• Tidak ada hasil yang ditemukan

Muklis 1 Septi Puspita Sari 2. ISSN: Accepted: Type: Reseach Article. Keywords: Understanding; UMKM; Halal Certification; Food Products.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Muklis 1 Septi Puspita Sari 2. ISSN: Accepted: Type: Reseach Article. Keywords: Understanding; UMKM; Halal Certification; Food Products."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 01 No. 01 2020: 21-31 At-Ta’awun

Journal of Islamic Economics

TINGKAT PEMAHAMAN PELAKU UMKM TERHADAP SERTIFIKASI HALAL PADA PRODUK DODOL DI DESA SERDANG KULON KABUPATEN TANGERANG BANTEN

Muklis1 Septi Puspita Sari2

ISSN: Accepted: 15.09.2020

DOI: Type: Reseach Article

Abstract

Halal certification is a requirement to obtain permits for the inclusion of halal labels on products from the authorized institution, the Indonesian Ulema Council (MUI). The majority of MSME food products in Serdang Kulon Village do not use halal certification although most of the Serdang Kulon Village people are muslims. This study aims to obtain information about the level of understanding of MSME people towards halal certification in food products and find out whether there is an effort of MSME Serdang Kulon village people for halal certification in food products. Researchers used qualitative methods to determine the level of understanding of MSME people towards halal certification in dodol semi-wet food product. Researcher collected the data through observation, interviews, and documentation of MSME. The number of informants or respondents in this study was 3 main informants of MSME people and 2 supporting informants from MUI LPPOM and academicians. The results of this study indicate that the level of understanding of MSME people who do not yet have halal certification is classified as low. Meanwhile, there have been no efforts made by the MSME to certify halal on food products.

Keywords: Understanding; UMKM; Halal Certification; Food Products.

PENDAHULUAN

Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Pada kebutuhan jasmani manusia membutuhkan sandang, pangan, dan tempat tinggal. Sudah menjadi hal yang umum jika manusia memiliki cara pandangnya masing-masing ketika ingin memperoleh atau mengonsumsi makanan, mengenai hal apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang.

Halal dan haram merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi ukuran dalam menggunakan sesuatu atau barang dalam syariat Islam. Halal adalah istilah Al-Quran yang berarti diizinkan atau dibolehkan. Sedangkan haram yang berarti dilarang atau tidak dibolehkan. Islam telah memberikan arahan kepada manusia untuk mengonsumsi makanan yang halal dan juga bermanfaat untuk kesehatan.

Oleh karena itu, seorang muslim seharusnya lebih berhati-hati dalam memperhatikan kandungan yang ada di dalam makanan yang akan dikonsumsi dan harus memperhatikan kandungan jenis dan zat yang aman untuk dikonsumsi. Di Indonesia lembaga yang berwenang melaksanakan sertifikasi halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM). LPPOM MUI membantu mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memeriksa, menguji dan kemudian memberikan sertifikat halal yang artinya

*STES Islamic Village, SE., MM, Tangerang. stesmuklis@gmail.com, ORCID:

https://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

**STES Islamic Village, SE, Tangerang. puspitasepti353@gmail.com, ORCID:

https://jurnal.stesislamicvillage.ac.id/index.php/JURNAL

(2)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

produk tersebut bebas dari hal-ha yang tidak dibolehkan dalam islam untuk dikonsumsi, dengan kata lain produk tersebut boleh dipasarkan menggunakan label halal. Sertifikasi halal bagi pelaku usaha merupakan sebuah konsep yang memiliki makna tanggung jawab.

Tanggung jawab ini merujuk pada kesadaran yang tidak terlepas dari lingkungan sosial sekaligus tanggung jawab personal terhadap kepentingan orang lain.

Grafik di atas menjelasakan, bahwa 1 atau 2, 33% dari 43 jumlah produk makanan yang mempunyai sertifikasi halal pada produk makanan. Mayoritas produk makanan UMKM di Desa Serdang Kulon tidak menggunakan sertifikasi halal, karena mereka masih merasa tidak memerlukan sertifikasi halal yang bisa jadi disebabkan oleh ketidakpahaman mengenai halal dan haram, atau tidak tahu makna kehalalan suatu produk dalam produk makanan tersebut dan seolah-olah kehalalan suatu produk yang ada di dalam suatu kemasan menjadi suatu yang tidak penting untuk dipahami terlebih dahulu sebelum dikonsumsi.

