commit to user 5 BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang perpindahan panas konduksi dan konveksi alami sudah banyak dilakukan. Aydin (2000) melakukan penelitian tentang ketebalan optimal lapisan udara pada jendela dengan kaca ganda. Ketebalan lapisan udara harus sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan pergerakan udara. Gerakan bebas dari udara akan meningkatkan koefisien perpindahan panas konveksi, menyebabkan perpindahan panas konveksi alami pada lapisan udara semakin besar sehingga mengurangi kapasitas isolasi. Aydin melanjutkan penelitian mengenai perpindahan panas pada jendela dengan kaca ganda yang terdapat lapisan udara sehingga dapat meningkatkan efek isolasi pada jendela ruangan.
Penelitian tentang persoalan konveksi alami pada kotak dua dimensi dengan variasi kemiringan dilakukan Aris (2006) dengan menyelesaikannya menggunakan metode beda hingga untuk memperoleh vektor kecepatan, distribusi suhu, dan distribusi tekanan dengan fluida udara.
Balderas dkk. (2007) melakukan penelitian perpindahan panas pada dinding lapis banyak yang mana dia mengamati adanya ketebalan kritis yang mengidentifikasikan awal terjadinya proses konveksi alami di lapisan udara.
Danielle dkk. (2013) melakukan penelitian tentang penataan lapisan material pada dinding lapis banyak sehingga diperoleh efek isolasi yang optimal. Kinerja isolasi terbaik dicapai ketika lapisan material isolasi diposisikan sedekat mungkin ke bagian dalam dan bagian luar dinding.
Armando dkk. (2011) mengembangkan penelitian mengenai simulasi perpindahan panas pada dinding tungku pembakaran dengan software komputasi dinamika fluida (Fluent 6.2.16). Perpindahan panas yang diteliti adalah perpindahan panas konduksi dan perpindahan panas konveksi alami steady state dua dimensi dengan kondisi batas
commit to user
isotermal pada dinding tungku pembakaran empat lapis material. Material penyusun dinding tungku pembakaran terdiri empat lapis material yaitu lapisan pertama fire brick dengan konduktivitas termalk = 1,1 W/m.K, ceramic fiber dengan konduktivitas termal k = 0,22 W/m.K, udara dengan konduktivitas termal k = 0,05298 W/m.K dan common brick dengan konduktivitas termal k = 0,72 W/m.K. Temperatur sisi dalam dinding tungku pembakaran adalah 1173 K dan temperatur sisi luar dinding tungku pembakaran adalah 300 K.
Gambar 2.1. merupakan visualisai distribusi temperatur hasil simulasi perpindahan panas pada dinding tungku pembakaran lapis banyak dengan software komputasi dinamika fluida (Fluent 6.2.16).
Gambar 2.1 Visualisasi distribusi temperatur hasil simulasi perpindahan panas pada dinding tungku pembakaran empat lapis
Adapun simulasi perpindahan panas konduksi dan konveksi alami dua dimensi unsteady state pada dinding tungku pembakaran lapis banyak pada penelitian ini menggunakan metode beda hingga. Selanjutnya metode ADI (Alternating Direction
commit to user
Implicit) digunakan untuk iterasi menghitung distribusi temperatur pada dinding tungku pembakaran lapis banyak.
2.2 Dasar Teori
2.2.1 Perpindahan Panas pada Dinding Tungku Pembakaran
Panas merupakan salah satu bentuk energi. Perpindahan panas merupakan perpindahan energi kalor dari benda yang bertemperatur lebih tinggi ke benda yang bertemperatur lebih rendah. Perpindahan panas terjadi bila ada perbedaan temperatur pada beberapa benda.
Dinding tungku pembakaran lapis banyak material mengalami perpindahan panas konduksi pada lapisan material padat dan perpindahan panas konveksi pada lapisan udara dengan kondisi batas isotermal.
2.2.2 Persamaan Atur Konduksi dan Konveksi Alami
Konduksi adalah mekanisme aliran panas dimana energi dipindahkan dari daerah yang temperaturnya tinggi ke daerah yang temperaturnya rendah dengan lintasan elektron pada zat padat (Ozisik dan Yildiz, 1988). Persamaan atur konduksi secara umum ada 3 macam persamaan (Kreith, 1986) yaitu:
1. Persamaan konduksi yang mengatur distribusi suhu dan aliran panas di dalam benda padat yang sifat-sifat fisiknya seragam dan tidak memiliki sumber panas.
t T Y
T X
T
1
2 2
2 2
(2.1) 2. Persamaan konduksi apabila sistemnya dalam keadaan steady tetapi terdapat
sumber-sumber panas.
