• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI TRAUMA MEKANIK DAN KARAKTERISTIK KORBAN HIDUP PERLUKAAN DI RSUD DR. R. M. DJOELHAM BINJAI TAHUN 2020 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI TRAUMA MEKANIK DAN KARAKTERISTIK KORBAN HIDUP PERLUKAAN DI RSUD DR. R. M. DJOELHAM BINJAI TAHUN 2020 SKRIPSI"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI TRAUMA MEKANIK DAN KARAKTERISTIK KORBAN HIDUP PERLUKAAN DI RSUD DR. R. M.

DJOELHAM BINJAI TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh :

SOFYA SUGI SETYAWATI SEMBIRING 180100016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

PREVALENSI TRAUMA MEKANIK DAN KARAKTERISTIK KORBAN HIDUP PERLUKAAN DI RSUD DR. R. M.

DJOELHAM BINJAI TAHUN 2020

SKRIPSI

Oleh :

SOFYA SUGI SETYAWATI SEMBIRING 180100016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi Trauma Mekanik dan Karakteristik Korban Hidup Perlukaan di RSUD Dr. R. M. Djoelham Binjai Tahun 2020” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis inginn menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga penulis, terutama orang tua penulis, alm. Sopian Sembiring dan Nurhayati Sihotang, yang selalu mendukung dan memberikan nasihat, semangat, bantuan, doa dan kasih sayang kepada penulis sepanjang hidupnya. Begitupun dengan Saudara penulis, Alvanrius Sembiring, Rio Sedana Sembiring, Fajar Indo Sembiring, dan Enda Harto Sembiring yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayang kepada penulis.

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Suatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) beserta jajarannya.

3. Dosen pembimbing dr. Agustinus Sitepu, M.Ked(For), Sp.F yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bantuan, arahan, masukan, dan ilmu dalam membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Ketua penguji, Ibu Neni Dwi Aprianti Lubis, SP, M.Gizi dan Dr. dr.

Dedy Hermansyah, SpB(K), Onk selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik, masukan, dan koreksi yang sangat membangun dan membantu penulis selama proses pembuatan skripsi ini berlangsung.

5. Dosen penasihat akademik, dr. Muhammad Arfiza Putra Saragih Sp.THT-KL yang sudah membimbing, memberikan arahan, saran, dan

(5)

semangat motivasi selama penulis menempuh pendidikan kedokteran S1 di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan bantuan yang telah diberikan dari awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat penulis, Anggi Annisa Putri Nasution, Ridha Inayah Panggabean, Anita Khoriah Harahap, dan Firdha Khairani yang senantiasa memberikan kegembiraan dan dukungan selama bersama berjuang dalam dunia perkuliahan.

8. Senior dan sejawat penulis yang memberikan bantuan, arahan, masukan, dan nasihat yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengutarakan permintaan maaf aras kekurangan skripsi ini dan mengharapkan kritik serta saran agar penulis dapat menyempurnaan skripsi ini. Besar harapan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Medan, 21 Desember 2021 Penulis,

Sofya Sugi Setyawati Sembiring

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 3

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 4

1.3.1 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan Khusus ... 4

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 5

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 5

1.4.2 Bagi Institusi ... 5

1.4.3 Bagi Peneliti ... 5

1.4.4 Manfaat Praktis ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 ILMU FORENSIK ... 6

2.1.1 Definisi Ilmu Kedokteran Forensik... 6

2.1.2 Peran Kedokteran Forensik ... 6

2.2 VISUM ET REPERTUM ... 9

2.2.1 Definisi Visum et Repertum ... 9

2.2.2 Tujuan Pembuatan Visum et Repertum ... 10

2.2.3 Klasifikasi Visum et Repertum ... 10

2.3 TRAUMATOLOGI ... 12

2.3.1 Definisi Trauma ... 12

(7)

2.3.2 Patofisiologi Trauma ... 13

2.3.3 Klasifikasi Trauma ... 14

2.4 TRAUMA MEKANIK ... 16

2.4.1 Definisi Trauma Mekanik ... 16

2.4.2 Trauma Tumpul... 18

2.4.3 Trauma Tajam ... 30

2.4.4 Trauma Tembak ... 35

2.5 KERANGKA TEORI ... 40

2.6 KERANGKA KONSEP ... 41

BAB III METODE PENELITIAN ... 42

3.1 RANCANGAN PENELITIAN ... 42

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ... 42

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 42

3.3.1 Populasi ... 42

3.3.2 Sampel ... 42

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA ... 43

3.5 DEFINISI OPERASIONAL ... 44

3.6 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA ... 45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1 HASIL ... 46

4.1.1 Prevalensi Trauma Mekanik pada Korban Hidup yang ditangani di Instalansi Forensik RSUD. Dr. R. M. Djoelham Binjai Tahun 2020 ... 46

4.1.2 Distribusi Karakteristik Korban Hidup Perlukaan yang ditangani di Instalansi Forensik RSUD. Dr. R. M. Djoelham Binjai Tahun 2020 ... 47

4.1.3 Gambaran Jenis Trauma Mekanik pada Korban Hidup Perlukaan yang ditangani di Instalansi Forensik RSUD. Dr. R. M. Djeolham Binjai Tahun 2020 ... 47

4.1.4 Karakteristik Luka Korban Hidup Perlukaan yang ditangani di Instalansi Forensik RSUD. Dr. R. M. Djeolham Binjai Tahun 2020 ... 48

4.1.5 Distribusi Lokasi Luka Korban Hidup Perlukaan yang ditangani di Instalansi Forensik RSUD Dr. R. M. Djoelham Binjai Tahun 2020 ... 49

(8)

4.2 PEMBAHASAN ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53

5.1 KESIMPULAN ... 53

5.2 SARAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Klasifikasi VeR………..……... 11

2.2 Klasifikasi trauma………. 16

2.3 Klasifikasi trauma mekanik………... 17

2.4 Luka memar………... 19

2.5 Pola luka memar……… 20

2.6 Linear abrasion & graze abrasion pada punggung………….. 24

2.7 Pressure abrasion & impact abrasion……….. 25

2.8 Split laceration akibat benturan objek tumpul……….. 28

2.9 Luka robek linier di belakang telinga akibat tendangan……… 28

2.10 Karakteristik luka iris……… 31

2.11 Luka iris pada tungkai………... 31

2.12 Klasifikasi luka tusuk……… 33

2.13 Luka tusuk menembus……….. 34

2.14 Luka bacok akibat baling-baling perahu……… 34

2.15 Gambaran luka tembak masuk jarak dekat………... 37

2.16 Penampakan luka tembak multipel, E-entry wound, X-exit wound… 39 2.17 Kerangka teori……… 40

2.18 Kerangka konsep……… 41

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Perubahan memar oleh waktu ………..………..………... 21

2.2 Perbedaan memar antemoterm dan postmoterm…………..….. 22

2.3 Usia luka lecet……….………..……… 25

2.4 Perbedaan luka lecet antemoterm dan postmoterm...…………. 26

2.5 Perbedaan luka lecet sayatan dan luka robek……….... 27

2.6 Usia luka robek ………...………..…… 29

2.7 Usia luka iris………...……….. 32

2.8 Perbedaan luka tembak masuk dan keluar……… 38

3.1 Definisi operasional………..……… 44

4.1 Gambaran korban hidup……….... 46

4.2 Distribusi karakteristik……….. 47

4.3 Gambaran jenis trauma mekanik…..………. 47

4.4 Karakteristik luka korban……….. 48

4.5 Distribusi lokasi luka korban……… 49

(11)

DAFTAR SINGKATAN

BPS : Bada Pusat Statistik

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Polres : Kepolisian Resor

RI : Republik Indonesia Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

SPSS : Statitistical Product and Service Solution TKP : Tempat Kejadian Perkara

VeR : Visum et Repertum

WHO : World Health Organization

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

A Biodata Penulis……..………... 57

B Pernyataan Orisinalitas………. 59

C Ethical Clearance Penelitian……….………… 60

D Surat Izin Penelitian……….. 61

E Output Perangkat Lunak Statistik……….…. 62

(13)

