• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TANAMAN NYAMPLUNG

Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.) dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Inggris (Alexandrian izaurel, Tamanu), di Jawa dan Sunda (Nyamplung), Madura (Nyamplong atau Camplong), Minangkabau (Punaga), Dayak (Kanaga atau Panaga), Bima (Mantau), Alor (Pantar), Ternate (Fitako) dan masih banyak nama lain di berbagai daerah (Heyne, 1987). Taksonomi tanaman nyamplung menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Guttiferales Suku : Guttiferae Marga : Calophyllum

Jenis : Calophyllum inophyllum L. Nama umum : Nyamplung

Gambar 1. Tanaman nyamplung

Tanaman nyamplung merupakan tanaman industri yang cukup baik untuk dikembangkan. Tanaman ini termasuk dalam famili Guttiferae yang dapat tumbuh dengan baik, dan biasa banyak dijumpai di sepanjang tepian pantai, tetapi tanaman ini dapat juga tumbuh pada tempat yang berada pada ketinggian 100 sampai 350 m dpl. Di Jawa, tanaman ini tumbuh liar, tinggi tanaman dapat mencapai 20 m dan mempunyai diameter batang 1.50 m. Nyamplung memiliki cabang yang rendah dekat dengan permukaan tanah, dan tumbuh berkelompok (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).

Tanaman nyamplung memiliki kayu yang agak ringan hingga sedang dan lembut, tetapi padat dan agak halus, berurat kusut, hingga tidak dapat dibelah. Kayu nyamplung mempunyai dua warna, yakni kelabu atau semu kuning dan merah bata, mempunyai urat yang lebih halus dan seratnya juga lebih lurus. Sering digunakan sebagai papan, peti dan daun meja, pembuatan kapal, bejana, perabot rumah, bantalan kereta api dan sebagainya. Daun nyamplung yang direndam satu malam

(2)

mempunyai khasiat menyejukkan sehingga dapat digunakan untuk mencuci mata yang meradang (Heyne, 1987). Buahnya berbentuk bulat seperti peluru dengan bagian ujung meruncing, berwarna hijau terusi, pada saat tua warnanya menjadi kekuningan. Kulit biji yang tipis lambat laun akan menjadi keriput dan mudah mengelupas. Biji yang tersisa berupa daging buah berbentuk bulat ujung meruncing mengandung minyak berwarna kuning, terutama jika dijemur. Biji yang dijemur kering mengandung air 3.3% dan minyak sebesar71.4%. Minyak ini dapat digunakan sebagai bahan biodiesel, dengan rendemen 50% (1 liter : 2 kg biji) (Balitbang Kehutanan, 2008).

Tanaman nyamplung tersebar di berbagai daerah di seluruh tepian pantai serta dataran rendah yang menjorok ke pantai. Tanaman nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang mulai dikembangkan penanamannya di Indonesia pada 1950. Tujuan penanamannya adalah untuk melindungi pantai dari abrasi, penahan angin dari laut ke darat, penahan gelombang pasang, penahan tebing sungai dan pantai dari longsor dan penjaga kualitas air payau. Saat ini habitatnya tersebar mulai dari hutan di pantai, tepi sungai, rawa-rawa, hingga hutan di pegunungan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).

Di Indonesia, nyamplung dapat ditemui hampir di seluruh daerah, terutama di daerah pesisir pantai, antara lain: Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Ujung kulon, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata Batu Karas, Pantai Carita Banten, Pulau Yapen Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak (wilayah Papua), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), dan Taman Nasional Berbak (Pantai Barat Sumatera). Luas areal tegakan tanaman nyamplung mencapai 255.35 ribu ha yang tersebar dari Sumatera sampai Papua (Balitbang Kehutanan, 2008). Daerah penyebaran nyamplung diantaranya adalah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan NTT.

