• Tidak ada hasil yang ditemukan

FEMINISME DALAM SATUA NI TUWUNG KUNING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FEMINISME DALAM SATUA NI TUWUNG KUNING"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FEMINISME DALAM SATUA NI TUWUNG KUNING

Komang Wahyu Rustiani1

Universitas Halu Oleo Email: wahyurustiani@uho.ac.id1

ABSTRAK

Wacana feminisme pada hakikatnya mengacu pada dua konsep perjuangan yaitu perjuangan fisik dan psikis antara perjuangan dunia realitas dengan dunia ide dan gagasan berupa karya fiksi. Gerakan pembebasan kekuasaan adam terhadap kaum hawa ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok atau organisasi perempuan secara nyata di barat hingga Indonesia, kemudian melalui pendekatan sastra, lahirnya karya-karya sastra bahkan sastrawan perempuan untuk menyuarakan hak-hak atas kebebasan berekpresi tanpa adanya bayang-bayang legitimasi laki-laki. Khususnya di Bali, kehadiran karya perempuan sangat membantu dalam upaya polarisasi tugas dan fungsi perempuan dalam kehidupan. Keseimbangan hidup pada dasarnya telah dirumuskan dalam proses penciptaan mahluk hidup masa silam oleh Tuhan yang Maha Esa, demi tujuan kelangsungan hidup bersosial. Budaya sistem pendidikan masa kolonialis telah mengajarkan masyarakat untuk berpikir luas dalam menyikapi eksistensi perempuan. Bahkan para sastrawan laki-laki secara implisit telah mengakui keberadaan perempuan melalui karya satua Bali yaitu Satua Ni Tuwung Kuning. Kritik sastra feminis merupakan sambutan para akademisi mengenai interelasi gender. Menekankan pada trikotomi, sosial, politik dan ekonomi. Secara sosiologis satua Ni Tuwung Kuning mencerminkan gerakan feminisme tradisional bahkan menghadirkan sebuah tokoh mitologi yaitu malaikat (widiadari) sebagai simbol kekuatan dari perempuan itu sendiri..

Kata Kunci: Feminisme, Satua, Ni Tuwung Kuning

ABSTRACT

The discourse on women's emancipation essentially refers to two concepts of struggle, is name the physical and psychological struggle between the struggle of the world of reality and the world of ideas and ideas in the form of fiction. The movement to liberate Adam's power over women was marked by the emergence of women's groups or organizations in the west to Indonesia, then through a literary approach, the birth of literary works and even women writers to voice their rights to freedom of expression without any shadow of legitimacy. man. Especially in Bali, the presence of women's work is very helpful in efforts to polarize women's duties and functions in life. The balance of life has basically been formulated in the process of creating past living things by God Almighty, for the purpose of social survival. The culture of the colonialist education system has taught people to think broadly in addressing the existence of women. Even male writers have implicitly acknowledged the existence of women through the work of the Balinese unit, Satua Ni tuwung Kuning.Feminist literary criticism is a response from academics regarding gender interrelation. Emphasis on trichotomy, social, political and economic. Sociologically, the yellow Ni Tuwung unit reflects the traditional feminism movement and even presents a mythological figure, namely an angel (widiadari) as a symbol of the strength of the woman herself..

(2)

Keyword: Feminism, Satua, and Ni Tuwung Kuning I. PENDAHULUAN

Perbedaan jenis kelamin sangat kontroversial di kalangan masyarakat pasca kemerdekaan. Konflik gender diperdebatkan karena menyangkut masalah hak dan kewajiban. Salah satu penyebab terjadinya diskriminasi mengenai status biologis seseorang yaitu faktor lingkungan. Secara Psikologis berdasarkan parameter laki-laki, kaum perempuan adalah makhluk lemah. Sehingga dalam kehidupan sosial cendrung terhegemoni.

