• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Di Kota Palembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Di Kota Palembang"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Implementasi Kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Di Kota Palembang

1. Aries Syafrizal

2. L. Syaidiman Marto STIA Bala Putra Dewa Palembang STIA Bala Putra Dewa Palembang

Abstrak

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), Pemerintah menghapus istilah Izin Mendirikan bangunan (IMB) sebagai salah satu syarat untuk mendirikan bangunan gedung. Istilah IMB digantikan dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). PBG merupakan perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung (Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung atau PP 16/2021).Disamping itu untuk mengontrol dan mengawasi bangunan, yang diharapkan untuk membangun tata letak tertib bangunan dan untuk memenuhi standar teknik bangunan dan estetika, oleh karena itu, aman, nyaman, sehat dan memiliki nilai ekonomi yang akan digunakan sebagai penduduk atau kegiatan ekonomi dan sosial budaya bagi penghuni atau pengguna, namun dalam pelaksanaan kebijakan ini ditemukan berbagai masalah, baik yang berasal dari kebijakan internal dan eksternal. Temuan teoritis dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada fakta yang berbeda dan mereka tidak memperkuat sejumlah temuan dari penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa sisi pertama yang menjadi penyebab kurangnya implementasi kebijakan adalah pemerintah khususnya aparat penyedia layanan. Faktor-faktor konteks dan lingkungan sosial-politik dan ekonomi di mana kebijakan itu diterapkan dan isi faktor atau substansi kebijakan memiliki peran penting dalam kebijakan pelaksanaan. Hasil penelitian menunjukkan ternyata aspek konten dan konteks kebijakan memiliki dampak lebih menonjol daripada aspek lainnya. Adapun termasuk aspek konten dan konteks yang meliputi unsur lingkungan kebijakan dalam bentuk kepemimpinan dan kemauan politik yang kuat dari pemerintah, terutama dari unsur eksekutif (Walikota). Itu juga merupakan kondisi obyektif dari kota Palembang yang khas dan unik dalam hal sosial-politik, ekonomi, geografis dan tata ruang.

Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Content dari kebijakan dan Envirionmental kebijakan

(2)

Aries Syafrizal, L. Syaidiman Marto

72

dengan Pasal 1 angka 17 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung atau PP 16/2021) dengan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), melakukan perbaikan kualitas sumber daya (resources) aparatur dan mereformasi perilaku (attitude/disposisi) mereka, namun hasilnya masih dirasakan belum efektif dan memuaskan, baik menurut masyarakat dan juga pemerintah kota. Selain itu komunikasi yang semakin intensif juga dilakukan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi yang ada juga dilakukan ke berbagai pihak, tidak hanya di internal organisasi pemerintahan, tetapi juga secara eksternal yaitu pada masyarakat luas.

Fakta masih rendahnya kepatuhan masyarakat dalam mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) adalah bukti awal bahwa proses implementasi kebijakan belum seperti yang diharapkan untuk mencapai tujuannya sebagaimana yang diharapkan dari kebijakan tersebut. Tentu banyak aspek atau faktor yang mendorong atau menjadi penyebabnya, seperti soal konteks sosial ekonomi dimana Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu diterapkan, isi atau substansi kebijakan, aspek komunikasi, struktur birokrasi, perilaku atau sikap aparatur pemerintah, sumber daya dan faktor lingkungan sosial pada umumnya merupakan sejumlah aspek yang menarik untuk diteliti akan peran dan fungsinya sebagai aspek yang mendorong atau mempengaruhi implementasi kebijakan pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Kota Palembang.

Tinjauan Pustaka

Implementasi kebijakan merupakan proses dalam siklus kebijakan publik yang menempati tahapan sangat penting setelah perumusan kebijakan ditetapkan.

Implementasi kebijakan berada pada tataran yang lebih pada bagaimana menterjemahkan kebijakan kedalam pelaksanaan program atau rencana-rencana yang bersifat manajerial dan teknis operasional.

Dalam studi implementasi kebjakan terdapat banyak model implementasi kebijakan, diantaranya model implementasi kebijakan publik yang diberikan oleh Van Meter dan Van Horn, George C. Edwards III, Grindle dan lain-lain. Setiap model mengetengahkan faktor-faktor dominan dalam implementasi kebijakan sesuai dengan objek, nilai, lingkungan dan kebijakan yang akan dilaksanakan.

Model implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh van Meter dan van Horn (1975: 145) disebut sebagai A Model of The Policy implementation Process yang mengemukakan adanya enam variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan untuk mencapai sebuah kinerja (performance) sebagaimana yang diharapkan oleh tujuan kebijakan.