ABSTRAK

Latar belakang: Kekerasan adalah perlakuan yang disengaja dengan menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan yang dapat berakhir pada cedera, bahaya psikologis, kelainan perkembangan, perampasan hak, bahkan kematian. Setiap hari diperkirakan 10 dari 1000 orang menjadi korban kekerasan. Provinsi Sumatera Utara menduduki peringkat pertama dalam kasus kejahatan berupa kekerasan fisik sementara pada tingkat kota/kabupaten, Binjai menjadi salah satu daerah dengan kasus kekerasan yang meningkat selama setahun terakhir. Penyebab dan motif kejahatan dalam bentuk kekerasan dapat diidentifikasi oleh. tenaga medis guna membantu penyelidikan yang hasilnya kemudian dicatat ke dalam Visum et Repertum. Tujuan: Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran prevalensi trauma mekanik dan karakteristik korban hidup perlukaan di RSUD Dr. R. M. Djoelham Binjai tahun 2020. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan pendekatan studi potong lintang atau cross sectional.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling yaitu Visum et Repertum korban hidup perlukaan yang ditangani di instalansi forensik RSUD. Dr. R.M. Djoelham Binjai pada tahun 2020. Data kemudian diolah dan dilakukan analisis univariat pada setiap variabel. Hasil: Prevalensi trauma mekanik korban hidup perlukaan RSUD. Dr. R. M. Djoelham Binjai Tahun 2020 adalah 78,1%. Karakteristik korban terbanyak adalah jenis kelamin laki-laki (62,5%) dan kelompok umur 26-45 tahun (44,5%). Jenis trauma mekanik yang paling sering ditemukan adalah tipe tumpul (96,5%) dengan gambaran pola luka terbanyak yaitu luka lecet (70,5%). Lokasi trauma mekanik terbanyak adalah daerah kepala-wajah (70,5%). Kesimpulan:

Trauma mekanik tipe tumpul dengan pola luka lecet adalah kasus yang paling banyak ditemukan dan sering terjadi pada daerah kepala-wajah.

Kata kunci: trauma, trauma mekanik, kekerasan, perlukaan, korban hidup

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kekerasan merupakan salah satu masalah sosial yang masih menjadi perhatian dari setiap negara dalam upaya pencegahan dan penurunan angka kejadian. Tidak hanya melalui lembaga keamanan dan pertahanan, tenaga medis juga ikut berpartisipasi dalam mengidentifikasi korban kekerasan yang kemudian hasil pemeriksaannya dapat dijadikan dasar pertimbangan atau barang bukti dalam peradilan. Berdasarkan World Health Organization (WHO), kekerasan adalah perlakuan yang disengaja dengan menggunakan kekuatan fisik atau kekuasaan, ancaman terhadap diri sendiri, kelompok, atau komunitas yang dapat berakhir pada cedera, bahaya psikologis, kelainan perkembangan, perampasan hak, bahkan kematian. Kekerasan memberikan dampak terhadap sikap dan kesehatan seseorang.

WHO membagi dampak tersebut ke dalam empat bagian yaitu fisik, kesehatan mental dan perilaku, kesehatan seksual dan reproduksi, serta penyakit kronis

Penyebab dan motif kejahatan dalam bentuk kekerasan dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan kejadian tempat perkara dan pemeriksaan pada korban baik korban hidup maupun korban mati. Pemeriksaan pada korban kekerasan dilakukan dengan melihat bentuk, lokasi, dan pola luka akibat trauma pada tubuh. Perlukaan dapat disebabkan oleh berbagai jenis kekerasan, yaitu kekerasan mekanis, fisik, kimiawi, atau bentuk gabungan.

Setiap tahun, kekerasan menyebabkan kematian lebih dari 1,3 juta jiwa di seluruh dunia dan diperkirakan setiap hari terdapat 10 dari 1000 orang menjadi korban kekerasan non-fatal. Adapun korban yang dimaksud adalah korban penyerangan yang mengalami cedera fisik serta membutuhkan perawatan darurat, korban pelecehan fisik, seksual, atau psikologis yang mungkin tidak dibawa ke fasilitas kesehatan atau otoritas lain (WHO, 2014).

(15)

2

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah kejahatan di Indonesia selama periode 2017-2019 cenderung menurun. Pada tahun 2017, jumlah kejahatan tercatat sebanyak 333.652 kejadian yang merupakan angka tertinggi dalam 3 tahun terakhir. Kejadian kejahatan pada tahun 2018 menurun menjadi 294.281 dan pada tahun 2019 kembali menurun menjadi 269.324 kejadian.

Berdasarkan jumlah kejahatan level provinsi selama tahun 2019, Sumatera Utara menduduki peringkat kedua dengan total kejadian sebanyak 30.831. Kejahatan terhadap fisik/badan (violence) di Indonesia juga mengalami penurunan selama 5 tahun berturut-turut. Pada tahun 2015 terdapat 47.128 kejadian, kemudian menurun menjadi 46.706 (2016), 42.683 (2017), 39.567 (2018), dan 38.983 (2019). Jumlah kejadian kejahatan terhadap fisik/badan paling banyak terjadi di Sumatera Utara dengan angka kejadian sebanyak 4.817 (2019). Adapun yang termasuk ke dalam kejahatan terhadap fisik/badan adalah penganiayaan ringan, penganiayaan berat, dan kekerasan dalam rumah tangga. Kejahatan terhadap hak/milik dengan penggunaan kekerasan di Indonesia juga mengalami penurunan. Penggunaan kekerasaan pada tahun 2019 ialah 7.321 kejadian, menurun dibanding tahun 2018 sebanyak 8.423 kejadian. Kekerasan yang termasuk ialah penggunaan senjata api, senjata tajam, maupun fisik secara langsung (BPS,2020).

Laporan kejadian kekerasan pada kepolisian resor (polres) Binjai pada tahun 2018 tercatat sebanyak 432 kejadian. Jumlah kejadian tersebut mengalami kenaikan dibanding tahun 2017 yaitu 369 kejadian (BPS Binjai, 2021). Bertambahnya laporan kejadian kekerasan ini, menunjukkan adanya peningkatan frekuensi tindakan kriminal dalam bentuk kekerasan di kota Binjai.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2018, proporsi cedera secara nasional meningkat selama 3 tahun berturut-turut. Hal ini bisa dilihat bahwa pada tahun 2007 proporsi cedera tercatat sebesar 7,5%, kemudian meningkat menjadi 8,2% pada tahun 2013, dan meningkat lagi pada tahun 2018 yaitu 9,2%. Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera paling banyak terdapat pada anggota gerak bawah (67,9%), kemudian diikuti dengan anggota gerak atas (32,7%), kepala (11,9%), punggung (6,5%), dada (2,6%), dan perut (2,2%). Berdasarkan jenis atau tipenya, cedera yang sering ditemui adalah luka

(16)

lecet/memar sebesar 70,9 % (Riskesdas, 2013). Demikian juga pada sebuah studi rekam medis yang dilakukan oleh Timothy, G.S. di RSUD. Dr. R.M Djoelham Binjai pada tahun 2019 menunjukkan bahwa jenis trauma yang paling banyak ditemui adalah trauma benda tumpul yaitu 95%.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian kembali tentang prevalensi trauma mekanik di RSUD. Dr. R. M Djoelham Binjai untuk melihat perubahan distribusi jenis-jenis trauma mekanik selama setahun. Peneliti juga akan meneliti distribusi lokasi trauma dan karakteristik korban berdasarkan jenis kelamin dan usia. Oleh karena itu, peneliti membuat penelitian prevalensi trauma mekanik dan karakteristik perlukaan korban hidup di RSUD. Dr. R.M Djoelham Binjai tahun 2020.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana gambaran prevalensi trauma mekanik dan karakteristik korban hidup perlukaan di RSUD. Dr. R.M Djoelham Binjai tahun 2020?”

(17)

4

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran prevalensi trauma mekanik dan karakteristik korban hidup perlukaan di RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui prevalensi trauma mekanik pada korban hidup yang ditangani di instalansi forensik RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020

2. Mengetahui distribusi jenis trauma mekanik dan pola luka korban hidup yang ditangani di instalansi forensik RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020

3. Mengetahui distribusi lokasi trauma mekanik pada tubuh korban hidup perlukaan yang ditangani di instalansi forensik RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020

4. Mengetahui distribusi usia korban hidup perlukaan akibat trauma mekanik yang ditangani di instalansi forensik RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020

5. Mengetahui distribusi jenis kelamin korban hidup perlukaan akibat trauma mekanik yang ditangani di instalansi forensik RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020

(18)

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran prevalensi trauma mekanik dan karakteristik korban hidup perlukaan di RSUD Dr. R.

M Djoelham Binjai tahun 2020.

1.4.2 Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan data epidemiologi rujukan dalam penelitian selanjutnya tentang trauma mekanik, khususnya di RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020.

1.4.3 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dan ilmu pengetahuan bagi peneliti tentang gambaran prevalensi trauma mekanik korban hidup perlukaan di RSUD Dr. R. M Djoelham Binjai tahun 2020.