Tabel 1. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia

No. Wilayah

Luasan Lahan Potensial Budidaya Nyamplung (ha)

Bertegakan Nyamplung Tanah Kosong

dan Belukar Total

1 Sumatera 7400 16800 24200

2 Jawa 2200 3400 5600

3 Bali dan Nusa Tenggara 15700 4700 20400

4 Kalimantan 10100 19200 29300

5 Sulawesi 3100 5900 9000

6 Maluku 8400 9700 18100

7 Irian Jaya Barat 28000 34900 62900

8 Papua 79800 16400 96200

9 Seluruh Wilayah 177100 107100 284200

Total 549900

Sumber :Balitbang Kehutanan (2008)

Hutan nyamplung dikelola secara profesional oleh Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Selatan Jawa Tengah dengan luas mencapai 196 ha. Nyamplung juga dikembangkan oleh masyarakat Cilacap khususnya di sekitar kecamatan Patimuan dan daerah Gunung Selok kecamatan Kroya/Adipala. Mereka memanfaatkan kayu nyamplung untuk pembuatan perahu nelayan. Sejak tahun 2007, Dinas Kehutanan Perkebunan Kabupaten Cilacap telah menanam 135 ha di lahan TNI Angkatan Darat

(3)

sepanjang pantai laut selatan, dan pada tahun 2008 direncanakan menanam tanaman nyamplung seluas 300 ha.

2.2 MINYAK NYAMPLUNG

Buah nyamplung memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak nyamplung, terutama biji yang sudah tua. Kandungan minyaknya mencapai 50-70% (basis kering) dan mempunyai daya kerja dua kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah (Heyne, 1987).

Tabel 2. Kandungan biji nyamplung

Kandungan Nilai (%) Minyak 50-70 Abu 1,7 Protein kasar 6,2 Pati 0,34 Air 10,8 Hemiselulosa 19,4 Selulosa 6,1 Sumber: Kilham (2003)

Minyak nyamplung merupakan minyak kental, berwarna coklat kehijauan, beraroma menyengat seperti karamel dan beracun. Minyak nyamplung dihasilkan dari buah yang telah matang dan mempunyai fungsi penyembuhan signifikan khususnya untuk jaringan terbakar (Kilham, 2003). Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen–komponen tak tersabunkan diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, kapelierat, asam pseudobrasilat dan penyusun triterpenoat sebanyak 0,5-2% yang dapat dimanfaatkan sebagai obat.

Kandungan minyak nyamplung (Gambar 2) tergolong tinggi dibandingkan tanaman lainnya, seperti jarak pagar (40-60%) dan sawit (46-54%). Menurut Heyne (1987), minyak nyamplung digunakan sebagai obat oles dengan nama ndilo-olie. Minyak nyamplung di beberapa daerah juga digunakan untuk penerangan (Dweek dan Meadows, 2002).

A B

(4)

Minyak nyamplung diperoleh melalui tahapan proses: (1) pengupasan biji dari kulit yang keras, (2) perajangan hingga menjadi irisan tipis, (3) pengeringan dengan panas matahari selama dua hari, (4) penumpukan, (5) pengukusan, (6) pengepresan atau ekstraksi dengan pelarut organik, (7)

degumming, pemisahan getah dengan asam fosfat 1% (Pusat Informasi Kehutanan 2008).

Karakteristik minyak nyamplung sebelum dan sesudah degumming dapat dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut.

Tabel 3. Sifat fisika dan kimia minyak nyamplung

Karakteristik Sebelum

degumming (crude oil)

Sesudah degumming (refined oil)

Kadar air 0.25% 0.41%

Densitas pada suhu 20oC 0.944 g/ml 0.940 g/ml Viskositas pada suhu 40oC 56.7 cP 53.4 cP Bilangan asam 59.94 mg KOH/g 54.18 mg KOH/g Kadar asam lemak bebas 29.53% 27.21% Bilangan penyabunan 198.1 mg KOH/g 194.7 mg KOH/g Bilangan iod 86.42 mg/g 85.04 mg/g

Indeks refraksi 1.447 1.478

Penampakan/warna Hijau gelap dan kental dengan bau menyengat

Kuning kemerahan dan kental Sumber: Balitbang Kehutanan (2008)

Menurut Andyna dalam Kraftiadi (2011), rendemen minyak nyamplung pada proses pengempaan atau pengepresan antara 40 hingga 70% dari massa biji kering. Sedangkan dari hasil proses degumming, rendemen minyak nyamplung yang dihasilkan mencapai 62.80 – 65.89% (Fathiyah, 2010).

Minyak nyamplung hasil degumming dengan proses sederhana kemudian dinetralisasi dengan NaOH dapat menjadi bio-kerosen, sebagai alternatif pengganti minyak tanah yang sangat bermanfaat untuk masyarakat pedesaan (http://www.esdm.go.id. 2009). Dari segi nilai kalor pembakaran, minyak nyamplung memiliki nilai kalor yang semakin tinggi setelah mengalami proses degumming dan pemurnian (Fathiyah, 2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fathiyah (2010), minyak nyamplung kasar memiliki nilai kalor sebesar 9088.08 cal/g dan setelah degumming nilai kalornya meningkat menjadi 9121.84 cal/g. Adapun nilai kalor minyak tanah adalah sebesar 10284 cal/gr (Annamalai, 2006).

