• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Insektisida

2.1.1 Macam-Macam Insektisida

Insektisida merupakan salah satu bagian dari pestisida, dimana insektisida digunakan untuk memberantas jenis serangga. Pemberantasan serangga dapat menggunakan jenis insektisida kimia dan insektisida nabati. Pengendalian hama serangga biasanya dilakukan dengan menggunakan insektisida kimia (Indiati, 2017).

Insektisida kimia memiliki beberapa jenis. Kelompok insektisida kimia yang paling banyak digunakan menurut (Anshori & Prasetiyono, 2016) yakni:

a. organoklorin yang merupakan senyawa kimia yang memiliki efek lama terurai di lingkungan. Insektisida pada kelompok dapat bekerja dengan menyerang sistem syaraf bukan hanya pada jenis insekta tapi juga mamalia dan keracunan yang disebabkan oleh kelompok dapat bersifat karsinogenik (kanker) (Indiati, 2017).

b. Organofosfat merupakan kelompok insektisida yang dapat lebih mudah terurai di alam. Insektisida kelompok terdiri dari ester asam fosfat yang digunakan untuk membunuh hewan bertulang belakang yang bekerja menghambat penyaluran impuls saraf dengan mengikat enzim asetil kolinesterase (Dhamayanti & Saftarina, 2018).

c. Karbamat merupakan senyawa yang mekanisme toksisitasnya sama dengan organofosfat. Karbamat memiliki sifat yang memiliki persistensi yang lebih rendah dan dapat terurai dengan mudah di alam.

d. Piretroid merupakan senyawa yang berkerja pada sistem saraf pada serangga.

Serangga akan mengalami hipereksitasi (kegelisahan) dan konvulsi (kejang) akibat dari impuls syaraf yang menghambat kerja akson pada kanal ion sehingga terjadi aksi potensial yang terjadi secara terus menerus (Ghiffari et al., 2013).

(2)

2.1.2 Residu Insektisida Kimia

Menurunnya kualitas dan produksi tanaman holtikultura disebabkan dari beberapa faktor yakni serangan hama atau penyakit, cuaca, pemberian pupuk dan cara bercocok tanam dapat mengurangi kualitas produksi tanaman (Zamrodah, 2020). Salah satu kendala yang dihadapi dengan penurunan kualitas dan produksi tanaman disebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Cara menanggulangi hama maupun penyakit biasanya dilakukan dengan menggunakan insektisida kimia. Secara garis besar dampak buruk dalam penggunaan insektisida kimia dapat menyebabkan terganggunya ekosistem, terjadinya pencemaran lingkungan, menggangu kesehatan manusia, membunuh hewan bukan sasaran dan hama semakin resistensi (Kristanto et al., 2013). Penggunaan insektisida kimia dapat memberikan dampak negatif pada lingkungan sekitar. Efek residu insektisida akan membunuh OPT dengan masuknya insektisida melalui organ tumbuhan. Cara kerja insektisida dengan melalui bagian- bagian stomata, meristem akar, lantisel yang akan masuk melalui jaringan pengangkut (xylem dan floem) dan akan meninggalkan residunya pada sel-sel yang dilewatinya dan akan ditranslokasikan ke akropetal (bagian tanaman atas) maupun basipetal (bagian tanaman bawah) (Hart, 2014). Efek residu insektisida tidak hanya dapat berpengaruh terhadap OPT, tetapi akan berpengaruh terhadap kesehatan manusia.

Insektisida dapat meracuni manusia bukan hanya dalam penggunaannya, tetapi saat pembuatan maupun dalam proses penyemprotan. Berdasarkan pernyataan tersebut dalam efek residu yang dimiliki oleh insektisida dapat melalui beberapa pencernaan, pernafasan maupun pada kulit. Adanya kandungan insektisida dalam tubuh para petani diambang batas normal. Hal tersebut sejalan dengan penelitian pada petani di kota Batu, Malang Jawa Timur yang mengalami keracunan insektisida dengan jumlah kasusnya 95, 8% (Jenni, 2016).

2.1.3 Insektisida Nabati

Alternatif lain dalam pengendalian hama yang aman bagi lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida nabati. Pengendalian hama dapat memberikan hasil yang aman dan optimal bagi lingkungan dan makhluk hidup dengan memanfaatkan insektisida nabati (Khamid & Siriyah, 2018). Perkembangan insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan dasar berasal dari bahan organik yakni pada tumbuhan. Insektisida nabati merupakan bahan yang dapat digunakan sebagai

(3)

penolak, penghambat, racun untuk hama atau organisme penggangu tumbuhan (OPT) yang bahannya berasal dari tumbuhan. Tumbuhan memiliki senyawa metabolit sekunder yang memiliki kandungan senyawa bioaktif dalam pengguanaan sebagai insektisida nabati terhadap seranggan OPT (Thamrin et al., 2014). Pemanfaatan tumbuhan yang digunakan sebagai insektisida nabati, karena memiliki kandungan metabolit sekunder yang salah satu fungsinya sebagai pengendali hama. Tumbuhan memiliki kandungan bahan aktif untuk pengendali hama atau organisme pegganggu tanaman. Penggunaan insektisida nabati sudah ada sejak tahun 1600an. Mulanya petani Prancis menggunakan insektisida nabati dengan menggunakan perasaan daun tembakau untuk pengendalian hama kepik yang ada pada buah persik, pada tahun 1690 (Saenong, 2016).