1.4.4 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk masyarakat, tenaga medis, penegak hukum dalam meningkatkan kewaspadaan terhadap kejadian kejahatan kekerasan dan bahaya penyalahgunaan benda-benda yang dapat melukai orang sekitar baik disengaja maupun tidak disengaja.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ILMU FORENSIK

2.1.1 Definisi Ilmu Kedokteran Forensik

Forensik (berasal dari kata forensis yang berarti “dari luar” dan forum yang berarti “tempat umum”) merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mendukung proses penegakan keadilan melalui pendekatan ilmu sains. Ilmu forensik terdiri dari berbagai cabang multidisiplin ilmu seperti ilmu kimia forensik, psikologi forensik, kedokteran forensik, toksikologi forensik, psikiatri forensik, komputer forensik, dan lainnya (Aflanie et al., 2017). Multidisiplin ilmu sebagai prinsip ilmu kedokteran forensik memiliki tujuan untuk membuat perkara pidana menjadi jelas dan terbukti melalui pemeriksaan barang bukti tersebut (Syaulia et al., 2011).

2.1.2 Peran Kedokteran Forensik

Ilmu kedokteran forensik sebagai Legal Medicine/Forensic Medicine adalah salah satu cabang spesialis ilmu kedokteran yang membantu proses penegakan keadilan. Adapun peran kedokteran forensik yaitu melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara; membuat Visum et Repertum sebagai pemenuhan permintaan pihak berwajib; melakukan pemeriksaan tubuh korban untuk mengidentifikasi penyebab kematian, ada atau tidaknya tanda-tanda penganiayaan, tindak kejahatan atau pelanggaran kesusilaan; mengetahui usia seseorang; dan memberikan keterangan pada sidang pengadilan (Aflanie et al., 2017).

(20)

2.1.2.1 Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Tempat Kejadian Perkara (TKP) merupakan lokasi suatu tindak pidana terjadi dan atau ditemukannya barang bukti terkait.

Pengolahan TKP terdiri dari kegiatan mencari, mengumpulkan, melakukan dokumentasi, analisis, dan evaluasi petunjuk, keterangan dan bukti. Dokter dapat mengambil peran dalam olah TKP dari segi aspek medis forensiknya. (Tim Penyusun Modul Balai Diklat Kejaksaan R.I., 2019).

Pemeriksaan TKP oleh dokter bertujuan untuk memperoleh data dalam waktu singkat dengan melakukan beberapa tes lapangan untuk keperluan penyidik dalam menyelesaikan kasus perkara pidana (Siwu et al., 2015). Tugas dokter di TKP yaitu menentukan status dan waktu kematian korban, memperkirakan cara kematian, mengidentifkasi sebab perlukaan, dan membantu mengumpulkan barang bukti. Selanjutnya korban dapat dibawa ke rumah sakit dengan menyertakan surat permintaan Visum et Repertum dari penyidik kepada dokter dan label jenazah pada ibu jari kaki korban (Aflanie et al., 2017).

2.1.2.2 Pemeriksaan Korban Hidup

Pemeriksaan korban hidup dilakukan tergantung dari jenis kejahatan atau penyebab perlukaan pada korban. Pemeriksaan korban hidup yang sering dilakukan ialah terhadap korban kecelakaan lalu lintas, korban keracunan, korban penganiayaan, korban kejahatan kesusilaan, penentuan umur, dan lainnya (Aflanie et al., 2017).

Hasil pemeriksaan korban hidup dimuat secara objektif dan sistematis dalam Visum et Repertum. Adapun deskripsi hasil mencakup seluruh hasil pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik, laboratorium, dan penunjang; uraian tindakan dan perawatan

(21)

8

selanjutnya pada korban; dan deskripsi gejala sisa atau cacat sebagai akhir kesimpulan pemeriksaan (Afandi, 2009).

2.1.2.3 Pemeriksaan Tersangka

Pemeriksaan tersangka dilakukan tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan pada korban tergantung indikasi dan kasus kejahatan.

Kedokteran forensik mengambil peran dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atas permintaan tersangka atau penasihat hukumnya dan pihak polisi (Aflanie et al., 2017).

2.1.2.4 Pemeriksaan Korban Mati

Mati adalah kondisi berhentinya ketiga sistem utama yaitu sistem kardiovaskular, pernafasan, dan sistem saraf pusat.

Sementara secara medikolegal, pernyataan kematian ditentukan apabila fungsi serebral berhenti dan bersifat ireversibel. Penentuan status kematian dilakukan berdasarkan pemeriksaan klinis bahkan kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium. (Syaulia et al., 2011).

Pemeriksaan korban kematian juga dilakukan untuk mengetahui penyebab kematian . Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tubuh di mulai dari bagian luar, kemudian bagian dalam hingga dilanjutkan ke pemeriksaan tambahan (Aflanie et al., 2017). Pemeriksaan ini sering dikenal dengan sebutan autopsi.

Tujuan dari autopsi adalah mengidentifikasi proses penyakit, melihat adanya cedera, serta menghubungkan penemuan tersebut sehingga penyebab kematian dapat diketahui. Autopsi terbagi atas autopsi klinik dan autopsi forensik. Autopsi klinik dilakukan pada pasien yang sudah meninggal akibat penyakit tertentu dan dirawat di rumah sakit sementara autopsi forensik dilakukan terhadap mayat setelah mendapatkan surat permintaan pemeriksaan dan dilakukan berdasarkan peraturan undang-undang (Sumampouw et al., 2017).

(22)

2.1.2.5 Pemeriksaan Barang Bukti

Peran dokter dalam melakukan pemeriksaan barang bukti biasanya hanya terbatas pada tubuh manusia. Namun, tidak menutup kemungkinan dokter juga ikut membantu mengumpulkan barang bukti di sekitrar TKP yang diperlukan untuk mengungkapkan lokasi, sumber, atau penyebab khusus dari akibat tindakan kriminal.

Sebagai contoh dokter dapat menentukan jenis darah di sekitar lokasi apakah benar darah manusia atau hanya manipulasi darah mahluk hidup lain, menentukan spermatozoa pada tubuh atau pakaian yang dikenakan korban, mengidentifkasi bahan racun pada makanan yang dikonsumsi korban, dan lain-lain (Aflanie et al., 2017).

2.2 VISUM ET REPERTUM

2.2.1 Definisi Visum et Repertum

Visum et Repertum (VeR) berasal dari Bahasa Latin yaitu Visum yang artinya sesuatu yang dilihat dan Repertum yang artinya melaporkan.

Berdasarkan istilah, Visum et Repertum adalah laporan terhadap apa yang terlihat dalam pemeriksaan oleh seorang dokter atas dasar sumpah jabatan (Syaulia et al., 2011). VeR merupakan surat keterangan berisi fakta dari dokter yang dapat digunakan sebagai salah satu alat pembuktian yang sah di pengadilan. Hal ini didukung dengan dasar hukum yang menyatakan bahwa seorang dokter mempunyai kewajiban membuat keterangan ahli (Pasal 133 KUHAP) dan keterangan ahli tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang pengadilan (Pasal 184 KUHAP). Surat keterangan ini dibuat oleh dokter sebagai pemenuhan permintaan pihak yang berwenang yaitu penyidik dengan memperhatikan asas keilmuan dan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan (Tim Penyusun Modul Balai Diklat Kejaksaan R.I., 2019).

(23)

10

2.2.2 Tujuan Pembuatan Visum et Repertum

Pembuatan VeR ialah sebagai salah satu barang bukti sah di pengadilan. Ada 5 barang bukti yang sah dalam pengadilan yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, surat-surat, dan petunjuk (Syaulia et al., 2011).

Menurut Syaulia dkk., terdapat 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu:

a. Sebagai barang bukti pada hakim

b. Menyimpulkan kasus berdasarkan hubungan sebab akibat c. Memungkinkan hakim memanggil dokter lain untuk membuat

kesimpulan terbaru

2.2.3 Klasifikasi Visum et Repertum

VeR diklasifikasikan berdasarkan jenis barang bukti, jenis pidana, dan sifatnya. Berikut pembagian jenis-jenis Visum et Repertum (Syaulia et al., 2011):

2.2.3.1 Berdasarkan Jenis Barang Bukti

Klasifikasi Visum et Repertum berdasarkan jenis barang bukti, yaitu (Syaulia et al., 2011):

a. VeR hidup, yaitu VeR yang dibuat oleh dokter terhadap korban hidup.

b. VeR jenazah, yaitu VeR yang dibuat terhadap korban mati dengan tujuan untuk menjelaskan sebab dan mekanisme kematian.

c. Ekspertise, yaitu VeR khusus untuk melaporkan keadaan suatu benda atau bagian tubuh tertentu seperti darah, mani, liur, jaringan, tulang, dan lainnya.

