• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KOMUNIKASI MARKETING ANTAR BUDAYA DALAM SUDUT PANDANG DIMENSI BUDAYA GEERT HOFSTEDE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS KOMUNIKASI MARKETING ANTAR BUDAYA DALAM SUDUT PANDANG DIMENSI BUDAYA GEERT HOFSTEDE"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS KOMUNIKASI MARKETING ANTAR BUDAYA DALAM

SUDUT PANDANG DIMENSI BUDAYA GEERT HOFSTEDE

(STUDI TERHADAP IKLAN TV BLACKBERRY INDONESIA DAN

SINGAPURA)

MAKALAH NON SEMINAR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Muhamat Riando

1006711100

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERIKLANAN

DEPOK

DESEMBER 2014

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Analisis Komunikasi Marketing Antar Budaya

Dalam Sudut Pandang Dimensi Antar Budaya Geert Hofstede (Studi Terhadap Iklan TV Blackberry Indonesia dan Singapura)

Muhamat Riando

Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: muhamatriando@gmail.com

ABSTRAK

Teori Dimensi antar Budaya Hofstede telah menjadi teori yang sangat populer di dunia akademis (Bond 2002; Hofstede 1997). Dalam sudut pandang pemasaran global, penting untuk memiliki pemahaman budaya secara mendalam untuk menentukan apakah sebuah strategi dapat berjalan efektif pada karakter masyarakat yang berbeda atau dibutuhkan beberapa strategi yang dimodifikasi berdasarkan karakter budaya masyarakat tertentu. Penelitian ini bertujuan menganalisa dua iklan TV testimonial BlackBerry Messenger yang dirancang secara berbeda untuk masyarakat Singapura dan Indonesia. Terdapat lima aspek dari video yang di bandingkan, yaitu metode pemilihan bintang iklan, quotes yang ucapkan, aktivitas yang di tampilkan, bagaimana penggunaan ponsel oleh bintang iklan, serta testimoni personal dari bintang iklan. Riset menunjukkan bahwa kedua iklan tersebut selaras dengan konsep Dimensi Budaya Hofstede. Penulis merekomendasikan bahwa penggunaan konsep tersebut sebagai konsep dasar dari pemahaman konsumen dalam budaya tertentu

Analysis on Cross-Cultural Marketing Communications In Perspective of Geert Hofstede’s Cultural Dimension

(A Study of Blackberry TV ads in Singapore and Indonesia)

Hofstede’s work on culture is the most widely cited in existence (Bond 2002; Hofstede 1997). In global marketing, a thorough understanding of cultural practices is useful in determining whether a single strategy can be effective in different national environments, or whether several strategies must be adopted, with each geared to the distinctive cultural setting. This paper takes an in-depth look at two Blackberry Messenger testimonial TV advertisements, which was designed differently for Singaporean audience and Indonesian audience. There are five aspects of the videos that are being analyzed, which are the method of choosing the celebrity, the quotes, the activities, how the celebrity deploy the device and the celebrity personal testimonial. The study reveals that those advertisements match the. The writer suggests to utilize Hofstede’s cultural dimensions as the basic concept of the consumer research for understanding consumers from different cultures.

(7)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Survey yang dilakukan oleh Lembaga Riset JANA menunjukkan bahwa penetrasi smartphone di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 45% dari total populasi (Jana.com). Selain itu, survey juga memperlihatkan pada tahun 2013 Blackberry dimiliki oleh 16.11% masyarakat Indonesia. Pasar Blackberry di Indonesia memang mengalami fluktuasi sejak pertama kali diluncurkan. Menurut data dari International Data Corporation (IDC), pertumbuhan smartphone, terutama BlackBerry di Indonesia melonjak hingga 494% pada akhir 2008. Pada 2007 peningkatan penjualan BlackBerry mencapai 365%. Walau penjualan smartphone di dunia pada akhir 2008 mengalami penurunan sebesar 17%, RIM justru mampu menaikkan pendapatan sebesar 84% dari USD1.88 miliar pada 2007 menjadi USD3.46 miliar pada 2008. Pada tahun tersebut, RIM sudah merilis BlackBerry di lebih dari 160 negara dan didukung oleh 475 operator di seluruh dunia. Di Indonesia, industri ini didukung oleh tiga operator besar seperti Telkomsel, Indosat, dan XL,” kata Gregory Wade, Regional Vice President RIM Asia Pasific. (sumber: www.studiohp.com, 10 Mei 2009)

