KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN
KADAR KREATININ NORMAL
LEVELS OF CYSTATIN-C SERUM IN DIABETES MELLITUS PATIENTS WITHOUT PROTEINURIA
WITH NORMAL CREATININE
MEGAWATI GAZALI
PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
KADAR CYSTATIN-C SERUM PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TANPA PROTEINURIA DENGAN
KADAR KREATININ NORMAL
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Biomedik / Kimia Klinik
Disusun dan diajukan oleh
MEGAWATI GAZALI
Kepada
PROGRAM STUDI PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Megawati Gazali Nomor mahasiswa : P1505215006
Program Studi : Ilmu Biomedik / Kimia Klinik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut
Makassar,
Yang menyatakan
Megawati Gazali
iii
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas Rahmat dan HidayahNyalah sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya .
Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini timbul dari hasil pengamatan penulis terhadap komplikasi diabetes melitus khususnya komplikasi mikroangiopati yang dapat menyebabkan komplikasi pada beberapa organ, salah satunya kepada ginjal. Nefropati diabetik dapat terjadi pada penderita diabetes melitus, yang akhirnya mengarah ke penyakit gagal ginjal kronik. Komplikasi dapat terus meningkat seiring dengan lamanya penyakit dan kontrol glikemik yang buruk.. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang dapat mendeteksi penyakit nefropati diabetik sejak dini. Penulis bermaksud menyumbangkan saran tentang pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan yang dapat dijadikan petanda awal untuk mengetahui adanya kejadian gangguan fungsi ginjal.
Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan tesis ini, yang hanya berkat bantuan dari berbagai pihak, maka tesis ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada :
dr. Uleng Bahrun, Ph.D.,Sp.PK (K), sebagai Ketua Komisi Penasihat Dr. dr. Tenri Esa, M.Si.,Sp.PK., sebagai anggota Komisi Penasehat atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini. Tak lupa penulis haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
Dr. dr. Ilham Jaya Pattelongi, M.Kes.,
Dr. dr. Haerani Rasyid M.Kes.,Sp.PD-KGH.,Sp.GK., Dr. dr. Husaini Umar, Sp.PD.KEMD.,
sebagai penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat membantu bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
iv
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada dr. H. Hasanuddin selaku bapak pimpinan dan Yahya, SKM, M.Kes selaku atasan langsung yang telah memberikan izin bagi penulis dalam melanjutkan pendidikan.
Tak lupa terimakasih kepada suamiku tercinta H. Najamuddin, S.Kep,Ns., dan anak-anakku tersayang Indah Libriana, Ridha Dwi Reski, Anita Najwan dan Ahmad Rafi Ijlal yang selama ini dengan penuh pengertian dan kesabaran mendukung penuh penulis menjalani pendidikan sampai selesai. Terimakasih kepada sahabat-sahabatku yang telah membantu dalam penelitian ini : dr. Yop, Ruly, Sumitro, Hamri, Evy dan Umi yang telah membantu dalam penelitian ini, juga buat teman-temanku angkatan Cytogenik : Eby, Icha, Ika, Yanti, Yaumil, Rifki, Sultan dan Ode yang senantiasa memberi suport dan dukungannya. Dan yang terakhir terimakasih juga disampaikan kepada mereka yang namanya tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Makassar, Agustus 2017 Megawati Gazali
v
ABSTRAK
MEGAWATI GAZALI. Kadar Cystatin-C Serum pada Penderita Diabetes Melitus Tanpa Proteinuria dengan Kadar Kreatinin Normal
(dibimbing oleh Uleng Bahrun dan Tenri Esa).
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan serta berbagai organ seperti ginjal.
Salah satu petanda kerusakan ginjal adalah Cystatin-C yang merupakan petanda baru yang cukup menjanjikan untuk menilai kegagalan fungsi ginjal lebih dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan cystatin-C serum sebagai penanda awal untuk menentukan adanya kemungkinan gangguan fungsi ginjal.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Sampel sebanyak 49 orang yang dipilih secara purposif. Subyek penelitian adalah penderita diabetes melitus di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
Pemeriksaan sampel dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSPTN.
Universitas Hasanuddin pada bulan Juli 2017.
Hasil penelitian menunjukkan, pada penderita DM tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal, sebagian besar sampel (91,8%) memiliki kadar cystatin-C yang tinggi (>1,09 mg/L). Kadar cystatin-C tinggi terutama ditemukan pada penderita dengan lama DM ≥5 tahun. Disimpulkan bahwa kadar cystatin-C serum sudah ditemukan tinggi walaupun kadar kreatinin masih dalam batas normal. Terdapat hubungan antara lama DM dengan kadar cystatin-C terutama pada kelompok lama DM ≥ 5 tahun, sehingga Cystatin-C dapat digunakan sebagai penanda awal untuk menilai gangguan fungsi ginjal pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal.
Kata kunci : diabetes melitus, proteinuria, kreatinin, cystatin-C
vi
ABSTRACT
MEGAWATI GAZALI. Levels of Cystatin C Serum In Diabetes Mellitus Patients Without Proteinuria with Normal Creatinine
(supervised by Uleng Bahrun and Tenri Esa)
Diabetic mellitus is a disease which causes of damage and dysfuntion of varios tissues and various organs such as the kidney. One of the markers of kidney demage is cystatin-C wich is a new promosing inpection to asses the kidney failure earlier. This study aimed to determine the ability of cystatin-C serum as an early indicator to determine the possibility of impaired renal function.
The research design was the Cross sectional design with the total sampels of 49 respondents chosen using the pupposive sampling technique.
The respondents were the patients with diabetes mellitus in RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo, Makassar. The examination of the samples was conducted in clinical pathology laboratory of RSPTN. Hasanuddin Univercity in July, 2017.
From the result was conducted on the samples with the still normal creatinine level (≤1.2 mg%) , most of the sample (91,8%) had the level of cystatin-C wich was more than the normal value (> 1,09 mg/dl) . High cystatin- C level are primarily found in patients with DM for ≥5 years. The result revealed correlation between DM period and cystatin-C level, especially in DM category for ≥ 5 years, so cystatin-C could be used as an early marker to assess the impaired renal function in patients with diabetes mellitus without proteinuria with normal creatinine.
