• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) DALAM HAL PERLINDUNGAN KAWASAN SEMPADAN PANTAI SEMINYAK.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENERAPAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) DALAM HAL PERLINDUNGAN KAWASAN SEMPADAN PANTAI SEMINYAK."

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

BADUNG NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW)

DALAM HAL PERLINDUNGAN KAWASAN

SEMPADAN PANTAI SEMINYAK

NI LUH PUTU SUARTAMI DEWI

1203005037

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

DALAM HAL PERLINDUNGAN KAWASAN

SEMPADAN PANTAI SEMINYAK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI LUH PUTU SUARTAMI DEWI

1203005037

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, skripsi yang berjudul

“PENERAPAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG

WILAYAH (RTRW) DALAM HAL PERLINDUNGAN KAWASAN

SEMPADAN PANTAI SEMINYAK”dapat penulis selesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan sebagai kewajiban dalam rangka

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini dapat

berhasil dengan baik berkat arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan saran

dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi

ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I dalam

penyusunan skripsi ini, yang telah memberi arahan, bimbingan, dukungan,

saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

(6)

vi

4. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Administrasi

Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan

bimbingan, pengarahan, saran, dukungan dan motivasi kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH., M.Kn., LLM., Dosen Pembimbing

II dalam penyusunan skripsi ini, yang telah meluangkan banyak waktu dan

telah dengan sabar memberi arahan, bimbingan, dukungan, masukan dan

saran serta petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, SH., MH, Dosen Pembimbing

Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis

selama duduk di bangku perkuliahan.

8. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana

yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis

(7)

vii

9. Seluruh Staff Administrasi dan Pegawai di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan selama duduk di

bangku perkuliahan.

10.Dewan Penguji Skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk menguji

skripsi ini.

11.I Nyoman Tamtam dan Ni Ketut Suarti selaku orang tua penulis yang selalu

memberikan kasih sayang, do’a, perhatian dan dukungan moril dan materiil

serta pengorbanan yang tak ternilai selama penulis menempuh pendidikan

dasar sampai dengan menyelesaikan studi Program Sarjana di Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

12.Ni Kadek Ayu Parniti dan I Komang Gede Andika Yasa selaku saudara

penulis, yang selalu memberikan do’a, mendukung dan memberi semangat

pada saat penulis merasa jenuh saat penyusunan skripsi ini.

13.Sahabat-sahabat hebat penulis, Hesty, Ayu MJ, Ayu Wahid, Dessy, Vera,

RR Dika, Novi, Re, Anom, Edi Kecer, Gung Didit, Krisna Andiani yang

selalu memberikan do’a, nasihat dan semangat selama bangku sekolah

sampai dengan menyelesaikan Program Sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

14.Wanita-wanita tangguh seperjuangan penulis, Ayu Purwati, Gek Mas

(8)

viii

15.Teman-teman seperjuangan penulis, Kevin Saputra Ryadi, Bayu Putra

Pemayun, Ari Dwiyatmika, Putri Purnama Santhi, Agus Mega Putra, Bagus

Wicaksana, Baruna, Aris, Yudi, Gung Ari, Gung Dalem, Lepok, Dedek,

Dewi Lestari, Maria, Nanda, Leona, Gek In, Yeyen, Ayu Purnama, Alit,

Ayu Dwilaksmi, Intan, Sulbianti, Nita, serta rekan-rekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana Angkatan 2012 yang telah menemani mulai dari awal

kuliah hingga menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana ini.

16.Kakak-kakak senior penulis, Surya Seni Murtikawati, Gung Christiari, Ayik

Primantari, Gita Dharmaningtias, Aditya Wisada, Hendra Rusliadi, dan

Alvin Janitra, yang selalu membantu, memberi pengarahan dan memotivasi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

17.Teman-teman KKN PPM UNUD XI, Ari Amel, Anggiana, Desak

Indraswari, Komang Ariani, Chitta Dhyana, dan Zakiah yang selalu

memberi dukungan kepada penulis.

18.Kepada keluarga besar Udayana Moot Court Community (UMCC) yang

senantiasa memberikan pengalaman berharga dan semangat kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini, terutama fungsionaris tahun kepengurusan

2013-2014, delegasi Piala AG. Pringgodigdo IV dan delegasi Piala Mutiara

(9)

ix

19.Para Informan yang telah banyak memberikan bantuan berupa informasi dan

keterangan yang diperlukan sehubungan dengan penyusunan skripsi ini.

20.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam

skripsi ini dan jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca dan bagi

kemajuan ilmu hukum.

Denpasar, 12 April 2016

(10)
(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ….……….. I

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ……… ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ………….. iv

(12)

xii

2.1 Pengertian Penataan Ruang ...…...………… 27

2.2 Pengaturan dan Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang ….. 38

BAB III PENERAPAN PENGATURAN KAWASAN SEMPADAN

PANTAI DI PANTAI SEMINYAK

3.1 Pengaturan Kawasan Sempadan Pantai pada Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung 2013-2033 ………... 48

3.2 Bentuk-Bentuk Pelanggaran yang Terjadi Terhadap Kawasan

Sempadan Pantai Seminyak ………... 53

BAB IV FAKTOR – FAKTOR PENYEBAB PELANGGARAN TERHADAP KETENTUAN TENTANG KAWASAN

SEMPADAN PANTAI

4.1 Faktor – Faktor Penyebab Pelanggaran Yang Terjadi di

Kawasan Sempadan Pantai Seminyak ……….. 61

4.2 Jenis – Jenis Sanksi Hukum yang Telah Diterapkan terhadap

Pelanggar Kawasan Sempadan Pantai di Pantai Seminyak ….. 70

4.3 Faktor Penghambat dan Pendukung Penegakan Ketentuan

Kawasan Sempadan Pantai di Pantai Seminyak ………... 73

BAB V PENUTUP

(13)

xiii

5.2 Saran ……… 79

DAFTAR PUSTAKA ………..