Dominasi berlanjut sampai pada pola asuh orang tua. Apabila dalam keluarga terdapat anak laki dan perempuan maka, kepala keluarga akan lebih mengutamakan kebutuhan anak laki-laki. Hal tersebut dikarenakan paradigma kolonial masih menyelimuti pola pikir masyarakat terdahulu, sehingga dari segi pendidikan anak laki notabena akan mengenyam jenjang pendidikan lebih tinggi dari perempuan. Ketimpangan pandangan kultur perempuan mengakibatkan adanya gerakan peralawanan global sampai lokal. Secara historis, dibalik tuntutan atas kekuatan fisik era kemiliteran, Pendidikan Jepang telah mengahpus sekolah berdasarkan perbedaan status (Ratna, 2014:31).

Feminisme lahir pada awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul "A Room of One's Own" (1929). Perkembangannya sangat pesat, yaitu sebagai salah satu aspek teori kebudayaan Kontemporer, terjadi tahun 1960-an. Model analisinya beragam dan sangat kontekstual, berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi. Indikator yang menjadi pemicu

gerakan feminisme salah satunya yaitu, reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti kritik baru dan strukturalisme (Ratna, 2015:183).

Gerakan feminis di Indonesia ditandai dengan adanya tokoh Raden Ajeng Kartini. Beliau merupakan sosok perempuan Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi, yang memiliki cita-cita memajukan kaumnya dalam bidang Pendidikan dan pengajaran. Perjuangan Kartini menjadi pondasi kiprah para penulis perempuan di Tanah Air. Menurut Tong maupun Beavoir Munculnya novel karya pengarang perempuan periode 2000-an menggambarkan bahwa perempuan Indonesia mulai memproduksi teks sastra dalam sudut pandang perempua. Novel-novel seperti Saman (1998) karya Ayu Utami, novel Tarian Bumi (2000) karya Oka Rusmini, novel Jendela-jendela (2001) karya Fira Basuki, adalah pola-pola baru pengarang perempuan memproduksi teks sastra dengan tujuan upaya kultural mengatasi kekuatan-kekuatan lingkungan dan melakukan imanensi agar dapat menghasilkan teks sastra yang otonom dan dipenuhi dengan pengalaman sosial-kultural perempuan Indonesia yang otentik. (Anwar, 2012:152).

Faktor lingkungan menjadi indikator signifikan yang mempengaruhi paradigma setiap kepala keluarga. Sebagai masyarakat Bali yang terlalu mengkaitkan faham Patriarki ortodok telah memposisikan perempuan sebagai kaum yang terintimidasi. Namun, apabila ditelusuri berdasarkan aspek

(3)

religiusitas upaya keseimbangan telah diwariskan oleh nenek moyang orang Bali dengan adanya istilah faham Purusa dan Pradana atau konsep Rwa-Bhineda. Konsep tersebut menjelaskan akan penting suatu kehadiran lawan jenis untuk keberlangsungan hidup. Salah satu contohnya, ketika seorang ayah bertugas untuk menafkahi keluarga, maka tugas dari ibu adalah sebagai mengatur kehidupan rumah tangga. Bayangkan jika salah satu orang memainkan peran ganda dalam rumah, sudah dipastikan keluarga tersebut akan kurang harmonis.

Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan pemahaman secara spesifik terkait harmonisasi hak dan kewajiban tanpa memandang kelemahan salah satu pihak melainkan upaya saling melengkapi antara kelebihan dan kekurangan setiap insan manusia. Jika di Barat melalui upaya gerakan fisik sementara di Bali menggunakan pendekatan sastra sesuai adat ketimuran.

II. METODE

Penelitian ini emnggunakan perspektif Feminisme yang bersiifat deskriptif kualitatif. Feminisme digunakan untuk menunjukkan kritik terhadap pendeskriminasian (ketidakadilan) kaum perempuan dalam hal persamaan kebebasan individu dan nilai moral. Pemikiran Feminisme digunakan untuk menunjukkan bahwa kebebasan seorang wanita dalam menentukan pilihan hidupnya dan layak mendapatkan haknya sebagaimana seorang laki-laki. Memiliki kedudukan yang sama, dapat berganti peran dan bertukar peran. Pemikiran dasar feminisme mengakar pada pandangan bahwa

kebebasan (freedom), kesamaan (equality) yang mengakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik (Fakih,M 1998:81). Heropoetri & Valentina 2004: 36 menjelaskan cara pemecahan untuk menyamakan hak kaum perempuan dengan kaum laki-laki adalah menambah kesempatan bagi perempuan, terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan ekonomi.