Keywords: diabetes mellitus, proteinuria, creatinine, cystatin-C
vii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ……… .. iv
ABSTRAK ……… vi
ABSTRACT ……….... vii
DAFTAR ISI ……….... iiiv
DAFTAR TABEL ……….………... xi
DAFTAR GAMBAR ……… xii
DAFTAR LAMPIRAN ………. xiii
DAFTAR SINGKATAN ……….. ivx
I. PENDAHULUAN ……….……… 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Rumusan Masalah ……….. 5
C. Tujuan Penelitian ………. 6
D. Hipotesis Penelitian ………. 6
E. Manfaat Penelitian ……… 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 8
A. Diabetes Melitus ……… 8
1. Defenisi Diabetes Melitus ……… 8
2. Epidemiologi Diabetes melitus ………. 9
3. Diagnosisi Diabetes Melitus ……… 10
4. Komplikas Diabetes Melitus ……… 10
viii
B. Proteinuria ………. 17
1. Defenisi Proteinuria ……….. 17
2. Patofisiologi Proteinuria ……… 18
3. Cara pengukuran Proteinuria …..……….. 19
C. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate)……… 21
1. Defenisi dan Fungsi Laju Filtrasi Glomerulus ………. 21
2. Pengukuran Laju Filtrasi Glomerulus ……….. 25
D. Kreatinin Serum ……….... 28
1. Defenisi Kreatinin ………..….……….. 28
2. Metabolisme Kreatinin ………..…… 29
3. Nilai Rujukan Kreatinin Serum ……… 31
4. Penggunaan kreatinin sebagai petanda Laju Filtrasi Glomerulus ………... 31
E. Cystatin-C ……….………..…..….. 35
1. Defenisi Cystatin-C ………..……….... 35
2. Sejarah Cystatin-C ………..…….. 36
3. Fungsi fisiologis Cystatin-C ….………..…… 37
4. Srtuktur Cystatin-C ……… 38
5. Metabolisme dan Sintesis Cystatin-C ……….…. 38
6. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin-C ………..…. 39
7. Metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay)…... 40
8. Metode PETIA (particle-enhanced turbidimetric immunoassay. 41 9. Metode PENIA (particle-enhanced immuno-nephelometry)….. 41
ix
10. Pemeriksaan Cystatin-C Metode POCT ………. 42
F. Kerangka Teori ……….. 45
III. METODE PENELITIAN ……… 46
A. Rancangan Penelitian ……… 46
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 46
D. Populasi dan Sampel ………. 47
D. Kriteria Sampel ……… 47
E. Besar Sampel Penelitian ……… 48
F. Bahan dan Alat Penelitian ………. 48
G. Prosedur Penelitian ……… 49
H. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif ………. 50
I. Pengumpulan Data ……… 50
J. Analisa Data ……… 51
K. Persetujuan Etika Penelitian dan Tindakan Medik ……… 51
L. Alur Penelitian ……… 52
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 51
A. Hasil Penelitian ……….. 51
B. Pembahasan ………. 56
C. Ringkasan Hasil Penelitian ……… 65
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 67
A. Kesimpulan ……….…….………. 67
B. Saran ……….. 67
DAFTAR PUSTAKA ………. 68
x
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1. Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik ……… 21 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik ………. 28 3. Data Karakteristik Sampel Penelitian ……… 53 4. Distribusi Kadar cystatin-C Tinggi Pada Penderita DM
Tanpa Proteinuria Dengan Kadar Kreatinin Normal ……….. 54 5. Hubungan Lama DM Dengan Kadar Cystatin C Tinggi Pada
Penderita DM Tanpa Proteinuria Dengan Kadar Kreatinin Normal… 55
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1. Gaya yang Berperan dalam Laju Filtrasi Glomerulus………. 23
2. Proses-proses Dasar di Ginjal ………. 24
3. Molekul Kreatinin ………..……….. 29
4. Molekul Cystatin C ………. 38
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Kode Etik Penelitian dan Tindakan Medik Data primer hasil penelitian
Curiculum Vitae
xiii
DAFTAR SINGKATAN Singkatan Arti dan Keterangan
ADA ADP AKI ATP CKD-EPI Da dkk DM DMT1 DMT2 DTPA eLFG ELISA et al.
GDM IFD IDD IRR kDa KHNK
American Diabetes Association (ADA) adenosin difosfat
Acute Kydney Injuri adenosin trifosfat
Chronic Kydney Disease Epidemiology Collaboration Dalton
Dan kawan- kawan Diabetes Melitus Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 2
diethylenetriamine pentaacetic acid Estimasi laju filtrasi glomerulus
Enzyme Linked immunosorbentAssay et alii, dan kawan-kawan
Gestational Diabetes Mellitus International Diabetes Federation Insulin Dependent Diabetes Indonesia Renal Registry kilo Dalton
Koma Hiperosmoler Non Ketotik
ivx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit yang disebabkan hiperglikemia dan defisiensi insulin atau resistensi insulin. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan dan berbagai organ seperti mata(retina), ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Kosasih, 2008).
Dari berbagai penelitian epidemiologis terbukti bahwa insidensi DM meningkat menyeluruh di semua tempat utamanya di kota-kota besar.
Peningkatan insidensi DM ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes antara lain meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2015).
Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR), pada tahun 2007-2008 didapatkan penyebab tersering kedua pada gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus (23%). Menurut survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 %, yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik (Rivandi, 2015).
1
Pada saat penyakit ginjal didiagnosis, adanya disfungsi atau derajat gangguan fungsi ginjal dan kecepatan progresi perlu dinilai, dan penyakit yang mendasarinya perlu didiagnosis. Walaupun anamnesis dan pemeriksaan fisik penting, tetapi informasi yang berguna didapat dari laju filtrasi glomerulus (LFG) dan pemeriksaan urin. Estimasi LFG digunakan di klinik untuk menilai derajat gangguan fungsi ginjal dan untuk mengikuti perjalanan penyakit ginjal (Lydia & Nugroho, 2015).
Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetik, dimana akan terjadi gangguan fungsi ginjal yang kemudian menjadi kegagalan fungsi ginjal menahun pada penderita yang telah lama mengidap diabetes melitus (Rivandi & Yonata, 2015).
Munculnya sejumlah kecil protein albumin, yang disebut mikroalbuminuria secara umum telah dianggap sebagai penanda awal nefropati diabetik dan sering dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal, dan mulai timbul setelah satu atau dua tahun menderita diabetes melitus. Namun sebagian besar penderita diabetes bisa memiliki gangguan fungsi ginjal sebelum atau bahkan tanpa melewati tahap mikroalbuminuria (Fiseha, 2015).
Dalam praktek klinis pada umumnya menggunakan kadar kreatinin serum sebagai penanda umum yang paling sering digunakan untuk melihat kerusakan ginjal, namun kreatinin serum tampaknya dipengaruhi oleh berbagai faktor misalnya usia, jenis kelamin, ras, massa otot, penggunaan
obat, dan asupan daging, sehingga menjadi tidak sensitif untuk mendeteksi awal gangguan ginjal diabetes (Fiseha, 2015).
Kreatinin serum paling sering digunakan karena mudah didapatkan.
Penggunaaan kadar serum kreatinin saja untuk menilai laju filtrasi glomerulus tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam mendeteksi penyakit ginjal kronik serta pengklasifikasian derajat penyakit ginjal kronik. Rumus yang digunakan untuk mengestimasi laju filtrasi ginjal menggunakan kadar kreatinin serum masih mempunyai kekurangan, terutama untuk pasien yang memiliki permasalahan dengan jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).
Cystatin-C, merupakan sistein protease, adalah protein non glikosilasi dengan berat molekul 13,36 kDa, yang diproduksi oleh hampir semua sel berinti tubuh manusia. Cystatin-C mungkin meningkat pada pasien diabetes bahkan sebelum munculnya mikroalbuminuria, dan dapat digunakan sebagai marker berguna untuk mendeteksi nefropati pada tahap awal. (Kosasih, 2008;Fiseha, 2015).
Cyistatin-C merupakan penanda baru yang cukup menjanjikan untuk menilai laju filtrasi glomerulus. Cystatin-C diproduksi secara stabil, dan tidak terpengaruh oleh proses inflamasi, jenis kelamin, usia, diet, dan status gizi.
Zat ini difilter oleh glomeruli ginjal dan dapat digunakan sebagai pemeriksaan laju filtrasi glomerulus. (Lydia & Nugroho, 2015; Iwani, 2013)
Cystatin-C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen Clausen dalam cairan serebrospinal, Butler dan Flynn pada tahun yang sama
menemukannya pada urin. Cystatin-C secara formal diidentifikasi tahun 1984. Cystatin-C dilaporkan pertama kali sebagai penanda LFG pada tahun 1985 oleh Simonsen et al., yang mendapatkan kadar Cystatin-C serum berkorelasi negatif kuat dengan laju filtrasi glomerulus (Yaswir, 2012)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa cystatin-C mungkin lebih akurat dalam mengidentifikasi pada gangguan fungsi ginjal yang ringan, dibandingkan kreatinin serum.
