• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tunggal visa. Dari segi etimologi, kata visum atau visa diartikan dengan tanda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tunggal visa. Dari segi etimologi, kata visum atau visa diartikan dengan tanda"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Visum et Repertum

1. Pengertian Visum Et Repertum Et Repertum

Visum et repertum merupakan istilah di bidang Ilmu Kedokteran Forensik, yang biasa disebut dengan “Visum”. Asal kata visum dari bahasa latin, dengan bentuk tunggal “visa”. Dari segi etimologi, kata “visum” atau “visa”diartikan dengan tanda melihat, yakni penandatanganan barang bukti mengenai hal tertentu yang ditemui, disetujui dan disahkan, sementara “Repertum” artinya melapor yakni hal yang diperoleh dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter kepada korban. Visum et repertum secara etimologi ialah sesuatu yang terlihat dan ditemukan.1

Visum et repertum sangat berhubungan dengan Ilmu Kedokteran Forensik, yang dahulu dinamakan dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman. Pendapat dari R. Atang Ranoemihardja mengungkapkan yakni Ilmu Kedokteran Kehakiman/Forensik ialah ilmu yang melibatkan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk menunjang peradilan terkait perkara pidana ataupun perdata. Ilmu Kedokteran Kehakiman ini bertujuan dan berkewajiban membantu kepolisian, kejaksaan dan kehakiman dalam menangani kasus perkara yang cuma bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan kedokteran.2

Adapun bantuan ahli kedokteran kehakiman ini bisa dilakukan sewaktu ada tindak pidana (di lokasi kejadian perkara, memeriksa korban yang terluka ataupun mati) dan memeriksa barang bukti, yang mana hal tersebut akan dijelaskan serta

1 .H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, (Malang: Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang, 2001), 1

2 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi kedua (Bandung: Tarsito 1983), 10

(2)

14 hasilnya akan diungkapkan secara tertulis yang berbentuk surat yang diistilahkan dengan visum et repertum.3

Berdasar Kepmen Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pasal 10 berbunyi jika hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman dinamakan dengan Visum et repertum. Opini dari dokter yang diungkapkan dalam Visum et repertum sangat dibutuhkan oleh hakim dalam mengambil putusan di muka persidangan. Hal ini dikarenakan hakim selaku pihak yang memutus perkara di persidangan, tidak berbekal dengan keilmuan yang berkaitan dengan kedokteran forensic.

Dari hasil pemeriksaan dan laporan tertulis dari dokter ini akan dipergunakan selaku petunjuk, seperti yang dimaksudkan dalam pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti.4 Maknanya ialah hasil dari Visum et repertum tidak hanya selaku petunjuk untuk suatu titik terang sebuah perkara pidana, tetapi juga menunjang proses penuntutan dan pengadilan.

Menurut aturan hukum acara pidana di Indonesia, terutama KUHAP tidak terdapat ketentun eksplisit terkait definisi visum et repertum. Hanya ada satu aturan perundangan yang mendefinisikan visum et repertum yakni Staatsblad Tahun 1937 No. 350. Dalam ketentuan Staatsblad menyebutkan jika: “visum et repertum ialah laporan tertulis untuk keperluan peradilan (pro yustisia) atas pengajuan yang berwenang, dituliskan dokter, terkait semua hal yang ia lihat dan temukan sewaktu pemeriksaan barang bukti, berlandaskan sumpah sewaktu akan menjalankan jabatannya dan pengetahuan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya.5

3 Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, (jakarta: Djambatan, 2000), 26

4 KUHAP pasal 184

5 H.M.Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, (Malang: Fakultas Kedokteran UNIBRAW Malang, 2001), 1

(3)

15 2. Jenis Visum Et Repertum

Selaku sebuah hasil pemeriksaan dokter atas barang bukti yang dipergunakan untuk keperluan peradilan, maka beberapa jenis visum et repertum berdasar objek yang diperiksa yakni:6

a. Visum et repertum bagi seseorang yang masih hidup, ada 3 jenis diantaranya:

1) Visum et repertum biasa, yang diberikan terhadap peminta atau penyidik untuk korban yang tidak membutuhkan perawatan lanjutan.

2) Visum et repertum sementara, yang diberikan jika korbannya membutuhkan perawatan lanjutan sebab belum bisa menyimpulkan diagnosis dan tingkat luka yang terjadi. Jika sudah sehat kembali bisa dibuatkan visum et repertum lanjutan.

3) Visum et repertum lanjutan, yakni bila korbannya tidak membutuhkan perawatan lanjutan sebab sudah sehat, ganti dirawat dokter lain atau sudah mati.

b. Visum et repertum bagi jenazah. Dalam hal ini, korbannya meninggal sehingga penyidik menuliskan permohonan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik guna melakukan outopsi.

c. Visum et repertum TKP, yakni dibuatnya sesudah dokter menyelesaikan pemeriksaan TKP.

d. Visum et repertum penggalian jenazah, yakni dibuat sesudah dokternya selesai menggali jenazah.

e. Visum et repertum psikiatri yakni dilakukan terhadap terdakwa sewaktu pemeriksaan di muka pengadilan memperlihatkan gejala sakit jiwa.

6 Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (jakarta: Gramedia Pustaka Tama, 1992), 26

(4)

16 f. Visum et repertum barang bukti, contohnya mengenai barang bukti yang diketemukan dan berkaitan dengan tindak pidana, seperti darah, bercakmani, peluru dan pisau.

Dalam hal ini, peneliti menggunakan visum et repertum terhadap orang yang masih hidup, terutama dibuat dokter berdasar hasil pemeriksaannya kepada korban tindak pidana pemerkosaan.

