• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahabat Senandika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sahabat Senandika"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Sahabat Senandika

Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Yayasan Spiritia

No. 62, Januari 2008

Daftar Isi

Laporan Kegiatan

Laporan Kegiatan

11

th

Bangkok Symposium on HIV

Medicine

Oleh: Chris. W. Green

Laporan Hari I:

1. Simposium dibuka dengan presentasi oleh Dai Ellis, Direktur Drug Access Team Clinton

Foundation HIV/AIDS Initiative (CHAI), dengan judul Forecast ARV Sedunia dan Akses pada ARV yang Terjangkau. Dasarnya CHAI ingin agar ada pasaran ARV yang sehat, dengan meningkatkan permintaan agar harga dapat dipotong, tetapi tetap ada untung buat produsen. Upaya ini diharapkan akan meningkatkan permintaan, dengan akibat harga dapat dipotong lagi dan seterusnya. Program CHAI mempunyai dua sisi: Program Akses terkait persediaan (yang bekerja sama dengan produsen) dan Operasi Negara terkait permintaan (yang bekerja sama dengan Program Nasional). CHAI juga berencana meluaskan program untuk melibatkan obat malaria dan obat untuk infeksi oportunistik.

Diperkirakan akan ada beberapa perkembangan dalam 1-2 tahun ke depan. Harga efavirenz yang terus menurun akan mendorong persediaan rejimen sekali sehari menjadi lebih mungkin, dengan

harapan secepatnya tersedia rejimen satu pil sekali sehari seperti Atripla - versi generik kombinasi takaran tetap (fixed -dose combination tenofovir/ FDC/efavirenz) ini akan diluncurkan dalam beberapa bulan. 3TC tampaknya juga dapat dipakai sekali sehari, dan sama efektif dengan FTC, tetapi harga lebih murah. Harga tenofovir akan turun secara bermakna selama 2-3 tahun ke depan. Juga diharapkan pedoman akan menyetujui atazanavir/r (satu pil, tahan iklim panas) sebagai alternatif terhadap Kaletra/Aluvia, dengan harga 40-60% lebih murah.

Mengenai ARV baru, Raltegravir (integrase inhibitor) membutuhkan takaran tinggi, jadi harganya akan tetap mahal (300-600 dolar AS per tahun), dan karena itu tetap menjadi obat lini kedua. Tetapi NNRTI baru, ripivirine (TMC-278), yang efektif terhadap virus yang resistan

terhadap nevirapine/efavirenz) akan jauh lebih murah (25-60 dolar per tahun).

Sekarang 70-80% persediaan ARV di dunia dibuat oleh produsen generik. Upaya CHAI dan tekanan dari negara akan tetap menekan harga, sehingga untung produsen akan menjadi semakin tipis. Ada risiko hal ini akan mempengaruhi mutu: bila satu produsen memutuskan untuk mengutamakan harga dibanding mutu, apakah yang lain harus mengikuti? “Harus dicari

cara agar pasaran dapat menjadi lebih sehat,” ujar Ellis.

2. Penggunaan kombinasi NRTI/NNRTI lini pertama. Dr. Andrew Hill menyatakan bahwa di negara berkembang, lini pertama umumnya

Laporan Kegiatan 1

Laporan Kegiatan 1

Pengetahuan adalah kekuatan 9

Minyak ikan plus fenofibrat baik untuk

trigliserid tinggi 9

Steatosis hati adalah umum pada Odha, walau tidak mempunyai

koinfeksi HCV 9

Viral load selama kehamilan: kian

rendah kian baik 10

Pojok Info 11

Lembaran Informasi Baru 11

Tips 11

Tips untuk Odha 11

Tanya Jawab 12

Tanya Jawab 12

(2)

mengandung AZT atau (lebih sering) d4T,

sementara ARV ini jarang dipakai di Negara maju. d4T masih ARV yang termurah, dan tidak ada alternatif terjangkau, apa lagi bila pasien mengalami anemia, yang membatasi penggunaan AZT. Sebagai contoh, harga tenofovir/3TC/Kaletra adalah lima kali lipat harga d4T/3TC/nevirapine di negara berkembang, tetapi tidak sampai 50% lebih mahal di negara maju. Lagi pula, lipoatrofi (kehilangan lemak dari pipi dan pantat) menyebakan d4T hampir tidak pernah dipakai lagi di negara maju.

Dr. Hill membahas takaran untuk AZT. Sebetulnya AZT disetujui dengan takaran 250mg dua kali sehari, dan takaran ini dipakai secara baku di Thailand (mengapa tidak di Indonesia? Bingung!). Tetapi bukti mulai tersedia (termasuk dari uji coba dilakukan oleh HIVNAT) bahwa 200mg dua kali sehari sama manjur dengan 250/300mg. Dengan takaran ini, risiko anemia jauh lebih rendah dan harganya bisa lebih murah.

Sebagai unsur lain, efavirenz sebetulnya terbukti sedikit lebih manjur dengan nevirapine, dan juga ada penelitian yang menunjukkan bahwa

kemanjuran efavirenz tetap sama dengan takaran 200mg atau 400mg sekali sehari (takaran yang baku adalah 600mg). Tetap ada masalah dengan

NNRTI, karena resistansi sangat mudah timbul -satu mutasi cukup. Dari sisi itu, penggunaan PI diboost ritonavir lebih aman - agak jarang ada kegagalan terapi dengan PI diboost, dan mungkin harus dipertimbangkan PI sebagai lini pertama. Terkait dengan itu, juga ada kesempatan untuk mengurangi takaran lopinavir dan/atau ritonavir dalam Kaletra/Aluvia. Diharapkan dapat dilakukan uji coba klinis yang membuktikan takaran lebih rendah ini.

Di antara kesimpulannya, Dr. Hill berpendapat bahwa tenofovir adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan AZT atau d4T dalam rejimen lini pertama. Tetapi ada pendapat dari satu peserta bahwa d4T masih sangat cocok untuk dipakai pada awal terapi, apa lagi bila CD4 sangat rendah, karena murah dan mudah dipakai (jarang ada efek samping jangka pendek). Namun ada kesepakatan bahwa d4T harus diganti dengan AZT atau NRTI lain secepatnya setelah CD4 mulai pulih.

3. ART lini kedua di negara berkembang. Prof Jens Lundgren mulai dengan pernyataan bahwa topik ini adalah ‘evidence-free zone (bidang tanpa bukti)’. Dia juga menyatakan bahwa, setelah lini pertama dengan 2 NRTI dan 1 NNRTI, pengalihan pada

lini kedua terdiri dari 1 PI/r dan 2 NRTI lain dapat dilakukan tanpa dibutuhkan tes resistansi, dengan hasilnya pasien dapat diselamatkan, asal hal ini dilakukan secara hati-hati. Saat pengalihan, harus ditentukan dulu apakah pasien dapat patuh (apakah kegagalan lini pertama karena kurang patuh?), harus ada tujuan untuk menekankan virus secara total (viral load tidak terdeteksi), serta dipakai ARV tanpa resistansi silang, dan termasuk sedikitnya dua ARV baru, dan sebaiknya tiga.