(24)

Gambar 2.1 Klasifikasi VeR (Aflanie et al., 2017)

2.2.3.2 Berdasarkan Jenis Pidana

Klasifikasi Visum et Repertum berdasarkan jenis pidana, yaitu (Aflanie et al., 2017):

a. VeR perlukaan (termasuk keracunan) untuk mengetahui penyebab luka dan tingkat keparahannya.

b. VeR kejahatan susila untuk mengidentifikasi bukti kejahatan asusila dengan melakukan beberapa pemeriksaan pada diri korban.

c. VeR jenazah meliputi hasil pemeriksaan luar jenazah tanpa melakukan tindakan yang dapat merusak jaringan jenazah.

d. VeR psikiatri dibuat untuk tersangka atau terdakwa dengan menguraikan aspek kejiwaan manusia.

Klasifikasi VeR VeR

(Barang Bukti)

VeR Hidup

VeR Jenazah

Expertise

VeR (Jenis Pidana)

VeR Perlukaan

VeR Kejahatan Susila

VeR Jenazah

VeR Psikiatri

VeR (Sifat)

VeR Sementara

VeR Lanjutan

VeR Definitif

(25)

12

2.2.3.3 Berdasarkan Sifat

Klasifikasi Visum et Repertum berdasarkan sifatnya, yaitu (Syaulia et al., 2011):

a. VeR sementara yaitu VeR yang dibuat untuk korban yang memerlukan pemeriksaan dan perawatan lanjutan sehingga menghalangi aktivitas korban.

b. VeR lanjutan merupakan sambungan dalam proses penyidikan yang ditujukan pada korban yang telah sembuh, pindah rumah sakit, pindah dokter, atau pulang paksa.

c. VeR definitif yaitu VeR yang memuat semua keterangan dan hasil pemeriksaan untuk korban yang tidak memerlukan pemeriksaan dan perawatan lanjutan.

2.3 TRAUMATOLOGI 2.3.1 Definisi Trauma

Menurut bahasa, traumatologi berasal dari kata trauma yang artinya kekerasan pada jaringan tubuh mahluk hidup dan logos yang artinya ilmu.

Berdasarkan istilah, traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perlukaan atau cedera dan hubungannya dengan kejadian kekerasan sehingga timbulnya jejas pada tubuh akibat adanya diskontuinitas jaringan (Aflanie et al., 2017).

Trauma berasal dari bahasa yunani yaitu traumata yang artinya melukai (Ainil, 2016). Dengan begitu, trauma merupakan cedera atau perlukaan yang berarti hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan oleh trauma jenis tertentu (Syaulia et al., 2011).

(26)

2.3.2 Patofisiologi Trauma

Inisial trauma menyebabkan destruksi makrobarier seperti kulit begitu pula dengan mikrobarier membran sel yang dapat mengaktifkan respon inflamasi sebagai upaya eliminasi jaringan yang telah mati akibat trauma. Hal ini dapat menyebabkan stress response yaitu proses adaptasi terhadap kerusakan jaringan. (Huber-Lang et al., 2018).

Selain stress response terhadap inflamasi, trauma yang disertai dengan kehilangan darah masif dapat menyebabkan keadaan syok pada korban. Syok merupakan kondisi di mana kedaan hemodinamik tidak normal. Hal ini dapat menyebabkan kondisi korban menjadi lebih buruk bahkan dapat berakhir pada kematian (Tosounidis et all., 2011).

Stress response memaksa tubuh untuk melakukan upaya kompensasi. Kompensasi tersebut antara lain sebagai berikut (Syaulia et al., 2011):

a. Aktivasi sistem saraf simpatis sebagai respon stress fisiologis akibat trauma ditandai dengan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, capillary shunting, dan diaphoresis.

b. Peningkatan denyut jantung dan frekuensi napas sebagai usaha kompensasi tubuh dalam menjaga hemodinamik .

c. Menurunnya urine output akibat peningkatan kadar hormon vasopressin dan aldosterone sebagai untuk menjaga jumlah cairan dalam tubuh cukup. Hal ini sering terjadi pada kondisi trauma dengan kehilangan darah yang masif.

d. Menurunnya tekanan darah dan melemahnya denyut nadi karena cardiac output tidak maksimal sebab usaha kompensasi tidak lagi berhasil menjaga hemodinamik.

e. Capillary refill time meningkat.

(27)

14

f. Perubahan status mental atau kesadaran akibat perfusi darah ke otak yang berkurang.

Selain stress response atau perubahan fisiologis pada tubuh, trauma juga dapat menunjukkan tanda-tanda perlukaan fisik pada jaringan baik eksternal (kulit) maupun internal (organ dalam). Perlukaan ini berhubungan dengan tekanan yang diberikan oleh trauma. Tubuh mengabsorbsi tekanan trauma mengikuti hukum fisika, yaitu kekuatan = ½ massa x kecepatan.

Kekuatan dan kecepatan semakin memberikan dampak tekanan yang besar jika luas area yang terpapar oleh tekanan lebih kecil. Hal ini bisa dilihat pada trauma tusuk dimana tekanan dan energi kinetik terkonsentrasi pada ujung benda yang tajam sedangkan pada pukulan dengan luas daerah lebih besar meskipun dengan energi yang sama tidak menimbulkan perlukaan tembus yang dalam tetapi bisa berupa memar (Syaulia et al., 2011).

2.3.3 Klasifikasi Trauma

Trauma ditandai dengan 3 ciri khas, yaitu adanya perlukaaan, perdarahan, dan hambatan dalam fungsi organ (Aflanie et al., 2017). Luka merupakan hilang atau rusaknya jaringan yang sifat dan keparahannya tergantung pada faktor fisika (derajat, luas, durasi, dana arah kekuatan) dan faktor biologis (mobilitas bagian tubuh tertentu, antisipasi, koordinasi, dan biokimia jaringan) (Biswas, 2015). Menurut Alfanie dkk (2017), luka dapat diklasifikasikan berdasarkan:

a. Jenis penetrasi : luka tusuk, luka insisi, luka bacok, luka memar, luka robek, luka tembak, dan gigitan.

b. Tingkat kebersihan : luka bersih, luka bersih terkontaminasi, luka terkontaminasi, dan luka kotor.

c. Waktu : akut (<8 jam) dan kronis (> 8 jam)

Identifikasi luka dipenuhi dengan menentukan lokasi perlukaan dan ukuran luka tersebut. Lokasi ditentukan dengan acuan garis ordinat atau

(28)

aksis tubuh yaitu garis yang melalui tulang dada dan tulang belakang.

Sementara ukuran ditentukan oleh panjang luka, jumlah luka, sifat luka, keberadaan benda asing pada luka, status kematian saat luka terjadi, dan cara terjadinya luka seperti bunuh diri, kecelakaan, dan pembunuhan. Luka atau cedera diidentifikasi berdasarkan jenis-jenis trauma tertentu yang dapat diklasifikasi berdasarkan sifat dan penyebab, yaitu (Aflanie et al., 2017) : a. Trauma mekanik

 Luka akibat kekerasan benda tumpul

 Luka akibat kekerasan benda tajam

 Luka akibat tembakan senjata api b. Trauma fisik

 Luka akibat kekerasan oleh suhu tinggi atau rendah

 Luka akibat kekerasan auditorik

 Luka akibat kekerasan oleh arus listrik

 Luka akibat kekerasan radiasi c. Trauma kombinasi (mekanik dan fisik) d. Trauma kimia

 Luka akibat kekerasan oleh asam kuat

 Luka akibat kekerasan oleh basa kuat

 Intoksikasia

(29)

16

Gambar 2.2 Klasifikasi trauma (Aflanie et al., 2017)

2.4 TRAUMA MEKANIK

2.4.1 Definisi Trauma Mekanik

Trauma mekanik didefinisikan sebagai cedera pada bagian tubuh tertentu yang diakibatkan oleh gaya mekanik, yaitu tumpul, tajam, atau senjata api. Gaya tersebut menyebabkan kerusakan atau diskontuinitas pada jaringan yang disebut dengan luka (Sharma, 2011). Derajat keparahan luka akibat trauma mekanik tergantung dari besar energi gaya trauma yang diterima tubuh, durasi paparan trauma, regio tubuh yang terkena, luas permukaan tubuh ketika gaya diberikan, dan sifat senjata yang digunakan (Biswas, 2015).

