vi
ABSTRAK
Laporan Tugas Akhir ini membahas tentang perancangan Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis di Bandung yang didesain dengan konsep improvement of harmony. Konsep improvement of harmony, diambil berdasarkan penyesuaian dengan paradigma yang kerap kali muncul di tengah masyarakat mengenai anak autis sebagai kelompok masyarakat yang berkekurangan. Dalam perancangan Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis di Bandung ini, tersedia fasilitas-fasilitas terapi dan juga fasilitas pengembangan diri dalam bidang musik, lukis, dan juga tari. Perancangan Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis di Bandung ini dibuat untuk menjadi sebuah wadah yang dapat menampung semua kebutuhan anak autis dan merubah paradigma masyarakat mengenai kekurangan yang dimiliki oleh anak autis. Perancangan Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis di Bandung ini menampilkan suasana playful khas anak-anak yang disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan anak autis.
Aspek kenyamanan dapat terpenuhi dari berbagai macam segi, yaitu material, bentuk, warna, ergonomi, penghawaan, pencahayaan, sirkulasi dan akustik. Aspek-aspek tersebut dipenuhi dengan menerapkan konsep improvement of harmony yang digunakan sebagai acuan perancangan Perancangan Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis di Bandung ini, khususnya pemilihan warna, bentuk, material dan pencahayaan. Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis di Bandung ini diharapkan dapat menjadi suatu rancangan yang dapat merubah pola pikiran masyarakat mengenai anak autis sebagai orang yang memiliki kemampuan yang berbeda (different ability) bukan orang cacat.
vii ABSTRACT
This final project report discusses about the Self Development and Therapy Center for Autistic Children in Bandung, designed with the concept of improvement of harmony. The concept improvement of harmony, is taken based on the adjustment with the paradigm that often pops up in the middle of the public about an autistic child as groups of people who are in need. In the Design of Self Development and Therapy for Autistic Children in Bandung, besides the facilities and the therapies there’s also a self development center in the field of music, painting, and dance. This Self Development and Therapy Center for Autistic Children in Bandung facility was created to be a vessel that can accommodate all the needs of autistic children and to change the paradigm of society regarding the disability of which is owned by an autistic child. This Self Development and Therapy Center in Bandung, has a playful concept atmosphere typical of children which have been adjusted with functions and needs of the autistic child.
Aspects of convenience can be fulfilled from a wide range of establishments, i.e., material, shape, color, cooling, ergonomics, lighting, ventilating and acoustics. These aspects are met by applying the concept of improvement of harmony that is used as a reference design of the Self Development and Therapy Center for Autistic Children in Bandung, in particular color selection, shape, material and lighting. Self Development and Therapy Center for Autistic Children in Bandung is expected to be a draft that could change the minds of the public about the pattern of autistic children as difable (different ability) person, rather than disable person.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...ii
PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN TUGAS AKHIR...iii
PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN TUGAS AKHIR...iv
KATA PENGANTAR...v
2.2 Standar Internasional Gejala Anak Autis...13
2.3 Gejala Anak Autis...14
2.3.1 Inatensivitas...14
2.3.2Impulsivitas atau tidak sabaran (Impulsif motorik dan verbal/kognitif)...15
2.3.3 Hiperaktivitas / tidak bisa diam...15
ix
2.5 Opsi-Opsi Edukasional...19
2.5.1 Kelas Khusus di Sekolah Umum...30
2.5.2 Sekolah Khusus untuk Anak Autisme...31
2.5.3 Homeschooling...31
2.5.4 Bimbingan dan Konseling...32
2.5.5 Kelas Terpadu sebagai Kelas Transisi...33
2.6 Jenis-jenis Terapi untuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)/Autisme ...33