Para UMKM di Desa Serdang Kulon mayoritas membuat produk makanan hanya untuk mendapatkan keuntungan tanpa memikirkan keselamatan atau keamanan konsumen.

Adanya penetapan kewajiban sertifikasi halal pada produk belum membuat para pelaku usaha sadar untuk dapat mengurus sertifikasi halal pada produk yang dibuatnya.

UMKM yang ada di Desa Serdang Kulon terkenal dengan usaha kulinernya, seperti usaha dodol. Dodol merupakan makanan semi basah yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk proses pembuatannya. Bahan yang digunakan dalam membuat dan mengolah makanan perlu diperhatikan kandungan yang ada dalam bahan tersebut.

Terkadang bahan yang digunakan halal, tetapi dalam proses pengolahannya membutuhkan bantuan dari yang haram, sehingga terjadi percampuran antara yang halal dan haram.

Terlebih bahan yang digunakan dalam pembuatan produk makanan basah pada umumnya seperti tepung terigu dan margarin. Tepung terigu memang berasal dari tumbuhan yang tidak terdapat titik kritis keharaman, namun karena sudah diproduksi secara fabriksai dan tambahkan bahan-bahan lain, maka harus dipastikan bahwa bahan tambahan tersebut hukumnya halal. Selain itu bahan lainnya adalah margarin, margarin terbuat dari lemak tumbuhan yang kemudian ditambahkan dengan bahan lainnya seperti penambah rasa dan pewarna. Bahan tambahan ini juga harus dipastikan hukumnya halal.

Walaupun sebagian besar masyarakat Desa Serdang Kulon beragama Islam, masih dijumpai produk makanan yang tidak memiliki sertifikasi halal bahkan hanya ada satu pelaku UMKM yang sudah memiliki sertifikat halal pada produk makanan yang diproduksinya. Masih banyak pelaku usaha UMKM yang belum memiliki sertfikat halal disebabkan oleh ketidakpahaman terhadap sertifikat dalam produk makanan. Sosialisasi tata cara atau prosedur yang harus dilakukan untuk mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI masih kurang maksimal. Seharusnya dari pemerintah atau

(3)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

instansi yang mempunyai kepentingan mengadakan sosialisasi kepada para pelaku usaha dapat memahami sertifikasi halal pada produk makanan. Adanya sertifikasi halal dapat membantu meningkatkan produktivitas di pasaran dan dapat memperoleh keamanan dalam menjalankan usaha. Akibat pehaman yang masih kurang menjadikan pelaku usaha cenderung tidak peduli makna sertifikasi halal dalam produk makanan, sudah seharusnya pelaku UMKM dapat memperhatikan keamanan dan kehalalan suatu produknya demi kemaslahatan konsumen.

Atas dasar latar belakang tersebut, maka penulisan sangat tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang Banten”.

TINJAUAN LITERATUR Pemahaman

Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai arti benar terhadap suatu hal (Syahril, 2013). Pemahaman dengan kata lain adalah kemampuan yang mengharapkan seseorang mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya.

Pemahaman merupakan kemampuan seseorang untuk membahas kembali yang telah disampaikan dan sesuai yang dipahami. Pemahaman mengandung makna lebih luas dari pengetahuan. Dengan pengetahuan seseorang belum tentu dapat memahami sesuatu yang telah dipelajari. Sedangkan pemahaman, seseorang tidak hanya sekedar mengetahui apa yang dipelajari, tetapi juga dapat mengerti makna dari apa yang didapatkan. Sehingga seseorang dapat menerapkannya apabila telah mendapatkan apa yang dipelajari.

Indikator dibagi menjadi tiga kategori: (Putra, 2013) 1. Tingkat Pertama atau Tingkat Terendah

Pemahaman terjemahan, mulai dari terjemahan dalam arti sebenarnya.

2. Tingkat Kedua atau Pemahaman Penafsiran

Menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan yang diketahui atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok.

3. Tingkat Ketiga atau Tingkat Tertinggi

Pemahaman ekstrapolasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan mampu melihat dibalik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus, ataupun masalahnya.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Definisi UMKM yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Pasal 1 adalah sebagai berikut: (UU No.

20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 2019)

1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perorangan atau badan usaha yang cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah

(4)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini.

Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan suatu usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Berikut kriteria UMKM yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut: UU No.

20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, 2019) Tabel 2.1

Kriteria UMKM

Kriteria Kekayaan Penghasilan

Usaha Mikro Maksimal Rp 50.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Maksimal Rp 500.000.000

Usaha Kecil > Rp. 50.000.000 s/d Rp.

