• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI METODE PENETAPAN KADAR ETANOL DAN PROFIL

SENYAWA YANG TERDAPAT DALAM HASIL PRODUKSI “CIU”

RUMAHAN DESA SENTUL KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN METODE KROMATOGRAFI GAS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Alexius Ario Panduwaskito NIM: 088114085

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

OPTIMASI METODE PENETAPAN KADAR ETANOL DAN PROFIL SENYAWA YANG TERDAPATDALAM HASIL PRODUKSI “CIU”

RUMAHAN DESA SENTUL KABUPATEN SUKOHARJO DENGAN METODE KROMATOGRAFI GAS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Alexius Ario Panduwaskito NIM: 088114085

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

Ucapan rasa syukur dan terimakasih untuk Dia yang Maha Esa

Karena berkat-Nya lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini

Penantian yang panjang pun telah berlalu

Saatnya menatap masa depan yang telah menanti di luar sana

Karya ini saya persembahkan untuk kedua orangtuaku yang kusayangi Mas Agung, Rista, dan Andika yang selalu mendukungku

(6)
(7)
(8)

INTISARI

Desa Bekonang merupakan salah satu daerah perkampungan yang terdapat di kabupaten Sukoharjo di Provinsi Jawa Tengah. Desa ini merupakan sentra produksi alkohol yang dikenal hasil produksinya oleh masyarakat sebagai “Ciu Bekonang”. Hasil produksi “Ciu Bekonang” digunakan sebagai bahan baku etanol medis oleh pabrik-pabrik pembuat alat kesehatan.

Sebelum dilakukan penetapan kadar etanol dan senyawa lain yang terkandung di dalam “Ciu Bekonang”, perlu dilakukan optimasi pada metode yang digunakan dalam penetapan kadar. Pentingnya dilakukan optimasi pada metode penetapan kadar ini untuk memperoleh pengaturan alat kromatografi yang dapat memperoleh hasil pemisahan peak yang bagus dan bila digunakan pada proses validasi, dapat memenuhi standar parameter-parameter validasi. Untuk memperoleh pemisahan peak senyawa yang optimum, dalam penelitian ini dilakukan optimasi suhu kolom awal, initial time, dan tekanan kolom. Optimasi dari ketiga faktor tersebut dilakukan untuk memperoleh peak yang memenuhi parameter-parameter optimasi, yakni waktu retensi, efisiensi kolom, resolusi, dan faktor asimetri.

Hasil optimasi pada metode penetapan kadar senyawa dalam “Ciu Bekonang” menggunakan Kromatografi Gas suhu terprogram antara lain suhu awal: 70oC; initial time: 2 menit; rate: 30oC/menit; suhu akhir: 220oC; waktu akhir: 2 menit; suhu injektor B: 200oC; suhu detektor A: 250oC; range: 3. Hasil perhitungan asymetri factor yaitu 1 untuk peak etanol dan n-butanol. Waktu retensi etanol yaitu 252 detik, resolusi 15,78 dan nilai efisiensi kolomnya sebesar 0,0009.

Kata kunci: Etanol, butanol, ciu Bekonang, kromatografi gas

(9)

ABSTRACT

Bekonang village is one of the villages located in Sukoharjo district in Central Java province. This village is a center for the production of alcohol that known of their products by the public as “Ciu Bekonang”. The production of “Ciu Bekonang” was used as a raw material by the medical ethanol manufacturers of medical devices.

Prior to the determination of ethanol and other compounds contained in the “Ciu Bekonang”, optimization needs to be done on methods used in the assay. The importance of optimization performed on the assay method was to obtain the settings tool of gas chromatography that generate good peak separation which meet the standard of validation parameters in validation process. To obtain optimum separation of peak compounds, the researcher has to optimize value of initial column temperature, initial time, and column pressure. Optimization of these three factors was done to obtain the peak that meets optimization parameters, specifically the retention time, column efficiency, resolution, and asymetri factor.

The optimization results of assay methods of the compounds in “ciu” Bekonang using programmed temperature gas chromatography include the initial temperature: 70°C; initial time: 2 minutes; rate: 30oC/menit; end temperature: 220°C; end time: 2 minutes; injector B temperature: 200oC; detector A temperature: 250oC; range: 3. The calculation results of asymetri factor were 1 for both of ethanol and n-buthanol peaks. The retention time of ethanol was 252 seconds, 15.78 for resolution and value of column efficiency was 0.0009.

Key Words: Ethanol, buthanol, ciu Bekonang, gas chromatography

(10)

Segala rasa puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penelitian dan penyusunan

skripsi yang berjudul “Optimasi Metode Penetapan kadar etanol dan profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi “ciu” rumahan Desa Sentul Kabupaten Sukoharjo dengan metode kromatografi gas” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar

Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta.

Dalam pelaksanaan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini,

penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Jeffry Julianus, M.Si. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

memberikan pengarahan, masukan, kritik dan saran baik selama penelitian

maupun penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Enade Perdana Istyastono, Ph.D., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan skripsi.

4. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan

skripsi.

KATA PENGANTAR

(11)

5. Ibu Christofori Maria Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt., selaku Kaprodi

Farmasi dan dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan semangat yang

telah diberikan selama ini.

6. Ibu Rini Dwi Astuti, M.Sc, Apt. selaku Kepala Laboratorium Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

7. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah

memberikan ilmu yang bermanfaat demi kemajuan mahasiswa dalam bidang

farmasi.

8. Seluruh staf laboratorium kimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma: Mas Bimo, Mas Bimo anpus, yang telah banyak membantu selama

penelitian di laboratorium.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu

penulis dalam mewujudkan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini, sehingga penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang

membangun. Semoga skripsi ini membantu dan bermanfaat bagi pembaca pada

khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Penulis

(12)

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. v

BAB I.PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar BelakangPenelitian ……….. 1

1. Permasalahan ……….... 3 2. Keaslian penelitian ………... 3 3. Manfaat penelitian ………... 4 a. Manfaat metodologis ... 4 b. Manfaat praktis ... 4 B. Tujuan Penelitian ……….. 4 DAFTAR ISI xi DAFTAR LAMPIRAN ………... xvii DAFTAR ISI ……… xi DAFTAR TABEL ……… xv DAFTAR GAMBAR ………... xvi INTISARI ……… vii ABSTRACT ………. viii KATA PENGANTAR ...………... ix HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

(13)

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA……… 5

A. Tetes Tebu (Molase)………. 5

B. Alkohol“Ciu Bekonang” ………. 6

C. Etanol ... 8

D. Kromatografi Gas ………... 8

1. Gas Pembawa ……….. 10

2. Sistem Injeksi Sampel ………. 12

3. Kolom ……….. 13

a. Kolom kemas ... 14

b. Kolom kapiler ... 14

4. Fase Diam ……… 15

5. Detektor ………... 16

6. Pengaturan Suhu ……….. 19

a. Operasi isotermal ... 19

b. Suhu terprogram ... 20

7. Analisis Kuatitatif ……….... 21

E. Parameter Optimasi Metode………... 21

F. Landasan Teori ...……….. 24

G. Hipotesis ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN………. 26

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………. 26

B. Variabel ………. 26

1. Variabel bebas ………. 26

(14)

2. Variabeltergantung ………. 26

3. Variabel pengacau terkendali ……….. 26

C. Definisi Operasional………. 27

D. Bahan Penelitian ……… 27

E. Alat Penelitian ……… 27

F. ProsedurKerja ……….. 28

1. Pemilihan sampel ………. 28

2. Preparasi sampel ……….. 28

3. Optimasi metode kromatografi gas……….. 28

a. Pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang ... 28

b. Pembuatan larutan sampel ... 29

c. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni dan n-butanol murni ... 29

d. Pengaturan instrumen kromatografi gas ... 29

e. Optimasi suhu kolom ... 30

f. Optimasi initial time ... 30

g. Optimasi tekanan kolom ... 31

G. Analisis Hasil ………. 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 33

A. Hasil Pemilihan Sampel ……… 33

B. Hasil Preparasi Sampel ...………. 33

C. Hasil Pemilihan Kolom .………. 34

(15)

D. Orientasi Metode Kromatografi Gas ... 35

1. Pemilihan sistem pengaturan suhu ...…… 35

2. Pengaturan alat dengan sistem suhu terprogram………. 37

E. Penggunaan Flame Ionization Detector (FID)……….. 39

F. Optimasi Metode Kromatografi Gas .……… 41

1. Hasil pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang……. 41

2. Pembuatan larutan sampel dengan standar internal n-butanol 42 3. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni, dan n-butanol murni ... 43

