• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PELATIHAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN YANG DILAKUKAN OLEH YAYASAN INSPIRASI BANGSA MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PELATIHAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN YANG DILAKUKAN OLEH YAYASAN INSPIRASI BANGSA MEDAN SKRIPSI"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SANTA CLARA DAMANIK 150200341

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)

i

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas izin-Nya, Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Pelaksanaan Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan Oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan” yang merupakan syarat untuk menyelesaikan program studi S-1 dan memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini Penulis menyadari bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati Penulis akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian demi kesempurnaan skripsi ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada penulisan skripsi ini, Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang ikhlas dan tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Rasa terima kasih dan penghargaan ini Penulis sampaikan kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program sarjana ini.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu Hukum Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum. Sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing sejak awal perkuliahan serta memberikan motivasi untuk lebih giat lagi dalam meningkatkan Indeks Prestasi Penulis . 5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum sebagai Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

8. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulisan skripsi ini.

9. Seluruh dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan kepada Penulis selama Penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

11. Orangtua Penulis Linmer Damanik dan Rosi Hasibuan yang selalu memberikan restu, dukungan moral dan materil serta motivasi sehingga Penulis begitu bersemangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

12. Kedua Saudari Penulis Trivena Damanik dan Oni Syeba Damanik yang telah memberikan dukungan dan motivasi agar dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

13. Rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Departemen Hukum Pidana (IMADANA) periode 2018/2019.

14. Sahabat Penulis Susi Setiawati L. Tinambunan yang telah menemani Penulis dari sejak awal masuk perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tiada henti-hentinya memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada Penulis, serta membantu Penulis dalam mencari referensi bahan penulisan skripsi sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

15. Teman-teman Grup H stambuk 2015, untuk kebersamaannya selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16. Teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, baik di dalam maupun di luar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu sangat diharapkan adanya kritik dan masukan yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

(7)

Penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi setiap orang yang membacanya dan menambah literatur-literatur hukum yang telah ada sebelumnya.

Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2019 Penulis

Santa Clara Damanik

(8)

v DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

ABSTRAK BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 13

C. Tujuan Penulisan ... 13

D. Manfaat Penulisan ... 14

E. Keaslian Penulisan ... 14

F. Tinjauan Kepustakaan ... 15

1. Pengertian Sistem Pemasyarakatan dan Anak Didik Pemasyarakatan ... 15

2. Hak-hak Anak Didik Pemasyarakatan ... 19

3. Sistem Peradilan Pidana Anak ... 27

G. Metode Penelitian ... 37

H. Sistematika Penulisan ... 40

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PEMBINAAN DAN PELATIHAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN ... 42

(9)

A. Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan ... 42

B. Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 55

C. Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan lainnya ... 68

BAB III PELAKSANAAN PEMBINAAN DAN PELATIHAN ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN YANG DILAKUKAN YAYASAN INSPIRASI BANGSA MEDAN DAN HAMBATANNYA ... 81

A. Gambaran Umum Tentang Yayasan Inspirasi Bangsa Medan ... 81

B. Pelaksanaan Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan Yayasan Inspirasi Bangsa Medan ... 87

C. Hambatan dalam Pelaksanaan Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan ... 99

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104 LAMPIRAN

(10)

vii Daftar Tabel

Tabel 1 Tindak Pidana yang dilakukan dan Jumlah Anak Didik

Pemasyarakatan di Yayasan Inspirasi Bangsa Medan ... 89

Tabel 2 Jenis Pendidikan Keterampilan, Kecakapan, dan Kursus dalam Pelatihan Anak Didik Yayasan Inspirasi Bangsa Medan ... 92

Tabel 3 Pelatihan Kerja yang dilakukan oleh anak yang dibina di Yayasan Inspirasi Bangsa Medan Tahun 2019 ... ... 96

(11)

ABSTRAK Santa Clara Damanik*

Liza Erwina**

Rafiqoh Lubis***

Anak sebagai pelaku tindak pidana tidak jarang mendapatkan putusan dalam bentuk pemenjaraan daripada tindakan. Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur mengenai pembinaan anak yang berkonflik dengan hukum membuat adanya kewajiban LPKA dalam menyelenggarakan pembinaan, pelatihan, pendidikan dan pemenuhan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Anak yang mengikuti pembinaan baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga wajib mengikuti program pembinaan yang dilakukan oleh pejabat pembina. Proses pembinaan dan pelatihan anak didik pemasyarakatan diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah yang pertama, Peraturan apakah yang berkaitan dengan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia? Kedua Bagaimana pelaksanaan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan dan apakah hambatan dalam pelaksanaan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan tersebut?

Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif dan yuridis empiris yaitu pengumpulan data sekunder dengan penelitian kepustakaan, dan pengumpulan data primer melalui wawancara. Hasil penelitian dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menggambarkan keadaan-keadaan dari objek yang diteliti di lapangan.

Peraturan yang berkaitan dengan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia yakni Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pelaksanaan pembinaan dan pelatihan yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan yaitu dengan menjalankan program kerja yayasan seperti melakukan pembinaan, pelatihan dan pendidikan terhadap Anak Didik Pemasyarakatan. Adapun hambatan yang terjadi dalam proses pembinaan dan pelatihan yaitu proses pendisiplinan Anak Didik Pemasyarakatan yang gagal, kurangnya jumlah dan kemampuan tenaga pengajar atau pendidik, lepas tangannya negara atau pemerintah sebagai fasilitator terhadap pembinaan dan pelatihan serta sulitnya meyakinkan masyarakat untuk menerima kembali anak yang sudah menjalani hukuman dan dibina di Yayasan Inspirasi Bangsa Medan.

