• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Remaja"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Istilah remaja berasal dari kata Latin adolescere yang berarti ”tumbuh”

atau ”tumbuh menjadi dewasa”. Lazimnya masa remaja dianggap secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.

Namun, penelitian tentang perubahan perilaku, sikap, dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada awal masa remaja daripada tahap akhir masa remaja. Dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja (Hurlock 1980).

Masing-masing ahli memberikan batasan usia yang berbeda-beda bagi remaja berdasarkan pertimbangan tertentu. Thornburgh (1982) diacu dalam Retnowati (2005) membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang) yang berusia 19 hingga 22 tahun juga dimasukan kedalam golongan remaja dengan pertimbangan bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.

Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007) remaja adalah individu berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

BKKBN (2009) menyatakan bahwa pada masa remaja terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis. Masa remaja dibagi menjadi beberapa fase yaitu fase remaja awal (usia 12-15 tahun), fase remaja pertengahan (usia 15-18 tahun) dan fase remaja akhir (usia 18-21 tahun). Adapun masa pubertas (usia 11 atau 12 tahun-16 tahun) merupakan fase yang singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Masa pubertas berada antara masa kanak-kanak dan masa remaja, sehingga kesulitan yang ada pada masa tersebut dapat menyebabkan remaja mengalami kesulitan dalam menghadapi fase perkembangan selanjutnya. Pada fase tersebut, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon (dalam tubuhnya) yang memberi dampak baik pada bentuk fisik (terutama organ-organ seksual) dan psikis, terutama emosi.

(2)

WHO (World Health Organization) memberikan definisi sendiri mengenai remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial-ekonomi. Remaja didefinisikan sebagai suatu masa ketika individu berkembang dari saat pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis, dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadinya peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Sarwono 2007).

Menurut Al-Migwar (2006), terdapat ciri-ciri umum yang ada pada diri remaja, sehingga dapat membedakan antara masa remaja dengan masa lainnya, yaitu : (1) masa transisi (peralihan dari anak-anak menuju dewasa), masa transisi pada remaja terlihat dari perilaku remaja yang tidak jarang membuat orangtua bingung, kesal, bahkan stres; (2) masa tidak stabilnya emosional, intensitas emosional tergantung pada perubahan emosional yang terjadi dalam diri remaja, hal ini dapat dilihat dari sikap dan sifat remaja yang mengalami naik turun ketika mengerjakan suatu pekerjaan; (3) Masa pencarian identitas, remaja menyesuaikan diri dengan kelompok agar remaja memperoleh identitas diri dan tidak merasa puas dengan kesamaan yang dimiliki dalam segala hal dengan teman-teman sebayanya; (4) Masa kritis, masa kebimbangan remaja dalam menghadapi, memecahkan, dan menghindari suatu masalah.

Menurut (Havighurst 1953 dalam Hurlock 1973), tugas–tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah sebagai berikut:

1. Mencapai interaksi yang baru dan lebih masak dengan teman sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis

2. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin

3. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif 4. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang

dewasa lainnya

5. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi 6. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja

7. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan keluarga

(3)

8. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk tercapainya kompetensi sebagai warga negara

9. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial

10. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman perilaku Sesuai dengan pembagian usia remaja menurut Monks (1999) diacu dalam Nasution (2007) maka terdapat tiga tahap proses perkembangan yang dilalui remaja dalam proses menuju kedewasaan, disertai dengan karakteristiknya, yaitu:

1. Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa heran terhadap perubahan- perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya pengendalian terhadap ego dan menyebabkan remaja sulit dimengerti oleh orang dewasa.

2. Remaja pertengahan (15-18 tahun)

Pada tahap remaja pertengahan sangat membutuhkan teman-teman. Ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini remaja dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih, peka atau peduli, berkelompok atau sendiri, optimis atau pesimis, dan sebagainya.

3. Remaja akhir (18-21 tahun)

Tahap ini adalah masa mendekati kedewasaan yang ditandai dengan pencapaian minat yang semakin mantap terhadap fungsi-fungsi intelektual dan egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain.

Stres

Santrock (2003) menyatakan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam, dan

(4)

mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping). Stres juga adalah reaksi individual seseorang terhadap ketegangan, perubahan atau konflik yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi ini bersifat subjektif, sangat tergantung pada konsep diri dan ketahanan mental, karena suatu sumber masalah bisa menjadi stresor bagi seseorang, namun mungkin bagi yang lain dipandang bukan menjadi suatu masalah. Contohnya hari pertama masuk sekolah, bagi anak dengan kemampuan sosial yang rendah merupakan sumber stres, namun bagi anak dengan kemampuan sosial yang baik bukanlah stresor yang berarti untuknya (Anonim 2005).

Model stres McCubbin dan Patterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adapatasi keluarga pada masa kritis, setiap variabel saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut:

Faktor AA: sumber stres menumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber stres utama dalam keluarga.

Faktor BB: sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk memenuhi tuntutan-tuntutan yang dihadapi seperti pendidikan, kesehatan, kepribadian, ikatan keluarga, dan dukungan sosial.

Faktor CC: penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interprestasi subjek terhadap sumber stres, baik positif dan negatif.

Faktor XX: adaptasi keluarga merupakan konsep utama dalam usaha mencapai keseimbangan setelah krisis. Terdapat tiga tingkat analisa, yaitu: individu, keluarga, dan masyarakat.

Pada masa krisis, unit keluarga (individu) akan bertahan untuk mencapai keseimbangan dan menggabungkan antara individu dengan keluarga dengan masyarakat (McCubbin dan Thompson 1987). Adaptasi keluarga dicapai melalui hubungan timbal balik, dimana tuntutan dari satu unit keluarga dipenuhi melalui kemampuan dari yang lain, untuk mencapai suatu keseimbangan secara simultan pada dua tingkat interaksi primer antara individu dengan sistem keluarga dan antara sistem keluarga dengan komunitas (Gambar 1).