Grindle menyatakan bahwa proses umum implementasi dapat dimulai ketika tujuan dan sasaran telah dispesifikasikan, program-program telah didesain, dan dana telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan. Ketiga hal tersebut merupakan syarat-syarat dasar (Basic Conditions) untuk suatu kebijakan publik agar dapat dieksekusi atau diimplementasikan.Selanjutnya, Grindle mengemukakan bahwa proses implementasi kebijakan dipengaruhi oleh isi kebijakan (the Content of Policy) dan konteks kebijakan (the Context of policy Implementation) yang terkait dengan formulasi kebijakan.

(3)

Menurut Edwards III (1980: 1), studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi administrasi publik dan kebijakan publik. Ada empat faktor atau variable yang dikemukakan Edwards III memiliki keterkaitan erat satu sama lainnya. Asumsinya jika masing-masing faktor atau variabel itu dapat berinteraksi dengan baik maka tujuan kebijakan akan mudah dicapai, begitu juga sebaliknya. Diantara faktor tersebut yang sering dianggap sangat penting adalah faktor komunikasi dan sumber daya dari organisasi pelaksana kebijakan. Meskipun demikian masing-masing faktor tersebut diyakini memiliki peranan yang sangat penting dalam keseluruhan proses implementasi kebijakan. Intinya Edwards III mengemukakan bahwa terdapat 4 (empat) faktor atau variabel kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumberdaya, sikap kecenderungan dan struktur birokrasi.

Pendapat Edwards III dan juga pendapat Grindle inilah yang oleh penulis dijadikan teori utama untuk menganalisis dan mengkaji lebih dalam mengenai implementasi kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Kota Palembang. Jika konsep teoritik yang dikemukakan Edwards III diuraikan cukup panjang lebar, maka konsep yang dikemukakan Grindle juga demikian, hanya saja secara tidak langsung, namun tetap mengacu pada basis dasar pemikiran Grindle bahwa aspek konteks dan konten kebijakan merupakan dua aspek yang sangat penting dalam implementasi kebijakan.

Metode Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) di Kota Palembang. Penelitian ini diperdalam dengan mengkaji kebijakan itu sendiri terkait dengan pertanyaan mengenai isi atau substansi yang diaturnya.

Guna mengungkap secara lebih mendalam dan empatik terhadap implementasi kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Kota Palembang maka dipilih metode penelitian kualitatif (qualitative research) dengan pendekatan deskriptif.

Pilihan untuk menggunakan pendekatan atau metode kualitatif adalah sebuah upaya untuk mencari sesuatu yang terkadang sulit ditemukan jika menggunakan metode penelitian kuantitatif.

Hasil Penelitian

Mengacu pada teori Grindle (1980) bahwa persoalan konteks merupakan satu dari dua unsur yang sangat besar pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan publik.Persoalan kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu bukan hanya soal legalitas perizinan berupa boleh dan tidak boleh seseorang atau badan hukum mendirikan bangunan di suatu tempat dan untuk peruntukan tertentu. Kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu jangkauannya lebih luas dan dimensional sifatnya.Ia merupakan ‘pintu masuk’ yang harus dilalui sebelum sebuah bangunan itu didirikan. Melalui Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) itu kebijakan tata ruang sebuah perkotaan diterjemahkan dalam ranah yang lebih teknis dan operasional.

Asumsinya jika kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) ini dipatuhi atau

(4)

Aries Syafrizal, L. Syaidiman Marto

74

(1) UU Bangunan Gedung): Peringatan tertulis; Pembatasan kegiatan pembangunan; Penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; Penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung; Pembekuan persetujuan bangunan gedung; Pencabutan persetujuan bangunan gedung; Pembekuan SLF bangunan gedung; Pencabutan SLF fungsi bangunan gedung; atau Perintah pembongkaran bangunan gedung.

Isi kebijakan memiliki peranan yang penting dalam proses pelaksanaan kebijakan. Dan ketika isi atau konten kebijakan itu harus memperhatikan kondisi lokal dimana ia harus diterapkan, maka ada kemungkinan bahwa masing masing daerah akan memiliki keunikan dan perbedaan, yang bisa dianggap unik atau sekedar berbeda pola pengaturannya. Misalnya ketika terkait dengan persoalan biaya ini perlakuan yang unik atau berbeda ini bisa diterapkan di dalam daerah otonom itu sendiri, baik dalam bentuk subsidi silang atau kebijakan pemihakan (affirmative action).Ada sejumlah pilihan kebijakan terkait dengan isi atau konten kebijakan, namun semua terpulang pada pengambil kebijakan untuk menilai dan menetapkanya. Bisa saja kebijakan menggratiskan izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) secara umum itu dianggap kontraproduktif dengan asumsi banyak pihak yang sebenarnya mampu membayar menjadi tidak membayar sehingga menciptakan masalah baru.