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan bagian dari generasi muda yang menjadi sumber daya pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia. Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup manusia (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Tidak semua anak dapat hidup normal, tetapi banyak anak yang melakukan kenakalan dan akhirnya berkonflik dengan hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum sebagaimana yang disebutkan dalam UU SPPA akhirnya akan dijatuhi pidana (straf) atau tindakan (maatregels).1

Sistem peradilan pidana yang berlaku Di Indonesia menempatkan Hakim sebagai institusi terakhir yang paling menentukan nasib Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Data-data mutakhir menunjukkan adanya kegamangan para Hakim anak dalam memutus perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Jika seandainya pun para Hakim mengambil putusan dalam bentuk tindakan dari pada

1 Widodo, Problematika Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Perspektif Hukum Pidana, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2015, hlm. 10.

(13)

pemenjaraan, biasanya Jaksa akan banding. Di Pengadilan Tinggi para Hakimnya hanya mempelajari berkas, sehingga latar belakang dan kondisi Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang sudah menjadi bahan pertimbangan Hakim di tingkat Pengadilan Negeri sering tidak menjadi pertimbangan.

Berbagai persoalan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang tidak menempatkan apresiasi yang pantas dalam kerangka perlindungan terbaik bagi anak menjadi catatan banyak pihak termasuk pemerintah. Salah satu dasar pertimbangan mengapa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibutuhkan adalah bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada Anak yang Berkonflik dengan Hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru.2

Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa penyusunan UU No. 11 Tahun 2012 ini merupakan penggantian terhadap UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.3

2 Elisabeth Juniarti, dkk, Diversi dan Keadilan Restoratif : Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Masyarakat Studi di 6 Kota di Indonesia, Pusaka Indonesia, 2014, hlm. 4-5.

3 R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hlm. 8.

(14)

Pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang peradilan merupakan salah satu langkah yang perlu ditempuh untuk membangun kembali lembaga peradilan Indonesia. Karena sebagian permasalahan yang melilit lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari kelemahan berbagai peraturan yang gagal dalam menciptakan sistem yang kondusif untuk melahirkan pengadilan yang independen, tidak memihak, bersih, kompeten dan efisien. Langkah dan upaya penting lainnya dalam rangka menyinergikan reformasi peradilan di Indonesia adalah dengan melakukan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang- undangan terutama menyangkut badan peradilan dan pengawasannya.

Abintoro Prakoso, menyatakan bahwa tujuan pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut :

1) Melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

2) Mewujudkan hukum yang secara komprehensif melindungi anak yang berhadapan dengan hukum, adanya perubahan paradigma yang mendasarkan peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus yang berhadapan dengan hukum.

Tingginya kasus anak yang harus berakhir di penjara, sepertinya tidak sebanding dengan keberhasilan model pemenjaraan menekankan juvenile delinquency. Tak aneh kalau kemudian bermunculan banyak kritik terhadap efektivitas pemenjaraan dalam menekan dan menangani kriminalitas, terlebih yang dilakukan oleh anak-anak.4

4 Elisabeth Juniarti, Op Cit., hlm. 31-32.

(15)

Anak dan penjara adalah dua hal yang kontras. Anak-anak muda belia yang mestinya tengah ceria, bermain dan belajar, tumbuh dan berkembang dengan wajar di lingkungan keluarganya sebagian diantaranya justru mengalami nasib apes. Mereka dipenjarakan dan terpisah dari orangtua atau keluarga (separated from family) dan lingkungan asalnya. Padahal tempat terbaik bagi anak adalah didalam keluarga. Oleh karena itu, andaikan anak terpisah dari keluarganya, akibat bencana alam misalnya atau akibat perang atau akibat pengungsian atau penculikan, maka upaya pertama yang dilakukan adalah dengan menggabungkannya kembali dengan orangtuanya (family reunification).

Selain itu, tidak sedikit anak-anak yang dipenjarakan akhirnya putus dari sekolah (drop out) akibat terkurung dalam jeruji besi bertitel Lembaga Pemasyarakatan Anak (LP Anak) sebagaimana yang disebutkan dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, atau sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menggantikan klausul Lembaga Pemasyarakatan Anak menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) yang merupakan lembaga atau tempat anak dalam menjalani masa pidananya. Menurut pakar hukum pidana Barda Nawawi Arif, yang meyakini bahwa pidana penjara membawa pengaruh lebih jahat, sehingga sering dikatakan bahwa rumah penjara adalah perguruan tinggi kejahatan atau pabrik kejahatan.5

5 Muhammad Joni, Penjara [Bukan] Tempat Anak, PERAN INDONESIA, Jakarta Pusat, 2012, hlm. 11.

(16)

Secara konseptual anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the law) menurut UU SPPA adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Sementara anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Adanya tindak pidana yang terjadi di kalangan anak disebabkan oleh berbagai faktor antara lain dampak negatif perkembangan yang cepat arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan cara hidup sebagian orang tua yang pada akhirnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Anak yang kurang memperoleh kasih sayang, bimbingan, pembinaan dan pengawasan orang tua dapat terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dan dapat merugikan perkembangan pribadi. Peningkatan kenakalan atau kejahatan anak bukanlah gangguan keamanan dan ketertiban semata, tetapi merupakan bahaya yang mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa. Penanganan dan penyelesaian dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi yang harus diterima oleh anak.