3. Bentuk Umum Visum Et Repertum

Supaya membentuk keseragaaman terkait format pokok visum et repertum, maka aturan terkait susunan visum et repertum ialah:7

1) Bagian pojok kiri atas terdapat tulisan “PRO YUSTISIA”, maknanya isi visum et repertum cuma untuk keperluan peradilan;

2) Bagian tengah atas terdapat tulisan jenis dan nomor visum et repertum;

3) Bagian pendahuluan visum et repertum yang berisi:

a. Identitasnya pemohon;

b. Identitas surat permohonan:

c. Sewaktu penerimaan surat permohonannya;

d. Identitasnya dokter yang membuat visum et repertum;

e. Identitasnya korban atau barang bukti yang dimohonkan visum et repertum;

f. Keterangan peristiwa dalam surat permohonan visum et repertum.

4) Bagian Pemberitaan, yakni hasil pemeriksaan dokter mengenai hal yang ia lihat dan temukan dalam barang buktinya;

5) Bagian Kesimpulan, yakni simpulannya dokter dalam menganalisa hasil pemeriksaan barang buktinya;

7 Ibid

(5)

17 6) Bagian Penutup, yakni pernyataan dari dokter yang berisi visum et repertum ini

dibuat berdasar sumpah dan janji sewaktu memegang jabatan;

7) Bagian kanan dibubuhkan nama dan tanda tangan beserta Cap dinas dokter yang memeriksa.

Dari bagian dalam visum et repertum di atas, keterangan sebagai pengganti barang bukti ialah di bagian pemberitaan. Sementara di bagian simpulan selaku opini subjektif dari dokter yang memeriksa.8

4. Fungsi Visum Et Repertum Dalam Proses Penanganan Delik Pidana

Bila membicarakan visum et repertum yang berkaitan dalam menetapkan tersangka dan membuktikan tindak pidana maka sebetulnya tergolong dalam cakupan sistem peradilan pidana yang terdiri dari 3 pemeriksaan yakni:

1. Penyelidikan atau penyidikan 2. Penuntutan

3. Pemeriksaan di depan sidang pengadilan

Dalam proses menyelesaikan suatu tindak pidana alat bukti adalah sesuatu yang sangat penting, sebab alat bukti bersangkutan berkaitan dengan ketiga tingkat pemeriksaan. Hal ini bisa dicermati bahwa dalam tahapan investigasi harus mengumpulkan bukti, sewaktu tahapan penuntutan maka penuntutannya bisa berjalan jika sudah memilki bukti yang dianggap cukup atau berkas perkaranya dianggap lengkap, sementara di tahapan pemeriksaan di

8 Wordpress,dewi37lovelight, Peranan Visum Et Repertum Dalam Penyidikan Di Indonesia Beserta Hambatan Yang Ditimbulkan,dewi37lovelight.wordpress.com, Diakses Pada 20 November 2020

(6)

18 depan meja persidangan maka pemeriksaannya difokuskan pada unsur tindak pidana selaku unsur tindakan dan pertanggungjawaban pidananya pelaku, sehingga pembuktian sebagai urat nadinya sistem peradilan pidana.

Mengenai alat bukti berupa Visum et Repertum, dalam kasus pencabulan hal tersebut segera dimintakan sesudah diterimanya laporan oleh penyidik. Dari pengaduan yang dterima, oleh penyidik selanjutnya dibuatkan Laporan Polisi yakni laporan tertulis dari petugas polisi mengenai terdapat pemberitahuan yang dilaporkan orang sebab hak/kewajiban berdasar UU, bahwa sudah atau tengah terjadi tindak pidana. Sesudah dibuatkan laporan polisi lalu dilaksanakan tahapan dalam mendapatkan Visum et Repertum yang tujuannya untuk melihat kondisi korban khususnya yang berhubungan dengan pembuktian unsur persetubuhan dan kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana pencabulan. Visum et Repertum harus secepatnya dibuat sesudah mendapat pengaduan tindak pidana pemerkosaan supaya kondisi korban tidak terlalu banyak terjadi perubahan dan bisa diketahui secepatnya sesudah terdapat tindak pidana pemerkosaan. Dalam tahapan untuk memperoleh Visum et Repertum bersangkutan, hanya bisa dilaksanakan oleh penyidik berdasar tugas dan wewenang yang dimiliki sesuai dengan ketentuan UU.

Fungsinya Visum et Repertum bisa dimaknai sebagai bagian dari tugas, teknik, dan proses yang bisa diikatkan dalam Visum et Repertum berdasar kedudukannya. Jika ditinjau dari fungsinya Visum et Repertum bisa dalam

(7)

19 menangani sebuah perkara, terutama pada penyusunan laporan ini, maka diartikan sebagai tugas, teknik dan proses yang bisa dilaksanakan dan/atau diberikan oleh Visum et Repertum yang berkedudukan dalam proses penyidikan sebuah tindak pidana perkosaan. Sebagai keterangan tertulis yang memuat hasil pemeriksaan dari dokter ahli terkait barang bukti dalam sebuah perkara pidana, maka visum et repertum berfungsi di bawah:

1. Selaku alat bukti yang sah, seperti yang tertuang dalam KUHAP Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 187 huruf c.

2. Bukti penahanan tersangka. Dalam sebuah perkara yang membuat penyidik harus melaksanakan penahanan tersangka tindak pidana, maka penyidiknya harus mengantongi bukti yang cukup dalam melaksanakan tindakan bersangkutan. Diantara buktinya ialah efek tindak pidana yang dilaksanakan oleh tersangka kepada korbannya. Visum et repertum dari Dokter ini bisa dipergunakan penyidik selaku pengganti barang bukti pelengkap surat perintah penahanan kepada tersangkanya.