Trauma

Mekanik

Tumpul Tajam Tembak

Fisik

Suhu Tinggi dan Rendah

Auditorik Arus listrik

Radiasi Kombinasi

Kimia

Asam Kuat Basa Kuat Intoksikasi

(30)

Bedasarkan ilmu forensik, trauma mekanik dibagi menjadi 3 bagian yaitu trauma tumpul, trauma tajam, dan trauma tembak. Trauma tumpul diklasifikasikan berdasarkan jenis lukanya, yaitu luka memar, luka lecet, dan luka robek. Trauma tajam dibagi menjadi luka iris, luka tusuk, dan luka bacok. Sementara luka tembak dibagi menjadi luka tembak masuk dan luka tembak keluar (Aflanie et al., 2017).

Gambar 2.3 Klasifikasi trauma mekanik (Aflanie et al., 2017)

Trauma Mekanik

Luka Tumpul

Luka Memar

Luka Lecet Luka Robek

Luka Tajam

Luka Iris Luka Tusuk

Luka Bacok

Luka Tembak

Luka Tembak Masuk Luka Tembak

Keluar

(31)

18

2.4.2 Trauma Tumpul

Trauma tumpul terjadi ketika benda yang permukaannya tidak tajam berbenturan dengan tubuh. Benturan tersebut meninggalkan jejas seperti memar, lecet, atau robek (Biswas, 2015). Terdapat dua variasi benturan dalam kasus trauma tumpul yaitu benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam atau korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam (Aflanie et al., 2017).

2.4.2.1 Luka Memar

Luka memar (contusion/bruise) adalah luka yang ditandai dengan adanya perubahan warna pada jaringan akibat extravasasi darah ke jaringan di bawah kulit (subcutaneous) atau di bawah epitel (subepithelial). Hal ini terjadi karena pembuluh darah mengalami ruptur akibat tekanan trauma tumpul (Sharma, 2011). Luka memar sering disebut dengan contusion atau bruise. Kedua istilah tersebut sebenarnya tidak berbeda, namun dalam pemakaiannya istilah bruise sering digunakan jika memar ditemukan pada kulit sementara contusion pada jaringan atau organ dalam seperti otot, hati, dan atau organ lainnya (Agrawal, 2016). Luka memar bisa terjadi karena beberapa alasan seperti adanya paparan benda tumpul pada jaringan, kompresi, dan intervensi medis (Biswas, 2015).

Luka memar dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan lokasinya. Klasifikasi luka memar berdasarkan ukuran, yaitu petechial hemorrhages (0,1-2 mm), echymosis (2-5 mm), bruise (>5 mm), dan hematoma (memar yang luasnya melebihi luas tumbukan trauma pada jaringa) (Agrawal, 2016). Berdasarkan lokasinya, luka memar diklasifikasikan menjadi memar intradermal (intradermal bruise), memar subkutan (subcutaneous bruise), dan memar dalam (deep bruise) (Biswas, 2015).

(32)

Gambar 2.4 Luka memar (Shetty et al, 2014)

Luka memar akibat trauma tumpul akan terlihat berbeda pada setiap individu berdasarkan faktor tertentu. Adapun faktor- faktor yang dapat memengaruhi luka memar ialah sebagai berikut (Biswas, 2015):

a. Tipe jaringan yang terlibat

Trauma tumpul pada jaringan lunak dan longgar akan menimbulkan memar yang cukup besar meskipun dengan energi tekanan kecil. Sebaliknya, trauma tumpul pada jaringan yang terdiri dari jaringan ikat (fibrous tissue) dan ditutupi dengan dermis yang tebal akan memiliki luas memar yang kecil meskipun dengan kekuatan yang cukup besar.

b. Usia

Anak-anak dan orang tua lebih mudah memiliki luka memar karena jaringan yang lebih lunak dan halus, dan pada orang tua jaringan penyokong subkutan semakin berkurang.

c. Jenis kelamin

Perempuan cenderung lebih mudah memiliki luka memar daripada laki-laki karena jaringan pada perempuan lebih halus dan jumlah lemak subkutan yang lebih banyak.

(33)

20

d. Warna kulit

Luka memar lebih terlihat pada orang dengan kulit yang lebih putih.

e. Penyakit penyerta

Memar yang menonjol akibat trauma ringan terlihat pada orang memiliki penyakit atherosclerosis, perpura hemorrhagica, leukemia, hemophilia, scurvy bleeding diathesis, defisiensi vitamin L dan prothrombin, dan pada keracunan fosfor.

f. Gravitasi

Memar dapat bergerak mengikuti arah gaya gravitasi sehingga hal ini dapat menyebabkan timbulnya memar ektopik (migratory bruise).

Pola luka memar dapat berbeda tergantung pada objek yang menyebabkan trauma pada korban sehingga dapat membantu pemeriksa dalam menentukan penyebab trauma, terutama objek apa yang digunakan. Memar mengikuti pola objek yang digunakan dikarenakan objek menekan jaringan lalu menyebabkan tarikan pada kulit sehingga pembuluh darah dermal yang ruptur tertarik ke alur penekanan objek (Biswas, 2015).

(34)

Identifikasi luka memar juga dinilai dari aspek usianya. Usia luka memar dapat diketahui melalui perubahan warna yang tampak pada cedera. Perubahan warna menunjukkan cedera sedang mengalami penyembuhan dengan destruksi dan pengangkatan darah. Sel darah merah mengalami hemolisis dengan melepaskan hemoglobin dan terurai oleh enzim menjadi hemosiderin, hematoidin, dan bilirubin. Pigmen tersebut yang memberikan warna yang berbeda pada luka berdasarkan usianya. Perubahan warna ini dimulai dari bagian pinggir cedera kemudian ke bagian tengah.

Berikut rangkuman usia luka memar berdasarkan perubahan warna (Wyatt et al., 2011):

Tabel 2.1 Perubahan memar oleh waktu (Wyatt et al., 2011)

Korban perlukaan hidup (antemoterm) maupun mati (postmoterm) akibat trauma tumpul dengan manifestasi luka memar akan menunjukkan gambaran yang berbeda. Berikut perbedaan luka memar antemoterm dan postmoterm (Agrawal, 2016).

Usia Cedera Tampilan

0-2 hari Bengkak, nyeri, merah/biru

3-5 hari Biru/ungu

5-7 hari Hijau

7-10 hari Kuning

10-14 hari Cokelat

14-28 hari Resolusi/normal

(35)

22

Tabel 2.2 Perbedaan memar antemoterm dan postmoterm (Agrawal, 2016)

No Karakteristik Antemoterm Postmoterm

1. Waktu

pembentukan Selama hidup Dalam 2-3 jam setelah kematian 2. Pembengkakan

di sekitar memar + -

3. Kerusakan

epitelium + -/minimal

4. Ukuran Kecil sampai besar (sesuai dengan derajat

kekuatan tekanan)

Selalu kecil (tidak sesuai dengan derajat kekuatan

tekanan) 5. Ekstravasasi

darah Banyak Sedikit

6. Lokasi

Di mana saja

Bagian tubuh di mana tulang cenderung lebih

menonjol 7. Jaringan di

bawah memar

Darah menginfiltrasi jaringan dan tahan cuci

(resist washing)

Tidak tahan cuci (do not resist washing)

8. Pemeriksaan histologi (reaksi inflamasi)

+ -

9. Perubahan warna

Memar lama menunjukkan warna

berbeda

Warna memar akan selalu sama (biru kusam) 10. Pemeriksaan

histokimia Ditemukan varian enzim Tidak ditemukan enzim

(36)

2.4.2.2 Luka Lecet

Luka lecet (abrasion) merupakan luka superfisial berupa pelepasan jaringan epitel kulit (epidermis dan papila dermis) akibat gesekan terhadap permukaan yang kasar (Biswas, 2015). Luka lecet memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Aflanie et al, 2017):

a. Bentuk dan batas luka tidak teratur b. Tepi luka tidak rata

c. Terkadang ditemukan perdarahan d. Permukaan ditutupi oleh krusta

e. Secara mikroskopis terlihat ada bagian yang masih ditutupi epitel dan reaksi jaringan

f. Warna kulit kuning mengkilat

g. Lokasi sering pada daerah tonjolan tulang

Berdasarkan karateristik dan gambarannya, luka lecet digolongkan ke dalam beberapa tipe, yaitu (Agrawal, 2016) : a. Stratch abrasion/linear abrasion

Stratch/linear abrasion adalah abrasi yang perbandingan panjang dan lebarnya sangat besar dan biasa disebabkan oleh goresan benda yang runcing seperti jarum, kuku, atau duri.

Lapisan permukaan kulit yang tergores berkumpul di depan objek searah pergerakan goresan sehingga meninggalkan bagian yang bersih pada awal goresan dan tag epitel di akhir goresan.

b. Graze abrasion

Graze abrasion adalah kumpulan goresan yang tidak terhitung banyaknya dan biasa disebabkan oleh gesekan yang cukup kuat.