Insektisida nabati dapat mengendalikan hama memiliki toksisitas yang rendah, sehingga tidak langsung mematikan hama sasaran. Penggunaan insektisida nabati dapat menghambat nafsu makan hama, sehingga dapat terjadinya toksisitas pada hama dan penekanan kerusakan pada tanaman (Wiratno et al., 2013). Selain itu dalam penggunaan insektisida nabati juga dapat berpengaruh sebagai racun syaraf, repelen, dan lain sebagainnya. Beberapa fungsi dalam penggunaan insektisida nabati yakni sebagai penolak kehadiran serangga yang dapat disebabkan karena insektisida nabati yang memiliki bau yang menyengat atau repelen, rasa pahit yang dihasilkan dari insektisida nabati dapat mencegah serangga memakan tanaman atau antifedant, mencegah serangga meletakkan telur, mengendalikan jamur dan bakteri, sebagai pemikat kehadiran serangga pada perangkap serangga atau atraktan, mengacaukan sistem syaraf dan hormone pada serangga (Indiati, 2017).

(4)

2.1.4 Metabolit Sekunder

Keberadaan tumbuhan yang hidup di alam tidak terlepas dari keberadaan predator yang dapat mengancam keberadaanya, sehingga perlu adanya senyawa untuk melindungi tumbuhan, sehingga dapat bertahan hidup dari predator. Pertahanan tumbuhan dari ancaman dapat berasal dari dalam dengan menggunakan metabolit sekunder. Penggunaan metabolit sekunder sebagai pengendali hama. Fungsi utama dalam penggunaan metabolit sekunder adalah sebagai sistem pertahanan yang dimiliki oleh tumbuhan (Anggraito et al., 2018). Metabolit sekunder dibentuk dengan menggunakan substrat dari metabolit primer. Senyawa organik akan menyusun metabolit primer, sehingga akan terbentuk metabolit sekunder (Dhaniaputri, 2015).

Senyawa yang ada dalam metabolit sekunder dibagi menjadi tiga kelompok dan jalur.

Terdapat tiga kelompok senyawa yang ada pada metabolit sekunder yaitu senyawa fenolik; senyawa terpen; senyawa yang mengandung nitrogen dan pada proses pembentukan metabolit sekunder terdapat tiga jalur yaitu asam malonal, asam mevalonate dan asam sikimat (Setyor & Yusnawan, 2017). Berikut pembentukan metabolit sekunder:

a. Kelompok senyawa terpen atau terpenoid merupakan kelompok senyawa yang ada di alam sangat besar keberadaanya di alam. Senyawa terpen disentesis dengan menggunakan jalur metavonat dan metilerititol fosfat (Anggraito et al., 2018).

Senyawa terpen memiliki beberapa komponen yang dimiliki. Komponen yang dimiliki dalam senyawa terpen yakni terpenoid, Esensial oil, steroid dan saponin (Tando, 2018). Terpenoid sebagai insektisida nabati, karena kemampuannya menolak seragga. Fungsi terpenoid dapat mempengaruhi sistem syaraf terhadap serangga. Senyawa terpenoid dapat mempengaruhi sistem kerja syaraf dan menghambat kerja enzim asetilkolinesterace yang dapat mempengaruhi transmisi rangsangan sehingga dapat menurunkan kerja otot dan dapat menyebabkan kematian pada serangga (Purwatngsih et al., 2019). Kelompok senyawa terpen yang yang salah satunya komponen Essencial oil yang memiliki bau menyengat.

Essencial oil terdiri dari monoterpene dan siskuiterpen yang disintesis di sitoplasma dan plastisida (Campolo et al., 2018). Penggunaan Essencial oil merupakan komponen yang dengan mudah menguap ditandai dengan mudah menguap dan

(5)

memiliki kepadatan yang lebih rendah dibandingkan dengan air (Hartati, 2012).

Essencial oil yang disintesis oleh tanaman memiliki peran penting dalam pertahanan tumbuhan terhadap serangga. Essencial oil sebagai senyawa yang berfungsi sebagai penolak, pencegah makan, racun dan pengatur tumbuh dari OPT (Campolo et al., 2018). Saponin merupakan senyawa basa yang dapat mempengaruhi proses metabolisme pada serangga. Saponin merupakan senyawa basa yang dapat berpengaruh terhadap menghilangnya lapisan lilin yang melindungi serangga sehingga dapat menyebabkan kehilangan banyak cairan dalam tubuh serangga (Campolo et al., 2018).