4. Hasil optimasi suhu kolom ... 46

5. Hasil optimasi initial time ... 50

6. Hasil optimasi tekanan kolom ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 56

A. Kesimpulan ……… 56 B. Saran ……….. 57 DAFTAR PUSTAKA ……….. 58 LAMPIRAN ………. 60 BIOGRAFI PENULIS………. 90 xiv

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I Kandungan Kimia Molase……….……. 6 Tabel II Contoh Gas Pembawadan Pemakaian Detektor ………... 11 Tabel III Kecepatan Linier Gas Pembawa untuk Kolom 30 m…… 12 Tabel IV Jenis Fase Diam dan Penggunaannya………... 15 Tabel V Jenis detektor, sampel, batas deteksi dan

kecepatan alir fase gerak……... 16 Tabel VI Pengaturan Awal Alat Kromatografi Gas…...…... 39 Tabel VII Hasil Perhitungan Nilai Resolusi (RS) ...…. 79

Tabel VIII Hasil Perhitungan Nilai Faktor Asimetri (AS)

Kromatogram Etanol ...…….... 83 Tabel IX Hasil Perhitungan Nilai Faktor Asimetri (AS)

Kromatogram n-Butanol ...…... 83 Tabel X Hasil Perhitungan Nilai Efisiensi Kolom(HETP)……….. 87

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lintasan Embden-Meyerhof-Parnas ... 7

Gambar 2 Skema Kerja Alat Kromatografi Gas……….. 9

Gambar 3 Karakteristik Gas Pembawa (N2, He, dan H2)………... 10

Gambar 4 Sistem Injeksi Kromatografi Gas……….... 13

Gambar 5 Kolom Kemas dan Kolom Kapiler……….. 15

Gambar 6 Skema FID………... 18

Gambar 7 Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Isothermal…. 35 Gambar 8 Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Terprogram… 36 Gambar 9 Kromatogram Baku Etanol Kadar Sedang ... 42

Gambar 10 Kromatogram Larutan Sampel ... 43

Gambar 11 Kromatogram Larutan Etanol p.a ... 44

Gambar 12 Kromatogram Larutan n-Butanol p.a……... 44

Gambar 13 Kromatogram Sampel………... 45

Gambar 14 Kromatogram Sampel Range 0………... 46

Gambar 15 Kromatogram Optimasi Suhu 50oC ... 47

Gambar 16 Kromatogram Optimasi Suhu 70oC……… 48

Gambar 17 Kromatogram Optimasi Suhu 90oC……… 49

Gambar 18 Kromatogram Optimasi Initial time 2 menit…………... 51

Gambar 19 Kromatogram Optimasi Initial time 3 menit…………... 51

Gambar 20 Kromatogram Optimasi Tekanan 10 psi…..…………... 53

Gambar 21 Kromatogram Optimasi Tekanan 7,5 psi…..………….. 53

Gambar 22 Kromatogram Optimasi Tekanan 5 psi…..…... 54

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sertifikat analisis etanol ………. 61

Lampiran 2 Sertifikat analisis n-butanol ……….. 63

Lampiran 3 Kromatogram hasil optimasi suhu……….. 65

Lampiran 4 Kromatogram hasil optimasi initial time……… 67

Lampiran 5 Kromatogram hasil optimasi tekanan………. 70

Lampiran 6 Data perhitungan resolusi ... 79

Lampiran 7 Data perhitungan nilai faktor asimetri (AS)……….... 82

Lampiran 8 Data perhitungan nilai efisiensi kolom (HETP) ……. 86

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Desa Bekonang merupakan salah satu daerah perkampungan yang

terdapat di wilayah kabupaten Sukoharjo di Provinsi Jawa Tengah. Desa ini

merupakan sentra produksi alkohol yang dikenal hasil produksinya oleh

masyarakat sebagai “ciu Bekonang”. Pekerjaan sebagai produsen industri rumah tangga pembuatan alkohol telah dilakukan sejak jaman dahulu.

Alkohol produksi Bekonang dibuat dari bahan dasar tetes tebu yang

difermentasikan dan mengalami proses destilasi sehingga diperoleh etanol

(Widodo, 2004). Tetes tebu yang digunakan merupakan sisa hasil produksi pabrik

gula yang kemudian difermentasikan. Proses fermentasi menggunakan ragi yang

mengandung spesies mikroba seperti saccharomyces cerevisiae yang berlangsung

kurang lebih selama 5-6 hari. Dari hasil fermentasi ini kemudian dilakukan proses

destilasi dengan pemanasan menggunakan kompor tungku dan alat destilasi yang

terbuat dari pipa-pipa yang terdapat pendinginnya (Sebayang, 2006).

Produsen di Bekonang memproduksi etanol dengan kadar 30-40% yang

disebut dengan “ciu” Bekonang. Hasil produksi tersebut digunakan sebagai bahan baku etanol medis oleh pabrik-pabrik pembuat alat-alat kesehatan.

Etanol atau alkohol merupakan senyawa kimia yang berbentuk cair dan

bersifat volatil (mudah menguap). Etanol mudah terbakar dan titik didihnya 78oC (Pharmaceutical Press, 2009). Karena bersifat volatil, senyawa ini sangat cocok

(20)

ditetapkan kadarnya menggunakan metode kromatografi gas. Kromatografi gas

merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa

yang mudah menguap dalam suatu campuran (Gandjar dan Rohman, 2007).

Prinsip pemisahan dalam kromatografi gas yaitu dengan cara partisi dari

komponen-komponen senyawanya berdasarkan titik didih dan kepolaran

komponen-komponen senyawanya dengan menggunakan fase gas sebagai fase

gerak, dan fase cair sebagai fase diam. Prinsip penetapan kadar dengan

kromatografi gas adalah sampel diinjeksikan pada instrumen dan oleh gas yang

mempunyai tekanan tertentu sampel dibawa menuju kolom kapiler untuk

dipisahkan berdasarkan komponen penyusun dan diteruskan menuju detektor.

Dari detektor dihasilkan sinyal pembacaan untuk dicatat oleh rekorder sehingga

menghasilkan kromatogram. Kadar senyawa diketahui dengan menghitung luas

area kromatogram.

Untuk dapat menetapkan kadar etanol dengan hasil yang dipercaya dan

profil senyawa lain yang terdapat di dalam hasil produksi “ciu” perlu dilakukan serangkaian penelitian terdahulu yaitu optimasi dan validasi. Dalam hal ini,

peneliti mengambil bagian tahap optimasi metode kromatografi gas yang akan

digunakan pada penetapan kadar “ciu Bekonang” ini. Oleh karena sampel yang digunakan mengandung komponen-komponen senyawa yang mempunyai titik

didih dan polaritas yang hampir sama, maka peneliti menggunakan metode

kromatografi gas dengan suhu terprogram untuk menghasilkan pemisahan

(21)

Pada sistem kromatografi gas dengan suhu terprogram, suhu kolom

ditingkatkan secara bertahap dari suhu awal kolom pada rentang waktu tertentu

sampai batas suhu maksimal kolom. Oleh karena itu, untuk menetapkan suhu awal

kolom dan rentang waktu peningkatan suhu pada sistem kromatografi gas ini

perlu dilakukan optimasi parameter-parameter yang dapat mempengaruhi proses

pemisahan komponen-komponen senyawa di dalam hasil produksi “ciu”. Parameter-parameter yang akan dioptimasi yaitu suhu kolom, tekanan kolom, dan

initial time. Untuk menghasilkan pemisahan kromatogram komponen–komponen senyawa dalam sampel yang optimal maka peak senyawa yang dihasilkan harus

memiliki waktu retensi yang cepat, nilai resolusi lebih dari 1,5, nilai faktor

asimetri sama dengan 1, dan nilai efisiensi kolom kurang dari 1.

1. Permasalahan

Bagaimana kondisi optimal sistem kromatografi gas untuk dapat

menetapkan kadar etanol dalam sampel “ciu” Bekonang?

2. Keaslian Penelitian

Peneliti menemukan penelitian serupa yang pernah dilakukan yaitu

penelitian yang berjudul “Perbandingan Metode Kromatografi Gas dan Berat Jenis Pada Penetapan Kadar Etanol Dalam Minuman Anggur” (Mardoni, 2006). Namun sejauh yang diketahui penulis dan studi pustaka yang telah dilakukan

penulis, penelitian mengenai optimasi metode penetapan kadar dan profil

kandungan alkohol hasil produksi industri “ciu” rumahan di daerah Sukoharjo secara kromatografi gas belum pernah dilakukan.

(22)

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat metodologis. Dengan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan ilmiah mengenai metode kromatografi yang dipilih untuk

menetapkan kadar etanol dalam hasil produksi “ciu” di desa Sentul kabupaten Sukoharjo.

b. Manfaat praktis. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai hasil optimasi metode dalam penetapan kadar etanol dan

profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi “ciu” rumahan desa Sentul kabupaten Sukoharjo dengan metode kromatografi gas.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui kondisi optimal sistem

kromatografi gas untuk dapat menetapkan kadar etanol dalam sampel “ciu” Bekonang.