A

B

C

X

(5)

Gambar 1 Model ABC-X McCubbin.

Menurut Atkinson (2000) stres merupakan keadaan seseorang ketika dihadapkan dengan peristiwa yang dirasakan mengancam kesehatan fisik dan psikologisnya. Gejala-gejala stres mencakup mental, sosial, dan fisik. Beberapa gejala stres yang biasanya berlangsung terus menerus dan lebih dari dua minggu antara lain: hilangnya minat terhadap kegiatan yang disenangi, hilangnya selera makan, mengalami perubahan berat badan, lelah, letih, atau kekurangan energi, memiliki perasaan tidak berharga dan tidak memiliki harapan, tidak mampu berkonsentrasi dan berpikir jernih, merasa ingin menangis, tidak berdaya di pagi hari dan bergerak lebih lamban, susah tidur, pusing atau sakit perut, dan mempunyai harapan atau keinginan untuk bunuh diri, lebih senang bermain sendiri, lebih suka mengurung diri di rumah, dan tidak mempunyai kreativitas atau ide (Suriati 2006).

Sumber Stres

Pada umumnya reaksi anak terhadap suatu situasi berbeda-beda. Ada anak yang mudah sekali merasa cemas oleh situasi tertentu, ada pula yang sama sekali tidak terpengaruh. Dapat dikatakan bahwa ada anak yang memiliki daya tahan terhadap stres yang lemah dan ada yang kuat. Menurunnya kondisi fisik, seringkali sakit untuk jangka waktu lama juga membuat anak tertekan dan daya tahan tubuhnya melemah, sehingga mempengaruhi pula ketahanan mentalnya. Sibling rivalry (persaingan antarsaudara), kelahiran adik juga dapat menimbulkan stres pada anak, karena hal tersebut berpengaruh pada kedudukan anak di rumah (Anonim 2005).

Menurut Curtis dan Detert (1981) dalam Turner dan Helms (1986) ada lima kategori penyebab stres yaitu: (1) Sosial budaya, seperti keributan atau kepadatan, (2) Psikologis, seperti kebingungan dan kecemasan, (3) Psikososial, seperti kematian salah satu anggota keluarga atau kehilangan orang dicintai, (4) Biokimia, seperti suhu panas, dingin, dan polusi, (5) Filosofi, seperti kehilangan tujuan dan kehilangan arah. Menurut Needlman (2004) menyatakan bahwa ada beberapa sumber stres yang dialami remaja:

1. Biological stress (stres biologis)

(6)

Perubahan fisik pada remaja terjadi sangat cepat dari umur 12-14 tahun pada remaja perempuan dan antara 13 dan 15 tahun pada remaja laki- laki. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Tubuh remaja berubah sangat cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi meraka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan bersosialisasi sehingga dapat membuat remaja kekurangan tidur. Hasil penelitian mengatakan bahwa kekurangan tidur dapat menyebabkan stres.

2. Family stress (stres keluarga)

Salah satu sumber stres pada remaja adalah hubungannya dengan orangtua karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas.

Namun, dilain pihak mereka juga ingin diperhatikan.

3. School stress (stres sekolah)

Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi atau keberhasilan dalam bidang olahraga dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal. Hal ini semua dapat menyebabkan stres.

4. Peer stress (stres teman sebaya)

Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan menderita, tertutup, dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja, agar dapat diterima oleh teman- temannya, mereka melakukan hal-hal negatif seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat terlarang. Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang dapat mengurangi stres.

Namun, bagaimanapun juga secara psikologis itu semua tidak dapat mengurangi stres, justru meningkatkan.

5. Social stress (stres sosial)

Remaja tidak mendapat tempat pergaulan orang dewasa karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli rokok secara legal dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang

(7)

bayarannya tinggi. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa mereka semua nantinya akan mewarisi masalah besar dalam kehidupan sosial, seperti perang, polusi, dan masalah ekonomi yang tidak stabil. Hal ini dapat membuat remaja menjadi stres.

Interaksi dengan Ayah

Penerapan teori struktural-fungsional pada keluarga sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang melunturnya atau berkurangnya fungsi keluarga.

Keluarga sebagai suatu sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh sistem sosial: menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga.

Keluarga inti seperti sistem sosial lainnya mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Parsons menekankan pula pentingnya diferensiasi peran dalam kesatuan peran instrumental-ekspresif.

Dalam keluarga harus ada alokasi kewajiban tugas yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem dapat tetap ada. Levy (1949) diacu dalam Megawangi (1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing- masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang perannya tidak dapat dipenuhi atau konflik akan terjadi karena tidak adanya kesepakatan siapa yang akan memerankan tugas apa. Apabila ini terjadi, maka keberadaan institusi keluarga tidak akan berkesinambungan.

Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam memahami sosialiasi anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat didalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Teorinya menjelaskan peta interaksi antar lingkungan dengan anak, sebagai hasil interaksi lingkungan mikrosistem, mesosistem, eksosistem, dan makrosistem di sekitarnya. Lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolah dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebaya.

Lingkungan eksosistem adalah lembaga atau institusi yang mempengaruhi anak, anak secara tidak langsung mempunyai peran secara aktif, misalnya tempat

(8)

kerja orangtua, lembaga dan lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas melebihi lingkungan mesosistem dan eksosistem yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum. Lingkungan kronosistem adalah perubahan dan keberlanjutan yang berlangsung sepanjang waktu dan mempengaruhi kehidupan anak, seperti masuknya anak ke sekolah formal, pubertas, pernikahan, dan lain-lain.