b. Hasil metabolit sekunder dengan menggunakan jalur sikimat yakni memiliki komponen senyawa fenol. Jalur asam sikimat ada beberapa komponen yakni flavonoid dan tannin (Tando, 2018). Senyawa flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang bersifat toksis terhadap OPT. Penggunaan senyawa flavonoid digunakan sebagai insektisida kontak melalui kulit dan akan merusak mukosa kulit (Anugraheni & Asngad, 2018). Komponen fenol pada tannin akan mempengaruhi sistem pencernaan yang akan mempengaruhi nafsu makan dan dapat menghambat pertumbuhan. Protein yang ada pada saluran pencernaan yang digunakan sebagai proses pertumbuhan akan diikat, seingga proses pencernaan menjadi tidak normal (Campolo et al., 2018).

c. Jalur asam melonat merupakan metabolit sekunder yang memiliki nitrogen dalam bagian strukturnya. Metabolit sekunder pada jalur yang memiliki senyawa nitrogen pada strukturnya dan dikenal sebagai antiherbavior yang dimiliki oleh alkaloid dan glikosida sianogenik (Anggraito et al., 2018). Alkaloid merupakan senyawa yang dapat berfungsi insektisida yang berpengaruh terhadap sistem pencernaan dan menggangu sistem syaraf pada larva. Alkaloid merupakan struktur garam yang dapat menggangu sistem pencernaan, karena disebabkan enzim asetilkoliesterase gagal untuk menstimulus ke saluran pencernaan sehingga usus tidak terkontrol dan implus sistem syaraf pusat ke otot akan mneyebabkan kematian yang diakibatkan penumpukan enzim kolinesterase dan asetilkolin (Campolo et al., 2018).

(6)

2.2 Insesktisida Alami dari Amaranthus spinosus L.

2.2.1 Klasifikasi

Klasifikasi Amaranthus spinosus L. menurut (Backer & Brink, 1963, 1968) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Classis : Magnoliopsida Ordo : Cariophyllales Familia : Amaranthaceae Genus : Amaranthus

Species : Amaranthus spinosus L.

2.2.2 Morfologi

Amaranthus spinosus L. merupakan tanaman yang memiliki sistem perakaran tunggang. Selain itu Bayam duri (A. spinosus) merupakan tanaman perdu yang memiliki morfologi batang berwarna merah atau hijau, termasuk dalam batang basah, dapat tumbuh tegak, memiliki banyak cabang yang ditumbuhi banyak duri. Tanaman A. spinosus memiliki tinggi yang dapat mencapai 1 meter, tanaman memiliki pangkal polos, pada bagian atas memiliki rambut halus dan memiliki duri tiap cabangnya (Hidayat & Napitupulu, 2015). A. spinosus memiliki warna daun kehijau-hijauan, bentuk ujung daun meruncing dan pangkal daun tumpul atau membulat , tepian daun rata dan daun tersusun berseling tunggal. Tata letak daun A. spinosus yakni folio sparsa, dengan bentuk daun delta, memiliki jenis daging daun yang tipis dan lunak, dan pada pertulangan daun menyirip (Hidayat & Napitupulu, 2015; Yuniar, 2020). Pada ketiak daun juga biasanya tumbuh sepasang duri dan bunga. Bunga pada tanaman A. spinosus memiliki warna hijau keputih-putihan, bunga tumbuh di ujung batang dan ketiak batang. A. spinosus termasuk dalam bunga berkelamin tunggal, pada bunga jantan terdapat pada ujung batang yang berbentuk bulat, sedangkan betina terdapat pada ketiak batang yang memiliki bentuk bulat (Pertanian, 2016). Setelah bunga terbentuknya buah, buah pada A. spinosus memiliki warna hijau. Setelah itu akan terbentuk biji, biji A. spinosus memiliki tektur yang keras dan berwarna hitam mengkilat. Biji pada A. spinosus memiliki bentuk bulat dengan berwarna hitam mengkilat dan teksturnya keras.

(7)

2.2.3 Kandungan Bahan Aktif

Analisis kimia yang terkandung dalam tumbuhan Amaranthus spinosus L.

memiliki senyawa metabolit sekunder. Senyawa yang ada pada ekstrak A. spinosus yakni alkaloid, flavonoid, fenol dan phytosterol (Mishra et al., 2011); steroid dan saponin (Keintjem & Hendrawan, 2019). Kandungan metabolit sekunder pada A.

spinosus memiliki berbagai manfaat, yang salah satu Manfaatnya ialah sebagai sistem pertahanan terhadap serangan herbivora atau OPT. Sistem pertahanan dari OPT membutuhkan metabolit sekunder, karena metabolit sekunder tidak berkerja secara langsung pada pertumbuhan. Fungsi utama dalam penggunaan metabolit sekunder adalah sebagai sistem pertahanan yang dimiliki oleh tumbuhan (Anggraito et al., 2018).

