1 PENEGAKAN HUKUM ATAS DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP WARTAWAN DALAM MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK PADA
TINGKAT PENYIDIKAN (Studi Polres Kota Padang)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh :
FERNANDO WIRAWAN 0910113500
Program Kekhususan : Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2014
3 PENEGAKAN HUKUM ATAS DELIK PENGANIAYAAN TERHADAP WARTAWAN DALAM MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK PADA
TINGKAT PENYIDIKAN (Studi Polres Kota Padang)
(Fernando Wirawan, 0910113500, Fakultas Hukum Universitas Andalas,, 53 halaman, 2014)
ABSTRAK
8 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan mendapatkan informasi
merupakan salah satu tonggak penting sebuah sistem demokrasi di Indonesia. Dimana
hak publik untuk mendapatkan informasi merupakan hak asasi manusia yang sangat
hakiki dan dijamin oleh konstitusi. Salah satu sarana untuk memperoleh informasi
adalah dari pers. Jaminan terhadap kemerdekaan pers yang merupakan salah satu
wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis adalah juga
jaminan terhadap kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.1
Pers sebagai subsistem komunikasi mempunyai posisi yang khusus dalam
masyarakat Indonesia. Ia menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan
masyarakat atau antar masyarakat sendiri. Itu sebabnya pers mempunyai fungsi yang
melekat pada dirinya yakni sebagai pemberi informasi, alat pendidikan, sarana
kontrol sosial, sarana hiburan maupun sarana perjuangan bangsa. Sebagai sarana
perjuangan bangsa, terlihat sejak masa pra-kemerdekaan, yang antara lain tugasnya
ialah mendorong lahirnya kesadaran nasional.2
Pengaturan dasar terhadap pers di Indonesia sudah berlangsung cukup lama,
pertama kali diatur melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1963 tentang pembinaan Pers. Kemudian MPRS menerbitkan Ketetapan MPRS
1
Hamid Syamsudin, Hukum Pers di Indonesia, Jakarta :Rineka Cipta, 2010,hlm 10.
2
9
Nomor XXXII/MPRS/1966 Tentang Pembinaan Pers. Pada tahun 1996 Presiden
Soekarno mensahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan
Pokok-Pokok Pers, kemudian selanjutnya diperbaharui oleh Presiden Soeharto
melalui Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok
Pers. Sampai pada akhirnya pada tanggal 23 september 1999, Presiden Bacharuddin
Jusuf Habibie Mensahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers,
yang dianggap sebagai penanda kemerdekaan pers di Indonesia.3
Sejak Indonesia memiliki Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers,
penampilan pers Indonesia makin mengesankan. Setiap media pers bebas menyiarkan
informasi sesuai dengan moto dan nilai-nilai yang dimiliki. Setiap media pers
berlomba-lomba menggali fakta yang tersembunyi dan menyampaikannya kepada
khalayak.4Kebebasan pers yang ditujukan untuk kepentingan publik, menyebabkan
pers juga perlu memiliki landasan moral dan patuh pada etika profesi yang tertuang
dalam kode etik jurnalistik sebagai pedoman operasional dalam menjalankan
tugasnya untuk mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyiarkan informasi secara
luas.
Namun jaminan dibalik pamor yang kian meninggi, kemerdekaan secara legal
formal nampak belum cukup menjamin perangkat pers lepas dari segala bentuk
tindak kekerasan fisik maupun non fisik dan juga berbagai tuntutan hukum, baik
pidana ataupun perdata, dari individu atau kelompok masyarakat yang merasa
dirugikan dengan adanya pemberitaan pers. Hal yang bisa dikategorikan sebagai
kekerasan fisik adalah pembunuhan, serangan berbentuk penganiayaan, atau
3
Hendra Makmur, Rony Saputra, Andhika D Khagen, Melawan Ancaman Kekerasan, Padang : LBH Pers Padang, 2013, hlm.65
4
10
pengroyokan, penculikan serta perusakan alat-alat kerja jurnalis. Sedangkan yang
dikategorikan sebagai kekerasan non fisik diantaranya pengusiran/ larangan meliput,
kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman kekerasan.