Interaksi Ayah dan Anak

Peran orangtua khususnya ayah berpengaruh secara berbeda terhadap anak tergantung jenis kelamin anak. Ketidakhadiran ayah secara fisik dan emosi akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak. Di Indonesia sendiri, ayah merupakan kepala keluarga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup keluarga. Ayah memiliki kekuasaan yang dianggap cukup kuat. Ayah sering diposisikan sebagai pengambil keputusan. Beberapa aspek dari peran ayah dapat mempengaruhi masa depan remaja. Ayah yang bersifat mengabaikan anak akan meninggalkan kepedihan pada anak yang dapat memanifestasi anak pada beberapa penyimpangan perilaku (Horne & Kiselica 1999).

Secara khusus dalam menjalankan peran sebagai orangtua, ayah sebagai mitra aktif bagi ibu yang merupakan pengasuh utama, memegang peranan sebagai pendorong utama akan kemandirian, prestasi dan ambisi.

Sesuai dengan karakteristik gendernya yang pokok, ayah menekankan pengembangan, tantangan, mengendalikan agresivitas, prestasi, mencari posisi yang lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, otonomi, dan mengarahkan untuk belajar mengenai kehidupan bermasyarakat. Ayah juga biasanya merupakan prototipe dari maskulinitas baik bagi anak laki-laki maupun perempuannya (Parson 1954 diacu dalam Benson 1968).

Orangtua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk membawa anak kepada kedewasaan, orangtua harus memberi teladan yang baik karena anak suka mengimitasi kepada yang lebih tua atau orangtuanya. Dengan teladan yang baik, anak tidak merasa dipaksa. Dalam memberikan sugesti kepada anak- anak tidak dengan cara otoriter, melainkan dengan sistem pergaulan sehingga dengan senang anak melaksanakannya (Hasbullah 2008).

Interaksi antara ayah dan anak memberikan warna tersendiri dalam pembentukan konsep diri anak. Hal ini dikarenakan karakter pria yang berbeda

(9)

dengan sosok wanita yang akan memberikan sumbangan unik pada anak. Tidak adanya interaksi dengan ayah secara fisik dan emosional akan berdampak kuat pada perkembangan seorang anak. Pola pengasuhan ibu yang cenderung hati- hati akan diseimbangkan oleh ayah. Umumnya ayah lebih relaks, sederhana, dan banyak memberi kebebasan kepada anak untuk bereksplorasi. Keterlibatan ayah dapat membantu anak bersifat tegar, kompetitif, menyukai tantangan, dan senang bereksplorasi. Apabila ibu memerankan sosok yang memberikan perlindungan dan keteraturan, maka ayah membantu anak bebas bereksplorasi dan menyukai tantangan. Anak yang diasuh oleh keduanya secara optimal, maka akan terbentuk rasa aman dan percaya dalam diri anak. Interaksi ayah dengan anak mampu meningkatkan kemampuan adaptasi anak. Alhasil, anak tidak mudah stres atau frustasi sehingga lebih berani mencoba hal-hal yang ada di sekelilingnya. Secara tidak langsung bisa membantu anak lebih siap menghadapi perannya di kemudian hari (BKKBN 2007).

Teori yang digunakan dalam pendekatan Ilmu Sosiologi adalah hubungan antar manusia harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan antar manusia saling mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang diungkapkan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Model interaksi dari proses komunikasi juga menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia juga terjadi dalam konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas tertentu. Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai suatu seri interaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak (dyadic), sejumlah interaksi antara sub-kelompok keluarga: dyadic, triadic, tetradic, dan sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi terhadap sistem sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 diacu dalam Puspitawati 2006).

Interaksi diadik antara ayah dan anak dibagi menjadi dimensi kehangatan dan kekasaran. Interaksi diadik merupakan interaksi dua arah antara dua individu yang mengindikasikan aspek pengaruh individu yang diakibatkan karena adanya kontak interaksi. Hasil penelitian Puspitawati (2006) menunjukkan bahwa lebih dari tiga-perempat jumlah contoh dari sekolah negeri maupun swasta

(10)

melaporkan adanya interaksi yang hangat dan mendukung dari pihak ayah maupun ibu terhadap anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam perilaku ayah maupun ibu dalam hal menanyakan, mendengarkan, menghargai pendapat, dan memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, membantu pekerjaan, tertawa bersama, bertindak sportif dan pengertian, dan menyatakan cinta kepada anaknya.

Berbicara mengenai pengasuhan, ditemukan adanya korelasi antara pengasuhan dengan kemampuan kontrol diri anak. Dengan kata lain dinyatakan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh perlakuan orangtua terhadap dirinya.

Orangtua yang menerapkan pengasuhan dengan gaya otoriter menekankan pada latihan kekuasaan daripada memberikan penjelasan, menuntut anak, dan menerapkan disiplin tinggi dan kurang pemberian kasih sayang. Orangtua otoriter juga mengedepankan kepatuhan dan pemberian hukuman, menggunakan kekuasaan untuk dipatuhi dan tidak mengutamakan ekspresi verbal, sebaliknya keputusan disiplin sebagai putusan yang tidak dapat diganggu gugat (Baumrind 1971). Orangtua yang permisif akan menyebabkan kurangnya kemampuan kontrol diri pada diri anak-anak, dan sebaliknya. Adapun pengasuhan anak dan kurangnya kontrol diri pada anak-anak dapat disebabkan oleh faktor-faktor lainnya seperti kecenderungan genetik, kemiskinan atau lingkungan sosial dan sejarah keluarga (Santrock dan Yuseen 1989). Sementara itu, orangtua dengan gaya demokratis menggabungkan dua pendekatan yaitu orangtua yang memberikan batasan aturan dan memiliki otoritas tinggi, namun sekaligus merupakan orangtua yang hangat, penuh kasih sayang, toleransi, empati, dan memberikan penjelasan dan keterangan yang sesuai dengan pola pikir anak (Hastuti 2008).

