• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN DAUR FINANSIAL KELAS PERUSAHAAN JATI DI KPH MADIUN PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR MELATI NUSWANTARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENENTUAN DAUR FINANSIAL KELAS PERUSAHAAN JATI DI KPH MADIUN PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR MELATI NUSWANTARI"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

MELATI NUSWANTARI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

PERUM PERHUTANI UNIT II JAWA TIMUR

MELATI NUSWANTARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Jati di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Melati Nuswantari E14070086

(4)

Nama : Melati Nuswantari NIM : E14070086

Menyetujui:

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc Dr. Corryanti

NIP. 19650707 19903 1 002 NIP. 19600103 198603 2 004

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

Tanggal Lulus:

(5)

MELATI NUSWANTARI. Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Jati di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Dibimbing oleh YULIUS HERO dan CORRYANTI.

Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan kayu dengan nilai jual tinggi, sehingga banyak diminati oleh masyarakat. Peran pengusahaan hutan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan untuk menghasilkan keuntungan maksimal.

Oleh karena itu, perlu ditetapkan daur finansial kelas perusahaan jati. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan daur finansial yang optimal pada kelas perusahaan jati di KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan di KPH Madiun pada kelas hutan produktif. Penaksiran produksi volume terbesar dihasilkan pada tegakan jati dengan umur 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hutan jati di KPH Madiun saat ini menunjukkan kondisi yang tidak normal. Kondisi tidak normal tersebut disebabkan oleh faktor penjarahan/pencurian, kebakaran hutan, dan bencana alam. Penentuan daur finansial didekati dengan nilai harapan lahan – Soil Expectation Value (SEV) dan nilai kini bersih - Present Net Worth (PNW). Daur alternatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, dan 60 tahun.

Sedangkan tingkat suku bunga yang digunakan yaitu 5%, 6,5%, 10%, dan 12%.

Hasil perhitungan SEV menunjukkan bahwa daur yang menghasilkan nilai SEV tertinggi adalah 40 tahun. Sama halnya dengan hasil perhitungan pendapatan bersih saat ini (PNW) yang menunjukkan bahwa daur yang menghasilkan nilai PNW tertinggi adalah daur 40 tahun. Oleh karena itu, daur finansial terbaik untuk kelas perusahaan jati KPH Madiun adalah 40 tahun. Berdasarkan analisis sensitivitas, pengusahaan hutan jati KPH Madiun lebih sensitif terhadap perubahan penurunan pendapatan dibandingkan terhadap kenaikan biaya.

Kata Kunci: Daur finansial, Jati (Tectona grandis L.f.), PNW (Present Net Worth).

(6)

MELATI NUSWANTARI. Finance Rotation Determination of Teak in KPH Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. Supervised by YULIUS HERO and CORRYANTI.

Teak (Tectona grandis L.f.) is wood with high value offers many interests by the community. The role of forest enterpreneur is very important to fulfill the needs by generating maximum benefits. Therefore, it is necessary to determine the financial rotation of teak. This research aims to establish optimal financial rotation of teak, in KPH Madiun Perum Perhutani Unit II East Java. This research was conducted in KPH Madiun on the forest class productive. The largest volume production assessment generated at the stands of teak with a lifespan of 40 years.

This shows that the teak forest in KPH Madiun is currently showing condition which is not normal. Abnormal condition is caused by a factor of looting/theft, forest fires, and natural disasters. Financial rotation is determinated by the approach of Soil Expectation Value (SEV) and the Present Net Worth (PNW).

Alternative rotation use in this research are 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, and 60 years. Meanwhile, the interest rate use are 5%, 6,5%, 10%, and 12%.

Calculation of the results shows that rotation of SEV produces the highest value of the SEV is 40 years old. It is similar with calculation of the result present net income (PNW) show that recycling generating the highest recycling value PNW is 40 years. Therefore, the best financial rotation of teak KPH Madiun is 40 years.

Based of the sensitivity analysis, teak forest enterprise of KPH Madiun is more sensitive to changes reduced income than increased cost.

Keywords: Financial rotation, Teak (Tectona grandis L.f.), PNW (Present Net Worth)

(7)

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta (Aditomo, SE dan Fitri Rokhmah, S.Ag), kakak (Putri Masita, SE), adik (Intan Firdausi), kakak ipar (Syaiful Annas Wafaqi, SE), keponakan (Raysha Kamila Annas), serta seluruh keluarga atas perhatian, kasih sayang, dukungan, dan doa yang diberikan kepada penulis.

2. Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc dan Dr. Corryanti selaku dosen pembimbing skripsi yang dengan sabar memberikan nasihat, pemikiran, arahan, motivasi, serta meluangkan waktunya kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen penguji, Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc selaku ketua sidang, dan Dr. Ir. Juang Mataraman, M.S selaku dosen uji petik yang telah memberi masukan dan arahan.

4. Segenap staf dan karyawan KPH Madiun, khususnya Bapak Suyanto selaku Asper Dungus, Bapak Bambang selaku Mantri Ngadirejo, Bapak Purwanto selaku Asper Ngadirejo, Bapak Chamim selaku Asper Pulung, dan bapak- bapak mandor atas bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.

5. Ir. Ririh Prabowo, Ibu Yeni, Kak Dinul, Kak Apri, Kak Nita atas bantuan selama penelitian.

6. Ika O, Ajeng, Emma, Herlina, Rahma, Rika, Ida, Kiki serta seluruh keluarga besar Fahutan IPB khususnya Keluarga Manajemen Hutan angkatan 44 atas doa, dukungan, keceriaan dan kekeluargaannya.

7. Jessi, Sari, Anis, Adek, Via, Denia dan semua penghuni Wisma Gajah atas doa, bantuan, dukungan, motivasi dan kebersamaannya.

8. Teman-teman satu bimbingan, Luthfia dan Ade atas kerjasama, semangat dan dukungannya.

9. Ditmawa IPB atas kesempatan beasiswa BUMN yang diberikan kepada penulis.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

(8)

Agustus 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Aditomo, SE dan Ibu Fitri Rochmah, S.Ag. Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal di TK Aisiyah Aba 2 Wonosobo tahun 1993-1995, SD Negeri 2 Wonosobo tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Wonosobo tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Wonosobo tahun 2004-2007. Pada tahun 2007 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai Staf Administrasi dan Keuangan Koperasi Mahasiswa (KOPMA) tahun 2008-2009, staf Departemen Kewirausahaan Forest Manajement Student Club (FMSC) tahun 2008-2009, Panitia Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) II tahun 2008, Panitia Temu Manajer Departemen Manajemen Hutan tahun 2009, Panitia E-green tahun 2009, Peserta Bina Corp Rimbawan (BCR) Fakultas Kehutanan tahun 2008, Peserta Temu Manajer (TM) Departemen Manajemen Hutan tahun 2008, dan anggota aktif Organisasi Mahasiswa Daerah IKAMANOS IPB. Selain itu, penulis pernah melakukan sejumlah praktek lapang, yaitu: Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Papandayan-Sancang Timur tahun 2009, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2010, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Barito Putera, Provinsi Kalimantan Tengah periode September- November 2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Jati di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, dibimbing oleh Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc dan Dr. Corryanti.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Sholawat salam senantiasa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Skripsi yang berjudul Penentuan Daur Finansial Kelas Perusahaan Jati di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur ini disusun untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini membahas tentang kondisi hutan jati KPH Madiun dilihat dari penaksiran produksi volume yang dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar, diameter, dan volume pohon per hektar. Penentuan daur finansial yang didekati dengan nilai harapan lahan (SEV) dan Present Net Worth (PNW). Kajian ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai informasi dan bahan masukan bagi KPH Madiun dalam pengambilan keputusan dan usaha pengelolaan hutan sesuai dengan daur finansial yang optimal.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pembuatan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun penulis terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Maret 2012 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati... 3

2.2 Penaksiran Produksi Kayu ... 5

2.3 Daur... 6

2.4 Nilai Harapan Lahan ... 8

2.5 Biaya ... 10

2.6 Analisis Sensitivitas ... 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 12

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian ... 12

3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan ... 12

3.3 Cara Pengambilan Contoh ... 12

3.4 Analisis Data ... 13

3.5 Analisis Sensitivitas ... 16

3.6 Asumsi-asumsi ... 16

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

4.1 Letak dan Luas ... 17

4.2 Topografi, Daerah Aliran Sungai, Tanah dan Iklim ... 18

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi ... 20

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

5.1 Penaksiran Produksi Kayu ... 21

5.2 Kondisi Tegakan Jati KPH Madiun ... 24

(11)

5.3 Biaya ... 33

5.4 Pendapatan ... 37

5.5 Nilai Harapan Lahan ... 40

5.6 Present Net Worth ... 43

5.7 Analisis Sensitivitas ... 47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

6.1 Kesimpulan ... 50

6.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51

LAMPIRAN ... 53

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Hubungan kelas hutan dan intensitas sampling inventarisasi hutan