Masalahnya adalah bagaimana kita dapat menentukan kegagalan secara dini? Jumlah CD4 dapat tetap stabil, bahkan meningkat, walau viral load terdeteksi dan resistansi sudah mulai terbentuk. Kalau hal ini dibiarkan terus, jumlah mutasi yang resistan akan meningkat, sehingga virus menjadi sangat resistan terhadap semua NRTI yang tersedia. Sebetulnya pada saat viral load pertama kali

melewati 400, kemungkinan sudah terbentuk resistansi terhadap nevirapine, 3TC dan d4T adalah 83%, 85% dan 26% berturut-turut, sementara bila ditunggu sampai terjadi dua peristiwa Stadium 3 (rata-rata lima tahun kemudian), kemungkinan hanya meningkat sedikit (90%, 90% dan 55% berturut-turut).

Dilaporkan bahwa pedoman WHO terbaru (yang saat ini dalam percetakan) akan membatalkan usulan sebelumnya untuk memakai tenofovir + ddI dalam lini kedua - rejimen ini dari awal sangat kontroversial, dan sekarang akhirnya dianggap sebagai tidak cocok oleh WHO. Pedoman baru akan menganjurkan dua alternatif untuk dasar NRTI pada lini kedua: tenofovir + 3TC (tetap, walau 3TC dipakai dalam lini pertama), atau ddI + abacavir. Penting perubahan ini dibahas dengan Depkes agar pedoman (dan rejimen yang disediakannya) disesuaikan.

4. ARV baru. Jonathan Schapiro membahas perkembangan dua PI baru, yaitu tipranavir dan darunavir, serta NNRTI baru, etravirine (TMC-125). Tampaknya kedua PI baru lebih cocok sebagai ‘deep salvage’, buat orang yang resistan terhadap banyak ARV lain, dan tidak ada manfaat besar dibandingkan dengan Kaletra atau atazanavir dalam lini kedua. Etravirine ada manfaat karena efektif terhadap virus yang resistan terhadap NNRTI lain. Namun bila ada berbagai mutasi, atau setelah penggunaan nevirapine, mungkin

(3)

5. Golongan baru. Prof David Cooper membahas dua golongan ‘baru’, yaitu fusion/entry inhibitor dan integrase inhibitor. “Jaman yang menarik, sepuluh tahun setelah HAART dimulai, dengan obat baru, dan pilihan baru yang menarik.” Dia terutama membahas maraviroc (CCR5 inhibitor) dan raltegravir (integrase inhibitor). Sekali lagi, maraviroc tampkanya lebih cocok untuk ‘deep salvage’, tetapi raltegravir mempunyai beberapa keistimewaan, karena ARV ini bisa menekankan virus pada awal lebih cepat dibandingkan ARV lain. Namun sepertinya juga, obat ini lebih cocok untuk ‘deep salvage’.

Mungkin tanggapan yang paling penting mengenai obat baru ini adalah bahwa sekarang tujuan ‘deep salvage’ dapat diubah dari hanya menahan kehidupan menjadi menekan virus sampai ke tingkat tidak terdeteksi, sama seperti tujuan terapi lini pertama.

6. Kapan mulai? Lektor Sean Emery mengangkat topik ini yang baru menjadi hangat di Indonesia. Baru ini pedoman AS dan Eropa diubah agar semua orang dengan CD4 di bawah 350

dianjurkan untuk mulai ART - sebelumnya, seperti pedoman WHO saat ini, hanya dapat

dipertimbangkan untuk mulai dengan CD4 di bawah 350. Lagi pula, pedoman AS memberi kelonggaran untuk mempertimbangkan mulai lebih dini lagi dalam keadaan tertentu, termasuk

perempuan hamil.

Mengapa ada perubahan ini? Walau masih belum ada uji coba klinis yang secara eksplisit mendukung ini, satu hasil dari analisis satu subkelompok uji coba SMART terhadap orang yang belum mulai ART menunjukkan bahwa mereka yang menunda ART sampai CD4-nya 250 mengalami lebih banyak dampak buruk dibandingkan mereka yang langsung mulai.

Emery menyimpulkan bahwa manfaat dari ART lebih dini adalah: mengurangi risiko AIDS/penyakit parah non-AIDS; dan mengurangi penularan HIV. Sementara manfaat menunda ART adalah:

mencadangkan obat untuk penggunaan saat benar-benar dibutuhkan; dan mengurangi biaya. Dia menganggap bahwa dengan obat yang ada sekarang, dan dengan obat baru yang dalam perkembangan, manfaat mulai lebih dini lebih besar daripada

menunda, dan dia berharap pedoman WHO akan diubah menjadi lebih serupa dengan pedoman AS.

Tetapi dia mengaku bahwa perubahan ini kemungkinan tidak akan terjadi kecuali ada data klinis untuk mendukungnya; dibutuhkan lebih banyak penelitian, terutama di negara berkembang yang menyediakan dasar bukti. Dan sekali lagi, perubahan yang dibahas tidak sangat besar: CD4 350 tetap batas; hanya diusulkan untuk mulai di bawah 350, dibandingkan dipertimbangkan untuk mulai di pedoman saat ini.

7. Tenofovir. Ada sesi sambil makan siang, yang didukung oleh Gilead, untuk membahas

penggunaan tenfovir, dengan presentasi oleh Prof Andrew Carr dan Lektor Somnuek

Sungkanuprarph. Sebagian dari presentasi ini diarahkan untuk menyamankan peserta mengenai efek samping tenofovir, yaitu nefrotoksisistas dan masalah tulang. Mengenai masalah ginjal, dianjurkan diukur GFR pada awal dan bila tinggi,

mempertimbangkan

pilihan lain, terus mengukur lagi setiap tiga bulan, dengan pemantauan lebih ketat pada pasien dengan faktor risiko lain. Mengenai masalah tulang, walau satu uji coba menujukkan penurunan pada kepadatan tulang, tidak ada kasus patah tulang akibat tenfovir.

Satu manfaat tenofovir adalah obat ini tidak menimbulkan lipoatrofi, dan menjadi satu pilihan untuk mengganti d4T atau AZT pada orang yang mengalami efek samping ini. Namun walau ada peningkatan dalam lemak pada pasien ex-d4T dengan lipoatrofi, hasilnya tidak begitu memuaskan. Seperti dibilang, “lebih baik menghindari d4T pada awal.”