Menurut catatan Dewan Pers dan Aliansi Jurnal Independen (AJI), kasus
kekersan baik fisik maupun non fisik yang menimpa wartawan jumlahnya meningkat
dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu tahun 2006 sampai tahun 2013 tercata
terjadi 148 kasus kekerasan fisik, sedangkan kasus kekerasan non fisik sejumlah 67
kasus. Bahkan terkadang kasus wartawan korban kekerasan fisik maupun non fisik
yang menimpa wartawan di Indonesia selesai dengan perdamaian yang dimediasi
Dewan Pers. Namun tentunya perdamaian itu seharusnya tidak serta merta
menghentikan proses pidana yang tengah berlangsung.5
Seperti kasus yang menimpa Andri Syaputra, wartawan Padang TV yang
melakukan peliputan bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat merazia
kawasan Muaro Padang. Pada saat melakukan peliputan tersebut terjadi tindak
penganiayaan yang dilakukan salah seorang pria paruh baya. Pria tersebut
mengeluarkan benda mirip senjata senjata api dan mengarahkannya kepada para
wartawan dan Satpol PP. Kemudian pria tersebut mendekati salah seorang wartawan
dan terjadi kontak fisik. Merasa terancam para wartawan dan Satpol PP langsung
mengamankan diri dengan menundukan badan. Setelah itu tepatnya tanggal 14
Februari tahun 2013 Andri didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH
Pers) Kota Padang melaporkan kejadian tersebut ke SPKT Polda Sumatera Barat.
5
11
Pada saat melapor Andri (saksi pelapor) tidak langsung dibuat Berita Acara
Pemeriksaan dengan alasan SPKT harus menaikkan laporan ke Reskrim ke Polda
Sumbar selaku penyelidik dan penyidik kasus. Setelah beberapa hari Andri tidak juga
dipanggil untuk dilakukan pemberkasan. Barulah pada tanggal 20 Februari tahun
2013 penyidik Reserse Kriminal (Reskrim) Polresta Kota Padang melakukan
pemanggilan saksi pelapor dan saksi-saksi. Setelah mendapat keterangan dari saksi
pelapor dan saksi-saksi yang ada, penyidik berhasil menangkap tersangka atas nama
Jhon Kenedi yang merupakan warga sipil dan melakukan penahanan.
Namun dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak
pidana penganiayaan terhadap wartawan, penyidik tidak menerapkan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya mengenai sanksi pidana bagi
siapa saja yang menghalangi wartawan dalam melakukan peliputan dalam rangka
melakukan tugas jurnalistik.
Padahal pada Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, secara jelas menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan
hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (Lima
Ratus Juta Rupiah).
Wartawan sebagai korban masih dianggap sebelah mata oleh berbagai
kalangan. Banyak yang menuding bahwa wartawan yang mengalami tindakan
kekerasan baik fisik maupun non fisik wajar apabila dilihat dari pekerjaannya yang
dilakukannya. Padahal dalam hal ini wartawan yang mendapat perlakuan kekerasan
12
mendapat perlindungan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah
jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam
melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.6
Jika memang negara Indonesia adalah benar-benar negara hukum (rechtstaat)
yang mengagungkan dan mengedepankan nilai equality before the law, semua orang
sama dihadapan hukum seharusnya perkara-perkara pidana khususnya perkara yang
menyangkut kekerasan yang menimpa wartawan khususnya mengenai tindak pidana
penganiayaan, dapat diselesaikan secara hukum melalui proses penegakan hukum.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis
melakukan pengkajian tentang pelaksanaan penyidikan oleh aparat kepolisian
terhadap wartawan sebagai korban penganiayaan pada saat melakukan kegiatan
jurnalistik. Agar lebih jelasnya dan tampak kongkrit atas penulisan ini, penulis
mengangkat judul yaitu PENEGAKAN HUKUM ATAS DELIK
PENGANIAYAAN TERHADAP WARTAWAN DALAM MENJALANKAN TUGAS JURNALISTIK PADA TINGKAT PENYIDIKAN. (Studi Polres Kota Padang)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis membatasi
lingkup permasalahan sebagai beikut :
1. Bagaimana penegakan hukum atas delik penganiayaan terhadap wartawan
6
13
dalam menjalankan tugas jurnalistik pada tingkat penyidikan?
2. Apa kendala yang ditemui dalam proses penegakan hukum atas delik
penganiayaan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik pada
tingkat penyidikan?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan.
Maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui penegakan hukum atas delik penganiayaan terhadap
wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik pada tingkat penyidikan.
2. Untuk mengetahui kendala yang ditemui dalam penegakan hukum atas delik
penganiayaan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik pada
tingkat penyidikan.
D. Manfaat Penelitian
Dari penulisan ini, penulis berharap agar hasil dari penulisan ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi penulis sendiri, menambah pengetahuan dan wawasan penulis
dalam penyusunan karya ilmiah, yang merupakan sarana untuk
memaparkan dan memantapkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya
diperoleh dibangku perkuliahan, terutama memantapkan pengetahuan