Jati ... 13

Tabel 2 Mata pencaharian penduduk di kecamatan sekitar hutan tahun 1998 di wilayah KPH Madiun ... 20

Tabel 3 Rekapitulasi pemilihan petak contoh KPH Madiun ... 22

Tabel 4 Luas produktif kayu jati di KPH Madiun ... 23

Tabel 5 Taksiran volume kayu jati di KPH Madiun ... 24

Tabel 6 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan saat ini .... 25

Tabel 7 Diameter pada kondisi tegakan normal dan saat ini ... 27

Tabel 8 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan saat ini ... 31

Tabel 9 Rekapitulasi biaya pengelolaan jati di KPH Madiun ... 34

Tabel 10 Rekapitulasi biaya pembangunan jati di KPH Madiun ... 35

Tabel 11 Rekapitulasi biaya administrasi jati di KPH Madiun ... 36

Tabel 12 Volume tebang akhir dan volume penjarangan jati KPH Madiun pada setiap daur alternatif ... 38

Tabel 13 Daftar harga kayu jati sesuai kelas diameter pada setiap daur akternatif di KPH Madiun ... 39

Tabel 14 Rekapitulasi perhitungan nilai harapan lahan (SEV) pada setiap daur alternatif ... 41

Tabel 15 Persentase kenaikan nilai harapan lahan (SEV) pada tingkat suku bunga 6,5% ke tingkat suku bunga 5% ... 42

Tabel 16 Rekapitulasi hasil perhitungan present net worth (PNW) pada setiap daur alternatif ... 44

Tabel 17 Persentase kenaikan present net worth (PNW) pada tingkat suku bunga 6,5% ke tingkat suku bunga 5% ... 46

Tabel 18 Hasil sensitivitas pengusahaan hutan jati KPH Madiun (daur 60 dan 40 tahun) ... 48

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Skema penentuan daur finansial ... 15

Gambar 2 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual ... 28

Gambar 3 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual ... 29

Gambar 4 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual ... 30

Gambar 6 Nilai harapan lahan (SEV) dari setiap daur alternatif ... 42

Gambar 7 Present net worth (PNW) dari setiap daur alternatif ... 45

Gambar 8 Present net worth (PNW) hasil analisis sensitivitas pada daur 40 tahun ... 48

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Struktur kelas hutan jati KPH Madiun tahun 2011 ... 53 Lampiran 2 Rincian biaya-biaya pengusahaan jati KPH Madiun ... 54

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan Surat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhutani, Perum Perhutani Jawa Tengah Nomor 023/045.1/Lit/

PLB tentang Penelitian dengan melibatkan mahasiswa tanggal 11 Januari 2011 untuk tujuan Penelitian Manajemen Hutan dengan Tema/Judul Penelitian Kajian daur finansial yang optimal tegakan jati.

Hutan jati adalah sejenis hutan yang didominasi oleh pohon jati. Di Indonesia, hutan jati banyak ditemukan di Jawa. Hutan jati merupakan hutan yang tertua pengelolaannya di Jawa dan juga di Indonesia, dan salah satu jenis hutan yang terbaik pengelolaannya. Kayu jati (Tectona grandis L. f.) merupakan kayu kelas satu karena kekuatan, keawetan dan keindahannya. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap. Selain relatif mudah diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak mudah berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Kemewahan kayu jati ditunjukkan dengan garis lingkar tumbuh yang indah dan bernilai artistik tinggi. Nilai kayu yang tinggi didapatkan dari daur yang panjang yaitu antara 40- 80 tahun, sehingga daya jual kayu jati di pasaran tergolong cukup tinggi dibanding dengan jenis kayu lainnya.

Manfaat jati yang besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, diduga memicu terjadinya perusakan hutan. Penjarahan hutan jati yang terjadi hampir merata di Pulau Jawa pada akhir-akhir ini sudah barang tentu akan menyebabkan turunnya potensi hutan jati. Oleh karena itu, pengusahaan jati memiliki peranan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan jati di masa akan datang dan mengelola hutan secara lestari sehingga dapat mencapai tingkat kemampuan menghasilkan keuntungan dari modal yang ditanam.

Salah satu perusahaan pengelola hutan di Jawa adalah Perum Perhutani.

Perum Perhutani merupakan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun merupakan salah satu unit usaha pada Perum

(16)

Perhutani unit II Jawa Timur dengan potensi sumberdaya hutan yang baik dan kelas umur yang lengkap. Sebagai unit kelestarian hasil dari Perum Perhutani, pengelolaannya dibedakan dalam bentuk kelas-kelas perusahaan hutan.

Pengelolaan hutan yang baik diperlukan perencanaan yang baik pula.

Kegiatan perencanaan pengusahaan hutan tidak terlepas dari kegiatan penentuan panjangnya daur yang akan dipakai. Keuntungan tertinggi merupakan sasaran yang ingin dicapai oleh setiap pengelola hutan. Oleh karena itu, perlu ditetapkan daur finansial, yaitu pada umur berapa pengusahaan hutan jati dapat menghasilkan keuntungan terbesar.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menetapkan daur finansial yang optimal pada kelas perusahaan jati di KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II, Jawa Timur.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan kepada pihak KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur dalam pengambilan keputusan dan usaha pengelolaan hutan sesuai dengan daur finansial yang optimal.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Jati

2.1.1 Klasifikasi, penyebaran dan syarat tumbuh

Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi . Menurut Sumarna (2001), dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Sub-kelas : Dicotyledoneae Ordo : Verbenaceae Genus : Tectona

Spesies : Tectona grandis Linn. f.

Tectona grandis L. f. tersebar di seluruh Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Pohon yang dapat mencapai tinggi 45 m dengan panjang batang bebas cabang 15 – 20 m, diameter dapat mencapai 220 cm, umumnya 50 cm, bentuk batang tidak teratur dan beralur. Kayu teras berwarna coklat muda, coklat-kelabu, sampai coklat- merah tua atau merah-coklat. Kayu gubal berwarna putih atau kelabu kekuning- kuningan. Tekstur kayu agak kasar dan tidak merata. Arah serat lurus atau kadang-kadang agak terpadu. Permukaan kayu licin, kadang-kadang seperti berminyak. Lingkaran tumbuh nampak jelas, baik pada bidang transversal maupun radial, seringkali menimbulkan gambar yang indah. Kayu jati berbau bahan penyamak yang mudah hilang (Martawijaya et al. 1981)

Pohon jati menggugurkan daunnya pada saat musim kemarau. Semakin tinggi kadar kelembaban di atmosfir, maka semakin lama pohon jati dapat mempertahankan dedaunannya agar tidak berguguran. Di Jawa umumnya pengguguran daun jati terjadi di bulan Juni, selain karena cuaca juga tergantung pada keadaan setempat dan umur pohon jati itu sendiri (Cordes 1992)

(18)

Jati tumbuh baik pada tanah sarang, terutama pada tanah yang mengandung kapur. Jenis ini tumbuh di daerah dengan musim kering yang nyata, tipe curah hujan C-F, jumlah hujan rata-rata 1200-2000 mm per tahun, pada ketinggian 0- 700 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 1981). Tempat tumbuh yang paling bagus bagi pohon jati adalah di dataran rendah, bersuhu tinggi, di bawah 2000 kaki dml; di daerah-daerah yang tanahnya bekas endapan di bawah muka laut, yang mengandung kapur; di daerah-daerah dengan perbedaan musim (hujan dan kering) yang jelas (Pramoedibyo 1999). Pohon jati yang tumbuh dengan baik dapat dilihat dari jumlah lingkaran tahunnya, yaitu sebanyak 30 sampai 40 lingkaran tahunan dengan ketebalan satu desimeter (Cordes 1992)

2.1.2 Sifat Fisik dan Kegunaan

Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jari mempunyai berat jenis antara 0,62-0,75 dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,85%-5,2%

(Sumarna 2001). Sifat fisis kayu jati ditentukan oleh bentuk anatominya maupun susunan kimia dari kayunya. Misalnya: mengenai berat jenisnya atau kepadatannya, kekerasannya, daya lenting/pir, kelenturan dan kestabilannya (Cordes 1992)

Karena sifatnya yang baik, kayu jati merupakan jenis kayu yang paling banyak dipakai untuk berbagai keperluan, terutama di Pulau Jawa. Kayu jati praktis sangat cocok untuk segala jenis kontruksi seperti tiang, balok dan gelagar pada bangunan rumah dan jembatan, rangka atap, kosen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, mebel, alat-alat yang memerlukan perubahan bentuk yang kecil, kulit dan dek kapal, lantai (papan dan parket) dan sirap. Jati merupakan kayu yang paling baik untuk pembuatan kapal dan biasa untuk papan kapal, terutama untuk kapal yang berlayar di daerah tropis. Kayu jati dapat juga dipakai untuk tong, pipa dan lain- lain dalam industri kimia dan mempunyai daya tahan terhadap berbagai bahan kimia. Selain itu, kayu jati dapat dipakai sebagai obat kolera dan kejang usus (Martawijaya et al. 1981)

(19)

2.2 Penaksiran Produksi Kayu

Inventarisasi hutan biasanya dianggap sinonim dengan taksiran kayu. Di dalam artian ini inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya (Husch 1987)

Kegiatan inventarisasi bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang potensi dan keadaan hutan. Untuk keperluan tersebut di Perum Perhutani kegiatan inventarisasi hutan dilaksanakan dengan cara pengambilan contoh sistematik dengan mempergunakan petak ukur lingkaran sebagai satuan contoh.