Penelitian Villa et al (2005), pada 51 pasien ICU didapatkan bahwa serum cystatin-C lebih akurat daripada serum kreatinin dalam mendeteksi perubahan LFG pada pasien kritis. Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh Hari et al (2014), melakukan uji diagnostik terhadap laju filtrasi glomerulus berdasarkan cystatin-C dan kreatinin dengan menggunakan diethylenetriamine pentaacetic acid (DTPA) pada pasien gagal ginjak kronik, mereka berkesimpulan bahwa cystatin-C memberikan performa yang lebih baik dalam estimasi LFG daripada kreatinin. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumaresan dan Giri (2011), mereka meneliti dari 106 pasien gagal ginjal kronik dengan mengelompokkan 3 kelompok usia. Mereka membandingkan pemeriksaan eLFG berdasarkan rumus formula Cockcroft-Gaul dan studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dengan cystatin-C serum metode particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA). Dari hasil pemeriksaan yang mereka lakukan disimpulkan cystatin-C serum menunjukkan korelasi yang tinggi terhadap laju filtrasi glomerulus dibandingkan dengan kreatinin, baik pada kelompok usia remaja maupun
dewasa pada pasien gagal ginjal kronik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Jus dkk (2016), yang memeriksa 260 subjek berumur 40-70 tahun, ditemukan bahwa terdapat korelasi negatif antara MDRD dan cystatin-C serum. Semakin tinggi nilai MDRD, maka nilai cystatin-C serum semakin rendah.
Beberapa penelitian terakhir membandingkan kadar serum kreatinin dan cystatin-C sebagai penanda untuk mendeteksi penurunan laju filtrasi glomerulus dalam menilai gangguan fungsi ginjal. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa cystatin-C lebih akurat dibandingakan kreatinin.
Walaupun demikian, masih dibutuhkan lebih banyak data untuk menyatakan bahwa cystatin-C lebih akurat dalam mendeteksi perubahan fungsi ginjal (Lydia & Nugroho, 2015).
Telah dikenal beberapa macam penanda laju filtrasi glomerulus yang umum dipakai yaitu inulin, ureum dan kreatinin, sedangkan penanda baru yang mulai dikenal adalah cystatin-C, yang dapat digunakan sebagai penanda awal penurunan laju filtrasi glomerulus dalam menilai gangguan fungsi ginjal.
.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah ditemukan kadar cystatin-C yang tinggi pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kreatinin serum normal.
2. Apakah ada hubungan antara lamanya penyakit diabetes melitus dengan kadar cystatin-C serum.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya kemampuan cystatin-C serum sebagai penanda awal untuk menentukan adanya kemungkinan gangguan fungsi ginjal.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya gambaran yang abnormal kadar cystatin-C serum pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal
b. Diketahuinya hubungan lama DM dengan kadar cystatin-C pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kreatinin normal.
D. Hipotesis Penelitian
Ditemukan kadar cystatin-C serum yang tinggi pada penderita diabetes melitus tanpa proteinuria dengan kadar kreatinin normal
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang pemeriksaan cystatin-C serum.
2. Manfaat Pelayanan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi bidang pelayanan terkait untuk menjadikan pemeriksaan cystatin-C serum sebagai penanda awal pada pasien DM yang dicurigai mengalami gangguan fungsi ginjal.
3. Manfaaat Pengembangan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi tambahan dalam penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Defenisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang ditandai dengan hiperglikemia, disertai kelainan metabolik sebagai akibat defek sekresi insulin (sel beta pankreas rusak/ insulitis), atau kerusakan faal insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronis dapat menyebabkan kerusakan dan disfungsi berbagai jaringan dan berbagai organ seperti mata(retina), ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Kosasih, 2008).
Klasifikasikan DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA) 2003, menggantikan penggolongan tahun 1997
a. Diabetes Melitus tipe 1 (DMT1); dahulu disebut Insulin Dependent Diabetes (IDD), dapat dibagi : 1). proses autoimun yang menyebabkan kerusakan pankreas. 2). Idiopatik, tidak diketahui penyababnya, tidak ada tanda-tanda autoimun.
b. Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2), dahulu disebut Non Insulin Dependen Diabetes (NIDD), ini merupakan tipe yang terbanyak.
c. DM tipe lain dengan ragam penyebab; termasuk defek genetik fungsi sel beta, defek genetik dalam kerja insulin, penyakit pankreas eksogen seperti Fibrocalculous pancreopathy, karena obat (steroid), infeksi,
8
diabetes imun yang tidak umum, sindrom genetik lain yang kadang disertai diabetes
d. Diabetes pada kehamilan = Gestational Diabetes Mellitus (GDM) (Kosasih, 2008).
2. Epidemiologi Diabetes Melitus
International Diabetes Federation (IFD) menyebutkan bahwa prevalensi DM di dunia adalah 1,9 % dan telah menjadikan DM sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian DM di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian DMT2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita DM. Hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai 57%.
Tingginya prevalensi DM disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya faktor genetik/ riwayat keluarga dengan DM, umur dan ras. Faktor risiko yang bisa diubah misalnya obesitas, kurangnya aktifitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet yang tidak sehat. Faktor lain misalnya konsumsi alkohol, stress, kebiasaan merokok, jenis kelamin, konsumsi kopi dan kafein (Fatimah, 2015).
Dari berbagai penelitian epidemiologis terbukti bahwa insidensi DM meningkat menyeluruh di semua tempat utamanya di kota-kota besar.
Peningkatan insidensi DM ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes antara lain meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik
mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti penyakit pembuluh darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah (Waspadji, 2015).
Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesia Renal Registry (IRR), pada tahun 2007-2008 didapatkan penyebab tersering kedua pada gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus (23%). Menurut survey yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5 %, yang berarti terdapat 18 juta orang dewasa Indonesia yang menderita gagal ginjal kronik (Rivandi & Yonata, 2015).
3. Diagnosis Diabetes melitus
Dikatakan DM jika pada 2 kali pemeriksaan yang terpisah diperoleh kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, dan kadar glukosa darah post prandial ≥ 200 mg/dl (Kosasih, 2008).
4. Komplikasi Diabetes Melitus
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut yaitu; 1). Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawah nilai normal (< 50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DMT1 yang dapat dialami 1-2 kali perminggu.
Kadar gula darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. 2). Hiperglikemia, adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yaitu; 1). Komplikasi makrovaskuler, yang umum berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung kongetif, dan stroke. 2). Komplikasi mikrovaskuler, terutama terjadi pada penderita seperti nefropati, retinopati , neuropati, dan amputasi.
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik DM.
Perubahan dasar/ disfungsi tersebut terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan sel yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya komplikasi vaskuler diabetes (Waspadji, 2015).
Nefropati diabetik (ND) merupakan komplikasi serius diabetes dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian. Penyandang dibetes melitus semakin banyak memenuhi ruang dialisis dibanding dengan beberapa dekade sebelumnya (Waspadji, 2015).
Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan disertai meningkatnya matriks ekstraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular.
Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya glomeruloneklerosis (Waspadji, 2015).
Di Amerika Serikat, ND merupakan penyebab terbanyak penyakit ginjal stadium akhir. Nefropati diabetik terjadi pada 20-35% pasien DMT1 dan pada 8-20% pasien DMT2, dalam waktu 5-20 tahun setelah awitan.
