10 BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi Pajak
Pengertian pajak secara umum yang tertuang pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat (1) adalah:
“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Definisi pajak menurut Andriani dalam Waluyo (2013: 2) adalah:
“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro dalam Thomas Sumarsan (2013: 3) adalah:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan membayar pengeluaran umum.”
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara yang dipungut berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum negara dalam rangka mencapai kesejahteraan umum.
Mardiasmo (2011: 1) merumuskan dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur yaitu:
1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Definisi Wajib Pajak
Wajib Pajak menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat (2) adalah :
“Orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak. Wajib pajak orang pribadi terdiri dari wajib pajak orang pribadi yang
mempunyai penghasilan dari usaha, pekerjaan bebas dan pekerjaan tetap. Wajib pajak badan terdiri dari Badan Milik Pemerintah (BUMN dan BUMD) dan Badan Milik Swasta yang meliputi Perseroan Terbatas, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, lembaga, dan bentuk usaha tetap.
2.1.3 Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak menurut Mardiasmo (2011: 1) yaitu:
1. Fungsi penerimaan (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
1) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk
mengurangi konsumsi minuman keras.
2) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah unuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
3) Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk
2.1.4 Jenis Pajak
Menurut Mardiasmo (2011: 5-6), terdapat berbagai jenis pajak yang dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu pengelompokan menurut golongan, sifatnya, dan lembaga pemungutan.
1. Menurut Golongannya
1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan
2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai
2. Menurut Sifatnya
1) Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau beradasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut Lembaga Pemungutnya
1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak Daerah terdiri atas :
(1) Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar kendaraan Bermotor.
(2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.
2.1.5 Kedudukan Hukum Pajak
Menurut Rochmat Soemitro dalam Mardiasmo (2011: 4) hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut:
“1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan
rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut:
(1)Hukum Tata Negara
(2)Hukum Tata Usaha (Hukum Internasional)
(3)Hukum Pajak
(4)Hukum Negara.”
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiscus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak. Ada dua macam hukum pajak, yaitu:
1. Hukum pajak materiil, memuat norma-norma yang menerangkan antara
pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek), berapa besar pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Contoh : Undang-Undang Pajak Penghasilan
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk tata cara untuk mewujudkan hukum
materiil menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat antara lain:
1) Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak. 2) Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para Wajib
Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
3) Kewajiban Wajib Pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contoh : Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2.1.6 Teori Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011: 3) terdapat teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah:
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar
kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan yaitu:
1) Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
2) Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.1.7 Tata Cara Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011: 6) pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel yaitu:
1. Stelsel Nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui)
2. Stelsel Anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari
pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2.1.8 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011: 7) sistem pemungutan pajak ada tiga yaitu : 1. Official Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus
2) Wajib Pajak bersifat pasif
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus
2. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang.
Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menetukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
pajak sendiri,
2) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang,
3. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentuan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.2 Modernisasi Administrasi Perpajakan
2.2.1 Definisi Modernisasi
Modernisasi merupakan aplikasi teknologi informasi (IT) yang lebih canggih. (Haula Rosdiana dan Edi Slamet, 2011: 5) Adapun definisi modernisasi menurut para ahli, di antaranya Dudung (2015) :
Wilbert E Moore
“Modernisasi adalah transformasi total ko-eksistensi tradisional atau pra-modern dalam hal teknologi dan organisasi sosial terhadap pola ekonomi dan politik yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil.”
JW School
“Modernisasi adalah transfomasi, perubahan dalam masyarakat dalam segala aspeknya. Teori modernisasi menggambarkan proses transformasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern atau mundur.”
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa modernisasi adalah transformasi atau perubahan dari tradisional menjadi modern atau hasil dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih canggih dan terus berkembang sampai saat ini.
2.2.2 Administrasi Perpajakan
Menurut Sophar Lumbantoruan dalam Siti Kurnia (2010: 93) menyatakan bahwa :
“Administrasi Perpajakan adalah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan administrasi perpajakan merupakan cara atau prosedur dengan suatu sistem dengan kajian reformasi perpajakan dalam pemungutan pajak. Administrasi perpajakan dalam arti sebagai prosedur meliputi antara lain tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak, penetapan pajak, pembayaran pajak, pelaporan pajak dan penagihan pajak.
Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara. Tahap-tahap yang tidak solid dapat merupakan sumber kecurangan (tax evasion). Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa: “Poor tad administration undermines the effectiveness of the desired tax structure and raises distortion. A poor designed tax structure makes administration mor difficult.” Lawrence H.Summers dalam Siti Kurnia (2010: 93)
Administrasi perpajakan berperan penting dalam sistem perpajakan di suatu negara. Suatu negara dapat sukses dengan mencapai sasaran yang diharapkan dalam menghasilkan penerimaan pajak yang optimal karena
administrasi perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan sistem perpajakan di suatu negara yang dipilih.