DAFTAR INFORMAN

(14)

xiv

kegiatan pariwisata yang berkembang sangat pesat menyebabkan terjadinya

pelanggaran di daerah kawasan sempadan pantai. Walaupun pengaturan mengenai

batasan-batasan tentang kawasan sempadan pantai telah diatur, namun banyaknya

bangunan-bangunan disepanjang pantai yang menyebabkan kerusakan lingkungan

pantai tetap saja bisa dibangun oleh masyarakat atau investor asing. Saat ini yang

terpenting adalah bagaimana mengekfektifkan dan menerapkan hukum tersebut

agar sesuai dengan fungsinya. Permasalahan dalam tulisan ini adalah

bagaimanakah implementasi pengaturan kawasan sempadan pantai pada

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah di Pantai Seminyak dan apa saja faktor-faktor penyebab

pelanggaran dalam penerapan Peraturan Daerah ini.

Jenis penelitian yang digunakan adalah berupa penelitian yuridis

sosiologis (empiris), yaitu penelitian yang berbasis pada ilmu hukum normatif

(peraturan perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam

aturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang

terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.

Dalam penerapan dari pengaturan mengenai daerah Kawasan Sempadan

Pantai di Daerah Kabupaten Badung berdasarkan Perda Kabupaten Badung

tentang RTRW sudah cukup baik, akan tetapi masih saja ada yang melanggar

ketentuan tersebut. Kemudian terdapat dua faktor penyebab terjadinya

pelanggaran untuk wilayah kawasan sempadan pantai di Pantai Seminyak, yaitu

yang pertama faktor penegak hukum dan yang kedua faktor masyarakat.

(15)

xv ABSTRACT

Urgency of economy has led to coastal areas in Bali, especially Seminyak Beach cant maintain its function again as tourism activity is growing very rapidly lead to violations in the coastal border region. Although setting the boundaries of the coastal border region has been set, but the number of buildings along the coast that caused damage to the coastal environment it still can be built by the public or foreign investors. Currently the most important is how to effectiveness and apply the law to suit its function. The problem in this paper is how the implementation of regional arrangements in the coastal border Badung District Regulation Number 26 Year 2013 on Spatial Planning on Seminyak Beach and what are the factors that cause a breach in the implementation of the Regulation.

This type of research is in the form of juridical sociological (empirical), the research is based on the science of normative law (legislation), but not assess the system of norms in the rule of law, but to observe the reactions and interactions that occur when a system of norms that work in in society.

In the application of the regulation concerning the Coastal Border Region region in the Badung regency of Badung regency based on Spatial Planning Bylaw has been quite good, but still there is a violation of that provision. Then there are two factors contributing to the violation of border areas along the beach in Seminyak, the first factor that both law enforcement and community factors.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten

dan kota yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu, mempunyai

pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang”. Selanjutnya dalam

Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa, “Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah

Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Berdasarkan dari Pasal 18 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 ini, maka

diaturlah masalah tentang pemerintahan daerah ke dalam Undang-Undang No. 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diamandemen dengan

Undang-undang No. 2 Tahun 2015 jis. Undang-undang No. 9 Tahun 2015,

sebagai pengganti Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 1 ayat

(2) Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

menyatakan bahwa, “Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi

seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

(17)

2

Tahun 1945”. Selanjutnya, dalam Pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa, “Otonomi

Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam pelaksanaan otonomi

daerah ini terdapat pada daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Walaupun

menganut prinsip otonomi seluas-luasnya tetap ada pembagian mengenai urusan

wajib antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, pemerintah

daerah dalam menjalankan pemerintahannya berwenang untuk mengeluarkan dan

menggunakan hukum untuk mengatur masyarakatnya, tentu saja hukum tersebut

harus ditegakan dan diterapkan di dalam masyarakat agar nantinya hukum

tersebut dapat mendorong terjadinya perubahan di dalam masyarakat agar menjadi

lebih baik.

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung

berwenang untuk mengatur dan mengeluarkan peraturan mengenai Daerah

Kawasan Sempadan Pantai yang kemudian diatur dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 (selanjutnya disebut Perda

Kabupaten Badung Tentang RTRW).

Penegakan Perda Kabupaten Badung tentang RTRW mengenai penataan

kawasan lindung yang dalam hal ini kawasan sempadan pantai termasuk dalam

kawasan Perlidungan Setempat, belum terlihat direalisasikan dengan baik sesuai

dengan aturan yang berlaku. Salah satu bukti belum terealisasikannya peraturan

(18)

aturan hukum yang berlaku, dimana terdapat pelanggaran atas pendirian suatu

bangunan yang melewati garis batas sempadan pantai dan pengklaiman daerah

pantai yang menyebabkan terganggunya kepentingan umum. Berdasarkan Pasal

25 Perda Kabupaten Badung tentang RTRW yang dimaksud dengan kawasan

Perlindungan Setempat, yaitu :

Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b, dengan luas kurang lebih 1.113,31 Ha (seribu tiga belas koma tiga satu hektar) atau 2,66% (dua koma enam enam persen) dari luas wilayah Kabupaten, terdiri atas:

a. Kawasan Suci;

b. Kawasan Tempat Suci; c. Kawasan Sempadan Pantai; d. Kawasan Sempadan Sungai;

e. Kawasan Sempadan Waduk/estuary dam; dan f. Kawasan Sempadan Jurang.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (33) Perda Kabupaten Badung tentang RTRW yang

dimaksud dengan kawasan sempadan pantai adalah “Kawasan perlindungan

setempat sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk

mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan

ketersedian ruang untuk lalu lintas umum”.

Bali merupakan daerah pariwisata yang perkembangannya sangat pesat.

Bali sudah dikenal sebagai daerah tujuan wisata sejak jaman kolonial Belanda.

Daya tarik Bali sebagai daerah tujuan wisata tidak hanya dikarenakan oleh

keunikan budayanya saja, tetapi juga dikarenakan oleh keindahan alam yang

dimiliki Pulau Bali. Salah satu keindahan alam yang dimiliki Bali yang sangat

sering dikunjungi oleh wisatawan adalah keindahan pantainya. Salah satu daerah

(19)

4

Seminyak. Oleh karena itu Bali merupakan tempat yang digunakan sebagai suatu

peluang besar yang digunakan oleh negara ini untuk meningkatkan devisa negara

bahkan mampu untuk meningkatkan perkonomian masyarakat sekitarnya,

sehingga banyak warga masyarakat, kelompok, individu, dan investor asing

datang untuk memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan perekonomiannya.

Namun pesisir atau wilayah pantai merupakan wilayah yang sangat rentan

terhadap perubahan, baik perubahan alam maupun perubahan akibat ulah manusia

yang dewasa ini terjadi karena banyak investor asing yang mengeksploitasi

wilayah pantai hanya demi kepentingan pemilik modal besar.