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara Deskriptif kualitatif sesuai dengan pernyataan Noor (2017: 34-35) menyebutkan bahwa penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Untuk menganalisi wacana feminism dalam satua Ni Tuwung Kuning secara eksplisit menggunakan fungsi bahasa dari Roman Jakobson seperti berikut, enam fungsi struktur bahasa yaitu; (1) fungsi emotif (apabila pembicara mengarahkan ekspresi langsung dari sikapnya terhadap topik atau situasi), contohnya; “alangkah indahnya rumah itu”, (2) fungsi konatif (apabila penerima diberi tekanan agar melakukan sesuatu secara tidak langsung, dalam artian pembicara meminta perhatian untuk melakukan sesuatu), contohnya; “panas sekali ruangan ini”, (3) fungsi konteks atau refrensial (apabila tekanan diberikan pada acuan baik pengirim maupun penerima), contohnya; sebuah penonjolan peristiwa, “ kemarin ada kecelakaan di tol padaleunyi”, (4) fungsi fatik (apabila tekanan diberikan pada faktor kontak akan tetapi tidak menghasilkan pesan apapun), seperti kata “halo” dalam permulaan sebuah komunikasi sebenarnya tidak mempunyai makna tetapi mempunyai fungsi sebagai

(4)

pembuka kontak, (5) fungsi metalinguistik (apabila komunikasi memberikan tekanan pada faktor kode, bahasa mempunyai fungsi metalinguistik atau fungsi sosial budaya), contohnya; “kuda adalah hewan menyusui, bertulang belakang, dan berkaki empat”, (6) fungsi puitika (apabila komunikasi memberikan tekanan pada pesan, bahasa mengandung fungsi puitik atau estetis yang ditandai oleh perulangan, penyimpangan, keambiguan), contohnya; “Amin Rais adalah Rais Amin (pemimpin yang terpercaya) (Rusmana, 2014:132-136).

III. PEMBAHASAN

Gerakan Feminisme di Bali cenderung dilakukan melalui pendekatan media karya sastra. Idelogi kesetaraan gender tersirat dalam karya prosa, Anwar (2012:129) mengemukakan bahwa sastra feminis adalah sebuah gerakan perjuangan untuk melawan segala bentuk objektifikasi perempuan. Salah satu yang termasuk kategori sastra feminis yaitu, Cerita Tantri. Perjuangan Ni Diah Tantri untuk melindungi kaum perempuan akibat dari kekuasaan Raja Aeswaryadala yang selalu memperbudak kaum perempuan menjadi istrinya. Hingga pada akhirnya tersisa Ni Diah Tantri dipersunting oleh sang raja (Suarka, 2007:66-6). Kisah Ni Diah Tantri sangat menginspirasi para akademisi sastra tradisional karena keunikan dari insidennya mencerminkan gerakan feminisme berdasarkan aspek psikologi. Tokoh Utama berusaha menyadarkan Sang Raja dengan menghadirkan cerita-cerita berantai selama semalam penuh tanpa adanya kekerasan fisik.

Walaupun pengarang berasal dari kaum laki-laki seperti Cerita Tantri yang di jelaskan di atas. Kritik sastra feminis berkembang secara dinamis untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Seperti halnya dalam satua Bali untuk anak-anak, maksud dari pengarang menampilkan cerita berupa kesetaraan gender tingkat SD agar sejak dini tertanam paradigma siswa tidak memilih dalam berteman. Selain itu bagi guru, sebagai fasilitator diharapkan mampu menjadi figur yang dapat dijadikan panutan berupaya menanamkan konsep toleransi dan rasa kekeluargaan yang tinggi pada ruang lingkup pendidikan formal. Ratna (2014:413) menjelaskan peran guru sangat penting dalam rangka membangkitkan hubungan kekeluargaan antarindividu di satu pihak, meningkatkan kualitas apresiasiyang diperoleh melalui aktivitas tersebut di pihak lain, baik guru maupun murid perlu diberikan suasana yang berbeda. Sesuai dengan pendapat Ratna, fenomena di lapangan menunjukan suasana kelas pada era 90-an telah mengalami perkembangan. Kepiawaian guru dalam pengeloaan kelas terimplementasi melalui penerapan sistem duduk laki-perempuan.