500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

> Rp. 300.000.000 s/d Rp 2.500.000.000

Usaha Menengah > Rp. 500.000.000 s/d Rp.

10.00.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

> Rp. 2.500.000.000 s/d Rp. 50.000.000.000

Sumber: Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008

Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal adalah tanda atau bukti atas produk yang dibuatnya layak dikonsumsi dan tidak adanya unsur yang melanggar dalam ajaran agama Islam. Setiap pelaku usaha yang akan atau sedang menjalankan usahanya tidak akan lepas dari sertifikat halal. Dengan dikeluarkannya sertifikasi halal maka konsumen dapat memastikan produk yang halal mereka konsumsi. Secara teori para pemeluk agama Islam merupakan motivasi menentukan makanan halal dan terwakili dengan adanya sertifikasi halal (Maulidia, 2013).

Tujuan dari sertifikasi halal ialah memberikan kepastian status kehalalan suatu produk dalam ketentraman batin konsumen yang menikmatinya dan adanya pengakuan secara resmi bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal dan bahan yang digunakan bebas dari unsur yang dilarang atau diharamkan (Hasan, 2019). Tujuan tersebut merupakan salah satu cara untuk melindungi konsumen muslim yang telah sejalan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Sehingga sertifikat halal dapat memberikan nilai jual pada produknya, karena konsumen tidak ragu lagi membeli produk yang dijual oleh pelaku usaha dan mencegah konsumen muslim terhadap produk yang tidak halal.

Majelis Ulama Indonesia telah memperkenalkan Sistem Jaminan Halal (SJH) dengan nama HAS 23000. HAS merupakan susunan standar halal yang berisi aturan-aturan untuk mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM MUI. Pelaku usaha yang ingin memperoleh sertifikat halal harus memenuhi persyaratan sertifikasi halal yang ada dalam dokumen HAS 23000 (Persyaratan Sertifikasi Halal, 2019). Pelaku usaha menyiapkan dokumen sertifikasi halal untuk diajukan permohonan sertifikasi halal ke sekertariat

(5)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

LPPOM MUI dengan mengisi formulir, mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi termasuk lokasi produksi, pabrik pengemasan dan tempat makan. Setiap pelaku usaha yang mendaftar, harus mengisi informasi mengenai data-data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan yang digunakan untuk membuat produk. Pendaftaran tersebut dapat dilakukan dimasing- masing provinsi atau pendaftaran ke LPPOM MUI Pusat dilakukan melalui online di www.e-lppommui.org.

Setelah menyiapkan dan mendaftarkan produk ke LPPOM MUI, pelaku usaha harus monitoring pre audit dan pembayaran akad sertifikasi. Dokumen yang sudah didaftarkan akan diperiksa kelengkapannya dan apabila dokumen tersebut tidak lengkap atau tidak sesuai makan akan dihubungi oleh sekretariat LPPOM MUI. Pembiayaan sertifikat tergantung dari jenis industri yang dimiliki atau berdasarkan jumlah karyawan, kapasitas produk, dan omset perusahaan. Level A atau industri besar dengan jumlah karyawan diatas 20 orang dikenakan biaya sertifikat Rp 2.000.000 s/d Rp. 3.500.000. Level B atau industri kecil dengan jumlah karyawan antara 10-20 orang dikenkan biaya sertifikat Rp 1.500.000 s/d Rp. 2.000.000. Level C atau industri mikro dengan jumlah karyawan kurang dari 10 dikenakan biaya sertifikat Rp. 1.000.000 (Standar Pembiayaan Sertifikasi Halal LPPOM MUI KEPRI, 2019).

Selanjutnya dapat dilakukan audit apabila sudah lolos pre audit. Audit dilaksanakan kelokasi pelaku usaha yang meminta sertifikasi produk halal. Pemeriksaan terhadap suatu pelaku usaha yang meminta sertifikasi halal tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali.

Pemeriksaan dilakukan secara teliti terhadap bahan-bahan yang digunakan baik bahan baku maupun bahan tambahan serta pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian produk.

Kemudian bahan-bahan tersebut diperiksa di laboraturium untuk mendapatkan kepastian bahan-bahan yang digunakan bebas dari unsur yang dilarang dalam syariat Islam (Chairunnisyah, 2017). Pelaku usaha akan mendapatkan sertifikat halal apabila telah memenuhi persyaratan. Proses pemberian sertifkat halal berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, berdasarkan Pasal 33 diantaranya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, 2019). Penetapan kehalalan suatu produk dilakukan oleh MUI, penetapan kehalalan produk dilakukan dalam Sidang Fatwa MUI, Sidang Fatwa MUI mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan instansi terkait, serta Sidang Fatwa Halal memutuskan produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan produk dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Kemudian barulah pelaku usaha mendapatkan sertifikat halal dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setalah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi fatwa MUI.