Kesalahan yang disyaratkan adalah maksimal 15%, yaitu penyimpangan dua kali simpangan baku, tidak lebih dari 15% dari volume rata-rata. Berdasarkan ketentuan ini maka intensitas sampling sekurang-kurangnya 2,5% dan tergantung dari biaya, tenaga dan fasilitas yang tersedia (Direktorat Jenderal Kehutanan 1974)

Penaksiran volume suatu tegakan lebih dapat dilakukan dari pengukuran- pengukuran yang dipandang mewakili seluruh tegakan daripada peninjauan volume individu pohon-pohon. Tujuannya adalah untuk membuat suatu penaksiran tegakan secara cepat tanpa mengukur semua pohon atau menentukan volume-volumenya. Volume-volume yang diperoleh dalam cara ini bermanfaat jika diperlukan penaksiran volume seluruhnya, tanpa dibagi data spesies, ukuran, atau kelas-kelas kualitas (Husch 1987)

Departemen Kehutanan (1992) menjelaskan bahwa inventarisasi hutan dengan sampling, khususnya untuk mengetahui potensi tegakan, dua informasi penting yang diperlukan adalah luas rata-rata dan volume kayu per hektar.

Masalah yang muncul adalah apa atau bagaimana bentuk sampel yang akan diukur serta beberapa jumlah pohon yang akan diambil sebagai sampel tersebut, dan bagaimana memilihnya di lapangan. Dari sini lalu muncul apa yang disebut

“petak ukur” dan cara menempatkannya. Untuk hutan alam klimaks atau hutan tanaman yang sudah tua, biasanya diambil luas petak ukur lingkaran 0,1 ha, yaitu dengan jari-jari 17,8 m. Untuk menghindari kesulitan penepatan sampel secara acak (random), di kehutanan biasanya dipakai penepatan sampel sistematik, yaitu penepatan sampel yang dilakukan menurut aturan dengan keajegan tertentu, yang

(20)

ditetapkan sebelumnya. Dari segi statistik, penepatan sampel secara sistematik ini tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, rumus-rumus yang dipakai dalam sampling sistematik ini diambil dari rumus penepatan sampel secara acak. Untuk inventarisasi hutan, penepatan sampel secara sistematik mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan penepatan secara random, sebagai berikut:

1. Pelaksanaannya lebih cepat dan lebih mudah

2. Letak sampel dijamin lebih tersebar merata diseluruh bagian populasi

3. Dapat memberi manfaat lain, misalnya untuk pemetaan atau stratifikasi potensi tegakan.

2.3 Daur

Daur adalah periode waktu yang diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan tegakan hutan sampai masak tebang dalam kondisi tertentu (Davis 1966). Menurut Simon (1993), daur atau rotasi adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan tertentu.

Istilah daur mempunyai makna suatu jangka waktu antara waktu penanaman hutan sampai hutan tersebut dianggap masuk untuk dipanen. Konsep daur dipakai untuk pengelolaan hutan seumur. Untuk hutan tak seumur, istilah yang mempunyai arti sama adalah siklus tebang (cutting cycle).

Lahirnya istilah daur berkaitan erat dengan adanya konsep hutan normal.

Secara ideal, hutan normal akan terdiri atas kelompok tegakan dari semua umur yang mempunyai potensi sama, mulai dari umur 1 tahun sampai akhir daur. Oleh karena itu, menentukan panjang daur merupakan salah satu faktor kunci dalam pengelolaan hutan seumur. Sesuai dengan definisinya, masalah penentuan panjang daur sangat berkaitan erat dengan cara menentukan waktu yang diperlukan oleh suatu jenis tegakan untuk mencapai kondisi masak tebang, atau siap dipanen.

Lamanya waktu tersebut bergantung pada sifat pertumbuhan jenis yang diusahakan, tujuan pengelolaan, dan pertimbangan ekonomi. Dari sinilah lahir beberapa macam atau cara dalam menentukan panjang daur (Departemen Kehutanan 1992)

(21)

Menurut Osmaston (1968), faktor-faktor yang mempengaruhi lamanya daur adalah sebagai berikut:

1. Tingkat kecepatan pertumbuhan tegakan, yang tergantung pada jenis pohon, lokasi tempat tumbuh serta intensitas penjarangan.

2. Karakteristik jenis, dimana harus diperhatikan umur maksimal secara alami, umur menghasilkan benih, umur kecepatan tumbuh terbaik dan umur kualitas kayu terbaik.

3. Pertimbangan ekonomi, dimana harus memperhatikan ukuran yang dapat diperoleh.

4. Respon tanah terhadap penggunaan pembukaan lahan yang berulang-ulang, hal ini erat hubungannya dengan batuan induk dan pelapukan tanah.

Departemen Kehutanan (1992) menyatakan bahwa ada lima macam daur, sebagai berikut:

1. Daur fisik

Yaitu jangka waktu yang berhimpitan dengan periode hidup suatu jenis untuk kondisi tempat tumbuh tertentu, sampai jenis tersebut mati secara alami.

Kadang-kadang juga didefinisikan sama dengan umur, sampai pohon tersebut masih mampu menghasilkan biji yang baik untuk melakukan permudaan. Jadi, daur ini tidak mempunyai hubungan yang erat dengan nilai ekonomi suatu hutan.

2. Daur silvikultur

Yaitu jangka waktu selama hutan masih menunjukkan pertumbuhan yang baik, dan dapat menjamin permudaan sesuatu, dengan kondisi yang sesuai dengan tempat tumbuhnya. Daur silvikultur sangat dekat atau hampir mirip dengan daur fisik. Daur silvikultur pada umumnya sangat panjang dan mempunyai batas yang amat lebar.

3. Daur tehnik

Yaitu jangka waktu perkembangan sampai suatu jenis dapat menghasilkan kayu atau hasil hutan lainnya, untuk keperluan tertentu. Untuk suatu jenis, daur fisik atau panjang bergantung pada tujuan pengelolaannya. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan, sering kali amat panjang.

(22)

4. Daur volume maksimum

Yaitu jangka waktu perkembangan suatu tegakan yang memberikan hasil kayu tahunan terbesar, baik dari hasil penjarangan maupun tebangan akhir. Daur ini merupakan perkembangan yang terpenting dan paling banyak dipakai di lapangan, baik secara langsung atau tidak langsung. Panjang daur volume maksimum ini berhimpitan dengan umur tegakan pada waktu riap rata-rata tahunan (MAI, mean annual increment) mencapai maksimum.

5. Daur pendapatan maksimum

Daur ini juga dikenal sabagai daur “bunga hutan” maksimum (the highest forest rental), yaitu daur yang menghasilkan rata-rata pendapatan bersih maksimum. Disini, pendapatan bersih dihitung dari hasil penjarangan dan hasil akhir, setelah dikurangi dengan seluruh biaya. Daur ini pada umumnya hampir sama panjang dengan daur volume maksimum. Rata-rata pendapatan tahunan bersih diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan panjang daur.

6. Daur finansial

Yaitu daur yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan maksimum dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (land expectation value) dan dari hasil finansial.

2.4 Nilai Harapan Lahan

Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu. Di kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan secara periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk waktu yang akan datang perlu didiskonto pada tahun perhitungan.

Penentuan daur finansial optimal dalam kajian ini didekati dengan nilai finansial berdasarkan pendekatan Nilai Harapan Lahan. Pendekatan ini dikemukakan oleh Davis (1966). Rumus yang digunakan, sebagai berikut:

(23)

Keterangan : Se = Nilai Harapan Lahan (Rupiah/hektar)

a = Hasil bersih panen/penebangan akhir daur (Rupiah) w = Daur (Tahun)

i = Biaya atas modal (Persen)

Menurut Davis (1966), nilai harapan lahan baru sebatas nilai lahan kosong.