Sejak pertama kali meluncurkan BlackBerry, RIM mampu menjaring 25 juta pelanggan hingga kuartal empat 2008. Diharapkan ada penambahan pelanggan baru sekitar 3,9 juta orang hingga kuartal empat 2009 (studiohp.com). Salah satunya dengan peluncuran seri terbaru BlackBerry Storm. Hingga kuartal 4 tahun 2009, terdapat lebih dari 1.000 developer aplikasi yang sudah bekerja sama. Baik berupa aplikasi bisnis, lifestyle, instant messenger, social network, informasi (wikimobile, viigo), location based (wayfinder), dan lainnya.

Berikut peringkat jumlah pelanggan terbanyak Blackberry per Mei 2009 berdasarkan negara dan kota. (sumber: www.tokopda.com, 10 Juni 2009)

(8)

Besarnya pangsa pasar pengguna Blackberry pada saat itu membuat RIM meluncurkan berbagai strategi promosi di berbagai negara. Salah satunya adalah iklan TV yang mengandalkan fitur Blackberry Messenger yang di adaptasi ke berbagai versi di berbagai negara, seperti Indonesia dan Singapura. Iklan tersebut adalah video testimoni yang menggunakan selebriti berdurasi sekitar dua menit. Pada dasarnya, video tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu mengkomunikasikan pemanfaatan Blackberry Messenger oleh para selebriti dalam kehidupan mereka. Yang menarik adalah walaupun memiliki tujuan pesan yang sama, pesan yang disampaikan dalam video tersebut memiliki berbagai perbedaan dari tiap negara. Perbedaan karakter masyarakat menjadi alasan fundamental mengapa Blackberry perlu melakukan adaptasi dari pesan yang sampaikan agar tujuan komunikasi yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.

Pengadaptasian pesan pada promosi Blackberry Mesenger merupakan sebuah potret bagaimana sebuah pesan yang memiliki tujuan yang sama dimodifikasi berdasarkan karakter masyarakat setempat dengan konsep komunikasi antar budaya. Salah satu konsep komunikasi antar budaya yang tercermin dalam video tersebut adalah Teori Dimensi Antar Budaya (Hofstede’s Cultural Dimensions) yang dikembangkan oleh Geert Hofstede.

Pada dasarnya terdapat berbagai motif untuk mempelajari dan memanfaatkan hasil riset antar budaya. Dalam perspektif komunikasi, riset tentang budaya yang bertujuan untuk memahami pemasaran lintas budaya menghasilkan dilema global-lokal yaitu apakah penggunaan riset untuk menghasilkan standarisasi pesan iklan demi kepentingan efisiensi atau untuk mengadaptasikan strategi pesan iklan pada karakter konsumen lokal (Mooij, Hofstede 2010). Beberapa studi menghasilkan bahwa penggunaan riset budaya yang

Negara 1. Indonesia 2. Kanada 3. Venezuela 4. Amerika Serikat 5. Singapura 6. United Kingdom 7. India 8. Chili 9. Austria 10.Mexico Kota 1. Waterloo, Kanada 2. Jakarta, Indonesia 3. Caracas, Venezuela 4. New York, NY, USA 5. Miami, FL, USA 6. Toronto, Kanada 7. Atlanta, GA, USA 8. Dallas, TX, USA 9. Phoenix, AZ, USA 10.Washington, DC, USA