8. Studi kasus. Sesi setelah makan siang

mempresentasi beberapa studi kasus. Pada setiap langkah, peserta diminta memilih satu dari

beberapa jawaban pilihan pada pertanyaan, dengan memakai alat ‘voting’ elektronik. Kasus termasuk koinfeksi TB, pengalihan ARV setelah terapi gagal (dengan membahas berbagai mutasi yang muncul), penanganan lipoatrofi, masalah kulit, dan beberapa topik lain. Sesi menarik, tetapi walau jawabannya anonim dengan alat voting, tetap sulit mendorong mayoritas peserta untuk menyampaikan

(4)

Laporan Hari II:

1. Peran pemantauan laboratorium dalam menahan program pengobatan HIV. Sesi pertama hari ini disampaikan oleh Rober Oerlichs dari World Bank. Fokus utama ada pada tes CD4 dan viral load yang lebih murah/terjangkau. Tes CD4 “bukan hanya efektif-biaya, tetapi esensial” agar terapi lini pertama dapat ditahan untuk jangka panjang, yang akan menghemat pendanaan untuk rejimen lini kedua yang akan tetap lebih mahal. Diperkirakan pada sekitar 2012, biaya untuk terapi lini kedua akan menjadi tiga perempat biaya total untuk ART di dunia.

Dia menggambarkan beberapa alternatif yang lebih murah dan lebih praktis untuk mengukur CD4 dan viral load. Satu alat tes CD4 dapat diangkat naik mobil dan memberi hasil dalam delapan menit. Untuk tes viral load ada kit yang mengandung semua yang dibutuhkan untuk 30 tes, dan menghindari kontaminasi, yang adalah

tantangan besar dalam ukuran viral load. Namun tetap ada tantangan dengan mengendalikan mutu; dengan alat disebarkan semakin luas, bagaimana kita dapat menjamin mutu. Selain itu ada masalah dengan penyediaan sumber daya manusia yang terlatih dan ditahan, dalam keadaan (seperti Indonesia) dengan

kekurangan petugas layanan kesehatan, termasuk dalam manajemen laboratorium. Juga dibutuhkan sistem untuk mengirim sampel ke lab dan

mengembalikan hasilnya pada dokter dan pasien.

Kesimpulannya: laboratorium memain peranan yang penting dalam peluasan dan pertahanan pengobatan; kekurangan kapasitas laboratorium mencerminkan masalah dalam sistem kesehatan secara kesuluruhan; pilihan teknologi tes adalah luas dan harus dituntun oleh pertimbangan program yang luas; dan manajemen mutu harus dipadukan tetapi menjadi kian sulit dengan desentralisasi.

2. XDR-TB. Sesi ini, yang sangat mengerikan, disampaikan oleh Dr. Anton Pozniak. TB yang resistan terhadap obat adalah masalah yang dibuat oleh manusia. TB yang resistan terhadap isoniazid dan rifampisin (didefinisi sebagai MDR-TB) pertama diketahui pada 1990; sekarang

diperkirakan 424.000 kasus di seluruh dunia, dan 116.000 kematian setiap tahun. MDR-TB lebih gawat untuk Odha, sulit dan mahal diobati, dan sering pilihan obat harus dikhususkan pada kasus. Sementara XDR-TB (MDR-TB yang juga resistan

terhadap satu fluorokwinolon dan sedikitnya satu dari tiga obat suntik lini kedua. XDR-TB muncul pertama di Afrika Selatan

(KwaZulu Natal/KZN) pada 2006. XDR-TB disebarkan dalam sarana medis, sering menularkan Odha, sering kali yang juga petugas kesehatan (terutama perawat) dan penderita umumnya tidak pernah mengalami TB “biasa”. Dasarnya XDR-TB tidak dapat diobati dan kebanyakan penderita meninggal dalam hitungan hari.

Ada kesan bahwa kebijakan DOTS memain peranan dalam evolusi XDR-TB, karena strategi untuk mengobati semua pasien didiagnosis TB dengan rejimen yang sama tanpa menentukan apakah TB-nya rentan terhadap obat (melakukan ‘drug susceptability testing’) menjamin TB yang resistan akan menjadi semakin resistan dan ganas. Namun DOTS tetap adalah strategi yang paling baik untuk menghadapi epidemi TB. Ada beberapa faktor yang bertanggung jawab, termasuk program pengendalian TB yang kurang memadai;

ketidakpatuhan terhadap terapi; pengendalian infeksi yang tidak efektif; koinfeksi HIV; dokter yang tidak curiga ada HIV dan atau TB; dan komunikasi yang buruk antara lab dan dokter -hasil tes biakan bakteri sering tidak disampaikan ke dokter karena pasien sudah meninggal.

Bila ada kejangkitan XDR-TB dalam suatu rumah sakit, hal ini menjadi malapetaka. Upaya untuk mengendalikannya sangat mahal, mempengahui reputasi dan membutuhkan banyak waktu.

Kesimpulan: Kita harus lebih memperhatikan perkembangan MDR-TB dan XDR- TB. Masalah ini hanya dapat dikendalikan dengan drug

susceptibility test.

3. Koinfeksi HIV/HCV. Lektor Greg Dore menanyakan apakah masalah ini adalah prioritas kesehatan masyarakat. Saat ini, koinfeksi HIV dengan virus hepatitis C belum dianggap penting, serta dianggap terlalu mahal dan rumit untuk dihadapi. Namun dengan Odha bertahan hidup semakin lama, semakin banyak mulai meninggal dengan penyakit hati stadium akhir (ESLD). Namun beban HCV semakin berat dengan jumlah CD4 semakin rendah. Jadi tindakan pertama sering kali adalah untuk memulihkan sistem kekebalan tubuh dengan ART.

(5)

kematian akibat AIDS menurun tajam. Sebetulnya juga ada penurunan yang cukup tajam dalam kematian akibat ESLD sejak ada ART. Lagi pula, tidak ada tanda bahwa toksisitas hati akibat ARV meningkatkan kematian.

Terapi HCV dapat efektif, bahkan dengan

koinfeksi HIV. Namun hasilnya jauh dari sempurna, apa lagi dengan genotipe 1/4 dan bila viral load HCV tinggi. HIV lebih lanjut dapat meningkatkan viral load HCV. Sebelum diobati HCV, dianjurkan: melakukan biopsi hati bila ALT tinggi; mengukur viral load dan genotipe; sebaiknya memulihkan fungsi kekebalan (dengan ART) bila CD4 di bawah 350 (dan jangan mulai dengan CD4 di bawah 100); dan menunda terapi bila ALT tetap normal, atau biopsy menunjukkan penyakit hati awal.

