• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perokok

2.1.1 Definisi Perokok

Perokok adalah seseorang yang suka merokok, disebut perokok aktif bila orang tersebut yang merokok secara aktif, dan disebut perokok pasif bila orang tersebut hanya menerima asap rokok saja, bukan melakukan aktivitas merokok sendiri (KBBI, 2014). Definisi lain dari perokok adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal enam bulan selama hidupnya masih merokok saat survei dilakukan (Octafrida M, D, 2011).

Bustan, M.N.,(2007), membagi perokok atas tiga kategori, yaitu ringan (1-10 batang perhari), sedang (11-20 batang perhari) dan berat (lebih dari 20 batang perhari). Klasifikasi perokok juga dapat ditentukan oleh Indeks Brinkman (IB) dengan rumus: jumlah rata-rata konsumsi rokok perhari (batang) x lama merokok (tahun), dengan hasil ringan (0-199), sedang (200-599) dan berat (>600). 2.1.2 Kategori Perokok

Menurut Syafiie (2009) ada empat tipe kategori kondisi merokok, yaitu 1. Kondisi perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Terdapat tiga sub tipe

perokok yang menjadikan rokok sebagai penambah kenikmatan yang sudah didapat, seperti merokok setelah makan atau minum kopi, merokok untuk sekedar menyenangkan perasaan, dan suatu kenikmatan seorang perokok saat memegang rokoknya.

(2)

2. Kondisi merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Perokok merokok saat marah, cemas dan gelisah. Rokok dianggap sebagai penyelamat.

3. Kondisi merokok yang adiktif. Mereka yang sudah adiksi, akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.

4. Kondisi merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok bukan karena untuk mengendalikan perasaan, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaannya rutin. Ia menghidupkan api rokoknya bila rokok yang sebelumnya telah benar-benar habis.

2.1.3 Tahapan menjadi perokok

Menurut Laventhal & Cleary (1980), Flay (1993) dalam Syafiie,R. (2009) tahapan seseorang dapat menjadi perokok tetap adalah dengan melewati empat tahapan. Tahap pertama disebut sebagai tahap persiapan, dimana sebelum seseorang mencoba rokok, melibatkan perkembangan perilaku dan intensi tentang merokok dan bayangan tentang apa rokok itu. Pada tahapan kedua disebut dengan tahapan inisiasi (initiation). Dalam tahap kedua ini akan terjadi reaksi tubuh saat seseorang mencoba rokok pertama kali berupa batuk, berkeringat. Hal ini sebagian besar diabaikan dan semakin mendorong perilaku adaptasi terhadap rokok.

Selanjutnya tahapan ketiga adalah fase menjadi perokok. Pada tahapan ini melibatkan suatu proses „concept formation‟, seseorang belajar kapan dan bagaimana merokok dan memasukkan aturan-aturan perokok ke dalam konsep dirinya. Tahapan terakhir telah menyatakan seseorang menjadi perokok tetap.

(3)

Dalam tahapan ini terjadi disaat faktor psikologi dan mekanisme biologis bergabung yang semakin mendorong perilaku merokok.

2.1.4 Alasan Merokok

Menurut Sadikin,dkk. (2008) alasan seseorang merokok dapat dipengaruhi berbagai macam hal. Alasan yang sering dijadikan seseorang memilih merokok adalah khawatir tidak diterima di lingkungannya jika tidak merokok. Kedua adalah adanya rasa ingin tahu bagaimana menghisap rokok dan sensasinya seperti apa. Alasan ini banyak dikemukakan oleh kalangan muda, terutama perokok wanita. Alasan selanjutnya yang sering dikemukakan oleh perokok pria adalah untuk kesenangan. Dengan merokok para pria ini merasa dapat menghilangkan kepenatan dan ketegangan didalam pikirannya. Merokok dapat menjadi hiburan atas masalah yang sedang dihadapinya.

Alasan lainnya sering diutarakan perokok adalah pergaulan dilingkungannya baik di tempat kerja, sekolah, ataupun dirumahnya. Memiliki pergaulan dengan orang yang dominan adalah perokok akan sangat mudah mempengaruhi seseorang menjadi perokok pemula. Memutuskan untuk ikut merokok karena alasan ingin menyenangkan teman atau membuat suasana menjadi lebih akrab. Alasan terakhir adalah adanya budaya atau tradisi merokok yang berlaku didaerahnya. Tradisi seperti di bali sendiri yang selalu menyuguhkan rokok saat upacara keagamaan pada tamu adalah sebagai wujud rasa hormat atau menghargai kehadiran tamu.

(4)

2.2. Kawasan Tanpa Rokok

2.2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau (Kemenkes RI.,2011).