Dengan melakukan tindak pidana, maka anak tersebut akan mendapatkan hukuman akibat tindak pidana yang dilakukannya. Namun hal yang harus diingat bahwa pidana penjara bukanlah jalan keluar yang terbaik bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum, sebab pengaruhnya akan lebih buruk jika mereka dibina dalam lingkungan bermasalah. Dalam sebuah studi terbatas terhadap anak

(17)

dalam sistem pemasyarakatan pada tahun 2012 yang dilakukan oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSPAKA UI), tercatat lebih dari 85 % kasus yang diterima kepolisian diteruskan pada kejaksaan dan sekitar 80 % diputus masuk penjara oleh pengadilan di mana 61,09 % di antaranya divonis hukuman penjara lebih dari 1 (satu) tahun. Sementara sisanya adalah putusan penjara lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun sebanyak 30,54 %; Anak Negara sebesar 3,3%;

penjara di bawah 3 (tiga) bulan sebesar 2,32 %; Pidana Kurungan 2,27 %; dan penetapan Anak Sipil sebanyak 0,46 %. Terdapat kecenderungan hukuman semakin panjang diberikan pada anak karena berdasarkan data BPS 1995-1997, hukuman penjara paling banyak diberikan pada anak untuk masa hukuman diatas 1 (satu) tahun. 5 Hasil riset lainnya, Pada bulan Januari 2011 terdapat 50.400 (lima puluh ribu empat ratus) tahanan, terdiri dari 45.613 (empat puluh lima ribu enam ratus tiga belas) tahanan dewasa laki-laki, 2.816 (dua ribu delapan ratus enam belas) tahanan perempuan, 1.876 (seribu delapan ratus tujuh puluh enam) tahanan anak laki-laki dan 95 (sembilan puluh lima) tahanan anak perempuan.

Sementara jumlah total narapidana adalah 76.913 (tujuh puluh enam ribu sembilan ratus tiga belas), terdiri dari 70.190 (tujuh puluh ribu seratus sembilan puluh) narapidana laki-laki dewasa, 3.243 (tiga ribu dua ratus empat puluh tiga) narapidana perempuan dewasa, 3.235 (tiga ribu dua ratus tiga puluh lima) anak laki-laki dan 245 (dua ratus empat puluh lima) anak perempuan yang dipenjarakan. Angka tersebut menunjukkan masih dominannya sistem pemenjaraan dipakai sebagai jalan keluar bagi masalah anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem peradilan yang masih menyebabkan banyak anak berakhir

(18)

dalam penahanan dan pemenjaraan meskipun untuk perbuatan yang tergolong ringan ini juga masih menyebabkan kebanyakan anak terpaksa menjalani masa hukuman dalam penjara untuk waktu yang lama.6

Untuk dapat melakukan pembinaan itu diperlukan suatu sistem yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Batasan tentang sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam sistem tersebut, pihak-pihak yang berhubungan bukan hanya antara pembina dengan yang dibina, melainkan juga dengan pihak masyarakat. Hubungan segitiga ini dilaksanakan secara terpadu, dengan tujuan untuk meningkatkan orang-orang yang dibina.7

Gagasan Pemasyarakatan pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh Dr.

Sahardjo, S.H pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa di bidang Ilmu hukum Universitas Indonesia. Pidato Dr.

Sahardjo tersebut berjudulkan Pohon Beringin Pengayoman, dari pidato tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam konferensi dinas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang diselenggarakan di Lembang Bandung. Konferensi tersebut

6 https://www.bphn.go.id/data/documents/laporan_final.pdf Diakses 8 Maret 2019 Pukul 20:24

7 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 153-154.

(19)

memperoleh hasil berupa penggantian sistem pemenjaraan dengan sistem pemasyarakatan dalam pembinaan narapidana di Indonesia : Diberlakukanya sistem pemasyarakatan yang menggantikan sistem pemenjaraan di Indonesia, secara otomatis telah mengganti proses pembinaan narapidana di Indonesia yang semula mengedepankan pembalasan berubah dengan sistem pemenjaraan lebih menekankan pada pengayoman dan pembinaan dengan memberikan bimbingan jasmani dan rohani pada narapidana. Dua elemen pokok yang terdapat di dalam sistem pemasyarakatan, yaitu pertama resosialisasi sebagai sistem pemasyarakatan, dan kedua proses pemasyarakatan sebagai metode pembinaanya.

Konsep resosialisasi dilakukan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam proses sosialisasi. Konsep sosialisasi sendiri mulai berkembang pada tahun 1930, dalam proses ini terlibat proses pemantapan hubungan-hubungan sosial, pengembangan pencapaian konsep diri dan orang lain, mempelajari keahlian, pandangan motivasi yang diperlukan bagi keikutsertaanya dalam masyarakat, dalam konteks strategi pemasyarakatan resosialisasi mengandung makna lebih dari itu, yaitu mengubah tingkah laku narapidana agar sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut dalam proses masyarakat bebas pada umumnya.8

Menurut Dirdjosisworo adanya pengaruh-pengaruh pandangan hukuman penjara adalah sebagai pembalasan, memuaskan rasa dendam masyarakat terhadap penjahat dan isolasi terhadap penjahat sebagai tindakan untuk melindungi

