden
kesenjangan
padanan yang melibatkan gender. Selain
penyalahpadanan
situasi
satu
per satu butir linguistis, responden
juga
melakukan
penyimpangan kewajaran berbahasa dengan menggunakan dua bentuk
kata
ganti
yang
berbeda
pada kategori yang sama
dalam
satu
kalimat.
Kelemahan lain yang menonjol adalah pelintasan acuan persona pertama
jamak secara manasuka.
Untuk
mengetahui sebab-sebab kelemahan yang
ditemukan
dalam
penelitian
ini
diperlukan penelitian lebih lanjut.
Selain
karena
mereka
menyangkut
variabel
yang banyak
dan
mmit,
angket
yang
melangkapi
penelitian
ini juga menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
responden
sudah
menerima penjelasan ihwal pronomina dari
guru
di
bangku SLTA dulu. Hanya sedikit saja porsi responden yang menyatakan
belum menerima atau telah menerima tetapi tidak secara rinci. Faktor
yang berpeluang menjadi penyebab adalah kebiasaan berbahasa mereka.
Tercatat,
walaupun bahasa Indonesia memiliki
frekuensi
penggunaan
yang cukup tinggi pada situasi formal, bahasa Jawa mendominasi
tuturan keseharian mereka.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan
temuan penelitian ini serta praktik-praktik
yang
dilakukan di lapangan, peneliti ingin merekomendasikan beberapa
hal
sebagai berikut:
1. Mengingat kelemahan-kelemahan yang ditunjukkan mahasiswa dalam
melakukan
pemadanan
situasi
dan
unsur-unsur
yang
membentuk
situasi
tersebut,
pengenalan dan pengajaran
yang
berhubungan
dengan
jenis-jenis
wacana perlu memperoleh tempat
yang
lebih
banyak
dalam kurikulum bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris
di
sekolah-sekolah
menengah
dan
perguman
tinggi.
Semua
ini
diarahkan
diantaranya agar peserta didik mengetahui dan
menya
dari
jenis wacana apa yang tengah mereka hadapi, sehingga
pada
gilirannya
pada saat mereka melakukan reproduksi
dalam
proses
menerjemahkan mereka tetap memperhatikan situasi wacana.
Kesadaran
akan
gaya wacana, yang
terungkap
dalam
penggunaan
bentuk-bentuk bahasa yang sesuai dan berterima untuk wacana yang
dimaksud,
akan
mengarah
kepada
hasil
padanan
yang
wajar.
Penyajian
beragam
jenis wacana tersebut
dapat
diintegrasikan
dalam
pengajaran
beberapa
keterampilan
berbahasa,
seperti
membaca, menyimak, dan menulis.
2. Pengajaran
menulis
di sekolah-sekolah
lanjutan
dan
perguman
tinggi,
baik
pada
jurusan
bahasa
Indonseia
maupun
bahasa
Inggris,
perlu menitikberatkan kemampuan
menghasilkan
tulisan
dengan beragam gaya atau situasi. Pemerolehan kemampuan
seperti
ini
bisa
dimulai
dengan penguasaan
butir-butir
bahasa
yang
membangun masing-masing gaya, seperti pemilihan kata,
struktur,
idiom,
atau
bentuk-bentuk
tertentu.
Khusus
untuk
pronomina
persona, selain pengembangan kemampuan membedakan rujukan dan
penguasaan skala formalitas, pengajaran juga perlu menakankan
pemahaman
akan situasi wacana yang biasanya
ditempati
masing pronomina.
3. Pengajaran
Translation selama. ini cenderung mengabaikan pembaha
san
bahasa
sasaran, dalam hal ini bahasa
Indonesia,
terutama
butir-butir
bahasa yang sering menjadi
sumber
ketidakwajaran.
Situasi
seperti
ini hendaknya
segera
dihindarkan.
Penyajian
teori
penerjemahan, pembahasan wacana sumber dari segi
bahasa
nya,
serta
pembekalan pengetahuan yang
berkaitan
dengan
isi
wacana, seyogianya dibarengi dengan pembahasan butir-butir
bahasa
sasaran
yang mungkin timbul. Dalam
kaitan
ini
kajian
komparatif
terhadap
kedua bahasa sangat disarankan.
Apa
yang
dilakukan penulis terhadap pronomina bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris pada bagian awal tesis ini merupakan salah satu
contoh.
Dengan
melibatkan mahasiswa dalam kajian komparatif seperti
itu
secara terus menerus diharapkan kemawasan mereka akan
perbedaan-perbedaan yang ada di antara kedua bahasa tersebut akan tumbuh
secara berlahan.
4. Bahan ajar
Translation yang selama ini sering mengandalkan
buku-buku yang sebenarnya dirancang bagi pengajaran
membaca, seperti
Developing
Skills
karangan
L.G.
Alexander,
perlu
dikurangi
kuantitasnya. Sebaliknya, bahan ajar dari sumber-sumber otentik
yang bervariasi, seperti dari jurnal, novel, suratkabar, dan
teks pidato, patut diperbanyak. Latihan-latihan yang diberikan
bisa mengambil model seperti yang ada dalam buku Translation
karangan Alan Duff (1989). Penyajian bahan ajar semacam ini
diharapkan akan membiasakan mahasiswa dan
membangun
keterampi
lan
mereka dalam menerjemahkan berbagai jenis wacana yang
akan
mereka hadapi di roasa mendatang.