(23)

5

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tetes Tebu (Molase)

Tetes tebu (molase) adalah salah satu hasil samping pabrik gula tebu yang

masih memiliki kandungan gula yang tinggi sekitar 52 persen, sehingga

memungkinkan dijadikan bahan baku berbagai industri. Industri yang

memanfaatkan tetes tebu adalah industri yang menghasilkan produk distilasi,

alkohol salah satunya. Molase mengandung gula yang tidak mengkristal, sehingga

gula tersebut dapat dimanfaatkan untuk memproduksi etanol melalui proses

fermentasi (Juwita, 2012).

Molase masih mengandung kadar gula yang cukup untuk dapat

menghasilkan etanol dengan proses fermentasi, biasanya pH molase berkisar

antara 5,5-6,5. Molase yang masih mengandung kadar gula sekitar 10-18% telah

memberikan hasil yang memuaskan dalam pembuatan etanol (Simanjuntak,

(24)

Tabel I. Kandungan Kimia Molase (Widyanti, 2010) Komponen Analisa % Air Gravimetri 20 Senyawa Organik Gula: Sakrosa Somoghi-Nelson 32 Glukosa Somoghi-Nelson 14 Fruktosa Somoghi-Nelson 16 Senyawa Nitrogen Kjeldahl 10 Senyawa Anorganik Sio2 Titrimetri 0.5 K2O Titrimetri 3.5 CaO Titrimetri 1.5 MgO Titrimetri 0.1 P2O5 Titrimetri 0.2 Na2O Titrimetri -Fe2O3 Titrimetri 0.2 Al2O3 Titrimetri

-Residu soda dan karbonat (CO2) 1.6 Residu Sulfat (sebagai SO3 0.4

B. Alkohol“Ciu Bekonang”

Di Desa Bekonang Kabupaten Sukoharjo terdapat pengerajin industri kecil

skala rumah tangga yang menghasilkan alkohol untuk keperluan bahan baku

kimia industri dan juga keperluan pengobatan. Alkohol yang dihasilkan berasal

dari fermentasi tetes tebu. Tetes tebu tersebut diberikan enzim yang berasal dari

jamur lalu didiamkan beberapa hari, hasil fermentasi di destilasi dengan alat

buatan sendiri yang berasal dari drum, lalu hasil destilasi tersebut disaring

sehingga menghasilkan cairan yang jernih (Widodo, 2004).

Fermentasi merupakan proses kegiatan mikrobia pada bahan pangan

(25)

cerevisiae merupakan mikroorganisme yang terlibat dalam mengubah gula pada

substrat menjadi alkohol pada kondisi aerob (Hidayat, 2008).

Dalam fermentasi ini glukosa didegradasi menjadi etanol dan CO2 melalui

suatu jalur metabolisme yang disebut glikolisis yang biasa jalurnya disebut jalur

Embden-Meyerhof-Parnas (Sebayang, 2006).

(26)

C. Etanol

Etanol merupakan cairan bening, tidak berwarna, mudah mengalir,

mudah menguap dengan bau spritus dan rasa membakar. Etanol mudah terbakar,

titik didihnya sekitar 78oC (Pharmaceutical Press, 2009).

Senyawa ini merupakan jenis obat psikoaktif. Etanol termasuk ke dalam

alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O,

dan merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat

menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) (Myers

and Myers, 2007).

Etanol yang dihasilkan diperoleh dari peragian karbohidrat yang

berkataliskan enzim. Enzim tersebut mengubah karbohidrat ke glukosa kemudian

ke etanol. Reaksi ini terjadi tanpa adanya oksigen dan menghasilkan CO2

(Fessenden dan Fessenden, 1986).

C6H12O6 enzim CH3CH2OH+ CO2 (1)

D. Kromatografi Gas

Kromatografi gas merupakan metode yang dinamis untuk pemisahan dan

deteksi senyawa-senyawa yang mudah menguap dalam suatu campuran.

Kegunaan umum Kromatografi Gas (KG) adalah untuk melakukan pemisahan

dinamis dan identifikasi semua jenis semua senyawa organik yang mudah

menguap dan juga melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam

(27)

KG terdapat dua tipe yang sering digunakan, tipe pertama yaitu gas-solid

(adsorption) chromatography dan gas-liquid (partition) chromatography

(Christian, 2004). Pemakaian zat cair sebagai fase diam ternyata lebih meluas

dibandingkan zat padat, sehingga teknik ini kadangkala dikenal sebagai

kromatografi gas-cair (Khopkar, 1990).

Komponen dasar dari KG adalah sebagai berikut:

1. Sumber gas pembawa dengan regulator tekanan dan kontrol aliran

2. Tempat injeksi dan syringe

3. Kolom pemisah

4. Detektor

5. Oven dengan pengatur suhu yang dapat diprogram untuk berbagai tingkat

temperatur

6. Recorder atau alat pencatat (Dean, 1995).

(28)

1. Gas Pembawa

Gas pembawa merupakan fase gerak yang berfungsi untuk membawa

cuplikan melewati kolom. Gas yang biasa digunakan adalah helium, nitrogen,

hidrogen, dan argon. Gas-gas ini relatif tidak mahal, bisa didapatkan dengan

mudah, tidak begitu berbahaya serta bersifat tidak reaktif sehingga tidak bereaksi

dengan molekul-molekul cuplikan pada tekanan dan suhu kromatograf (Christian,

2004).

Ketiga jenis gas pembawa tersebut hampir memberikan harga HETP

yang sama tapi pada kecepatan alir yang berbeda. Gas N2 memerlukan kecepatan

alir yang lambat (10cm/detik) untuk mencapai kinerja (efisiensi) yang optimum

dengan HETP minimum. Sementara H2dan He dapat dialirkan lebih cepat untuk

memperoleh efisiensi yang optimum, 25 cm/detik untuk gas H2 dan 35 cm/detik

untuk gas He (Hendayana, 2010).

(29)

Syarat gas pembawa yaitu murni dan tidak reaktif, gas pembawa keadaan

murni agar tidak berpengaruh pada detektor dan disimpan dalam tangki

bertekanan tinggi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Gas pembawa dipilih berdasarkan sifat inert-nya. Fungsi utamanya

adalah membawa uap analit melalui system kromatografi tanpa berinteraksi

dengan komponen-komponen sampel. Terkadang pemilihan gas pembawa

ditentukan oleh detektor yang digunakan (Dean, 1995).

Tabel II. Contoh Gas Pembawa dan Pemakaian Detektor (Gandjar dan Rohman, 2007)

Gas pembawa Detektor

Hidrogen Hantar panas Helium Hantar panas Ionisasi nyala Fotometri nyala Termoionik Nitrogen Ionisasi nyala

Tangkap elektron Fotometri nyala Termoionik Argon Ionisasi nyala Argon + metana 5% Tangkap elektron Karbon dioksida Hantar panas

Untuk kolom kapiler, aliran gas pembawa paling baik diungkapkan

dengan kecepatan rata-rata linear (µ, cm/detik), bukan dengan laju alir volumetrik

(F, mL/menit). Kecepatan rata linear dapat diartikan sebagai kecepatan

(30)

Tabel III. Kecepatan Linear Gas Pembawa untuk Kolom 30 m (MSP KOFEL, 2005)

Diameter Kolom (mm)

Kecepatan Linear (cm/detik) Laju Alir (mL/menit)

He H2 He H2 0.18 30-45 45-60 0,5-0,7 0,7-0,9 0.25 30-45 45-60 0,9-1,3 1,3-1,8 0.32 30-45 45-60 1,4-2,2 2,2-2,9 0.45 30-45 45-60 2,9-4,3 4,3-5,7 0.53 30-45 45-60 4,0-6,0 6,0-7,9

2. Sistem Injeksi Sampel

Fungsi tempat penginjeksian adalah untuk menyediakan jalan masuk bagi

syringe dan juga sampel ke dalam aliran gas pembawa dan untuk menyediakan

panas yang cukup untuk menguapkan sampel (Dean, 1995).

Pada dasarnya, ada 4 sistem penginjeksian sampel pada KG, yaitu:

a. Injeksi langsung (direct injection), yang mana sampel yang diinjeksikan akan

diuapkan dalam injektor yang panas dan dan 100% sampel masuk menuju

kolom.

b. Injeksi terpecah (split injection), yang mana sampel yang diinjeksikan

diuapkan dalam injektor yang panas dan selanjutnya dilakukan pemecahan.

c. Injeksi tanpa pemecahan (splitness injection), yang mana hampir semua

sampel diuapkan dalam injektor yang panas dan dibawa ke dalam kolom

karena katup pemecah ditutup.

d. Injeksi langsung ke kolom (on column injection), yang mana ujung septum

(31)

Cuplikan yang dapat dianalisis dengan teknik KG dapat berupa zat cair

dan gas. Dengan syarat cuplikan tersebut mudah menguap dan stabil (tidak rusak

pada kondisi operasional). Di tempat pemasukan cuplikan terdapat pemanas yang

suhunya dapat diatur untuk menguapkan cuplikan. Suhu tempat penyuntikan

cuplikan biasanya sekitar 50 derajat di atas titik didih cuplikan. Bila cuplikan

rusak pada suhu tersebut maka cuplikan tersebut tidak dapat dianalisis dengan

teknik KG. Untuk kolom analitik memerlukan antara 0,1-10 µL cuplikan cair

sedangkan kolom preparatif memerlukan antara 20-1000 µL (Hendayana, 2010).