2.2.3 Modernisasi Administrasi Perpajakan
Semenjak tahun 2002, Direktorat Jendral Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan (change prgram) atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat disebut Modernisasi. Modernisasi perpajakan pada dasarnya merupakan perwujudan atau bagian dari reformasi perpajakan. Modernisasi perpajakan ini dapat diartikan sebagai penggunanan sarana dan prasarana perpajakan yang baru dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi.
Adapun jiwa dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance,
penerapan sistem administrasi perpajakan yang trasnparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak. Jika program modernisasi ini ditelaah secara mendalam, termasuk perubahan-perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat konsep modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang cukup mendasar dan revolusioner. (Diana Sari, (2013: 14)
Konsep umum modernisasi administrasi perpajakan adalah restruksi organisasi, penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, dan penyempurnaan manajemen SDM. Konsep ini
disesuaikan dengan iklim, kondisi, dan sumber daya yang ada di Indonesia. (Liberti Pandiangan, 2007: 7)
Karakteristik modernisasi administrasi perpajakan adalah :
1. Seluruh kegiatan administrasi dilaksanakan melalui sistem administrasi yang berbasis teknologi terkini.
2. Seluruh wajib pajak diwajibkan membayar melalui kantor penerimaan secara online.
3. Seluruh wajib pajak diwajibkan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan menggunakan media komputer (e-SPT)
4. Monitoring kepatuhan wajib pajak dilaksanakan secara intensif dengan
pemanfaatan profit wajib pajak di administrasikan di KPP Madya hanya wajib pajak tertentu saja, yaitu sekitar 500 wajib pajak.
Tujuan Modernisasi Administrasi Perpajakan berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jendral Pajak No. SE-45/PJ/2007 adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada wajib pajak dan seluruh stakeholder perpajakan. Sedangkan menurut Diana Sari (2013: 19) adalah :
1. Tercapainya tingkat kepatuhan wajib pajak (tax compliance) yang tinggi.
2. Tercapainya tingkat kepercayaan (trust) terhadap administrasi
perpajakan yang tinggi.
Menurut Diana Sari (2013: 19) sasaran penerapan sistem administrasi pajak modern yaitu :
1. Maksimalisasi penerimaan pajak.
2. Kualitas pelayanan yang mendukung kepatuhan wajib pajak.
3. Memberikan jaminan kepada publik bahwa Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tingkat integritas dan keadilan yang tinggi.
4. Menjaga rasa keadilan dan persamaan perlakuan dalam proses
pemungutan pajak.
5. Pegawai pajak di anggap sebagai karyawan yang bermotivasi tinggi, kompeten, dan profesional.
6. Peningkatan produktivitas yang berkesinambungan.
7. Wajib pajak mempunyai alat dan mekanisme untuk mengakses
informasi yang diperlukan.
8. Optimalisasi pencegahan penggelapan pajak.
2.2.4 Indikator Modernisasi Administrasi Perpajakan
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (2007), Modernisasi Administrasi Perpajakan yang dilakukan pada dasarnya sebagai berikut :
1. Perubahan Struktur Organisasi
Implementasi konsep administrasi perpajakan modern yang berorientasi pada pelayanan dan pengawasan memerlukan perubahan pada struktur organisasi DJP, baik di tingkat kantor pusat sebagai pembuat kebijakan maupun di jajaran kantor operasional sebagai pelaksana implementasi
kebijkan. Untuk melaksanakan perubahan secara lebih efektif dan efisien, sekaligus mencapai tujuan organisasi yang di inginkan, penyesuaian struktur organisasi DJP merupakan suatu langkah yang harus dilakukan dan sifatnya cukup strategis.
Langkah-langkah pada perubahan struktur organisasi yaitu :
1) Pembentukan struktur organisasi berbasis fungsi di terapkan pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan sistem administrasi modern
untuk merealisasikan debirokratisasi pelayanan sekaligus
melaksanakan pengawasan terhadap wajib pajak secara lebih sistematis berdasarkan analisis risiko.
2) Dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka diadakanlah
perubahan secara menyeluruh pada DJP yang mencakup reorganisasi Kantor Inspeksi Pajak yang diganti menjadi Kantor Pelayanan Pajak. Dari kantor pajak yang ada yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB), serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikda), dilebur menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Hal ini memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan atau menyelesaikan perpajakannya dengan datang ke satu kantor saja.
3) Pembentukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dibedakan berdasarkan
segmentasi wajib pajak, yaitu KPP Wajib Pajak Besar (LTO – Large Taxpayers Office), KPP Madya (MTO – Medium Taxpayers Office), dan KPP Pratama (STO – Small Taxpayers Office).