2.2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang berkaitan tentang pemanfaatan family Amaranthaceae sebagai insektisida nabati. Penelitian pada larva nyamuk A. aegypty mengalami penurunan jumlah dengan menggunakan larvasida dan obat nyamuk bakar yang berasal dari tumbuhan A. indica (Euphorbiaceae) sebesar 49%, sedangkan pada A. aspera (Amaranthaceae) mengalami penurunan 67% dan kombinasi dari keduanya mengalami penurunan 97% dalam waktu 5 hari (Kamalakannan et al., 2011). Pemberian ekstrak tanaman pada tangki maupun obat nyamuk bakar dapat menghambat daya makan nyamuk dan morotalitas pada larva nyamuk A. aegypti. Hama Crocidolomia pavartata yang merupakan OPT tanaman sawi maupun kubis, maka pengendalian hama tersebut dengan menggunakan bahan alami dari C. odollam, A. viridis dan N. hirsutula yang dapat menyebabkan mortalitas sebesar 84 % yang disebabkan adanya kandungan metabolit sekunder (Asikin & Akhsan, 2019). Metabolit sekunder tidak berperan langsung dalam pertumbuhan dan perkembangan, namun berperan dalam mempertahankan tumbuhan dari predator. Pertahanan tanaman dari cekaman biotik maupun abiotic merupakan fungsi dari metabolit sekunder (Setyor & Yusnawan, 2017).

(8)

2.3 Brassica Olerace Var Botrytis L.

2.3.1 Klasifikasi

Klasifikasi Bunga Kol (Brassica oleracea var. Botytis L.) menurut (Backer &

Brink, 1963, 1968) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

phyllum : Spermatophyta Classis : Dicotyledonae Ordo : Capparidales Familia : Brassicaceae Genus : Brassica

Species : Brassica oleracea var. botrytis L.

2.3.2 Morfologi

Brassica oleracea var. Botrytis L merupakan tumbuhan yang memiliki bagian tumbuhan yang lengkap, yakni memiliki akar, batang, daun, bunga dan biji. Stuktur akar pada B. oleracea yakni akar tunggang. Akar tunggang yang tumbuh menuju ke pusat bumi, perakaran menyebar dan dangkal dapat tumbuh subur tumbuh di tanah yang gembur dan poros (Sunarti, 2015). Tanaman B. oleracea merupakan tanaman perdu yang memiliki batang berwarna hijau muda, lunak tidak berkayu. Batang herba tanaman B. oleracea memiliki tinggi sekitar ± 30 cm, halus tidak berambut, batang tidak memiliki cabang dan tertutupi oleh daun-daun (Aidah, 2020). Daun pada tanaman B. oleracea memiliki warna hijau dengan dilapisi oleh lilin, berbentuk oval. Daun pada B. oleracea memiliki tangkai daun, memiliki tulang daun sejajar (Jumanta, 2019).

Bunga pada tanaman B. oleracea yang dikonsumsi masyarakat disebut sebagai “curd”, karena bunga bergerombol. Bunga pada B. oleracea memiliki lebih dari 5000 kuntum bunga yang membulat, berwarna putih-kekuningan, lunak dan tebal pada bagian lah masyarakat banyak mengkonsumsi tanaman (Juhriah et al., 2018). Biji pada B.

oleracea memiliki warna hitam kecoklatan yang berbentuk bulat kecil.

(9)

2.3.3 Budidaya

Proses budidaya dilakukan tanaman Brassica oleracea var. Botrytis L dilakukan dengan teknik berikut :

1. Pengelolaan tanah

Penggelolaan tanah dengan cara menggemburkan tanah, agar tanah yang akan digunakan menjadi longgar. Selain itu untuk memperbaiki sifat fisik tanah berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. Sifat fisik tanah dilakukan dengan pemberian bahan organik dapat meningkatkan kapasitas menahan air, memperbaiki struktur tanah, laju infiltrasi, memudahkan penetrasi akar dan aerasi (Holilullah et al., 2015). Tumbuhan B. oleracea merupakan tanaman yang banyak hidup di dataran tinggi. Tipe tanah yang digunakan untuk menanam B. oleracea merupakan tanah gembur dengan pH optimum sekitar 6,0-6,8 dengan ketinggian tempat sekitar 400-2000 mdpl dan mendapatkan sinar matahari penuh (Wahyudi, 2010).

2. Penyemaian benih

Penyemaian benih dilakukan untuk mematahkan dormansi sehingga dapat tumbuh bibit. Pematahan dormansi dilakukan dengan merendam benih dengan air hangat bersuhu 50°C selama 1 jam, kemudian dimasukkan kedalam media semai, media persemaian dilakukan dengan perbandingan 1:1 tanah dengan pupuk kandang dengan mengisi satu lubang satu benih (Sunarti, 2015). Proses penyemaian dilakukan untuk membantu tanaman yang masih muda agar dapat dengan mudah dirawat.

3. Penanaman

Penanaman dilakukan dengan memindahkan benih yang telah siap ke tanah lapang.

Penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 50x50 cm yang kemudian ditutup dengan tanah.

4. Pemeliharaan

a. Proses pemeliharaan tanaman dengan cara melakukan penyiraman pada tanaman dengan konsisi tanah yang tidak terlalu basah yang dilakukan di sore hari.

b. Pemeliharan tanaman juga dilakukan dengan menggunakan pemupukan susulan.

Pemupukan susulan dengan menggunakan pupuk anorganik sebagai penambahan unsur hara pada tanah.

(10)

c. Proses penyiangan dengan mencabut gulma yang ada disekitaran tanaman, agar tidak mneghalangi tanaman untuk tumbuh.

d. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan tujuan agar melindungi tanaman, sehingga tidak terjadi kerusakan ataupun kegagalan panen.