8https://media.neliti.com/media/publications/59579-ID-pelaksanaan-pembinaan-

narapidana-seumur.pdf Sri Bintang Subari P dkk., 2016, Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Seumur Hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane Semarang, Vol. 5 No. 4, Semarang : Diponegoro Law Journal, hlm. 2-3. Diakses 27 Oktober 2018 Pukul 17:33

(20)

masyarakat, sekarang di negara-negara Barat telah ditinggalkan. Karena itu yang berkembang sekarang ada pengaruh pandangan para ahli penologi, ahli hukum pidana dan ahli kriminologi meninggalkan pemahaman diatas dan diubah menjadi satu pemahaman baru yang disebut rehabilitasi, yaitu pembinaan dan pendidikan narapidana yang dimasukkan kedalam program aktivitas Lembaga Pemasyarakatan. Pertahanan terhadap pengamanan masyarakat menurut para ahli tersebut diatas, mulai dipandang lebih tergantung pada perbaikan narapidana anak untuk persiapan mereka kembali kepada lingkungan masyarakatnya, sehingga sekarang lembaga-lembaga pemasyarakatan sudah mulai terbuka, tidak seperti masa lalu yang menggambarkan bahwa penjara adalah realisasi dari pemberian penderitaan terhadap orang-orang yang dipenjara, tercermin dari bangunan- bangunan penjaranya, cara perlakuan yang bengis, penelantaran kesehatan, hak- hak, harkat dan martabat kemanusiannya dan lain sebagainya.9

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa pidana penjara terhadap anak adalah sebagai upaya terakhir (the last resort) dari penyelesaian perkara anak dalam proses peradilan pidana. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak, atau keadaan pada waktu dilakukannya perbuatan pidana dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan sanksi tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam hal pidana dijatuhkan kepada anak, dilarang menjatuhkan putusan yang melanggar harkat dan martabat anak. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, penyelesaian perkara anak yang

9 Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 112.

(21)

berkonflik dengan hukum lebih mengedepankan keadilan restoratif dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula bukan melalui pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menyetujui dan meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Anak sebagaimana diwujudkan dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Berdasarkan konvensi PBB tentang Hak Anak [United Nation’s Convention on the Rights of the Child (CRC) / Konvensi Hak Anak (KHA)], secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup (rights to survival) dan hak atas tumbuh kembang (rights to development).

Lebih dari itu, terhadap integrasi antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak tersebut, negara menjamin (shall ensure) dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara (the maximum extent possible the survival and development), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) CRC yang berbunyi sebagai berikut

“ (1) State Parties recognize that every child has the inherent right to life. (2) State Parties shall ensure to the maximum extend possible the survival and development”.

Berdasarkan ketentuan di atas maka hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan berkembang anak merupakan hak asasi anak

(22)

sebagai warga dunia dan hak konstitusional anak sebagai warga negara Indonesia yang dijamin Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945.10

Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur tentang jaminan negara dan pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan anak. Adapun yang dimaksud dengan anak menurut UU Perlindungan Anak tersebut adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, dalam hal perlindungan anak atas hak pendidikan, undang-undang ini juga menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya. Hak atas pendidikan diperoleh seluruh anak dan harus diusahakan oleh negara dengan memberikan kesempatan seluas luasnya. Hak atas pendidikan melingkupi semua anak dengan berbagai latar belakang dan status sosial anak, tak terkecuali yang menjalani pemidanaan dengan status Anak Didik Pemasyarakatan, sehingga perlu dilakukannya pembinaan. Pembinaan adalah suatu bagian dari rehabilitasi watak dan perilaku para narapidana maupun Anak Didik Pemasyarakatan. Dalam proses pembinaan, bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila dengan tujuan dan harapan setelah kembali kemasyarakat, Anak Didik Pemasyarakatan mendapat bekal dan ilmu yang berguna.11

Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat.

10 Muhammad Joni, Op Cit., hlm. 69.

11 Lihat Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

(23)

Lembaga Pemasyarakatan Anak berperan dalam pembinaan narapidana, yang memperlakukan narapidana agar menjadi baik. Yang perlu dibina adalah pribadi narapidana, membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tenteram dan sejahtera dalam masyarakat, sehingga potensial menjadi manusia yang berpribadi dan bermoral tinggi.12

Anak yang bersalah pembinaannya ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Penempatan Anak yang bersalah ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Anak, dipisah-pisahkan sesuai dengan status mereka masing- masing yaitu Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.13 Pembinaan Narapidana Anak, tidak cukup melalui Lembaga Pemasyarakatan saja, tetapi juga dilakukan di luar Lembaga Pemasyarakatan, dengan menggunakan metode pekerjaan sosial sebagai metode pembinaan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu untuk teliti dan dikaji lebih dalam dan menuangkannya ke dalam suatu tulisan yang berbentuk skripsi dengan judul. “Pelaksanaan Pembinaan dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan Oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan”.

12 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, PT Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 152.

13 Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 103.

(24)

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dibutuhkan guna menegaskan masalah-masalah yang hendak diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam pengerjaannya serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Berangkat dari latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Peraturan apakah yang berkaitan dengan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia?