Oleh karena itu, nilai lahan dengan tegakan yang tumbuh di atasnya dapat dihitung dengan rumus:

Keterangan: PNW = Present Net Worth/Nilai keuntungan bersih saat ini NR = Nilai pendapatan bersih tegakan (yang dipanen nanti) SEV = Nilai harapan lahan/Nilai lahan kosong

Menurut Chapman dan Meyer (1947), faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tegakan, sebagai berikut:

1. Jenis pohon, kualitas, ukuran dan kerapatan tegakan.

2. Kemudahan untuk dicapai (aksesibilitas).

3. Persaingan permintaan akan kayu dengan jumlah penjualan kayu dan jumlah jenis kayu lain yang tersedia.

4. Permintaan pasar.

5. Bentuk dari penjualan kayu.

6. Jangka waktu penjualan.

Menurut Haeruman (1977), masalah yang timbul sewaktu mengadakan penilaian stumpage, sebagai berikut:

1. Pengaruh ketidaktelitian dalam penentuan harga jual dan ongkos produksi.

2. Pengaruh perhitungan volume terhadap biaya per unit yang diturunkan dari biaya-biaya tetap.

3. Penerapan keadaan pasar atau tawar-menawar, karena keadaan keyataan pasar adalah validitas terakhir.

Menurut Davis (1966), terdapat tiga dasar untuk melakukan penilaian tegakan, sebagai berikut:

1. Nilai biaya, yang didasarkan kepada biaya historis, pemindahan tempat dan pemulihan.

(24)

2. Nilai pendapatan, yang diestimasi sebagai nilai sekarang dari keseluruhan pendapatan di masa yang akan datang atau penghasilan lain yang diharapkan dari suatu pemulihan.

3. Nilai pasar, harga pasar adalah sebagai pedoman untuk penilaian hutan yang merupakan perbandingan yang sangat penting.

2.5 Biaya

Menurut Lembaga Penelitian Ekonomi Kehutanan (1964), biaya didefinisikan sebagai semua pengorbanan tenaga dan material selama satu periode dalam suatu perusahaan. Biaya dibagi dalam dua bagian yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap tidak tergantung pada tingkat kegiatan perusahaan, artinya biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh naik atau turunnya kegiatan perusahaan sedangkan biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah sesuai dengan naik turunnya kegiatan perusahaan (Slot dan Minnaar 1995)

Beberapa faktor yang mempengaruhi atau menentukan biaya menurut Elias (1987), adalah sebagai berikut:

1. Besarnya kapasitas produksi dari bermacam-macam alat produksi yang digunakan untuk memproduksi barang.

2. Nilai produksi barang

3. Lamanya pemakaian kekayaan yang diperlukan untuk memproduksi barang tersebut.

4. Harga dari kekayaan tersebut.

2.6 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali suatu analisis kelayakan proyek, agar dapat melihat pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah atau ada suatu kesalahan dalam dasar perhitungan biaya-manfaat.

Analisis kepekaan (sensitivitas) adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Hal ini dibutuhkan dalam analisis proyek, biasanya didasarkan pada proyek yang mengandung banyak ketidakpastian dan perubahan yang akan terjadi di masa

(25)

yang akan datang, proyek dapat berubah-ubah sebagai akibat empat permasalahan utama, sebagai berikut:

1. Perubahan harga jual produk 2. Keterlambatan pelaksanaan proyek 3. Kenaikan biaya

4. Perubahan volume produksi

Jadi, analisis kepekaan dilakukan untuk melihat sampai seberapa persen penurunan akan peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan (Gittinger 1986).

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2011 dan bertempat di KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa Timur.

3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: Peta hutan Jati KPH Madiun, Buku RPKH Kelas Perusahaan Jati KPH Madiun, Laporan Keuangan Tahunan KPH Madiun tahun 2010, Buku Tarif Upah KPH Madiun tahun 2010, Laporan Definitif KPH Madiun tahun 2010, Tabel Tarif Lokal Kayu Hasil Tebangan Akhir KPH Madiun, Tabel Tegakan Wolff Von Wulfing, dan Daftar Harga Jual Dasar Kayu Jati Perum Perhutani.

Sedangkan alat yang digunakan antara lain : pita ukur untuk mengukur keliling pohon, kompas untuk menentukan arah, tali tambang untuk pembuatan petak ukur, parang untuk membersihkan tumbuhan bawah, cat, kuas dan tinta bak untuk penendaan pohon, alat - alat bantu lainnya seperti perangkat keras PC (Personal Computer), alat tulis, tally sheet, kamera digital, dan alat hitung berupa kalkulator.

3.3 Cara Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh ini dimaksudkan untuk keperluan penaksiran volume kayu yang dihasilkan oleh tegakan. Prosedur pengambilan contoh adalah sebagai berikut :

1. Menentukan petak-petak contoh pada kelas hutan produktif yang ditentukan dari KU yang memiliki bonita yang telah ditetapkan yaitu bonita 3 atau 3,5.

Berdasarkan pertimbangan bonita rata-rata tersebut, didapatkan unit contoh sebanyak 20 petak dengan 74 petak ukur yang tersebar di Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur masing-masing sebanyak 10 petak.

2. Metode yang digunakan untuk pengambilan contoh adalah menggunakan metode Sistematik Sampling with Random Start dengan Intensitas Sampling

(27)

(IS), luas petak ukur dan jarak antar petak ukur sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Tanaman Jati yang dikeluarkan oleh Dirjen Kehutanan Tahun 1974 seperti pada tabel berikut :

Tabel 1 Hubungan kelas hutan dan intensitas sampling inventarisasi hutan jati Kelas Hutan Intensitas Sampling (%) Luas PU (ha) Jarak antar PU

KU I – KU II 0,5 0,02 200 m

KU III – KU IV 1 0,04 200 m

KU V up 2,5 0,10 200 m

MR dan MT 2,5 0,10 200 m

Sumber: Direktorat Jenderal Kehutanan

Systematic sampling with random start merupakan kegiatan inventarisasi yang sering diasumsikan bahwa populasi yang diduga merupakan populasi acak.

Unit contoh yang digunakan dalam kajian ini adalah pohon berdiri jati yang dipilih secara acak dan tersebar menurut bonita dan kelas umurnya.

3. Melakukan pengukuran variabel tegakan dalam petak ukur. Variabel yang diukur adalah keliling pohon dan jumlah (N) pohon. Pohon yang dipilih merupakan pohon berdiri dengan keliling lebih dari 20 cm. Keliling pohon diukur setinggi dada manusia normal sekitar 1,3 m, dilakukan menggunakan pita ukur. Sedangkan untuk pohon berbanir diukur 20 cm diatas banir. Jumlah (N) pohon ditentukan dari pohon yang mempunyai diameter >20 cm.

4. Data pohon contoh yang digunakan sebanyak 983 pohon sesuai dengan Kelas Umur masing-masing dari dua Bagian Hutan yang masih termasuk ke dalam wilayah KPH Madiun, yaitu: Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur.

Bagian Hutan Caruban diambil contoh sebanyak 45 petak ukur yang tersebar di BKPH Ngadirejo dan BKPH Dungus. Sedangkan 29 petak ukur lainnya tersebar di Bagian Hutan Ponorogo Timur, yaitu: di BKPH Pulung dan BKPH Bondrang. Semua petak ukur yang dijadikan contoh di lapangan dianggap dapat mewakili keseluruhan bagian hutan jati yang terdapat di KPH Madiun.

Dari 74 petak ukur tersebut, hanya 71 petak ukur yang datanya dapat diambil untuk penaksiran produksi kayu. Hal ini dikarenakan ada tiga petak ukur yang tidak dapat diambil datanya karena ketiga petak ukur tersebut merupakan trubusan. Sedangkan untuk menentukan penaksiran produksi kayu dibutuhkan

(28)

data keliling pohon dari hutan yang mempunyai status sebagai kelas umur dan bukan trubusan. Dua petak ukur yang merupakan trubusan berada di RPH Ngadirejo dan satu berada di RPH Centong.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Penaksiran Produksi Kayu

Kayu yang dihasilkan dari setiap daur adalah kayu hasil dari penjarangan dan kayu hasil penebangan akhir. Besarnya volume kayu ditentukan dengan menggunakan tabel volume lokal kayu hasil tebangan akhir. Sedangkan volume untuk seluruh tegakan dalam umur dihitung, sebagai berikut:

𝑉𝑗 = 𝐿𝑗 𝑥 𝑉𝑗

Keterangan: Vj = Volume tegakan kelas umur ke-j (m3) Lj = Luas tegakan kelas umur ke-j (ha)

Vj = Volume per ha tegakan kelas umur ke-j (m3/ha) 3.4.2 Identifikasi Biaya

Identifikasi biaya ditujukan untuk menentukan biaya total perusahaan.

Pembiayaan pengusahaan hutan terdiri dari biaya pembangunan dan biaya administrasi. Biaya tersebut perlu disetarakan, yaitu dengan cara mendiskon biaya tersebut ke tahun nol.

3.4.3 Perhitungan Nilai Pendapatan Pengusahaan Hutan

Pendapatan pengusahaan hutan dihitung dengan cara mengalikan pendapatan fisik (kayu) dengan nilai tegakan pada akhir daur ditambah dengan pendapatan yang diperoleh dari hasil penjarangan. Seperti halnya biaya, pendapatan ini juga diperhitungkan pada tahun ke-0. Penaksiran output fisik (kayu tebangan) pada akhir daur digunakan alat bantu yaitu Tarif Volume Lokal Kayu Hasil Tebangan Akhir KPH Madiun. Sedangkan penaksiran harga kayu didapatkan dari Daftar Harga Jual Dasar Kayu Jati Perum Perhutani.