Bahasa dan sastra bertugas sebagai media komunikasi untuk menyuarakan makna-makna terbaru sebuah karya sastra. Oleh karenanya analisis wacana Emansipasi Wanita yang terkadung dalam Satua mengadopsi paradigmatik fungsi bahasa dari Roman Jakobson seperti berikut, enam fungsi struktur bahasa yaitu; (1) fungsi emotif (apabila pembicara mengarahkan ekspresi langsung dari sikapnya terhadap topik atau situasi), contohnya; “alangkah indahnya rumah itu”, (2)

(5)

fungsi konatif (apabila penerima diberi tekanan agar melakukan sesuatu secara tidak langsung, dalam artian pembicara meminta perhatian untuk melakukan sesuatu), contohnya; “panas sekali ruangan ini”, (3) fungsi konteks atau refrensial (apabila tekanan diberikan pada acuan baik pengirim maupun penerima), contohnya; sebuah penonjolan peristiwa, “ kemarin ada kecelakaan di tol padaleunyi”, (4) fungsi fatik (apabila tekanan diberikan pada faktor kontak akan tetapi tidak menghasilkan pesan apapun), seperti kata “halo” dalam permulaan sebuah komunikasi sebenarnya tidak mempunyai makna tetapi mempunyai fungsi sebagai pembuka kontak, (5) fungsi metalinguistik (apabila komunikasi memberikan tekanan pada faktor kode, bahasa mempunyai fungsi metalinguistik atau fungsi sosial budaya), contohnya; “kuda adalah hewan menyusui, bertulang belakang, dan berkaki empat”, (6) fungsi puitika (apabila komunikasi memberikan tekanan pada pesan, bahasa mengandung fungsi puitik atau estetis yang ditandai oleh perulangan, penyimpangan, keambiguan), contohnya; “Amin Rais adalah Rais Amin (pemimpin yang terpercaya) (Rusmana, 2014:132-136).

Satua Ni Tuwung Kuning merupakan refleksi kehidupan. Dunia ide beserta gagasannya mencerminkan situasi masa karya tersebut dilahirkan. Tokoh dalam cerita sangat populer di kalangan murid kelas 4 SD, karena sistem pembelajaran siswa era 90-an masih sangat intens dengan Buku Kusumasari 4. Sebelum adanya perubahan kurikulum pelajaran Bahasa Bali tingkat SD sangat masif

mengacu pada pembentukan karakter peserta didik. Oleh karenanya semenjak kelas 1 siswa telah mengenal satua yang berjudul "Siap Selem dalam Buku Kusuma Sari 1. Apabila dilihat secara tekstual, karya sastra untuk anak SD hanya sebatas menekankan pada konsep nilai etika moral. Akan tetapi pada Satua Ni Tuwung Kuning, jika di telaah lebih mendalam secara implisit sejatinya sudah mencerminkan gerakan feminisme. Berikut beberapa kutipannya,

Insiden pertama,

“Ada katuturan satua, anak kereng mamotoh madan I Pudak. I Pudak liu pesan ngelah siap kurungan. Kurenane beling gede, merasa keweh ngencanin siap”

Terjemahan,

“Ada sebuah cerita, seorang yang senang berjudi sabung ayam bernama I Pudak. Ia mempunyai banyak ayam. Istrinya hamil tua, merasa kurang mampu mengurus ayam”

Kutipan di atas menunjukan sebuah hegemoni dari tokoh I Pudak sebagai kepala keluarga kepada istrinya yang notabena berstatus sebagai Ibu rumah tangga. Terlebih lagi istri I Pudak sedang hamil tua. Tanpa rasa belas kasihan, semena-mena menyuruh untuk mengurus ayam peliharaan. Sementara sebagai kepala keluarga seyogyanya I Pudak bertanggung jawab terhadap keadaan istri, terutama ketika istri sedang hamil dibutuhkan perhatian khusus dari suami. Selain itu kepergian tokoh pudak bukan untuk mencari nafkah untuk keluarga, akan tetapi bersenang-senang dengan berjudi sabung ayam.