Sangat dibutuhkan advokasi agar harga tes dan terapi menurun serupa dengan yang sudah terjadi pada ART dalam tahun-tahun terakhir. Ada pertanyaan apakah interferon biasa (non-pegilasi) yang jauh lebih murah adalah alternatif yang lebih terjangkau untuk negara berkembang.

Diperkirakan mungkin bisa dicoba untuk genotipe 1, tetapi mungkin dibutuhkan uji coba untuk memberi dasar bukti.

4. HIV dan kehamilan. Dr Lynne Mofenson membahas masalah pencegahan penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT). Di antara yang menarik (untuk saya) adalah usulan untuk mengulangi tes HIV pada triwulan ke-3, bila baru dilakukan pada awal kehamilan - bila tidak diulang, serokonversi dalam kehamilan tidak akan ditemukan.

Kebanyakan penularan pada janin (25-35% penularan) terjadi pada akhir kehamilan, setelah minggu ke-28. Jadi AZT (atau ART bila ibu memenuhi kriteria) sebaiknya dimulai paling lambat pada minggu ke-28. Bila setalah saat ini, jelas penularan yang sudah terjadi tidak dapat dihindari.

Yang juga menarik adalah bahwa ARV yang dipakai oleh ibu sebelum melahirkan berperan bukan hanya untuk mencegah penularan dalam kandungan, tetapi juga sebagai profilaksis prapajanan untuk mencegah penularan saat lahir. Lagi pula, profilaksis pada ibu saat melahirkan tanpa profilaksis pascapajanan pada bayi sama sekali tidak efektif.

Penggunaan ART pada ibu dapat terpengaruh oleh kontraindikasi untuk memberikan nevirapine pada perempuan dengan CD4 di atas 250. Namun

penelitian di Thailand menunujukkan bahwa ambang sebetulnya adalah 350, jadi kemungkinan ART dengan nevirapine dapat diberikan pada semua perempuan yang memenuhi kriteria.

Akhirnya dibahas bahwa bedah sesar hanya diindikasi bila viral load ibu lebih dari 1000 pada saat melahirkan. Jadi mungkin adalah efektif-biaya untuk melakukan tes viral load pada minggu ke-28 (sesuai pedoaman AS), sedikitnya pada ibu yang memakai ARV, dan hanya menganjurkan seksio bila hasilnya di atas angka ini.

5. Penatalaksanaan infeksi HIV pediatrik. Dr. Thanyawee membahas penggunaan ART pada bayi/anak serta imunisasi untuk bayi dilahirkan oleh ibu HIV-positif. Kapan mulai ART menjadi masa yang lebih hangat daripada untuk orang dewasa, sebagai hasil dari uji coba CHER di Afrika Selatan, yang dibatasi oleh Data Safety Monitoring Board (DSMB) karena kelompok terapi tertunda jelas mendapatkan hasil yang lebih buruk

dibandingkan kelompok bayi yang langsung (otomatis) mulai ART. Kelompok ART tertunda baru mulai ART bila CD4% munurun di bawah 20% atau terjadi peristiwa klinis. Kematian di kelompok ini ternyata 16% dibandingkan 4% pada kelompok yang langsung mulai ART.

Ada beberapa masalah yang harus

dipertimbangkan berdasarkan uji coba CHER: bagaimana bayi dapat didiagnosis lebih dini (tes viral load pada usia enam minggu); terapi untuk berapa lama (berhenti pada usai 1 atau 2 tahun, atau diteruskan?); dan apakah rejimen yang paling cocok untuk

bayi yang terpajan nevirapine dalam upaya

PMTCT. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa hanya 23% bayi yang terpajan pada nevirapine itu mencapai viral load pada 12 bulan, dibandingkan 91% bayi yang tidak terpajan - sangat berbeda dengan keadaan pada ibu yang terpajan nevirapine dalam PMTCT. Namun hal ini tidak hanya masalah ART; dukungan gizi pada anak juga dibutuhkan.

(6)

83% kohort di Thailand mencapai viral load tidak terdeteksi pada 192 minggu dibandingkan 61% dengan nevirapine.

Rejimen lini kedua untuk anak lebih rumit. Obat yang disetujui untuk anak terbatas, dan hanya ada sedikit data mengenai kemanjuran PI pada anak yang gagal dengan rejimen mengandung NNRTI. Namun ada satu uji coba sedang dilakukan di Thailand yang memakai PI, 72% Kaletra, 28% indinavir/r. Lebih dari 78% peserta mencapai viral load di bawah 50 pada minggu ke-48.

Terkait imunisasi, WHO sekarang menganjurkan “BCG sebaiknya tidak dipakai pada anak diketahui terinfeksi HIV”, dan mendesak dilakukan

pemantauan lebih ketat terhadap damapk buruk dari BCG. Namun untuk kebanyakan anak yang terpajan HIV (terlahir oleh ibu HIV-positif), infeksi HIV baru dapat ditentukan setelah BCG diberikan. Jadi secara praktis, tidak ada perbedaan, tetapi pemantauan lebih ketat memang masuk akal.

WHO juga mengajurkan vaksin konjugat pneumokokal harus menjadi prioritas pada anak dengan U5MR di atas 50 per 1000 lahir hidup. Lagi pula, mungkin dibutuhkan revaksinasi untuk

vaksinasi lain.

6. Meningkatkan akses pada ART di India. Dr. N. Kumarasamy dari YRG membahas sejarah akses pada ART di India. Walau ada berbagai produsen ARV di India, ART hanya tersedia luas dalam negeri dengan harga gratis pada April 2004, melalui 137 pusat ART pemerintah. Saat ini 118.000 Odha mendapatkan ART melalui 137 pusat ini - YRG sendiri melayani 5000 pada satu klinik. Tidak ada kesempatan untuk menanyakan bagaimana India (yang memang negara besar sekali) dapat begitu berhasil meningkatkan akses dengan hanya 137 pusat, sementara kita hanya melayani 5000 orang melalui 237 pusat.

Walau banyak Odha di India mengaku ada masalah stigma dalam keluarga, 90% menetapkan anggota keluarga sebagai pendukung pengobatan,

Pendukung keluarga ini wajib mengikuti Odha untuk mendapatkan konseling intensif sebelum ART dimulai.

7. Protease inhibitor baru. Ada sesi sambil makan siang oleh Janssen- Cilag yang membahas PI baru, terutama darunavir. Darunavir sudah dibahas kemarin, dan tidak ada banyak yang baru yang ada kaitan dengan kita di Indonesia: obat ini masih

mahal, dan paling tersedia untuk kita 2-3 tahun lagi. Yang jelas, PI ini tidak lebih unggal dalam

kemanjuran dengan efavirenz. Bedanya, bila terapi dengan efavirenz gagal, resistansi terhadap berbagai macam obat dapat muncul; bila terapi

dengan PI diboost ritonavir gagal, resistansi terhadap PI lain agak jarang muncul.