2 0
2
2
2
Y
q
k T X
kx T y
(2.2) 3. Persamaan konduksi apabila sistemnya dalam keadaan steady tetapi tidak
terdapat sumber-sumber panas.
commit to user
2 0
2
2 2
Y k T X kx T y
(2.3)
Konveksi alami adalah perpindahan panas di antara sebuah permukaan dan fluida yang bergerak di atasnya dengan gerakan fluida disebabkan gaya apung (bouyancy force) yang timbul karena perbedaan massa jenis akibat perbedaan tekanan di dalam aliran (Oosthuizen, 1999). Nilai batas kritis untuk terjadinya konveksi tergantung pada aspek rasio dari kotak 2D yang digunakan.
Pada konveksi alami dengan perbedaan temperatur yang kecil, maka berlaku pendekatan Boussinesq, yaitu dalam analisis mengenai aliran pada konveksi alami, properties fluida diasumsikan konstan kecuali perubahan massa jenis terhadap temperatur yang menyebabkan munculnya gaya apung (buoyancy force) (Oosthuizen, 1999). Sehingga persamaan atur untuk konveksi alami dapat dituliskan sebagai berikut (Querre, 1990):
Persamaan Kontinuitas:
0
y v x
u (2.4)
Persamaan Navier Stokes:
Persamaan Momentum arah x:
cos Pr Pr
2 2
2 2
5 ,
0
y u x
u Ra
x p y
v u x u u t
u (2.5)
Persamaan Momentum arah y:
sin Pr Pr
2 2
2 2
5 ,
0
y v x
v Ra
y p y
v v x u v t
v (2.6)
Persamaan Energi:
2 2
2 2
5 , 0
1
y x Ra v y
u x t
(2.7)
Persamaan di atas diperoleh dengan membagi variabel berdimensi dengan variabel referensi. Variabel referensi untuk panjang adalah Lr = H, untuk
commit to user
kecepatan Vr = (/H)Ra0,5, untuk variabel waktu tr = (H2/)Ra0,5 dan untuk temperatur non-dimensional () didefinisikan sebagai berikut: = (T-Tc )/(Th-Tc) dimana T adalah variabel berdimensi untuk suhu, Th adalah variabel berdimensi untuk suhu yang tinggi, dan Tc adalah variabel berdimensi untuk suhu yang rendah.
2.2.3 Jenis Kondisi Batas
Ada beberapa macam kondisi batas yang terjadi dalam permasalahan konduksi yaitu:
1. Kondisi batas adiabatik atau permukaan dinding diisolasi sempurna dimana heat loss yang melewati dinding (surface) diabaikan.
2. Kondisi batas Dirichlet atau temperatur permukaan konstan ditetapkan pada dinding (surface).
3. Kondisi batas Neumann yaitu kondisi batas dengan pemanasan atau pendinginan yang terjadi pada dinding (surface) yang ada hubungannya dengan proses konveksi atau proses radiasi.
2.2.4 Metode Beda Hingga
Salah satu metode penyelesaian persamaan unsteady state pada dinding tungku pembakaran lapis banyak material adalah dengan metode hingga. Metode beda hingga merupakan suatu cara untuk menentukan penyelesaian numerik dari persamaan diferensial parsial.
Metode beda hingga adalah suatu metode penyelesaian persamaan differensial dengan menggunakan pendekatan aljabar beda hasil bagi yang diturunkan dari basis deret Taylor.
Berikut adalah rumus deret Taylor:
! ...
3 ) (
! 2
) ) (
( )
( 3
3 3
2 2
2
x
f x x
f x x x f x f x x f
(2.8)
commit to user
1 !
) ) (
( ) (
n
n n n
x f n x x
f x x f
(2.9)
Berdasarkan ekspansi deret Taylor menghasilkan pendekatan beda maju orde pertama, beda tengah orde pertama, beda mundur orde pertama dan beda tengah orde kedua.
2.2.4.1 Pendekatan Beda Maju Orde Pertama (First Forward Difference Approximation)
Sebagai contoh kita mendefinisikan u sebagai suatu fungsi lokal (x,y), maka penurunan persamaan beda hingga beda maju orde pertama untuk u terhadap x dapat dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 2.2. Ilustrasi beda hingga beda maju orde pertama u terhadap x Ekspansi deret Taylor dari fungsi u pada titik (i,j) dapat dinyatakan sebagai berikut:
! ...
3 ) (
! 2
)
( 3
, 3 3 2
, 2 2
, ,
,
1
x x
u x
x x u x u u
u
j i j
j i i j
i j i
(2.10) Persamaan (10) dapat ditulis sebagai berikut:
! ...