(29)

Data potensi Data pendapatan Data biaya

Menaksir Volume Jati

Hasil penjualan kayu (volume x harga kayu)

Biaya Pembangunan, Biaya Administrasi

Nilai Harapan Lahan

Present Net Worth

Nilai terbesar

Daur finansial 3.4.4 Penentuan Daur Finansial

Penentuan daur finansial optimal dalam kajian ini didekati dengan nilai finansial berdasarkan pendekatan Nilai Harapan Lahan. Pendekatan ini dikemukakan oleh Davis (1966). Rumus yang digunakan, sebagai berikut:

𝑆𝐸𝑉 = a

(1 + 𝑖)𝑤 + 1

Keterangan : Se = Nilai Harapan Lahan (Rupiah/hektar)

a = Hasil bersih panen/penebangan akhir daur (Rupiah) w = Daur (Tahun)

i = Biaya atas modal (Persen)

Menurut Davis (1966), nilai harapan lahan baru sebatas nilai lahan kosong.

Oleh karena itu, nilai lahan dengan tegakan yang tumbuh di atasnya dapat dihitung dengan rumus:

𝑃𝑁𝑊 = NR + SEV (1 + 𝑖)𝑤−𝑡

Keterangan: PNW = Present Net Worth/Nilai keuntungan bersih saat ini NR = Nilai pendapatan bersih tegakan (yang dipanen nanti) SEV = Nilai harapan lahan/Nilai lahan kosong

Gambar 1 Skema penentuan daur finansial.

(30)

3.5 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis yang menguji secara sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila terjadi kejadian yang berbeda dengan perkiraan yang dibuat dalam perencanaan. Simulasi yang digunakan pada analisis sensitivitas ini, sebagai berikut:

1. Apabila terjadi peningkatan biaya sebesar 5%, 10% dan 15%

2. Apabila terjadi penurunan pendapatan sebesar 5%, 10% dan 15%

3.6 Asumsi-Asumsi

Dalam suatu analisis finansial diperlukan beberapa asumsi dasar, dengan melihat kondisi yang ada sekarang dan kecenderungan yang mungkin terjadi di masa mendatang. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi berbagai kendala dan kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang. Asumsi-asumsi dasar tersebut, sebagai berikut:

1. Semua kayu yang dihitung berasal dari hutan produktif.

2. Pendugaan potensi menggunakan bonita rata-rata yaitu 3 atau 3,5.

3. Kayu hasil penjarangan dan produksi daur dapat diserap pasar dan terjual habis.

4. Daur alternatif yang dikaji adalah 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55 dan 60 tahun.

5. Suku bunga yang digunakan dalam kajian ini didasarkan pada suku bunga rata- rata Bank Indonesia tahun 2011 (6,5%) serta suku bunga pembanding yaitu:

5%, 10% dan 12%.

6. Analisis hasil perhitungan didasarkan pada penerimaan sebelum pajak.

7. Pembiayaan dan penerimaan didasarkan pada tarif upah yang berlaku.

8. Semua komponen biaya selama periode perhitungan adalah konstan dan didasarkan pada biaya pada tahun 2010.

9. Harga jual kayu yang dipakai adalah harga jual rata-rata tiap sortimen AI, AII dan AIII.

(31)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas

Letak Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun secara administratif berada di daerah tingkat II dalam tiga wilayah Kabupaten yaitu Kabupaten Madiun (16.075,4 ha), Kabupaten Ponorogo (12.511,2 ha) dan Kabupaten Magetan (1.642,6 ha). Dari ketiga kabupaten tersebut, wilayah hutan KPH Madiun terbagi ke dalam beberapa distrik yaitu Madiun, Caruban dan Kanigoro yang berada dalam wilayah Kabupaten Madiun; Ponorogo, Arjowinangum dan Sumoroto dalam wilayah Ponorogo; serta Gorang-gareng dan Magetan berada dalam wilayah Kabupaten Magetan.

Secara geografis KPH Madiun terletak diantara garis lintang selatan 70 30” - 7050” dan 40 30” - 40 50” BT dengan baris batas sebelah Utara adalah KPH Saradan, sebelah Timur adalah KPH Saradan dan Lawu Ds, sebelah selatan adalah KPH Lawu Ds, sebelah Barat KPH Lawu Ds dan Ngawi.

Luas Kawasan Hutan KPH Madiun adalah 31.221,62 ha dengan Kelas Perusahaan Jati 29.063 ha dan Kelas Perusahaan Kayu Putih 3.137,7 ha yang dibagi menjadi empat bagian hutan, termasuk didalamnya alur dan sungai. Empat bagian hutan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bagian Hutan Caruban yang terletak di Kabupaten Madiun dengan luas 11.955,72 ha

2. Bagian Hutan Pagotan di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ponorogo dengan luas 4.076 ha

3. Bagian Hutan Ponorogo Timur terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 5.193,7 ha untuk kelas perusahaan jati dan Bagian Hutan Ponorogo Timur/Sukun untuk kelas perusahaan kayu putih terletak di Kabupaten Ponorogo dengan luas 3.736,1 ha.

4. Bagian Hutan Ponorogo Barat yang terletak di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Magetan dengan luas 6.260,3 ha

Keempat bagian hutan kelas perusahaan jati tersebut terbagi lagi menjadi 11 BKPH dan 34 RPH.

(32)

Secara struktural, KPH Madiun terbagi menjadi dua SKPH, yaitu SKPH Madiun Utara dan SKPH Madiun Selatan, masing-masing dibagi menjadi beberapa BKPH dengan pembagian sebagai berikut:

1. SKPH Madiun Utara, membawahi enam BKPH:

a. BKPH Brumbun : 1.756,2 ha b. BKPH Caruban : 3.316,8 ha c. BKPH Dagangan : 2.240,4 ha d. BKPH Dungus : 3.456,9 ha e. BKPH Mojorayung : 2.833,5 ha f. BKPH Ngadirejo : 2.238,5 ha

2. SKPH Madiun Selatan, membawahi lima BKPH:

a. BPKH Bondrang : 2.925,5 ha b. BKPH Pulung : 2.207,4 ha c. BKPH Sampung : 3.613,5 ha d. BKPH Sukun : 3.701,1 ha e. BKPH Somoroto : 2.538,6 ha

4.2 Topografi, Daerah Aliran Sungai, Tanah, dan Iklim

Wilayah kawasan hutan KPH Madiun mempunyai kemiringan lereng, landai, bergelombang, sampai dengan bergunung-gunung. Sungai yang ada yaitu anak sungai madiun yang membentang dari arah selatan ke utara. Wilayah kawasan hutan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada Sub DAS Solo Hulu.

gambaran secara lebih terinci kondisi setiap bagian hutan adalah sebagai berikut : 1. Bagian Hutan Caruban

Keadaan lapangan rata-rata bergelombang sebelah tenggara curam, secara keseluruhan miring kearah barat laut (daerah Kecamatan Balerejo).

2. Bagian Hutan Pagotan

Keadaan lapangan rata, bergelombang, lapangan pada umumnya miring ke barat.

(33)

3. Bagian Hutan Ponorogo Barat

Sebelah utara Kali Galah lapangan bergelombang miring ke tenggara, sungai di areal mi ke arah tenggara mengalir ke kali Galali menuju ke Madiun, sedangkan sebelah selatan Kali Galah bergunung-gunung sampai dengan curam dengan aliran sungai ke arah timur merupakan hulu Kali Madiun.

4. Bagian Hutan Ponorogo Timur

Keadaan lapangan bergunung-gunung sampai dengan curam. dengan gunung- gunung antara lain; Gunung Rayang Kaki dan Gunung Tumpak Pring. Pada lereng sebelah utara dan barat laut miring ke utara//barat sehingga aliran sungai di daerah ini menuju ke arah barat, di bagian barat aliran sungai menuju ke arah barat, sedangkan di bagian barat laut bertemu dengan Kali Madiun.

Wilayah kawasan KPH Madiun termasuk DAS Solo Hulu dan merupakan salah satu penyangga kestabilan serta keseimbangan ekosistem pada sub DAS Solo Hulu. Sungai yang ada di Wilayah KPH Madiun yaitu sungai Catur yang melintasi Bagian Hutan Caruban dan Bagian Hutan Pagotan yang bermuara di Kali Madiun terus ke Bengawan Solo.

Sebagian besar jenis tanah di kawasan hutan KPH Madiun untuk SKPH Madiun Utara terdiri dari Mediteran Cokelat Kemerahan dan Litosol Coklat Kemerahan, sedangkan di wilayah KPH Madiun Selatan terdiri dari jenis Aluvial Kelabu Tua, Glei humus dan Mediteran Coklat Kemerahan.