Desakan kebutuhan ekonomi telah menyebabkan wilayah pantai yang

seharusnya menjadi wilayah penyangga daratan menjadi tidak dapat

mempertahankan fungsinnya lagi sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan

pantai.1 Pantai-pantai yang seharusnya terbuka untuk kepentingan umum kini

telah dimonopoli oleh pihak bermodal besar dengan membangun hotel-hotel,

restaurant, dan café-cafe yang seharusnya dibangun dengan jarak paling minim 25 meter dari garis batas air pasang ternyata dibangun dan berdiri dibibir pantai

bahkan sampai menjorok ke laut yang melewati batas garis kawasan sempadan

pantai.2

Banyaknya bangunan-bangunan disepanjang pantai yang menyebabkan

kerusakan lingkungan pantai tetap saja bisa dibangun oleh masyarakat atau

1

Nanin Trianawati Sugito dan Dede Sugandi, 2013, “Urgensi Penentuan dan Penegakan Hukum Kawasan Sempadan Pantai”, Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, h. 2.

2

Denpost, 2015, “Pelanggaran Sempadan Pantai dan Tebing Marak”, URL :

(20)

investor asing walaupun pengaturan mengenai batasan-batasan tentang kawasan

sempadan pantai telah diatur. Sementara pantai terkikis ombak, sempadan yang

tersisa pun ikut termakan sarana wisata.3 Oleh karena itu, pemerintah daerah harus

segera memberikan perhatian dan penanganan serius berkaitan dengan hal ini.

Pengaturan mengenai batasan-batasan tentang kawasan sempadan pantai

ini telah diatur dalam Pasal 74 ayat (1) Perda Kabupaten Badung tentang RTRW

yaitu mengenai ketentuan umum Peraturan Zonasi Kawasan Sempadan Pantai.

Ketentuan umum ini meliputi dimana daratan sepanjang tepian laut dengan jarak

paling sedikit 100 m (seratus meter) dari titik pasang air laut tertinggi kearah

darat. Lalu Untuk pantai yang berbatasan langsung dengan jurang (tebing), jarak

sempadannya mengikuti ketentuan Sempadan Jurang. Kemudian Ruang Kawasan

Sempadan Pantai merupakan ruang terbuka untuk umum dan bangunan yang

diperkenankan adalah bangunan-bangunan fasilitas penunjang wisata non

permanen dan kotemporer, bangunan umum terkait sosial keagamaan, bangunan

terkait Kegiatan Perikanan tradisional dan dermaga, bangunan pengawasan pantai,

bangunan pengamanan pantai dari abrasi, bangunan evakuasi bencana, dan

bangunan terkait pertahanan dan keamanan. Selain itu dalam pasal 74 ayat (1) ini

juga diatur mengenai pengamanan Kawasan Sempadan Pantai, pemanfaatan

Kawasan Budidaya, serta pengelolaan Kawasan sempadan pantai.

Pasal 74 ayat (1) Perda Kabupaten Badung tentang RTRW menyatakan

bahwa seperti tersebut di atas mengenai ketentuan umum peraturan zonasi

3 Kompasiana, 2015, “

Ketika Sempadan Pantai Termakan Sarana Wisata”, URL :

(21)

6

kawasan sempadan pantai, sehingga apabila terjadi pembangunan pendirian suatu

bangunan atau pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan umum

peraturan zonasi kawasan sempadan pantai seperti tercantum dalam peraturan

daerah tersebut dapat dikatakan sebagai suatu pelanggaran. Tidak sedikit kalangan

yang berpendapat bahwa hukum tersebut dibuat untuk dilanggar. Apabila

dikatakan bahwa hukum itu ada untuk dilanggar, maka sama saja dengan

mengatakan, bahwa masyarakat itu ada untuk dikacaukan. Saat ini yang terpenting

adalah bagaimana mengekfektifkan dan menerapkan hukum tersebut agar sesuai

dengan fungsinya. Seperti halnya Perda Kabupaten Badung tentang RTRW itu

dibuat untuk ditaati oleh masyarakat.

Dalam kegiatan pariwisata yang berkembang sangat pesat ini tidak sedikit

terjadi pelanggaran atas peraturan daerah tersebut, salah satu pelanggaran tersebut

terjadi di Pantai Seminyak. Oleh karena itu, Pantai Seminyak sangat menarik

penulis angkat dalam permasalah perlindungan terhadap garis sempadan pantai

yang kini mulai dilanggar oleh pemilik usaha-usaha disepanjang Pantai Seminyak.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik menganalisis secara

mendalam, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk penelitian dengan judul

PENERAPAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR

26 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH

(RTRW) DALAM HAL PERLINDUNGAN KAWASAN SEMPADAN

(22)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana implementasi pengaturan kawasan sempadan pantai pada

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang

RTRW di Pantai Seminyak ?

2. Apa sajakah faktor-faktor penyebab pelanggaran dalam penerapan

Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang

RTRW di kawasan sempadan pantai di Pantai Seminyak ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan sebagaimana yang telah

diuraikan diatas, maka akan dipaparkan mengenai batasan-batasan yang

menjadi ruang lingkup permasalahan dalam penulisan penelitian ini. Adapun

pembatasannya adalah sebagai berikut:

1. Permasalahan yang pertama akan membahas mengenai bagaimana

implementasi dari pengaturan kawasan sempadan pantai di Pantai

Seminyak sesuai dengan pengaturan Peraturan Daerah Kabupaten

Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW).

2. Kemudian pokok permasalahan yang kedua akan membahas mengenai

(23)

8

ketentuan kawasan sempadan pantai sesuai dengan Peraturan Daerah

Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 dapat diterapkan di

masyarakat, dan dalam hal ini di sekitar kawasan sempadan pantai di

Pantai Seminyak.

1.4 Tujuan Penelitian

Agar penulisan ini memiliki suatu maksud yang jelas, maka harus

memiliki tujuan sehingga dapat mencapai target yang dikehendaki. Tujuan

dari penelitian ini ada dua, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun

tujuan tersebut antara lain :

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

penerapan dan penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Badung

Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) dalam hal perlindungan kawasan sempadan pantai di Pantai

Seminyak.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab hingga terjadinya

(24)

2. Untuk mengetahui apakah pengaturan kawasan sempadan pantai

dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah dapat diterapkan dalam

masyarakat dan dalam hal ini di Sempadan Pantai Seminyak.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan

wawasan bagi para pembaca dan penulis serta memberikan manfaat bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya Pemerintah Daerah yang dapat

digunakan sebagai acuan bagi tulisan-tulisan yang sejenis di kemudian hari.