Ada persoalan dalam komunikasi, di samping aspek lain, sehingga masyarakat kurang paham atas apa yang seharusnya dilakukan dalam mengurus Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Sejauh ini telah dilakukan berbagai kegiatan untuk mengkomunikasikan kebijakan publik, baik yang dilakukan secara top down, atau sebaliknya dengan mengedepan aspek bottom up.

Secara umum sumber daya manusia yang ada di pemerintah Kota Palembang cukup memadai, tidak terkecuali di bidang pelayanan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), meskipun masih jauh dari ideal secara kualitas dan kuantitas. Kondisi demikian merupakan kendala yang sifatnya non-teknis, yaitu jumlah sumber daya manusia yang kurang, karena hal itu turut memperlambat proses pelayanan perizinan, sebetulnya kekurangan ini bisa diatasi dengan mengadakan kerja sama dengan pihak / lembaga lain.

Begitu juga sikap dan perilaku dalam memberikan layanan perizinan sudah cukup baik karena sistem yang ada memang mendorong terjadinya perubahan perilaku.“Secara umum Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kota Palembang sudah cukup bagus melayani masyarakat”, demikian kira-kira pernyataan sejumlah informan yang diwawancarai.

(5)

Simpulan

Temuan penelitian ini secara tidak langsung memperkuat teori Grindle (1980), hanya saja berbeda dengan rincian mengenai apa yang disebut konteks dan konten kebijakan. Dalam penelitian ini dapat dirumuskan konsep baru bahwa konsep Edwards III (1980) dan Grindle (1980) masing-masing dianggap masih kurang cukup memadai untuk menjelaskan proses implementasi kebijakan pada sebuah daerah atau wilayah yang memiliki karakteristik khas dan unik seperti Kota Palembang.

Gabungan dari kedua teori itu akan lebih memudahkan untuk memahami proses tersebut, meskipun tidak cukup tetapi diyakini lebih memadai jika keduanya digabungkan sekaligus.

Implementasi kebijakan merupakan bagian dari proses organisasional dari organisasi publik yang tidak vacum secara sosial. Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosialnya, sehingga aspek internal dan eksternal organisasi sangat menentukan proses implementasi kebijakan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Dalam kasus Kota Palembang, ternyata aspek konten dan kontek kebijakan memiliki pengaruh yang lebih menonjol dibandingkan aspek yang lain. Adapun yang termasuk aspek konten dan konteks tersebut mencakup di dalamnya unsur lingkungan kebijakan berupa kepemimpinan dan kehendak politik pemerintahan yang kuat, terutama dari unsur eksekutif ( Walikota). Juga kondisi obyektif Kota Palembang yang khas dan unik dari sisi sosial politik, ekonomi, geografis dan spasial.

Saran

Saran Akademik

(1) Sejauh mana masing-masing unsur yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan perlu penelitian lanjutan, baik dengan pendekatan kualitatif ataupun kuantitatif. Tujuannya agar ditemukan pemahaman yang lebih mendalam karena diyakini bahwa masing - masing unsur itu memiliki derajat keterkaitan atau pengaruh yang berbeda - beda pada masing - masing kebijakan di tiap - tiap daerah yang memiliki kondisi atau karakteristik khas dan unik.

(2) Penelitian lanjutan itu bisa terfokus pada salah satu unsur yang mempengaruhi kebijakan atau hanya sebagian saja, misalnya dari sisi pelaksana kebijakan, atau dari sisi lingkungan eksternal kebijakan, atau sebaliknya dari sisi dalam kebijakan itu sendiri, namun perlu dijelaskan secara spesifik bahwa unsur yang diteliti hanya sebagian dari banyak unsur utama yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

(3) Diperlukan penelitian yang lebih holistik dengan menggunakan sejumlah pendekatan yang multidisipliner, misalnya pendekatan hukum, ekonomi dan budaya untuk meneliti proses implementasi sebuah kebijakan. Model atau teknik yang digunakan bisa menggunakan cara-cara yang lebih mengedepankan aspek kualitatif atau juga kuantitatif atau kedua duanya sekaligus dengan melibatkan sejumlah unsur atau parameter yang lebih lengkap, sehingga hasilnya akan lebih membumi dan selaras dengan apa yang menjadi tujuan kebijakan.