(6)

Tradisi Bali mengungkapkan bahwa laki-laki yang telah menikah dapat menjadi anggota peratuan. Bahkan, pendeta tinggi, tidak menyesuaikan diri pada sikap pertapa yang disukai oleh agama Hindu ortodoks dan tanpa kecuali menikah (Covvarubiass,2014:124). Dapat diinterpretasikan bahwa kehidupan berumah tangga menjadi cikal bakal ineteraksi sosial kemasyarakat. Sampai pada akhirnya nanti tujuan dari pernikahan adalah agar mempunyai anak. Bila demikian adanya sebagai kepala keluarga ketika melihat keadaan istri yang sedang mengandung seyogyanya berusaha menjaga istri dengan kasih sayang berlimpah.

Insiden kedua,

“Kacrita I Pudak luas matajen ka Denbukit, Kurenane mabesen kene, " yen muani pianake ubuh, yen luh tektek bang siap"

Terjemahan:

“Diceritakan I Pudak berangkat berjudi sabung ayam ke Denbukit (Buleleng), Istrinya diberi pesan seperti ini " Bila anaknya laki pelihara, sedangkan jika perempuan agar dincincang dijadikan pakan ayam”.

Insiden kedua menunjukan, terjadinya diskriminasi antara anak laki-laki dengan perempuan dalam keluarga. Sangat jelas disebutkan bahwa tokoh Pudak lebih memilih anak laki daripada perempuan, secara kontekstual mengacu pada fungsi bahasa emotif Jakobson, istilah toleransi terhadap kehidupan bagi kaum perempuan tidak ada, bahkan sangat ekstrim penggunaan bahasa tokoh Pudak agar anak perempuannya dicincang kemudian diberikan ayam sabung. Dikaitkan

dengan kehidupan bernegara Undang-undang mengatur tentang penghidupan yang layak pasal 27 ayat (2).

Tokoh Pudak tidak sadar bahwa kelahiran buah hati atau anak merupakan penyatuan unsur biologis antara lelaki dengan perempuan. Apapun jenis kelamin yang lahir maka tokoh Pudak harus menerima dengan ihklas, karena ia juga mempunyai andil dalam proses perkawinan. Dagun menjelaskan perbedaan secara alamiah tidak mungkin diubah, sebagai asa kodrati, secara religius diciptakan oleh Tuhan. (Ratna, 2015:187-188).

Insiden ketiga,

“Mara maketelun I Pudak luas, kurenane ngelah pianak luh. Pianakne kinsananga jumah dadongne. Ari-arine dogen tekteka baanga siapne”.

Terjemahan,

“Baru tiga hari kepergian I Pudak, istrinya melahirkan anak perempuan. Anaknya dititipkan dirumah neneknya, yang dicincang dan diberikan ayam hanya plasentannya saja”.

Kejadian ketiga menjelaskan adanya gerakan feminisme dari kaum perempuan dalam hal ini dilakukan oleh istri dari Pudak. Perlawanan terhadap kaum laki-laki terjadi, dikarenakan sebagai seorang ibu, tentunya istri Pudak sangat menyayangkan sifat dari suaminya tetap menganggap bahwa kehadiran anak perempuan tidak penting serta hanya menjadi beban keluarga. Walaupun itu sebuah kebohongan namun, tindakan yang dilakukan istri lebih baik daripada menghilangkan nyawa manusia.