1.5.2 Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan bagi para

pembaca dan penulis dalam memahami tentang bagaimana mengatur

bangunan dan penerapan peraturan perlindungan kawasan sempadan pantai

agar tidak melanggar ketentuan mengenai kawasan sempadan pantai di daerah

Kabupaten Badung.

1.6 Landasan Teoritis

Sebelum membahas permasalahan dalam penelitian ini secara lebih

mendalam, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori atau

landasan-landasan yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan

(25)

10

memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan

permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.

a. Negara Hukum

Negara Indonesia merupakan Negara berdasarkan atas hukum

(Rechsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).4 Hal ini juga tercantum dalam amanat konstitusi pada Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

Menyatakan Bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini mengandung

arti bahwa negara, termasuk di dalamnya Pemerintahan dan

lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apa pun

harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dapat dipertanggung

jawabkan secara hukum. Oleh karena itu, Sebagai negara hukum sejahtera

maka Indonesia menganut derivasi konsep Rechsstaat dan Rule of Law, yakni:5

1. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.

2. Adanya pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan dijalankan berdasarkan undang-undang.

4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.

4

H. Kaelan dan H. Achmad Zubaidi, 2010, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, h. 88.

5

(26)

Menurut Lawrence M. Freidman pada bukunya Oloan Sitorus dan

HM. Zaki Sierrad dengan mengacu pada komponen sistem hukum yang

meliputi struktur, substansi dan kultur mengatakan bahwa fungsi hukum:6

1. Untuk mewujudkan keadilan (to distribute and maintain of values that society feel to be right);

2. Sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa (Settlement of dispute );

3. Sarana pengendalian masyarakat (Social Control) 4. Sebagai sarana rekayasa sosial (Social Engineering)

Pengertian negara hukum baik dalam arti formal yang melindungi

seluruh warga dan seluruh tumpah darah, juga dalam pengertian materiil

yaitu negara harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan

kecerdasan seluruh warganya. Oleh karena itu, dimana pun suatu negara

hukum tujuan pokoknya adalah melindungi hak asasi manusia dan

menciptakan kehidupan bagi warga yang demokratis. Keberadaan suatu

Negara hukum menjadi prasyarat bagi terselenggaranya hak asasi manusia

dan kehidupan demokratis.

Di Indonesia, konstitusi pra-amandemen maupun konstitusi pasca

amandemen telah jelas menyatakan bahwa negara ini adalah negara

kesatuan. Dalam Pasal 1 ayat (1) ditulis bahwa: “Negara Indonesia ialah

Negara kesatuan sebagai sebuah negara yang diorganisir di bawah satu

6

(27)

12

pemerintah pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai

distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh

pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.

Kansil dalam bukunya juga menyatakan negara kesatuan merupakan suatu

negara yang merdeka dan berdaulat dimana diseluruh negara yang

berkuasa hanyalah satu pemerintah pusat yang mengatur seluruh

daerahnya.7 Negara kesatuan juga dapat berbentuk :

1. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala

sesuatu dalam negara tersebut langsung diatur dan diurus oleh

pemerintah pusat, dan daerah tinggal melaksanakannya.

2. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, dimana kepada

pemerintah daerah diberikan kesempatan untuk mengurus rumah

tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan daerah

swatantra.

b. Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur

dan mengurus kepentingn masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.8 Aspirasi masyarakat menjadi hal yang penting karena otonomi

daerah diharapkan mampu melibatkan masyarakat dalam proses

7

CST Kansil, 1983, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.7.

8

(28)

pengambilan keputusan. Sesuai dengan tujuan dari diberlakukannya

otonomi daerah, masyarakat diharapkan dapat terlibat secara aktif dalam

upaya membangun dan mengembangkan daerah.

Pemerintah daerah dengan otonomi adalah proses peralihan dari

sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi. Otonomi adalah penyerahan

urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat

oprasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan.9 Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas

pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan

oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia, sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil

pemerintah pusat di daerah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah

tertentu. Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari

pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi

kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota

kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Tujuan otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam

(29)

14

dalam peyerahan urusan ini adalah antara lain, menumbuhkembangkan

daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan terhadap

masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya

saing daerah dalam proses pertumbuhan.

Sejalan dengan penyerahan urusan, apabila urusan tersebut akan

menjadi beban daerah, maka akan dilaksanakan melalui asas medebewind

atau asas pembantuan. Proses ini pada dasarnya tidak semata-mata

desentralisasi administratif, tetapi juga bidang politik dan sosial budaya.11

Dengan demikian, dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada

organisasi/administratif lembaga pemerintahan daerah saja, akan tetapi

berlaku juga pada masyarakat (publik), badan atau lembaga swasta dalam

berbagai bidang. Dilihat dari sisi empiris, desentralisasi mengandung dua

unsur pokok. Unsur yang pertama adalah terbentuknya daerah otonom dan

otonomi daerah. Unsur yang kedua adalah penyerahan sejumlah fungsi

pemerintahan kepada daerah otonom. Dalam Negara kesatuan seperti

Indonesia, kedua unsur tersebut dilakukan oleh pemerintah melalui produk

hukum dan konstitusi dan melembaga.

c. Teori Kewenangan

Asas Legalitas merupakan prinsip utama dalam setiap Negara hukum

dan juga merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan

pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan

11

(30)

pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan

oleh undang-undang. Dengan demikian substansi asas legalitas adalah

wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum

tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kewenangan

mengandung arti: (1) hal wewenang, dan (2) hak dan kekuasaan yang

dimiliki untuk memiliki sesuatu. Sedangkan kata wewenang mengandung

arti: (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, (2) kekuasaan

membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab

kepada orang lain.12

Kewenangan dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk melakukan

tindakan hukum tertentu, yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan

lenyapnya akibat hukum. Hak berisi kebebasan untuk melakukan

tindakan-tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan

tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk

melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu.