4) Khusus di kantor operasional, terdapat posisi baru yang disebut Account Representative, yang mempunyai tugas antara lain memberikan bantuan konsultasi perpajakan kepada wajib pajak, memberitahukan peraturan perpajakan yang baru, serta mengawasi kepatuhan wajib pajak.
2. Penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi
Langkah awal perbaikan business process adalah penulisan dan
dokumentasi yaitu melalui :
1) SOP untuk setiap kegiatan diseluruh unit DJP.
2) Perbaikan proses bisnis dilakukan dengan penerapan e-system dengan dibukanya fasilitas e-filing, e-SPT, e-payment, e-registration.
3) Untuk sistem administrasi internal saat ini terus dilakukan
pengembangan dan penyempurnaan Sistem Informasi DJP (SIDJP)
3. Penyempurnaan manajemen SDM
Langkah-langkah perbaikan di bidang SDM antara lain :
1) DJP melakukan pemetaan kompetensi (Competency Mapping) seluruh
30.000 pegawai DJP guna mengetahui sebaran kuantitas dan kualitas kompetensi pegawai.
2) Seluruh jabatan harus dievaluasi dan dianalisis untuk selanjutnya ditentukan job grade dari masing-masing tersebut.
3) Beban kerja dari masing-masing jabatan tersebut dianalisis yang kemudian dikaitkan juga dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja masing-masing pegawai.
4) Sebagai catatan, pembuatan dan dokumentasi SOP untuk seluruh
proses pekerjaan dapat dimanfaatkan juga sebagai standar penilaian kerja.
4. Pelaksanaan Good Governance
DJP dengan program modernisasi senantiasa berupaya menerapkan prinsip-prinsip good governance berupa :
1) Pembuatan dan penegakan kode etik pegawai yang secara tegas
mencantumkn kewajiban dan larangan bagi para pegawai DJP dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk sanksi-sanksi bagi setiap pelanggaran kode etik pegawai.
2) Pemerintah telah menyediakan berbagai saluran pengaduan yang
sifatnya independen untuk menangani pelanggaran atau
penyelewengan di bidang perpajakan.
3) Dalam lingkup internal DJP sendiri, telah dibentuk dua subdirektorat yang khusus menangani pengawasan internal di bawah Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur.
4) Pembentukan compliance center masing-masing Kanwil modern
untuk menampung keluhan wajib pajak merupakan bukti
komitmen DJP untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak sekaligus pengawasan bagi internal DJP.
2.3 Kepatuhan Wajib Pajak
2.3.1 Definisi Kepatuhan Wajib Pajak
Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi, yaitu kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of complience) merupakan tulang punggung dari self assesment system, dimana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan kemudian secara akurat dan tepat waktu dalam membayar dan melaporkan pajaknya. Definisi kepatuhan wajib pajak menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia (2013: 138), menyatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat di definisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
2.3.2 Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Safri Nurmantu dalam Siti Kurnia (2013: 138) terdapat dua jenis kepatuhan yaitu:
1. Kepatuhan Formal
Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2. Kepatuhan Material
Kepatuhan Material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
2.3.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak
Wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai berikut (Keputusan Menteri Keuangan No: 544/KMK.04/2000) :
1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2
(dua) tahun terakhir.
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir.
4. Dalam 2 (dua) tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU. KUP, dan dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%.
5. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 (dua) tahun terakhir diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian,
atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba-rugi fiskal.
2.3.4 Indikator Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Chaizi Nasucha dalam Siti Kurnia (2013: 139), kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari:
1. Kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri
2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT)
3. Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan
4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan
2.4 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Judul Variabel Bebas (X), Variabel Terikat (Y) Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan 1. Septiana Wirani (2016) Pengaruh Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Kepanjen. 1. Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan (X) 2. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Y). Penerapan Modernisasi Sistem Administrasi Perpajakan berpengaruh signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi - 2. Melani Anggarini Pengaruh Modernisasi Sistem 1. Modernisasi Administrasi Variabel Modernisasi administrasi Modernisasi Administrasi Perpajakan Kepuasan Kerja Fiskus
Andriyani ngrum (2015) Administrasi Perpajakan Modern Terhadap Kepuasan Kerja Fiskus Perpajakan (X) 2. Kepuasan Kerja Fiskus(Y) perpajakan berpengaruh signifikan terhadap Kepuasan Kerja Fiskus 3. Irfan Cahyadi (2015) Pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak 1. Modernisasi Administrasi Perpajakan (X) 2. Kepatuhan Wajib Pajak (Y) Pengaruh Modernisasi Administrasi Perpajakan berpengaruh signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Modernisasi Administrasi Perpajakan - 4. Tolongana dan Kalalo (2012) Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kota Manado 1. Sistem Administrasi Perpajakan Modern (X) 2. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Y) Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern berpengaruh signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi - 5 Irawan dan Khairani (2012) Pengaruh Sistem Administrasi Perpajakan Modern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Madya Palembang. 1. Sistem Administrasi Perpajakan Modern (X) 2. Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Y) Pengaruh Sistem Administrasi Perpajakan Modern berpengaruh signifikan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi - 2.5 Kerangka Pemikiran
Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting dalam sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia, yaitu Self Assessment System. Self Assessment
System menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut. Kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance) dapat diidentifikasi dari kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri, kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT), kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Untuk mengamankan potensi penerimaan negara pemerintah Direktorat Jendral Pajak berupaya melakukan reformasi di bidang administrasi perpajakan yang lebih modern dengan memanfaatkan teknologi informasi, yang tujuan dari reformasi ini yaitu meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak, meningkatkan kepercayaan masyarakat, dan meningkatkan produktivitas dan integritas aparat pajak. Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi administrasi perpajakan perlu dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif.