Risiko terjadinya ND akan meningkat seiring dengan lamanya perjalanan penyakit, keberhasilan pengendalian metabolik, dan predisposisi genetik terhadap hipertensi (Pardede, 2008).
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes melitus dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, (> 30 mg/hari), jika tidak terkontrol akan berkembang menjadi proteinuria secara klinis dan berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan kejadian gagal ginjal. Diperkirakan 30-40% penderita DMT2 akan menderita nefropati diabetik dan suatu saat dapat berakhir dengan keadaan gagal ginjal kronik (Rivandi & Yonata, 2015).
Pada penderita DM terjadi hipertrofi ginjal dan hiperfiltrasi glomerulus.
Derajat hiperfiltrasi glomerulus setara dengan risiko terjadinya nefropati diabetik yang signifikan secara klinis. Pada sekitar 40% pasien dengan diabetes yang mengalami ND, manifestasi paling awal adalah peningkatan albuminuria yang terdeteksi dengan radioimmunoassay sensitif.
Albuminuria dalam kisaran 30-299 mg/24 jam disebut mikroalbuminuria (Jameson, 2014).
Faktor risiko terjadinya ND adalah hiperglikemia, hipertensi, dislipidemia, merokok, riwayat ND dalam keluarga. Keadaan hiperglikemia yang terjadi baik secara kronis pada tahap diabetes, atau hiperglikemia akut postprandial yang terjadi berulang kali menimbulkan dampak buruk terhadap jaringan yang secara jangka panjang menimbulkan komplikasi kronis dari DM (Jameson, 2014).
Pengenalan awal terhadap adanya perubahan pada ginjal meningkatkan kesempatan untuk mencegah terjadinya progresi dari insipiendiabetic nephropathy menjadi overtdiabetic nephropathy. Suatu tes untuk mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal harus dilakukan pada saat diagnosis pasien DMT2. Mikroalbuminuria jarang terjadi dalam waktu singkat pada pasien DMT1; oleh karena itu, skrining pada penderita DMT1 harus dimulai setelah 5 tahun diagnosis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa diabetes pada masa prepuberitas mungkin berperan penting pada munculnya komplikasi mikrovaskuler; oleh karena itu penilaian klinis berperan penting dalam menegakkan dianosis. Akibat adanya kesulitan
dalam menentukan kapan terjadi pada DMT2, skrining harus dimulai saat tegaknya diagnosis (Hendromartono, 2015).
Tahapan nefropati diabetik berdasarkan derajat penurunan fungsi dan morfologi ginjal yaitu ;
1). Tahap I.
Pada tahap ini ditandai dengan pembesaran ginjal dan hiperfiltrasi glomerulus, tanpa kelainan histologis pada glomerulus atau struktur vaskular. Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
2). Tahap II
Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM ditegakkan, saat perubahan struktur ginjal berlanjut, dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.
Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik.
Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage).
3). Tahap III
Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic nephropathy saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun diagnosis DM ditegakkan. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. Laju filtrasi glomerulus masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.
4). Tahap IV
Ini merupakan tahapan saat dimana ND bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat tajam dan LFG menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun DM ditegakkan. Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.
5). Tahap V
Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LFG sudah sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal (Lubis, 2015).
Pada saat penyakit ginjal didiagnosis, adanya disfungsi atau derajat gangguan fungsi ginjal dan kecepatan progresi perlu dinilai, dan penyakit yang mendasarinya perlu didiagnosis. Walaupun anamnesis dan pemeriksaan fisik penting, tetapi informasi yang berguna didapat dari LFG dan pemeriksaan urin. Estimasi LFG digunakan di klinik untuk menilai derajat gangguan ginjal dan untuk mengikuti perjalanan penyakit ginjal (Lydia & Nugroho, 2015).
Pada stadium dini penyakit ginjal diabetik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan laju LFG masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan keratinin serum. Pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Pada LFG < 30%
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, mual dan sebagainya. Sedangkan pada LFG 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium 5 atau disebut gagal ginjal (Alfonso, 2016).
Munculnya sejumlah kecil protein albumin, yang disebut mikroalbuminuria secara umum telah dianggap sebagai penanda awal ND dan sering dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal. Namun sebagian
besar penderita diabetes bisa memiliki gangguan ginjal sebelum atau bahkan tanpa melewati tahap mikroalbuminuria. Pada orangtua misalnya, disfungsi ginjal dengan normoalbuminuria dapat terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, pada penderita diabetes diantara usia 60-79 tahun didapatkan LFG< 30/min/1,73m2. (Fiseha, 2015)
B. Proteinuria 1. Defenisi Proteinuria
Proteinuria adalah adanya protein didalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari 150 mg/24 jam. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional.
Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya diatas 200 mg/24 jam pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda.
Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang berperan yaitu;
a. Filtrasi glomerulus
b. Reabsorbsi protein tubulus (Bawazier, 2015).
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal. Pemeriksaan untuk mencari
mikroalbumuria seharusnya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM ditegakkan dan setelah itu diulang setiap tahun. Penilaian terhadap adanya mikroalbuminuria harus dilakukan dengan cermat dan perlu diulang beberapa kali untuk memberikan keyakinan yang lebih besar. Beberapa keadaan dapat memberikan positif palsu, misalnya latihan jasmani, infeksi saluran kemih, maupun cara menampung urin yang tidak tepat (Waspadji, 2015).
2. Patofisiologi Proteinuria
Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara, antara lain;
a. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin
b. Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi
c. Filtasi glomerulus dari sirkulasi abnormal, Low Moleculer Weight Protein (LMWP) dalam jumlah melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus d. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi
imunoglobulin A dalam respons untuk inflamasi (Bawazier, 2015).
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tegantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat
kebocoran protein plasma kedalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mg/hari (Bawazier, 2015).
Proteinuria pada ND dapat bervariasi, berkisar dari 500 mg sampai 25 gr/24 jam. Setelah terjadi proteinuria >500 mg/24jam, fungsi ginjal akan terus menurun, dengan 50% pasien mengalami gagal ginjal dalam 5-10 tahun. Hipertensi dapat memperkirakan pasien yang akan mengalami nefropati diabetik, karena adanya hipertensi mempercepat laju penurunan fungsi ginjal. Terdapat bukti kuat adanya manfaat kontrol glukosa darah dan tekanan darah dapat memperlambat perkembangan ND. Pada pasien dengan DMT1, kontrol intensif glukosa darah jelas mencegah terjadinya atau berkembangnya ND. Bukti untuk pasien DMT2, meskipun kurang meyakinkan, juga mendukung pentingnya kontrol intensif glukosa darah.
Pengendalian tekanan darah ke level ≤130/80 mmHg akan menurunkan kejadian penyakit ginjal dan kardiovaskuer (Jameson, 2014).
3. Cara mengukur protein di dalam urin
Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH > 7,0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Pemeriksaan dipstik urin standar
mendeteksi albumin melalui reaksi kolorimeter antara albumin tetrabromopenol biru yang menghasilkan gambaran hijau yang bergradasi sesuai konsentrasi albumin dalam sampelnya. Tes ini tidak sensitif pada protein yang non albumin. Sedangkan tes positif biasanya merefleksikan proteinuria glomerulus. Sekarang ini, tes dipstik yang sangat sensitif tersedia dipasaran dengan kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30- 300 mg/hari) dan merupakan penanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.