3 ) (
! 2
)
( 2
, 3 3
, 2 2 ,
, 1
,
x
x u x
x u x
u u
x u
j i j
i j
i j i j
i (2.11)
commit to user
Sehingga diperoleh ekspresi beda hingga sebagai berikut:
)
, (
,
1 O x
x u u
x
u i j i j
(2.12) 2.2.4.2 Pendekatan Beda Mundur Orde Pertama (First Backward Difference
Approximation)
Penurunan persamaan beda hingga beda mundur orde pertaman, ekspansi deret Taylor yang digunakan sebagai berikut:
Gambar 2.3. Ilustrasi beda hingga beda mundur orde pertama u terhadap x Berikut adalah deret Taylor dari fungsi u pada titik (i,j):
! ...
3 ) (
! 2
)
( 3
, 3 3 2
, 2 2
, ,
,
1
x x
u x
x x u x u u
u
j i j
j i i j
i j i
(2.13) Persamaan (13) dapat ditulis sebagai berikut:
! ...
3 ) (
! 2
)
( 2
, 3 3
, 2 2 ,
1 ,
,
x
x u x
x u x
u u x
u
j i j
i j
i j i j
i (2.14)
Sehingga diperoleh ekspresi beda hingga sebagai berikut:
)
, (
1
, O x
x u u x
u ij i j
(2.15)
commit to user
2.2.4.3 Pendekatan Beda Tengah Orde Pertama (First Central Difference Approximation)
Pada penurunan persamaan beda hingga beda tengah orde pertama, ekspansi deret Taylor yang digunakan adalah dengan mengurangkan beda hingga beda maju yaitu persamaan (2.10) dengan beda hingga beda mundur persamaan (2.13) sebagai berikut:
Gambar 2.4. Ilustrasi beda hingga beda tengah orde pertama u terhadap x Pengurangan persamaan (2.10) dengan (2.13) akan didapatkan persamaan sebagai berikut:
! ...
3 ) 2 (
2
3
, 3 3
, ,
1 ,
1
x x
x u x u u
u
j j i
i j
i j i
(2.16) Persamaan (16) dapat ditulis sebagai berikut:
! ...
3 ) ( 2
2
, 3 3 ,
1 , 1
,
x
x u x
u u
x u
j i j
i j i j
i (2.17) Sehingga diperoleh ekspresi beda hingga sebagai berikut:
, 2 1 ,
1 ( )
2 O x
x u u
x
u i j i j
(2.18)
commit to user
2.2.4.4 Pendekatan Beda Tengah Orde Kedua (Cental Difference Approximation Second Derifative)
Penurunan persamaan beda hingga beda tengah orde kedua fungsi u terhadap x, ekspansi deret Taylor yang digunakan didapat dengan menambahkan persamaan (2.10) dan persamaan (2.13).
Gambar 2.5. Ilustrasi beda hingga beda tengah orde kedua u terhadap x Penambahan persamaan (2.10) dengan persamaan (2.13) akan didapatkan persamaan sebagai berikut:
! ...
4 ) 2 (
! 2
) 2 (
2
4
, 4 4 2
, 2 2
, ,
1 ,
1
x x
u x
x u u
u u
j i j
i j
i j i j i
(2.19) Persamaan (2.19) dapat ditulis sebagai berikut:
2 2
, 1 , , 1 2
2
) 2 (
x x O
u u u
x
u i j i j i j
(2.20) 2.2.5 Metode Line Gauss-Siedel
Metode ini merupakan metode iterasi. Jika ada sebuah persamaan berikut:
2 0
2
2
2
y u x
u (2.21)
maka dengan menggunakan pendekatan beda tengah orde dua akan diperoleh:
02 2
2
1 , , 1 , 2
, 1 ,
,
1
y u u u
x u u
ui j i j i j i j i j i j
(2.22)
commit to user
titik grid dari persamaan (2.22) dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.6. Titik Grid untuk formula 5 titik Persamaan (2.22) dapat ditulis kembali menjadi
, 1 , , 1
02
, 1 , ,
1
j ij i j ij i j i j
i u u u
y u x
u u
(2.23) jika didefinisikan
y
x sebagai maka persamaan (2.23) di atas dapat ditulis
sebagai:
1
02 2 ,
1 , 2 1 , 2 , 1 , ,
1
j i j i j i j i j i j
i u u u u u
u
(2.24) persamaan ini menghasilkan tiga variabel yang belum diketahui pada titik (i-1, j), (i, j) dan (i+1, j). Maka formulasinya menjadi:
, 112 1 , 2 1
, 1 1 , 2 1
,
1 21
ikj ik j ikj ikj
k j
i u u u u
u
(2.25) dimana k adalah nilai perhitungan sebelumnya (atau nilai tebakan awal untuk perhitungan pertama). Persamaan (2.25) diaplikasikan pada semua i pada j konstan, menghasilkan sebuah sistem persamaan linear, pada bentuk ringkas memiliki koefisien matriks tridiagonal.