Berdasarakan prinsip legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur, tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi

12

(31)

16

pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.13 Secara teoritis,

kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut

diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Teori

kewenangan menurut H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt meliputi

atribusi, delegasi dan mandat yang didefinisikan sebagai berikut:14

a. Attributie: toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ

pemerintahan).

b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).

c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya).

d. Tata Ruang Wilayah

Ruang adalah tempat untuk suatu benda/kegiatan atau apabila

kosong bisa diisi dengan suatu benda/kegiatan. Dalam hal ini kata

“tempat” adalah berdimensi tiga dan kata benda/kegiatan berarti

13

Ridwan H.R., 2008, Hukum Aministrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ridwan HR I) h. 103.

14

(32)

benda/kegiatan apa saja tanpa batas.15 Karena ruang dapat menyangkut apa

saja yang membutuhkan tempat maka harus ada batasan tentang ruang

yang akan dibicarakan. Dalam hal ini yang akan dibicarakan adalah ruang

sebagai wilayah. Wilayah dapat dilihat sebagai suatu ruang pada

permukaan bumi. Pengertian permukaan bumi adalah menunjuk pada

tempat atau lokasi yang dilihat secara horizontal dan vertikal.

Menurut Glasson (1974) ada dua cara pandang yang berbeda tentang

wilayah, yaitu :16

1. Cara pandang subyektif, yaitu wilayah adalah alat untuk

mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria

tertentu atau tujuan tertentu.

2. Cara pandang obyektif, yaitu menyatakan wilayah itu

benar-benar ada dan dapat dibedakan dari ciri-ciri/gejala alam di setiap

wilayah.

Pengertian wilayah yang digunakan dalam perencanaan dapat berarti

suatu wilayah yang sangat sempit atau sangat luas, sepanjang di dalamnya

terdapat unsur ruang. Kata region (wilayah) saat ini digunakan untuk mencakup wilayah beberapa Negara sekaligus. Region dalam bahasa Indonesia lebih sering dipadankan dengan kata wilayah daripada daerah

kawasan. Wilayah sering diartikan sebagai satu kesatuan ruang secara

15

Robinson Taringan, M.R.P., 2010, Perencanaan Pembangunan Wilayah Edisi Revisi, Bumi Aksara, Jakarta, h. 110.

16

(33)

18

geografi yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan

soal batas dan kondisinya.17 Daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah

yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan yuridiksi administratif.

Menurut Suwardjoko P. Warpani, ruang wilayah merupakan ruang

kegiatan, tempat beraneka ragam kegiatan berlangsung. Ruang (space) tidak memiliki batas nyata dan sifatnya dinamis, sedangkan wilayah

(territory) memiliki batasan yang jelas.18

Ruang wilayah Negara Indonesia baik sebagai kesatuan wadah yang

meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk di dalam bumi,

maupun sumber daya yang harus disyukuri, dilindungi dan dikelola secara

berkelanjutan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, sesuai

dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan penataan

ruang ini pelaksanaan wewenangnya dilakukan oleh pemerintah dan

pemerintah daerah dengan tetap menghormati hak yang dimiliki oleh

setiap orang. Pemerintah mengatur perencanaan penataan ruang ini bukan

semata hanya menjadi rencana saja akan tetapi juga pelaksanaannya.

Perencanaan ruang wilayah adalah perencanaan penggunaan/

pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan penggunaan

lahan (land use planning) dan perencanaan pergerakan pada ruang

17

Ibid., h. 114

18

(34)

tersebut. Dalam pelaksanaannya, perencanaan ruang wilayah ini

disinonimkan dengan hasil akhir yang hendak dicapai, yaitu tata ruang.

Dengan demikian, kegiatan itu disebut dengan perencanaan atau

penyusunan tata ruang wilayah.

e. Teori Efektivitas Hukum

Menurut Soerjono Soekanto, hukum sebagai kaidah merupakan

patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Efektivitas

hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila

seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal

mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya

berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai

dengan tujuannya atau tidak.

Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum yang akan disoroti dari

tujuan yang ingin dicapainya. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan

agar masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan

sanksi-sanksinya. Dengan sanksi-sanksi tersebut maka akan terlihat

apakah hukum tersebut dapat diterapkan dan ditegakan dalam masyarakat

atau tidak. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum

(35)

20

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah, dan pola perilaku.19

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor

yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti

yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi

faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain:20

1. Faktor hukumnya sendiri;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari

efektivitas penegakan hukum.21

19

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempegaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7.

20

Ibid., h. 8.

21

(36)

1.7 Metode Penelitian

Penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat benilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang

kita tidak ketahui.22 Dengan demikian penelitian bermula dari ketidaktahuan

dan berakhir pada suatu hipotesis. Dalam melakukan penelitian tentu saja

harus menggunakan metode penelitian agar penelitian menjadi sistematis.

Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan

konsisten.23

Kemudian penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi.24 Adapun metode penelitian yang

digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian pada penulisan ini adalah penelitian hukum

empiris, dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan sebagai

suatu gejala empiris yang diamati di dalam kehidupan nyata. Peter

Mahmud Marzuki, menyatakan penelitian hukum empiris adalah data

22

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 19.

23

H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 24

(37)

22

yang diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama

dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui

pengamatan, wawancara, ataupun penyebaran kuisioner.25

1.7.2 Sifat Penelitian

Pada penulisan ini menggunakan penelitian yang bersifat

deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga,

masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta

yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif dapat

dikatakan sebagai langkah-langkah melakukan representatif obyektif

tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diselidiki.26

1.7.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari dua

sumber data, yaitu:

1. Sumber data primer (data lapangan), yakni data yang diperoleh

dari peneliti, dari sumber asalnya yang pertama dan belum diolah

25

Ibid.

26

(38)

dan diuraikan oleh orang lain.27 Data yang diperoleh didapatkan

secara langsung melalui teknik wawancara dengan informan.

2. Sumber data sekunder, adalah data yang diperoleh dari

kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan hukum. Bahan

hukum pada penulisan ini, yaitu:

a. Bahan hukum yang bersifat primer yaitu bahan-bahan hukum

yang mengikat.28 Bahan hukum ini berupa peraturan

perundang-undangan yang dapat membantu dalam

menganalisa dan memahami permasalahan dalam penulisan

ini.

Dalam penulisan skripsi ini bersumber pada peraturan

perundang-undangan yang berlaku yaitu :

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

- Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah;

- Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang;

- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

27

Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 65.