Sertifikat halal dapat berlaku selama 2 tahun sejak sertifikat diterbitkan, kecuali terdapat perubahan komposisi. Pelaku usaha wajib memperpanjang sertifikat halal 3 bulan sebelum masa sertifikat halal berakhir (endaftaran Sertifiaksi Halal Online, 2019). Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal, wajib mencantumkan label atau logo halal pada kemasan produk yang mudah terlihat (Hidayat, et. al, 2015). Sebagai penanda terhadap produk yang telah dinyatakan halal, LPPOM MUI telah menetapkan logo standar terhadap produk yang telah memiliki sertifikasi halal sebagaimana yang ada dalam Surat Keputusan Presiden LPPOM MUI No. SK10/Dir/LPPOM MUI/XII/07 tentang logo MUI.

Berikut adalah gambar logo halal resmi MUI.

(6)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

Gambar 2.1 Logo Halal Resmi MUI

Sumber: MUI

Pro dan Kontra Sertifikasi Halal

Kehadiran sertifikasi halal diterima dengan tangan terbuka oleh masyarakat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri dianggap sebagai lembaga kegamaan yang sah dan dapat dipercaya dalam mewakili kepentingan umat Islam (Afroniyati, 2014). Pengawasan dilakukan oleh MUI meliputi produk makanan dan minuman, obat-obatan, dan kosmetika melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Kepemilikan sertifikasi halal merupakan syarat agar dapat pencantuman label halal sehingga dapat diketahui bahwa produsen memegang sertifikasi halal. Selain itu, logo halal harus ditunjukan kepada masyarakat luas agar diketahui halal tidaknya suatu produk.

Persoalan ketentuan produk halal sudah cukup lama ada dalam di Indonesia. Dalam PP Nomor 69 Tahun 1999 Tentang label dan Iklan Pangan Pasal 1, pangan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik dari bahan baku pangan, bahan tambahan, bahan penolong termasuk bahan pangan yang diolah melalui rekayasa genetika pangan dan pengolahannya dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Keputusan bersama Menkes dan Menag Nomor 427/Menkes/SKB/VIII/1985 dan Nomor 68/1985 Tentang Pencantuman Tulisan

“Halal” pada label makanan dalam Pasal 1 menyebut makanan yang halal adalah semua jenis makanan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram dan diolah menurut syariat Islam (Maulidia, 2015).

Ajaran halal thoyyib (halal dan baik) sangat perlu untuk diinformasikan secara efektif dan operasional kepada masyarakat. Ajaran halal dimasksud adalah hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif, akomodatif, dan tidak diskriminatif, yakni Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH) disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tepat pada tanggal 25 September 2014. Undang-Undang tersebut diharapkan mampu memberikan solusi bagi masyarakat dan dunia usaha dalam rangka perlindungan terhadap konsumen dan sekaligus menjadi payung hukum berbagai macam jenis produk halal pada produk makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologi, dan produk rekayasa genetik.

Aspek kehalalan suatu produk yang luas mencakup bahan baku yang digunakan dalam mengolah produk, proses produk dan pemasaran produk. Bahan baku dan produk menurut Undang-Undang ini mengambil pendekatan yang lebih luas, yaitu mencakup makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia biologis, dan rekayasa genetik. Proses produksi produk halal pada ketentuan keseluruhan rangkaian produksi yang meliputi peralatan, ruang produksi, penyimpanan, distribusi, dan penyajian yang halal menurut syariat Islam. Proses produksi halal mencakup proses produksi halal dengan bahan baku hewani, bahan baku nabati, dan proses kimia biologis atau rekayasa genetika. Pendapat kontra ditunjukan secara jelas berbagai stakeholder, antara lain Asosiasi Perusahaan Produk Halal Indonesia (APPHI), Asosiasi Pengusaha Pengimportir Daging (Aspidi), Pusat Informasi Produk Industri Makanan dan Minuman (PIPIMM), dan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) (Afroniyati, 2015).