5. Pemanenan

Proses pemanenan dilakukan dengan cara memetic curd bunga pada B. oleracea.

Umur yang tepat untuk melakukan pemanenan yakni setelah persemaian berumur 55- 100 hari (Prastio, 2015). Proses pemanenan dapat dilakukan pada waktu pagi maupun sore disaat kondisi cuaca cerah.

2.3.4 Manfaat

Brassica oleracea var. Botrytis L merupakan tanaman holtikultural yang termasuk pada familia Brassicaceae. Organ bagian pada B. oleracea yang dikonsumsi yakni pada bunganya atau yang disebut curd. B. oleracea pada bagian organ bunganya memiliki kandungan gizi yang kompleks. Bunga pada B. oleracea memiliki kandungan mineral dan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh (Juhriah et al., 2018). Adanya kandungan gizi yang ada pada B. oleracea memiliki manfaat bagi kesehatan tubuh.

Kandungan gizi yang terkandung dalam B. oleracea terdiri dari kalsium, fosfor, kalium, magnesium dan lemak jenuh (Wadhani et al., 2021). Bunga pada B. oleracea yang dikonsumsi secara langsung maupun diolah dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia. Manfaat kesehatan pada B. oleracea yakni mencegah adanya radiasi ultra violet, diabetes, obesitas, mengatasi gangguan pencernaan, hipertensi, radan usus dan degenerasi macula (Sunarti, 2015).

2.3.5 Produksi

Brassica oleracea var. Botrytis L. yang termasuk dalam familia Brassicaceae merupakan tanaman semusim atau memiliki umur yang pendek. Daur hidup B.

oleracea berlangsung mmal empat bulan hingga setahun (Sunarti, 2015). Tanaman semusim banyak diminati masyarakat karena sejumlah kandungan gizi yang ada pada tanaman , sehingga dapat berpengaruh terhadap produksi B. oleracea. Produksi B.

oleracea pada tahun 2020 di Indonesia dengan hasil 204.238 ton dan pada daerah Jawa Timur mencapai 32.043 ton (Statistik, 2020).

(11)

2.4 Spodoptera Litura F.

2.4.1 Klasifikasi

Klasifikasi Spodoptera litura F. menurut (Borror, 1992) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthopoda Kelas : Insecta Ordo : Coleoptera Famili : Noctoidae Genus : Spodoptera

Spesies : Spodoptera litura F.

2.4.2 Morfologi

Spodoptera litura F. yang termasuk ke dalam familia Noctoidae mengalami metamorphosis sempurna. S. litura merupakan OPT yang dapat merusak dengan memakan daun pada tanaman inangnya. Hama polifag dapat menyerang berbagai jenis tanaman demi kelangsungan hidupnya ((Widodo, 2013). Siklus hidup S. litura berlangsung dengan empat fase.

1. Fase telur S. litura, telur akan diletakkan pada permukaan daun dan ditutupi oleh bulu-bulu halus. Bentuk telur pada S. litura yakni bulat dengan berwarna kuning kecoklatan (Krishanti et al., 2017). Telur pada S. litura akan diletakkan pada permukaan daun dengan cara bergerombol. Imago dapat menghasilkan telur ± 350 butir yang telur tersebut tertutupi oleh bulu berasal dari tubuh betina (Lestari et al., 2013). Telur yang siap menetas akan berwarna kehitam-hitaman yang menunjukan kepala larva akan keluar dari telur tersebut.

2. Fase larva

a. Larva S. litura memiliki warna tubuh pada larva yang baru menetas pada instar I yakni hijau-kekuningan dengan bulu halus, kepala hitam, memiliki lebar sekitar 0,2- 0,3 mm dan berlangsung selama 2-3 hari (Putra & Khotimah, 2021).

b. Larva instar II memiliki warna tubuh hijau gelap dengan panajang 3,75-10 mm, terdapat empat buah titik pada torax, terdapat garis hitam pada ruas abdomen pertama, pada dorsal garis putih memanjang dari toraks hingga ujung abdomen.

(12)

c. Larva instar III memiliki abdomen bagian kanan dan kiri terdapat garis zig-zag berwarna putih, terdapat bulatan berwarna hitam disepanjang tubuhnya, lama pada tahap berlangsung 4 hari (Umiati & Nuryanti, 2012).

d. Larva instar IV dengan warna tubuh hijau kekuningan, Larva instar VI pada instar memiliki warna yang sangat gelap, dan sulit dibedakan morfologinya antara instar IV, V dan VI. Instar terakhir akan bergerak untuk menjatuhkan diri untuk merubah pada fase pra pupa (Ricinus et al., 2020). Larva pada instar VI akan mencari tempat bersembunyi untuk berubah menjadi fase pupa. Larva akan menguburkan diri dalam pasir dan mengeluarkan cairan dari tubuhnya yang kemudian akan mengeras dan berubah menjadi benang halus yang digunakan untuk merekatkan butiran-butiran pasir pada tubuh larva, sehingga dapat berubah menjadi pupa (Ramadhan et al., 2016).

e. Fase pupa memiliki bentuk lonjong dengan warna coklat kemerahan. Fase memiliki ukuran berkisar 8-11 hari (Javar et al., 2013).