Gambar 4. Sistem injeksi kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007)

3. Kolom

Kolom merupakan tempat terjadinya proses pemisahan karena di

dalamnya terdapat fase diam, sehingga merupakan komponen yang sentral

(32)

mengandung fase diam yang bias berupa adsorben (kromatografi gas, padat) atau

cairan. Kolom tersebut terbuat dari logam, gelas, atau silika (Dean, 1995).

Ada 2 tipe kolom yang digunakan dalam KG yaitu kolom kemas dan

kolom kapiler. Kolom kemas adalah kolom tipe pertama dan telah digunakan

selama beberapa tahun. Kolom kapiler merupakan kolom yang paling banyak

digunakan sekarang, tetapi kolom kemas tetap digunakan untuk penelitian yang

tidak membutuhkan resolusi tinggi atau ketika dibutuhkan peningkatan kapasitas

kolom (Christian, 2004).

a. Kolom kemas

Kolom yang biasanya dibuat dari gelas atau kaca yang disilanisasi untuk

menghilangkan senyawa silanol polar Si-OH dari permukaannya yang

menyebabkan tailing pada peak dari analit polar. Internal diameternya 2-5 mm,

kolomnya dikemas dengan partikel solid pendukung yang disalut dengan cairan

fase diam (Watson, 1999).

Dibandingkan dengan kolom kapiler, kolom kemas memiliki variasi

panjang jalur aliran fase gerak dan lapisan film diskontinyu dari fase diamnya

yang tidak seragam (Dean, 1995).

b. Kolom kapiler

Kolom kapiler terbuat dari lelehan silika yang disalut bagian luarnya

dengan poliamida untuk memberikan sifat fleksibel kolom. Penyalutan dengan

aluminium juga telah dilakukan untuk pengerjaan pada suhu yang tinggi

(>400oC). Internal diameternya 0,15-0,5 mm. Dinding kolom disalut dengan cairan fase diam yang memberi lapisan tipis antara 0,1-5µm (Watson,1999).

(33)

Memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kolom kemas yaitu

fleksibel, awet/tahan lama, dan memiliki silika kapiler yang bersifat inert terhadap

bahan kimia (Dean, 1995).

Gambar 5. Kolom kemas dan kolom kapiler (Rohman, 2009)

4. Fase Diam

Fase diam yang dipilih berdasarkan polaritas dari sampel yang akan

diujikan, dengan prinsip “like dissolve like”, oleh karena itu fase diam yang polar akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang lebih polar, dan begitulah

sebaliknya fase diam yang non polar akan lebih berinteraksi dengan senyawa yang

lebih non polar (Christian, 2004).

Komponen-komponen sampel harus teretensi di fase diam untuk

memperoleh resolusi. Retensi yang semakin lama dan selektif akan menghasilkan

resolusi yang semakin baik. Selektivitas bisa divariasi hanya dengan mengubah

(34)

Tabel IV. Jenis Fase Diam dan Penggunannya (Gandjar dan Rohman, 2007)

Fase diam Polaritas Golongan sampel Suhu maksimumoC Squalen Non polar Hidrokarbon 125oC Apiezon L Non polar Hidrokarbon, ester, eter 300oC Metil silikon Non polar Steroid, pestisida,

alkaloida, ester

300oC Dionil ptalat Semi polar Semua jenis 170oC Dietilenglikosuksinat Polar Ester 200oC

Carbowax 20M Polar Alkohol, amina aromatik, keton

250oC

5. Detektor

Detektor merupakan perangkat yang berada di ujung kolom tempat

keluarnya fase gerak (gas pembawa) yang membawa komponen hasil pemisahan.

Pada garis besarnya detektor pada KG termasuk detektor diferensial, dalam arti

respons yang keluar dari detektor memberikan relasi yang linier dengan kadar atau

laju aliran massa komponen yang teresolusi (Rohman, 2009).

Detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Sensitivitas yang tinggi

b. Tingkat noise yang rendah

c. Respon yang linier pada rentang dinamis yang lebar

d. Respon yang baik pada semua komponen organik

e. Tidak sensitive pada variasi alirah dah perubahan suhu

f. Stabil dan ruggedness

g. Kemudahan penggunaan

(35)

Tabel V. Jenis Detektor, Sampel, Batas Deteksi dan Kecepatan Alir Fase gerak (Rohman, 2009)

Jenis detektor Jenis sampel Batas deteksi

Kecepatan alir (ml/ menit) Gas

pembawa H2 Udara Hantar panas Senyawa umum 5-100 ng 15-30 - -Ionisasi nyala Hidrokarbon 10-100 pg 20-60 30-40

200-500 Penangkap elektron Halogen organik, pestisida 0,05-1 pg 30-60 - 70-100 Nitrogen-fosfor Senyawa nitrogen organik dan fosfat

organic 0,1-10 g 20-40 1-5 60-80 Fotometri nyala (393nm) Senyawa-senyawa sulful 10-100 pg 20-40 50-70 100-150 Fotometri nyala (393nm) Senyawa-senyawa fosfor 1-10 pg 20-40 120-170 -Fotoionisasi Senyawa-senyawa yang terionisasi dengan UV 2 pg 30-40 - -Konduktifitas elektronik Halogen, N, S 0,5 pg Cl 2 pg S 4 pg N 20-40 80 Forier transform -infra red Senyawa-senyawa organik 1000 pg 3-10 -

-Selektif massa Sesuai untuk senyawa apapun

10 pg- 10

ng 0,5-30 -

-Emisi atom Sesuai untuk elemen apapun

0,1–20

pg 60-70 -

-FID (Flame Ionization Detector) adalah detektor KG yang paling banyak

(36)

rentang dinamis yang lebar, sensitivitas tinggi, dan akan mendeteksi semua

senyawa yang mengandung karbon (Scott, 2003).

Gambar 6. Skema FID (Scott, 2003)

Pada pemakaian FID, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: pertama,

kecepatan alir O2(udara) dan H2. Untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal

sebaiknya kecepatan aliran H2 + 30 mL/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua

adalah suhu FID harus diatas 100oC. Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap air yang mengakibatkan FID berkarat atau kehilangan (menurun)

sensitivitasnya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Solut yang keluar dari kolom dicampur H2 dan udara kemudian dibakar

pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon senyawa organik dapat

menghasilkan radikal CH yang selanjutnya menghasilkan ion CHO+dalam nyala hidrogen–udara.

(37)

CHO+yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala. Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai

sinyal pada rekorder. Detektor ini jauh lebih peka daripada detektor daya hantar

panas. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat kalau N2digunakan

sebagai gas pembawa (Hendayana, 2010).

6. Pengaturan Suhu

Secara keseluruhan, pemilihan suhu dalam kromatografi gas

berhubungan dengan beberapa faktor. Suhu injektor harus relatif tinggi, konsisten

dengan stabilitas thermal sampel, untuk memberikan kecepatan penguapan yang

paling tinggi agar sampel masuk ke kolom dalam volum kecil, menurunkan

penyebaran dan meningkatkan resolusi. Suhu kolom berhubungan dengan

kecepatan, sensitifitas dan resolusi. Pada suhu tinggi, sampel berada pada fase gas

terlama dan terelusi dengan cepat, tetapi resolusinya jelek. Pada suhu rendah,

sampel berada di fase diam paling lama dan terelusi dengan lamban; resolusi

meningkat tetapi sensitifitas menurun. Suhu detektor harus cukup tinggi untuk

mencegah sampel terkondensasi (Christian, 2004).