(9)

bertujuan untuk mengadaptasi strategi pesan terbukti lebih efektif dibanding pemanfaatan riset budaya untuk membentuk standarisasi pesan komunikasi (Dow 2005; Calantone et al. 2006; Okazaki et al. 2006; Wong & Merrilees 2007). Teori Dimensi Antar Budaya Hofstede telah berperan besar dalam pengaplikasian komunikasi dan pemasaran global. Selain itu, teori ini juga telah dikembangkan untuk menjelaskan perbedaan dari konsep diri dan kepribadian manusia yang digambarkan dalam berbagai strategi komunikasi, branding, serta pemahaman konsumen.

Terkait uraian diatas, tulisan akan menganalisa apakah iklan televisi Blackberry Messenger versi Indonesia dan Singapura selaras dengan teori dimensi antar budaya Geert Hofstede? Serta sejauh manakah sebaiknya Teori Dimensi Antar Budaya Hofstede berperan dalam rancangan strategi pemasaran komunikasi antar budaya?

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

1.1Tinjauan Teoritis

Pada tahun 1980, seorang akademisi Belanda bernama Geert Hofstede untuk pertama kalinya mempublikasikan hasil riset yang ia lakukan pada IBM di 40 negara di dunia. Riset bertujuan untuk memetakan dimensi yang berbeda dari beragam kebudayaan yang berbeda. Studi yang dilakukan oleh Hofstede menghasilkan sebuah teori yang dikenal dengan Hofstede’sDimensions of Culture (Dimensi Budaya Hofstede).

2.1.1Dimensi Budaya Hofstede

Hostede mengidentifikasi lima dimensi yang disebut Individualism-collectivism, masculinity-femininity, power distance dan uncertainty avoidance. Dimensi Individualism-collectivism menggambarkan ragam budaya mulai dari budaya yang terstruktur secara lemah hingga budaya yang terintegrasi dengan kuat. Dimensi Masculinity-femininity menjelaskan

(10)

bagaimana nilai-nilai yang mendominasi dalam sebuah kebudayaan bersifat bersahabat atau memaksa. Power distance diartikan sebagai proses distribusi pengaruh yang terjadi didalam suatu budaya. Terakhir, uncertainty avoidance memperlihatkan sejauh mana sebuah budaya mentoleransi ambiguitas dan penerimaan atas resiko. Selain itu, Hofstede dan Bond (1984) mengidentifikasi dimensi ke-lima, yaitu dimensi long-term vs short-term. Dimensi ini menggambarkan keragaman budaya dimana perbedaan orientasi pada nilai-nilai jangka panjang dan jangka pendek.

a. Individualism vs Collectivism

Individualism vs Collectivism adalah bagaimana orang mendefinisikan diri mereka dan hubungan mereka dengan orang lain. Di negara yang memiliki nilai individualisme tinggi, kepentingan pribadi cenderung berperan lebih besar daripada kepentingan kelompok. Hal ini juga terlihat dari ikatan antar individu yang cenderung lemah. Mazakazu (1994) mengartikan individualism sebagai cara pandang pada keragaman manusia yang dilihat kepercayaan pribadi seseorang dan keinginan pribadi seseorang serta persaingan yang terjadi diantara mereka. Di negara yang memiliki budaya collectivist, kepentingan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi. Disini, orang cenderung bersatu untuk menjadi kuat, yang terlihat dari ketergabungan dalam suatu grup yang bertahan lama demi memperlihatkan loyalitas (Hofstede, 1997).

Hal yang paling membedakan dari individualism dan collectivism adalah cara menentukan sebuah keputusan yang akan diambil atau tujuan yang akan dikejar. Di negara dengan nilai individualisme tinggi, keputusan yang diambil lebih berlandaskan pada keputusan individu atau grup itu sendiri, tanpa terlalu memikirkan kepentingan dari orang lain. Sebaliknya, di negara dengan kolektivisme yang tinggi, kepentingan orang lain menjadi bahan pertimbangan penting terkait keputusan yang akan diambil oleh seseorang atau kelompoknya.