2.6.1 Terapi Perilaku/ABA (Applied Behavioral Analysis)...33
2.6.2 Terapi Wicara...35
2.6.3 Terapi Okupasi...36
2.6.4 Terapi Fisik...36
2.6.5 Terapi Sosial...36
2.6.6 Terapi Bermain...36
2.6.7 Terapi Perkembangan...37
2.6.8 Terapi Visual...37
2.6.9 Terapi Biomedik...37
2.6.10 Terapi Musik...38
2.7 Kriteria Ruang Berdasarkan Karakter Anak Autis...40
2.7.1 Konsep Bentuk...46
2.7.2 Konsep Warna...49
2.7.3 Konsep Bahan/Material...50
2.7.4 Konsep Pencahayaan, Penghawaan...51
2.8 Antopometri Anak...54
2.8.1 Lebar Telapak Tangan Anak...55
2.8.2 Panjang Telapak Tangan Anak...55
x
2.8.4 Lebar Telapak Kaki Anak...57
2.8.5 Panjang Telapak Kaki Anak...57
2.8.6 Tinggi Anak...59
2.8.7 Garis Mata Anak...59
2.8.8 Jangkauan Genggaman Vertikal Anak...60
2.8.9 Lebar Bahu Anak...60
2.8.10 Rentang Lengan Anak...61
2.8.11 Tinggi Garis Mata Saat Duduk...62
2.8.12 Tinggi Selangkangan Anak...62
2.8.13 Tinggi Handrail...63
2.8.14 Tingi Handle Pintu...64
2.8.15 Standar Kamar Mandi Anak...64
2.9 Kebutuhan Ruang...67
2.10 Kriteria Ruang...68
BAB III DESKRIPSI OBJEK STUDI...71
3.1 Deskripsi Proyek...71
3.2 Tinjauan Lokasi...72
3.3 Identifikasi User...74
3.4 Ide Implementasi Konsep Terhadap Objek Studi...76
BAB IV KONSEP PERANCANGAN...83
4.1 Penerapan Konsep Perancangan...83
4.1.1 Konsep dan Tema Perancangan...83
4.2 Perancangan...85
4.2.1 General Layout...85
4.2.2 Perancangan Area Khusus...90
xi
5.1 SIMPULAN...97
5.2 SARAN...98
DAFTAR PUSTAKA...xvi
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Grafik Pertumbuhan Jumlah Anak Autis di Dunia...13
Gambar 2.2 Diagram Lebar Telapak Tangan Rata-rata Anak Usia 0-18
Gambar 2.8 Diagram Tinggi Rata-rata Anak Usia 0-18 Tahun...59
Gambar 2.9 Diagram Tinggi Garis Mata Rata-rata Anak Usia 0-18 Tahun...59
Gambar 2.10 Diagram Jangkauan Genggaman Vertikal Anak Usia 0-18 Tahun...60
Gambar 2.11 Diagram Lebar Bahu Rata-rata Anak Usia 0-18 Tahun...60
Gambar 2.12 Diagram Rentang Lengan Rata-rata Anak Usia 0-18 Tahun...61
Gambar 2.13 Diagram Tinggi Garis Mata Saat Duduk Rata-rata Anak Usia 0-18 Tahun...62
Gambar 2.14 Diagram Tinggi Alat Kelamin Rata-rata Anak Usia 0-18 Tahun...62
Gambar 2.15 Standar Tinggi Handrail Tangga untuk Anak-anak...63
Gambar 2.16 Standar Tinggi Handle Pintu untuk Anak-anak...64
Gambar 2.17 Diagram Standar Tinggi dan Kedalaman Sink Anak-anak...65
Gambar 2.18 Diagram Standar Tinggi Cermin untuk Anak-anak...65
Gambar 2.19 Standar Panjang, Lebar, dan Tinggi Closet dan Urinoir untuk Anak-anak...66
xiii
Gambar 3.1 Tampak Depan Melinda Hospital...71
Gambar 3.2 Studi Image...79
Gambar 3.3 Studi Image...79
Gambar 3.4 Studi Image...80
Gambar 3.5 Studi Image...81
Gambar 3.6 Studi Image...82
Gambar 4.1 Icon...84
Gambar 4.1 Layout Lantai Dasar...85
Gambar 4.2 Layout Lantai Satu...86
Gambar 4.3 Layout Lantai Dua...87
Gambar 4.3 Layout Lantai Tiga...87
Gambar 4.4 Layout Lantai Empat...88
Gambar 4.5 Zoning Lantai Dasar...89
Gambar 4.6 Zoning Lantai Dasar...89
Gambar 4.7 Potongan Khusus...90
Gambar 4.8 Perspektif Lobby...90
Gambar 4.9 Perspektif Detail Furniture...91
Gambar 4.10 Dinding Ipad...91
Gambar 4.11 Denah Khusus...92
Gambar 4.12 Perspektif Dancing Area...93
Gambar 4.13 Perspektif Waiting Area...93
Gambar 4.14 Perspektif Detail Meja...93
Gambar 4.14 Denah Khusus Area Terapi B dan C...94
Gambar 4.15 Perspektif detail dinding...95
Gambar 4.16 Perspektif Area Terapi B...95
Gambar 4.17 Perspektif Detail Furni...96
xiv
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR DIAGRAM
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Semua orangtua menginginkan anaknya sehat, mampu bersekolah, berteman dan
akhirnya terjun pada masyarakat saat mereka sudah cukup dewasa. Namun bagi
orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (autisme), bukanlah hal yang
mudah bagi mereka untuk mendidik anak mereka seperti anak-anak normal
lainnya. Meskipun memang terkadang anak dengan gejala autis sering kali di
sertai dengan cacat fisik, kebutuhan seorang anak autis tidak dapat disamakan
dengan anak-anak penyandang cacat di SLB (Sekolah Luar Biasa) pada
umumnya. Terlebih jika disamakan dengan anak normal yang tidak mengalami
kecacatan fisik dan mental (dalam hal ini autisme) di sekolah umum.