28

(39)

24

- Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun

2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Badung Tahun 2013-2033.

b. Bahan hukum yang bersifat sekunder, berupa literatur-literatur

hukum, majalah, koran, dan karya tulis yang ada kaitannya

dengan permasalahan dalam penulisan ini.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum empiris dikenal dengan teknik-teknik

untuk mengumpulkan data dan bahan hukum, yaitu studi dokumen,

wawancara (interview), pengamatan atau observasi. Adapun teknik pengumpulan data dan bahan hukum yang digunakan adalah :

a. Teknik studi dokumen

Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian

hukum (baik normative maupun empiris), karena penelitian hukum

selalu bertolak dari premis normatif.29

b. Teknik wawancara (interview)

Menurut M. Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode

memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara

melakukan Tanya jawab secara langsung (tatap muka), antara

pewawancara dengan responden. Selain dengan cara tatap muka,

29

(40)

wawancara dapat dilakukan secara tidak langsung dengan telepon

atau surat.30

c. Teknik observasi/pengamatan

Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu teknik

observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung

dimana dalam pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan

secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang

diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang

khusus diadakan.31

1.7.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Penentuan populasi dan sampel tepat sangat penting artinya dalam

suatu penelitian. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek

dengan ciri yang sama.32 Sedangkan sampel adalah bagian dari

populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya.

Maka populasi dalam penelitian ini adalah Kawasan Sempadan Pantai

Seminyak.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka sampel dalam penelitian

adalah pemilik bangunan dan lahan yang berada di Kawasan

30

M. Mochtar, 1998, Pengantar Metodologi Penelitian, Sinar Karya Dharma IIP, Jakarta, h. 78.

31

Ibid.

32

(41)

26

Sempadan Pantai Seminyak dan masyarakat sekitar di Desa Adat

Seminyak, karena sampel-sampel tersebut memenuhi kriteria dan

sifat-sifat yang peneliti tentukan.

1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dilakukan apabila keseluruhan data

yang diperoleh dan sudah terkumpul baik melalui studi dokumen,

wawancara, ataupun dengan observasi kemudian mengolah dan

menganalisis secara deskripsi kualitatif yaitu dengan menghubungkan

antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan

selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Maksudnya data yang

telah rampung tadi dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan

teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir

(42)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENERAPAN HUKUM DAN

PENATAAN RUANG

2.1 Pengertian Penataan Ruang

Pengertian ruang menurut D.A. Tisnaatmadjaja adalah “wujud fisik

wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang merupakan wadah bagi

manusia dalam melaksanakan kegiatan kehidupannya dalam suatu kualitas hidup

yang layak”.33

Sedangkan dalam Keputusan Mentri Pemukiman dan Prasarana

Wilayah No. 327/KOTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang

Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah “wadah yang meliputi

daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia

dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara

kelangsungan hidupnya”.34

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa ruang adalah “wadah yang

meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi

sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain hidup,

melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya”. Dilihat dari

33

D.A Tisnaadmidjaja dalam Asep Warlan Yusuf, 1997, Pranata Pembangunan, Universitas Parahiayang, Bandung, h. 6.

34

Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, 2008, Hukum Tata Ruang (dalam Konsep Otonomi Daerah), Nuansa, Bandung, h. 23.

(43)

28

pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa ruang terbagi dalam beberapa

katagori, yaitu35 :

1. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah

permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat

dari garis laut terendah;

2. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah

permukaan laut dimulai dari sisi laut dari garis laut terendah termasuk

dasar laut dan bagian bumi di bawahnya, dimana negara Indonesia

memiliki hak yurisdiksinya;

3. Ruang Udara adalah ruang yang terletak diatas ruang daratan dan

atauruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi,

dimana negara Indonesia memiliki hak yurisdiksinya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang merupakan wujud struktur ruang

dan pola ruang. Dimana struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat

permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai

pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki

hubungan fungsional. Sedangkan pola ruang merupakan distribusi peruntukan

ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi budi

daya.

35

(44)

Pola pemanfaatan ruang dalam hal ini meliputi pola lokasi, sebaran

permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah

perkotaan dan pedesaan. Dimana tata ruang yang dimaksud adalah tata ruang yang

dirancanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang

yang terbentuk secara alami, seperti sungai, gua, gunung, dan lain-lain.36

Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI

Tahun 1945 yang dimana menyatakan bahwa ruang sebagai wilayah Negara

Kesatuan Negara Republik Indonesia yang harus dilindungi, dan dikelola secara

berkelanjutan oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran

rakyat, maka dari itu kemudian negara menyelenggarakan suatu penataan ruang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007,

yang dimaksud dengan penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan

tata ruang, pemanfaatan tata ruang dan pengendaian pemanfaatan ruang. Hal

tersebut merupakan ruang lingkup penataan ruang sebagai objek Hukum

Administrasi Negara.

Penataan ruang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif,

kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Pengertian kawasan menurut Pasal

1 angka 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang memiliki

fungsi utama lindung dan budi daya. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama

kawasan merupakan komponen dalam penataan ruang, baik yang dilakukan

36

(45)

30

berdasarkan wilayah administratif, kegiatan kawasan, maupun nilai strategis

kawasan.

Dalam rangka akan dilaksanakannya suatu aktivitas pembangunan, harus

memperhatikan fungsi utama dari suatu kawasan, yang terdiri atas :

1. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi

utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencangkup

sumber daya alam dan sumber daya buatan. Melihat fungsi utama dari

kawasan lindung ini, dapat dikatakan bahwa kawasan lindung

merupakan suatu wilayah yang tidak diperuntukan bagi

dilaksanakannya aktivitas pembangunan;

2. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi

utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber

daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Oleh

karena itu, kawasan budi daya merupakan suatu wilayah yang

memang diperuntukan bagi aktivitas pembangunan.