Keuntungan tes protein dengan dipstik adalah tidak mahal dan dapat tersedia dimanapun, dapat dipakai untuk diagnostik awal mengetahui adanya resiko penurunan fungsi ginjal yang cepat. Walaupun tidak semua tes dipstik dapat mengidentifikasi penurunan fungsi ginjal yang cepat. Pada tingkat populasi pemeriksaan dipstik ini lebih cocok untuk skrining dalam jumlah besar (Bawazier, 2015; Aulia & Lydia, 2015).
Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik dimulai dari angka +1 sampai +4 yang merefleksikan/setara dengan peningkatan progresi konsentrasi albumin urin dalam satuan mg/dl. Pada nefropati diabetik, mikroalbuminuria biasanya dideteksi jika ekskresi protein diatas 150 mg/hari, bahkan hal tersebut juga terdapat pada pasien dengan atau tanpa diabetes yang mempunyai risiko kardiovaskuler.
Tabel. 1 Nilai pembacaan proteinuria pada urin dipstik
Protein urin dipstick Konsentrasi albumin urin Negative
Trace Antara 15 – 30 mg/dl
+1 Antara 30-100 mg/dl
+2 Antara 100-300 mg/dl
+3 Antara 300-1000 mg/dl
+4 Lebih dari 1000 mg/dl
Sumber : Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam, jilid II,edisi vi, 2015 dalam Proteiunria (Bawazier, 2015)
C. Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerulus Filtration Rate) 1. Defenisi dan Fungsi Laju Filtrasi Glomerulus
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah gaya tekanan filtrasi yang mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah menembus membran glomerulus yang sangat permeabel. Untuk melakukan filtrasi glomerulus, harus terdapat gaya yang mendorong sebagian plasma di glomerulus menembus lubang- lubang di membran glomerulus (Sherwood, 2014).
Fungsi glomerulus adalah untuk menghasilkan laju filtrasi glomerulus yang adekuat, berarti volume cairan plasma diatur oleh epitel ginjal.
Permeabilitas selektif pada penyaring ini menjamin pembentukan filtrat yang hampir bebas protein. Karena seluruh aliran darah yang ada di ginjal harus melewati pembuluh darah glomerulus, resistensi pembuluh darah ini juga ikut menentukan aliran plasma ginjal yang disebut renal plasma flow.
Tiga gaya fisik yang terlibat dalam filtrasi glomerulus: tekanan darah kapiler
glomerulus, tekanan osmotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman
Ketiga gaya yang ditimbulkan adalah : a. Tekanan darah kapiler glomerulus
Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan (hidrostatik) yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini pada akhirnya bergantung pada kontraksi jantung (sumber energi yang menghasilkan filtrasi glomerulus) dan resistensi terhadap aliran darah yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah glomerulus yang tinggi mendorong cairan keluar glomerulus menuju kapsula Bowman di sepanjang kapiler glomerulus, dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus.
b. Tekanan osmotik koloid plasma
Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak seimbang protein-protein plasma dikedua sisi membran glomerulus. Karena tidak dapat di filtrasi, protein plasma terdapat di kapiler glomerulus tetapi tidak di kapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi H2O lebih tinggi di kapsula Bowman daripada di kapiler glomerulus. Gaya osmotik menimbulkan tekanan yang melawan filtrasi glomerulus. Tekanan ini lebih tinggi karena H2O yang difiltrasi keluar darah glomerulus jauh lebih banyak sehingga konsentrasi plasma lebih tinggi daripada di tempat lain
c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman
Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, tekanan yang ditimbulkan oleh cairan dibagian awal tubulus. Tekanan ini cenderung mendorong cairan keluar kapsula Bowman, melawan filtrasi cairan dari glomerulus menuju kapsula Bowman (Sherwood, 2014).
Gambar 1.Gaya yang berperan dalam Laju Filtrasi Glomerulus Sumber : Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Sherwood,2014. hal 546)
Gaya-gaya yang bekerja menembus membran glomerulus tidak berada dalam keseimbangan. Gaya total yang mendorong filtrasi adalah tekanan darah kapiler glomerulus pada 55 mm Hg. Jumlah dua gaya yang melawan filtrasi adalah 45mm Hg. Perbedaan neto yang mendorong filtrasi (10 mm Hg) disebut tekanan filtrasi neto. Tekanan yang ringan ini mendorong cairan dalam jumlah besar dari darah menembus membran
Gaya–gaya yang berperan dalam filtrasi Glomerulus
glomerulus yang sangat permeabel. Laju filtrasi glomerulus ini bergantung tidak hanya pada tekanan filtrasi tetapi juga pada seberapa luas permukaaan glomerulus yang tersedia untuk penetrasi dan seberapa permeabel membran glomerulus (yaitu seberapa “bocor” lapisan ini) (Sherwood, 2014).
Gambar 2. Proses-proses dasar di ginjal
Sumber : Fisiologi manusia dari sel ke sistem (Sherwood L.,2014.Hal 543)
Laju filtrasi glomerulus merupakan produk dari rata-rata laju filtrasi setiap nefron, unit filtrasi ginjal, dikalikan dengan jumlah nefron dikedua ginjal. Untuk setiap nefron , filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler.
(Lydia & Nugroho, 2015)
Nilai LFG bergantung pada jenis kelamin, usia, ukuran tubuh, aktivitas fisik, diet, terapi farmakologi dan keadaan fisiologis tertentu seperti kehamilan. Untuk wanita, laju filtrasi glomerulus yang normal adalah 120 ml/menit/1,73 m2, sedangkan untuk pria nilai normalnya adalah 130
Proses- proses dasar di ginjal
ml/menit/1,73 m2. Penurunan LFG berbanding terbalik meningkatkan kadar kreatinin di plasma (Silbernagl, 2006).
2. Pengukuran Laju Filtasi Glomerulus
Manfaat klinis pemeriksaan laju filtrasi glomerulus adalah; deteksi dini kerusakan ginjal, pemantauan progresifitas penyakit, pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti dan membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu (Efendi, 2015).
Laju filtrasi glomerulus tidak dapat di ukur secara langsung, oleh karena itu untuk menentukan nilai LFG dilakukan pengukuran terhadap klirens urin dari suatu penanda filtrasi tertentu
a. Penanda Filtrasi Eksogen
Penetapan LFG dapat memakai penanda eksogen (inulin, iotalamat, iosotalamat, 51Cr EDTA,99Tc DTPA). Zat eksogen untuk tes ini harus mempunyai syarat ; bebas difiltrasi di glomerulus, tidak diabsorpsi oleh tubulus, tidak disekresi oleh tubulus dan mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak toksik (Effendi, 2015).
Inulin dan klirensnya merupakan baku emas untuk mengukur laju filtrasi glomerulus. Metode yang digunakan untuk menilai klirens inulin memerlukan infus inulin secara intra vena yang terus menerus serta pengumpulan urin yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena sulitnya teknik ini, dan juga pengukuran inulin membutuhkan pemeriksaan kimia yang cukup rumit, maka klirens inulin tidak digunakan secara umum
pada praktek klinis untuk menilai fungsi ginjal. Teknik ini biasanya digunakan sebagai suatu alat penelitian. Selain itu, inulin juga mahal dan sulit untuk didapatkan (Lydia & Nugroho, 2015).
b. Penanda filtrasi endogen
Terdapat beberapa jenis endogen yang dapat digunakan untuk menilai laju filtrasi glomerulus antara lain urea, kreatinin dan sistatin-C.