Rohner (1986) menggambarkan penerimaan orangtua dengan kehangatan, kasih, dan cinta yang diberikan orangtua pada anaknya melalui dua ekspresi: yaitu secara fisik (memeluk, mencium, membelai, dan tersenyum) dan verbal (memuji atau mengatakan hal-hal yang menyenangkan). Penolakan orangtua berarti tidak diberikan kehangatan, kasih sayang, dan cinta dari orangtua kepada anaknya dengan tiga kategori bentuk utama:

Hostility dan Agression (sikap permusuhan dan agresi)

Secara fisik dengan memukul, menendang, mendorong dan bentuk yang lainnya. Sementara itu, Secara verbal misalnya mengatakan bentuk

(11)

meremehkan, mengutuk, mengkambinghitamkan, mengatakan kata-kata yang tidak baik atau kejam.

Indifference dan Neglect (sikap tidak peduli dan melalaikan)

Menuju pada ketidakmampuan orangtua secara fisik dan psikologis dalam memenuhi kebutuhan anaknya, tidak memperhatikan kebutuhan anak serta mengabaikannya.

Unindifferentiated Rejection (penolakan terhadap anak)

Perasaan tidak dicintai, tidak diinginkan, dan penolakan orangtua yang secara subjektif dirasakan oleh anak tanpa adanya indikator yang jelas secara verbal maupun fisik seperti pada dua bentuk lainnya diatas.

Menurut Rohner (1975) anak yang mengalami penolakan akan cenderung untuk lebih tergantung daripada anak yang mengalami penerimaan.

Apabila anak mengalami penolakan, maka kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang tidak terpenuhi sehingga ia akan berupaya keras untuk mendapatkan cinta, perhatian, dan menjadi lebih tergantung. Penolakan dari orangtua tampak dalam bentuk sikap permusuhan dan agresif secara aktif atau pasif. Dalam masyarakat, anak yang mengalami penolakan akan memiliki masalah dalam mengatur sikap permusuhan dan tidak dapat mengeskpresikan agresinya.

Hasil penelitian Puspitawati (2006) menemukan bahwa kurang dari setengah jumlah contoh sekolah negeri maupun swasta mendapatkan perlakuan dan interaksi yang keras dan kasar dari orangtuanya. Hal ini tercermin dalam perilaku orangtua yang mengancam, membuat perasaan bersalah, memukul, menarik rambut, bertengkar, menangis tersedu-sedu apabila tidak puas dengan perbuatan anaknya, menyindir atau sumpah serapah, berbicara dengan kasar, dan memanggil dengan panggilan yang buruk kepada anaknya.

Komunikasi dengan Ayah

Walgito (2004) diacu dalam Tarmizi (2008) menyebutkan komunikasi di dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah, yaitu saling memberi dan saling menerima di antara anggota keluarga. Di dalam komunikasi dua arah akan terdapat umpan balik, sehingga akan tercipta komunikasi hidup dan komunikasi yang dinamis. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2004) anak yang mulai menginjak usia remaja membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian untuk menciptakan interaksi timbal balik, interaksi komunikatif, dan dialogis agar permasalahan yang dihadapi oleh remaja memperoleh bantuan, dorongan dan

(12)

dukungan dari orangtua untuk mengatasinya. Hal ini bisa dicapai dengan pemeliharaan interaksi baik antara remaja dan orangtua, kesempatan yang cukup untuk berbicara antara orangtua dan remaja.

Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat menentukan hubungan keluarga.

Sekali hubungan terbentuk, maka cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak. Hubungan yang baik dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al 1995 diacu dalam Kunarti 2004).

Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini menyebabkan semakin melemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga memudarkan fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak luar. Disatu sisi, saat ini pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi dan globalisasi (Susanto-Sunario 1995 diacu dalam Puspitawati 2006).

Masalah-masalah yang timbul di dalam keluarga, sebenarnya berakar pada kesalahpahaman pengertian dan adanya miskomunikasi. Kesalahan- kesalahan dalam komunikasi pada umumnya disebabkan dua hal: terbatasnya perbendaharaan kata atau sistem simbol dan terbatasnya daya ingat. Untuk itu, perlu diusahakan agar frekuensi komunikasi terutama di dalam keluarga dilibatkan dan dibiasakan selalu memberikan berita-berita yang benar sehingga terjalin komunikasi yang baik antar masing-masing anggota di dalam keluarga.

Dengan demikian, di dalam diri anak akan terbiasa melakukan komunikasi dengan baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial (Tarmizi 2008).

Keeratan interaksi dengan Ayah

Interaksi yang dekat penting dalam perkembangan remaja karena interaksi ini berfungsi sebagai contoh atau cetakan yang akan dibawa dari waktu ke waktu untuk mempengaruhi pembentukan interaksi baru. Interaksi dekat tidak dengan sendirinya terulang secara terus menerus selama masa perkembangan

(13)

anak dan remaja. Mutu tiap interaksi juga tergantung sampai tingkatan tertentu dengan siapa interaksi tersebut dibentuk. Jadi, sifat dasar dari interaksi orangtua dengan remaja tidak hanya bergantung pada apa yang terjadi dalam interaksi di masa remaja. Interaksi dengan orangtua selama masa kanak-kanak yang panjang dibawa terus dan mempengaruhi, paling tidak sampai tingkat tertentu, sifat interaksi orangtua dengan remaja, dan masa yang panjang dalam interaksi orangtua-anak juga mungkin mempengaruhi (Santrock 2002).

Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya kelak memiliki keinginan berprestasi tinggi dan berani bersaing. Persepsi ayah saat memandang anak perempuannya akan menumbuhkan konsep diri, merasa layak dihormati, dan memiliki kompetensi. Anak perempuan akan cenderung terhindar dari interaksi pacaran yang tidak sehat, karena bisa menghargai diri sendiri seperti halnya ayah menghargainya. Begitu pun, bila ayah dekat dengan anak lelakinya, kemungkinan anak tersebut terjebak dalam masalah kenakalan remaja sangat kecil peluangnya. Ini disebabkan anak lelaki meniru model acuannya, yaitu ayahnya sendiri yang membantu anak berkembang. Anak akan lebih mudah menyerap nilai-nilai yang diberikan sang ayah pada dirinya (Rohman 2008).