2. Bagaimana pelaksanaan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan dan apakah hambatan dalam pelaksanaan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan tersebut?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian pada hakekatnya mencari jawaban atas masalah yang diteliti dan memberikan pedoman agar penelitian dapat berlangsung sesuai apa yang dikehendaki. Karena itu dalam penyusunan skripsi ini, tujuan penelitian ini adalah :

(1) Untuk mengetahui peraturan yang berkaitan dengan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia;

(2) Untuk mengetahui pelaksanaan pembinaan dan pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan dan hambatannya.

(25)

D. Manfaat Penulisan

Sebagai kelanjutan dari tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan suatu manfaat bagi pembaca dan orang lain secara tidak langsung. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan terhadap Ilmu Hukum pada umumnya dan proses sistem peradilan pidana anak pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi instansi-instansi terkait yang berkaitan dengan objek yang diteliti.

E. Keaslian Penulisan

Dalam menyusun skripsi pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur yang penulis peroleh dari perpustakaan dan dari media massa baik cetak maupun elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini serta ditambah lagi dengan riset penulis ke lapangan dan penulis langsung melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten.

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan yang sama yaitu dengan judul “Pelaksanaan Pembinaan

(26)

dan Pelatihan Anak Didik Pemasyarakatan yang dilakukan oleh Yayasan Inspirasi Bangsa Medan”. Apabila dikemudian hari terdapat kesamaan maka penulis bersedia bertanggung jawab sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Sistem Pemasyarakatan dan Anak Didik Pemasyarakatan a. Pengertian Sistem Pemasyarakatan

Terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian dan istilah pemasyarakatan yang sampai saat ini masih banyak perselisihan paham dan keragu-raguan tentang apa yang dimaksud dengan pemasyarakatan yang akibatnya tampak pada pelaksanaan pemasyarakatan itu sendiri.

Menurut Sudarto istilah pemasyarakatan dapat disamakan dengan resosialisasi dengan pengertian bahwa segala sesuatunya ditempatkan dalam tata budaya Indonesia dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Hal yang terpenting dari pemasyarakatan ini adalah bagaimana pelaksanaan dari prinsip- prinsip pemasyarakatan itu sendiri, bagaimanakah cara-cara pembinaan para narapidana dalam kenyataannya dan hasilnya. Sedangkan menurut Roeslan Saleh resosialisasi itu merupakan usaha dan tujuan bahwa terpidana akan kembali ke masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa ia dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-kejahatan. Berbeda dengan pendapat Sudarto dan Roeslan Saleh, Romli Atmasasmita menyatakan bahwa resosialisasi itu merupakan suatu proses interaksi antar narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan, dan masyarakat ke dalam proses interaksi yang mengubah sistem

(27)

nilai-nilai dari pada narapidana sehingga ia dapat beradaptasi dengan baik dan efektif terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.14

Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian suatu kesatuan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari konsepsi umum mengenai pemidanaan.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memberikan pengertian mengenai pemasyarakatan sebagai berikut :

“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa inti dari pemasyarakatan adalah pembinaan terhadap narapidana supaya nantinya dapat kembali ke masyarakat dengan baik. Untuk dapat melakukan pembinaan itu diperlukan suatu sistem, yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Sehubungan dengan itu, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 1995, Sistem Pemasyarakatan adalah :

Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

14 https://online-hukum.blogspot.com/2011/01/pengertian-tentang-sistem.html Diakses 8 Maret 2019 Pukul 21:51

(28)

Rumusan Pasal 1 angka 2 tersebut terlihat bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang dibina dan masyarakat untuk mewujudkan suatu peningkatan warga binaan pemasyarakatan yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.

b. Pengertian Anak Didik Pemasyarakatan

Adapun mengenai pengertian Anak Didik Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU Pemasyarakatan, yaitu :

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan Putusan Pengadilan diserahkan kepada negara untuk di didik dan di tempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Istilah Anak Didik Pemasyarakatan yaitu Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil tidak terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU SPPA, istilah yang ditemukan itu adalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum yang terdiri dari anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak

(29)

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Adapun pengertian LAPAS atau Lembaga Pemasyarakatan yang dimaksud dalam UU Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah LAPAS di Indonesia tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis dibawa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan atau bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.15

Lembaga Pemasyarakatan Anak juga dikenal dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam UU SPPA, istilah Lembaga Pemasyarakatan Anak itu disebut dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Perubahan tersebut disebabkan oleh karena istilah LAPAS Anak tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Berdasarkan Pasal 104 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa setiap lembaga pemasyarakatan anak harus melakukan perubahan sistem menjadi LPKA sesuai dengan Undang- Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun. Lembaga Pembinaan Khusus Anak

15https://www.academia.edu/5092399/UPAYA_LEMBAGA_PEMASYARAKATAN_D ALAM_PEMBINAAN_TERHADAP_NAPI_YANG_MELAKUKAN_TINDAK_PIDANA_PER KOSAAN Diakses 18 Maret 2019 Pukul 20:42

(30)

(LPKA) yaitu sebagai tempat anak menjalani masa pidananya melalui proses pembinaan dimana anak berhak menikmati kehidupan pribadinya dan memperoleh hak-hak lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Hak-hak Anak Didik Pemasyarakatan

Anak Didik Pemasyarakatan memperoleh hak yang berbeda-beda sesuai dengan status mereka masing-masing, apakah mereka termasuk Anak Pidana dan Anak Negara yang melalui putusan pengadilan atau Anak Sipil yang hanya melalui penetapan hakim saja. Status anak dalam UU Pemasyarakatan sangat jelas tampak perbedaannya. Hal ini dapat dilihat dari penggolongan status Anak Didik Pemasyarakatan yang menentukan hak-hak apa saja yang harus diterima atau diperolehnya selama masa pembinaan. Perbedaan status anak tersebut menjadi dasar pembedaan pembinaan yang dilakukan terhadap mereka.16 Adapun Anak Pidana memperoleh hak-hak sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) UU No.