Minyak nyamplung memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan dengan minyak tanah, dimana 1 ml minyak nyamplung memiliki pembakaran 11.8 menit, sedangkan 1 ml minyak tanah memiliki pembakaran 5.6 menit. Minyak nyamplung memiliki kemiripan komposisi asam lemak dengan minyak jarak pagar maupun sawit yang sudah dicoba dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Tabel 4 berikut menunjukkan bahwa minyak nyamplung memiliki kemiripan komposisi asam lemak dengan minyak jarak pagar maupun sawit yang sudah dicoba dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).

(5)

Tabel 4. Perbandingan komposisi asam lemak minyak nyamplung dengan minyak jarak pagar dan sawit Komponen Minyak nyamplung Minyak jarak pagar Minyak sawit Asam miristat (C14) 0.09 % - 0.70 % Asam palmitat (C16) 14.60 % 11.90 % 39.20 % Asam stearat (C18) 19.96 % 5.20 % 4.60 % Asam oleat (C18 : 1) 37.57 % 29.90 % 41.40 % Asam linoleat (C18 : 2) 26.33 % 46.10 % 10.50 % Asam Linolenat (C18: 3) 0.27 % 4.70 % 0.30 % Asam arachidat (C20) 0.94 % - - Asam erukat (C20 : 1) 0.72 % - - Jumlah 98.46 % 93.10 % 95.70 % Sumber: Balitbang Kehutanan (2008)

2.3 KOMPOR TEKAN

Rancangan kompor pada dasarnya digolongkan menjadi 2 tipe, yaitu kompor sumbu (wick

burner) dan kompor bertekanan (pressure burner). Secara umum, kompor bertekanan menghasilkan

power output dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi, sehingga bahan bakar yang digunakan lebih

kecil untuk setiap satuan berat bahan yang dimasak (Wichert et al., dalam Yunita 2008).

Prinsip kerja kompor tekan adalah mengubah bahan bakar dari fase cair menjadi fase gas atau uap dan membakarnya dengan oksigen sehingga menyala dan menghasilkan energi panas (Sudrajat dalam Yunita 2008).

Beberapa modifikasi rancangan kompor tekan (Stumpf dan Muhlbauer dalam Yunita 2008), antara lain: (1) pencampuran optimal minyak nabati dengan udara dalam vaporizer, (2) pencampuran optimal minyak nabati dengan minyak tanah (kerosen) atau etanol, (3) pemasangan lembaran tikar/ sumbu dari kapas, karung atau fiber glass untuk membantu mempercepat pembakaran awal, (4) percepatan mengalirnya minyak nabati dari tangki minyak dengan bantuan tekanan udara (pompa udara manual).

Kompor tekan memiliki beberapa bagian (Sudrajat dalam Yunita 2008), seperti: 1. Nosel

Berfungsi sebagai lubang pengeluaran bahan bakar sehingga terjadi proses pembakaran bahan bakar oleh udara (oksigen).

2. Saluran penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel

Berfungsi sebagai penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel, dimana selama proses penyaluran bahan bakar ikut dipanasi oleh proses pemanasan awal.

3. Mangkuk

Berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pemanasan awal sehingga dapat memanasi bahan bakar agar viskositasnya menurun maka proses pembakaran akan menjadi lebih mudah.

4. Penyangga kompor

(6)

Gambar 3. Kompor Tekan

2.4 ATOMISASI (PENGABUTAN) CAIRAN

Proses pembuatan butiran cairan di dalam fase gas disebut dengan atomisasi. Tujuan atomisasi adalah meningkatkan luas permukaan cairan dengan cara memecahkan butiran cairan menjadi banyak butiran kecil. Proses atomisasi dimulai dengan mendorong cairan melalui sebuah nosel. Energi potensial cairan (diukur sebagai tekanan cairan untuk nosel hidrolik atau tekanan udara dan cairan untuk nosel pneumatik) dengan bantuan geometri nosel menyebabkan cairan diubah menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Bongkahan ini selanjutnya pecah menjadi pecahan yang sangat kecil yang biasanya disebut dengan butir (drop), butiran (droplet), atau partikel cairan.