Kualitas Interaksi Ayah dan Anak

Intensitas jalinan interaksi antara orangtua dan anak dapat menunjukkan perbedaan eratnya keterikatan antara anak dengan orang dewasa yang ada dalam rumah tangga. Rasa cemas yang sering dialami anak dapat meningkatkan intensitas keterikatan, karena anak dapat memperoleh perasaan aman kedekatan dengan ibu dan pengasuhnya. Akan tetapi, interaksi antara orangtua dan anak yang terlalu dekat dapat menyebabkan anak tidak mau lepas dan anak akan menjadi sangat bergantung pada orangtuanya. Sebaliknya jika interaksi antara keduanya renggang atau orangtua bersikap acuh tak acuh terhadap anaknya menyebabkan interaksi menjadi jauh (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Adelia (2006) mengemukakan kualitas interaksi dengan ibu bukan merupakan peramal yang sama kuat mengenai keberhasilan atau kegagalan anak dibandingkan dengan kualitas interaksi anak dengan ayah. Peran aktif ayah dalam mendidik anak ternyata menimbulkan perbedaan yang sangat dahsyat bagi anak-anak dan bisa menentukan masa depan mereka. Ketersediaan waktu ayah akan terbatas karena peran utama ayah dalam keluarga sebagai pencari nafkah. Namun, kualitas interaksi dengan anak harus lebih diutamakan daripada

(14)

kuantitas interaksi. Tindakan seperti permasalahan dalam ruang lingkup pekerjaan sebaiknya tidak dibawa ke rumah.

Harapan Ayah

Harapan adalah persepsi atas kemungkinan pemenuhan kebutuhan tertentu dari seseorang berdasarkan atas pengalaman masa lampau. Persepsi seseorang akan menentukan tindakan. Pandangan atau persepsi orangtua mengenai keberadaan anak dalam kehidupannya, akan menentukan tindakan atau pola asuhnya. Harapan terhadap anak disebut nilai anak. Nilai anak bisa dilihat dari nilai ekonomi, sebagai investasi masa tua atau bahkan investasi masa kini. Dari nilai religius anak dapat dipandang sebagai amanah Yang Maha Pencipta Kehidupan sehingga harus dijaga sebaik-baiknya dan menyiapkan mental untuk suatu saat diambil Yang Maha Kuasa. Dari nilai sosial, kehadiran anak dapat dipandang bahwa anak prestise yang menyiratkan kesempurnaan pasangan, kesuburan, dan kesehatan (Sunarti 2004).

Salah satu penyebab terjadinya stres pada anak adalah rasa khawatir dari orangtua mengenai prestasi anak (Anton 2006). Orangtua yang sering menuntut akan semakin memperbesar rasa stres pada diri anak, misalnya orangtua yang ambisius dan menuntut anak agar prestasi akademiknya baik atau menjadi juara di sekolah, bekerja lebih rajin dari sewajarnya, dan mengikuti berbagai kursus yang padat (Anonim 2003). Kecemasan orangtua akan prestasi anak membuat anak diberi berbagai kursus tanpa memperhitungkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, sehingga membuat anak merasa jenuh dengan rutinitasnya dan prestasi menjadi menurun (Ruffin 2001).

Menurut Awal (2008) penyebab remaja stres biasanya terkait dengan hal- hal yang mereka harapkan seperti bermain musik, berorganisasi, atau olahraga.

Namun, orangtua terkadang tidak melihat bahwa hal-hal dilakukan adalah positif.

Remaja sendiri sangat perhatian terhadap kata-kata orang lain terhadap dirinya.

Misalnya, orangtua berharap anaknya berprestasi bagus di sekolah, tetapi kenyataannya anak akan menjadi stres apabila tidak mampu memenuhi harapan tersebut.

Tingginya harapan terhadap anak merupakan salah satu penyebab perilaku orangtua yang memperlakukan anaknya sebagai orang dewasa mini.

Ketidakpuasan atas setiap keberadaan bahkan prestasi anak, melanda dan mendominasi interaksi orangtua dengan anak. kondisi tersebut seringkali diikuti minimnya toleransi orangtua, dan akibatnya orangtua mudah memberikan sanksi

(15)

dan hukuman sehingga anak dibiarkan membesarkan dirinya sendiri dan tidak dicintai apa adanya (Sunarti 2004). Freeberg dan Payne (1967) diacu dalam Handayani (2004), mengindikasikan bahwa ayah dari anak-anak yang berada di sekolah dasar lebih menuntut kenyamanan atau kecocokan dan kepatuhan dibanding pada anak yang berada di sekolah menengah. Pada anak usia sekolah ayah lebih menekankan pada bekal persiapan mereka memasuki lingkungan masyarakat, sedangkan pada anak sekolah menengah ayah merencanakan masa depan anak dengan bekal yang sudah diberikan sebelumnya.

Prestasi Belajar

Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung.

Adapun prestasi dapat diartikan hasil diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan.

Sehubungan dengan prestasi belajar, Poerwanto (1986) diacu dalam Ridwan (2008) memberikan pengertian prestasi belajar yaitu hasil yang dicapai oleh seseorang dalam usaha belajar sebagaimana yang dinyatakan dalam rapor sementara itu, menurut Nasution (1996) diacu dalam Ridwan (2008) prestasi belajar adalah kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut. Prestasi belajar seseorang dinyatakan dalam bentuk nilai atau rapor setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar.

Prestasi belajar siswa dapat diketahui setelah diadakan evaluasi. Hasil dari evaluasi dapat memperlihatkan tentang tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.