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu sebagai berikut : a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmaninya;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

h. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

i. Mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

j. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

k. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Institute for Criminal Justice Reform;

16 Dwidja Priyatno, Loc., Cit. hlm. 103.

(31)

l. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, mendapat perawatan rohani maupun jasmani, mendapatkan pendidikan dan pengajaran, serta mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai Anak Didik Pemasyarakatan dan dilaksanakan dalam batas-batas yang diizinkan. Hak untuk menyampaikan keluhan diperoleh apabila terhadap Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan yang dilakukan oleh aparat LPKA atau sesama penghuni LPKA, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada kepala LPKA. Hak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi), kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga, dan mendapatkan pembebasan bersyarat diberikan apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan peraturan perundang- undangan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dalam Pasal 5 disebutkan bahwa Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas merupakan sebagai salah satu upaya pembinaan untuk memulihkan hubungan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dengan masyarakat secara sehat. Pasal 6 menyatakan bahwa Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas bertujuan :

(32)

a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan;

b. Memberikan kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana;

c. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan.

Setiap Anak Pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersangkutan baik selama menjalani masa pidananya.

Anak Negara juga memiliki hak yang sama dengan Anak Pidana kecuali hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Anak Negara memperoleh hak-hak sebagai berikut :

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmaninya;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

h. Mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

i. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

j. Mendapatkan cuti menjelang bebas; dan Institute for Criminal Justice Reform;

k. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berbeda dengan Anak Pidana dan Anak Negara, Anak Sipil memperoleh hak-hak yang dapat dikatakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan hak-hak yang diperoleh oleh Anak Pidana dan Anak Negara. sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (1) Anak Sipil memperoleh hak-hak sebagai berikut :

(33)

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmaninya;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;

g. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;

h. Mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

i. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Anak Sipil tidak perlu memperoleh hak untuk mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat dan mendapatkan cuti menjelang bebas karena Anak Sipil itu bukanlah anak yang dijatuhi hukuman pidana oleh hakim. Anak Sipil hanya ditempatkan di LPKA untuk di didik melalui penetapan hakim atas permintaan orang tua atau walinya. Anak Sipil bukanlah anak yang melakukan tindak pidana ataupun kejahatan seperti yang dilakukan oleh Anak Pidana melainkan hanya karena kenakalannya atau atas permintaan orangtua atau walinya. Anak Sipil di LPKA paling lama 6 (enam) bulan bagi yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dan paling lama 1 (satu) tahun bagi mereka yang saat penetapan pengadilan berumur 14 (empat belas) tahun dan setiap kali dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan ketetapan paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Anak Didik Pemasyarakatan yaitu Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil tidak berhak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan sebagaimana hak yang diterima oleh narapidana. Hal ini karena menurut Pasal 68 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Dalam ketentuan undang-

(34)

undang ini yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Berarti umur 18 (delapan belas) tahun adalah usia minimum yang diperbolehkan untuk bekerja.

Selain dalam Undang-Undang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat dengan syarat seperti yang terdapat dalam ayat (2) yaitu sebagai berikut :

a. Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan.

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling singkat 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

c. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat;

dan

d. Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.

Ayat (3) menyebutkan bahwa pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan paling sedikit 1 (satu) tahun.

Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 menyebutkan bahwa hak-hak lain yang dimiliki Anak Didik Pemasyarakatan adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya. Hak politik bagi Anak Didik Pemasyarakatan adalah hak menjadi anggota partai politik sesuai dengan aspirasinya walaupun yang bersangkutan berada di LAPAS tidak berarti menyebabkan keanggotaan dalam partai politik menjadi hilang. Selain itu, Anak

(35)

Didik Pemasyarakatan diberi kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak keperdataan lainnya yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah meliputi :

a. Surat menyurat dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya.

b. Izin keluar LAPAS dalam hal-hal luar biasa yang diberikan oleh Kepala LAPAS.

Penjelasan Pasal 52 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan surat dalam peraturan pemerintah ini adalah termasuk surat kawat, paket, dan barang- barang cetakan dan segala tulisan-tulisan serta barang-barang lain yang dapat digunakan untuk memberitakan apapun. Surat dimaksud tidak dapat langsung dikirim atau diterima oleh Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan melainkan harus lewat pemeriksaan atau pertimbangan petugas keamanan atau yang ditunjuk. Adapun yang dimaksud dengan hal-hal luar biasa dalam hal pemberian izin keluar LAPAS oleh Kepala LAPAS terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yaitu hal-hal yang sungguh-sungguh luar biasa sifatnya seperti meninggalnya/sakit keras ayah, ibu, anak, cucu, suami, istri, adik, atau kakak kandung, menjadi wali atas pernikahan anaknya, dan membagi warisan.17

17 Lihat penjelasan Pasal 52 ayat (1) PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan

(36)

Menurut Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perlindungan Bagi Anak yang Kehilangan Kebebasannya/Rules for Protection of Juveniles Depriod of Their Liberty (disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1990), menyatakan bahwa :

a. Di semua lembaga penahanan anak harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali mereka anggota keluarga yang sama.

b. Khusus bagi anak harus didirikan suatu fasilitas penahanan terbuka.