Konsep modernisasi menurut Liberty Pandiangan (2007: 7) meliputi restrukturisasi organisasi, penyempurnaan proses bisnis melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, dan penyempurnaan manajemen SDM.
Sasaran penerapan sistem administrasi pajak modern adalah pertama, maksimalisasi penerimaan pajak; kedua, kualitas pelayanan yang mendukung kepatuhan wajib pajak; ketiga, memberikan jaminan kepada publik bahwa Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tingkat integritas dan keadilan yang tinggi; keempat, menjaga rasa keadilan dan persamaan perlakuan dalam proses
pemungutan pajak; kelima, pegawai pajak di anggap sebagai karyawan yang
bermotivasi tinggi, kompeten, dan profesional; keenam, peningkatan
produktivitas yang berkesinambungan; ketujuh, wajib pajak mempunyai alat da mekanisme untuk mengakses informasi yang diperlukan; kedelapan. Optimalisasi pencegahan penggelapan pajak. (Diana Sari, 2013: 19)
Modernisasi di bidang teknologi informasi terbukti merupakan salah satu terobosan yang cemerlang. Sebab para Wajib Pajak diberikan kemudahan dalam proses pelaporan pembayaran pajak. Para Wajib Pajak dapat mengakses dimanapun, kapanpun serta real time. Terobosan itu teridiri dari teknologi
informasi berbasis e-system seperti e-SPT, e-Filing, e-Payment, dan
e-Registration yang diharapkan wajib pajak akan lebih patuh dalam melaporkan dan membayarkan kewajiban pajaknya. (www.pajak.go.id)
Melalui modernisasi administrasi perpajakan diharapkan terbangun pilar-pilar pengelolaan pajak yang kokoh sebagai fundamental penerimaan negara baik berkesinambungan, modernisasi sistem perpajakan di lingkungan DJP bertujuan untuk menerapkan Good Governance dan pelayanan prima kepada masyarakat. Good Governance merupakan penerapan sistem administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi yang handal dan terkini.
Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak. Selain itu, untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi, meningkatan kepercayaan administrasi perpajakan dan mencapai tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi. Pengelolaan pajak
mengalami perubahan besar yang terus dikembangkan ke arah modernisasi. Dengan demikian optimalisasi penerimaan pajak dapat terlaksana dengan baik, efektif dan efisien.
Menurut Diana sari (2013: 19) tujuan modernisasi administrasi perpajakan adalah untuk menjawab latar belakang dilakukannya reformasi perpajakan yaitu: 1. Tercapainya tingkat kepatuhan pajak (tax compliance)
2. Tercapainya tingkat kepercayaan (trust)
3. Tercapainya tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi.
Menurut Djazoeli Sadhani (2012: 60) sistem administrasi perpajakan modern adalah suatu proses reformasi pembaharuan dalam bidang administrasi pajak yang dilakukan secara komprehensif, meliputi aspek teknologi informasi yaitu perangkat lunak, perangkat keras, dan sumber daya manusia dengan tujuan mencapai tingkat kepatuhan perpajakan dan tercapainya produktivitas kinerja aparat perpajakan yang tinggi.
Teori di atas sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiana Wirani (2016), Melani Anggarini Andriyaningrum (2015), Irfan Cahyadi (2015), Tolongana dan Kalalo (2012), Irawan dan Khairani (2012) yang membuktikan bahwa “Modernisasi Administrasi Perpajakan berpengaruh signifikan Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi”.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat digambarkan secara sederhana melalui bagan pada gambar di bawah ini :
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.6 Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2013: 93) hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang dijelaskan di atas maka penulis merumuskan hipotesis penelitian bahwa :
Ho : Modernisasi Administrasi Perpajakan Tidak Berpengaruh
Positif Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Ha : Modernisasi Administrasi Perpajakan Berpengaruh
Positif Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Modernisasi Administrasi
Perpajakan (X)
Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Y)