Laporan Hari III

1. Epidemiologi HIV di wilayah Asia-Pasifik. Sesi ini, disampaikan oleh Frits Van Griensven, terutuma membahas masalah HIV di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) termasuk pekerja seks laki-laki (PSL), di Bangkok. Walau prevalensi HIV di antara kelompok lain (pengguna narkoba suntikan, pekerja seks perempuan) mulai menurun, prevalensi di kelompok ini terus

meningkat, dari 17% pada 2003 menjadi 30% pada 2007. Pada LSL berusia di atas 29 tahun, prevalensi menjadi hampir 40%, sebagian kemungkinan karena mereka lebih menjangkau terapi sehingga tahan hidup lebih lama. Tetapi prevalensi di antara LSL berusia 22 tahun ke bawah juga meningkat, dari 13% pada 2003 menjadi 22% tahun lalu. Dan pada PSL di jalan, prevalensi menjadi 36% tahun lalu.

Apakah intervensi yang cocok untuk kelompok ini? Komunikasi perubahan perilaku (BCC) sendiri jelas tidak cukup. Jadi dibentuk satu penelitian untuk menjangkau kelompok ini, pertama untuk memperoleh data yang dapat dipakai untuk membentuk intervensi. Ternyata penelitian ini, yang berdasarkan satu klinik di tengah kota Bangkok, yang baru mulai tahun lalu, juga memberi dampak besar, karena untuk pertama kali, kelompok ini terjangkau dan dirasakan dihargai. Namun belum jelas apakah ada intervensi yang akan lebih berhasil; mungkin profilaksis prapajanan (lihat laporan sesi terakhir di bawah)?

2. Sindrom pemulihan kekebalan. Prof Martin French sekali lagi menyampaikan sesi ini - kami untung karena beliau adalah yang pertama

menelitikan sindrom ini, yang biasa disebut sebagai IRIS atau IRD, terhadap penerima monoterapi AZT pada 1990. Sejak itu, banyak menjadi lebih jelas, tetapi sepertinya topik menjadi semakin rumit!

(7)

akibat patogen yang sudah mati atau sisa antigen dari infeksi sebelumnya. Unmasking sering melibatkan mikobakteria (biasanya TB, tetapi juga bisa MAC, BCG, dan kusta), kriptokokus

(meningitis), dan berbagai virus termasuk CMV, HSV, PML, KS, dan HBV/HCV. Dengan virus hepatitis, IRIS sering mengakibatkan ‘flare’ (peningkatan tiba-tiba pada ALT, yang mungkin sering salah dianggap sebagai efek samping ARV. Infeksi oportunistik (IO) ini sebaiknya diobati (kembali) seperti biasa.

Yang lamban bisa juga melibatkan CMV dan kriptokokus, tetapi karena disebabkan oleh patogen mati, tidak ada manfaat mengobati manifestasi ini (mis. uveitis CMV atau meningitis aseptis) dengan obat melawan IO tersebut, walau ada yang dapat menimbulkan angka kematian yang tinggi.

Kurang lebih 20% pasien yang mulai aRT akan mengalami IRIS. Angkanya paling tinggi bila ada banyak IO dan ART dimulai dengan jumlah CD4 yang sangat rendah. Yang sering dianggap kasus TB yang baru setelah mulai ART sebetulnya sering adalah ‘unmasking’ TB yang ada sebelumnya.

Faktor risiko untuk IRIS terkait mikobakteri atau kriptokokus adalah infeksi diseminata sebelum ART, ART dimulai segera setelah IO diobati, dan jumlah CD4 yang rendah. Tidak jelas apakah peningkatan cepat pada CD4 atau penurunan cepat pada viral load terlibat - kemungkinan tidak. Risiko IRIS terkait TB paling tinggi bila terapi TB dimulai dalam 30 hari setelah OAT. Jadi apakah ada manfaat menunggu lebih dari 2-3 minggu (jangka waktu yang dianjurkan pada pedoman saat ini), mungkin sedikitnya 30-60 hari? Belum jelas!

Penangan IRIS yang dianjurkan tidak berubah: obat antimikroba bila infeksinya aktif; teruskan ART asal pasien tidak menjadi terlalu sakit; dan penggunaan terapi antiradang, mis. kortikosteroid, bila

dibutuhkan.

3. Penyakit kardiovaskular, diabetes dan penyakit ginjal. Sesi ini disampaikan oleh Prof Andrew Carr, Menurut Carr, walau penyakit kardiovaskular (CVD) sering dianggap sebagai efek samping PI, sebetulnya risiko terhadap CVD untuk kebanyakan Odha jauh lebih tinggi dari faktor risiko tradisional, terutama meroko, tetapi juga pola hidup kurang sehat lain. Rasio kolesterol total:HDL adalah prediktor yang paling kuat untuk kematian akibat CVD, pada semua kelompok usia dan

sama untuk perempuan dan laki-laki.

Walau ART berdampak pada kematian akibat CVD, berhenti ART ternyata meningkatkan risiko kematian, seperti dilihat pada penelitian SMART. Ada beberapa alasan yang diperkirakan, di antaranya karena setiap kali mulai ART lagi setelah berhenti, kolesterol total:HDL meningkat, dengan demikian meningkatkan risiko.

Alat prediksi risiko CVD yang baku, yaitu

Framlingham Equation, tetap berlaku untuk Odha yang memakai ART, jadi sebaiknya dipakai setiap tahun.

Mengenai masalah ginjal, kreatinin serum tidak efektif untuk pemantauan; yang paling efektif adalah MDRD (estimasi GFR/eGFR). Saya agak bingung dengan ini (karena belum belajar mengenai masalah ginjal), tetapi diusulkan dilakukan eGFR pada semua Odha pengguna ART setiap tiga bulan. Mungkin ada yang dapat menjelaskan apakah ini terjangkau dan praktis di Indonesia?

4. Interaksi obat. Menurut Lektor David Burger, relevansi klinis interaksi sering tidak jelas, walau secara teoretis seharusnya ada dampak besar, dengan meningkatkan toksisitas dan mengurangi kemanjuran. Dasar bukti terbatas, karena sulit ditelitikan, kebanyakan informasi berasal dari laporan kasus, dan etiket obat sering tidak benar. Jadi konsultasi dengan pakar sering dibutuhkan.