Fasilitas penahanan terbuka adalah penahanan tanpa atau hanya mempunyai sedikit sekali langkah-langkah pengamanan dan juga harus didirikan fasilitas penahanan ukuran kecil yang diintegrasikan ke lingkungan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

c. Anak yang dirampas kebebasannya mempunyai hak atas kemudahan dan jasa yang memenuhi semua persyaratan kesehatan dan martabat manusia, seperti rancang bangun, akomodasi tidur, makan dan sebagainya.

d. Anak pada usia wajib belajar berhak atas pendidikan yag sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dan dirancang untuk mempersiapkan pengembaliannya ke masyarakat.

e. Anak diatas usia wajib belajar yang berkehendak meneruskan pendidikan harus diizinkan dan didorong melakukan hal itu dan setiap usaha harus dilakukan untuk menyediakan program pendidikan yang sesuai bagi mereka.

f. Bilamana mungkin anak diberi kesempatan mendapatkan pekerjaan yang mendapat gaji dan jenis pekerjaan harus sedemikian sehingga memberi pelatihan yang memadai dan yang bermanfaat bagi anak tersebut pada saat pembebasannya. Setiap anak yang melakukan pekerjaan berhak atas gaji yang setara.

g. Setiap anak berhak memperoleh waktu secukupnya untuk latihan harian yang bebas di udara terbuka, diberikan latihan hiburan (rekreasi) dan fisik secukupnya.

h. Setiap anak harus diizinkan untuk memenuhi kewajiban agama dan kebutuhan kehidupan spiritualnya.

i. Setiap anak berhak menerima perawatan kesehatan secukupnya, baik pencegahan maupun pengobatan.

j. Setiap anak berhak mendapatkan komunikasi yang memadai dengan dunia luar.18

Substansi mengenai hak-hak anak yang kehilangan kebebasan atau kemerdekaannya menurut Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa ini sejalan

18 Muhammad Joni, Op. Cit., hlm. 38.

(37)

dengan apa yang diatur dalam UU Pemasyarakatan mengenai hak-hak Anak Didik Pemasyarakatan atau anak yang kehilangan kemerdekaan seperti misalnya anak yang di rampas kebebasan atau kemerdekaannya di pisahkan dengan narapidana, diintegrasikan dengan lingkungan masyarakat, berhak atas kemudahan dan jasa yang memenuhi semua persyaratan kesehatan, martabat manusia seperti makanan, minuman, pendidikan dan tempat tidur yang layak, memenuhi kewajiban agama dan kebutuhan kehidupan spritualnya, berhak menerima perawatan jasmani dan mendapatkan komunikasi yang memadai dengan dunia luar misalnya dengan pihak keluarga, penasehat hukum, dan rohaniawan serta lembaga lainnya yang berwenang untuk itu atau lembaga yang memiliki ranah di bidang pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan. Kecuali mengenai gaji yang diterima oleh anak yang dipekerjakan oleh petugas pembinaan tidak dibenarkan dalam UU Pemasyarakatan. Dalam Pasal 22 ayat (1) UU Pemasyarakatan disebutkan bahwa Anak Pidana memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kecuali huruf g. Ketentuan ini membutikan bahwa anak yang diberi pekerjaan seperti pelatihan kerja tidak berhak atas upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

Berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan PBB huruf f yang menyatakan bahwa anak yang mendapat kesempatan kerja berhak atas gaji yang setara. Walaupun terdapat sedikit perbedaan pandangan mengenai hak-hak anak yang dirampas kebebasan atau kemerdekaannya menurut Peraturan PBB dan UU Pemasyarakatan tetap harus menggunakan instrumen hukum nasional yaitu UU Pemasyarakatan sebagai hukum yang mengatur dan mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia.

(38)

3. Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 diberi judul Undang-Undang tentang “Sistem Peradilan Pidana Anak”, berbeda dengan UU No. 3 Tahun 1997 yang diberi judul Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Dalam disertasinya Setyo Wahyudi mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana anak adalah sistem penegakan hukum peradilan pidana anak yang terdiri dari subsistem penyidikan anak, susbsistem penuntutan anak, subsistem pemeriksaan hakim anak, dan subsistem pelaksanaan sanksi hukum pidana anak yang berlandaskan hukum pidana materiil anak dan hukum pidana formal anak dan hukum pelaksanaan sanksi hukum pidana anak.

Hanya saja dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 2012 tersebut dapat diketahui apa yang dikehendaki pembentuk undang- undang. Kehendak dari pembentuk undang-undang adalah bahwa keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana harus dilaksanakan sebagai suatu sistem dengan mengikuti menurut ketentuan yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2012.19

19 R. Wiyono, Op. Cit., hlm. 21-22.

(39)

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefenisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.