(11)

Peringkat Individualism dari 50 Negara dari Tiga Wilayah di Dunia

Sumber: Hofstede (2001, Exhibit 5.1, p. 215)

Negara dengan karakter collectivist memiliki menekankan hubungan inter-personal sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan diutamakan. Budaya ini mengorientasikan kemampuan serta perasaan yang dimiliki oleh seseorang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok. Oleh karena itu orang dengan karakter budaya collectivist cenderung lebih suka dilihat sebagai keanggotaanya pada kelompok daripada individu, walaupun ia memiliki kemampuan individu. Hal ini berbanding terbalik dengan karakter masyarakat individualist dimana mereka lebih suka dipandang berdasarkan kemampuan pribadinya dan memandang pencapaian pribadi adalah penghargaan pada pribadi, bukan kelompok.

(12)

Dari sudut pandang komunikasi, individualist – collectivist kerap diasosiasikan pada cara berkomunikasi yang bersifat direct dan indirect. Pada komunikasi yang bersifat direct, yang dekat dengan budaya individualist, maksud, kebutuhan dan keinginan yang ada di benak komunikator jelas disampaikan melalui lisan. Disisi lain, budaya collectivist yang kerap diasosiasikan dengan indirect, maksud, kebutuhan dan keninginan yang ada dibenak komunikator tidak disampaikan dengan tegas pada perkataan yang disampaikan.

Rajjanaprapayon (1997), mendemonstrasikan strategi komunikasi yang kerap terjadi di Thailand. Orang Thailand cenderung tidak menyebutkan nama ketika mereka mengekspresikan perasaan yang bernilai negatif; Orang Thailand cenderung menggunakan kata “mungkin”, “kadang-kadang”, “kayanknya”, “menurut saya seperti ini, tetapi saya kurang yakin”. Masyarakat Thailand cenderung tidak mengekspresikan perasaan mereka jika hal itu akan menyakiti orang tersebut. Selain itu, mereka juga cenderung menghindari kontak mata dan memiliki jarak antar personal ketika berinteraksi dengan orang lain.

b. Masculinity vs femininity

Hofstede (1980) menyimpulkan bahwa peran perempuan dalam kehidupan sosial bervariasi tergantung pada kebudayaan setempat. Ia menggambarkan bahwa pada negara dengan karakter masculinity yang tinggi, budaya sosial mengharapkan adanya perbedaan yang jelas antara apa yang dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Budaya yang memiliki masculinity tinggi, memberi penghargaan lebih kepada kesuksesan pribadi, kompetisi, dan kesuksesan material.

Sebaliknya, negara dengan karakter femininity yang tinggi memberikan ruang yang longgar pada peran yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Budaya ini menjunjung tinggi nilai nilai seperti kualitas hidup, hubungan antar pribadi dan kepedulian pada orang-orang yang lemah.

Berdasarkan studi yang dilakukan pada orang Thailand, Rojjanaprapayon (1997) menyimpulkan bahwa ternyata konsep masculinity versi masyarakat barat seperti agresif dan berorientasi pada goal yang dipopulerkan oleh Hofstede berbeda dengan konsep masculinity yang tergambarkan pada masyarakat Thailand.

(13)

Walaupun memiliki nilai masculinity yang rendah, masyarakat Thailand dapat menjadi sangat agresif dan berorientasi pada goal tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai seperti suportif dan rendah hati. Arcmen & Tellis (2001) menggambarkan dimensi masculinity dan femininity kedalam dua karakter, yaitu karakter geografis dan tinkat kelahiran. Negara dengan iklim yang dingin cenderung memiliki tingkat femininity yang tinggi. Selain itu, negara dengan tingkat kelahiran tinggi cenderung memiliki tingkat masculinity yang tinggi, karena ukuran keluarga cenderung di tentukan oleh pria. Pada budaya tersebut, wanita cenderung tidak memiliki kekuatan untuk menentukan jumlah anak yang dilahirkan.