3. Selaku bahan pertimbangan hakim. Walaupun bagian simpulan dari Visum et repertum tidak mengikat hakim, tetapi yang dipaparkan dalam bagian pemberitaan selaku bukti materiil dari suatu efek tindak pidaan dan bisa dipandang selaku pengganti baranhg bukti yang dokter lihat dan temukan. Sehingga bisa dipergunakan selaku bahan pertimbangan untuk hakim yang

(8)

20 tengah menyidangkan perkara bersangkutan .9

B. Pembuktian dalam tindak pidana

1. Pengertian Pembuktian Dalam Tindak Pidana

Asal kata istilah ”pembuktian”ialah dari kata ”bukti” yakni “suatu hal yang menyatakan kebenaran sebuah kejadian”, dan dengan awalan “pem” dan akhiran ”an”, maka pembuktian diartikan dengan “proses tindakan, cara membuktikan suatu hal yang menyatakan kesahihan suatu kejadian”. Selanjutnya definisi membuktikan yang memperoleh awalan ”mem” dan akhiran ”an”, diartikan dengan menunjukkan bukti, meyakinkan berdasar bukti”.10

Pembuktian menjadi subset penting dalam menemukan keberanan materiil pada proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental yang diberlakukan di negara ini memakai keyakinan hakim untuk memandang alat bukti dengan keyakinan pribadinya. Dalam pembuktian ini, hakim haruslah mempertimbangkan kepentingannya masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat ini maksudnya ialah seseorang yang melaksanakan tindak pidana harus mendapat sanksi untuk terwujudnya hidup yang aman, sejahtera dan stabilitas di masyarakat. Sementara kepentingannya terdakwa artinya terdakwa seharusnya mendapat perlakun yang adil berdasar asas Presumption of Innocence. Sehingga hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa sebanding dengan kesalahan yang ia perbuat.

9 Djoko Prakoso, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988

10 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Departemen P & K, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.

133.

(9)

21 Berbagai ahli hukum mengartikan pembuktian ini dengan kata membuktikan.

Pandangan Sudikno Mertokusumo11 secara yuridis, membuktikan ialah memberikan daar yang cukup terhadap hakim pemeriksa perkara yang dimintakan. Pendapat lain dari Subekti, yakni membuktikan ialah meyakinkan hakim mengenai kebenaran dalil atau dalil yang diungkapkan dalam sebuah sengketa.12

Dari definisi sejumlah ahli bersangkutan, maka membuktikan bisa dipahami dengan proses menerangkan kedudukan hukum kedua pihak, sehingga hakim bisa menyimpulkan siapakah yang benar dan yang salah. Proses pembuktian atau membuktikan memiliki maksud dan usaha untuk mengungkapkan kebenaran terkait kejadian tertentum, sehingga bisa diterima secara logika atas kebenaran kejadian bersangkutan.13 Pembuktian dimaknai dengan benar sebuah peristiwa pidana sudah berlangsung dn terdakwa yang bersalah melaksanakannya, sehingga harus mempertanggung jawabkan atas perbuatannya.14

Pembuktian ialah ketentuan yang memuat penggarisan dan pijakan mengenai langkah-langkah yang dianggap benar menurut UU membuktikan kesalahan yang didakwakan ke terdakwanya. Pembuktian juga dipahami dengan aturan yang mengatur alat bukti yang dianggap benar oleh UU dan boleh digunakan oleh hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan ke terdakwanya.15

Hukum pembuktian ialah bagian dari hukum acara pidana yang mengatur beragam alat bukti yang sah sesuai hukum, sistem yang berlaku dalam pembuktian,

11 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 35.

12 Subekti., 2001, Hukum Pembuktian, Jakarta : Pradnya Paramitha, hlm. 1

13 Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta:

Pradnya Paramitha, hlm. 11.

14 Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hlm. 133

15 M.Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 273

(10)

22 persyaratan dan prosedur melakukan pengajuan bukti bersangkutan serta kewenangannya hakim untuk menerima, menolak dan memberi penilaian atas pembuktian pidana.16

Kitab KUHAP tidak mengungkap penjelasan terkait definisi pembuktian.

KUHAP hanya berisi peran pembuktian pada pasal 183 yakni hakim tidak diperbolehkan memutus pidana terhadap orang melainkan jika minimal ada 2 alat bukti yang sah, beliau berkeyakinan bahwa sebuah tindak pidana betul-betu ada dan terdakwa bersangkutan yang bersalah melaksanakannya.

2. Teori-Teori Sistem Pembuktian

Dari segi teoritisnya, ada 4 teori terkait sistem pembuktian yakni:

a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Semata

Sistem ini memuat bahwa salah atau tidak atas tindakan yang didakwakan, seutuhnya bergantung dari penilaian “keyakinan” hakim saja. Sehingga terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak, dipidana ataukah tidak seutuhnya tergantung dari keyakinannya hakim. Keyakinan tersebut tidak mesti muncul atau berdasar alat butki yang ada. Meskipun alat buktinya cukup tetapi hakim tidak memiliki keyakinan, maka hakim tidak diperkenankan memutus pidana, kebalikannya walaupun alat buktinya tidak ada namun hakim telah meyakininya maka terdakwa bisa dikatakan bersalah, sehingga dalam memutus perkara hakim bersifat sangat subjektif.

Kelemahannya sistem ini ialah begitu banyak memberi kepercayaan ke hakimnya, terhadap kesan individu sehingga susah dalam pengawasannya. Hal ini

16 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hlm. 10

(11)

23 bisa ditemukan di praktek peradilan Prancis yang melakukan pertimbangan berdasar metode ini, sehingga membuahkan putusan bebas yang aneh. 17

b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis

Sistem pembuktian ini masih menitikberatkan pada penilaian keyakinannya hakim selaku satu-satunya pijakan dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, namun keyakinannya ini harus diimbangi dengan pertimbangan hakim yang riil, logis, dan rasional. Keyakinannya hakim ini tidak harus ditunjang denga alat bukti sah sebab bukanlah sebuah persyaratan, walaupun alat bukti sudah ditentukan dalam UU namun hakim bisa memakai alat bukti selain yang disebut dalam UU. Hal yang ditekankan ialah keyakinannya hakim ini harus bisa diterangkan dengan argument yang logis.

Keyakinannya hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasari oleh

“reasoning” atau alasan dan argument ini haruslah “reasonable” yaitu berdasar alasan yang bisa diterima oleh akar dan penalaran, tidak hanya berdasar keyakinan yang tak berbatas. Sistem ini biasa dinamakan dengan sistem pembuktian bebas.18

c. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Positif.