Dia mencontohkan tiga interaksi yang sering dibahas: 1) rifabutin dengan CYP450 inhibitor/ inducer; rekomendasi adalah untuk menyesuaikan takaran rfabutin, tetapi dalam dunia nyata, hanya 14% dokter menyesuaikan, dan tidak ada perbedaan dalam hasil. 2) nevirapine dengan PI: rekomendasi meningkatkan takaran PI, namun hanya 55% dokter menyesuaikan, dan tidak ada perbedaan pada hasil. 3) efavirenz dengan PI: sekali lagi rekomendasi adalah untuk meningkatkan takaran PI, yang dilakukan oleh 65% dokter. Dalam kasus ini, pasien yang menerima takaran PI lebih tinggi mencapai hasil yang lebih baik.

Ada beberapa kasus serupa, tetapi yang paling relevan buat kita mungkin adalah interaksi antara NNRTI dengan rifampisin. Walau ada usulan untuk meningkatkan takaran efavirenz menjadi 800mg dengan rifampisin, penelitian di Thailand

(8)

bila takaran nevirapine ditingkatkan menjadi 600mg, efek samping ruam meningkat tajam, dan tanggapan hampir sama. Jadi bila tidak ada alternatif, sebaiknya memakai nevirapine dengan takaran baku, tetapi kalau bisa, lebih baik pakai efavirenz.

Ditekankan lagi bahwa interaksi obat tetap penting, dan dokter harus tahu semua obat, termasuk obat tanpa resep dan juga jamu, yang dipakai oleh pasien. Menurut Burger, sebaiknya jangan ambil risiko memakai jamu, karena hampir tidak ada penelitian atau laporan mengenai interaksi. Tetapi bila pasien tetap ingin memakai jamu, dokter harus terima, harus memantau secara hati-hati, harus mendokumentasinya, coba menentukan apakah ada pengaruh dan melaporkan hasil agar meningkatkan jumlah laporan yang dapat dipakai oleh dokter lain.

5. Tes resistansi. Sesi ini, yang disampaikan oleh Dr Daniel Kuritzkes, membahas tiga alternatif untuk menentukan resistansi: genotipe, fenotipe dan fenotipe virtual. Topik ini sangat rumit, dan saat ini tidak begitu relevan di Indonesia. Yang penting kita tahu bahwa tes resistansi hanya dapat dilakukan bila viral load lebih dari 500-1000, dan hasilnya sulit ditafsirkan. Hasil dari tes baku hanya akan menunjukkan mutasi yang adal dengan jumlah besar; mutasi minoritas

tidak akan ditemukan.

Seperti dibahas dalam sesi lain, sudah waktu dokter di Negara berkembang mulai memakai tes

resistansi, sedikitnya di rumah sakit besar. Agar dapat mengerti keterbatasannya, dan mulai menjadi lebih nyaman untuk memakai hasilnya.

6. Pencegahan. Sesi ini dari Prof Joop Lange sedikit mengecewakan. Sebetulnya, isinya tidak jauh berbeda dengan presentasinya dua tahun yang lalu. Sebagian ini karena teknologi pencegahn tidak banyak berkembang dalam dua tahun terakhir, mala sebagian mundur. Perkembangan dengan vaksin dan mikrobisida sangat lamban, hanya mungkin diaphragm menunjukkan sedikit harapan. Kita masih menunggu hasil yang jelas dari kelima uji coba klinis yang memakai tenofovir untuk profilaksis prapajanan (PrPP). Percobaan dengan monyet menujukkan keberhasilan, tetapi yang paling efektif adalah tenofovir dan FTC yang disuntik (walau dianggap mungkin versi oral tidak efektif karena sulit memberi pil pada monyet).

Tampaknya kita akan tergantung pada kondom untuk beberapa tahun lagi...

Kesan dari simposium ini baik sekali, tetap sangat praktis, dan relevan pada keadaan kita. Hanya keterlibatan oleh peserta masih agak kurang, walau sebagian adalah karena waktu untuk tanya-jawab sangat terbatas, bahkan sering tidak ada. Juga saya rasa kadang kala slide terlalu rumit dan ramai sehingga sulit menangkap isi yang paling penting. Tetapi walau begitu, biasanya kesimpulan atau ringkasan akhir membantu cari makna yang paling penting.

(9)

Pengetahuan

adalah kekuatan

Minyak ikan plus fenofibrat

baik untuk trigliserid tinggi

Oleh: aidsmeds.com

Tgl. laporan: 17 Desember 2007

Suplemen minyak ikan, dikombinasikan dengan obat penurun lipid fenofibrat, secara bermakna mengurangi trigliserid ke tingkat normal pada sejumlah Odha yang tidak menanggapi salah satu terapi saja. Hal ini berdasarkan hasil penelitian AIDS Clinical Trials Group (ACTG), yang diterbitkan dalam Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes versi internet.

John Gerber, MD, dari Health Sciences Center Fakultas Kedokteran Universitas Colorado di Denver, AS dan rekan mendaftarkan 100 Odha yang rejimen ARV-nya menyebabkan tingkat trigliserid mereka meningkat di atas 200mg/dL, yang adalah batas tertinggi dari kisaran normal. Peningkatan trigliserid dapat mengakibatkan pankreatitis dan sudah dikaitkan dengan risiko penyakit jantung yang lebih tinggi.

Selama delapan minggu pertama penelitian, peserta penelitian memakai 3g minyak ikan atau 160mg fenofibrat sehari sekali. Apabila tingkat trigliseridnya tidak di bawah 200mg/dL setelah hampir dua bulan, pasien dalam penelitian ini diberi kedua pengobatan secara bersamaan.

Selama delapan minggu pertama penelitian, 8,5 persen pasien yang diobati dengan minyak ikan dan 16,7 persen pasien yang diobati dengan fenofibrat mempunyai tingkat trigliserid dalam kisaran normal. Dari 75 orang yang memakai kedua obat, 22,7 persen melihat penurunan tingkat trigliserid mereka menjadi di bawah 200mg/dL. Hal ini bermakna secara statistik, berarti bahwa hal ini terlalu besar untuk dikatakan terjadi secara

kebetulan. Para peneliti mengatakan bahwa hasil ini cukup memberi harapan untuk meneliti kombinasi obat ini lebih lanjut.

Steatosis hati adalah

umum pada Odha, walau

tidak mempunyai koinfeksi

HCV

Oleh: Liz Highleyman,

hivandhepatitis.com

Tgl. laporan: 14 Desember 2007

Penyakit hati semakin menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang penting pada Odha sejak terapi antiretroviral (ART) ditemukan. Hal ini dapat dilihat sebagai fibrosis dan sirosis hati (peningkatan jaringan parut) – sering dikaitkan dengan koinfeksi virus hepatitis C (HCV) — atau steatosis hati (penumpukan lemak). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan antara steatosis hati dan pemakaian ARV tertentu, termasuk beberapa NRTI.