3. Imago memiliki sayap yang saat direntangkan panjangnya sekitar 4 cm pada sayap bagian depan berwatna coklat kekuningan, sedangkan pada sayap bagian bawah berwarna transparant dan memiliki bulu halus berwarna putih, mata berwana hitam, sepasang kaki depan dilapisi rambut halus, memiliki antena yang panjang dan tipis, bagian perut terdapat bulu halus dengan ujung perut berwarna gelap.

2.4.3 Siklus Hidup

Spodoptera litura F. merupakan hewan polifag yang memiliki empat fase dalam siklus hidupnya. Empat fase pada S. litura yaitu fase telur, fase larva, fase pupa dan dan fase imago. Keempat fase tersebut menjadikan fase hidup S. litura termasuk dalam morfologi sempurna. Lama hidup S. litura termasuk dalam umur pendek. Siklus hidup hama S. litura yang dimulai dari fase telur hingga menjadi imago dapat berlangsung selama 28 hingga 32 hari (Fattah et al., 2016). Fase imago akan menghasilkan telur yang akan ditempatkan di bawah permukaan daun. Fase telur akan menetas menjadi larva setelah telur berumur sekitar 2-3 hari (Krishanti et al., 2017). Setelah telur akan menetas dan berubah menjadi fase larva. Larva yang baru menetas akan tinggal beberapa hari ditempat diletakan telur. Larva S. litura akan tinggal ditempat diletakkan selama beberapa hari dan akan memakan daun yang ditempati telur dengan

(13)

berkelompok. Ketika sedian makan yang ditempati telah habis, larva akan berpindah tempat ke daun-daun lain. Larva pada S. litura memiliki enam periode instar, yakni instrar I hingga instar IV. Larva instar I akan berlangsung selaa 2-3 hari, instar II 2-4 hari, instar III 2-5 hari, instar VI berlangsung 2-6 dan instar V berlangsung 4-7 hari, dan VI berlangsung selama 8 hari (Lestari et al., 2013). Instar VI akan berubah menjadi pupa. Proses pembentukan pupa berlangsung selama 2 hari dan masa pupa berubah menjadi imago berlangsung sekitar 6-8 dan pada fase yang keempat merupakan fase yang akan menghasilkan generasi baru berupa telur, fase imago pada S. litura akan menghasilkan telur pada umur 3-5 hari (Krishanti et al., 2017).

2.4.4 Gejala Serangan

Gejala serangan Spodoptera litura F. yang paling berpengaruh yakni pada tahap larva, karena pada tahap hama akan menyerang daun dan hanya meninggalkan tulang daun. Serangan yang dilakukan oleh larva S. litura pada tahap awal hidup secara berkelompok dan merusak daun dengan memakan daun dan meninggalkan epidermis maupun tulang daun, sedangkan larva pada instar lanjut akan merusak daun maupun tulang daun, sehingga dapat menyebabkan kehilangan daun (Khamid & Siriyah, 2018).

Serangan yang dilakukan S. litura pada fase larva sangat cepat serangannya dan susah untuk dikendalikan. Serangan yang dilakukan oleh S. litura dapat menurunkan produktifitas maupun kegagalan panen pada tanaman budidaya. Akibat dari serangan S. litura yang memakan daun akan menggangu proses fotosintesis, sehingga dapat mengakibatkan kehilangan hasil panen (Karowa et al., 2015). Larva yang memiliki kemampuan dalam merusak tanaman yang paling berpengaruh yakni pada larva instar III. S. litura pada instar III memiliki daya serang pada tumbuhan yang tinggi disebabkan oleh potensi dalam memakan tumbuhan inangnya yang relatif banyak, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman budidaya (Khamid & Siriyah, 2018). Serangan larva instar III dapat menyebabkan kerusakan, sehingga dapat mematikan tanaman budidaya.

(14)

2.4.5 Cara Membunuh

Upaya dalam pengendalian OPT (organisme penggangu tanaman) seperti pada Spodoptera litura F. dapat dikendalikan dengan berbagai teknik. Teknik yang biasa digunakan dalam membunuh serangan OPT S. litura dengan cara fisik, kimia dan biologi (Risyadi, 2018). Mulanya sebelum perkembangan ilmu dan teknologi yang berkembang pesat, pengendalian OPT dilakukan dengan cara fisik. Pengendalian OPT pada masa sekarang dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida, insektisida yang banyak digunakan para petani adalah insektisida kimia. Penggunaan insektisida kimia Insektisida kimia merupakan pengendalian OPT yang memiliki keefektitifitas yang tinggi. keefektifitasan yang tinggi disebabkan karena insektisida kimia dapat menimbulkan efek stress oksidatif (Insani et al., 2018). Praktek dalam pengendaliannya OPT dengan menggunakan insektisida kimia memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup maupun pada manusia. Insektisda kimia memberikan efek samping bagi lingkungan juga harganya yang relatif mahal dan memberikan dampak negatif pada kesehatan manusia (Dendang et al., 2018). Adanya dampak negatif yang disebabkan oleh insektisida kimia, maka diciptaknnya insektisida nabati yang berasal dari tumbuhan. Sistem pertahanan dari OPT membutuhkan metabolit sekunder, karena metabolit sekunder tidak berkerja secara langsung pada pertumbuhan. Fungsi utama dalam penggunaan metabolit sekunder adalah sebagai sistem pertahanan yang dimiliki oleh tumbuhan (Anggraito et al., 2018).