Peringkat Masculinity dari 50 Negara dari Tiga Wilayah di Dunia

Sumber: Hofstede (2001, Exhibit 6.3, p. 286)

c. Power Distance

Power Distance adalah dimensi yang mengekspresikan bagaimana sebuah karakter masyarakat menerima dan mengharapkan kekuatan yang ada di masyarakat tersebut di distribusikan dengan tidak merata (Hofstede 1997). Isu

(14)

utama dari dimensi ini adalah bagaimana masyarakat tersebut menanggapi ketidak setaraan yang terjadi antar individu. Hofstede menyimpulkan bahwa power distance adalah dimensi yang dipelajari sejak dini di dalam keluarga. Di negara dengan nilai power distance yang tinggi, anak dididik untuk menuruti orang tua. Di negara tersebut, individu diharapkan menunjukkan rasa hormat mereka terhadap orang yang memiliki status di atas mereka. Contohnya, di negara seperti Indonesia dan Myanmar, orang diharapkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada tokoh agama seperti Biarawan dan Ustadz dengan memilih tata bahasa yang menunjukkan hormat serta menyediakan tempat duduk istimewa untuk mereka.

Sebaliknya, di negara dengan nilai power distance yang rendah, jarak antara orang yang berbeda status tidak terlihat. Salah satu contoh dapat terlihat dari mekanisme kerja yang terlihat dari pimpinan di negara dengan power distance rendah cenderung tidak berjarak. Hal ini dapat dilihat dari ruang kerja pimpinan yang dapat diakses oleh banayk orang dan tidak didesain dengan mewah.

Peringkat Power Distance dari berbagai negara dari tiga wilayah di dunia

(15)

d. Uncertainty Avoidance

Uncertainty Avoidance diartikan sebagai sebuah tingkatan yang menunjukkan sejauh mana sebuah karakter masyarakat dapat menerima sebuah ketidak pastian dan ambiguitas (Hofstede 1980). Isu utama dari dimensi ini adalah bagaimana sebuah karakter masyarakat menghadapi fakta bahwa masa depan tidak akan pernah diketahui: apakakah kita harus mencoba mengontrol masa depan tersebut atau biarkanlah waktu yang akan menentukanya?. Hofstede (1997) menjelaskan bahwa jawaban tersebut dapat digambarkan dari sejauh mana orang menganggap pentingnya sebuah prediksi dan aturan tertulis.

Masyarakat yang berasal dari negara dengan nilai uncertainty avoidance tinggi cenderung bersifat aktif, agresif, emosional, berorientasi pada keamanan dan kurang toleran. Sebaliknya, negara dengan uncertainty avoidance rendah cenderung bersikap rileks, religius, tidak agresif, menerima resiko pribadi dan relatif toleran.

(16)

Peringkat Uncertainty Avoidance dari 50 Negara dari Tiga Wilayah di Dunia

e. Long Term vs Short Term Orientation

Long term vs Short term merujuk pada pada sejauh mana sebuah karakter masyarakat berorientasi pada orientasi masa depan daripada manfaat jangka pendek. Terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam dimensi ini, yaitu komitmen, hubungan antar personal yang berorientasi pada status, manajemen keuangan dan kepemilikan rasa malu ( De Mooij 2010). Short Term Orientation adalah orientasi yang mencakup ketergantungan personal, stabilitas dan rasa hormat pada tradisi. Long term orientation dapat dilihat dari orientasi yang dilakukan pada investasi untuk masa depan (De Mooij 2010)

(17)