KG didasarkan pada dua sifat senyawa yang dipisahkannya yakni

kelarutan senyawa dan titik didih senyawa. Karena titik didih senyawa

berhubungan dengan suhu makan suhu merupakan faktor utama dalam

kromatografi gas (Gandjar dan Rohman, 2007).

a. Operasi isotermal

Pemilihan suhu kolom untuk operasi isotermal merupakan permasalahan

(38)

komponen-komponennya memiliki titik didih dengan rentang yang luas

menghasilkan hasil kromatograf yang tidak memuaskan hanya dengan single

isotermal run. Pemisahan pada suhu kolom yang sedang mungkin menghasilkan

resolusi yang bagus untuk komponen dengan titik didih rendah tetapi

membutuhkan waktu yang panjang untuk mengelusi komponen dengan titik didih

tinggi. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan suhu kolom beberapa

poin lebih tinggi selama pemisahan sehingga komponen dengan titik didih tinggi

akan terelusi lebih cepat dan dengan peak yang lebih berdekatan (Dean,1995).

b. Suhu terprogram

Pemisahan konstituen-konstituen dalam sampel yang mempunyai daerah

titik didih luas dapat diperbaiki dan dipercepat dengan menaikan temperatur

kolom pada suatu laju yang seragam. Cairan yang mempunyai titik didih rendah

akan terelusi terlebih dahulu, sedangkan pada temperatur lebih tinggi zat yang

mempunyai titik didih lebih tinggi baru akan terelusi (Khopkar, 1990).

Sampel diinjeksikan ke dalam sistem kromatografi ketika suhu kolom di

bawah suhu komponen sampel pada titik didih terendah, diutamakan di bawah

suhu 90oC. Suhu kolom kemudian dinaikkan dengan kecepatan yang telah ditentukan. Pada aturan umumnya, waktu retensi dibagi pada peningkatan suhu

20-30oC. Suhu akhir seharusnya mendekati titik didih komponen yang terelusi terakhir tetapi tidak boleh melebihi batas maksimal suhu pada fase diam yang

digunakan. Kecepatan pemanasan 3-5oC/menit harus dicoba pada awal operasi kemudian diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh pemisahan yang optimum

(39)

7. Analisis kuantitatif

Analisis kuantitatif secara KG menggunakan metode standar internal.

Metode standar internal digunakan karena terdapat ketidakpastian yang

disebabkan injeksi sampel, kecepatan aliran gas, dan variasi keadaan kolom dapat

diminimalisasi. Dalam prosedur ini, standar internal yang telah diukur dengan

seksama dimasukkan ke dalam setiap larutan baku dan sampel, dan rasio luas

puncak analit terhadap luas puncak standar internal adalah parameter analisisnya.

Puncak standar internal dan puncak lainnya harus terpisah dengan baik sebagai

syarat keberhasilan metode ini (Skoog, West, dan Holler, 1994).

Untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif

bersifat stabil dan reprodusibel, baik pada penyiapan sampel atau proses

kromatografi, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis

kuantitatif:

a. Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari

komponen-komponen lain dalam kromatogram

b. Baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia

c. Prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan (Rohman, 2009).

E. Parameter Optimasi Metode

Dalam kromatografi modern terdapat beberapa parameter yang

berhubungan satu dengan yang lain dan perlu dimengerti untuk memahami konsep

kromatografi. Parameter tersebut adalah waktu retensi, faktor kapasitas,

(40)

1. Waktu retensi

Waktu retensi (tR) adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu

komponen campuran keluar kolom, dengan kata lain waktu yang diperlukan suatu

komponen campuran (solute) untuk keluar dari kolom. Waktu retensi diukur

melalui kromatogram dari menit ke-0 hingga muncul puncak peak (Hendayana,

2010).

2. Faktor Kapasitas

Faktor kapasitas (k’) merupakan suatu ukuran kekuatan interaksi suatu komponen dengan fasa diam yang diformulasikan sebagai berikut:

(3)

K’= faktor kapasitas

tR = waktu retensi yaitu waktu yang diperlukan oleh suatu komponen

yang berinteraksi dengan fasa diam untuk meninggalkan kolom

t0 = waktu yang diperlukan oleh suatu komponen yang tidak berinteraksi

dengan fasa diam untuk meninggalkan kolom

ns= jumlah mol suatu senyawa di dalam fasa diam

nm= jumlah mol suatu senyawa di dalam fasa gerak

VS= volume fasa diam

Vm= volume fasa gerak

Senyawa yang mempunyai harga faktor kapasitas tinggi menunjukkan

(41)

senyawa yang mempunyai faktor kapasitas yang rendah menunjukkan komponen

tersebut berinteraksi dengan fase diam secara lemah (Hendayana, 2010).

3. Selektivitas

Selektivitas (α) diartikan sebagai ukuran keterpilihan dua komponen campuran yang dipisahkan, difromulasikan sebagai berikut:

α = (4)

K’1 dan k’2 masing-masing adalah faktor kapasitas komponen pertama dan komponen kedua. Harga selektivitas dapat sama dengan satu atau lebih besar dari

satu. Bila harga α = 1 berarti senyawa 1 dan senyawa 2 keluar dari kolom bersama-sama, dengan kata lain senyawa 1 dan senyawa 2 tidak dapat dipisahkan.

Sebaliknya bila α > 1 maka senyawa 1 keluar lebih cepat dari senyawa2. Semakin besar nilai α maka semakin baik pemisahan(Hendayana, 2010).

4. Efisiensi

Tingkat pemisahan dengan kromatografi tercermin pada peak-peak

kromatogram yang dihasilkan. Semakin lebar suatu peak kromatogram maka

dapat dikatakan pemisahan semakin kurang efisien. Secara kuantitatik, efisiensi

dapat dijelaskan dengan teori plat (N). Pemahaman teori plat sebagai berikut:

dalam proses kromatografi terjadi kesetimbangan distribusi di antara fase gerak

dan fase diam ketika solute bergerak melalui kolom (Hendayana, 2010).

Dengan kata lain, kromatografi merupakan proses ekstraksi

berkesinambungan. Semakin banyak proses ekstraksi dilakukan maka semakin

(42)

ekstraksi sebanyak N kali. Semakin besar nilai N maka semakin baik pemisahan

(Hendayana, 2010).

5. Resolusi

Tujuan utama dari kromatografi adalah memisahkan

komponen-komponen campuran secara sempurna. Derajat pemisahan dua komponen-komponen

campuran dalam proses kromatografi dinyatakan dengan istilah resolusi (RS)

(Hendayana, 2010).

Rumus perhitungan resolusi:

RS=

   

B A A R B R

W

W

t

t

2

(5)

(Skoog, West, dan Holler, 1994).

Nilai resolusi 0,6 digunakan untuk melihat terbentuk “lembah” dari 2 puncak dengan tinggi yang sama. Nilai 1,0 menghasilkan 2,3% overlap pada 2

puncak dengan tinggi yang sama dan diyakini sebagai pemisahan yang minimum

untuk menghasilkan hasil kuantitatif yang bagus. Hasil 1,5 hanya menyebabkan

0,1% overlap pada puncak yang sama tinggi dan menjadi dasar suatu nilai resolusi

yang cocok dan bagus untuk puncak yang sama tinggi (Christian, 2004).

F. Landasan Teori

Metode kromatografi gas digunakan dalam penetapan kadar etanol dan

profil senyawa yang terdapat dalam hasil produksi “ciu” berdasarkan perbedaan titik didih senyawa–senyawa golongan alkohol yang terkandung di dalam hasil produksi “ciu” dan interaksinya dengan fase gerak dan fase diam di dalam kolom

(43)

KG yang digunakan. Sistem KG menggunakan sistem pengaturan suhu

terprogram karena senyawa–senyawa alkohol di dalam “ciu” memiliki titik didih yang berdekatan sehingga perlu dilakukan pengaturan suhu yang tepat untuk

memperoleh kromatogram hasil pemisahan senyawa yang memenuhi

parameter-parameter optimasi. Alat KG perlu diketahui kondisi optimalnya agar memperoleh

hasil yang memenuhi parameter validasi pada proses selanjutnya.

G. Hipotesis

Metode kromatografi gas pada penetapan kadar dan profil alkohol hasil

produksi “ciu” rumahan daerah kabupaten Sukoharjo memenuhi parameter optimasi yang meliputi waktu retensi, efisiensi kolom, resolusi dan asymetri

(44)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan

rancangan penelitian deskriptif dikarenakan mendeskripsikan keadaan yang ada

dan dilakukan manipulasi terhadap subjek uji.

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah alkohol hasil produksi industri

rumahan daerah Sukoharjo

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah waktu retensi, resolusi,

asimetri faktor, dan efisiensi kolom yang dihasilkan.

3. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

a. Pelarut, untuk mengatasinya digunakan pelarut pro analisis dengan kemurnian

tinggi.

b. Kondisi lingkungan, dikarenakan etanol mudah menguap, oleh karena itu

wadah sampel selalu dalam posisi tertutup.

(45)

C. Definisi Operasional

1. Sampel yang digunakan adalah alkohol hasil produksi industri rumahan

daerah Sukoharjo.

2. Optimasi metode kromatografi gas menggunakan sistem kromatografi gas

dengan pengaturan awal yaitu kolom kapiler CP-Wax CB 25 (i.d. 0,32 mm),

Flame Ionization Detector (FID), serta suhu terprogramkan.

3. Optimasi yang dilakukan meliputi optimasi temperatur awal kolom, optimasi

initial time, dan optimasi tekanan kolom.