Sistem ini kedudukannya berhadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, sebab dalam sistem ini meyakini bahwa penentuan salah atau tidak terdakwa berdasar pada adanya alat bukti sah berdasar UU yang bisa dipergunakan untuk

17 Andi Hamzah, 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:Ghana Indonesia, hlm. 241

18 Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung : Citra Aditya, hlm. 56

(12)

24 membuktikan kesalahannya terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengesampingkan dan betul-betul tidak memperhatikan keyakinannya hakim.

Sehingga meskipun hakim meyakini kesalahan yang diperbuat terdakwanya, namun dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan tidak ditunjang alat bukti yang sah berdasar UU maka terdakwa bersangkutan bisa dinyatakan bebas.

Biasanya jika terdakwa telah sesuai dengan tahap pembuktian dan alat bukti yang sah berdasar UU maka terdakwa bersangkutan dapat dikatakan bersalah dan dijatuhkan pidana. Sisi positifnya sistem ini ialah hakuim akan berupaya membuktikan kesalahannya terdakwa dan tidak mendapat pengaruh dari nuraninya sehingga betul-betul objektif sebab berdasar prosedur dan alat bukti yang sesuai dengan UU. Sementara kelemahan sistem ini ialah tidak memberi kepercayaan terhadap kesan individu hakim yang berseberangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari ialah kebenaran format, sehingga sistem ini dipergunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijkbewijs theori system di benua Eropa digunakan sewaktu berlakunya hukum acara pidana, yang sifatnya inquisitor. Ketentuan itu beranggapan bahwa terdakwa selaku objek pemeriksaan saja dan hakim selaku alat perlengkapannya.19

d. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif.

Berdasarkan teori ini, hakim diperbolehkan memutuskan pidana jika paling tidak alat buktinya sudah sesuai dengan ketentuan UU dan ada keyakinan hakim yang diperoleh dari keberadaan alat bukti itu. Pada pasal 183 KUHAP berbunyi bahwa: "hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

19 D. Simons. Dalam Darwin Prinst, 1998, Op.Cit. hlm. 65

(13)

25 dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah serta memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya".20

Berdasar aturan pada pasal 183 KUHAP tersebut, bisa diambil simpulannya yakni KUHAP menggunakan sistem pembuktian sesuai UU yang negative.

Artinya dalam pembuktian memerlukan penelitian, apakah terdakwanya memiliki alasan yang cukup dan disertai alat bukti yang sesuai dengan UU (paling tidak 2 alat bukti) dan jika ia dinilai cukup, barulah dipertanyakan apakah ada keyakinan hakim atas kesalahannya terdakwa bersangkutan.

Teori pembuktian berdasar UU negative ini biasa dinamakan dengan negative wettelijk yang artinya wettelijk berdasar UU sementara negative berarti meskipun dalam sebuah perkara disertai bukti yang cukup dengan UU, maka hakim belum diperbolehkan untuk memutus hukuman sebelah ia meyakini atas kesalahannya terdakwa itu.21

Pada sistem pembuktian yang negative, alat bukti limitatief diatur berdasar UU dan bagaimanakah cara hakim menggunakannnya juga terdapat dalam aturan UU. Dalam sistem UU yang terbatas atau UU negative selaku inti yang termuat dalam Pasal 183, bisa diambil simpulannya yakni:22

a) Tujuan final pembuktian untuk memutuskan perkara pidana, yang bila sesuai dengan persyaratan pembuktian bisa memberikan pidana,

b) Standar mengenai hasil pembuktian untuk memberikan pidana.

20 Ibid

21 M. Yahya Harahap. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 319

22 Ibid

(14)

26 Kelebihannya sistem pembuktian negative ialah dalam membuktikan salah dan tidaknya terdakwa yang melaksanakan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya, jaksa tidak seutuhnya hanya menggunakan alat bukti yang caranya sesuai dengan UU, namun juga diimbangi dengan keyakinan bahwa terdakwa bersalah melaksanakan tindak pidana.

. Keyakinan yang terungkap benar-benar bisa dipertanggung jawabkan dan sebagai kebenaran yang hakiki. Pembentukannya harus mengacu dengan fakta- fakta yang didapatkan alat bukti yang sudah ditetapkan dalam Undang-Undang, sehingga dalam proses pembuktian sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran yang hakiki, maka kecil kemungkinannya terjadi kesalahan dalam memberikan putusan ataupun penerapan hukum yang digunakan. 23

Kelemahan dari ini adalah hakim hanya diperbolehkan memberi putusan pidana jika minimal sudah ada alat bukti secara sah yang sudah disebutkan di dalam Undang-Undang, kemudian dengan kenyakinan hakim yang didapatkan dari berbagai barang bukti tersebut, sehingga justru akan memperlambat waktu dalam membuktikan bahkan memutuskan sebuah tindak pidana, karena disatu sisi proses pembuktian harus melalui sebuah penelitian.

3. Prinsip Pembuktian Perkara Pidana

Ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam pembuktian pidana yaitu : 24 a) Hal-hal yang dimuat di dalam KUHAP.

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yaitu; Segala hal yang secara umum sudah diketahui tidak harus dilakukan pembuktian atau

23 Supriyadi Widodo Eddyono, Catatan Kritis Terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , Jakarta: Elsam. hlm. 3.

24 Hari Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hlm. 20.

(15)

27 dinamakan dengan notofe feoten. Secara garis beras fakta notoke terbagi menjadi sua jenis yaitu;

1. Sesuatu ataupun peristiwa yang diketahui umum jika sesuatu ataupun peristiwa tersebut memang sudah sedemikian halnya ataupun semestinya demikian. Sesuatu dalam hal ini contohnya adalah, harga emas lebih mahal dibandingkan perak. Kemudian peristiwa dalam hal ini contohnya adalah, pada tanggal 17 Agustus dilakukan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia.

2. Sesuatu realita ataupun pengalaman yang selamanya dan selalu menyebabkan demikian ataupun menjadi kesimpulan demikian. Sebagai contoh, arak merupakan salah satu minuman keras yang dalam takaran tertentu dalam memabukkan seseorang;

b) Kewajiban seorang saksi.