Luka lecet jenis ini terdiri dari garis longitudinal yang sejajar dan epitel yang tergores menumpul di ujung garis di mana penumpukan menunjukkan arah di mana gaya diterapkan.

Abrasi dapat meluas ke dalam dermis sehingga dapat

(37)

24

Gambar 2.6 (a) Linear abrasion (luka lecet hampir sepenuhnya sembuh), (b) graze abrasion pada punggung (Agrawal, 2016)

(a) (b)

menimbulkan perdarahan. Contoh kejadian yang mengakibatkan luka lecet jenis ini seperti tubuh yang terseret pada jalan yang kasar ketika kecelakaan.

c. Pressure abrasion

Pressure abrasion adalah luka lecet yang terjadi akibat rusaknya epitel ketika gaya yang relatif kecil tegak lurus terhadap kulit dalan waktu yang lama. Contohnya ialah penggunaan lensa kontak dalam waktu yang lama sehingga menyebakan abrasi pada permukaan luar kornea, lecet popok (akibat tekanan popok pada kulit bayi), tanda ligature pada korban tercekik atau menggantung, bekas gigitan gigi, dan lainnya.

d. Impact abrasion

Impact abrasion adalah luka lecet yang terjadi akibat rusaknya epitelium ketika gaya yang relatif besar tegak lurus terhadap kulit dalam waktu yang lama. Contohnya ialah pola ban kenderaan pada kulit korban kecelakaan.

(38)

Gambar 2.7 (a) Pressure abrasion pada leher akibat tekanan dari jeratan tali (Shetty et al, 2014), (b) impact abrasion dengan pola persegi akibat tekanan kaleng

(Agrawal, 2016)

(a) (b)

Luka lecet menimbulkan perdarahan yang sedikit sehingga kesembuhannya lebih cepat dan jarang menimbulkan bekas luka yang signifikan (Biswas, 2015). Luka lecet sembuh mulai dari bagian pinggir kemudian ke pusat atau tengah lesi akibat adanya pertumbuhan jaringan epitel yang baru. Hal ini sebagai salah satu dasar penentuan usia luka lecet. Usia luka lecet dapat diketahui dengan penilaian langsung dan pemeriksaan mikroskopis (Agrawal, 2016).

Tabel 2.3 Usia luka lecet (Biswas, 2015)

Usia Cedera Tampilan

Baru (2-24 jam) Merah cerah, serum, sedikit darah, eksudat kering

2-3 hari Keropeng coklat kemerahan 4-5 hari Keropeng coklat tua 5-7 hari Keropeng hitam kecoklatan dan

mulai terlepas, regenerasi epitel

7-12 hari

Keropenk kering, menyusut, dan terlepas. Depigmentasi pada lapisan

di bawahnya.

>12 hari Epitel menjadi atrofi (lebih tipis), pembentukan kolagen baru.

(39)

26

Korban perlukaan hidup (antemoterm) maupun mati (postmoterm) akibat trauma tumpul dengan manifestasi luka lecet akan menunjukkan gambaran yang berbeda. Berikut perbedaan luka lecet antemoterm dan postmoterm (Agrawal, 2016).

Tabel 2.4 Perbedaan luka lecet antemoterm dan postmoterm (Agrawal, 2016)

2.4.2.3 Luka Robek

Luka robek/laserasi adalah robekan atau terpisahnya kulit, selaput lendir, otot atau organ dalam disebabkan gaya trauma tumpul pada tubuh yang membuat jaringan meregang di luar batas elastisitasnya. Luka robek sering terjadi ketika jaringan lunak membentur tulang. Luka jenis ini memiliki pinggir yang tidak rata atau tidak teratur. Pada benturan yang membentuk sudut (angular impact), kulit di sisi luka yang letaknya berlawanan dengan arah benturan biasanya robek atau rusak dan kulit di sisi benturan terkelupas. Sementara pada benturan yang tegak lurus terjadi kerusakan pada semua sisi (Agrawal, 2016).

No Karakteristik Antemoterm Postmoterm

1. Lokasi Di bagian tubuh mana saja

Di bagian tubuh di mana tulang lebih

menonjol 2. Warna

Coklat kemerahan terang

Kuning, translucent (tembus cahaya),

parchment like 3. Eksudasi Lebih banyak,

keropeng lebih tinggi

Sedikit, keropeng di bawah level lapisan

kulit 4. Mikroskopis Kongesti dan reaksi

vital (+)

Kongesti dan reaksi vital (-)

(40)

Laserasi atau luka robek dan luka sayatan sering tidak dapat dibedakan padahal keduanya berbeda. Berikut perbedaan luka robek dan luka sayatan (Agrawal, 2016).

Tabel 2.5 Perbedaan luka lecet iris dan luka robek (Agrawal, 2016)

Berdasarkan karateristik dan gambarannya, luka robek digolongkan ke dalam beberapa tipe, yaitu (Biswas, 2015) :

a. Split laceration

Split laceration terjadi ketika jaringan lunak terjepit di antara dua objek yang keras yaitu bagian dalam setelah lapisan jaringan lunak dan benda yang menerapkan gaya. Contohnya luka robek pada kulit kepala yang hancur oleh gaya antara tulang tengkorak dan objek yang keras.

No Kriteria Luka iris (true incised wound)

Luka robek (true lacerated wound) 1. Tepi Potongan bagus-rapi

(clean-cut)

Tidak rata

2. Batas Memar (-) Memar (+)

3. Cedera pada pembuluh darah, saraf, tendon, fasia pada basis luka

Potongan bagus-rapi (clean-cut)

Hancur

4. Akar rambut Clean-cut Hancur

5. Perdarahan Banyak Sedikit

(41)

28

Gambar 2.8 Benturan objek tumpul pada kulit yang berada diantara senjata dan tulang menyebabkan split laceration (Saukko et al., 2016)

Gambar 2.9 Luka robek linier di belakang telinga akibat tendangan (Prahlow et al, 2012).

b. Stretch laceration

Stretch laceration adalah kondisi peregangan berlebihan pada kulit dan jaringan subkutan akibat kekuatan gaya gesekan tyag berat dan terlokalisir oleh benda tumpul. Contohnya luka robek pada korban tabrak lari, ditendang, dan patah tulang majemuk.

c. Avulsion or grinding compression

Avulsion or grinding compression adalah lepas atau robeknya lapisan kulit atau jaringan dari tempat perlengketannya akibat gaya geser yang diberikan secara oblik atau membentuk sudut tangensial. Contohnya luka robek pada korban kecelakaan lalu

(42)

lintas yaitu ketika kekuatan putaran ban mobil merobek kulit bahkan dapat menyebabkan cedera amputasi.

d. Tears

Tears adalah luka robek berupa cabikan pada kulit dan jaringan subkutan yang terjadi akibat benturan lokal terhadap atau oleh benda yang bentuknya tidak teratur seperti pecahan kaca.

e. Cut laceration

Cut laceration atau luka potong dihasilkan oleh senjata pemotong yang berat seperti kapak, baling-baling kapal, dan golok yang dalam pengunaannya dibutuhkan kekuatan yang besar. Luka potong terkadang tumpang tidih dengan luka iris, namun kedua hal tesebut berbeda (Tabel 2.5).

Tidak berbeda dengan jenis luka tumpul lainnya, usia luka robek juga dapat ditentukan berdasarkan karakteristiknya. Berikut ini rangkuman penentuan usia luka robek berdasarkan hasil penemuan kasar (tidak berlaku apabila terdapat infeksi sekunder) (Biswas, 2015).

Tabel 2.6 Usia luka robek (Biswas, 2015)

Usia Cedera Tampilan

Baru

Perdarahan, bekuan segar menempel, tepi luka berwarna merah, bengkak dan

lunak/empuk

12-24 jam Tepi luka bengkak, merah dan ditutpi bekuan darah dan cairan limfa

3-5 hari Tepi luka menempel kuat satu sama lain dan ditutpi krusta kering

6-7 hari Keropeng/krusta mudah lepas, lembut, merah Beberapa minggu Bekas luka berwarna keputihan, firm, dan

tidak nyeri

(43)

30

2.4.3 Trauma Tajam

Trauma tajam terjadi ketika objek yang tajam berbenturan dengan tubuh sehingga kontuinitas jaringan hilang atau terbentuknya perlukaan yaitu luka iris, luka tusuk, dan luka bacok (Biswas, 2015). Berikut ciri-ciri luka tajam (Aflanie et al., 2017):

a. Batas luka teratur, rata dan sudutnya runcing

b. Bila diskontuinitas jaringan disatukan maka akan menjadi rapat dan teratur karena jaringan tidak hancur tetapi terpisah

c. Sudut luka tajam

d. Tidak ada jembatan jaringan

e. Sekitar jarang atau tidak ada memar

f. Bila pada kepala maka rambut juga akan terpotong 2.4.3.1 Luka Iris

Luka iris (incised wound) adalah luka terbuka yang timbul akibat adanya gaya yang cukup kuat pada tubuh oleh benda tajam seperti pisau, pedang, kaca, dan kampak tajam (Agrawal, 2016).