Setiap semburan (spray) menghasilkan suatu rentang besar butir, rentang ini dinyatakan sebagai distribusi besar butir (drop size distribution). Distribusi besar butiran ini tergantung pada jenis nosel dan sangat bervariasi untuk setiap jenisnya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar butir adalah sifat-sifat fisik cairan, dan kondisi operasi.

Menurut Graco (1995), ada berbagai faktor yang mempengaruhi ukuran dari butiran

(droplet). Diantara faktor-faktor tersebut adalah sifat-sifat cairan, seperti tegangan permukaan,

viskositas, dan kerapatan. 1. Tegangan permukaan

Tegangan permukaan cenderung untuk menstabilkan cairan, mencegah cairan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Cairan dengan ketegangan permukaan yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran rata-rata tetesan yang lebih besar pada atomisasi.

2. Viskositas

Viskositas fluida memiliki pengaruh yang sama pada ukuran butiran droplet seperti pada tegangan permukaan. Viskositas menyebabkan fluida melawan agitasi, cenderung untuk mencegah pemecahan cairan dan mengarah ke ukuran droplet yang rata-rata lebih besar. Gambar 4 menunjukkan hubungan antara viskositas dan ukuran droplet ketika atomisasi terjadi.

(7)

high medium low

Gambar 4. Hubungan antara viskositas dan ukuran droplet (Graco 1995)

3. Densitas

Densitas menyebabkan cairan mempertahankan akselerasi. Densitas serupa dengan sifat-sifat baik tegangan permukaan dan viskositas, lebih tinggi cenderung menghasilkan ukuran tetesan yang rata-rata lebih besar.

Pada proses pembuatan butiran cairan di dalam fase gas, dalam hal ini densitas gas jauh lebih kecil dari densitas cairan. Sehingga mekanisme formasi butiran jauh berbeda untuk perbedaan densitas yang rendah, terutama pada kecepatan tinggi. Pengabutan banyak digunakan untuk keperluan-keperluan pengabutan bahan bakar, pembuatan produk berbentuk granular (bongkahan), operasi perpindahan massa, dan pelapisan permukaan (pengecatan, dan lain-lain).

Mekanisme atomisasi dilihat dari fluida kerja dapat dibagi atas atomisasi hidrolik dan pneumatik.

1. Atomisasi hidrolik

Pada atomisasi hidrolik, atomisasi terjadi karena tekanan cairan atau gaya gravitasi pada cairan yang keluar pada mulut nosel dan pecah pada waktu jet berbentuk lembaran.

2. Atomisasi pneumatik

Pada atomisasi pneumatik, atomisasi terjadi sebagai akibat saling aksi antara cairan dengan udara yang berkecepatan tinggi. Gaya gesek antara cairan dengan udara menyebabkan terdisintegrasinya cairan menjadi butiran. Jika ditinjau proses pencampuran dengan udara dengan cairan, nosel pneumatik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu jenis pencampuran dalam dan pencampuran luar.

(8)

2.5 PROSES PEMBAKARAN

Pembakaran didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan cahaya (api) dan panas akibat kombinasi kimia walaupun secara umum pembakaran dikenal sebagai suatu proses reaksi kimia antar bahan bakar dan oksidator dalam hal ini oksigen yang melibatkan pelepasan energi panas (Strehlow dalam Sunandar 2010).

Oksigen yang diperlukan diambil dari udara yang terdiri dari: ± 70% N2, ± 20% O2, dan ±

1% unsur lainnya (Daywin et al., 1991). Syarat terjadinya proses pembakaran pada bahan bakar (Daywin et al., 1991) adalah: adanya bahan bakar, adanya udara (oksigen), dan adanya titik nyala sebagai pemicu pembakaran.

Terdapat dua aspek penting dalam termodinamika kimia pembakaran, yaitu: pertama,

stoikiometri pembakaran, dalam stoikiometri kimia pembakaran, hal yang diinginkan adalah untuk

mengetahui secara tepat atau secara stoikiometri jumlah udara yang harus dipergunakan untuk mengoksidasi bahan bakar. Jika udara yang masuk lebih besar dari jumlah stoikiometrinya, campuran ini disebut dengan fuel-lean, apabila lebih sedikit dari stoikiometri, campuran ini disebut fuel-rich. Perbandingan stoikiometri udara-bahan bakar ditetapkan dengan menulis neraca massa atom dengan asumsi bahwa bahan bakar bereaksi secara sempurna. Oksigen yang dipergunakan dalam kebanyakan proses pembakaran berasal dari udara yang umumnya tersusun atas 21% oksigen dan 79% nitrogen (%volume), sehingga untuk setiap mol oksigen dalam udara terdapat 0.79/0.21 mol N2 atau 3.76 mol

nitrogen. Untuk bahan bakar hidrokarbon CxHy (Kuo K.K dalam Sunandar 2010).