Pola pikir ortodok dari Pudak ditentang oleh istrinya, sesuai tradisi

(7)

dalam sebuah pernikahan anak laki-laki lebih utama. Memang benar sesuai dengan hasil penelitian Covvarubias (2014:124), bahwa anak lelaki lebih diharapkan kehadirannya karena menyangkut masalah warisan dan kewajiban anak ketika ayah dan ibu tua maka yang merawat mereka adalah anak laki-laki. Tetapi relevansi perkembangan jaman menunjukan, adanya pergeseran budaya mengenai perihal mengasuh orang tua. Anak perempuanpun sadar diri ketika ia diasuh sedari kecil saat dewasa perlakuan orang tuanya akan dibalas.

Insiden ke empat

“…Ngancan kelih ngancan jemet Ni Tuwung Kuning magarapan.”

Terjemahan

“…Semakin besar semakin rajin Ni Tuwung Kuning bekerja.”

Kutipan di atas menunjukan adanya kesetaraan gender antara laki dengan perempuan. Sebagai anak perempuan yang tidak dikehendaki kehadirannya Ni Tuwung Kuning tetap menjalankan kewajibannya berbakti kepada orang tua serta tetap rajin bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi status biologisnya.

Pada tahun 1990 sampai 2000 di bumi nusantara banyak terjadi alih fungsi peran antara maskulin dan feminin dalam bertugas. Misalnya dari sisi kemiliteran, hadirnya pasukan-pasukan khusus dari kalangan perempuan, selanjutnya setingkat pejabat-pejabat pelayan publik seperti, mentri, hingga puncak kesetaraan gender terjadi saat kepemimpinan Presiden ke 5 Republik Indonesia yang sebelumnya dipimpin oleh para Pemuda Bangsa. Butler berpendapat bahwa identitas seksual tidak lagi dipahami sebagai

konflik antar dua kutub yang berlawanan (lelaki >< perempuan) namun, keseimbangan antara segi maskulin dan segi feminin (Barker, 2014:106).

Insiden ke lima

“…Teked jumah I Pudak nakonang pianakne, kurnane ngorahang pianakne luh, tur suba tekteka baanga siap.” Terjemahan,

“...sesampainya dirumah I Pudak menanyakan anaknya, istrinya menyampaikan bahwa anaknya perempuan, dan sudah dicincang dikasi makan ayam.” Pada kutipan di atas, menunjukan rasa kemanusiaan dari istrivtokoh Pudak dengan upaya penyelamatan generasi perempuan di masa mendatang. Seorang ibu lebih mengerti rasa kehilangan anak, dibandingkan dengan sosok ayah. Tindakan yang ditunjukan oleh ibu Ni Tuwung Kuning sangat benar dari kacamata nilai etika moral. Karena sebagai mahkluk berahlak, dalam melakukan tindakan sepantasnya mempertimbangkan akibat yang akan ditemui di masa depan. Selain itu, Keyakinan terhadap terhadap hukum karma bagi masyarakat Bali masih sangat kental. Misalnya, mewajibkan bagi setiap orang untuk berbuat baik sebab semua bentuk pelanggaran merupakan hukuman setelah kehidupan di dunia akhirat. (Ratna, 2013:295).

Indisen ke enam

"…Ni Tuwung Kuning aliha ajaka mulih. Teked jumahne ia lantas ajaka ka alase. Di tengah alase Ni Tuwung Kuning nagih matianga,. Jeg teka dedarine nyaup Ni Tuwung Kuning. Ni Tuwung Kuning siluranga aji gedebong. I Pudak sahasa

(8)

nektek gedebonge, abana mulih. Teked jumah baanga siapne."

Terjemahan,

"…Ni Tuwung Kuning di cari

kerumah neneknya.