Kewajiban dari seseorang yang menjadi saksi dijelaskan dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP dimana; Seseorang yang menjadi saksi sesudah dipanggil ke sebuah persidangan untuk memberikan keterangan namun karena menolaknya maka ia akan dikenai pidana sesuai dengan ketentuan perundang-perundangan yang berlaku, begitupun dengan ahli;

c) Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis).

Prinsip tersebut ada dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menjelaskan jika keterangan seorang saksi saja tidak cukup sebagai dasar pembuktian jika terdakwa bersalah terhadap tindakan yang didakwakan padanya. Menurut

(16)

28 KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat.

Hal tersebut bisa ditarik kesimpulan dari penjelasan pada Pasal 184 KUHAP yaitu

"Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah".

d) Pengakuan terdakwa tidak menghilangkan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.

Prinsip tersebut adalah penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang tidak dikenakan oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 189 ayat (4) KUHAP menjelaskan jika: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.”

e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri.

Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menjelaskan jika: "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Artinya apa yang disampaikan terdakwa dimuka persidangan hanya boleh diterima dan diakui menjadi alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa itu sendiri. Pengertian dalam asas ini, apa yang dijelaskan seseorang dalam persidangan yang ditetapkan menjadi terdakwa, hanya bisa digunakan menjadi alat bukti terhadap dirinya sendiri. Pada sebuah kasus terdakwa lebih dari satu orang, setiap keterangan dari masing-masing terdakwa hanyalah sebagai alat bukti yang mengikat untuk dirinya sendiri. Apa yang disampaikan terdakwa A tidak bisa digunakan untuk terdakwa B, begitupun sebaliknya.

C. Tindak Pidana Pencabulan

(17)

29 1. Pengertian Tindak Pidana

Di dalam KUHP tindak pidana diistilahkan dengan strafbaarfeit dan dalam teori hukum banyak dinamakan dengan delik. Kemudian pembuat undang-undang merumuskan sebuah undang-undang, menggunakan istilah peristiwa pidana ataupun tindak pidana.

Kemudian pendapat dari Simons (Kansil, 2001: 106) menjelaskan jika tindak pidana merupakan perilaku manusia yang berlawanan hukum. Tindakan mana yang dilakukan oleh seseorang yang dipertanggung jawabkan, bisa diisyaratkan kepada si pelakunya atau pembuat. Tindak pidana adalah sebuah istilah yang memuat sebuah pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberi ciri khusus dalam peristiwa hukum pidana.

Tindak pidana memiliki definisi yang abstrak dari berbagai peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana harus diartikan dengan sifat ilmiah dan ditentukan secara jelas untuk bisa membedakan dengan istilah yang digunakan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat.25

Berbagai pakar asing hukum pidana memakai istilah tindak pidana ataupun perbuatan pidana ataupun peristiwa pidana, dengan istilah:

a. Strafbaar feit merupakan peristiwa pidana;

b. Strafbare handlung diartikan dengan tindak pidana, yang dipakai para sarjana hukum pidana jerman; dan

c. Criminal act diartikan dengan Tindakan Kriminal.

25 Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm: 18

(18)

30 Dalam bahasa Belanda delik diartikan dengan “Strafbaarfeit”, yang terbentuk dari tiga suku kata, yakni straf, baar dan feit. Yang masing-masing mempunyai makna:26 a. Straf berarti pidana dan hukum;

b. Baar berarti dapat dan boleh;

c. Feit berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Sehingga kata “Strafbaarfeit” merupakan peristiwa yang bisa dipidana ataupun perbuatan yang bisa dipidana. Kemudian dalam bahasa asing delik diartikan dengan

“delict” yang berarti sebuah tindakan yang pelakunya bisa dikenai hukuman atau pidana.

Delik merupakan sebuah tindakan yang dilarang dan terancam hukuman oleh undang-undang.27 Strafbaarfeit itu sebenarnya ialah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.” 28Sementara Jonkers menyatakan jika Strafbaarfeit adalah peristiwa pidana yang diartikan menjadi “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.29 Kemudian Simons menyatakan Strafbaarfeit dengan sebuah tindakan melawan hukum yang sudah dilaksanakan secara sengaja oleh seseorang yang bisa dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dan yang oleh undang-undang sudah dinyatakan sebagai sebuah tindakan yang bisa dipidana.30

26 Ibid

27 Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm: 19

28 Ibid

29 Ibid:20

30 Ibid

(19)

31 Pendapat dari S.R Sianturi merumuskan jika tindak pidana merupakan sebuah tindakan pada, tempat, waktu, dan kondisi tertentu yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang yang sifatnya melanggar hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang.31

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Semua unsur tindak pidana bisa dibedakan menjadi dua perspektif, takni teoritis dan Undang-Undang. Teoritis berarti sesuai dengan pendapat para ahli hukum, yang tergambar dalam bunyi penjelasannya.Sementara itu, sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi

Semua unsur yang terdapat dalam tindak pidana ialah melihat bagaimanakah bunyi rumusannya. Sebagai contohnya, diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritis yang sudah dibicarakan di muka yakni: Moelijatno, R.Tresna, Vos, Jonkers, dan Schravendijk.32 Pendapat dari Moeljatno, unsur tindak pidana merupakan tindakan yang dilarang secara hukum dan diancam pidana bagi yang melawan larangannya.

Secara hukum tindakan manusia ada yang tidak boleh dilakukan. Menurut kata majemuk tindak pidana, maka pokok pengertiannya terdapat pada tindakannya itu sendiri, namun tidak dipisahkan dengan orang yang melakukannya. Ancaman pidana mencerminkan jika tidak selalu tindakan itu dalam realitanua harus benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah

31 Ibid:22

32Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:79

(20)

32 pengertian yang bersifat umum, yang berarti secara umum akan dikenai pidana.