Angka pertumbuhan anak autis dunia dalam dekade terakhir sungguh
mengkwatirkan, pada awal tahun 2000 prevalensi penyandang autis masih 1 :
2.500 (Tanguay, 2005). Lima tahun kemudian pertumbuhan meningkat 400%
menjadi 1 : 625 (Mash & Wolfe, 2005). Th 2006, data statistik Amerika Serikat
menyatakan perbandingan penderita autis 1 : 166, artinya pertumbuhan anak autis
telah meningkat 307% di banding tahun sebelumnya. Pada tahun 2007, Autism
Research Institute mengemukakan perbandingan anak autis dengan anak normal
adalah 1 : 150 dan dua tahun kemudian pada tahun 2009 Autism Speak,
2 diantaranya adalah penyandang autism sehingga jumlah total anak penyandang
autism dunia saat ini adalah 67 juta jiwa.
Di Indonesia sendiri sampai saat ini belum ada survey mengenai jumlah akurat
anak penyandang autis, namun dari beberapa laporan para professional yang
bergerak dalam penanganan anak autis diketahui pada lima tahun terakhir jumlah
angka pertumbuhan anak penyandang autis juga meningkat pesat. Pada tahun
2000, Dr. Melly Budhiman menyatakan perbandingan anak autis adalah 1:500,(
Kompas: 2000). Empat tahun kemudian Menteri Kesehatan saat itu, Ibu Siti
Fadhilah Supari menyatakan jumlah anak penyandang autis adalah; 475 ribu, pada
2006 (Dr Widodo Judarwanto SpA.09/2006) menyatakan perbandingan anak autis
adalah 1:150 atau meningkat 300% dibanding tahun 2000. Jika mengikuti
prevalensi dunia yakni 1:100, secara agregrat, jika mengacu dari total jumlah anak
usia 0-12 th di Indonesia yang saat ini berjumlah 52 juta (Diknas, 2009),maka
jumlah anak penyandang autis di Indonesia saat ini adalah 532.000 ribu. Jika
diprosentasi tingkat pertumbuhan dalam satu dekade terakhir maka di tiap tahun
Indonesia kebanjiran 53.200 anak penyandang autis baru, atau sekitar 147 anak
perhari.
Meski belum ada angka pasti berapa sebenarnya jumlah anak autisme di
Indonesia, namun pemerintah merilis data jumlah anak penyandang autisme
berada di kisaran 112 ribu jiwa. Angka tersebut diasumsikan dengan prevalensi
autisme pada anak yang ada di Hongkong, yaitu 1,68 per 1000 untuk anak di
bawah 15 tahun. Pemerintah menghitung dengan asumsi prevalensi autisme yang
ada di Hongkong, dimana jumlah anak usia 5-19 tahun di Indonesia mencapai
66.000.805 menurut data Badan Penelitian Statistik (BPS) 2010.