Karakteristik Anak Jenis Kelamin

Jenis kelamin anak akan mempengaruhi harapan orangtua karena orangtua dan lingkungan sosial mempunyai pengharapan yang berbeda bagi

(16)

anak laki-laki dan perempuan. Anak perempuan sering distereotipekan kurang kompeten daripada laki-laki. Hal ini dapat memicu anak-anak perempuan ke arah kurang rasa percaya diri dibanding laki-laki dalam kemampuan intelektual sehingga mereka sering diwujudkan dalam bentuk depresi dan kebiasaan makan yang salah (Santrock 2002). Hasil penelitian Laela (2008) menunjukkan bahwa anak perempuan mempunyai jenis, jumlah, dan alokasi waktu kegiatan di luar sekolah lebih banyak dibanding anak laki-laki.

Urutan Kelahiran

Urutan kelahiran memiliki daya tarik tersendiri untuk dijadikan tolok ukur perilaku remaja dan diharapkan mereka memainkan peran tersebut dengan baik.

Anak pertama sering digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya. Tuntutan orangtua dan standar yang tinggi yang ditetapkan bagi anak sulung dapat membuat mereka meraih keberhasilan sekolah dan pekerjaan yang lebih baik dibanding saudaranya.

Namun demikian, beberapa tekanan yang sama diberikan kepada anak sulung untuk lebih berhasil dapat memberikan rasa bersalah, lebih cemas, kesulitan menghadapi situasi yang menimbulkan stres, dan lebih banyak berkonsultasi ke klinik bimbingan (Santrock 2002).

Anak bungsu biasanya dianggap sebagai ”bayi” di dalam keluarga walaupun sudah tidak bayi lagi, menghadapi resiko menjadi terlalu tergantung, anak yang di tengah cenderung lebih diplomatis, seringkali berperan sebagai penengah dalam pertengkaran (Smith 1982 dalam Santrock 2002). Selain itu, anak tunggal populer dengan konsep anak manja denga sifat-sifat buruk, seperti tergantung pada orangtua, kurang pengendalian diri, dan sifat ingin menang sendiri.

Kepribadian

Kepribadian atau "personality" merupakan sifat dan tingkah laku yang membedakannya dengan orang lain. Kepribadian seseorang dibentuk dan terbentuk oleh faktor internal dan eksternal. Menurut Port (1897) diacu dalam Tahsinul (2007), kepribadian adalah organisasi dinamis yang ada pada

(17)

seseorang di dalam suatu sistem kejiwaan yang menentukan keunikan penyesuaian dengan lingkungannya. Jung (1971) diacu dalam Tahsinul (2007) menyatakan bahwa ada dua kepribadian yaitu ekstrovert dan introvert. Ekstrovert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia objektif, orientasinya terutama tertuju ke luar. Pikiran, perasaan, serta tindakannya lebih banyak ditentukan oleh lingkungan. Sementara itu, introvert adalah kepribadian yang lebih dipengaruhi oleh dunia subjektif, orientasinya tertuju ke dalam sehingga bila tidak dapat menyelesaikan masalah, maka individu tersebut akan menekan masalahnya dan membiarkan masalah menumpuk. Hal ini akan memicu timbulnya stres.

Ekstrovert dan introvert digambarkan oleh Eysenck dan Eysenck (1975) diacu dalam Tahsinul (2007) adalah kepribadian yang khas dari ekstrovert adalah mudah bergaul, suka pesta, mempunyai banyak teman, membutuhkan teman untuk bicara, dan tidak suka membaca atau belajar sendirian, sangat membutuhkan kegembiraan, mengambil tantangan, sering menentang bahaya, berperilaku tanpa berpikir terlebih dahulu, dan biasanya suka menurutkan kata hatinya, gemar akan gurau-gurauan, selalu siap menjawab, dan biasanya suka akan perubahan, riang, tidak banyak pertimbangan (easy going), optimis, serta suka tertawa dan gembira, lebih suka untuk tetap bergerak dalam melakukan aktivitas, cenderung menjadi agresif dan cepat hilang kemarahannya, semua perasaannya tidak disimpan dibawah kontrol sehingga stres yang dihadapi akan cenderung dapat diselesaikan dengan baik, dan tidak selalu dapat dipercaya.

Sementara itu, hal yang khas dari introvert adalah pendiam, pemalu, mawas diri, gemar membaca, suka menyendiri dan menjaga jarak kecuali dengan teman yang sudah akrab, cenderung merencanakan lebih dahulu – melihat dahulu – sebelum melangkah, dan curiga, tidak suka kegembiraan, menjalani kehidupan sehari-hari dengan keseriusan, dan menyukai gaya hidup yang teratur dengan baik, menjaga perasaannya secara tertutup, jarang berperilaku agresif, tidak menghilangkan kemarahannya, dapat dipercaya, dalam beberapa hal pesimis, dan mempunyai nilai standar etika yang tinggi. Kepribadian yang dimilki setiap orang berbeda-beda, untuk itu dalam mengatasi tingkat stres yang dialami siswa juga berbeda-beda. Kepribadian yang dimiliki tersebut dapat mempengaruhi tingkat stres yang dilakukannya. Semakin cenderung kearah tipe kepribadian ekstrovert, maka kemungkinan besar semakin baik juga mengatasinya (Alvin 2007).

(18)

Tujuan Hidup dan Cita-cita

Minat remaja pada pekerjaan sangat mempengaruhi besarnya minat mereka terhadap pendidikan. Pada umumnya remaja lebih menaruh minat pada pelajaran-pelajaran yang nantinya dapat bermanfaat dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya. Remaja terutama anak sekolah menengah ke atas, mulai memikirkan masa depan dengan bersungguh-sungguh. Anak laki-laki lebih bersungguh-sungguh dalam hal pekerjaan dibandingkan anak perempuan yang memandang pekerjaan sebagai pengisi waktu luang sebelum pernikahan (Al- Mighwar 2006).