(7)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

Produk Makanan

Produk makanan merupakan olahan dari proses produksi bahan baku hingga menjadi produk siap pakai dengan pengolahan yang baik dan benar yang dapat bermanfaat bagi tubuh (Olajumoke, 2017). Produk makanan yang peneliti maksud ialah produk makanan yang dapat memenuhi standar syariat Islam baik dari segi bahan baku, bahan tambahan yang digunakan, dan cara produksinya. Salah satu kaidah utama dalam hal muamalah adalah segala sesuatu itu boleh dikonsumsi sampai ada dalil yang mengharamkan (Rifa’i, 2017). Dari kadiah tersebut terlihat bahwa makanan yang halal lebih banyak daripada makanan yang haram. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah dalam Al-Quran mengenai pembahasan makanan sebanyak 48 kali, kata kerja makan sebanyak 109 kali, perintah makan sebanyak 27 kali.

ِذَّلٱ َ َّللَّٱ ْاوُقَّتٱ َو ۚاابِ يَط الََٰٗلَح ُ َّللَّٱ ُمُكَق َز َر اَّمِم ْاوُلُك َو َنوُن ِم ۡؤُم ۦِهِب مُتنَأ ٓي

Artinya: “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada- Nya.” (Q.s Al-Maidah (5) : 88)

Ayat tersebut menjelaskan, agar manusia memakan makanan yang halal dan baik (thoyyib). Kata thoyyib setelah kata halal menandakan bahwa manusia harus memakan makanan yang baik bagi tubuhnya.

Kehalalan makanan dapat dilihat dari empat aspek: (Faidah, 2017) 1. Halal dalam cara memperolehnya,

Halal dalam mendapatkan maksudnya adalah benar dalam mencari dan memperolehnya. Diperoleh dari rezeki yang halal dan dibenarkan dalam Islam atau tidak dengan cara yang haram dan tidak pula dengan cara yang batil. Unsur terpentingnya adalah bahwa sesuatu yang pada dasarnya halal secara dzatiyah (substansi barangnya) berubah status hukumnya menjadi haram jika diperoleh dengan cara yang dilarang oleh Allah seperti hasil riba, harta anak yatim yang diambil secara paksa, hasil suap, hasil dari mengkhianati, hasil judi, hasil prostitusi.

2. Halal zat atau bahan dasarnya

Makanan halal secara substansi barangnya dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Jamad (benda mati), yaitu semua jenis makanan yang berwujud benda mati adalah halal selama tidak najis, membahayakan, dan memabukkan.

b. Binatang, hukum binatang yang halal untuk dikonsumsi oleh umat Islam dapat dikategorikan dalam dua jenis. Yang pertama binatang darat, hukum binatang darat ini ada sebagian yang halal seperti unta, sapi, kerbau, domba, dan kambing. Dan yang kedua binatang laut, setiap binatang yang hidup di laut adalah halal, kecuali binatang yang mengandung racun yang berbahaya.

3. Halal dalam proses pengolahan

Bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong harus halal diproses secara higenis dan memnuhi prosedur pembuatan makanan yang baik, sarana, dan prasarana serta proses produksi harus terjamin halal secara syariat Islam.

4. Halal proses pengemasan

Makanan harus dikemas dengan bahan halal dan higenis. Proses penyimpanan harus sesuai dengan dengan standar syariat. Kriteria thoyyib meliputi; makanan berkualitas dan bermutu, tidak basi, tidak kadaluarsa, tidak rusak, tidak beracun, aman dan tidak tercemar bakteri yang berbahaya, dan tidak palsu.

(8)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian lapangan (field risearch) atau penelitian survei yang mengungkap studi kasus (case studies), untuk mencermati persoalan yang melatarbelakangi timbulnya fenomena sosial. Pendekekatan penelitian ini adalah kualitatif. Kualitatif merupakan pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan maksud memahami fenomena yang sedang terjadi (Fitrah, et.at, 2017).

Pada penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan data. Fokus penelitiannya ada pada pemahaman pelaku usaha yang masuk kategori UMKM terhadap sertifikasi halal pada produk makanan semi basah dodol di Desa Serdang Kulon. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang Banten khususnya di berbagai tempat pelaku usaha yang masuk kategori UMKM yang memproduksi makanan semi basah seperti tempat produksi Dodol Lapis H.M Musa, tempat produksi Dodol Ibu Yuli, dan tempat produksi Dodol Ibu Arsanah.

Istrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengamatan (observasi), wawancara dan dokumentasi. Data primer diperoleh dari hasil wawancara peneliti dengan pelaku usaha mkro makanan dodol H. Musa, dodol Ibu Yuli dan dodol Ibu Arsanah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku dan jurnal penelitian yang relevan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal

Semua pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon baik yang sudah memiliki sertifikasi halal maupun yang belum, memandang penting terhadap kepemilikan sertifikasi halal pada produk makanan. Dua pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon telah mengetahui atau setidaknya mendengar bahwa sertifikasi halal sampai saat ini yang berwenang adalah MUI yang secara teknis ditangani oleh LPPOM. Sedangkan satu pelaku UMKM tidak mengetahui hal tersebut.

Terkait dengan adanya keyakinan masyarakat umum bahwa makanan yang dibuat oleh orang Islam pasti halal. Keyakinan UMKM terhadap produk makanan semi basah yang mereka hasilkan memenuhi unsur halal hanya berdasarkan pengakuan sepihak saja.

Pengakuan tersebut berawal dari asumsi bahwa makanan semi basah dodol yang diproduksi oleh seorang muslim pasti halal, sementara para pelaku UMKM ini beragama Islam. Selain itu, kehalalan suatu makanan hanya didasarkan pada kriteria yang sangat sederhana yaitu ada tidaknya kandungan babi dan lainnya yang diharamkan termasuk bangkai. Dari mulai bahan baku seharusnya sudah diperhatikan. Bahan baku atau bahan tambahan yang digunakan apakah memenuhi unsur halal atau tidak. Bahan baku atau bahan tambahan ini merupakan bahan yang tidak diketahui kehalalannya secara pasti. Tentu saja hal tersebut berada di luar kendala mereka yang hanya mengandalkan prasangka baik tentang kehalalan.

Proses yang dilakukan dan fasilitas yang digunakan harus terjamin juga kehalalannya.

Peralatan yang digunakan harus dibersihkan dengan sabun cuci yang halal juga. Padahal agar suatu produk makanan disebut sebagai makanan halal maka semua produknya baik bahan baku, bahan tambahan, proses yang dilalui, dan fasilitas yang digunakan harus terjamin kehalalannya.

Makanan yang halal pun belum tentu baik (thoyyib). Bisa saja sesuatu yang bersifat halal, tetapi tidak thoyyib bagi orang yang mengonsumsi. Karena tidak semua makanan yang halal akan menjadi thoyyib bagi orang yang memakannya. Misalnya penderita diabetes, dalam kondisi sakit dengan kadar gula tinggi dalam tubuhnya namun tetap saja dia mengonsumsi gula. Hal ini tentu saja membahayakan kesehatannya, walaupun gula tersebut halal untuk dikonsumsi namun tidak thoyyib bagi orang yang menderita penyakit

(9)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

diabetes. Oleh karena itu, sertifikasi halal sangat penting baik untuk pelaku UMKM maupun masyarakat sebagai konsumen.

Upaya Sertifikasi Halal Pada Produk Makanan

Jumlah pelaku UMKM yang telah memiliki sertifikasi halal pada produk makanan semi basah hanya dodol milik H.M Musa. Sedangkan 29 jenis produk UMKM di Desa Serdang Kulon belum tersertifikasi halal. Walaupun pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon memiliki keinginan untuk menghasilkan produk makanan halal serta memiliki pengetahuian tentang sertifikasi halal. Kenyataannya mayoritas pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon belum memiliki sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang yaitu LPPOM MUI. Adapun hambatannya adalah para pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai tata cara dan proses pendaftaran sertifikasi halal dari LPPOM MUI. Selain itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku UMKM dalam proses pengajuan sertifikasi halal juga menjadi hambatan tersendiri.

Secara umum pelaku UMKM belum memperoleh sosialisasi tentang sertifikasi halal pada produk makanan. Sosialisasi sertifikasi halal yang telah dilakukan oleh Dinas Koperasi, Dinas Kesehatan, atau Dinas Perindustrian dan Perdagangan kurang memperhatikan pemberian sosialisasi sertifiaksi halal terhadap pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon.

Tabel 4.1

Matriks Hasil Penelitian

No. Aspek Hasil Penelitian

1. Tingkat Pertama atau Tingkat Terendah

Diketahui bahwa untuk tingkat pemahaman terendah yaitu meliputi pemahaman pelaku UMKM dari segi pengertian sertifikasi halal cukup paham. Tetapi dari segi penerapan logo dan manfaat sertifikasi halal, pemahama pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon meragukan karena 2 pelaku UMKM yang belum memiliki sertifikasi halal tidak paham logo yang dikeluarkan hanya resmi dari MUI yang secara teknis ditangani oleh LPPOM. Dan dari segi manfaat, 2 pelaku UMKM belum memahaminya karena produk makanan semi basah dodol milik mereka belum tersertifkasi halal oleh MUI. Sedangkan 1 pelaku UMKM yang telah memiliki sertifikasi halal sudah memahami karena sudah mendapatkan manfaatnya secara langsung.