Colleen Hadigan dari Massachusetts General Hospital di Boston, AS dan rekan melakukan penelitian untuk mengkaji steatosis hati pada laki-laki dan perempuan HIV-positif dengan memakai magnetic resonance spectroscopy (MRS), dan untuk menilai hubungan antara kandungan lemak di hati, resistansi insulin dan faktor lain terkait risiko; hasil penelitian ini dilaporkan dalam Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes edisi 1 November 2007.

Penelitian ini melibatkan 33 pasien Odha dewasa (24 laki-laki; sembilan perempuan) yang tidak dirujuk secara khusus untuk penyakit hati. Usia rata-rata adalah 46 tahun, 55% berkulit putih, dan 33% berkulit hitam. Kurang lebih seperlimanya koinfeksi HCV, dan satu mempunyai hepatitis B. Sebagian besar (85%) memakai ART secara tetap, dan jumlah CD4 rata-rata adalah 441. Odha dengan penyakit hati stadium akhir, riwayat penggunaan alkohol secara berlebihan selama tiga tahun terakhir, atau memakai pengobatan HCV secara bersamaan dikecualikan.

Pengukuran klinis yang utama adalah mengukur lemak dalam hati dengan memakai MRS, model homeostasis untuk menilai skor resistansi insulin (HOMA-IR), dan penyebaran lemak tubuh diukur dengan memakai tomografi lintas seksi secara komputerisasi.

Hasil

Ÿ Steatosis hati (didefinisikan sebagai jumlah lemak di hati = 5% dari berat hati)

(10)

(berkisar 6% hingga 29%).

Ÿ Jumlah lemak hati secara bermakna dikaitkan dengan skor HOMA-IR (P < 0,0001) dan peningkatan lemak viskeral (P < 0,001).

Ÿ Pasien dengan steatosis memiliki indeks massa tubuh, tingkat ALT (SGPT) dan trigliserid serta peningkatan lemak dalam otot yang lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan peserta tanpa steatosis. Ÿ Berbeda dengan beberapa penelitian

terdahulu, munculnya steatosis tidak dikaitkan dengan masa infeksi HIV, pajanan terhadap ART atau koinfeksi HCV.

Kesimpulan

Dalam kesimpulannya, penulis menulis, “Data ini memberi kesan bahwa steatosis hati mungkin sangat umum pada HIV, tidak terbatas pada mereka yang koinfeksi HCV, dan dapat berperan penting dalam profil metabolik di antara laki-laki dan perempuan yang terinfeksi HIV.”

Ringkasan: Liver Steatosis Is Common among HIV Positive People, even without Hepatitis C Coinfection

Sumber: C Hadigan, J Liebau, R Andersen, and others. Magnetic Resonance Spectroscopy of Hepatic Lipid Content and Associated Risk Factors in HIV Infection. Journal of Acquired Immune Deficiency Syndromes 46(3): 312-317. November 1, 2007.

Viral load selama

kehamilan: kian rendah

kian baik

Oleh: aidmeds.com

Tgl. laporan: 27 Desember 2007

Viral load tidak terdeteksi, terus memakai ART selama kehamilan dan persalinan setelah masa kehamilan terpenuhi dikaitkan dengan risiko terendah terhadap penularan HIV dari ibu-ke-bayi. Hal ini berdasarkan data baru dari ANRS French Perinatal Cohort yang diterbitkan dalam jurnal AIDS edisi 11 Januari 2008.

Penelitian ini, dilakukan oleh Josiane Warzawski,

MD dan rekan dari Institut National de la Sante et de la Recherche Medicale (INSERM),

mendaftarkan 5.271 pasangan ibu dan bayi yang dilahirkan di seluruh Prancis antara 1997 dan 2004. Sejumlah 67 (1,3 persen) bayi yang lahir dari ibu yang HIV-positif, terinfeksi HIV.

Viral load pada saat kelahiran ditemukan sebagai risiko utama terhadap penularan. Di antara 364 perempuan yang melahirkan dengan viral load di atas 10.000, tingkat penularan adalah 6,6 persen, dibandingkan dengan 0,6 persen di antara 2.856 ibu yang melahirkan dengan viral load di bawah 400. Tingkat penularan di antara ibu dengan viral load kurang dari 50 pada saat melahirkan adalah 0,4 persen.

Faktor kunci lain adalah masa penggunaan ART selama kehamilan. Tidak ada penularan pada perempuan yang tetap memakai ART sejak

kehamilan hingga melahirkan. Di antara perempuan hamil yang HIV-positif yang memulai pengobatan sejak triwulan pertama atau kedua, tingkat

penularan adalah kurang lebih satu persen. Dan di antara mereka yang memulai pada triwulan ketiga, tingkat penularan adalah 3,6 persen. Penulis mencatat bahwa lima ibu yang menularkan HIV dengan viral load di bawah 50 pada saat

melahirkan terlambat memakai ART waktu hamil, antara minggu ke-32 dan 33.

Bayi yang lahir prematur juga lebih berisiko terhadap penularan. Berdasarkan laporan

INSERM, tingkat penularan adalah enam kali lebih tinggi pada bayi yang lahir sebelum 33 minggu (6,6 persen) dibandingkan bayi yang lahir setelah masa kehamilan terpenuhi (satu persen).

Kelompok Dr. Warzawski menyimpulkan bahwa “cara yang paling efektif untuk mendapatkan pengendalian replikasi virus adalah memakai terapi kombinasi obat tiga jenis. Lebih lanjut, temuan kami berpendapat kuat bahwa ART harus dimulai cukup dini, paling lambat pada minggu ke-28, untuk mencapai kemanjuran yang maksimal.”

Ringkasan: Viral Load During Pregnancy: Lower the Better

(11)

Pojok Info

Lembaran Informasi Baru

Pada Januari 2008, Y ayasan Spiritia telah menerbitkan satu lagi lembaran informasi untuk Odha, sbb:

•Terapi Antiretroviral

Lembaran Informasi 434—Etravirine

Dengan ini, sudah diterbitkan 136 lembaran informasi dalam seri ini.