2.5 Studi Pengembangan Sumber Belajar 2.5.1 Definisi sumber belajar

Belajar suatu kegiatan adanya interaksi terhadap situasi yang ada disekitar individu. Maka belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh individu dengan adanya penambahan ilmu pengetahuan, sikap maupun keterampilan sebagai bentuk untuk menuju perkembangan pribadi pada manusia yang seutuhnya (Nurrita, 2018). Adanya wawasan ilmu pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yang berpengaruh terhadap kualitas dalam sumber belajar. Sumber belajar merupakan aktivitas seperti pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar yang dimanfaatkan peserta didik sebagai sumber untuk kegiatan belajar dan dapat meningkatkan kualitas belajarnya (Jonuarti et al., 2014). Sumber belajar

(15)

merupakan daya yang dapat dimanfaatkan oleh tenaga pendidik dan peserta didik untuk kepentingan kegiatan dalam pembelajaran dengan tujuan yang sama untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, kemudahan dalam kelangsungan proses pembelajaran. Sumber belajar diperoleh dari berbagai macam kebutuhan dalam bahan ajar, karena sumber belajar memiliki peranan yang penting yang berkaitan dengan bahan ajar. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang tersedia di sekitar lingkungan belajar yang berfungsi untuk membantu optimalisasi hasil belajar (Faizah M. Nur, 2012).

2.5.2 Pemanfaatan Penelitian berupa Modul Praktikum

Hasil penelitian memiliki potensi ekstra bayam duri (Amaranthus spinosus L.) sebagai insektisida nabati terhadap ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman bunga kol (Brassica oleracea var. Botrytis L.) sebagai bentuk sumber belajar berupa buku praktikum biologi SMA. Sumber belajar yang digunakan pada yakni pada kelas X semester Genap pada materi perubahan lingkungan dengan KD 3.11 “menganalisis data perubahan lingkungan, penyebab dan dampaknya bagi kehidupan” dan KD 4.11

“merumuskan gagasan pemecahan masalah perubahan lingkungan yang terjadi di lingkungan sekitar”. Sumber belajar yang diguanakan dalam hasil penelitian berupa modul praktikum. Pembuatan modul merupakan suatu bahan ajar dalam proses pembelajaran yang isinya mencakup kegiatan yang spesifik dan relatif singkat untuk mencapai tujuan pembelajaran (Harta et al., 2014). Hal merupakan pembelajaran yang efektif untuk belajar mandiri.

2.5.3 Pengukuran Mutu Modul Praktikum

Modul praktimum memiliki tujuan untuk mempermudah dalam proses pembelajaran yang disusun sesuai dengan sistematika yang didasarkan dari ketetapan kurikulum yang berlaku. Proses pembuatan modul pembelajaran perlu memperhatikan dan mempertimbangkan fungsi modul sebagai prinsip dan proses belajar mengajar, sehingga peserta didik dapat menerima kegiatan pembelajaran dengan baik (Firdaus &

Rusimamto, 2020). Pembuatan modul pembelajaran perlu memperhatikan beberapa aspek penting yakni kelayakan isi yang berkaitan dengan indikator pada modul, kelayakan penyajian, kelayakan Bahasa yang digunakan dalam modul, kegrafikan, kemanfaatan produk dan keterlaksanaan praktikum (Sistiana Windyariani & Juhanda,

(16)

2020). Pengembangan modul praktikum perlu memperhatikan tampilan dan penulisan bahasa yang akan berpengaruh terhadap kualitas dan ketertarikan peserta didik dalam media pembelajaran tersebut. Modul praktikum perlu memperhatikan juga format yang harus ada. Format dalam pembuatan modul yakni judul praktiku, tujuan, dasar teori, alat dan bahan, langkah kerja dan daftar pustaka (Fidiana et al., 2012).

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dibuat untuk memudahkan dalam pemahaman dan mengetahui apa yang akan diteliti dalam penelitian . Penelitian membahas terkait insektisida. Jenis insektisida terbagi menjadi dua yakni insektisida kimia atau sintetis dan Insektisida alami atau nabati. Penggunaan insektisida kimia memiliki efek residu bagi lingkungan.

Residu insektisida bagi lingkungan dapat berakibat buruk dari penggunaannya atau dalam penggunaan langsung yang sasarannya hanya untuk OPT (organisme penggangu tanaman), namun terbawa oleh gerakan oleh udara, air ataupun angin (Amilia et al., 2016). Efek residu yang disebabkan oleh insektisida kimia, maka perlu adanya penggunaan insektisida yang relative aman bagi lingkungan.