Apakah “in concreto” orang yang melakukan tindakan tersebut dikenai pidana atau tidak adalah hal lain dari istilah tindak pidana.33

Menurut pendapat dari R. Tresna di muka, jika tindak pidana terbagi dari unsur; tindakan manusia; yang bertolak belakang dengan peraturan perundang- undangan; dan dilakukan tindakan penghukuman.34

Dari semua unsur di atas, kalimat diadakan tindakan penghukuman, ada penjelasan jika seolah-seolah tindakan yang dilarang tersebut selalu disertai dengan penghukuman. Lain halnya dengan Moejatno, karena kalimatnya diancam pidana, artinya tindakan tersebut tidak selalu dan tidak dengan demikian dikenai pidana. Meskipun memiliki kesan jika setiap tindakan yang berlawanan dengan Undang-Undang pasti disertai dengan hukuman, akan tetapi dalam unsur tersebut tidak ada kesan perihal syarat-syarat subjektif yang melekat pada pelakunya untuk bisa dikenakan hukuman.

Sesuai dengan bunyi batasan yang dibuatm dapat disimpulkan berbagai unsur pidana yaitu; perilaku manusia; diancam dengan pidana dan dalam peraturan perundang-undangan.

Dapat ditinjau jika pada ketiga unsur batasan penganut pahal dualism tersebut, tidak terdapat perbedaan, yakni jika tindak pidana tersebut yaitu tindakan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang, dan diancam pidana bagi siapa saja yang melakukannya. Dari berbagai unsur ada terlihat jelas jika semua unsurnya tidak terkait dengan si pembuat ataupun dipidanannya pembuat, semata-

33 Ibid

34 Ibid:80

(21)

33 mata tentang tindakannya.35 Namun apabila dibandingkan dengan perspesi penganut paham monism, memang nampak sekali berbeda. Dalam hal ini penulis hanya mengambil dua rumusan saja yang di atas sudah dijelaskan, yakni Jonkers dan Schravendijk. Dari batasan yang dibuat oleh Jonkers (penganut paham monoisme) bisa dirinci berbagai unsur tindak pidana yaitu; tindakan yang melanggar ketentuan hukum yang berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh seseorang yang bisa dan dipertanggung jawabkan. Kemudian Schravendijk dalam batasan yang ia buat dengan panjang lebar tersebut, menjelaskan apabila dirinci ada berbagai unsur yaitu; kelakuan seseorang yang bertentangan dengan keinsyafan hukum, diancam dengan hukuman; dilaksanakan oleh seseorang yang bisa dipersalahkan36

Meskipun rincian dari tiga rumusan tersebut nampaknya berbeda, akan pada berbagai unsur tekait dengan tindakannya dengan unsur yang terkait dengan diri pribadi orangnya..

b. Unsur rumusan tindak pidana dalam undang-undang

Buku II KUHP mencantumkan berbagai rumusan terkait dengan tindak pidana tertentu yang termasuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku II mencantumkan pelanggaran. Ternyata ada unsur yang terus disebutkan dalam setiap rumusan, yakni tentang perilaku atau tindakan meskipun ada pengecualian misalnya Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum terkadang dituliskan, dan banyak juga yang tidak dituliskan; sama sekali tidak dituliskan tentang unsur kemampuan bertanggung jawab. Selain itu banyak

35 Ibid:81

36 Ibid

(22)

34 menuliskan unsur lain baik seputaran objek kejahatan ataupun tindakan secara khusus untuk pernyataan tertentu37

Dari berbagai rumusan tindak pidana tertentu pada KUHP tersebut, bisa dilihat jika ada 11 unsur tindak pidana, yang meliputi;

1. Unsur tingkah laku;

2. Unsur melawan hukum;

3. Unsur kesalahan;

4. Unsur akibat konstitutif;

5. Unsur keadaan yang menyertai;

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

7. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

9. Unsur objek hukum tindak pidana;

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Berdasarkan 11 unsur diatas, antara lain dua unsur, yakni kekeliruan serta bertentangan dengan hukum yang termasuk unsur subjektif, sementara selebihnya berwujud unsur objektif. Unsur yang bertentangan dengan hukum terkadang bersifat objektif, sebagai contoh melawan hukumnya tindakan mengambil pada pencurian.38 Diketahui dalam mengambil itu di luar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum objektif). Atau pada Pasal 251 KUHP pada kalimat

“menggunakan cap asli secara melawan hukum” adalah berupa melawan hukum

37 Ibid

38 Pasal 362 KUHP

(23)

35 objektif. Akan tetapi, ada juga melawan hukum subjektif misalnya melawan hukum dalam penipuan (oplicbting, Pasal 378), pemerasan (afpersing, Pasal 368), pengancaman (afdreiging, Pasal 369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.39 Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (Pasal 372) yang bersifat subjektif, yang berarti ada kesadaran bila mempunyai benda orang lain yang terdapat pada kekuasaannya itu adalah celaan masyarakat.40

Tentang kapan unsur melawan hukum tersebut yaitu bertentangan dengan hukum objektif atau subjektif yang tergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana tersebut. Unsur yang sifatnya objektif yaitu seluruh aspek yang ada di luar kondisi batin manusia/si pembuat, yakni seluruh aspek tentang tindakannya, dampak perbuatan serta kondisi khusus yang melekat (sekitar) pada tindakan serta objektif tindak pidana. Sedangkan, unsur yang sifatnya subjektif yaitu seluruh aspek tentang batin atau melekat dalam keadaan batin orangnya.41

3. Jenis-jenis Tindak Pidana

Untuk membahas hukum pidana, kemudian bisa didapatkan bermacam-macam tindak pidana yang terjadi pada kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana dapat dibagi sesuai dengan dasar-dasar tertentu, yaitu:42

39 Pasal 251 KUHP

40 Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT Raja Grafindo Persada, hlm:82

41 Ibid:83

42 Ilyas, Amir, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana sabagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm: 28-34

(24)

36 a. Berdasarkan sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat pada Buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran terletak pada jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Hal tersebut terlihat dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, namun berupa pidana kurungan dan denda, sementara itu kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara.