Juga ada 13 lembaran informasi yang direvisi:

•Informasi Dasar

Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran Informasi

•Terapi Antiretroviral

Lembaran Informasi 401—Penggunaan Obat Antiretroviral

Lembaran Informasi 402—Nama Obat Antiretroviral

Lembaran Informasi 403—Terapi Antiretroviral

•Infeksi Oportunistik

Lembaran Informasi 520—Penisiliosis Lembaran Informasi 521—Limfadenopati Lembaran Informasi 522—Histoplasmosis

•Obat untuk Infeksi Oportunistik

Lembaran Informasi 530—Azitromisin

•Efek Samping

Lembaran Informasi 560—Rasa Nyeri

•Topik Khusus

Lembaran Informasi 620—Masalah Kulit Lembaran Informasi 621—Masalah Penglihatan Lembaran Informasi 622—Masalah Mulut Lembaran Informasi 624—Afte (Seriawan) Salinan lembaran baru/revisi ini dilampirkan pada Sahabat Senandika edisi ini. Untuk memperoleh seri Lembaran Informasi lengkap, silakan hubungi Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman belakang. Yang sudah mempunyai buku lembaran informasi dapat memastikan semuanya terbaru dengan lihat tanggal penerbitan pada Daftar Lembaran Informasi. Semua lembaran informasi ini juga dapat dibaca dan didownload dari situs web Spiritia: http://spiritia.or.id

Tips

Tips untuk Odha

Sebagai alat kontrasepsi, kondom pasti sudah sangat dikenal di masyarakat. Tidak hanya untuk mencegah kehamilan, kondom pun efektif meminimalkan penularan penyakit seksual,

termasuk HIV/AIDS. Mendapatkannya pun relatif mudah, bahkan kini kondom sudah terdiri dari berbagai macam bentuk dan aroma yang variatif. Lantas, apakah semua orang tahu bahwa kondom pun perlu dipilih, sehingga diperoleh kondom yang paling tepat? Tentu tidak semua orang tahu.

”Pertimbangan utama dalam memilih kondom adalah kualitas,” kata asisten Brand Manager kondom Sutra dan Fiesta, Cresentia Novianti. Kondom yang bagus biasanya sudah lulus uji elektronis dan memenuhi standar mutu internasional (mendapat sertifikat ISO 4074). Hal lain yang perlu diperhatikan dalam memilih kondom adalah berpelicin dan terasa halus, sehingga akan menambah kenikmatan dan kenyamanan. Mengenai bentuk dan aroma, sebenarnya Anda boleh juga mencoba semua kondom sampai menemukan varian yang tepat untuk membuat gaya bercinta lebih menyenangkan.

Menurut Cresentia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kondom antara lain:

Ÿ Hati-hati ketika membuka kemasan. Hindari menggunakan kuku atau benda tajam lainnya agar tidak sobek.

Ÿ Jangan membuka gulungan kondom sebelum dipakai.

Ÿ Jangan menyimpan kondom di tempat panas atau di kantong celana jeans yang sangat ketat.

Ÿ Jika kondom dirasa mengurangi kenikmatan, teteskan lubricant ke dalam kondom agar terjadi juga gesekan di dalam untuk menambah kenikmatan.

Ÿ Terakhir, buang kondom setelah dipakai di tempat sampah agar tidak berserakan.

(12)

Sahabat Senandika

Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia

dengan dukungan

T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD F O U N D F O U N D F O U N D F O U N D

F O U N DAAAAAT I O NT I O NT I O NT I O NT I O N

Kantor Redaksi:

Jl. Johar Baru Utara V No 17 Jakarta Pusat 10560

Telp: (021) 422 5163 dan (021) 422 5168 Fax: (021) 4287 1866

E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:

Caroline Thomas

Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.

Positive Fund

Tanya Jawab

Tanya Jawab

Oleh: Potensi Diri dan Alam untuk

Pengobatan HIV/AIDS

T: Apakah fungsi vitamin C untuk Odha, terdapat dalam buah atau sayur apakah vitamin C, berapa dosis yang dianjurkan per hari dan apa akibatnya jika berlebihan mengkonsumsi vitamin C?

J: Vitamin C membantu kerja vitamin E dalam penyerapan zat besi di lambung. Selain itu, membantu produksi halogen yang sangat penting dalam proses pembentukan jaringan ikat untuk kekuatan tulang, tulang rawan, gigi, rambut, kulit, otak, pembuluh darah, dan proses penyembuhan luka, termasuk luka bakar. Vitamin C mudah larut dalam air dan hilang dalam pemanasan. Sebatang rokok mampu menghilangkan 25 gram vitamin C di dalam tubuh.

Dosis vitamin C sehari 250-1000 mg. Kelebihan vitamin C mengakibatkan perut mulas, diare, dan pusing. Suplemen vitamin C tidak dianjurkan bagi penderita talasemia dan anemia karena dapat memperkuat keracunan zat besi.

Fungsi vitamin C antara lain sebagai berikut: 1. Mengurangi replikasi virus HIV yang

menginfeksi T-helper (limfosit) secara kronis.

2. Membersihkan alkohol dalam tubuh. 3. Meningkatkan kekebalan tubuh. 4. Merangsang protein yang beraktivitas

antivirus.

5. Menghambat perkembangan sel kangker. 6. Meningkatkan kerja paru-paru.

7. Memperbaiki kualitas sperma.

8. Mengurangi penumpukan lemak pada organ hati karena alcohol.

9. Mengobati dan mencegah hiperpigmentasi.

10. Mencegah radang gusi dan alergi 11. Meningkatkan kolesterol HDL. Kekurangan vitamin C akan menyebabkan: Pertumbuhan jantung dan tubuh terganggu, gusi bengkak, mudah terserang encok, anemia, dan penyakit anak ginjal.

Vitamin C terdapat pada buah-buahan dan sayur-sayuran seperti jeruk, tomat, jambu biji, cabai, paprika, pepaya, brokoli, stroberi, kiwi, ubi merah, buncis, sayuran hijau, kubis, labu merah, nanas, apel, mangga, belimbing, markisa dan sebagainya

Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia

Periode Januari 2007

Saldo aw al 1 Januari 2007 17,503,519

Penerimaan di bulan

Januari 2007 847,750+

_________

Total penerimaan 18,351,269

Pengeluaran selama bulan Januari :

Item Jumlah

Pengobatan 2,805,000

Transportasi 0

Komunikasi 0

Peralatan / Pemeliharaan 0

Modal Usaha 0+

__________

Total pengeluaran 2,805,000

-Saldo akhir Positive Fund

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Aplikasi Model Regresi Logistik untuk Menganalisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjangkitnya Malaria.. Program Studi Matematika, Jurusan Matematika, Fakultas

Langkah desain harus mampu menjawab pertanyaan apakah program pembelajaran yang didesain dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesenjangan performa ( performance

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Riwayat Penyakit Anggota Keluarga Dan Kondisi Rumah

Hasil penelitian menunjukan bahwa kandungan minyak jelantah dengan dosis yang berbeda- beda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, efisiensi pemanfaatan pakan, dan

Terdapat sistem semiotik multimodal pada iklan Kuroneko seperti, Linguistik yang dapat dibuktikan dengan keterkaitan bahasa dalam penentu target dalam iklan kuroneko,

[r]

Berdasarkan analisis maka diperoleh hasil sebagai berikut, (1) pembelajaran matematika dengan model inqury pada sub pokok bahasan aturan sinus dan kosinus telah

Tujuan utama dari penelitian ini adalah membuat sistem informasi prediksi beban listrik harian pada sektor industri menggunakan Support Vector Machine multi kelas