Penanda endogen yang paling sering digunakan adalah kreatinin serum, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan urin 24 jam untuk menentukan bersihan kreatinin. Beberapa faktor dapat mempengaruhi ketepatan penggunaan kreatinin untuk uji fungsi ginjal, seperti ketelitian dalam mengukur jumlah urin 24 jam, pengaruh massa otot terhadap produksi kreatinin endogen, asupan daging, aktivitas fisik, adanya sekresi kreatinin di tubulus ginjal, pengaruh obat-obatan, dan masalah analitik metode pemeriksaan kreatinin. Berbagai kekurangan kreatinin membuat para ahli mengembangkan penelitian untuk mencari penanda endogen yang lebih akurat dalam mengukur LFG. Cystatin-C merupakan penanda baru yang cukup menjanjikan untuk menilai LFG (Yaswir, 2012)
Estimasi laju filtrasi glomerulus diperlukan untuk mendeteksi, evaluasi dan penatalaksanaa penyakit ginjal kronik. Penggunaaan kadar serum kreatinin saja untuk menilai laju filttrasi glomerulus tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, dan dapat menyebabkan keterlambatan dalam mendeteksi penyakit ginjal kronik serta pengklasifikasian derajat penyakit ginjal kronik. Rumus yang digunakan untuk mengestimasi laju filtrasi ginjal
menggunakan kadar kreatinin serum masih mempunyai kekurangan, terutama untuk pasien yang memiliki permasalahan dengan jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).
Dalam 1-2 tahun setelah munculnya gejala klinis diabetes, terjadi perubahan morfologik di ginjal. Penebalan basal membran glomerulus (BMG) adalah indikator yang peka untuk keberadaan diabetes, tetapi kurang berkorelasi dengan ada tidaknya nefropati yang signifikan secara klinis. Manusia dengan nefron yang normal tidak mengekskresikan lebih dari 8-10 mg albumin perhari dalam urinnya. Jumlah albumin ini dan protein lain dapat meningkat hingga hitungan gram jika terjadi cedera glomerulus. (Jameson, 2014).
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain kerusakan ginjal (renal ailure) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi kelainan patologis, dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah dan urin. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat atau stage penyakit dan dasar diagnosis etiologi (Rivandi, 2015).
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dari National Kidney
Foundation(Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (KDOQI) STADIUM LFG mL/mnt per 1,73m2
0 >90a
1 ≥90b
2 60-89
3 30-59
4 15-29
5 ,15
aDengan faktor untuk PGK
bDengan bukti kerusakan ginjal
Sumber : dimodifikasi dari National Kidney Foundation, K/DOQI Clinical Practice Gidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39:suppl1,2002. (Jameson, 2014)
D. Kreatinin Serum
1. Defenisi Kreatinin
Kreatinin adalah produk akhir nonprotein dari metabolisme kreatin dan kreatinin fosfat, yang tampak di dalam serum dengan jumlah yang sesuai dengan massa otot tubuh. Kreatinin sebagian besar dijumpai di otot rangka, tempat zat ini terlibat dalam penyimpanan energi sebagai kreatin fosfat (Sacher, 2004; Kowalak, 2010).
Kreatinin merupakan suatu asam amino endogen yang memiliki berat molekul 113-Da (Dalton). Kreatinin difiltrasi secara bebas diglomerulus dan tidak direabsorbsi oleh tubulus dan hanya sebagian kecil yang disekresikan lewat tubulus. Kreatinin plasma disintesis di otot skelet sehingga kadarnya bergantung pada massa otot dan berat badan. Proses awal biosintesis
kreatin berlangsung di ginjal yang melibatkan asam amino arginin dan glisin. Menurut salah satu penelitian in vitro, kreatin diubah menjadi kreatinin dalam jumlah 1,1% per hari. Pada pembentukan kreatinin tidak ada mekanisme reuptake oleh tubuh, sehingga sebagian besar kreatinin diekskresi lewat ginjal (Alfonso, 2016).
Gambar 3 : Molekul kreatinin (C4H7N3O) Sumber. Sacher R.A., 2004. hal 292
2. Metabolisme Kreatinin
Dalam sintesis adenosin trifosfat (ATP) dari adenosin difosfat (ADP), kreatinin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi ensim kreatin kinase. Reaksi ini berlanjut seiring dengan pemakaian energi sehingga dihasilkan kreatin fosfat. Dalam prosesnya, sejumlah kecil kreatin diubah secara ireversibel menjadi kreatinin, yang dikeluarkan dari sirkulasi oleh ginjal. Jumlah kreatinin yang dihasilkan oleh seseorang setara dengan massa otot rangka yang dimilikinya. Pembentukan kreatinin harian umumnya tetap, dengan pengecualian pada cedera fisik berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif pada otot (Sacher, 2004).
Kreatinin ditemukan pada semua cairan tubuh dan dibersihkan dari sirkulasi dengan filtrasi glomerulus. Bersihan (klirens) suatu substansi dari ginjal adalah jumlah substansi itu dibersihkan dari plasma oleh ginjal dalam unit waktu. Pemeriksaan bersihan kreatinin merupakan cara sederhana dan cukup reliabel untuk menilai laju filtrasi glomerulus (Imanuel, 2015).
Jika terjadi disfungsi renal maka kemampuan filtrasi kreatinin akan berkurang dan kreatinin serum akan meningkat. Peningkatan kadar kreatinin serum dua kali lipat mengindikasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian juga peningkatan kadar kreatinin serum tiga kali lipat merefleksikan penurunan fungsi ginjal sebesar 75%. Ada beberapa penyebab peningkatan kadar kreatinin dalam darah, yaitu dehidrasi, kelelahan yang berlebihan, penggunaan obat yang bersifat toksik pada ginjal, disfungsi ginjal disertai infeksi, hipertensi yang tidak terkontrol, dan penyakit ginjal (Alfonso, 2016).
Kadar kreatinin darah meningkat apabila fungsi ginjal menurun.
Apabila penurunan fungsi ginjal yang berlangsung secara lambat terjadi bersamaan dengan penurunan massa otot, konsentrasi kreatinin dalam serum mungkin stabil, tetapi angka ekskresi (atau bersihan 24-jam) akan lebih rendah daripada normal (Sacher, 2004).
3. Nilai Rujukan Kreatinin Serum
Kadar kreatinin diukur dengan metode kolorimetri menggunakan spektrofotometer, fotometer atau analyzer kimiawi. Nilai rujukan serum kreatinin 0,8-1,2 mg/dl pada laki-laki dewasa dan 0,6-0,9 mg/dl pada perempuan dewasa, perempuan sedikit lebih rendah karena massa otot yang lebih rendah daripada laki-laki (Kowalak, 2010).
Metode yang paling banyak digunakan untuk pemeriksaan kreatinin adalah metode Jaffe (metode alkalin pikrat) yang didasarkan pada reaksi kreatinin dan alkalin pikrat. Nilai normal kreatinin dengan metode Jaffe adalah 0,2-1,4 mg/dl untuk laki-laki dewasa dan 0,1-1,2 mg/dl untuk perempuan dewasa (Lydia & Nugroho, 2015).
Pengukuran kreatinin secara enzimatik lebih rendah dibandingkan dengan metode Jaffe karena pengukuran secara enzimatik tidak mendekati kromogen selain kreatinin (Lydia & Nugroho, 2015).
4. Penggunaan kreatinin sebagai penanda Laju Filtrasi Glomerulus Penggunaan kreatinin sebagai penanda untuk mengukur LFG memiliki beberapa keuntungan seperti pemeriksaannya mudah dan murah didapatkan. Kreatinin dilepaskan ke sirkulasi secara konstan, zat ini tidak terikat pada protein dan secara bebas difiltrasi melewati membran glomerulus. Zat ini tidak direabsorbsi ditubulus dan hanya sebagian kecil yang disekresikan lewat tubulus (Lydia & Nugroho, 2015).