i, j+1
i, j-1
i+1,j
i-1,j i,j
Y
X
commit to user 2.3 Angka Grashof dan Angka Rayleigh
Angka Grashof adalah satuan rasio perbesaran gaya apung (bouyancy force) terhadap viskositas pada aliran konveksi alami. Angka Grashof dirumuskan sebagai berikut:
2
) 3
( v
L T T Gr g i o
(2.26)
Angka Rayleigh didefinisikan sebagai satuan tak berdimensi hasil kali antara angka Grashof dengan angka Prandtl (Pr) yang dirumuskan sebagai berikut:
2
3.Pr ) Pr (
.
T T L Gr g
Ra i o
(2.27)
Dimana, Ra = Angka Rayleigh
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
β = Koefisien ekspansivitas termal (1/K)
Ti = Suhu permukaan dinding tungku pembakaran bagian dalam (oK) T o = Suhu permukaan dinding tungku pembakaran bagian luar (oK) L = Panjang dinding tungku pembakaran (m)
Pr = Angka Prandtl
υ = Viskositas kinematik (m2/s)
Angka Rayleigh digunakan sebagai salah satu acuan untuk menentukan jenis aliran dalam konveksi alami, yaitu:
Ra < 109 : Aliran laminar Ra = 109 : Aliran transisi Ra > 109 : Aliran turbulen
2.4 Koefisien Perpindahan Panas Konveksi dan Heat Flux
Koefisien perpindahan panas konveksi (h) berpengaruh terhadap laju perpindahan panas pada suatu sistem koveksi. Koefisien perpindahan panas konveksi
commit to user
dapat dihitung melalui angka Nusselt yang didasarkan pada persamaan Churchill dan Chu sebagai berikut:
4 (Pr) 333 , 1
25 , __ 0
Gr g
NuL L
(2.28)
25 , 0 5
, 0
5 , 0
Pr) 238 , 1 Pr 221 , 1 609 , 0 ( 75 Pr , 0
(Pr)
g (2.29)
dimana GrL adalah angka Grashof dan Pr adalah angka Prandtl pada temperatur film.
Adapun temperatur film dirumuskan:
2 ) ( i o
f
T T T
(2.30)
dimana T adalah temperatur permukaan dinding tungku pembakaran bagian dalam i dan To merupakan temperatur permukaan dinding tungku pembakaran bagian luar.
Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata dirumuskan:
H Nu k hL L eff
__
_
(2.31)
Dimana, hL _
= Koefisien perpindahan panas konveksi rata-rata (W/m2.K) NuL
__
= Angka Nusselt
keff = Konduktivitas termal efektif udara (W/m.K) H = Tinggi pintu tungku pembakaran (m)
Heat flux yang melalui dinding tungku pembakaran lapis banyak dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
eff o i
k l k l k l k
l
T q T
4
3 3
2 2
1 1
"
(2.32)
Dimana, q” = Heat flux (W/m2)
Ti = Suhu permukaan dinding tungku pembakaran bagian dalam (oK)
commit to user
T o = Suhu permukaan dinding tungku pembakaran bagian luar (oK) l1 = Tebal lapisan common brick (m)
l2 = Tebal lapisan ceramic fiber (m) l3 = Tebal lapisan fire brick (m) l4 = Tebal lapisan udara (m)
k1 = Konduktivitas termal common brick (W/m.K) k2 = Konduktivitas termal ceramic fiber (W/m.K) k3 = Konduktivitas termal fire brick (W/m.K) keff = Konduktivitas termal effektif udara (W/m.K)
2.5 Stream Function
Stream function berfungsi untuk mencari pola aliran udara yang terjadi di lapisan udara pada dinding tungku pembakaran lapis banyak. Pergerakan udara tersebut terjadi karena adanya gaya apung (bouyancy force) yang timbul karena perbedaan massa jenis akibat perbedaan tekanan di dalam aliran. Fungsi aliran dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
y u x
v y
x 2
2
2
2
(2.33) Dimana, φ = Stream function (Kg/s)
v = Kecepatan udara arah sumbu y (m/s) u = Kecepatan udara arah sumbu x (m/s)