Penggunaan insektisida alternatif yakni dengan menggunakan tumbuhan atau dapat dikatakan sebagai insektisida nabati. Insektisida nabati dapat digunakan sebagai suatu alternatif dalam mengendalikan OPT, karena adanya senyawa metabolit sekunder yang dimiliki oleh setiap tanaman. Fungsi utama dalam penggunaan metabolit sekunder adalah sebagai sistem pertahanan yang dimiliki oleh tumbuhan (Anggraito et al., 2018). Metabolit sekunder memiliki 3 jalur dalam pembentukan senyawanya.

Jalur metabolit sekunder yakni asam mevalonate, asam sikimat, dan asam malonat.

Jalur mevalonate dan metilerititol fosfat memiliki komponen terpen. Senyawa terpen dapat mempengaruhi system kerja syaraf dan menghambat kerja enzim asetilkolinesterace yang dapat mempengaruhi transmisi rangsangan sehingga dapat menurunkan kerja otot dan dapat menyebabkan kematian pada serangga (Purwatngsih et al., 2019). Jalur sikimat memiliki komponen senyawa fenol yakni flavonoid dan tannin. Jalur asam melonat memiliki senyawa nitrogen yakni alkaloid. Alkaloid berpengaruh terhadap sistem pencernaan dan sistem syaraf. Alkaloid merupakan struktur garam yang dapat menggangu system pencernaan, karena disebabkan enzim asetilkoliesterase gagal untuk menstimulus ke saluran pencernaan sehingga usus tidak

(17)

terkontrol dan implus system syaraf pusat ke otot akan mneyebabkan kematian yang diakibatkan penumpukan enzim kolinesterase dan asetilkolin (Campolo et al., 2018).

Adanya kandungan senyawa ada pada tanaman Amaranthus spinosus L.

Kandungan senyawa yang ada di dalam A. spinosus dapat digunakan sebagai sistem pertahanan dari OPT. Senyawa yang ada pada ekstrak A. spinosus yakni alkaloid, flavonoid, fenol dan phytosterol (Mishra et al., 2011); steroid, saponin, alkaloid, terpenoid, fenolik dan flavonoid (Keintjem & Hendrawan, 2019). Senyawa- senyawa tersebut merupakan senyawa yang dapat difungsikan sebagai pengendalian OPT.

Hasil dari penelitian dapat diorientasikan dalam modul praktikum pembelajaran di Sekolah Menengah Akhir (SMA) kelas X dengan materi “ Perubahan Lingkungan”

“KD 3.11 Menganalisis data perubahan lingkungan, penyebab dan dampaknya bagi kehidupan” dan “KD 4.11 Merumuskan gagasan pemecahan masalah perubahan lingkungan yang terjadi di lingkungan sekitar”. Kegiatan praktikum perlu ditunjang dengan adanya modul praktikum sebagai kegiatan praktikum berlangsung, dengan disusun secara lebih terperinci dan efektif sehingga mudah untuk dipahami.

(18)

Adapun kerangka konsep penelitian yang dilakukan disajikan pada Gambar 2.1

Kimia/sintetis Nabati

Jalur pembentukan Senyawa Metabolit sekunder

Residu effect

Pencemaran lingkungan

Jalur metavalonat

dan metilerititol

fosfat

Senyawa Terpen

Jalur Sikimat Jalur Asam

melonat

Flavonoid Alkaloid

Mengganggu sistem syaraf

Mengganggu sistem pernafasan

Mengganggu sistem pencernaan

Mortalitas ulat Spodoptera litura F.

Hasil penelitian digunakan sebagai modul Praktikum Pencemaran Lingkungan SMA Kelas X Penuruanan B. oleracea

Jenis insektisida

Serangan OPT

Ekstrak Amaranthus spinosus L.

(19)

2.7 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan studi pustaka yang ada di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu ada pengaruh pemberian ekstrak bayam duri (Amaranthus spinosus L.) terhadap pestisida nabati yang memiliki efek mortalitas terhadap serangan ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada bunga kol (Brassica oleracea var. Batrytis L.).

Referensi

Dokumen terkait

Cara ini dipakai bahan yang berkhasiat untuk membunuh vektor (insektisida) atau menghalau serangga (rapellent). Kelebihan dari cara ini adalah dapat mencapai daerah

Daun sirih mengandung senyawa kimia yang berpotensi sebagai racun untuk serangga, dan pada penelitian daun sirih sebagai insektisida nabati terhadap tingkat mortalitas

Aplikasi insektisida dengan dosis terlalu tinggi menyebabkan serangga lebih cepat resisten karena kemampuan enzim dalam tubuh serangga mendetoksifikasi insektisida

Insektisida nabati merupakan insektisida yang terbuat dari tumbuhan yang mengandung senyawa aktif bersifat mudah tururai dan tidak menyebabkan resistensi

1) Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bias mematikan semua jenis serangga. 2) Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun

Kelebihan dari insektisida berbahan baku nabati antara lain : (1) mengalami degradasi/penguraian yang cepat oleh sinar matahari; (2) memiliki efek/pengaruh yang cepat,

Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan lain dan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk

Resistensi tunggal adalah resistensi pada populasi serangga terhadap satu jenis insektisida sedangkan resistensi ganda (silang) adalah perkembangan resistensi pada