Untuk menciptakan keteraturan dalam penataan ruang diseluruh wilayah

Negara Indonesia, keberadaan fungsi kawasan tersebut perlu dituangkan secara

tegas dalam perencanaan tata ruang baik yang bersifat nasional, daerah provinsi,

maupun daerah kabupaten/kota. Sehingga nantinya, tata ruang dapat digunakan

untuk mengarahkan kegiatan atau usaha tertentu, yakni menempati wilayah sesuai

dengan peruntukannya, disisi lain lokalisasi tersebut diharapkan dapat dengan

(46)

yang dilaksanakannya. Artinya, melalui tata ruanglah berbagi pemanfaatan lahan

sudah diarahkan ke tempat-tempat tertentu, di mana lahan diprediksikan

mempunyai daya dukungyang memadai. Sementara dari aspek pengawasan dan

pengendalian akan memberikan kemudahan bagi aparatur pengawas.37

Berdasarkan uaraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat 3

(tiga) kegiatan penting yang dilaksanakan dalam pentaan ruang, yaitu :

1) Perencanaan Tata Ruang

Sebagai suatu organisasi, pemerintah memiliki tujuan yang hendak dicapai

yang tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya terutama dalam hal kegiatan

yang akan diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan, yakni dituangkan

dalam bentuk rencana-rencana.38 Rencana merupakan alat bagi implementasi, dan

implementasi hendaknya berdasar suatu rencana. Kemudian menurut Ridwan

H.R., rencana merupakan bagian tak terelakan dalam suatu organisasi sebagai

tahap awal untuk pencapaian tujuan.39 Sedangkan menurut A.D. Belifante dan

Boerhanoedin Soetan Batuah, “rencana adalah suatu (keseluruhan peraturan yang

bersangkut paut yang mengusahakan dengan sepenuhnya terwujudnya suatu

keadaan tertentu yang teratur) tindakan yang berhubungan secara menyeluruh,

yang memperjuangkan dapat terselenggaranya suatu keadaan yang teratur secara

37

Ibid., h. 24.

38

Ridwan H.R. I., op.cit., h. 193

39

(47)

32

tertentu”.40

Tanpa adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk melaksanakan

kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka usaha pencapaian tujuan.

Perencanaan adalah suatu bentuk kebijaksanaan, dimana masalah

perencanaan berkaitan erat dengan perihal pengambilan keputusan serta

pelaksanaanya. Selain itu, oleh Philipus M. Hadjon dipaparkan konsep bahwa :

“rencana sebagai hasil kegiatan …. Merupakan keseluruhan tindakan yang

saling berkaitan dari tata usaha negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan tertentu yang tertib (teratur). Maka, …. Hanya rencana-rencana yang berkekuatan hukum yang memiliki arti bagi hukum administrasi, dan suatu rencana menunjukan kebijaksanaan apa yang akan dilakukan oleh

tata usaha negara pada suatu lapangan tertentu”.41

F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, mengemukakan 4 (empat) pendapat

tentang sifat hukum rencana, yaitu42 :

a. Het plan is een beschikking of bundel van beschikkingen; (rencana adalah ketetaan atau kumpulan berbagai ketetapan).

b. Het plan is deels (bundel van) beschikking (en), deels regeling; de kaart met toelichting is de bundel beschikkingen; de gebruiksvoorschriften hebben het karakter van de regeling; (rencana adalah sebagian dari kumpulan ketetapan-ketetapan, sebagian peraturan, peta penjelasan adalah kumpulan keputusan-keputusan; penggunaan peraturan memiliki sifat peraturan).

Philipus M. Hadjon, et.al., 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 156.

42

(48)

Pengertian-pengertian tersebut menunjukan bahwa rencana pemerintah

pada hakekatnya dirumuskan dalam suatu bentuk hukum berupa pengaturan

(regeling) atau keputusan (beschikking) sebagai legitimasi atas rencana yang ditetapkan. Dimana dengan ditetapkannya suatu rencana dalam bentuk hukum

tersebut, maka suatu rencana akan dapat membawa suatu akibat hukum. Rencana

dapat dijumpai pada berbagai bidang kegiatan pemerintahan, termasuk dalam hal

pelaksanaan pembangunan. P. de Han mengklasifikasikan perencanaan dalam 3

(tiga) kategori, yaitu sebagai berikut43:

a. Perencanaan informatif (informatieve planning), yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan masyarakat (samenstel van prognoses omtrent maatschappelijke ontwikkelingen) yang dituangkan dalam alternatif-alternatif kebijakan tertentu. Rencana seperti ini tidak

memiliki akibat hukum bagi warga negara.

b. Perencanaan indikatif (indicatieve planning), yaitu rencana-rencana yang memuat kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan

mengidentifikasikan bahwa kebijakan itu akan dilaksanakan.

Kebijakan ini masih harus diterjemahkan ke dalam

keputusan-keputusan operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini memiliki

akibat hukum yang tidak langsung (indirecte rechtsgevolgen).

c. Perencanaan operasional atau normative (operationele of normatieve planning), yaitu rencana-rencana yang terdiri dari

43

(49)

34

persiapan, perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana

tata ruang, rencana pengembangan perkotaan, rencana pembebasan

tanah, rencana peruntukan (bestemmingsplan), rencana pemberian subsidi, dan lain-lain merupakan contoh-contoh dari rencana

operasional atau normatif. Perencanaan seperti ini memiliki akibat

hukum langsung (directe rechtsgevolgen), baik bagi pemerintah atau administrasi negara maupun warga negara.

Atas dasar klasifikasi perencanaan tersebut, dapat dikatakan bahwa

Rencana Tata Ruang Wilayah (Nasional/Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota)

diklasifikasikan sebagai perencanaan operasional atau normatif, yang

pelaksanaannya memiliki akibat hukum langsung bagi pemerintah sendiri serta

bagi masyarakatnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007, menyatakan yang dimaksud dengan perencanaan tata ruang adalah

suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi

penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang

dimaksudkan untuk menyerasikan berbagai kegiatan sektor pembangunan,

sehingga dalam memanfaatkan lahan dan ruang dapat dilakukan secara optimal,

efisien, dan serasi. Adapun tujuan diadakannya perencanaan tata ruang itu sendiri

adalah untuk mengarahkan struktur dan lokasi beserta hubungan fungsionalnya

yang serasi dan seimbang dalam rangka pemanfaatan sumber daya manusia,

sehingga tercapainya hasil pembangunan yang optimal dan efisien bagi

(50)

Perencanaan tata ruang umumnya dilakukan dengan mempertimbangan

dua hal, yaitu44 :

 Keseimbangan dan keserasian fungsi budi daya dan fungsi lindung,

dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi hankam.

 Aspek-aspek pengelolaan secara terpadu sumber daya manusia,

sumber daya alam, sumber daya buatan, fungsi dan estetika

lingkungan serta kualitas tata ruang.