b. Dari cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formal dan tidak pidana materiil. Tindak pidana formil ialah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti jika inti larangan yang dirumuskan tersebut yaitu melakukan sebuah tindakan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak membutuhkan ataupun tidak membutuhkan munculnya sebuah akibat tertebntu dari tindakans ebagai syarat penyelesaian tindak pidana, akan tetapi semata-mata karena tindakan yang dilakukannya.

c. Menurut dengan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak secara sengaja. Tindak pidana sengaja ialah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan unsur kesengjaaan ataupun mengandung unsur kesengajaan. Kemudian tindak tidak sengaja yaitu tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur kesengajaan.

d. Menurut jenis-jenis tindakannya, bisa dikelompokkan menjadi tindak pidana aktif/positif bisa pula dinamakan tindak pidana komisi serta tindak pidana pasif/negative, dinamakan pula tindak pidana omisi. Tindak pidana aktif merupakan tindak pidana yang tindakannya berwujud tindakan aktif, perbuatan

(25)

37 aktif merupakan perbuatan yang dalam merelisasikannya disyarakatkan terdapat gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Lewat berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini ada baik pada tindak pidana yang dirumuskan dengan formil ataupun materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan pada KUHP merupakan tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif terdapat dua macam yakni tindak pidana pasif murni serta tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni merupakan tindak pidana yang disusun dengan formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.

e. Menurut dengan saat dan jangka waktu terjadinya, maka bisa dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tidak pidana terjadi dalam waktu yang lama ataupun berlangsung lama atau berlangsung terus. Tindak pidana yang dirumuskan sedemikan rupa sehingga terciptanya dalam waktu sesaat ataupun waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

(26)

38 f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan III).

Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.

g. Dilihat dari sudut subjektif, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang harus dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.

h. Menurut perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntut, maka dibedakan antara tindak pidana dan tindak pidana aduan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan tindak pidana biasa yaitu tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap tindakannya, tidak dipersyaratkan ada pengaduan diri yang berhak, sedangkan tindak aduan yaitu tindak pidana yang bisa dilakukan penuntutan pidana jika terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengadukan, yaitu korban ataupun wakilnya dalam perkara perdata, ataupun keluarga tertentu dalam kondisi tertentu ataupun seseorang yang mendapatkan kuasa khusus untuk mengadukan oleh orang yang berhak.

(27)

39 i. Menurut berat-ringannya pidana yang diancamkan, kemudian bisa dikelompokkan diantara tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana yang diperberat serta tindak pidana yang diperingan. Dikaji berdasarkan berat ringannya, terdapat tindak pidana tertentu yang dibentuk kedalam:

1. Dalam bentuk pokok dinamakan pula bentuk sederhana maupun bisa pula dinamakan bentuk standar;

2. Dalam bentuk yang diperberat; dan 3. Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana berupa pokok dirumuskan dengan lengkap, yang berarti seluruh unsurnya tertera pada rumusan, sedangkan dalam rumusan yang diperberat maupun diperingan, tidak mengulang lagi unsur-unsur jenis pokok itu, melainkan hanya menyampaikan kualifikasi jenis pokoknya maupun pasal bentuk pokoknya, selanjutnya disampaikan maupun meringankan dengan tegas pada rumusan.

Sebab terdapat faktor pemberatnya maupun faktor peringannya, ancaman pidana untuk tindak pidana pada bentuk yang diperberat maupun yang diperingan tersebut menjadi semakin berat maupun semakin ringan dibandingkan bentuk pokoknya.

j. Menurut kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana macamnya tidak terbatas, sangat tergantung dari kepentingan umum yang diindungi dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Sistematika pengelompokkan tindak pidana bab per bab dalam KUHP didasarkan pada kepentingan hukum yang dilindungi. Menurut kepentingan hukum yang dilindungi ini maka dijelaskan seperti pada buku II KUHP. Untuk melindungi kepentingan hukum ada keamanan

(28)

40 Negara, dibentuk rumusan kejahatan terhadap keamana Negara (Bab I KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum bagi kelancaran tugas-tugas bagi penguasa umum, dibnetuk kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII KUHP), untuk melindungi kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi dibentuk tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII KUHP), Penggelapan (Bab XXIV KUHP), Pemerasan dan Pengancaman (Bab XXIII KUHP) dan seterusnya..

k. Berdasarkan sisi berapa kali tindakan bisa menjadi sebuah larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal dengan tindak pidana berangkai. Tindak pidana tunggal merupakan tindak pidana yang disusun sedemikian rupa jadi bila dipandang selesainya tindak pidana serta bisa dipidananya pelaku cukup dilaksanakan satu kali tindakan saja, mayoritas tindak pidana dalam KUHP yaitu berwujud tindak pidana tunggal. Sedangkan tindak pidana berangkai yaitu tindak pidana yang disusun sedemikian rupa jadi bila dipandang selesai serta bisa dipidananya pelaku, disyarakatkan dijalankan dengan berulang.

4. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan dan Jenisnya 1. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

Perbuatan pencabulan adalah tindakan kriminal yang berwatak seksual yang terjadi pada saat seorang manusia memaksa manusia yang lainnya untuk berhubungan seksual yang berbentuk penetrasi vagina dengan penis, secara paksa atau dengan cara-cara kekerasan. Dalam KBBI, pencabulan berasal dari kata

(29)

41 cabul yang berarti keinginan atau perbuatan yang tidak senonoh . Sedangkan pencabulan diartikan sebagai proses, cara, perbuatan cabul atau melanggar kesopanan atau kesusilaan.43

Kata pencabulan berasal dari bahasa latin “rapere” yang artinya mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi.44 Pada zaman dahulu tindak pidana pencabulan banyak dilakukan untuk memuaskan hasrat nasfsu birahi dan tindak pidana pencabulan tidak hanya dalam bentuk persetubuhan akan tetapi semua bentuk serangan yang melibatkan alat kelamin yang dilakukan dengan kekerasan serta pemaksaan dari pelaku kepada korban..