Di dalam kata sistem peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah anak. Kata “anak” dalam frasa “sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan, karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa.20

Sistem peradilan pidana anak merupakan sistem peradilan pidana, maka dalam memberikan pengertian sistem peradilan pidana anak, terlebih dahulu dijelaskan mengenai sistem peradilana pidana. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.21

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Sementara Romli Atmasasmita, membedakan antara pengertian “criminal justice process” dan “criminal justice system”. Pengertian criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya,

20 M. Nasir Djamil, Anak Bukan untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 43.

21https://www.academia.edu/31382892/KONSEP_DIVERSI_DALAM_SISTEM_PERA DILAN_PIDANA_ANAK_DI_INDONESIA.docx Diakses 9 Maret 2019 Pukul 14:19

(40)

sedangkan pengertian criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.22

Pada akhirnya UU Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan defenisi berupa keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Gordon Bazemore menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana anak (SPPA) berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem peradilan pidana anak yang dianut. Terdapat tiga paradigma peradilan anak yang terkenal, yakni paradigma pembinaan individual (individual treatment paradigm), paradigma retributive (retributive paradigm), dan paradigma restoratif (restorative paradigm).23

1) Tujuan SPPA dengan Paradigma Pembinaan Individual

Yang dipentingkan adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku, bukan pada perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Tanggung jawab ini terletak pada tanggung jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan pelaku.

Penjatuhan sanksi dalam sistem peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tindakan relevan, insidental dan secara umum tak layak. Pencapaian tujuan sanksi ditonjolkan pada indikator hal-hal berhubungan dengan apakah pelaku perlu diidentifikasi, apakah pelaku telah dimintakan untuk dibina dalam program pembinaan khusus dan sejauhmana program dapat diselesaikan. Putusan ditekankan pada perintah pemberian program untuk terapi dan pelayanan. Fokus utama untuk pengidentifikasi pelaku dan pengembangan pendekatan positifis untuk mengoreksi pelaku. Kondisi delikuensi ditetapkan dalam rangka pembinaan pelaku. Pelaku dianggap tak berkompeten dan tak mampu berbuat rasional tanpa campur tangan terapitik. Pada umumnya pelaku perlu dibina, karena pelaku akan memperoleh keuntungan dari campur tangan terapitik.

22 Wagiati Soetedjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 17.

23 M. Nasir Djamil, Op., Cit. hlm. 45.

(41)

Pencapaian tujuan diketahui dengan melihat apakah pelaku bisa menghindari pengaruh jelek dari orang/lingkungan tertentu, apakah pelaku mematuhi aturan dari Pembina, apakah pelaku hadir dan berperan serta dalam pembinaan, apakah pelaku menunjukkan kemajuan dalam sikap dan self control, apakah ada kemajuan dalam interaksi dengan keluarga; paket kerja probation telah disusun, dan aktivitas rekreasi yang telah berlangsung. Menurut sistem peradilan pidana dengan paradigma pembinaan individual, maka segi perlindungan masyarakat secara langsung bukan bagian fungsi peradilan anak.

2) Tujuan SPPA dengan Paradigma Retributif

Ditentukan pada saat pelaku telah dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti, setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan elektronik, sanksi punitif, denda dan fee. Untuk menciptakan perlindungan masyarakat dilakukan dengan pengawasan sebagai strategi terbaik, seperti penahanan, penyekapan dan pengawasan elektronik.

Keberhasilan perlindungan masyarakat dengan dilihat pada keadaan apakah pelaku telah ditahan, apakah residivis berkurang dengan pencegahan atau penahanan.

3) Tujuan SPPA dengan Paradigma Restoratif

Di dalam mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan korban untuk berhak aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasaan korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang terjadi. Bentuk-bentuk sanksi yaitu restitusi, mediasi pelaku korban, pelayanan korban, restorasi masyarakat, pelayanan langsung pada korban atau denda restoratif.24

Peradilan anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Perlindungan terhadap

24 Ibid.

(42)

kepentingan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan/pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosialisasi menjadi landasan peradilan anak.25

Kekhususan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) membuat asas-asas yang digunakan dalam undang-undang tersebut pun berbeda dengan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang memuat tentang pelanggaran dan kejahatan maupun asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini, Undang-Undang SPPA selain memuat tentang hukum materil juga sekaligus memuat hukum formil (yang disebut dengan hukum acara dalam peradilan pidana anak). Pasal 2 UU SPPA dan penjelasannya menyatakan bahwa asas dari Sistem Peradilan Pidana Anak adalah :

1) Perlindungan, dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Perlindungan anak juga meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis.

2) Keadilan, adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak. Semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana harus menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke lingkungan sosial secara wajar proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Hakim dalam memutus perkara harus yakin benar bahwa putusannya dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebgaia warga negara yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.

25 Maidin Gultom, Op Cit., hlm 193.

Gambar

Tabel 2. Jenis Pendidikan Keterampilan, Kecakapan, dan Kursus dalam Pelatihan  Anak Didik Yayasan Inspirasi Bangsa Medan

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dimungkinkan terjadi karena perhitungan pada kedua algoritma kriptografi menggunakan objek pada suatu grup matematika yang memiliki banyak elemen,

Sikap pegawai/anggota Dinas Pariwisata terhadap dikeluarkannya Perda no 2 tahun 2016 tentang Pariwisata halal ini disampaikan narasumber, Bapak H. Haris dalam

[r]

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana upaya yang dilakukan oleh Perpustakaan Daerah Provinsi Jawa Tengah terhadap penerapan hak cipta yang ada pada koleksi

Permukiman Nelayan Terpadu Vertikal di Manado merupakan lingkungan tempat tinggal yang kompleks, terpadu yang menghadirkan tidak sekedar sebuah bangunan tampat tinggal namun sebuah

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Penerapan

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu komposit dengan penambahan fraksi volume HGM sebanyak 15%-16% dan di- curing pada temperatur 90°C selama 24 jam

[r]