(6)

Aries Syafrizal, L. Syaidiman Marto

76

(1) Diperlukan sebuah kebijakan yang khas dan bukan merupakan hasil jiplakan atau copy paste dari praktik terbaik dari daerah lain untuk kemudian diterapkan di daerah yang bersangkutan karena masing-masing daerah memiliki karakterikstik dan keunikan yang berbeda.

(2) Konteks kebijakan perlu diperhatikan secara seksama agar sebuah kebijakan bisa ‘membumi dan memiliki akar yang kuat’, sehingga tidak ada kebijakan yang bagus di atas kertas tetapi sulit diimplementasikan karena tidak sesuai dengan konteks dimana kebijakan itu diterapkan.

(3) Aparat pelaksana kebijakan perlu melakukan serangkaian terobosan dalam proses implementasi kebijakan dengan mengacu pada tujuan dasar yang hendak dicapai, sehingga proses pelayanan yang diberikan tidak lebih mengedepankan aspek legal formal dan prosedural semata, tetapi senantiasa mempertimbangkan aspek pencapaian tujuan, sehingga sejumlah persoalan yang dianggap menghambat yang berasal dari sisi rumusan kebijakan itu bisa diatasi dan dicarikan jalan keluar tanpa harus menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan dimaksud.

(4) Agar kepatuhan bisa lebih ditingkatkan maka kebijakan yang dibuat harus senantiasa memperhatikan aspek lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan ini harus dimaknai secara luas dan dinamis, sehingga mencakup di dalamnya, aspek sosial politik, aspek ekonomi dan juga aspek kepemimpinan dalam arti luas, baik formal dan informal di berbagai tingkatan dan lingkupnya

Ucapan Terima Kasih

Dengan segalakerendahan hati, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga atas bantuan semua pihak dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Walikota Palembang

2. Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Kota Palembang.

(7)

Daftar Pustaka

Arni, Muhammad. 2009. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Abiyasakere, Susan. 1989. Jakarta a History. New York. Oxford University Perss.

Bagus Mantra Ida. 2004. Demografi Umum, Cetakan III. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Cokrowinoto, Mulyarto, 1996. Pembangunan, Dilema dan Tantangan. Yogyakarta:

PT. Pustaka Pelajar.

Cresswell, John W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches.

New Delhi: Sage Publication.

_______________. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications, Second Edition.

Dwianto, Agus. 2006. ’Mewujudkan Good Governance melalui Reformasi Pelayanan Publik’dalam Suparto Wijoyo (ed)Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi,. Surabaya: Airlangga University Press.

Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis, New York: Prentice-Hall, Inc.

Dye, Thomas R. 1978.Understanding public policy. New Jersey: Englewood Cliffs - Prentice Hall, Inc.

Edwards III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington:

Congressional Quarterly Press.

Effendi, Sofyan. 2000. Kuliah Umum MAP UNDIP Angkatan I. Semarang.

Faisal, Sanapiah. 1991. Penelitian Kualitatif, Dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asah, Asih Asuh (YA3).

Flippo. B. Edwin. 1980. Personal Management. Singapore: Mac Graw Hill Inc.

Goggin, Malcom et all. 1980. ImplementationTheory and Practice to Word a Third Generation. Illionis: Scott, Foresman and Company Glenview.

Grindle, Merilee S. 1980. Politic and Policy Implementation in The Trhird World. New Jersey : Princeton University Press.

Handoko, Hani. 1990.Managemen, Edisi II(terjemahan). Yogyakarta: BPFE.

Islamy, M. Irfan. 2001.Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Iglesias, Gabriel. U. 1976. Implementation the Problem of Achieving Result. Manila.

Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia. Suatu Model Pengantar. cet.

Ke-5. Bandung: Sinar Baru.

Koentjaraningrat, ”Pengamatan Terlihat oleh Seorang Peneliti Pribumi dan Asing:

Masalah Masuk ke dalam dan Keluar dari Kebudayaan”, dalam Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson, ed. 1985. Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Lukman, Sampara. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta; STIA LAN Press.

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. California: SAGE Publications, Inc.

Mazmanian, Daniel and Paul A Sabatier. 1983. Effective Policy Implementation.

Massachusets: D.C. Heath.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Marbun, SF dan Mahfud MD. 2006. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara.