Wilayah hutan KPH Madiun terletak pada suatu daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang jelas. Berdasarkan perbandingan bulan basah dan bulan kering selama empat tahun yaitu tahun 1996-1999 maka menurut klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson (1951), KPH Madiun termasuk ke dalam tipe curah hujan C dimana mempunyai nilai Q = 57% (33,3% - 60%) dengan rata-rata bulan basah adalah 7 bulan dan rata-rata bulan kering 4 bulan selama setahun.

Tipe iklim C di KPH Madiun cocok untuk tempat tumbuh jati.

Berdasarkan peta hutan RPKH KPH Madiun jangka 2001-2010, tipe ilkim C untuk sebagian wilayah Bagian Hutan Ponorogo Timur dan Pagotan dan tipe iklim D untuk Bagian Hutan Caruban, sebagian besar Pagotan, Ponorogo Barat dan sebagian Ponorogo Timur.

(34)

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi 1. Pengembangan Desa Hutan

Tingkat kemampuan suatu desa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang berkaitan dengan sosial ekonomi, dinyatakan pengembangan desanya dengan status swakarya, swadaya dan swasembada. Desa-desa dilingkungan kawasan hutan KPH Madiun pada urnumnya mempunyai kategori Desa Swasembada.

2. Kependudukan

Jumlah penduduk dalarn kecamatan yang masuk dalam wilayah kerja KPH Madiun adalah 804.789 org, terdiri dari 393.121 laki-laki dan 411.667 perempuan.

3. Mata Pencaharian

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa mata pencaharian masyarakat sekitar bervariasi yaitu petani, pedagang, buruh, pegawai negeri/ABRI, dan lain-lain, seperti yang terlihat pada tabel 2 berikut:

Tabel 2 Mata pencaharian penduduk di kecamatan sekitar hutan tahun 1998 di wilayah KPH Madiun

Mata pencaharian

Kabupaten

Jumlah (orang) Madiun

(orang)

Magetan (orang)

Ponorogo (orang)

Petani 324.041 219.333 108.463 651.463

Pedagang 47.809 93.491 5.912 1.928

Pensiunan 534 45 1.349 1.928

Buruh 37.185 81.779 85.147 204.111

Peg/TNI 58.443 63.772 8.884 131.099

Lain-lain 10.624 52.009 49.043 111.676

Jumlah 478.636 510.429 258.424 1.247.489

Sumber data : KPH Madiun

(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penaksiran Produksi Kayu

Penaksiran produksi kayu jati dilakukan pada Kelas Umur II sampai VI tegakan jati yang terdapat di Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur. Teknik inventarisasi hutan yang digunakan dalam pengambilan data keliling pohon di lapang adalah systematic random sampling, dimana unit contoh dilakukan klasifikasi berdasarkan Kelas Umur, selanjutnya dipilih secara acak (random) dari populasinya.

Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Hutan Tanaman Jati oleh Direktorat Jenderal Kehutanan (1974), maka diperoleh unit contoh sebanyak 20 petak dengan 74 petak ukur yang tersebar di Bagian Hutan Caruban dan Ponorogo Timur. Data pohon contoh yang digunakan sebanyak 983 pohon sesuai dengan Kelas Umur masing-masing. Dari 74 petak ukur, maka data diambil 71 petak ukur karena 3 petak ukur lagi berupa trubusan. Data hasil pemilihan petak contoh di KPH Madiun menurut umur perlakuannya dapat dilihat di Tabel 3.

Pada Tabel 3 terlihat bahwa ada 3 petak ukur berupa trubusan, yaitu petak 118c ada 2 petak ukur trubusan di Bagian Hutan Caruban dan petak 107a ada 1 petak ukur trubusan di Bagian Hutan Ponorogo Timur. Berdasarkan pengamatan di lapangan, di beberapa lokasi ada Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang (TJBK) yang tercatat dalam registrasi tahun 2009 merupakan petak Kelas Umur. Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang (TJBK) tersebut dikarenakan adanya pencurian kayu dan bencana alam yang banyak terjadi di KPH Madiun. Banyak pohon yang rusak karena angin.

(36)

Tabel 3 Rekapitulasi pemilihan petak contoh KPH Madiun Umur

Perlakuan Petak Luas

(ha) KU Tahun

Tanam PU Realisasi

PU Keterangan

15 118C 5,6 II 1995 4 2 2 PU Trubusan

15 108B 6,9 II 1995 2 2

20 242B 8,5 II 1990 3 3

20 60K 7,1 II 1991 2 2

25 124A 11,7 III 1986 2 2

25 60D 15,7 III 1986 4 4

30 236C 27,3 III 1980 9 9

30 90A 11,4 III 1980 3 3

35 226A 24,2 IV 1975 8 8

35 79B 3,2 IV 1976 1 1

40 230A 2,9 IV 1974 1 1

40 73B 19,8 IV 1970 5 5

45 221B 2,4 V 1964 1 1

45 94D 3 V 1968 1 1

50 160A 27,8 V 1960 7 7

50 107A 19 V 1959 5 4 1 PU Trubusan

55 126C 17,3 Vup 1956 5 5

55 114D 8,9 Vup 1955 3 3

60 239A 19,7 Vup 1951 5 5

60 71C 9,3 Vup 1951 3 3

Sumber: KPH Madiun

Hutan produktif kelas perusahaan jati yang ada di KPH Madiun didominasi oleh Kelas Umur (KU) muda. Dari luas total hutan produktif untuk jati seluas 15.502,4 ha, lebih dari setengahnya yakni 56,7% didominasi oleh KU I dengan luas 6.584,2 ha. Komposisi tegakan jati yang tidak normal ini didominasi oleh tegakan muda. Jika KU besar dipanen terus-menerus, maka lama kelamaan akan habis jika tidak dilakukan penanaman. Luas produktif kayu jati (Tectona grandis L. f.) di KPH Madiun yang dapat dilihat pada Tabel 4. Sedangkan Struktur kelas hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun tahun 2011 disajikan pada Lampiran 1.

(37)

Tabel 4 Luas produktif kayu jati di KPH Madiun No Kelas

Hutan

BH.

Caruban

BH.

Pagotan

BH.

Po. Timur

BH.

Po. Barat

KPH.

Madiun (ha) 1 KUI 2.351,5 897,5 1.212,9 2.122,3 6.584,2

2 KUII 1.489,3 424,2 601,8 623,4 3.138,7

3 KUIII 512,9 667,6 300,1 195,9 1.676,5

4 KUIV 679,6 344,7 177,5 657,8 1.859,6

5 KUV 77,3 82,6 44,0 - 203,9

6 KUVI 363,3 198,1 332,0 66,2 959,6

7 KUVII 350,3 175,9 - 89,5 615,7

8 KUVIII 95,1 45,3 27,2 - 167,6

9 KU IX - - - 2,5 2,5

10 KU X - - - - -

11 MR 168,1 34,5 82,7 8,9 294,2

Jumlah 6.087,4 2.870,4 2.778,1 3.766,5 15.502,4

Sumber: KPH Madiun

Penaksiran volume dilakukan pada KU II sampai KU VI dengan umur perlakuan adalah 15 tahun sampai 60 tahun yang mewakili seluruh kawasan hutan jati (Tectona grandis L. f.) KPH Madiun. Pada pengambilan contoh di lapangan, dilakukan pengukuran data keliling dan data jumlah pohon. Data keliling akan digunakan untuk menaksir volume rata-rata tiap pohon. Volume rata-rata tiap pohon tersebut ditaksir dari tabel volume lokal tebang habis untuk kelas perusahaan jati KPH Madiun tahun 2000.

Data jumlah pohon tiap kelas umur digunakan untuk menghitung jumlah pohon per hektar dengan cara membagi data rata-rata jumlah pohon tiap kelas umur dengan luas petak ukur. Dari hasil perkalian antara volume rata-rata tiap pohon yang diperoleh dari tabel volume lokal dengan jumlah pohon per hektar maka diperoleh volume pohon per hektar. Volume pohon per hektar ini digunakan untuk menghitung volume total tiap kelas umur dengan cara mengalikan volume pohon per hektar dengan luas produksi masing-masing kelas umur. Hasil data jumlah pohon, keliling pohon, tabel volume lokal untuk masing-masing keliling

(38)

pohon, jumlah pohon per hektar, volume pohon per hektar, volume total untuk tiap kelas umur sebagaimana tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Taksiran volume kayu jati di KPH Madiun Umur

perlakuan N K rata-rata (cm)/pohon

V rata-rata tabel

(m3)/pohon N/ha V/ha Volume Total

15 62 44,85 0,09 775 70 109.158,10

20 70 50,56 0,12 700 84 132.100,04

25 135 50,19 0,12 563 68 57.124,12

30 166 72,69 0,28 346 98 81.880,78

35 76 94,11 0,51 211 108 100.599,19

40 43 119,73 0,80 179 143 132.638,29

45 45 81,39 0,36 225 81 8.216,66

50 188 126,37 0,54 171 92 9.366,37

55 105 114,97 0,79 131 103 49.509,96

60 87 130,18 1,07 109 117 55.932,48

Berdasarkan Tabel 5, umur tegakan jati 40 tahun mempunyai volume total paling besar. Volume total yang besar tegakan jati umur 40 tahun ini dipengaruhi oleh keliling pohon yang besar dan luas areal produksi yang luas. Sedangkan volume total paling kecil pada tegakan jati umur 45 tahun karena keliling pohonnya kecil dan luas areal produksinya juga kecil. Volume total pada KU IV lebih besar dari KU V karena luas areal produksi tanaman jati pada KU IV sembilan kali lebih besar dari KU V.