"Saat ini memang belum ada penelitian khusus yang bisa menyajikan data autisme
pada anak di Indonesia," jelas Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK)
Kemenkes Prof. Dr. Dr. Akmal Taher, dalam pembukaan seminar sehari
3 Data UNESCO pada 2011 mencatat, sekitar 35 juta orang penyandang autisme di
dunia. Itu berarti rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia mengidap autisme. Begitu
juga dengan penelitian Center for Disease Control (CDC) Amerika Serikat pada
2008, menyatakan bahwa perbandingan autisme pada anak usia 8 tahun yang
terdiagnosa dengan autisme adalah 1:80.
Direktur Bina Kesehatan Jiwa dr. Diah Setia Utami, Sp.KJ, MARS
mengungngkapkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah belum maksimal,
mengingat luasnya wilayah Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi. Menurutnya,
pihaknya sudah melaksanakan berbagai langkah dan strategi pelayanan kesehatan
kejiwaan sudah sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang ditetapkan. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007
mencatat, pelayanan jiwa di fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas sudah
mencapai 61 persen.
"Tapi memang, belum semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan yang cukup
untuk menangani pasien dari sisi suport psikologi. Kami sudah mencoba
memberikan pelatihan, tapi memang tidak semua tenaga kesehatan tertarik untuk
mempelajari soal psikologi semacam ini," paparnya panjang lebar. Ditambah lagi,
jumlah dokter spesialis kejiwaan (psikiater) masih sangat terbatas. Di Indonesia,
baru ada sekitar 700-800 psikiater. Dan sebagian besar masih berpusat di
kota-kota besar. (Sumber :
http://www.jpnn.com/read/2013/04/12/167064/Penderita-Autisme-di-Indonesia-Terus-Meningkat-#, diakses pada 26 November 2013,
pukul 19:47)
Melihat statistik jumlah anak autis di dunia serta di Indonesia ini, maka dapat kita
simpulkan bahwa dewasa ini autisme bukanlah sesuatu yang tidak lazim di dengar
oleh masyarakat umum. Namun dapat dilihat bahwa saat ini di Indonesia,
pertumbuhan jumlah fasilitas serta informasi mengenai anak autis tidak
berbanding lurus dengan jumlah anak autis yang kian bertambah. Jumlah sekolah
serta pusat terapi dan informasi untuk membantu para penderita autis serta orang
tuanya sangat minim dan tidak memadai. Berikut adalah kendala lain dilapangan
4 • Kurangnya Pemahaman Orang Tua Mengenai Spektrum Autisme.
Memiliki anak adalah sebuah anugerah, namun jika ternyata anak yang diharapkannya mengalami gangguan tertentu seperti autisme ini adalah masalah, banyak dari orang tua yang sekuat tenaga mencari bantuan profesional; Dokter Anak, Psikiatri, Psikolog dan Terapis untuk membantu masalah perkembangan anaknya, namun tidak sedikit juga orang tua yang malah merasa malu dengan gangguan yang diderita anaknya, dan malah menjauhkan anaknya dari lingkungan sosial di sekitarnya. Hal ini menjadi sebuah bencana bagi sang anak, dimana penanganan dini untuk anak autis merupakan langkah awal untuk mengoptimalkan potensi anak dan melatih kemampuan anak dalam berkomunikasi dengan teman sebayanya dan orang lain. Oleh karena itu mencegah atau mengucilkan anak autis dari dunia sosial merupakan sebuah langkah yang salah.
• Ketiadaan Sumber Daya
Tingginya angka pertumbuhan anak penyandang autis yang tidak diimbangi dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (Dokter Anak, Psikiater, Psikolog, terapis, Guru Pendamping Khusus/GPK). Minimnya sumber daya professional dikarenakan terbatasnya Universitaas yang menyelenggarakan peminatan pada gelar profesi tersebut dan untuk memperoleh gelar tersebut membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena ketersediaan SDM yang terbatas tidak mampu mengimbangi pertumbuhan jumlah anak autis yang semakin banyak, akibatnya biaya penanganan anak autis pun melambung tinggi.
• Pandangan Miring Masyarakat
Banyaknya anggota masyarakat yang menganggap anak-anak
berkebutuhan khusus tidak layak untuk masuk dalam ruang publik. Banyak dari anggota masyarakat yang memiliki pandangan sinis terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dan dilanjutkan dengan sikap dan tindakan yang secara langsung maupun tidak langsung mengeliminasi/mengucilkan anak berkebutuhan khusus dari kehidupan sosial pada umumnya.