Peringkat Long Term Orientation tertinggi dari 23 Negara di Dunia

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pembahasan Masalah

Perkembangan zaman yang diiringi dengan perkembangan produk dan jasa di pasar membuat persaingan antar brand semakin ketat, terutama di industri gadget yang sedang mengalami pertumbuhan pesat. Dari segi konsumen, mereka kini lebih pintar dalam memilih produk dan jasa yang mereka inginkan. Dengan bantuan teknologi, informasi mengenai sebuah brand dapat konsumen peroleh dengan mudah. Oleh sebab itu, selain kualitas produk, persepsi konsumen terhadap sebuah brand serta bagaimana brand tersebut diposisikan di benak mereka menjadi sangat penting dalam memenangkan persaingan di pasar. Strategi iklan televisi terstimonial menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan pemasar. Selain mampu memvisualisasikan citra sebuah brand, iklan testimonial dipercaya mampu

(18)

mempengaruhi secara positif perilaku pembelian konsumen. Karena perannya yang besar, strategi iklan testimonialmenjadi penting untuk diperhatikan.

Blackberry merupakan salah satu brand teknologi asal Kanada yang sukses di Indonesia dengan mengandalkan Blackberry Messenger. Penulis akan menganalisa melalui hasil pengamatan pada iklan Blackberry yang dimodifikasi dalam dua versi, yaitu versi Indonesia dan versi Singapura. Penulis akan menguji apakah modifikasi iklan yang ditujukan pada kultur yang berbeda tersebut selaras dengan konsep Dimensi Budaya Hofstede

Dalam membandingkan kedua iklan tersebut, penulis memilih lima aspek dari pesan iklan yang terdapat pada kedua iklan. Aspek tersebut adalah metode pemilihan bintang iklan, kuotes yang ucapkan, aktivitas yang di tampilkan, bagaimana penggunaan ponsel oleh bintang iklan, serta testimoni personal dari bintang iklan.

Tabel Pengujian Aspek-Aspek Komunikasi dalam Iklan

No Aspek Yang di Uji Singapura Indonesia

1 Pemilihan Bintang Iklan

Eunice Olsen

Miss Singapura 2010 yang mengenyam pendidikan di National University of Singapore. Ia belum menikah dan berkarir di dunia hiburan sebagai aktris, presenter dan musisi.

Annisa Pohan

Ia adalah istri dari putra mantan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia.

2 Quotes yang Disampaikan

“Do the work, concentrate on the craft, people will

recognize your work”

“Sehari saja ga ketemu anak saya sudah jadi pengorbanan buat saya)

3 Aktivitas yang ditampilkan

Pekerjaan sehari-hari sebagai model dan musisi, diwaktu luang ia berlatih beladiri.

Annisa mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk mengurus anak. Selain itu ia juga bekerja di bidang hiburan sebagai model iklan.

(19)

4 Cara Penggunaan Gadget

Penggunaan utama adalah untuk membantu

menyelesaikan pekerjaan, lalu berbagi ide dengan manager.

Penggunaan utama adalah manajemen komunikasi dengan anak, selain itu untuk membantu pekerjaan.

5 Testimoni Personal yang disampaikan

“If you have found something you love, work hard, hard work pays off”, “My Goal is everything”

“Baby sitter terbaik adalah ibu dari anak itu sendiri”, “My Child is everything”

a. Pemilihan Bintang Iklan

Terdapat perbedaan yang kontras dalam pemilihan bintang iklan pada iklan Blackberry yang ditujukan untuk masyarakat Singapura dan Indonesia.

 Annisa Pohan

Annisa adalah figur seorang ibu yang dianggap sukses di Indonesia. Ia bagaikan sebuah perwujudan dari impian perempuan-perempuan di Indonesia, yaitu seorang wanita cantik yang memiliki suami sukses yaitu seorang putra presiden pada saat itu.

(20)

Eunice Olsen ialah sosok seorang wanita yang independen dan ambisius. Selain mengenyam pendidikan tinggi di National University of Singapore, didalam video ia juga menjelaskan bahwa ia terbang ke Amerika Serika seorang diri untuk belajar seni peran.