Yogyakarta: Liberty.

Monier, A.S. 2001.Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Nurmandi, A. 2006.Manajemen Perkotaan. Yogyakarta: Sinergi Publishing.

(8)

Aries Syafrizal, L. Syaidiman Marto

78

Nale, Matheos,(tansl), Mikkelsen, Britto. 1999. Penelitian Partisipatoris dan Upaya- upaya Pemberdayaan, Sebuah Buku Pegangan Bagi Para PraktisiLapangan. Jakarta: Yayasan obor Indonesia.

Prasojo, Eko. 2003. “Balanced E-Government” Pelayanan Publik yang Partisipatif, Efisien dan Efektif di Era Perdagangan Bebas dalam Jurnal Forum Inovasi Capacity Building and Good Governance.Vol. 8 September-November 2003.

Jakarta: PPs PSIA FISIP UI.

Pressman, J., and Wildavsky, A. 1984.Implementation, California: University of California Press and Los Angeles.

Parasuraman, A., Valerie A. Zethaml., & Leonard Berry. 1994. “Reassesment of Expectations as A Comparison Standard in Measuring Service Quality:

Implicatissons for Futher Research”.,Journal of Marketing, Vol. 58.

Spring.11-124.

Quade, E.S. 1984. Analisis For Public Decision. New York: Nort Holland.

Rosenblom, David H. and Roberts S. Kravchuk. 2005. Public Administration:

Understanding Management, Politik and Law in The Public Sector, 6th ed.

New York: McGraw-Hill.

Robbin, Stephen P. 2001.Perilaku Organisasi. Jakarta: PT. Prenhalindo.

Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sabatier, Paul, and Mazmanian, Daniel. ”The Implementation of Public Policy: A Framework of Analysis.” Policy Studies Journal 8 (Special Issue No. 2, 1980).

Salam, Dharma Setyawan. 2004. Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya.Jakarta : Djambatan.

Syahrin, Alvi. 2003. Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan Medan: Pustaka Bangsa Press.

Samodra Wibawa. 1994.Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Suyono, Haryono. Menjadikan Hari Keluarga Nasional Sebagai Momentum Pemberdayaan Keluarga Kurang Mampu, Majalah Gemari, Edisi53/Tahun VI/Juni 2005.

Subarsono, AG. 2005.Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soetrisno, 2001.Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya PembebasanKemiskinan.

Penerbit Philosopy Press. Jakarta.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1998. Politik, Kekuasaan, dan Hukum, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Tarigan, Pendastaren. 2006. Materi Kuliah Hukum Perizinan, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan: Materi Kuliah.

Toer., Pramoedya A. 1995. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta, Lentera Dipantara.

Utomo, Warsito. 1997. Peranan Dan Strategi Peningkatan Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Pelaksanaan Otooomi Daerah, Dalam Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 1.

Van Meter, Donald S., and Van Horn, Carl E. 1975. “The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework.”,Administration and Society 6 (February 1975).

(9)

Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah, Jakarta;

Fokus Media.

Wahab, Sholichin, Abdul. 1997.Analisis Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara.

---. 2001.Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Winarno, Budi. 2002. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung atau PP 16/2021).

Referensi

Dokumen terkait

Perguruan LEMKARI Cabang Kota Bekasi - Jawa Barat sebagai Perguruan Karate yang menaungi sepak terjang olahraga Karate juga tidak terlepas dari keniscayaan tersebut,

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa, KAMMI belum menganut prinsip kesetaraan gender dalam kepengurusannya dan yang terjadi sebenarnya adalah bias gender

Rencana Strategis Organisasi Perangkat Daerah (Renstra OPD) Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Batam Tahun 2016-2021 disusun berdasarkan penjabaran Rencana

Kenaikan index yang dibayar petani lebih besar dibanding dengan kenaikan index yang diterima petani, akibatnya Nilai Tukar Petani juga turun dari 100,02% menjadi 99,46%

Untuk menganalisi wacana feminism dalam satua Ni Tuwung Kuning secara eksplisit menggunakan fungsi bahasa dari Roman Jakobson seperti berikut, enam fungsi struktur bahasa

(3) Dalam hal Bangunan Gedung yang sudah ada (existing) yang dilakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki PBG dan/atau SLF, petugas Pendataan

Persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada

Adapun salah satu pendekatan yang digunakan dalam konseling keluarga yaitu pendekatan Gestalt, pendekatan ini memberikan perhatian kepada apa yang dikatakan anggota