4. Parameter optimasi yang digunakan meliputi waktu retensi, resolusi, asimetri

faktor, dan efisiensi kolom.

D. Bahan-bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah “ciu” Bekonang dari fermentasi tetes tebu, baku etanol p.a.(E. Merck), , n-butanol p.a. (E. Merck),

akuabides (Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma), gas hydrogen HP

99,995% (CV. Perkasa), udara (Laboratorium Analisis Pusat Universitas Sanata

Dharma), gas nitrogen HP 99,9995% (CV. Perkasa).

E. Alat-alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat

Kromatografi Gas (HP 5890) dengan Flame Ionization Detector (FID), kolom

kapiler CP-Wax (25 m, i.d. 0,32 mm), alat-alat gelas yang lazim digunakan untuk

(46)

F. Prosedur Kerja 1. Pemilihan sampel

Penelitian ini menggunakan sampel yang berasal dari desa Bekonang

yang merupakan hasil industri rumahan produksi alkohol. Sampel diambil

sebanyak 600 mL setiap produksi dan diambil sebanyak tiga kali produksi yang

dilakukan di 15 rumah produksi dari 70 rumah produksi, pemilihan tempat

produksi dengan cara random yaitu dengan mengambil undian dan dipilih

sebanyak 15 rumah produksi dari total rumah produksi.

2. Preparasi sampel

Sampel yang didapat dihomogenkan terlebih dahulu dengan cara digojog

pada setiap botol, lalu sejumlah 100 mL sampel kemudian disaring dengan kertas

Whatman no 1 agar lebih jernih. Kemudian disimpan dalam botol tertutup untuk

menghindari penguapan sampel.

3. Optimasi metode kromatografi gas

A. Pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang

Larutan etanol p.a. sejumlah 600 µL diambil dan dimasukkan ke dalam

labu ukur 10 mL, kemudian ditambahkan standar internal sejumlah 600 µL

n-butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabidest hingga batas tanda dan

gojog homogen sehingga diperoleh konsentrasi larutan baku etanol 6%v/v.

Larutan ini dibuat masing-masing satu kali untuk pengerjaan 18 parameter

(47)

B. Pembuatan larutan sampel

Larutan sampel hasil preparasi diambil sejumlah 2000 µL menggunakan

mikropipet dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL, kemudian ditambahkan

standar internal 600 µL n-butanol ke dalam labu ukur. Encerkan dengan aquabides

hingga batas tanda.

C. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni dan n-butanol murni

Siapkan masing-masing 10 mL larutan etanol p.a., n-butanol p.a., dan

larutan sampel ke dalam labu uku 10 mL untuk diinjeksikan ke dalam

kromatografi gas dengan pengaturan awal.

Atur instrumen kromatografi gas dengan pengaturan awal sebagai berikut:

Gas : Nitrogen, Hidrogen, Udara

Kolom : Cp-Wax 52 CB, 25 m x 0.32 mm

Fase Diam : Polietilen glikol

Jenis Detektor : FID (Flame Ionization Detector)

Tekanan : 10 psi

Tekanan Udara : 4 bar

Tekanan Hidrogen : 2,2 bar

Tekanan Nitrogen : 1,5 bar

Split Vent : 99,2 mL/min

Purge Vent : 3,22 mL/min

Temperatur Awal : 70oC

Initial time : 2 menit

(48)

Rate : 30oC /min Temperatur Final : 220oC Waktu Final : 2 menit

Injektor B : 200oC Detektor A : 250oC

Range : 3

Injeksikan masing-masing 1 µ L larutan baku etanol dan larutan sampel

ke dalam instrumen kromatografi gas dengan pengaturan yang dipilih.

Bandingkan waktu retensi dan pemisahan antara kromatogram baku etanol dan

sampel.

E. Optimasi suhu kolom

Mengatur kromatografi gas dengan temperatur awal 50oC, 70oC dan 90oC bergantian, kemudian masing-masing injeksikan sejumlah 1 µL larutan baku.

Selanjutnya mencatat waktu retensi dan pemisahan yang dihasilkan pada

masing-masing kromatogram.

F. Optimasi initial time

Mengatur kromatografi gas dengan initial time 2 menit dan 3 menit

secara bergantian, kemudian masing-masing injeksikan sejumlah 1 µL larutan

baku etanol pada temperatur awal 50oC, 70oC, dan 90oC. Selanjutnya mencatat waktu retensi dan pemisahan yang dihasilkan pada masing-masing kromatogram.

(49)

G. Optimasi tekanan kolom

Mengatur kromatografi gas dengan tekanan kolom 5 psi, 7.5 psi dan 10

psi, atur masing-masing initial time pada 2 menit dan 3 menit secara berurutan.

Kemudian masing-masing injeksikan sejumlah 1 µL larutan baku etanol pada

temperatur awal 50oC, 70oC, dan 90oC. Selanjutnya mencatat waktu retensi dan pemisahan yang dihasilkan pada kromatogram.

G. Analisis Hasil

Kondisi optimal diperoleh dengan cara membandingkan kromatogram

yang dihasilkan pada masing-masing kondisi pengaturan instrumen yang telah

ditetapkan.

1. Waktu retensi (tR)

Waktu retensi (tR) adalah waktu mulai injeksi cuplikan hingga suatu

komponen campuran keluar kolom. Waktu retensi diukur melalui kromatogram

dari menit ke-0 hingga muncul puncak peak (Hendayana, 2010).

2. Resolusi

Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan antara waktu retensi 2 puncak

yang saling berdekatan (∆tR = tR2-tR1) dibagi dengan rata-rata lebar puncak

(W1+W2/2). Nilai resolusi > 1,5 untuk memberikan pemisahan puncak yang baik

(Gandjar dan Rohman, 2007).

3. Faktor asimetri

Faktor asimetri (tailing factor) digunakan untuk melihat ada tidaknya

(50)

TF = puncak tinggi 10% simetri garis dari diukur puncak kedua bagian lebar puncak tinggi 10% simetri garis dari diukur puncak pertama bagian lebar

(Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Efisiensi kolom

Ukuran efisiensi kolom dapat ditunjukkan dengan nilai HETP (Height

Equivalent to a Theoretical Plate, H). HETP diperoleh dari pembagian panjang

kolom (L) dengan jumlah lempeng (N), H= L / N. Jumlah lempeng (N) dihitung

dengan: N = 2 puncak dasar lebar retensi waktu 16      

(51)

33

BAB IV

A. Hasil Pemilihan Sampel

Penelitian ini menggunakan sampel alkohol hasil produksi rumahan yang

berasal dari dusun Sentul desa Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Terdapat sekitar 70 rumah produksi yang memproduksi “ciu” Bekonang, sehingga untuk menghasilkan data dengan kadar sampel yang representatif, maka sampel

yang diambil minimal 15% dari populasi rumah produksi yang ada.

Pemilihan sampel dilakukan secara acak dengan cara mengambil undi,

sehingga terpilihlah 15 rumah produksi yang dijadikan sampel penelitian. Hasil

pemilihan sampel adalah ciu Bekonang yang diambil sebanyak 600,0 mL dari

masing-masing rumah produksi.

B. Hasil Preparasi Sampel

Preparasi sampel dilakukan dengan menggojog sampel hingga homogen

kemudian disaring dengan kertas Whatman no.1 dan disimpan dalam botol

tertutup untuk menghindari penguapan alkohol bila sampel disimpan lebih dari

satu hari. Tujuan dari homogenisasi ini untuk mendapatkan sampel yang

diasumsikan telah seragam dalam hal kadar komponen-komponen senyawanya.

Hasil preparasi sampel ini adalah sampel yang memiliki homogenitas yang tinggi,

dalam arti memiliki kadar komponen-komponen senyawa yang seragam. Tidak

seperti validasi dan penetapan kadar, pada optimasi sampel hanya digunakan

(52)

untuk melihat pemisahan yang terjadi pada sampel dalam kondisi optimasi dan

tidak dihitung nilai AUCnya.

C. Hasil Pemilihan Kolom

Pemilihan kolom merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian

yang menggunakan metode kromatografi. Hal ini disebabkan karena kolom

merupakan tempat terjadinya pemisahan komponen-komponen sampel dan di

dalamnya terdapat fase diam sebagai pemeran penting dalam pemisahan

komponen-komponen sampel tersebut. Sampel yang digunakan diketahui

mengandung etanol yang merupakan senyawa organik cair yang bersifat mudah

menguap, polar, dan memiliki titik didih 78oC.

Berdasarkan sifat etanol tersebut, maka peneliti memilih kolom Cp-Wax

yang mengandung fase diam polietilen glikol yang memiliki sifat polar. Menurut

Sastrohamidjojo (2005), fase-fase cair (fase diam) polar, seperti polietilen glikol,

mempunyai sifat baik penerima maupun pemberi ikatan hidrogen sehingga fase

cair tersebut dapat memisahkan campuran senyawa-senyawa polar dan non polar

dalam suatu cuplikan / analit yaitu dengan menahan komponen-komponen polar.