Pada umumnya, luka iris memiliki kedalaman yang tidak lebih besar dari panjang irisan, arah trauma sejajar dengan permukaan kulit dengan sudut luka yang lancip dan tidak ada jembatan jaringan.

Batas atau sisi dari luka bersih, teratur, berbatas tegas, dan tidak ditemukan memar. Apabila terjadi perdarahan, luka iris cenderung mengeluarkan lebih banyak darah karena potongan yang rata (Biswas, 2015).

(44)

Gambar 2.11 Luka iris pada tungkai (Shetty et al, 2014).

Gambar 2.10 Karakteristik luka iris (Biswas, 2015)

Bentuk luka iris secara umum ialah gelendong, namun tampilannya dapat berbeda tergantung bentuk dan ketajaman pisau, cara pisau masuk atau mengenai tubuh, dan lokasinya. Jika arah trauma sejajar serat otot maka luka akan membentuk celah. Jika arah trauma tegak lurus serat otot, luka akan terbuka lebar. Jika arah trauma miring terhadap serat otot, luka akan berbentuk asimetris (Aflanie et al, 2017).

(45)

32

Lama atau usia luka iris dapat diketahui melalu gambaran luka secara kasar maupun miskroskopis (histopatologi).

Tabel 2.7 Usia luka iris (Biswas, 2015)

2.4.3.2 Luka Tusuk

Luka tusuk (stab wound) adalah luka terbuka yang terjadi akibat penertasi benda pada tubuh dengan kedalaman luka melebihi panjang luka (Aflanie et al, 2017). Benda yang dimaksud dapat berupa benda yang berujung runcing maupun benda tumpul yang

Usia cedera Makroskopis (Gross findings)

Mikroskopis (Histopatologi)

Baru Merah dengan

gumpalan darah

Dilatasi kapiler, marginasi dan emigrasi

neutrophil, perubahan reaktif pada histiosit 12 jam Tepi merah, bengkak

dan menempel dengan darah dan

cairan lymph

Perubahan reaktif pada fibroblas, monosit pada

eksudat

24 jam Lapisan dari sel endotel menutupi

permukaan luka dengan bekuan

kering

Endotel mulai tumbuh di sekitar tepi luka

2-3 hari - Pembentukan granul

dengan vaskularisasi (fibroblas)

4-6 hari - Pembentukan fibril baru

7 hari Pembentukan

jaringan parut

Pembentukan jaringan parut

(46)

Gambar 2.12 Klasifikasi luka tusuk (Biswas, 2015)

menusuk tubuh akibat tekanan tegak lurus yang besar. Contoh benda yang dapat menghasilkan luka tusuk ialah belati, clurit, pedang, pecahan kaca, kikir, tanduk, dan lain-lain.

Karakteristik dari luka tusuk dinilai dari aspek ukuran, tepi luka dan sudut luka. Luka tusuk memiliki ukuran khas, biasanya kedalaman luka lebih besar daripada panjang luka dan panjang luka lebih besar daripada lebar luka. Kedalaman luka tusuk bervariasi tergantung pada kondisi senjata, resistensi jaringan dan organ, pakaian yang digunakan, kekuatan, lokasi penetrasi, dan sudut perlukaan. Tepi luka tusuk rapi, teratur, berbatas tegas, dan jarang menunjukkan memar. Namun, apabila luka cukup besar dan sepenuhnya menusuk tubuh, memar dapat terlihat pada sekitar luka (Biswas, 2015). Sudut luka tusuk lebih tajam pada sisi yang tipis namun kurang tajam pada sisi yang tumpul.

Luka tusuk diklasifikasikan menjadi luka penetrasi (penetrating wound) dan luka perforasi (perforating wound). Luka penetrasi terjadi ketika senjata menusuk rongga tubuh dan hanya menghasilkan satu luka yaitu pada permukaan yang ditusuk.

(47)

34

Gambar 2.13 Luka tusuk menembus (Shetty et al, 2014)

Gambar 2.14 Luka bacok akibat baling-baling perahu (Prahlow et al, 2012)

Sementara luka perforasi (perforasi wound) ialah luka yang menembus tubuh (through and through punctured wound) dan memiliki 2 luka yaitu luka masuk dan luka keluar Luka tempat masuknya senjata cenderung lebih besar daripada luka tempat keluarnya senjata (Biswas, 2015).

2.4.3.3 Luka Bacok

Luka bacok (chop wound) adalah luka terbuka yang lebar disebabkan oleh benda tajam, ditandai dengan kedalaman yang hampir sama dengan panjang luka. Arah trauma pada luka bacok bisasanya sekitar ±45° dan tenaga yang digunakan cenderung lebih besar daripada luka tusuk dan luka iris (Aflanie et al, 2017).

(48)

Luka bacok sering menimbulkan kerusakan pada jaringan lebih dalam sehingga dapat menyebabkan kontuinitas jaringan terputus total (Aflanie et al, 2017). Luka bacok memiliki gambaran yang serupa dengan luka iris pada kulit namun, perbedaanya pada jaringan lebih dalam yang lebih rusak daripada luka iris. Hal ini bisa di lihat pada luka bacok dan terlihat fraktur tulang yang tidak beraturan (comminuted fracture). Luka bacok merupakan kombinasi dari penyebab trauma tajam dan tumpul sehingga tidak jarang ditemukan memar pada sekitar luka bacok. Contoh senjata yang digunakan sehingga dapat menimbulkan luka bacok ialah kapak, pisau daging, dan lain-lain.

2.4.4 Trauma Tembak

Trauma tembak merupakan cedera yang disebabkan oleh senjata api.

Luka tembak terjadi akibat efek perlambatan trauma mekanik yang memindahkan energi dari luar menuju jaringan. Energi kinetik mengakibatkan dorongan pada peluru ke jaringan sehingga terjadi laserasi.

Peluru yang meluncur dengan kecepatan tinggi akan membentuk rongga pada luka akibat gerakan sentrifugal sampai keluar dari jaringan dan rongga akan mengecil setelah peluru berhenti (Syaulia et al., 2011).

Berikut ini bahan yang keluar saat peluru ditembakkan (Sharma, 2011):

a. Api dan Gas Panas

Ketika peluru ditembakkan, secara cepat gas dengan suhu yang tinggi meninggalkan mulut senjata api. Gas yang dikeluarkan mengandung senyawa nitrogen, karbondioksida, karbonmonoksida dan lainnya. Pada tahap ini kilatan api dapat terlihat dengan suara tembakan terdengar cukup kuat.

(49)

36

b. Partikel Jelaga dan Tato Bubuk (Powder Tattooing)

Serpihan propeler yang tidak terbakar juga keluar bersama dengan gas.

c. Peluru

Peluru sebenarnya keluar setelah gas dan partikel jelaga. Peluru dan jarak tembakan akan mempengarhi bentuk luka tembak.

Trauma tipe ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis peluru yang digunakan, kecepatan peluru, jarak senjata dengan tubuh, dan densitas jaringan tubuh (Syaulia et al., 2011). Jika jarak senjata api dengan tubuh korban saat penembakan sangat dekat atau menempel, pakaian dan kulit di sekitar luka terbakar atau hitam akibat asap. Komponen yang keluar pada setiap penembakan dapat mempengaruhi gambaran dari luka tembak.

Apabila produknya api, maka akan terlihat gambaran terbakar dan hitam pada jaringan. Asap atau jelaga akan membuat luka tampak menghitam.

Sementara sisa produk mesiu yang tidak atau terbakar sebagian akan memberikan gambaran tattooing (Agrawal, 2016).

2.4.4.2 Luka Tembak Masuk

Luka tembak masuk (entry/entrance wound) adalah luka yang disebabkan ketika peluru menembus bagian tubuh tapi tidak keluar. Luka tembak masuk terdiri dari 3 kategori, yaitu (Aflanie et al, 2017) :

a. Luka Tembak Masuk Kontak

Luka tembak masuk kontak ditemukan apabila peluru ditembakkan dalam jarak dekat dan menempel pada kulit. Luka berbentuk sirkular kecuali arah tembakan membentuk sudut.

Tepi luka menunjukkan tanda terdapat sisa-sisa mesiu dan rambut di sekitar luka hangus.