Tindak pidana pencabulan seperti yang ditetapkan pada KUHP Pasal 287 yang bunyinya: ‘’Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena pencabulan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun’’45

Pada pasal 287 KUHP terdapat syarat mengenai keharusan terdapatnya persetubuhan yang bukan istrinya diiringi ancaman kekerasan. Pencabulan dilihat dari penetrasi penis kepada lubang vagina terkait hubungan seks yang diiringi ancaman serta kekerasan fisik pada diri korban oleh pelaku. Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bila yang disebut dengan pencabulan ialah :

a. Sebuah hubungan kelamin yang dilarang karena tidak ada persetujuan dengan seorang wanita.

43 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia(t:t Gitamedia Press, t.t), hlm. 453.

44Hariyanto, Dampak Sosio Psikologis Korban Tindak Pidana Perkosaan Terhadap Wanita, (Jogjakarta : Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997), hal. 97.

45 KUHP Pasal 287 tentang perkosaan

(30)

42 b. Persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria kepada seorang wanita yang dijalankan melalui pemaksaan serta berlawanan dengan keinginan wanita tersebut.

c. Perbuatan hubungan kelamin yang dijalankan seorang pria kepada seorang wanita selain istrinya maupun tidak ada persetujuanya, dilancarkan saat wanita itu merasa ketakutan.

2. Jenis – Jenis Pencabulan

Dilihat dari motif pelaku menjalankan tindak pidana pencabulan bisa dikategorikan kedalam berbagai motif antara lain :

a. Seductive Rape

Pencabulan yang terjadi akibat pelaku merasa nafsu birahinya terangsang, serta sifatnya subjektif. Umumnya pencabulan sejenis ini akibat diantara keduanya telah saling mengenal contohnya: pencabulan oleh pacar, pencabulan oleh anggota keluarga serta pencabulan oleh teman.

b. Sadistic Rape

Pencabulan yang dilaksanakan dengan sadis. Untuk hal ini pelaku memperoleh kepuasan seksual tidak dari hubungan tubuhnya tetapi tindak kekerasan yang dijalankan pelaku pada korban.

c. Anger Rape

Pencabulan yang dilaksanakan menjadi ungkapan marah pelaku.

Pencabulan sejenis inti umumnya diiringi perbuatan brutal pelakunya dengan

(31)

43 fisik. Kepuasan seksual bukanlah sebuah tujuanya akan tetapi melampiaskan rasa marahnya.

d. Domination Rape

Dalam hal ini pelaku ingin memperlihatkan dominasinya terhadap korban kekerasan fisik tidak sebagai tujuan utama korban karena yang menjadi tujuan utamanya yaitu pelakunya ingin menguasai korban secara seksual dengan demikian pelaku bisa memperlihatkan jika ia berkuasa atas orang tertentu.

Sebagai contoh: Pencabulan yang dilakukan oleh seorang majikan kepada pembantunya.

e. Exploitasion Rape

Pencabulan jenis ini dapat terjadi akibat ketergantungan korban pada pelaku, baik ekonomi maupun social. Terkait hal ini pelaku tidak memakai kekerasan fisik akan tetapi pelaku bisa memaksakan kehendaknya kepada korban.46

Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pencabulan antara lain:

a) Faktor intern antara lain :

1. Faktor lingkungan keluarga 2. Faktor ekonomi keluarga 3. Faktor tingkat pendidikan 4. Faktor agama atau moral.

b) Faktor ekstern antara lain:

1. Faktor lingkungan sosial

46 Topo Santoso, Seksualitas dan Pidana, (Jakarta: In Hill, 1997), hal. 92-93.

(32)

44 2. Faktor perkembangan ilmu tehnologi

3. Faktor kesempatan.47

3. Unsur –unsur Tindak Pidana Pencabulan

Unsur-unsur tindak pidana perkosaan ditetapkan serta diancam pidana sebagaimana yang terdapat pasal 287 KUHP antara lain :

1. Unsur Objektif yang terdiri dari : a. Unsur barang siapa.

b. Melakukan Pencabulan

c. Unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan d. Unsur melawan hukum

2. Unsur Subjektif yang terdiri dari : a. Perempuan yang bukan istrinya.

b. Niat

c. Memaksa bersetubuh.

Unsur terhadap kekerasan maupun ancaman kekerasan adalah sebuah tindakan yang dilakukan tenaga serta badan yang bisa menjadikan seseorang pingsan maupun tidak berdaya, luka maupun tertekan jadi membuat seseorang merasakan takut yang mendalam.

Dalam membuktikan ada tidaknya tindak pidana pencabulan berpedoman pada alat-alat bukti yang sudah diautur pada pasal 184 KUHP yakni:

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli

47Hakrisnowo, Hukum Pidana Perpektif Kekerasan tehadap Wanita, (Jogjakarta: Jurnal Studi Indonesia, 2000), hal. 54.

(33)

45 c. Alat bukti surat

d. Alat bukti petunjuk e. Keterangan terdakwa.

Referensi

Dokumen terkait

Jika jumlah saluran yang melayani hanya terdiri dari satu saluran, maka panggilan yang dibangkitkan oleh sumber pertama pada menit ke 2 tidak bisa langsung dilayani.. Pada system

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

bahwa meskipun terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, akan tetapi karena

Banding, Kasasi, Peninjauan kembali, Grasi dan eksekusi untuk perdata, Berdasarkan Laporan dari Kepaniteraan Pidana dan Perdata.. Data tentang penerimaan perkara pidana dan

Pembangunan jalan tersebut juga akan memudahkan akses jalan untuk anak-anak menuju sekolah, masyarakat lebih kreatif dalam memanfaatkan sarana jalan yang telah

diantaranya yakni kebijakan pemerintah, penetapan peraturan perundang-undangan, atau bahkan putusan pengadilan. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Warga Negara

Penelitian sebelumnya yang mendukung adalah Pratiwi (2013) tentang pola asuh orangtua dengan perkembangan mental anak pada proses tumbuh kembang, yang menyatakan bahwa pola

kan dalam misi, namun sekolah/madrasah masih perlu untuk mengembangkan ber- bagai strategi untuk penyusunan program yang lebih detail. Dalam konteks organi- sasi sekolah,