CxHy + a(O2 + 3.76 N2) xCO2 + (y/2) H2O + 3.76 aN2

Dimana a= x + (y/4). Sering ditemui permasalahan untuk mendapatkan pencampuran bahan bakar dengan udara yang diberikan. Dengan demikian udara diberikan dalam jumlah berlebih untuk memastikan terjadinya pembakaran secara sempurna, dikenal dengan istilah udara berlebih (excess air), dimana reaksinya dapat ditulis sebagai

CxHy + a/ø(O2 + 3.76 N2) xCO2 + (y/2) H2O + a5O2 + 3.76 aN2

Dimana a= x + (y/4) dan a5= a(1- ø)/ ø

Kedua, hukum termodinamika 1, besarnya energi yang dilepaskan pada saat reaksi pembakaran terjadi disebut dengan panas pembakaran. Besarnya panas pembakaran ini sangat tergantung dari jenis bahan bakar yang dipergunakan dan kondisi proses, isobar, isothermal atau isovol. Secara umum panas pembakaran suatu reaksi pembakaran dinyatakan dalam panas entalpi, ∆H, dengan satuan kJ/kg atau kJ/mol. Dalam termofluida, panas pembakaran didefinisikan sebagai panas yang dilepaskan per satuan massa bahan bakar jika stoikiometrik reaktan (bahan bakar + udara) terbakar dimana reaktan dan produk atau hasil reaksi berada pada suhu 298.15 K dan tekanan 1 atm (Kuo K.K. dalam Sunandar 2010).

Menurut Turn R.S. dalam Sunandar (2010), kekentalan minyak bakar akan mempengaruhi panjang lidah api (flame length, Lf), sudut api (angle of flame,α), dan panas api yang dilepas (heat

realese) serta kecepatan api (flame speed). Semakin tinggi angka kekentalan minyak tersebut maka

panjang lidah api akan semakin panjang, sudut semakin rendah, kecepatan api semakin rendah, dan pelepasan panasnya kecil sehingga penurunan kekentalan minyak diperlukan. Berdasarkan teori pembakaran, bahan bakar yang mengalir sepanjang sumbu nyala api menyebar secara radial keluar, sementara itu udara sebagai oksidator terhisap ke dalam. Ketika bahan bakar dan oksidator bertemu dalam keseimbangan stoikiometrik (stoichiometric equilibrium) akan terbentuk permukaan api (flame

surface), dengan demikian permukaan api dapat didefinisikan sebagai titik dimana nilai equivalence

(9)

sebagai bahan bakar diperlukan tidak hanya karena masalah aliran fluida kental, tetapi akan membutuhkan tekanan yang lebih besar dibandingkan dengan fluida dengan kekentalan rendah.

2.6 PINDAH PANAS (HEAT TRANSFER)

Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari suatu daerah ke daerah lainnya sebagai akibat dari perbedaan suhu antara daerah-daerah tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.

2.6.1 Konduksi

Jika pada suatu benda terdapat gradien suhu, maka akan terjadi perpindahan energi dari bagian bersuhu tinggi ke bagian bersuhu rendah. Konduksi adalah cara perpindahan panas melalui suatu zat, dimana molekul zat tersebut tidak ikut berpindah. Karena molekul-molekul zat yang dilewati energi panas secara konduksi tidak ikut berpindah, maka perpindahan energi panas secara konduksi hanya terjadi pada zat padat. Besarnya energi panas per satuan waktu yang melewati penampang benda yang dilewatinya disebut laju aliran panas (Kreith, 1973; Kamil; 1983).

Laju aliran panas dapat diketahui melalui persamaan berikut:

Q = kA (T1-T2) / L ... (1) Dimana : Q = Laju aliran panas (Watt)

k = Konduktivitas termal bahan (W/moC)

A = Luas penampang bahan, diukur tegak lurus terhadap arah aliran panas (m2)

T1-T2 = Perbedaan Suhu (oC) L = Panjang bahan (m)

Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa laju aliran panas bertambah apabila nilai konduktivitas suhu, luas penampang, angka konduktivitas termal bahan bertambah dan panjang bahan berkurang.