2. Tingkat Kedua atau Pemahaman Penafsiran

Dari paparan pelaku UMKM mengenai pemahaman, penafsiran, meliputi proses pengajuan sertifikasi halal, biaya pengajuan sertifikasi halal, serta pemeriksaan audit menunjukan ketidak pahaman. Padahal prosesnya cukup mudah dan dapat dilakukan dengan mengunjungi langsung (direct) LPPOM pusat atau provinsi atau dilakukan secara online diwebstie MUI.

3. Tingkat Ketiga atau Tingkat Tertinggi

Tingkat tertinggi atau pemahaman ekstrapolasi meliputi produk yang layak mendapatkan sertifikasi halal, tanggung jawab pelaku UMKM, serta sosialisasi dan hambatan. Para pelaku UMKM tidak mengetahui makna halal yang ada dalam produk makanan. Karena anggapan masyarakat, produk yang dibuat oleh seorang muslim sudah pasti halal.

Sumber: Dari Hasil Wawancara Kemudian Diolah Oleh Peneliti

(10)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan:

1. Mengenai tingkat pemahaman oleh pelaku UMKM terhadap sertifikasi halal tergolong rendah. Karena para pelaku UMKM hanya mengetahui sertifikasi halal. Tetapi, makna kehalalan pada produk makanan sangat rendah. Mengenai tata cara pendaftaran serta biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi halal pun pelaku UMKM tidak memahaminya.

2. Belum ada upaya yang dilakukan oleh para pelaku UMKM untuk mendapat sertifikat halal pada produk makanan. Hal tersebut dikarenakan masih minimnya kegiatan sosialisasi sertifikasi halal baik yang dilakukan lembaga pemerintah, lembaga keagamaan ataupun komponen masyarakat lainnya. Sehingga produk makanan di Desa Serdang Kulon banyak yang belum memiliki sertifikasi halal.

SARAN

Setelah melakukan penelitian tingkat pemahaman pelaku UMKM terhadap sertifikasi halal pada produk semi basah dodol, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Untuk pelaku UMKM, agar dapat memahami terlebih dahulu makna dari sertifikasi halal yang kemudian diharapkan agar produk yang dipasarkan sudah memiliki sertifikasi halal guna menjamin kehalalan suatu produk khususnya produk makanan semi basah yaitu dodol.

2. Untuk LPPOM MUI, dapat memberikan pengawasan atau tindakan yang tegas untuk pelaku UMKM yang hanya mencantumkan logo halal tanpa mengikuti prosedur sertifikasi halal oleh LPPOM MUI, Dengan melakukan kegiatan sosialisasi sertifikasi halal secara luas, berkelanjutan, dan terarah kepada para pelaku UMKM di Desa Serdang Kulon khususnya pelaku UMKM pada produk makanan semi basah dodol.

Untuk pihak Desa Serdang Kulon, perlu dianggarkan dana khusus atau hibah untuk sertifikat halal pelaku usaha makanan.

DAFTAR PUSTAKA

Afroniyati, Lies. “Analisis Ekonomi Politik Sertifikasi Halal Oleh Majelis Ulama Indonesia.” JKAP (Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik) 18, no. 1 (Mei 2014).

Chairunnisyah, Sheilla. “Peran Majelis Ulama Indonesia Dalam Menerbitkan Sertifikat Halal Pada Produk Makanan Dan Kosmetika.” EduTech: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Ilmu Sosial 3, no. 2 (29 September 2017).

Choudhury, Koushiki. “Service quality and customers’ purchase intentions: an empirical study of the Indian banking sector.” International Journal of Bank Marketing 31, no.

7 (2013).

Faidah, Mutimmatul. “Sertifikasi Halal Di Indonesia Dari Civil Society Menuju Relasi Kuasa Antara Negara dan Agama.” ISLAMICA: Jurnal Studi KeIslaman 11, no. 2 (Maret 2017).

Gill, Donna, Brett Byslma, dan Robyn Ouschan. “Customer perceived value in a cellar door visit: the impact on behavioural intentions.” International Journal of Wine Business Research 19, no. 4 (2007).