5.2 Kondisi Tegakan KPH Madiun

Kondisi tegakan KPH Madiun dipengaruhi oleh jenis pohon, keliling atau diameter, dan volume. Kondisi jumlah pohon, diameter, dan volume rata-rata tegakan jati (Tectona grandis L. f.) di KPH Madiun menunjukkan kondisi tidak normal, dimana KU lebih rendah mempunyai volume per hektar lebih besar dari volume per hektar pada KU yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari volume per hektar KU IV umur 40 tahun lebih besar dari KU VI umur 60 tahun. Untuk melihat kenormalan kondisi tegakan hutan jati di KPH Madiun, maka kondisi

(39)

tegakan aktual saat ini KPH Madiun dibandingkan dengan kondisi tegakan normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing.

1. Perbandingan jumlah pohon

Perbandingan jumlah pohon per hektar antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual KPH Madiun tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur

(tahun)

Jumlah Pohon Per Hektar (pohon/hektar) Selisih Kondisi Normal Kondisi Aktual Jumlah

(pohon/hektar) Persen (%)

15 1005 775 230 22,89

20 766 700 66 8,62

25 617 563 55 8,83

30 515 346 169 32,85

35 442 211 231 52,24

40 386 179 207 53,58

45 344 225 119 34,59

50 310 171 139 44,87

55 283 131 152 53,62

60 261 109 152 58,33

Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang

Tabel 6 menunjukkan perbedaan jumlah pohon per hektar antara kondisi tegakan normal dengan kondisi hutan jati di KPH Madiun saat ini. Kondisi tegakan normal mengalami penurunan jumlah pohon seiring dengan bertambahnya umur tegakan. Sedangkan kondisi hutan di KPH Madiun saat ini menunjukan ketidakteraturan jumlah pohon per hektar sejalan dengan bertambahnya umur tegakan. Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah pohon per hektar pada kondisi aktual lebih sedikit dan tidak teratur jika dibandingkan dengan jumlah pohon per hektar pada kondisi normal. Selisih jumlah pohon per hektar antara kondisi normal dan kondisi aktual relatif besar. Persen selisih yang paling besar ditunjukkan pada tegakan umur 60 tahun sebesar 58,33%. Grafik

(40)

perbandingan jumlah pohon per hektar untuk kondisi normal dan aktual di KPH Madiun disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Jumlah pohon per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual.

Kondisi tegakan normal menggambarkan kurva J terbalik untuk jumlah pohon per hektar. Kondisi normal tersebut merupakan kondisi ideal tegakan jati dari hasil perlakuan penjarangan dan keamanan tegakan selama jangka pengusahaan hutan jati. Berbeda dengan kondisi hutan normal, kondisi hutan aktual di KPH Madiun saat ini menunjukkan ketidaknormalan, terutama pada tegakan umur 45 tahun yang jumlah pohon per hektarnya jauh lebih banyak dari tegakan umur 40 tahun. Jumlah pohon per hektar dari umur 40 tahun yang cenderung menurun, selanjutnya pada umur 45 tahun dan 50 tahun up jumlahnya lebih banyak per hektarnya.

2. Perbandingan Diameter

Perbandingan diameter antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual di KPH Madiun tertera pada Tabel 7.

0 200 400 600 800 1000 1200

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Jumlah Pohon (N/ha)

Daur (Tahun)

Kondisi Normal Kondisi Aktual

(41)

Tabel 7 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur

(tahun)

Diameter (cm) Selisih

Kondisi Normal Kondisi Aktual Jumlah (cm) Persen (%)

15 11,9 14,28 -2,38 -20,03

20 14,3 16,10 -1,80 -12,60

25 16,6 15,98 0,62 3,71

30 18,7 23,15 -4,45 -23,80

35 20,7 29,97 -9,27 -44,79

40 22,7 38,13 -15,43 -67,97

45 24,6 25,92 -1,32 -5,36

50 26,4 31,05 -4,65 -17,61

55 28,1 36,62 -8,52 -30,31

60 29,8 41,46 -11,66 -39,12

Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang

Tabel 7 menunjukan bahwa perbedaan diameter pada kondisi tegakan normal dan kondisi aktual hutan jati KPH Madiun. Dengan bertambahnya umur tegakan, maka diameter pada tegakan hutan normal semakin besar. Hal ini karena pada kondisi hutan jati di KPH Madiun saat ini ada ketidakteraturan diameter dengan bertambahnya umur tegakan. Berdasarkan diameter pohon, maka kondisi aktual di KPH Madiun adalah baik karena diameter yang besar akan menghasilkan volume yang besar. Volume yang besar akan meningkatkan pendapatan bagi Perhutani KPH Madiun.

Diameter pada kondisi aktual lebih besar dan cenderung naik jika dibandingkan dengan diameter pada kondisi normal. Diameter pada kondisi aktual yang lebih besar dari diameter pada kondisi normal dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar yang relatif sedikit. Jumlah pohon lebih sedikit dengan luasan yang sama, menyebabkan diameter semakin besar karena ruang tumbuhnya lebih besar. Grafik perbandingan diameter tegakan normal dan aktual disajikan pada Gambar 3.

(42)

Gambar 3 Diameter pada kondisi tegakan normal dan aktual.

Gambar 3 untuk kondisi normal menunjukan keteraturan diameter yang semakin besar dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Hal ini ditunjukkan oleh grafik linier ke atas. Sedangkan untuk kondisi aktual menunjukkan grafik patah-patah dan tidak teratur. Diameter pada umur 25 meningkat sampai umur 40 tahun dan tiba-tiba menurun drastis menuju umur 45 tahun. Perbedaan diameter untuk umur 40 tahun dan 45 tahun sangat besar. Jika kondisi tegakan normal, seharusnya keliling/diameter umur 45 tahun lebih besar dari umur 40 tahun.

Diameter tegakan jati umur 40 tahun lebih besar dari umur 45 tahun, umur 50 tahun, dan umur 55 tahun, bahkan hampir menyamai diameter pada umur 60 tahun.

3. Perbandingan Volume

Perbandingan volume antara tegakan jati normal berdasarkan Tabel Wolff Von Wulfing dengan tegakan jati aktual KPH Madiun tertera pada Tabel 8.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Diameter (cm)

Daur (Tahun)

Kondisi Normal Kondisi Aktual

(43)

Tabel 8 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual Umur

(tahun)

Volume Pohon Per Hektar (m3/ha) Selisih

Kondisi Normal Kondisi Aktual Jumlah (m3/ha) Persen (%)

15 98,2 69,6 28,64 29,17

20 116,6 84,2 32,43 27,81

25 132,4 68,1 64,25 48,53

30 147,3 97,7 49,62 33,69

35 161,6 108,2 53,41 33,05

40 175,4 142,7 32,75 18,67

45 188,8 80,6 108,21 57,31

50 201,5 91,9 109,63 54,41

55 213,9 103,2 110,71 51,76

60 225,9 116,6 109,33 48,40

Sumber: Tabel tegakan Wolff Von Wulfing dan hasil pengolahan data lapang

Tabel 8 menunjukkan perbedaan yang besar antara volume per hektar kondisi tegakan normal dengan kondisi hutan jati KPH Madiun saat ini. Volume per hektar kondisi normal, semakin bertambahnya umur tegakan, semakin besar pula volume pohon per hektarnya. Hal ini menunjukkan keteraturan dari kondisi volume per hektar tegakan jati yang ideal. Sementara untuk kondisi tegakan aktual di KPH Madiun saat ini relatif tidak normal. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya volume per hektar yang tidak teratur dan berfluktuasi sejalan dengan bertambahnya umur tegakan.

Pada Tabel 8, volume per hektar tegakan aktual di KPH Madiun saat ini lebih kecil dan tidak teratur atau berfluktuasi dibandingkan dengan volume per hektar pada kondisi tegakan normal. Persentase selisihnya menunjukkan nilai yang tidak teratur dan berfluktuasi dengan semakin bertambahnya umur tegakan.

Berikut ini merupakan grafik perbandingan volume per hektar untuk tegakan normal dan aktual yang disajikan pada Gambar 4.

(44)

Gambar 4 Volume per hektar pada kondisi tegakan normal dan aktual.

Gambar 4 menunjukkan garis linier ke atas dan cenderung teratur untuk tegakan normal. Volume per hektar semakin besar dengan semakin bertambahnya umur tegakan. Sedangkan untuk grafik volume per hektar pada kondisi tegakan aktual menunjukkan garis fluktuatif. Terlihat jelas volume per hektar umur 40 tahun sangat tinggi dan cenderung menurun drastis pada umur 45 tahun, selanjutnya naik lagi. Hal ini menunjukan bahwa kondisi tegakan jati di KPH Madiun relatif tidak teratur.