Cita-cita merupakan perwujudan dari minat, yang berkaitan dengan masa depan yang direncanakan seseorang dalam menentukan pilihannya, baik yang berkaitan dengan masalah teman hidup, pekerjaan, jenjang pendidikan, atau hal lain yang berkaitan dengan dirinya kelak. Selama masa remaja, minat dan cita- cita berkembang. Minat atau cita-cita remaja awal terhadap sekolah dan jabatan banyak dipengaruhi oleh minat orangtua dan kelompoknya. Remaja awal akan berminat pada sekolah yang menghantarkannya ke perguruan tinggi dan menuju cita-cita jabatannya jika orangtua dan kelompoknya berorientasi kesana. Ane Roe dalam Al-Mighwar (2006) menyatakan bahwa pola pendidikan orangtua mempunyai pengaruh yang besar terhadap pilihan jabatan. Pada masa remaja akhir, minat dan cita-cita pendidikan atau jabatan telah mantap sehingga faktor akhir yang mempengaruhi pemilihan cita-cita yaitu minat dan aspirasi sendiri, minat dan aspirasi orangtua, serta kesan-kesan teman sebaya.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan yang berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri.

Makin besar anggota keluarga maka jumlah interaksi antar personal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks. Keluarga besar yang terdiri dari banyak orang akan membentuk interaksi yang semakin majemuk dan kemungkinan terjadi ketegangan antara anggota keluarga menjadi lebih besar.

(19)

Kondisi ini pada akhirnya dapat memperbesar stres dalam keluarga (Guhardja et al 1992).

Umur Orangtua

Semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin besar kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan. Namun, umur saat pernikahan juga merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas pengasuhan anak. Pasangan yang menikah muda relatif lebih rentan terhadap adanya badai dan tantangan kehidupan keluarga. Hal ini berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Individu yang relatif muda umumnya belum memiliki kematangan untuk mengendalikan diri sehingga menyulitkan untuk menyesuaikan diri dengan pasangan hidupnya dan mempengaruhi dalam membesarkan anak. Ketidakstabilan ekonomi dan emosi, tekanan rasa malu, dan ketidaksiapan menjadi orangtua adalah faktor utama yang menentukan kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anaknya. Pengasuhan yang tidak berkualitas kemungkinan akan membentuk anak yang anti sosial, yaitu remaja yang stres, terlibat narkoba, minum alkohol, dan terlibat dalam perkelahian antar geng (Hastuti 2008).

Pendidikan Orangtua

Tingkat pendidikan seseorang yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang dapat menjadi faktor penentu dalam komunikasi keluarga. Oleh karena itu, meningkatnya pendidikan secara langsung ataupun tidak langsung akan menentukan baik buruknya interaksi antar anggota keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2000).

Orangtua berpendidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat, dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah.

Mereka juga sanggup memberikan rangsangan-rangsangan fisik maupun mental sejak dini, mereka juga akan melatih anak-anaknya untuk memiliki sikap sosial yang baik, dan membiasakan untuk hidup disiplin, sehingga anak-anak memiliki sikap atau nilai sosial yang tinggi (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Pendapatan Keluarga

(20)

Salah satu hal yang penting dalam kehidupan berkeluarga adalah keadaan sosial ekonomi sehingga akan berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu dalam keluarga tersebut. Ekonomi keluarga akan digunakan salah satunya untuk pemeliharaan anak dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan yang cukup menyebabkan orangtua lebih mempunyai waktu untuk membimbing anak karena orangtua tidak lagi memikirkan mengenai keadaan ekonomi yang kurang. Sebaliknya, adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan orangtua memperlakukan anaknya dengan kurang perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang mengikuti peraturan, kurangnya latihan dan penanaman nilai moral (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Fasilitas Belajar

Fasilitas belajar yang sangat diperlukan untuk menunjang prestasi belajar yang semaksimal mungkin diantaranya adalah meja, kursi, alat tulis, papan tulis, alat peraga, kelas yang memenuhi syarat, laboratorium dan perpustakaan (Hakim 2005). Beberapa faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar adalah tempat tersendiri, tenang dan memiliki penerangan yang baik. Penerangan yang tidak baik dapat menyebabkan kelelahan mata sehingga dapat mengganggu proses belajar. Selain itu, perlengkapan belajar, alat-alat yang tidak lengkap dapat membuat anak frustasi, suasana ini mempengaruhi prestasi belajar anak (Walgito 2004).

Lingkungan Sekolah Interaksi dengan Guru

Untuk mendapatkan prestasi akademik yang optimal banyak dipengaruhi komponen-komponen belajar-mengajar. Pencapaian prestasi akademik perlu di dukung oleh interaksi yang baik antara guru dengan muridnya. Guru merupakan contoh teladan bagi siswanya, sehingga sikap dan perilaku guru perlu diperhatikan. Interaksi guru dengan anak didik di dalam proses belajar mengajar merupakan faktor yang sangat menentukan. Bagaimanapun baiknya bahan pelajaran yang diberikan, sempurnanya metode yang digunakan, namun jika interaksi guru dengan anak didik merupakan interaksi yang tidak harmonis, maka dapat menciptakan suatu outcome yang tidak diinginkan (Sardiman 2004).

Perkembangan masa remaja menuntut peran guru yang lebih baik lagi, karena remaja pada umumnya suka mengeluh tentang sekolah dan larangan-

(21)

larangan, pekerjaan rumah, kursus, makan, cara pengelolaan sekolah, dan bersikap kritis terhadap sikap dan cara mengajar guru. Salah satu faktor yang sering dianggap menurunkan motivasi siswa remaja untuk belajar adalah materi pelajaran dan guru yang menyampaikan pelajaran itu. Mengenai mata pelajaran, sering dikeluhkan para siswa sebagai membosankan, terlalu sulit, tidak ada manfaatnya sehari-hari, terlalu banyak bahannya untuk waktu yang terbatas, dan sebagainya (Sarwono 2007).