Klirens kreatinin dapat diukur dengan pengukuran ekskresi kreatinin dalam urin 24 jam dan pengukuran tunggal kadar kreatinin serum. Pada pengukuran seperti ini, ekskresi kreatinin sekitar 20-25 mg/kg BB per hari
untuk laki-laki dan 15-20 mg/kg BB per hari untuk wanita. Klirens kreatinin secara sistematis over estimate laju filtrasi glomerulus karena adanya sekresi kreatinin dari tubulus. Dahulu, jumlah kreatinin yang diekskresikan dari tubulus relatif kecil yaitu sekitar 10%-15%, namun dengan adanya pemeriksaan yang lebih akurat diperkirakan nilai yang dieksresikan tersebut lebih besar. Pada keadaan nilai laju filtrasi glomerulus yang rendah, jumlah kreatinin yang diekskresikan oleh sekresi tubulus melebihi jumlah kreatinin yang di filtrasi (Lydia & Nugroho, 2015).
Laju filtrasi glomerulus dapat diprediksi dari kadar kreatinin serum menggunakan rumus yang memiliki variabel antara lain usia, jenis kelamin, ras dan ukuran tubuh. Berbagai rumus telah dibuat untuk mengukur laju filtrasi glomerulus seakurat mungkin, namun masih saja ditemui berbagai keterbatasan terutama untuk pasien-pasien yang diamputasi, memiliki ukuran tubuh yang lebih besar atau lebih kecil dari rata-rata, pasien dengan muscle wasting syndrome ataupun pasien dengan diet daging yang tinggi atau lebih rendah rendah dari rata-rata (Lydia & Nugroho, 2015).
Persamaan yang dianjurkan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan menggunakan konsentrasi kreatinin serum (Pcr), usia, jenis kelamin, ras,dan berat badan
a. Persamaan Cockcroft-Gault
Rumus ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1973 dari data 249 laki-laki dengan klirens kreatinin berkisar antara 30-130 ml/ menit. Rumus Cockroft-Gault mengestimasi klirens kreatinin berdasarkan usia, jenis
kelamin, berat badan dan kadar serum kreatinin. Untuk wanita, formulasi ini disesuaikan dengan asumsi kadar kreatinin pada wanita 15% lebih rendah karena jumlah massa otot (Lydia & Nugroho, 2015).
Perkiraan klirens kreatinin (mL/mnt)
= (140-usia x beratbadan,kg) 72 x Pcr (mg/dl)
Kalikan dengan 0,85 untuk wanita Ket : Pcr = kreatinin serum
Sumber : Diadaptasi dari AS Levey, et al, Am J Kidney Disease 39 (Suppl1). 2002.
(Jameson, 2014; Lydia.& Nugroho, 2015)
Keterbatasan yang dimiliki oleh rumus ini adalah; rumus ini kurang akurat untuk LFG diatas 60 ml/menit, rumus ini lebih memperhitungkan klirens kreatinin daripada laju filtrasi glomerulus sehingga dapat terjadi overestimasi, pemeriksaan yang digunakan untuk mengukur kadar kreatinin saat membuat rumus ini adalah dengan pemeriksaan lama, sehingga tidak dapat dikalibrasi dengan metode pemeriksaan kreatinin terbaru (Lydia &
Nugroho, 2015).
b. Persamaan dari studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) Rumus MDRD dikembangkan pada tahun 1999 dengan menggunakan data dari 1628 pasien dengan penyakit ginjal kronik. Rumus ini awalnya menggunakan enam variabel yang kemudian direvisi menjadi empat variabel yaitu kadar serum kreatinin, usia, jenis kelamin dan ras.
Rumus ini telah divalidasi untuk pasien dengan penyakit ginjal diabetik, resipien transplantasi ginjal serta untuk pasien dengan ras Afrika Amerika.
Validitas rumus ini independen terhadap etiologi penyakit ginjal kronik.
Pada tahun 2004, the National Kydney Disease Education Program of the National Institute of Diabetes and Digestive and Kydney Disease merekomendasikan menggunakan rumus ini untuk memprediksi nilai laju filtrasi glomerulus (Lydia & Nugroho, 2015).
Rumus yang digunakan :
Perkiraan LFG (mL/mnt per 1,73m2) = 1,86 x (Pcr)-1,154x(usia)-0,203 Kalikan dengan 0,742 untuk wanita
Kalikan dengan 1,21 untuk orang Amerika Afrika.
Ket : Pcr = kreatinin serum
Sumber : Diadaptasi dari AS Levey, et al, Am J Kidney Disease 39 (Suppl1). 2002.
(Jameson, 2014; Lydia & Nugroho, 2015)
c. Formula Chronic Kydney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI).
Rumus baru CKD-EPI dibuat berdasarkan data subjek yang banyak dari studi dengan karakteristik populasi yang beragam, pasien dengan atau tanpa penyakit ginjal kronik, diabetes dan pasien transplantasi. Rumus ini masih menggunakan empat variabel MDRD tetapi menggunakan model hubungan antara LFG dan kreatinin serum yang berbeda. Model yang berbeda ini secara sebagian memperbaiki underestimate LFG pada nilai yang lebih tinggi yang didapatkan pada rumus MDRD. Sehingga rumus CKD-EPI sama akuratnya dengan rumus MDRD pada LFG dibawah 60 ml/menit/1,73 m2 dan lebih akurat pada nilai LFG yang lebih tinggi. Rumus
ini dapat memberikan estimasi LFG pada seluruh kisaran nilai LFG tanpa bias yang bermakna. Beberapa penulis berpendapat bahwa rumus CKD- EPI sebaiknya digunakan di klinik untuk menggantikan rumus MDRD (Lydia dan Nugroho, 2015).
Rumus yang digunakan :
eLFG = 141 x min(kreatinin/k,1)a x max(kreatinin/k,1)1,209 x 0,993umur x 1,018 (jika perempuan) x 1,159 (jika ras Afrika-Amerika).
Dimana k=0,7 pada wanita, k=0,9 pada pria, a= -0,329 pada wanita, a= -0,441 pada pria,
min= minimum kreatinin/k atau 1, max= maksimun kreatinin/ atau 1.
(Imanuel, 2015)
E. Cystatin-C 1. Defenisi Cystatin-C
Cystatin-C adalah sistein protease yang diproduksi oleh hampir semua sel tubuh manusia. Zat ini difilter oleh glomeruli ginjal dan dapat digunakan sebagai pemeriksaan LFG. Cystatin-C merupakan protein non glikosilasi dengan berat molekul 13,36 kDa, terdiri dari dua ikatan disulfida, 120 asam amino, disintesis sebagai sebuah preprotein (menunjukkan fungsi ekstraseluler) dengan 26–residusignal peptida dan merupakan produk gen –K base yang ditemukan pada kromoson 20 yang dikodekan oleh gen CST3 tipehousekeeping. Preprotein ini memiliki isoelektrikpoint
9,3 sedangkan bentuk yang lainnya ditemukan di urin (Kosasih, 2008; Iwani, 2013).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa Cystatin-C mungkin lebih sensitif dalam mengidentifikasi pengurangan ringan pada gangguan fungsi ginjal yang ringan, dibandingkan kreatinin serum. Cystatin-C diproduksi secara stabil, dan tidak terpengaruh oleh proses inflamasi, jenis kelamin, usia, diet, dan status gizi (Iwani , 2013).