(50)

Gambar 2.15 Gambaran luka tembak masuk jarak dekat (Prahlow et al, 2012)

b. Luka Tembak Jarak Dekat

Luka tembak jarak dekat terjadi ketika senjata ditembakkan dalam jarak 30-45 cm dari tubuh korban. Ukuran luka cenderung lebih kecil dibandingkan peluru. Tepi sekitar luka berwarna hitam dan ditemukan kelim tato. Luka jenis ini tidak dijumpai adanya tanda-tanda luka bakar atau kulit yang hangus.

c. Luka Tembak Jarak Jauh

Luka tembak jarak jauh terjadi ketika senjata ditembakkan dalam jarak lebih dari 45 cm. Ukuran luka lebih kecil dibandingkan peluru. Pada luka tidak ditemukan warna kehitaman dan kelim tato. Jika peluru menyebabkan gesekan pada lubang tempat masuk maka disebut kelim lecet.

2.4.4.3 Luka Tembak Keluar

Luka tembak keluar (exit wound) adalah luka yang disebabkan oleh tembakan peluru yang masuk menembus dan keluar dari tubuh. Ukuran luka tembak keluar lebih besar daripada luka tembak masuk dengan bentuk luka yang tidak teratur. Tepi luka melipat keluar luka karena peluru bergerak dari dalam menuju luar.

Perdarahan pada luka tembak keluar lebih banyak daripada luka tembak masuk (Syaulia et al., 2011) .

(51)

38

Jumlah luka tembak keluar dapat lebih dari 1 meskipun hanya dengan 1 tembakan peluru. Hal ini dikarenakan peluru yang memiliki energi kinetik besar dapat pecah menjadi serpihan dan menembus keluar beberapa bagian jaringan. Selain itu, peluru juga dapat membuat tulang remuk sehingga potongan tulang akan merusak jaringan sekitar bahkan menembus jaringan luar (Sharma, 2011).

Tabel 2.8 Perbedaan luka tembak masuk dan keluar (Biswas, 2015)

Ciri Luka masuk

(Entry wound)

Tampilan (Exit wound)

Ukuran

Biasanya kecil kecuali jenis luka tembak kontak/tempel

Lebih besar daripada luka tembak masuk

Tepi Melekuk ke dalam Melekuk ke luar

Cincin abrasi

(abrasion collar) + -

Cincin kontusio

(contusion collar) + -

Hitam, terbakar, kelim tato atau jelaga

+ -

Grease/dirt collar Bisa ditemukan -

Serat pakaian Bisa terlihat -

Karbon monoksida Bisa terdeteksi

Bisa ditemukan tapi cenderung lebih sedikit daripada luka masuk

(52)

Gambar 2.16 Penampakan luka tembak multipel, E-entry wound, X-exit wound (Shetty et al, 2014)

(53)

40

Gambar 2.17 Kerangka Teori

2.5 KERANGKA TEORI

Tindakan Kekerasan

Kekerasan Mekanik Kekerasan Fisik Kekerasan Kimiawi

Korban Hidup Korban Mati

 Luka Suhu Tinggi

 Luka Suhu Rendah

 Luka Sengatan Listrik

 Luka Asam Kuat

 Luka Basa Kuat

Trauma Tumpul Trauma Tajam Trauma Tembak

 Luka Memar

 Luka Lecet

 Luka Robek

 Luka Iris

 Luka Tusuk

 Luka Bacok

 Luka Tembak Masuk

 Luka Tembak Keluar

Keterangan: Diteliti Tidak diteliti

(54)

Gambar 2.18 Kerangka Konsep

2.6 KERANGKA KONSEP

Korban Hidup (Kekerasan)

Prevalensi Trauma Mekanik

& Karakteristik Perlukaan

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif observasional dengan pendekatan studi potong lintang atau cross sectional. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui gambaran prevalensi trauma mekanik dan karakteristik korban hidup perlukaan di RSUD Dr. R.M Djoelham Binjai tahun 2020. Observasi dilakukan satu kali dengan menggunakan data sekunder yaitu Visum et Repertum.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian akan dilakukan di instalansi forensik RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai. Pengambilan dan pengumpulan data penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Agustus hingga Oktober 2021.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh data Visum et Repertum pasien korban hidup perlukaan akibat kekerasan yang ditangani di instalansi forensik RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai.

3.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik total sampling yaitu VeR korban hidup perlukaan yang ditangani di instalansi forensik RSUD. Dr. R.M. Djoelham Binjai sejak bulan Januari 2020 sampai Desember 2020.

(56)

3.3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi subjek penelitian ini adalah:

a. VeR korban trauma mekanik

b. VeR korban perlukaan/kekerasan orang hidup

c. VeR dengan jangkauan waktu antara Januari sampai Desember 2020

3.3.2.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi subjek penelitian ini adalah:

a. VeR dengan pemeriksaan dalam (autopsi).

b. VeR korban yang tidak mengalami trauma c. VeR korban trauma non-mekanik.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan observasi pada Visum et Repertum. VeR dikumpulkan dari instalansi forensik RSUD Dr. R.M. Djoelham Binjai berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditentukan.

(57)

44

3.5 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1. Definisi operasional

Variabel Definisi

Operasional Alat Ukur Hasil Pengukuran Skala Trauma mekanik Cedera pada

tubuh yang diakibatkan oleh gaya mekanik.

VeR 1. Trauma tumpul 2. Trauma tajam 3. Trauma

tembak 4. Kombinasi

Nominal

Karakteristik Luka Gambaran/pola diskonuinitas jaringan akibat trauma mekanik.

VeR 1. Luka memar 2. Luka lecet 3. Luka robek 4. Luka iris 5. Luka tusuk 6. Luka bacok 7. Luka tembak

masuk 8. Luka tembak

keluar

Nominal

Lokasi trauma Bagian tubuh yang mengalami perlukaan akibat trauma

mekanik.

VeR 1. Kepala, wajah 2. Leher

3. Dada 4. Puggung,

pinggang 5. Perut 6. Ekstremitas

atas 7. Ekstremitas

bawah

Nominal

Jenis Kelamin Perbedaan individu berdasarkan seks

VeR 1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

(58)

3.6 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Statistic Product and Service Solution (SPSS). Pengolahan dilakukan berdasarkan tahap berikut:

1. Editing: melakukan pemeriksaan kembali data yang diperoleh untuk memastikan ketepatan dan kelengkapan data penelitian.

2. Coding: melakukan konversi data yang dikumpulkan dalam bentuk angka atau kode.

3. Entry: memasukkan data yang telah diberi kode ke dalam program komputer.

4. Cleaning: melakukan pemeriksaan data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer sebelum dilakukan analisis.

5. Saving: melakukan penyimpanan data yang siap untuk dianalisis.

Data yang telah diolah akan dilakukan analisis univariat yaitu analisis setiap variabel penelitian tanpa melihat hubungan antar variabel tersebut. Setiap variabel akan dideskripsikan distribusi frekuensi dan proporsinya yang kemudian disajikan dalam tabel.

Umur Lama waktu

hidup sejak dilahirkan yang tercantum pada VeR.

VeR 1. <12 tahun 2. 12-25 tahun 3. 26-45 tahun 4. 46-65 tahun 5. >65 tahun

Ordinal

Referensi

Dokumen terkait

- Cevi bez šava, koje mogu biti: valjane i vu č ene. Šavna cev s uzdužnim šavom nastaje su č eonim zavarivanjem hladno pripremljenih limova, traka, pomo ć u jednog od slede ć ih

Pasal 224 Kompilasi Hukum Islam menentukan, bahwa setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama nadzir yang

Setelah angket tersebut diuji telah valid, perlu adanya pernyataan bahwa angket tersebut sudah reliabel. Untuk menguji hal tersebut variabel Keaktifan dalam Organisasi

Oleh karena itu sangat dibutuhkan sebuah sistem yang bisa mendukung kinerja pengelolaan atau setidaknya dapat mengurangi resiko-resiko kesalahan dalam pertanggung jawaban

Prof Erman Aminullah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) DEWAN PAKAR HIMPENINDO:8. Ketua : Thomas Djamaludin (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) Sekretaris

Dan selanjutnya kepentingan Pemohon berkenaan dengan permohonan uji materiil ini adalah karena Pemohon sebagai warga negara Indonesia diberi hak untuk hidup layak dan

setelah penerbitan opini audit going concern. Pengujian hipotesis terbagi atas dua model regresi logistik dengan menggunakan regresi linear sederhana dan MRA. Hasil

Pada pembelajaran seni budaya berbasis pendidikan multikultural terdapat tiga aspek yang nantinya akan dapat mensukseskan pendidikan multikultural, ketiga aspek