Sesampainya dirumah ia di ajak ke hutan, Ni Tuwung Kuning ingin dibunuh. Tiba-tiba datang dedari (malaikat perempuan) mengambil Ni Tuwung Kuning. Lalu Ni Tuwung kuning diganti dengan pelepah pisang. I Pudak dengan sigap mencingcangnya dibawa kerumah, sesampainya di rumah diberikan ayam." Konflik terakhir menunjukan bahwa, paradigma mengenai perbedaan seksual hanya sebuah asumsi sepihak dari kaum lelaki. Sebagian besar mereka tidak menyadari bahwa kedudukan wanita dalam keluarga sangat berharga secara psikologis misalnya sebagai motivator, atau sebagai kontrol sosial. Claudel mendefinisikan perempuan sebagai saudara sejiwa. Kemudian, Beavoir menyimpulkan tentang realitas perempuan adalah sosok yang mampu membuat laki-laki menemukan jati dirinya jika perempuan rela berkorban (Anwar, 2012:138).

Pengarang menghadirkan tokoh pendukung dalam kutipan di atas yakni, adanya mitos mengenai perempuan dalam bentuk malaikat. Tokoh misteri dalam cerita menekankan bahwa kedudukan perempuan sangat istimewa bahkan malaikatpun melindunginya. Hal tersebut dikarenakan, sejatinya lelaki sangat membutuhkan perempuan sebagai teman hidup. Berdasarkan penutup dari cerita tersebut pengarang mengharapkan agar dikemudian hari antara lelaki dengan

perempuan harus mampu hidup berdampingan saling mendukung satu sama lain.

IV. SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, sastra feminis berperan sebagai media untuk kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya tanpa adanya kontak fisik atau kekerasan. Selain itu secara tidak langsung, pengakuan terhadap kaum matriarki telah ada sejak terjadinya beberapa pergerakan-pergerakan emansipasi wanita. Walapun para pengarang patriarki hanya mendukung secara moral melalui karya-karya sastra dengan tokoh perempuan dengan tujuan penanaman konsep keberagaman kepada siswa SD sejak dini dalam aspek pendidikan. Hal tersebut menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat untuk mengubah paradigma serta merekontruksi pola-pola pemikiran kolonialis

DAFTAR PUSTAKA

Anom, I Gusti Ketut, Dkk. 1995.

Kusuma Sari 4 Denpasar:

Depdikbud Propinsi Bali.

Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial

Sastra. Yogyakarta: Ombak.

Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian

Budaya. Yogyakarta: PT

Kanisius.

Covarrubias, Miguel. 2014. Pulau

Bali: Temuan yang

Menakjubkan. Denpasar: Udaya

University Press.

Ratna, I Nyoman Kutha (a). 2013.

Glosarium : 1.1250 entri Kajian Sastra, seni, dan Sosial Budaya.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ratna, I Nyoman Kutha (b). 2014.

Peranan Karya Seni, dan

Budaya dalam Pendidikan

Karakter. Yogyakarta : Pustaka

(9)

Ratna, I Nyoman Kutha (c). 2015.

Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Rusmana, Dadan. 2014. Filsafat

Semiotika: Paradigma, Teori, dan Metode Interpretasi Tanda dari Semiotika Struktural hingga Dekonstruksi Praktis. Bandung:

CV Pustaka Setia.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung

Tantri Pisacarana. Denpasar:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Pueraria javanica berpotensi menurunkan perkecambahan dan pertumbuhan serta

[r]

For acquisition of the 3D Building Model LiDAR-data are used as data basis as well as the building ground plans of the official cadastral map and a list of

Diode pancaran cahaya atau lebih dikenal dengan sebutan LED (Light Emitting Diode) adalah suatu semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik (cahaya yang hanya terdiri atas

Uji KLT dimulai dengan melakukan optimasi fase gerak untuk mendapatkan hasil pemisahan yang baik, dan didapatkan hasil fase gerak untuk ekstrak etanol dan fraksi n-heksan daun

a) Satu atau lebih kematian janin yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada janin dengan morfologi normal pada usia kehamilan diatas 10 minggu dengan menggunakan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP BILANGAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BARANG BEKAS PADA ANAK USIA DINI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

a. Nama keluarga, alamat dan no telepon, komposisi keluarga, tipe bentuk keluarga, latar belakang kebudayaan, identifikasi religi, status kelas keluarga, dan