5. Penelitian
yang lebih mendalam terhadap hal ihwal
penerjemahan
dan sebab-sebab yang melatarbelakangi lemahnya kemampuan
mener
jemahkan mahasiswa, terutama dalam upaya pemadanan wacana. sumber
dalam berbagai situasi, akan sangat membantu para pengajar mata
kuliah Translation. Ini benar karena temuan-temuan yang
dipero
leh melalui penelitian tersebut selain akan menambah wawasan
pengajar, juga dapat digunakan sebagai jalan keluar bagi
persoa-lan-persoalan yang selama ini mereka hadapi dalam proses belajar
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hobir. (1996). Faktor-faktor Yang Terkait Dengan Ter.iemahan. (Tesis). Bandung: IKIP Bandung.
Alexander, L.G. (1990). Practice and Progress. Essex:
Longman Group Ltd.
Alwasilah, A. Chaedar. (1984). Linguistik Suatu Pengan
tar . Bandung: PT Angkasa.
Aziez, Furqanul & A. Chaedar A. (1996). Penga.iaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek- Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Badudu, J.S. (1995). Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT Gramedia.
Badudu, J.S. (1993). Cakrawala Bahasa Indonesia I. Jakarta: PT Gramedia.
Badudu, J.S. (1993). Cakrawala Bahasa Indonesia 1L. Jakarta: PT Gramedia.
Barnwell, Katerine. (1984). Introduction txi Semantics and Translation. Horsley Green: Summer Institute of
Languages.
Beatens Beardmore, Hugo. (1982). Bilingualism: B_as_ic_ Principles. Avon: Tieto Ltd.
Bell, Roger T. (1991). Translating and. Translation:
Theory and. Practice. Essex: Longman Group Ltd.
Bowen, Donald J. (1972). Organizing International Research in Sociolinguistically Oriented Survey,
(dalam Notes on Language and Qualitative Research
Subuah Kompilasi Makalah oleh Jusuf A Feisal).
Bandung: IKIP bandung
Candlin, C.N. (Gen. Editor). (1974). Er_r_Qr_ Analysis. Essex: Longman Group Ltd.
Catford, J.C. (1978). A T.inguistic Theory of Translation.
Cook,
Vivian.
(1991).
Second
Language
Learning
and
Teaching. London: Edward Arnold Publisher.Damono, Sapardi Djoko. (1994). Codot di Pohon Kebebasan. Terjemahan dari Tne. FlYing-Fox in a Freedom Tree karya Albert Wendt. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(1988).
Tata Bahasa
Bakil Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka.Duff, Alan. (1990). Translation. Oxford: Oxford Universi
ty Press.
Eagleton,
Terry.
(1983).
Literary Theory.
Oxford:
Basil
Blackwell Ltd.
Harmer,
Jeremy.
(1991).
Ifre. Practice of. English
Language
Teaching- London: Longman Group Ltd.
Harris, D.P. (1969). Testing EnglisJi as. a Second Lan guage. New York: McGraw Hill, Inc.
Hartley,
Bernard
&
Peter
Viney.
(1982).
Streamline
English;.. Departures-
Oxford:
Oxford University Press.
Hatch, Evelyn M. (1983). Psycholinguist! ess: A. Second
Language
Perspective.
Massachusetts:
Newbury
House
Publishers, Inc.Hornby, A.S. (1974). Oxford Advanced Learner's Dictionary
of. Current English. Oxford: Oxford University Press.
Hudson,
R.A.
(1980).
Sociolinguisties.
Cambridge:
Cambridge University Press.Isaac, Stephen & William B.M. (1982). Handbook in Research and Evaluation. San Diego: Edits Publishers.
Kridalaksana, Harimurti. (1985). Fungsi Bahasa dan Sikap
Bahasa. Ende: Nusa Indah.
Muhammad, Ainon. (1991). Panduan Menteriemah. Kuala
Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Newmark, Peter. (1988). A. Textbook q£_
Hetfordshire: Prentice Hall.
Nida, Eugene A. (1982). The. Theory and Practice o_f_
Translation. Leiden: The United Badle Societies.
Penalosa, Fernando. (1981). Introduction £o_ the. Sociology of. Language. Cambridge: Newbury House Publishers.
Posner, Roland. (1982). Rational Discourse and Poetic Communication. Berlin: Walter de Gruyter Ltd.
Pusat Pembinaan dan Pengemabangan Bahasa, Depdikbud.
(1993). Pedoman LLmiim. E.iaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: PT Gramedia.
Rees, R.J. (1973). English Literature. Basingstoke: Macmillan Education Ltd.
Richards, Jack. (1985). Longman Dictionary of. Applied Linguistics. Essex: Longman Group Ltd.
Romaine, Suzanne. (1982). ociolinguistic Variation In
Speech Community. London: Edward Arnold Ltd.
Ross, Alan 0. (1981). Child Behavior Therapy. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Rusyana, Yus. (1989). Perihal Kedwibahasaan. Jakarta: PPLPTK, Depdikbud.
Sakri, A. (Ed.). (1985). Ihwal Menerjemahkan. Bandung: Penerbit ITB.
Sukamto. (1987). Interferensi Morfologis Pada Penggunaan
Bahasa Indonesia Ragam Iiilis. Mnrid SHE. flegeri di
Kabupated Kebumen. (Tesis). Bandung: IKIP Bandung.
Teeuw, A. (1983). Membaca dart Menilai Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Wardhaugh, Ronald. (1986). An Introduction Jlq. Sociolin-guistJCS. Oxford: Basil Blackwell Ltd.