Meskipun demikian sebagian remaja juga dapat menyesuaikan diri di sekolah, baik dengan masalah sekolah, akademik, dan lama kelamaan mereka menyukai sekolah. Besarnya minat pendidikan dipengaruhi oleh minat pada pekerjaan atau melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Jika tidak terdapat minat pendidikan biasanya ditandai dengan rendahnya prestasi anak, bekerja dibawah kemampuan pada pelajaran yang tidak disukainya. Faktor yang mempengaruhi minat sekolah diantaranya adalah teman sebaya, sikap orangtua, nilai-nilai gagal atau berhasil, sikap terhadap guru, keberhasilan ekstrakurikuler, dan derajat dukungan sosial diantara teman sekelasnya (Atkinson, Atkinson &

Hilgard 1983).

Interaksi dengan Teman Sebaya

Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan sosial bagi remaja mempunyai peranan penting bagi perkembangan kepribadiannya, salah satunya adalah membantu remaja untuk memahami identitas diri (jati diri) selain sebagai pemenuhan salah satu tugas perkembangannya yaitu mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan bergaul dengan teman sebaya.

Remaja yang gagal dalam mengembangkan rasa identitasnya akan kehilangan arah dan bisa berdampak pada kecenderungan melakukan perilaku menyimpang yang berarti perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma sosial yang ada (Hurlock 1980).

Pada banyak remaja, teman sebaya dipandang sebagai aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka. Beberapa remaja akan melakukan apapun, agar dapat dimasukkan sebagai anggota. Bagi mereka, dikucilkan berarti stres, frustasi, dan kesedihan. Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Perbedaan usia tetap akan terjadi walaupun pembagian kelas di sekolah tidak berdasarkan usia maupun jika para remaja dibiarkan untuk menentukan sendiri komposisi dari lingkungan sosial mereka (Hurlock 1980).

(22)

Tidak adanya panutan untuk mencari teman-teman yang baru biasanya remaja membentuk kelompok geng. Faktor-faktor yang mendorong siswa membentuk geng adalah mereka kurang percaya diri sendiri atau kepada orang lain, untuk menghadapi pergaulan keras yang ia terima di rumah atau di sekolah, menderita suatu penyakit, menghadapi banyak konflik dan masalah, dililit kesulitan ekonomi, dan dijauhkan dari pergaulan baik di rumah maupun di sekolah (Mahfuzh 2005).

Interaksi dengan Sekolah

Sekolah mempunyai peranan strategis sebagai institusi penyelenggara kegiatan pendidikan. Keberadaan sekolah menjadi institusi sosial yang menentukan pembinaan pribadi anak dan sosialiasi serta pemberdayaan suatu bangsa. Sekolah menciptakan lingkungan pembelajaran baru bagi pelajar, termasuk perpustakaan, lapangan olahraga, laboratorium sains, taman, dan tempat bermain (Syafaruddin 2002).

Menurut Hasbullah (2008), faktor lingkungan sekolah adalah faktor yang penggunaannya dirancang sesuai hasil belajar yang diharapkan. Faktor lingkungan sekolah terdiri dari kurikulum, program pendidikan, sarana dan fasilitas, serta guru atau tenaga pengajar.

a. Kurikulum

Kurikulum sekolah yang belum mantap dan sering ada perubahan-perubahan dapat mengganggu proses belajar mengajar. Kurikulum yang baik, jelas, dan mantap memungkinkan siswa dapat berkonsentrasi dalam belajar dengan baik.

b. Program Pendidikan

Program pendidikan dan pengajaran di sekolah yang telah dirinci dalam suatu kegiatan memudahkan siswa dalam merencanakan dan mempersiapkan diri untuk mengikuti program tersebut .

c. Sarana dan fasilitas

Keadaan gedung atau tempat siswa belajar, tempat duduk, penerangan, ventilasi, dan buku-buku yang kurang memadai dapat mempengaruhi keberhasilan belajar.

d. Guru atau tenaga pengajar

Kelengkapan jumlah tenaga pengajar, kualitas guru, dan cara guru mengajar (terlalu cepat, suara kurang keras, penguasaan materi kurang baik,

(23)

penguasaan kelas rendah , motivasi rendah, dan terlalu banyak jam mengajar) mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar.

Lingkungan sekolah yang kurang menyenangkan dan membosankan dapat mempengaruhi prestasi akademik, tingkat stres, dan kepribadian anak.

Anak yang kurang memperoleh perhatian memiliki kecenderungan menjadi anak yang pendiam, kurang percaya diri, dan mudah putus asa (Hurlock 1980). Hasil penelitian Puspitawati (2006) menggambarkan bahwa sekolah yang disiplin siswanya rendah, fasilitas sekolah terbatas, dan tidak memadai seperti sarana dan prasarana olahraga, interaksi dengan guru yang kurang baik, serta pengaruh teman yang tinggi terbukti memiliki kecenderungan menghasilkan pelajar yang nakal.

Referensi

Dokumen terkait

Memperhatikan tanggapan responden tentang indikator utang jangka pendek, dapat dijelaskan bahwa sebanyak 85 orang atau 26,07% dari responden yang mengatakan bahwa

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ergonomi exercise terhadap tingkat resiko nyeri musculosceletal disorder (MSDs) pada karyawan di Pabrik Pembalut

Laporan Penelitian: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.. “Yoga and Yantra: Their Interelation and Their

Ketika melihat atau menemukan suatu objek yang menarik, yang pertama dilakukan adalah membayangkan dan berimajinasi tentang objek yang akan dijadikan ke dalam

Bila populasi besar dan penelitian tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu maka peneliti dapat menggunakan sampel

Kesadaran beliau untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa pandang bulu yang didapatkanya dari ajaran sapta darmo membuatnya menjadi orang yang lebih baik dan

Salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja adalah persepsi terhadap iklim sekolah atau pondok.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat persepsi terhadap iklim

Model Enterprise digunakan untuk mendapatkan secara jelas mengenai Contents yang terdapat dalam Knowledge Management System pada Pengembangan Sumber Daya Manusia,