Kolom Cp-Wax yang digunakan merupakan jenis kolom kapiler yang memiliki

kemampuan pemisahan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis kolom kemas.

Selain memiliki keunggulan dalam menghasilkan pemisahan komponen

senyawa yang baik, kolom Cp-Wax ini memiliki keterbatasan dalam suhu. Suhu

(53)

senyawa yang titik leburnya sangat tinggi atau belum melebur di atas suhu 250oC tidak bisa dianalisis menggunakan kolom Cp-Wax.

D. Orientasi Metode Kromatografi Gas

Sebelum dilakukan optimasi, peneliti melakukan orientasi untuk

menentukan pengaturan awal kromatografi gas yang tepat. Pada awalnya peneliti

hanya mencoba-coba berbagai suhu kolom, suhu injektor, dan suhu detektor untuk

melihat seberapa bagus pemisahan yang terjadi.

1. Pemilihan Sistem Pengaturan Suhu

Awalnya peneliti menggunakan operasi suhu isothermal di mana dalam

satu running alat hanya menggunakan satu suhu. Pengaturan suhu isothermal ini

sangat bagus untuk senyawa dengan titik didih rendah, tetapi sangat lama jika

mendeteksi senyawa dengan titik didih tinggi. Selain itu suhu isothermal ini tidak

dapat memisahkan dengan jelas komponen-komponen senyawa dengan titik didih

yang berdekatan.

Gambar 7. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Isothermal

A

Ket: A= etanol

(54)

Gambar 7 adalah gambar salah satu kromatogram hasil orientasi

menggunakan sistem suhu isothermal. Senyawa yang digunakan adalah baku

etanol kadar sedang, dengan pengaturan suhu kolom 120oC, suhu detektor dan injektor sama 250oC. Pengaturan itu adalah pengaturan terbaik pada saat itu, yang menghasilkan kromatogram yang cukup ramping dan runcing. Masalah yang

terjadi adalah dengan suhu yang cukup tinggi tetapi menghasilkan waktu retensi

etanol yang masih cukup lama, selain itu kromatogram ini juga memiliki nilai

faktor asimetri sama dengan 2, yang menunjukkan kromatogram tidak simetris.

Hal yang berbeda ditunjukkan pada kromatogram dengan metode

kromatografi gas suhu terprogram berikut ini:

Gambar 8. Kromatogram Baku Etanol dengan Suhu Terprogram

Gambar di atas adalah salah satu kromatogram baku etanol (A) dengan

standar internal n-butanol (B) yang dideteksi dengan kromatografi gas suhu

terprogram. Jika dibandingkan dengan kromatogram suhu isothermal sebelumnya,

kromatogram ini lebih runcing, simetris, dan ramping. Pengaturan suhu

terprogram yang dipakai yaitu suhu kolom awal 70oC, initial time 2 menit, suhu

A B

Ket: A= etanol B= n-butanol

(55)

detektor 250oC dan suhu injektor 200oC. Berbeda dengan kromatogram sebelumnya (Gambar 7), waktu retensi etanol yang dicapai lebih cepat +100 detik

walaupun suhu yang digunakan lebih rendah dari pengaturan dengan suhu

isothermal.

Fakta ini juga ditegaskan dengan pemisahan etanol dengan n-butanol

yang sangat baik. Maka dapat dikatakan bahwa dengan pengaturan suhu

terprogramkan hasil kromatogram yang diperoleh lebih baik dan pemisahan

dengan komponen senyawa lain juga lebih baik. Kelemahan pengaturan suhu

terprogramkan yaitu sistem pengaturan ini cukup kompleks sehingga perlu banyak

komponen yang butuh dioptimasi.

2. Pengaturan Alat dengan Sistem Suhu Terprogram

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa kekurangan sistem

suhu terprogramkan adalah pengaturannya lebih banyak daripada sistem suhu

isothermal. Pada pengaturan suhu terprogramkan terdapat pengaturan tambahan

yang tidak digunakan pada sistem suhu isothermal antara lain initial time dan

initial temperature, final time dan final temperature, serta rate. Pengaturan

tambahan inilah yang menjadikan sistem suhu terprogram dapat menghasilkan

pemisahan komponen-komponen senyawa yang lebih baik.

Initial time merupakan pengaturan yang mengatur waktu kapan kita

menginginkan fase gerak membawa sampel menuju kolom untuk dilakukan

pemisahan komponen-komponen senyawanya. Fungsi dari menahan sampel ini

adalah memberikan waktu pada kolom untuk mencapai suhu yang dikehendaki

(56)

ada initial temperature yang merupakan suhu awal kolom yang ingin dicapai

sebelum berinteraksi dengan komponen senyawa. Initial temperature ini harus

dicapai kolom selama initial time.

Kemudian initial temperature akan meningkat sesuai rate yang

diinginkan. Rate merupakan tetapan peningkatan suhu kolom beberapa derajat

setiap menitnya sampai mencapai final temperature. Peningkatan initial

temperature dimulai setelah alat melewati initial time. Tujuan meningkatkan suhu

kolom secara bertahap adalah terjadinya pemisahan komponen-komponen

senyawa yang memiliki kadar kecil dengan jelas. Selain itu juga menyebabkan

peak senyawa berkadar tinggi menjadi lebih runcing dan simetris.

Selain pengaturan yang telah disebutkan di atas, ada pengaturan lain yang

pada umumnya harus dilakukan pada alat kromatografi gas antara lain column

head pressure, split vent, purge vent, tekanan udara, tekanan hidrogen, dan

(57)

Tabel VI. Pengaturan Awal Alat Kromatografi Gas

Jenis pengaturan Hasil

Gas Nitrogen, Hidrogen, Udara Kolom Cp-Wax 52 CB, 25 m x 0.32 mm Fase Diam Polietilen glikol

Jenis Detektor FID (Flame Ionization Detector)

Column head pressure 10 psi

Tekanan Udara 4 bar Tekanan Hidrogen 2,2 bar

Tekanan Nitrogen 1,5 bar

Split Vent 99,2 mL/min.

Purge Vent 3,22 mL/min.

Initial temperature 70oC

Initial time 2 min.

Rate 30oC/min.

Final temperature 220oC

Final time 2 min.

Suhu detektor 250oC Suhu injektor 200oC

Range 3

E. Penggunaan Flame Ionization Detector (FID)

FID atau yang biasa diartikan detektor ionisasi nyala merupakan salah

satu dari sekian banyak detektor yang digunakan dalam kromatografi gas. FID

merupakan detektor yang sudah cukup lama digunakan dalam kromatografi gas,

kemampuan detektor ini dalam mendeteksi senyawa yang memiliki karbon sangat

tinggi. Selain itu FID juga memiliki sensitivitas yang tinggi jika dibandingkan

dengan detektor lain.

Oleh sebab itu peneliti tidak melakukan optimasi untuk memilih detektor

yang paling cocok, disamping karena keterbatasan alat yang dimiliki, kemampuan

(58)

diragukan lagi. FID mampu mendeteksi semua senyawa yang memiliki atom

karbon terutama golongan alkohol. Menurut Gandjar dan Rohman (2007), untuk

memperoleh tanggapan FID yang optimal sebaiknya kecepatan aliran H2 + 30

mL/menit dan O2 sepuluh kalinya. Kedua adalah suhu FID harus diatas 100oC.

Hal ini bertujuan untuk mencegah kondensasi uap air yang mengakibatkan FID

berkarat atau kehilangan (menurun) sensitivitasnya.

Dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan O2tetapi menggunakan

udara sebagai bahan bakar dengan alasan keamanan laboratorium (sifat oksigen

lebih reaktif ditakutkan dapat meledak). Udara juga mengandung oksigen (O2)

tetapi dalam jumlah yang relatif aman sehingga mengurangi resiko terjadi

ledakan. Selain itu dalam penelitian ini juga diperoleh kecepatan aliran H2= 35

mL/menit, dan suhu detektor yang digunakan di atas 100oC yaitu 250oC. Berikut data kecepatan aliran gas yang diperoleh:

Kecepatan Aliran Gas Total : 452 mL/min

Kecepatan Aliran Gas Udara : 417 mL/min

Kecepatan Aliran Gas Hidrogen : 35 mL/min

Kecepatan Aliran Gas Pembawa Nitrogen : 0.8 mL/min Nitrogen make up: 27.7

mL/min

Menurut Hendayana (2010), solut yang keluar dari kolom dicampur H2

dan udara kemudian dibakar pada nyala di bagian dalam detektor. Atom karbon

senyawa organik dapat menghasilkan radikal CH yang selanjutnya menghasilkan

ion CHO+dalam nyala hidrogen–udara.