5 berkebutuhan khusus dapat menulari anaknya. Padahal autisme bukanlah penyakit apalagi penyakit yang menular autisme hanya gangguan perkembangan yang jika ditangani sejak dini akan lebih baik. Perlu sosialisassi yang ektsensif dan kontinyu baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam mengkampanyekan penyadaran dan penanganan autisme sejak dini.
• Terbatasnya Jumlah Fasilitas Pendidikan maupun Terapi
Pendidikan untuk anak penyandang autis baik sekolah, kursus maupun pusat terapi yang menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak autis jumlahnya sangat terbatas. Adanya pendidikan murah dan gratis untuk anak autis di tingkat SD-SMP juga tidak sepenuhnya bisa menampung mereka, karena tidak semua anak autis memiliki kapasitas untuk siap bersekolah disekolah umum. Selain itu fasilitas pada sekolah sejenis (sekolah gratis) tidak dapat memberikan fasilitas terbaik maupun terlengkap. Dan tentu saja akan lebih baik apabila mereka turut menjalankan terapi-terapi yang dapat membantu tumbuh kembang pribadi si anak dan melatih potensi anak tersebut.
Menteri Pendidikan telah memberikan himbauan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi (anak autis bersekolah di sekolah umum) di seluruh Sekolah Negeri tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun di Indonesia realisasinya masih sulit untuk dilakukan, karena himbauan tersebut tidak disertai program yang
mendukung. Penyelenggaraan pendidikan inklusi hanya efektif
dilaksanakan di kota-kota besar, karena untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi diperlukan supervisi, program dan sumber daya dan sumber dana yang memadai dan pada kenyataanmua tidak semua lembaga pendidikan regular setingkat SD-SMP mampu memenuhinya.
6 menyembunyikan keberadaan anaknya daripada mencari bantuan dari yang lebih berpengalaman. Hal ini membuat penanganan terhadap anak autis menjadi tidak maksimal. Padahal anak penderita autis dapat di didik untuk dapat hidup mandiri apabila ditangani secara benar dan sejak dini.
Menurut Gayatri, suksesnya penanganan anak autis sangat bergantung dari tiga pilar utama penanganan autisme, yaitu diagnosa tepat, pendidikan tepat dan dukungan kuat. "Jangan terpaku pada baca tulis atau akademik, yang terpenting untuk anak autis adalah bisa mandiri," jelas Gayatri Pamoedji, SE, MHc, Ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI).
"Jangan melulu pikirkan akademis tapi tentukan bakat anak. Jika anak sudah bisa mandiri dan dilatih bakatnya, maka kemungkinan bakat itu bisa menjadi peluang buat dia untuk mencari nafkah," jelas Gayatri yang juga merupakan ibu dari anak autis. Gayatri menekankan bahwa kunci utama untuk terapi autisme adalah membuat anak mampu berkomunikasi. Anak autis perlu menjalani tiga terapi dasar autisme sebelum menjalani berbagai opsi terapi lain, seperti terapi dengan menggunakan lumba-lumba. Selain itu orangtua juga harus melakukan gerak cepat saat mereka telah menyadari adanya kejanggalan dengan anak mereka.
Anak autis memiliki perkembangan otak yang sama dengan anak normal. Otak berkembang cepat pada usia dibawah 5 tahun dan usia paling ideal untuk intervensi secara dini adalah saat anak menginjak 2-3 tahun karena pada momen ini, otak anak mengalami perkembangan paling cepat. Pelaksanaan terapi ini paling efektif dilakukan sebelum anak menginjak usia 5 tahun, sebab setelah anak menginjak usia 5-7 tahun perkembangan otak melambat menjadi 25%. Namun meski perkembangan anak penderita autis tidak secepat anak normal, kita harus memberi kesempatan kepada anak agar dapat berkembang seperti anak normal lainnya.
7 Pengembangan Diri dan Terapi ini menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pendidikan, kegiatan terapi, hingga pengembangan diri untuk anak autis. Pusat pengembangan diri ini bertujuan untuk mengubah kualitas hidup anak autis dan orang tuanya serta memberikan pandangan baru kepada masyarakat mengenai anak autis. Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk Anak Autis ini diharapkan dapat member gambaran mengenai anak autis sebagai difable person, bukan disable person.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan maka permasalahan yang akan diangkat dalam perancangan Pusat Pengembangan Diri dan Terapi Anak Autis di Bandung adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana merancang sebuah Pusat Pengembangan Diri dan Terapi untuk
Anak Autis yang sesuai dengan konsep improvement of harmony?