Gujarati, Damodar N., dan Dawn C. Porter. Basic Econometrics. McGraw-Hill, 2009.

Hair, Joseph F., William C. Black, Barry J. Babin, dan Rolph E. Anderson. “Multivariate Data Analysis. Hair (7th, 2010).pdf.” Pearson, 2010.

Hasan, KN. Sofyan N. “Kepastian Hukum Sertifikasi Dan Labelisasi Halal Produk Pangan.” Jurnal Dinamika Hukum 14, no. 2 (Mei 2014).

Luthfiyah, Muh Fitrah &. Metodologi penelitian: penelitian kualitatif, tindakan kelas &

studi kasus. CV Jejak (Jejak Publisher), 2018.

(11)

Tingkat Pemahaman Pelaku UMKM Terhadap Sertifikasi Halal pada Produk Dodol di Desa Serdang Kulon Kabupaten Tangerang, Vol. 01 No. 01 2020: 21-31

Maulidia, Rahmah. “Urgensi Regulasi Dan Edukasi Produk Halal Bagi Konsumen.”

Justitia Islamica 10, no. 2 (Desember 2013).

Olufunbi Olajumoke, Carrie Annabi. “Halal Certification Organizations In The United Kingdom: An Exploration Of Halal Cosmetic Certification.” Journal of Islamic Marketing 8, no. 1 (Januari 2017).

“Pendaftaran Sertifiaksi Halal Online.” Diakses 16 Juli 2019. http://www.halalmui.org.

“Persyaratan Sertifikasi Halal.” Diakses 30 Januari 2019. http://lppom-muibanten.org.

Putra, Purnama. “Analisis Tingkat Pemahaman Mahasiswa Terhadap Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Syariah PSAK-Syariah.” JRAK 6, no. 1 (Februari 2015).

Rifa’i, Mochamad Novi. “Promosi Makanan Halal di Kota Taipei, Taiwan.” FALAH:

Jurnal Ekonomi Syariah 3, no. 1 (Februari 2018).

“Standar Pembiayaan Sertifikasi Halal LPPOM MUI KEPRI.” Diakses 25 Januari 2019.

http://www.halalmuikepri.com.

Syahril, Farid. “Pengaruh Tingkat Pemahaman Wajib Pajak Dan Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak PPh Orang Pribadi (Studi Empiris Pada KPP Pratama Kota Solok).” Jurnal Akuntansi 1, no. 2 (Juni 2013).

Syarifuddin Hidayat, Asep, dan Mustolih Siradj. “Sertifikasi Halal Dan Sertifikasi Non Halal Pada Produk Pangan Industri.” AHKAM 15, no. 2 (Juli 2015).

“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.” Diakses 24 Januari 2019. http://www.dpr.go.id.

“Undang-UndangNomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.”

Diakses 25 Januari 2019. http://www.dpr.go.id.

Gambar

Grafik di atas menjelasakan, bahwa 1 atau 2, 33% dari 43 jumlah produk makanan  yang  mempunyai  sertifikasi  halal  pada  produk  makanan

Referensi

Dokumen terkait

4) Memungkinkan biaya produksi yang lebih rendah. Pembuatan emulgel terdiri dari tahapan yang pendek dan sederhana sehingga memungkinkan untuk diproduksi. Tidak ada alat khusus

Proses ini merekam semua database yang masuk dan akan ditampilkan di website. Halaman website terdiri dari halaman publik web dan halaman admin. Halaman publik

Pada saat kompresor memampatkan udara atau gas, ia bekerja sebagai penguat ( meningkatkan tekanan ), dan sebaliknya kompresor juga dapat berfungsi sebagai pompa

Diriwayatkan dari Ibn Abbas, bahwa beberapa orang dari kalangan sahabat ada yang mengatakan, “Andaikan kami dapat berperang sebagaimana yang dilakukan kawan-kawan

Standar Struktur Biaya merupakan salah satu alat untuk mendukung efisiensi alokasi biaya dalam penyusunan RKA-K/L melalui penilaian kewajaran komposisi biaya

Solid Waste Management Improvement Bandung Municipal, West Java.. Palembang – Indralaya Toll Road,

153 849 Shilp Shikha Singh Political Science Gen Govind Ballabh Pant Social Science Institute, University of

Kebijakan halal adalah komitmen perusahaan untuk menghasilkan produk halal, dengan hanya menggunakan bahan yang telah disetujui oleh LPPOM MUI dan diproduksi dengan menggunakan