Nilai konduktivitas termal menunjukkan tingkat kemudahan suatu bahan dilewati oleh energi panas. Bila nilai konduktivitas termal besar, bahan tersebut semakin mudah dilewati oleh panas. Nilai konduktivitas termal juga dipengaruhi oleh suhu (Kamil, 1983).

2.6.2 Konveksi

Konveksi adalah perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan massa atau molekul zat yang dipanaskan. Umumnya konveksi hanya terjadi pada zat cair ataupun gas (fluida).

Bila perpindahan massa fluida disebabkan oleh perbedaan berat jenis fluida karena adanya perbedaan suhu, maka perpindahan panas ini dapat disebut konveksi alami. Namun bila perpindahan massa fluida terjadi karena bantuan suatu alat seperti kipas, blower, kompresor, maupun pompa, maka perpindahan panas ini dinamakan konveksi paksa (Kamil, 1983).

(10)

Besarnya laju aliran panas konveksi dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Q = h A (T1-T2) ... (2) Dimana : Q = Lajuran aliran panas (Watt)

H = Koefisien pindah panas konveksi (W/moC) A = Luas permukaan perpindahan panas konveksi (m2)

T1-T2 = Perbedaan suhu antara permukaan yang dipanasi dengan suhu fluida yang ditentukan umumnya jauh dari permukaan (oC)

Nilai koefisien pindah panas konveksi selalu berbeda untuk setiap titik pada fluida, namun biasanya digunakan nilai konveksi pindah panas rata-rata untuk mempermudah perhitungan. Karena perpindahan panas secara konveksi juga menyangkut gerakan massa fluida, maka konveksi tidak hanya tergantung pada sifat zatnya saja, namun juga tergantung pada sifat-sifat aliran fluida (Kamil, 1983).

2.6.3 Radiasi

Berbeda dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi, dimana perpindahan panas terjadi melalui perantara, perpindahan panas secara radiasi sama sekali tidak memerlukan zat perantara. Sifat-sifat perpindahan panas secara radiasi sama dengan sifat-sifat gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh adalah perpindahan panas dari matahari ke bumi (Kamil, 1983).

Besarnya laju aliran panas radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

Q = Є σ A T4

... (3) Dimana: Q = laju aliran panas (Watt)

Є = Angka emisi permukaan yang meradiasikan panas dan merupakan ukuran kemampuan meradiasikan energi panas

σ = Angka tetapan Stefan-Boltzman (5.67x10-8W/m2K4) A = Luas Permukaan (m2)

Gambar

Tabel 1. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia
Tabel 3. Sifat fisika dan kimia minyak nyamplung
Tabel 4. Perbandingan komposisi asam lemak minyak nyamplung dengan minyak jarak pagar  dan sawit  Komponen  Minyak  nyamplung  Minyak jarak pagar  Minyak sawit  Asam miristat (C14)  0.09 %  -  0.70 %  Asam palmitat (C16)  14.60 %  11.90 %  39.20 %  Asam st
Gambar 3. Kompor Tekan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Solusi yang ditawarkan agar sebuah turnament sepak bola dengan sistem gugur dapat berjalan dengan lebih cepat, lebih profesional, efisien dan meminimalisir segala bentuk

An Examination Of The Effect Of Product Performance On Brand Reputation, Satisfaction And Loyalty Kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan dan kepuasan mempengaruhi

(2) Pimpinan unit kerja yang menangani keprotokolan pada Sekretariat Presiden dan/atau Sekretariat Wakil Presiden wajib melaporkan kerusakan TPP kunjungan ke luar

Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, McQuail menjelaskan bahwa “Media Baru atau New Media adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi yang berbagi ciri yang sama

Pada dasawarsa terakhir ini sudah pernah dilakukan seminar mengenai Akuntansi Perminyakan dan bahkan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tahun 1994 sudah mengesahkan

Mirip seperti osilasi pada simulasi tekanan darah sebelumnya, osilasi naik perlahan secara linier dari titik mulai sampai titik puncak (saat MAP), lalu turun perlahan secara

Biro Cuaca Amerika Serikat memberikan definisi bahwa kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman

 Kawasan permukiman horizontal, vertical, dan kompak Yang didukung prasarana dan sarana kota dengan konsep TOD.. Kebayoran Lama Menurut pasal 146 dalam Perda No.1 Tahun 2012,