(59)

-CHO+yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas nyala. Arus yang mengalir di antara anoda dan katoda diukur dan diterjemahkan sebagai

sinyal pada rekorder. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan lebih meningkat

kalau N2digunakan sebagai gas pembawa.

Oleh sebab itu digunakannya gas hidrogen dan udara pada penelitian ini

meningkatkan jumlah atom karbon yang dengan mudah dapat dideteksi oleh FID.

Gas nitrogen yang digunakan sebagai gas pembawa juga berperan penting dalam

meningkatkan kepekaan/sensitivitas dari FID. Maka dari itu, kondisi ini sudah

berpotensi untuk menghasilkan hasil yang optimal dalam penetapan kadar dan

profil senyawa alkohol hasil produksi “ciu” rumahan di daerah kabupaten Sukoharjo.

F. Optimasi Metode Kromatografi Gas

Setelah melakukan orientasi, pemilihan kolom dan detektor yang

digunakan, maka kita sudah siap untuk melakukan optimasi metode kromatografi

gas untuk menetapkan kadar dan profil senyawa alkohol dalam “ciu”. Untuk melakukan optimasi itu sendiri perlu melalui beberapa tahap berikut ini:

1. Hasil pembuatan larutan seri baku etanol kadar sedang

Larutan seri baku etanol ini akan digunakan untuk pembuatan kurva baku

dalam bagian validasi metode dan penetapan kadar. Sedangkan larutan seri baku

yang digunakan dalam optimasi adalah larutan seri baku kadar sedang 6%v/v. Hal

ini dikarenakan larutan seri baku kadar sedang sudah dapat merepresentasikan

(60)

internal n- butanol yang memiliki fungsi mengkoreksi nilai AUC yang dihasilkan

karena instrumen kromatografi gas ini tidak dapat menghasilkan nilai AUC yang

konstan.

Total optimasi instrumen kromatografi gas yang akan dilakukan

sebanyak 18 kali, meliputi 6 kali optimasi suhu kolom, 6 kali optimasi initial time,

dan 6 kali optimasi tekanan kolom (column head pressure). Sehingga total larutan

seri baku etanol kadar sedang yang dibuat sebanyak 18 larutan.

Berikut ini adalah contoh kromatogram larutan seri baku etanol kadar

sedang yang diukur dengan pengaturan awal instrumen kromatografi gas:

Gambar 9. Kromatogram Baku Etanol Kadar Sedang

Etanol memiliki titik didih yang lebih rendah dari n-butanol sehingga

terelusi terlebih dahulu oleh fase gerak. Waktu retensi etanol adalah 253 detik dan

n-butanol 324 detik.

2. Pembuatan larutan sampel dengan standar internal n-butanol

Selain menggunakan larutan seri baku etanol kadar sedang, penelitian ini

juga ingin melihat pemisahan yang terjadi pada larutan sampel yang ditambah

A B

Ket: A= etanol B= n-butanol

(61)

dengan standar internal n-butanol. Kromatogram dari larutan sampel ini kemudian

dibandingkan dengan larutan seri baku etanol untuk melihat apakah di dalam

sampel dengan n-butanol terdapat senyawa etanol dengan cara membandingkan

waktu retensi etanol dengan waktu retensi peak kromatogram yang terbentuk pada

larutan sampel.

Contoh kromatogramnya:

Gambar 10. Kromatogram Larutan Sampel

Waktu retensi kedua peak tersebut berurutan yaitu 252 detik dan 323

detik. Maka jika dibandingkan dengan waktu retensi kromatogram pada Gambar 9

dapat dipastikan pada masing-masing larutan memiliki senyawa yang sama. Peak

no. 2 adalah standar internal n-butanol dan peak no. 1 adalah senyawa etanol.

Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa di dalam sampel hasil produksi “ciu” mengandung etanol sehingga dapat ditetapkan kadarnya.

3. Pembuatan larutan etanol murni, sampel murni, dan n-butanol murni

Larutan etanol murni adalah larutan etanol p.a. yang tanpa penambahan

standar internal maupun pengenceran. Hal ini sama halnya dengan larutan

n-A B

Ket: A= etanol B= n-butanol

(62)

butanol murni yang merupakan larutan n-butanol p.a. tanpa ditambahkan

pengenceran. Larutan sampel murni juga merupakan larutan sampel yang tidak

dilakukan pengenceran maupun ditambahkan standar internal. Ketiga larutan ini

dibuat dan diinjeksikan pada kromatografi gas untuk melihat waktu retensi

masing-masing larutan bila tanpa pengenceran atau penambahan apapun.

Kemudian dibandingkan dengan waktu retensi senyawa pada gambar 9 dan 10.

Berikut adalah gambar kromatogram ketiga larutan tersebut:

Gambar 11. Kromatogram Larutan Baku Etanol p.a

(63)

Gambar 13. Kromatogram Sampel

Waktu retensi senyawa etanol pada gambar 11 adalah 252 detik, waktu

retensi senyawa butanol pada gambar 12 adalah 323 detik, dan waktu retensi

senyawa etanol pada sampel gambar 13 adalah 252 detik. Waktu retensi pada

kromatogram ketiga larutan tersebut memiliki kesamaan dengan waktu retensi

peak kromatogram gambar sebelumnya. Perlu diketahui semua kromatogram dari

kelima gambar ini merupakan hasil pengukuran dari pengaturan awal instrumen

kromatografi gas.

Untuk sementara dapat disimpulkan bahwa waktu retensi senyawa etanol

pada instrumen kromatografi dengan pengaturan awal sebesar 252 detik.

Sedangkan senyawa butanol sebagai standar internal memiliki waktu retensi

sebesar 323 detik.

Pengukuran sampel ini juga memiliki tujuan lain yaitu mengecek adanya

senyawa lain selain etanol yang terkandung di dalam sampel. Dengan mengubah

nilai range (lihat tabel VI) menjadi 0 maka dapat kita lihat peak senyawa-senyawa

(64)

Gambar 14. Kromatogram Sampel Range 0

Peak kecil yang ditandai nomer 1 adalah peak senyawa lain selain etanol

di dalam sampel yang dapat terdeteksi oleh instrumen kromatografi gas. Senyawa

tersebut memiliki waktu retensi 247 detik. Senyawa tersebut memiliki kadar yang

sangat kecil di dalam sampel dan tidak terlihat dalam kromatogram dengan range

3. Oleh sebab itu, untuk memastikan profil atau nama senyawa tersebut dapat

digunakan metode kromatografi gas dengan spektrofotometri massa. Hal ini

dilakukan pada bagian penetapan kadar dan profil senyawa lain.

4. Hasil optimasi suhu kolom

Kegiatan optimasi metode diawali dengan menentukan suhu kolom atau

yang dalam sistem pengaturan suhu terprogram disebut dengan initial

temperature. Pemilihan besarnya suhu kolom yang akan dioptimasi dimulai dari

pengaturan awal suhu kolom yaitu 70oC, kemudian ditambahkan 20oC dan dikurangi 20oC sehingga diperoleh 3 suhu yang akan dicoba dalam optimasi ini yakni suhu 50oC, 70oC, dan 90oC. Pengaturan instrumen yang lain seperti tekanan,

initial time, rate dan lain-lain mengikuti nilai yang tertera pada pengaturan awal. 1

Gambar

Tabel I Kandungan Kimia Molase………………………….……. 6
Tabel I. Kandungan Kimia Molase (Widyanti, 2010) Komponen Analisa % Air Gravimetri 20 Senyawa Organik Gula: Sakrosa Somoghi-Nelson 32 Glukosa Somoghi-Nelson 14 Fruktosa Somoghi-Nelson 16
Gambar 1. Lintasan Embden-Meyerhof-Parnas (Anonim, 2014)
Gambar 2. Skema kerja alat kromatografi gas (Rohman, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Denagan aneka makanan dan minuman yang enak dan segar dengan harga yang bias dicapai oleh semua golongan masyarakat sehingga hal tersebutlah yang menyebabkan ketertarikan saya

Fasilitas yang disediakan oleh penulis dalam perancangan ini adalah kapel sebagai tempat berdoa baik bagi komunitas maupun masyarakat sekitar, biara dengan desain interior

Kata hasud berasal dari berasal dari bahasa arab ‘’hasadun’’,yang berarti dengki,benci.dengki adalah suatu sikap atau perbuatan yang mencerminkan

[r]

“ STUDI DESKRIPTIF MENGENAI SUBJECTIVE WELLBEING PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT KRONIS YANG MENGIKUTI PROLANIS DI PUSKESMAS ‘X’ KOTA BANDUNG “. Universitas Kristen

[r]

Pelunasan barang gadai pada koperasi STF Syariah Ar-Rahman Surabaya dilakukan sebagaimana dengan akad al-qard}, dalam kasus ini koperasi STF syariah Ar-Rahman

Menurut Sutrisno Hadi, metode interview adalah metode untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berlandaskan