Perencanaan tata ruang berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007 dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang

dan rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang merupakan penjabaran

rencana umum tata ruang yang dapat berupa rencana kawasan strategis yang

penetapan kawasannya tercangkup di dalam rencana tata ruang wilayah, serta

merupakan operasionalisasi rencana umum tata ruang yang dalam pelaksanaannya

tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat

disempurnakan dengan tetep mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana

rinci dan peraturan zonasi.

Rencana umum tata ruang di Indonesia dibedakan menurut wilayah

administrasi pemerintahannya. Secara hierarki, terdapat tiga pembagian wilayah,

yaitu :

 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

44

(51)

36

 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dan Rencana Tata Ruang

Wilayah Kota. (secara administrasi pemerintah, rencana tata ruang

wialayah kabupaten/kota ini memiliki kedudukan yang setara).

Atas dasar penetapan wilayah rencana umum tata ruang tersebut, menurut

ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, penetapan

rencana rinci tata ruang terdiri atas, rencana tata ruang pulau/kepulauan dan

rencana tata ruang kawasan strategis nasional; rencana tata ruang kawasan

strategis provinsi; serta rencana detail tata ruang kabupaten/kota dan rencana tata

ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 26

Tahun 2007, suatu rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat ditinjau

kembali. Adapun peninjauan kembali rencana tata ruang tersebut dapat

menghasilkan rekomendasi berupa, rencana tata ruang yang ada dapat tetap

beraku sesuai dengan masa berlakunya dan rencana tata ruang yang perlu direvisi,

dimana suatu revisi rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan teta

menghormati hak yang dimiliki oleh orang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2) Pemanfaatan Ruang

Pengertian pemanfaatan ruang dalam ketentuan Pasal 1 angka 14

(52)

ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan

program serta pembiayaanny. Sesuai dengan ketentuan Pasal 32 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007, pelaksanaan program pemanfaatan ruang merupakan

aktifitas pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun

masyarakat untuk mewujudkan rencana tata ruang.

Program pemanfaatan ruang tersebut dapat dilaksanakan dengan

pemanfaatan ruang secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi,

yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan ruang dalam menampung

kegiatan secara lebih intensif. Contoh pemanfaatan ruang secara vertikal misalnya

berupa bangunan bertingkat, baik di atas tanah maupun di dalam bumi. Sementara

itu pemanfaatan ruang lainnya di dalam bumi antara lain untuk jaringan utilitas

dan jaringan kereta api maupun jalam bawah tanah. Pemanfaatan ruang juga

berkaitan dengan penatagunaan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya.

Dalam hal ini, program pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh seluruh pemangku

kepentingan yang terkait.

Berbagai dinamika dapat terjadi di masyarakat sejalan dengan adanya

pemanfaatan ruang. Adapun pemanfaatan ruang tersebut tercermin di dalam

beberapa hal, antara lain45 :

 Perubahan nilai-nilai sosial akibat rencana tata ruang;

 Perubahan nilai tanah dan sumber daya alam lainnya;

 Perubahan status hukum tanah akibat rencana tata ruang;

45

(53)

38

 Dampak terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan;

 Perkembangan dan kemampuan teknologi.

3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Adanya Pengendalian Pemanfaatan Ruang adalah jika adanya

ketidaksesuaian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah

sebagai usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang

yang ditetapkan rencana tata ruang. Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2007, yang dimaksud dengan pengendalian pemanfaatan ruang

adalah upaya untuk mewujdkan tertib tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang

dilakukan melalui penetapan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif,

serta pengenaan sanksi. Pengendalian pemnafaatan ruang ini dimaksudkan agar

pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.

1.2 Pengaturan dan Penegakan Hukum dalam Penataan Ruang

a. Pengaturan Penataan Ruang

Indonesia sebagai negara hukum, wewenang pemerintah berasal dari

peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah

peraturan perundang-undangan. Begitu pula halnya dalam penyelenggaraan

penataan ruang di wilayah Indonesia, terdapat beberapa peraturan

(54)

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan mengenai jenis-jenis

hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan pasal tersebut,

kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan suatu peraturan

perundang-undangan, yaitu bahwa terdapat beberapa tingkatan aturan hukum yang nantinya

harus dijadikan dasar hukum dalam pembuatan suatu aturan hukum yang baru.

Adapun tingkatan aturan hukum tersebut meliputi :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d) Peraturan Pemerintah;

e) Peraturan Presiden;

f) Peraturan Daerah Provinsi; dan

g) Peraturan Daerah Kabupaten /Kota.

Urutan dari atas ke bawah tersebut menunjukan kedudukan aturan hukum

dari yang paling tinggi sampi yang paling rendah dalam tata urutan peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Mengingat bahwa UUD NRI Tahun 1945

merupakan konstitusi dari Negara Indonesia, maka setiap bentuk aturan hukum

yang dibuat harus berdasarkan UUD, dan dalam segalaoersoalan ketatanegaraan

Referensi

Dokumen terkait

Konsep reliabilitas (reliability, maintainability, availability), Distribusi waktu kegagalan (Failure distribution): fungsi reliability, Mean Time to Failure (MTTF), hazard

PEDOMAN PENILAIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN DAN PERDESAAN SWADAYA BERPRESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,c. Menimbang

karakteristik yang dapat diramalkan, f.)terdapat perbedaan individu dalam perkembangan, g) setiap tahap perkembangan memiliki bahaya yang potensial. Faktor-faktor yang

Tujuan dari penyusunan Laporan Akhir ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Diploma III pada Jurusan Manajemen Informatika Politeknik Negeri

Sibolga) sedang melakukan razia Rutin dikamar Angrek 3 Blok B kemudian melakukan pemeriksaan dan penggeledahan badan atau pakaian pada penghuni kamar Angrek 3 blok

Dana al okasi umum, sel anj ut nya disingkat DAU adal ah dana yang bersumber dari pendapat an APBN yang dial okasikan dengan t uj uan pemerat aan kemampuan keuangan ant ardaerah

ditangani oleh tenaga yang terl.itih, peralatan yang baik daD obat-obat yang tersedia, karena kalau tidak, penderita ~gera mengalami asfiksi. Seka!i penderita d.inyatakan

Respons berduka ibu yaitu menyalahkan diri sendiri, suami dan Tuhan, merasakan kehadiran orang yang meninggal, merasa rindu bahkan berbicara dengan orang yang