Berdasarkan perbandingan tersebut, terlihat perbedaan pesan yang disampaikan disesuaikan dengan karakter budaya masyarakat tersebut yang selaras dengan konsep Dimensi Budaya Hofstede. Singapura tercatat masuk kedalam deretan sepuluh negara dengan tingkat indivudualism tertinggi di dunia. Berbeda dengan Indonesia yang berada di peringkat 47 di Dunia. Selain itu, Singapura memiliki poin Masculinity yang lebih tinggi dari Indonesia dan berada di peirngkat 28 di Dunia. Hal ini terlihat dari Eunice Olsen yang terlihat kompetitif dan berorientasi pada kesuksesan pribadi. Ini berbanding terbalik dengan Annisa Pohan, yang berorientasi pada kesuksesan keluarga.

Selain itu, Walaupun Annisa Pohan memiliki pendidikan baik, yaitu mengenyam sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ia tidak memperlihatkan ambisinya untuk mengejar karir. Hal ini menjadi khas perempuan Indonesia, walaupun memiliki pendidikan yang bagus dan memiliki potensi untuk mengejar karir yang tinggi, mereka tidak berorientasi pada karir melainkan pada anak. Disini terlihat perbedaan yang kontras dengan Olse, ia jelas memperlihatkan ambisi dan usaha kerasnya untuk mengejar karir, hal ini selaras dengan masyarakat Singapura yang dikenal pekerja keras. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat jarak yang jauh antara karakter Annisa dan Olsen yang selaras dengan perbedaan peringkat Masculinity-Femininity Indonesia dan Singapura.

b. Quotes yang Disampaikan

Berdasarkan quotes yang disampaikan “Do the work, concentrate on the craft, people will recognize your work” terlihat bahwa Eunice Olsen lebhi berorientasi pada karir dan pekerjaan. Hal ini berbanding terbalik dengan Annisa Pohan yang menyatakan “sehari saja ga ketemu anak saya sudah jadi pengorbanan buat saya”. Pemilihan Quotes yang disampaikan senada dengan konsep Dimensi Budaya Hofstede, dimana Singapura memiliki poin masculinity dan Individualism yang lebih tinggi dari Indonesia.

(21)

c. Aktivitas yang di Tampilkan dan Cara Penggunaan Gadget

Olsen menampilkan waktunya yang ia luangkan lebih banyak untuk kepentingan dirinya dan goalnya, terlihat ia hanya sedikit melibatkan orang lain seperti, keluarga didalam kehidupanya. Hal ini kontras dengan Annisa Pohan, dimana ia terlihat mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk anaknya. Selain itu, hal ini juga tergambar dari cara penggunaan gadget dimana Olsen lebih berorientasi pada pekerjaan dan goalnya sedangkan bagi Annisa Pohan, komunikasinya dengan anaknya adalah hal terpenting dari penggunaan alat komunikasi. Berdasarkan analisis ini terlihat bahwa tingginya poin dimensi Individualism dan masculinity yang dimiliki Singapura selaras dengan aktivitas dan cara penggunaan gadget oleh Olsen.

d. Testimoni Personal

Berdasarkan analisa pada testimoni personal yang disampaikan oleh kedua bintang iklan, terlihat bahwa hidup Olsen sangat berorientasi pada pekerjaan dan goal sedangkan Annisa Pohan sangat berorientasi pada anak dan keluarga. Konsep Masculinity dan Individualism Hofstede terlihat jelas dalam pemilihan pesan testimoni tersebut.