Salah satu faktor penyebab yang mengakibatkan terjadi peningkatan kerusakan hutan dari waktu ke waktu adalah gangguan hutan. Menurut Departemen Kehutanan (1987), berbagai gangguan terhadap kawasan hutan dan isinya berupa perambahan kawasan, pencurian kayu, penebangan liar, kebakaran hutan, perladangan liar, bencana alam serta hama dan penyakit.

Penyebab dari berubahnya kondisi hutan normal ke kondisi hutan tidak normal (kondisi saat ini) di KPH Madiun, antara lain: 1) Penjarahan/pencurian kayu, 2) kebakaran hutan dan 3) bencana alam menjadi penyebab utama dari ketidakteraturan kondisi tegakan yang ada saat ini. Permintaan/kebutuhan masyarakat terhadap kayu semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, memaksa masyarakat untuk mengambil sumber daya dari hutan untuk memenuhi

0 50 100 150 200 250

15 20 25 30 35 40 45 50 55 60

Volume (m3/ha)

Daur (Tahun)

Kondisi Normal Kondisi Aktual

(45)

kebutuhannya. Kayu jati khususnya, termasuk jenis kayu banyak diminati karena memiliki nilai jual tinggi karena tekstur unik dan keawetannya.

Gangguan terhadap hutan sering dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang umumnya taraf hidup dan pendidikannya masih rendah, sehingga masyarakat masih belum sadar akan bahaya yang dilakukannya terhadap hutan.

Macam gangguan berupa kayu (hasil hutan), penebangan liar dan penyerobotan lahan hutan (Departemen Kehutanan 1987). Pencurian kayu akan berakibat pada berkurangnya hasil tebangan yang akan mempengaruhi degradasi produktivitas suatu lahan untuk suatu unit pengelolaan, karena luasan tegakan KU akan semakin berkurang akibat pencurian tersebut dan akan menyebabkan adanya anak petak yang baru. Dengan maraknya pencurian tersebut, akan menyebabkan luas KU muda akan semakin bertambah banyak. Seperti ditunjukkan pada Tabel 4, bahwa luas produktif kayu jati didominasi oleh KU I dengan presentase 56,7% dari total luas produktif kayu jati di KPH Madiun.

Simon (2001) menyebutkan bahwa sejak dekade tahun 1960-an hutan jati di Jawa terus mengalami proses penurunan kualitas tegakan. Adanya keterlambatan penyesuaian sistem pengelolaan hutan dengan perubahan sosial yang sudah terjadi sejak awal 1950-an merupakan salah satu penyebab kemerosotan kualitas tegakan.

Pada saat krisis ekonomi dan moneter di Indonesia pertengahan tahun 1998 terjadi penjarahan besar-besaran terhadap tegakan jati Perum Perhutani termasuk KPH Madiun. Penjarahan ini terus berlangsung sampai sekitar tahun 2001.

Penjarahan ini telah mengakibatkan kerusakan tegakan jati di Perum Perhutani.

Nilai kerugian batang, yaitu: pada tahun 1999 sebanyak 3.179.973 pohon dengan kerugian sebesar Rp.55.851.084.000; tahun 2000 sebanyak 2.574.948 pohon dengan kerugian sebesar Rp.569.757.232.000; dan tahun 2001 sebanyak 2.675.161 pohon dengan kerugian sebesar Rp.613.924.367.000 (Perum Perhutani 2004).

Istichomah (2006) menyebutkan bahwa di KPH Madiun proporsi kehilangan tegakan jati semakin besar sejalan dengan makin tuanya tegakan atau makin besarnya diameter tegakan. Proporsi kehilangan tegakan jati paling besar pada umur 74 tahun sebesar 0,63 %. Hanggumantoro (2007) juga menyebutkan bahwa tingkat pencurian pada KPH Madiun tahun 2002 sangat tinggi sebanyak

(46)

13.603 pohon yang hilang karena pencurian. Hal ini disebabkan selain oleh adanya situasi politik yang kurang stabil karena adanya peralihan kekuasaan, juga disebabkan oleh penegakan hukum pada saat itu sangat lemah, sehingga akan mendorong tindakan pencurian yang sangat tinggi. Penurunan tindakan pencurian hutan mulai tahun 2004 ke tahun berikutnya, karena pada saat itu pengamanan hutan melibatkan TNI (Tentara Nasional Indonesia), sehingga penegakan hukum dicoba untuk diberdayakan dan tegkan yang tersisa sudah sulit untuk dijarah masyarakat karena yang tersisa adalah tegakan yag KU relatif besar (diameter besar) dan atau kondisinya yang sulit dijangkau oleh masyarakat.

Selain itu, kebakaran hampir sering terjadi di kawasan hutan jati KPH Madiun. Tiga faktor timbulnya kebakaran hutan menurut Departemen Kehutanan (1992) adalah kesengajaan, kelalaian, dan pengaruh manusia. Manusia sengaja membakar hutan untuk berbagai tujuan, antara lain: memperoleh lahan hutan bagi perladangan, memanfaatkan abu serasahnya untuk memupuk tanah garapan, memperoleh tunas atau rumput muda untuk memperoleh pakan ternak, dan mengalihkan perhatian terhadap keamanan hutan. Bentuk kelalaian manusia antara lain: membuang atau meninggalkan obor secara sembarang, puntung rokok, atau api unggun. Sambaran petir terhadap pohon terkadang menyebabkan kebakaran. Kebakaran hutan akan berakibat pada pengurangan produktivitas suatu lahan dari suatu unit pengelolaan. Penurunan produktifitas tersebut adalah akibat terganggunya pertumbuhan tegakan hutan dan pada akhirnya akan mempengaruhi kenormalan tegakan hutan.

Pada saat pengambilan data di lapang, ditemukan bekas areal hutan terbakar yang sengaja dibakar oleh warga untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya ada di petak 118 c. Masyarakat yang tidak bertanggung jawab terkadang sengaja membakar hutan untuk diambil kayu-kayu kecilnya dan digunakan sebagai kayu bakar. Pelaku pembakaran tidak memikirkan akibat jika hutan yang sengaja mereka bakar dapat merambat membakar hutan di sekelilingnya. Hanggumatoro (2007) menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang paling luas di KPH Madiun terjadi pada tahun 1999, hampir mencapai 1.146 ha. Hal ini disebabkan oleh musim kemarau yang berkepanjangan yang menyebabkan adanya bahan bakar yang mencukupi untuk terbakar dan adanya oknum dari masyarakat yang sengaja

Gambar

Tabel 1   Hubungan kelas hutan dan intensitas sampling inventarisasi hutan jati  Kelas Hutan  Intensitas Sampling (%)  Luas PU (ha)  Jarak antar PU
Gambar 1  Skema penentuan daur finansial.
Tabel 2  Mata  pencaharian  penduduk di  kecamatan  sekitar  hutan  tahun  1998 di  wilayah KPH Madiun  Mata  pencaharian  Kabupaten  Jumlah (orang) Madiun  (orang)  Magetan (orang)  Ponorogo (orang)  Petani  324.041  219.333  108.463  651.463  Pedagang  4
Tabel 3 Rekapitulasi pemilihan petak contoh KPH Madiun  Umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis kayu sisa yang dihasilkan dari kegiatan tebang habis 48 pohon contoh di RPH Panggung, BKPH Dagangan, KPH Madiun, yaitu tunggak, potongan pendek yang berasal dari

Hasil prediksi rata-rata luas tebangan E per tahun diperoleh dari seperlima tegakan berumur 11 – 50 tahun (kelas umur II – V) dalam satu jangka yang dikalikan dengan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel Tegakan Normal Jati Wolff von Wulfing, harga jual kayu jati, biaya pengelolaan hutan, luas dan kerapatan bidang dasar (KBD)

Studi Kompetisi Tajuk dan Riap Diameter Berbagai Famili pada Uji Keturunan Jati (Tectona grandis L.f.) (Studi Kasus di KPH Ngawi Perum Perhutani Unit II Jawa

Judul skripsi dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 adalah Kajian Kelestarian Tegakan dan Produksi Kayu Jati Jangka Panjang KPH Bojonegoro

Madiun memiliki posko pengendalian (Poskodal) kebakaran hutan yang berkantor di pusat KPH, dan Poskodal yang tersebar di setiap BKPH. Pembuatan peta rawan kebakaran

Penelitian ini menemukan bahwa kerapatan tajuk (C), diameter tajuk (D) dan jumlah pohon (N) dapat digunakan sebagai variabel penduga kualitas tempat tumbuh (bonita) jati

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel Tegakan Normal Jati Wolff von Wulfing, harga jual kayu jati, biaya pengelolaan hutan, luas dan kerapatan bidang dasar (KBD)