2. Sejarah Cystatin-C
Cystatin-C ditemukan pertama kali pada tahun 1961 oleh Jorgen Clausen dalam cairan serebrospinal manusia dinamakan γ trace (γ- CSF/cerebrospinal fluid), Butler dan Flynn pada tahun yang sama menemukannya pada urin. Tahun 1981 Barrett memperkenalkan penamaan cystatin yang termasuk kedalam kelompok inhibitor protease sistein. Cystatin-C secara formal diidentifikasi tahun 1984.
Cystatin-C diduga sebagai penanda baru LFG pada tahun 1979, ketika didapatkan kadar plasma cystatin-C meningkat 13 kali lebih tinggi pada pasien hemodialisis dibandingkan orang sehat. Cystatin-C dilaporkan pertama kali sebagai penanda LFG pada tahun 1985 oleh Simonsen et al., yang mendapatkan bahwa kadar Cystatin-C serum berkorelasi negatif kuat dengan LFG (Yaswir, 2012).
3. Fungsi fisiologis Cystatin-C
Cystatin-C termasuk kedalam kelompok kedua dari superfamily cystatin. Ada 11 macam super family cystatin dan cystatin-C merupakan inhibitor terpenting protease sistein. Protease sistein adalah enzim proteolitik yang ditemukan dalam lisosom sel. Fungsi protease sistein penting dalam metabolisme normal sel, menjadi dasar untuk pergantian protein intraseluler, degradasi kolagen, dan memecah prekursor protein.
Cystatin-C berfungsi sebagai pengatur aktivitas proteolitik dari protease sistein yang disekresikan atau bocor dari lisosom sel yang mati atau sel yang rusak. Keseimbangan antara protease sistein dan inhibitornya sangat penting dalam pengaturan aktivitas proteolitik pada kondisi fisiologis normal, maupun dalam degradasi protein patologis dan penyakit keganasan (Yaswir, 2012). Kadar cystatin-C dalam serum menggambarkan LFG yang mendekati penanda LFG endogen ideal. (Hartati, 2016).
Cystatin-C saat ini sedang dikembangkan sebagai pengganti serum kreatinin untuk memprediksi laju filtrasi glomerulus. Setelah difiltrasi, cystatin-C direabsorbsi seluruhnya dan dikatabolisme oleh sel epitel tubulus. Oleh karena itu, ditemukan cystatin-C didalam urin dapat digunakan sebagai penanda kerusakan dari sel epitel tubulus proksimal ginjal. Pembentukan cystatin-C tidak terlalu bervariasi antara satu individu ke individu lainnya bila dibandingkan dengan kreatinin. Laju produksi cystatin-C tidak dipengaruhi oleh faktor massa otot, jenis kelamin dan juga ras. Dari beberapa penelitian didapatkan inflamasi, jaringan lemak, penyakit
tiroid, keganasan tertentu dan penggunaan kortikostiroid dapat meningkatkan kadar cystatin-C (Lydia & Nugroho, 2015).
4. Srtuktur Cystatin-C
Cystatin-C adalah suatu asam amino dengan 13,36 kDa, dengan umus molekul C22H40N8O5, inhibitor cysteine proteinase yang dapat difiltrasi secara bebas di glomerulus. Seluruh sel berinti memproduksi substansi ini dan laju produksinya relatif konstan dari usia 4 bulan hingga 70 tahun. Zat ini sedang dikembangkan sebagai pengganti serum kreatinin untuk memprediksi laju filtrasi glomerulus.
Gambar.3 : Molekul Cystatin-C (C22H40N8O5) Sumber : dikutip dari Yaswir, 2012
5. Metabolisme dan Sintesis Cystatin-C
Cystatin-C disintesis secara konstan oleh semua sel berinti, dan ditemukan dengan kadar yang tinggi diberbagai cairan tubuh manusia, dengan waktu paruh 2 jam, kemudian diekskresikan hanya melalui ginjal.
Produksi cystatin-C tidak dipengaruhi oleh inflamasi, massa otot, jenis kelamin, usia, dan ras, serta komposisi tubuh. Kadar cystatin-C tertinggi
pada usia 1 hari, kemudian dengan cepat menurun selama 4 bulan pertama yang ditafsirkan sebagai akibat proses pematangan ginjal. Setelah usia 1 tahun maka kadar cystatin-C menjadi sama dengan usia dewasa. Kadar cystatin-C pada bayi prematur secara bermakna lebih meningkat dibandingkan dengan dewasa, dimana didapatkan kadar cystatin-C antara 1,10-2,06 mg/L. Cystatin-C direabsorpsi oleh tubulus proximal dan tidak disekresi, tetapi mengalami katabolisme hampir lengkap (99%) oleh sel tubulus proksimal sehingga tidak ada yang kembali ke darah. Dengan demikian kadar Cystatin-C dalam darah mengambarkan LFG dan dapat dikatakan mendekati penanda LFG endogen yang ideal (Yaswir, 2012).
6. Pemeriksaan Laboratorium Cystatin-C
Pemeriksaan imunologi pertama untuk mengukur cystatin-C ditemukan oleh Loberg dan Grubb pada tahun 1979 dengan metode enzyme-amplified single radial immunodiffusion. Metode ini mempunyai batas deteksi 30 μg/L. Metode lainnya untuk mendeteksi cystatin-C ditemukan beberapa tahun kemudian, berdasarkan radio, flourescent, dan enzymatic immunoassay. Metode awal pemeriksaan cystatin-C ini termasuk radial immunodifusi dan enzim immunoassay, membutuhkan waktu yang lama, dan presisinya rendah. Metode terakhir yang ditemukan adalah automated homogeneous immunoassay menggunakan latex atau partikel polystyrene yang dilapisi dengan antibodi cystatin-C spesifik.
Ada dua versi berbeda untuk metode latex immunoassay, pertama berdasarkan metode particle-enhanced turbidimetric immunoassay
(PETIA) yang ditemukan oleh Kyhse-Anderson et al. pada tahun 1994, dan metode kedua berdasarkan nefelometri (particle-enhanced nephelometric immunoassay (PENIA) yang diperkenalkan oleh Dade Behring GmBh tahun 1997. Metode kedua presisinya lebih baik dari metode pertama dan interval referensinya dilaporkan lebih konsisten, sehingga metode PENIA merupakan metode terbaik untuk pemeriksaan cystatin-C. Heparin dan EDTA dapat mempengaruhi pemeriksaan cystatin-C sehingga pemeriksaan lebih baik mengunakan serum daripada plasma. Pengaruh EDTA terhadap pemeriksaan cystatin-C belum jelas, tetapi diduga berperan dalam reaksi imunoagregasi. Pengaruh heparin juga belum dapat dijelaskan. Nilai normal cytatin-C menurut NCCLS (National Committee for Clinical Laboratory Standards) adalah 0,54-1,21 mg/L, yang didapatkan dengan metode nefelometri. (Yaswir, 2012)
7. Metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay)
Prinsip pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan kuantitatif secara sandwich enzyme immunoassay. Antibodi monoklonal spesifik untuk cystatin-C sebelumnya dilapisi ke microplate. Standar dan sampel dipipet ke dalam well, jika terdapat cystatin-C maka akan diikat oleh antibodi.
Setelah pencucian substansi yang tidak berikatan, sebuah enzim pengikat antibodi monoklonal spesifik/ enzyme-linked monoclonal antibody spesifk untuk cystatin-C ditambahkan ke dalam well. Kemudian dilakukan lagi pencucian untuk membuang reagen antibodi-enzim yang tidak berikatan, lalu larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan warna yang terbentuk