1.3 Ide / Gagasan Perancangan
Ide dasar dari perancangan ini adalah menciptakan desain pusat pengembangan
diri dan terapi yang ditujukan untuk anak autis yang berusia 0-5 tahun. Hal ini
dimaksudkan agar penanganan terhadap anak autis dapat dilakukan sedini
mungkin dan disaat otak anak sedang mengalami perkembangan paling cepat.
Pusat terapi ini bertujuan untuk mempersiapkan anak autis agar dapat siap untuk
terjun ke masyarakat umum nantinya, dengan harapan dapat membekali anak autis
dengan kemampuan untuk berkomunikasi dan mengembangkan potensi yang
dimiliki si anak. Tujuan lainnya adalah membuat anak autis tidak kalah dengan
teman-temannya yang normal, dan membantu para orangtua agar dapat menjadi
orangtua yang siaga akan kebutuhan anak autis.
Pusat terapi ini bertujuan untuk mendukung kebutuhan anak autis dalam hal
pengembangan diri dan terapi. Pusat terapi ini memiliki beberapa fasilitas,
diantaranya yakni: ruang seminar untuk para orang tua anak autis maupun
masyarakat umum yang ingin tahu mengenai autisme, ruang terapi,
ruang-ruang pengembangan diri, dan juga ruang-ruang konseling. Pusat terapi ini diharapkan
8 dan anak autis bekerja sama dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan
mempersiapkan anak autis untuk terjun langsung ke masyarakat nantinya.
Perancangan pusat terapi dan pengembangan diri ini lebih bersifat edukasional,
informatif, menyenangkan dan juga aman untuk anak autis. Aspek keamanan
diterapkan tidak hanya untuk ruangan namun juga pada konsep furniture
mengingat bagaimana anak autis memiliki kekurangan dalam hal kepekaan akan
rasa sakit dan bahaya. Penerapan aspek keamanan pada desain furniture salah
satunya adalah dengan penghilangan sudut-sudut tajam serta penggunaan material
yang lebih lembut agar menghindari kemungkinan anak untuk mengalami luka.
Penggunaan warna-warna ringan dan ceria untuk membantu terapi anak secara
visual juga akan membangun efek ceria yang membangkitkan semangat dari si
anak dan orangtua. Penggunaan material yang gampang dibersihkan (mengingat
sifat hiperaktif yang terdapat pada beberapa anak autis) menjadi hal yang penting.
Ruangan bermain juga akan disediakan sebagai salah satu jenis terapi untuk anak
autis belajar berkomunikasi. Dimana pada metode ini anak akan diajak untuk
bergerak secara aktif dan melatih motoriknya serta indra peraba anak. Pusat terapi
ini akan dibagi-bagi menjadi ruangan-ruangan dengan fungsi yang berbeda-beda.
Berikut adalah beberapa jenis terapi yang akan menjadi ruang lingkup desain yang
akan dirancang : ruang terapi ABA, ruang terapi wicara, ruang terapi okupasi,
ruang terapi fisik, ruang terapi bermain, dan pusat pengembangan diri anak.
1.4 Tujuan Perancangan
Perancangan ini memiliki fungsi dan tujuan sebagai berikut :
1. Merancang pusat pengembangan diri dan terapi anak autis yang sesuai dengan konsep improvement of harmony melalui fasilitas dan sarana yang berpusat pada pengembangan diri serta terapi.
1. 5 Manfaat Perancangan
9 2. Bagi anak penyandang autis. Proyek ini dapat menjadi suatu badan swasta yang mampu membantu perkembangan kemampuan anak autis dalam aspek komunikasi, terapi serta pengembangan diri.
3. Bagi kelompok masyarakat tertentu (MPATI). Proyek TA ini dapat memberikan harapan maupun pandangan positif yang baru bagi para masyarakat yang peduli akan Autisme di Indonesia.