BAB IV KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Industri gadget di Indonesia mengalami pertumbuhan yang pesat dari tahun ke tahun. Semakin beragamnya produk yang beredar membuat persaingan di pasar semakin ketat. Kemudahan mencari informasi membentuk konsumen yang semakin pintar dalam memilih produk dan semakin sulit untuk dipuaskan. Oleh karena itu, selain kualitas produk, persepsi konsumen terhadap sebuah merek menjadi sangat penting untuk mendiferensiasikannya dari merek lain. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemasar adalah dengan iklan TV testimonial. Melalui iklan TV testimonial, sebuah brand dapat mengkomunikasikan secara visual citra maupun konsep yang dimilikinya. Berdasarkan analisa yang dilakukan pada kelima aspek dalam pesan iklan, dapat disimpulkan bahwa pengadaptasian pesan iklan

(22)

testimonial Blackberry Indonesia dan Singapura selaras dengan konsep Dimensi Budaya Hofstede. Kelima aspek yaitu metode pemilihan bintang iklan, kuotes yang ucapkan, aktivitas yang di tampilkan, bagaimana penggunaan ponsel oleh bintang iklan, serta testimoni personal dari bintang iklan searah dengan perbedaan poin Dimensi Budaya Hofstede dalam perspektif Individualism dan Masculinity. Oleh karena itu peneliti merekomendasikan penggunaan konsep Dimensi Budaya Hofstede untuk dijadikan salah satu landasan untuk memahami sebuah karakter masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hofstede, G. (2002) 'Dimensions do not exist: A reply to Brendan McSweeney', Vol. 55 The Tavistock Institute SAGE Publications London, Thousand Oaks CA, New Delhi.

2. Hofstede, G. Culture’s consequences: International differences in work-related values. Beverly Hills, CA: Sage, 1980.

3. Hofstede, G. Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations across nations (2nd edn). Thousand Oaks, CA: Sage, 2001.

4. Hofstede, G., Neuijen, B., Ohayv, D.D. & Sanders, G. Measuring organizational cultures. A qualitative and quantitative study across twenty cases. Administrative Science Quarterly, 1990, 35, 286–316.

5. Hofstede, G. Mooij. The Hofstede model; Application to Global Branding and Advertising Strategy and research. International Journal of Advertising, 2010, 29, 85-110

6. Jones M. L. (2007 'Hofstede - Culturally questionable?' Oxford Business & Economics Conference. Oxford, UK, 24-26 June.

7. Liu, S. Volcic, Z. and Gallois, C (2011) 'Introducing Intercultural Communication: Global Cultures and Contexts', London: SAGE Publication Ltd.

Gambar

Tabel Pengujian Aspek-Aspek Komunikasi dalam Iklan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji kuat tekan, uji absorpsi, dan uji durabilitas terhadap variasi campuran mortar dengan limbah spent catalyst sebagai pengganti binder, dapat

Setelah melakukan penelitian siswa Tunarungu Wicara kelas III di SLB Negeri Purbalingga yang berjumlah 6 siswa terdiri dari 4 laki-laki dan 2 perempuan,

Berdasarkan pohon masalah dan pohon alternatif maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apakah penerapan problem solving dengan game

Untuk merumuskan formulasi strategi bisnis bagi Hotel Santika Bogor terdapat 3 tahap yang harus dilakukan, yaitu Tahap Input (Input Stage), Tahap Pencocokan (Matching Stage)

Australian and New Zealand Institute for Information Literacy (ANZIIL) dan Council of Australian University Librarians (CAUL) mengembangkan sebuah IL model/standard (yang

Berdasarkan penjelasan diatas dan dengan mengadaptasi perkembangan teknologi pada media smartphone berbasis Android, penulis berkeinginan untuk membuat sebuah

Penerapan konsep arsitektur Thailand pada Vihara Vipassana Graha telah mengalami pergeseran dan penyederhanaan bentuk sedangkan makna yang terkandung dalam elemen-elemen

ruang lingkup pertanyaan yang luas atau yang sempit. Aspek yang kedua ialah pemusatan terhadap jumlah tugas siswa sebagai akibat dari pertanyaan guru. Pertanyaan yang