4. Bagi pemerintah. Proyek TA ini akan meningkatkan kualitas dan kuantitas program pemerintah dalam memberikan penyuluhan/ sosialisasi/ pemberian informasi melalui seminar-seminar pendidikan untuk anak autis.
1. 6 Batasan Perancangan
Ruang-ruang yang akan menjadi bagian dari rencana perancangan sekolah dan
pusat terapi anak autis ini antara lain adalah :
• Lobby, Receptionist, dan waiting area
• Ruang seminar
• Ruang terapi yang meliputi :
o Ruang Terapi Tipe A
o Ruang Terapi Tipe B
o Ruang Terapi Tipe C
• Kantin / foodcourt
• Pusat pengembangan diri
• Ruang konseling
1. 7 Sistematika Penulisan
10 BAB II, penulis memaparkan teori-teori dasar mengenai apa itu autisme, gejala-gejala anak autis secara umum, standar internasional gejala anak
penyandang autis, langkah-langkah penyembuhan anak autis,
pengelompokan anak autis serta terapi-terapi yang dapat digunakan untuk membantu perkembangan anak autis.
BAB III, penulis akan mendeskripsikan mengenai site analysis secara fungsional dan deskripsi proyek.
BAB IV, bab ini memuat pembahasan mengenai hasil perancangan serta penerapan konsep perancangan, perencanaan layout, detail-detail, material yang digunakan serta perspektif interior.
97
BAB V
SIMPULAN
5.1 SIMPULAN
Melalui perancangan ini, penulis dapat menarik kesimpulan
a. Untuk merancang sebuah pusat pengembangan diri dan terapi untuk anak
autis, dibutuhkan kemampuan untuk menentukan dan menarik garis yang
membedakan tempat ini dengan sekolah anak biasa pada umumnya. Namun
penulis juga harus bisa menentukan apa yang boleh dimasukkan dan tidak
pada ruangan apa dan dimana.
b. Warna-warna yang digunakan juga beragam, namun berpusat pada
warna-warna pastel. Warna yang paling banyak digunakan adalah turunan dari warna-warna
biru, merah, kuning dan juga hijau. Warna-warna tersebut dikombinasikan
untuk menciptakan kesan playful dan juga menarik untuk anak-anak namun
98
c. Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat pada umumnya mengenai autis
yang kini jumlah kasusnya terus dan terus meningkat, maka perlu dibuat ruang
seminar yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan seminar-seminar
yang memberikan informasi seputar autisme.
d. Untuk merancang sebuah pusat pengembangan diri dan terapi anak autis ini
penting bagi perancang untuk mendahulukan fungsi secara keseluruhan dan
kemudian penyesuaian dari elemen estetis sebagai penyeimbang suasana
ruang
e. Harmoni sebagai konsep menjadi pemersatu dari target dan pengguna objek
studi, dan juga ruang dan bangunan secara keseluruhan.
5.2 SARAN
Untuk merancang sebuah pusat pengembangan diri dan terapi untuk anak autis,
struktur ruang dan juga olahan ruang secara keseluruhan merupakan aspek yang
sangat penting. Sebab anak autis sebagai subjek perancangan merupakan individu
yang sangat peka terhadap berbagai hal, baik itu pencahayaan, penghawaan,
penglihatan, penciuman dan pendengaran. Oleh karena itu dalam merancang pusat
pengembangan diri dan terapi anak autis ini harus memperhatikan aspek-aspek
yang meliputi indra yang disebutkan sebelumnya.
Aspek yang harus dirancang harus diperhatikan secara detail dan diterapkan
sesuai dengan kebutuhan si anak tanpa membuang sisi anak-anak pada desain,
sebab meski mereka special mereka tetaplah anak-anak yang masih senang
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Alimin, Zaenal., dkk. 2008. Model Pembelajaran Untuk Mengembangkan Interaksi Dan Komunikasi Anak Autistic Spectrum Disorder (ASD). Indonesia : Departemen Koperasi Inspektorat jenderal
Anas, Mohammad. 2003. Adaptasi Penyandang Autis di Sekolah. Indonesia : Departemen Koperasi Inspektorat Jenderal
Delaney, dkk. 2010. 101 Permainan dan Aktivitas Untuk Anak-Anak Penderita Autism, Asperger, dan Gangguan Pemrosesan Sensorik. Yogyakarta : Andi
Fadhli, Aulia. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Anggrek.
Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik : bahan ajar dan bacaan untuk : mahasiswa, dosen, guru, orangtua, masyarakat dan pemerhati anak autistic. Bandung : Alfabeta
Kopacz, Jeanne. 2004. Color in Three Dimensional Design. New York: The Mcgraw Hill companies, Inc.
Naga, Dali S., dkk. 2006. Jurnal Provitae Vol. 2. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Priyatna, Adi. 2010. Amazing Autism. Indonesia : Elex Media Computindo.
Pamudji,dkk. 2007. Model Penyembuhan Anak Autisme Melalu Terapi Terpadu. Indonesia : Departemen Koperasi Inspektorat Jenderal
Ririmasse, Yona. 2005. Keajaiban Kasih Dalam Dunia Autis. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Sari, Sriti Mayang. 2010. Implementasi Desain Par-tisipasi dalam Desain Interior Ruang Terapi Perilaku Anak Autis dengan Menggunakan Metode
ABA/Lovass. Laporan Penelitian, Surabaya: Uni-versitas Kristen Petra.
Sari, Sriti Mayang. 2006. Konsep Desain Partisipasi dalam Desain Interior
Ruang Terapi Perilaku Anak Autis. Jurnal Dimensi Interior, Vol.4, No. 2,
Surabaya: Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra.
xvii
Wade, Carole., Carol Tavris. 2008. PSIKOLOGI, Edisi 9, jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Wijayakusuma, Hembing. 2004. Psikoterapi anak autisma : teknik bermain kreatif non verbal & verbal : terapi khusus untuk autisma. Jakarta : Pustaka Populer Obor
Yatim, Faisal DTM&H, MPH. 2002. Autisme : Suatu Gangguan Jiwa Pada
Anak-Anak. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Internet :
Nurdin, Rofianisa. 13 Agustus 2011. Galeri : Sebuah Ruang yang Dibatasi, (online), (http://arsitekturbicara.wordpress.com/2011/08/13/galeri-sebuah-ruang-yang-dibatasi/ , diakses pada 30 April 2013)
Harnowo, Putro Agus.02 April 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak,
(online), akses pada 23 April 2013 pukul 23:30)
Acandra (Ed). (Tanggal tidak tercantum). Jumlah Anak Autis Bertambah,
(Online),
(http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/210-jumlah-anak-autis-meningkat , diakses pada 24 April 2013 pukul : 00:11)
Blythe L.14 Juni 2010. Improvisational Music Therapy for Children with Autism,
(online),
(http://www.musictherapyresearchblog.com/improvisational-music-therapy-for-children-with-autism/, diakses pada 1 Desember 2013 pukul 11:37)
Ikarowina Tarigan. (Tanggal tidak tercantum). Terapi Musik Dorong Perubahan
Positif Autisme. (online),
(http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/213-terapi-musik-dorong-perubahan-positif-autisme, diakses pada 1 Desember 2013 pukul 18:13)
Dra. Dyah Puspita. Kiat Praktis Mempersiapkan dan Membantu Anak Autis Mengikuti Pendidikan di Sekolah Umum, (Online), (http://komunitas- puterakembara.net/joomla/mempersiapkan-anak-autis-mengikuti-sekolah-umum.html, diakses pada 30 November 2013, pukul 23:48)
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 25 Desember 2012. Kemdikbud Akan
Bangun Autis Center di 29 Lokasi. , (online),
xviii
http://www.sby.dnet.net.id/dnews/mei-2011/article-jangan-buru-buru-masukkan-anak-autis-ke-sekolah-51.html, di akses pada 26 Februari 2013 pukul 22:10
http://www.jpnn.com/read/2013/04/12/167064/Penderita-Autisme-di-Indonesia-Terus-Meningkat-#, diakses pada 26 November 2013, pukul 19:47
http://www.backtoaba.com/index.php, Intervensi Dini Autisme / ASD (Autistic Spectrum Disorder): Hari Ini Anak Didiagnosis Autisme - Hari ini Juga Dimulai Terapi dengan Applied Behavior Analysis (ABA) dan Biomedical Intervention, diakses pada 26 November 2013, pukul 13:23
http://antropometriindonesia.com/, diakses pada 28 November 2013, pukul 19:22