2.2.2 Tujuan Penetapan Kawasan Tanpa Rokok

Tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok dapat diuraikan sebagai berikut, (1) Menurunkan angka kesakitan dan atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat; (2) Meningkatkan produktivitas kerja yang optimal; (3) Mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok; (4) Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; (5) Mewujudkan generasi muda yang sehat.

2.2.3 Manfaat Penerapan Kawasan Tanpa Rokok

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok ini perlu diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

2.2.4 Sasaran Kawasan Tanpa Rokok

Sasaran Kawasan Tanpa Rokok adalah di tempat pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan

(5)

umum, tempat kerja,tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan (Undang- undang republik indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan).

Sarana ini selanjutnya dikategorikan kembali berdasarkan kedudukan atau statusnya di tempat tersebut yaitu diantaranya pada sasaran di fasilitas pelayanan kesehatan terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/pengelola fasilitas pelayanan kesehatan, pasien, pengunjung, tenaga medis dan non medis. Pada sasaran di tempat proses belajar mengajar terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola tempat proses belajar mengajar, peserta didik/siswa, tenaga kependidikan (guru), dan unsur sekolah lainnya (tenaga administrasi, pegawai di sekolah). Sasaran berikutnya adalah di Tempat Anak Bermain terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola tempat anak bermain, dan pengguna/pengunjung tempat anak bermain.

Sasaran di Tempat Ibadah terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola tempat ibadah, Jemaah, masyarakat di sekitar tempat ibadah. Tempat selanjutnya di Angkutan Umum yaitu pengelola sarana penunjang di angkutan umum (kantin, hiburan, dsb), karyawan, pengemudi dan awak angkutan, dan Penumpang. Selanjutnya adalah di tempat Kerja yaitu pada pimpinan/penanggung jawab/ pengelola sarana penunjang di tempat kerja (kantin, toko, dsb), staf/pegawai/karyawan, dan Tamu. Sasaran terakhir di Tempat Umum yaitu terdiri dari pimpinan/penanggung jawab/ pengelola sarana penunjang di tempat umum (restoran, hiburan, dsb), karyawan, dan pengunjung/pengguna tempat umum.

(6)

2.3. Awig-awig

2.3.1. Pengertian Awig-awig

Awig-awig merupakan salah satu contoh kelembagaan lokal yang berada di daerah Bali dan Lombok. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik. Awig-awig artinya adalah sesuatu yang menjadi baik. Awig-awig berisi aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat dengan tujuan mengatur tata tertib kehidupan sehari-hari (Saba,E.S.2003).

Awig-awig umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, Awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan (Astiti,dkk. 2011).

Secara garis besar yang dimaksud dengan Awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun antara krama dengan lingkungannya. (Parwata,A.A. G. O., 2007)

Istilah Awig-awig mulai memasyarakat sejak tahun 1986, sejak dikeluarkannya Perda Provinsi Dati I Bali 06/1986 tentang Kedudukan dan Fungsi Desa Adat di Provinsi Dati I Bali. Tetapi sebelum 1986, namanya

(7)

bermacam-macam seperti Pangeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta, palakerta, sima (Windia,P. 2013).

2.3.2. Bentuk, Sistematika, dan Materi Muatan Awig-awig

Keberadaan Awig-awig di setiap desa pakraman di Bali saat ini masih memiliki bentuk tertulis dan tidak tertulis. Pada awalnya, ketika masyarakat adat di Bali tidak semua mengenal budaya baca tulis, Awig-awig ditetapkan secara lisan melalui keputusan-keputusan dalam rapat (paruman/sangkepan) desa. Tetapi lama kelamaan, ketika prajuru adat sudah mengenal baca tulis, aturan-aturan yang ditetapkan secara lisan dalam rapat desa itu kemudian dicatat sehingga gampang diingat.

Belakangan, terutama sejak 1969, ada kecendrungan desa pakraman membuat Awig-awig dalam bentuk tertulis, dengan sistematika dan materi muatan yang baku, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Penulisan Awig-awig diangap penting oleh pemerintah sehingga sekarang ini proyek pembinaan untuk mendorong desa pakraman untuk membuat Awig-awig tertulis telah dilakukan secara rutin setiap tahun. Dasar pertimbangannya adalah bahwa hukum adat dalam bentuk tidak tertulis, yang terwujud dalam kebiasaan-kebiasaan sangat sulit dikenali sebab masih bersifat pola perilaku (pattern of behavior) (Windia,P. 2013).

Dengan penulisan Awig-awig diharapkan kepastian hukum dapat lebih dijamin, yaitu adanya kepastian hukum bagi masyarakat (kerama desa), pasti bagi prajuru adat, dan pasti bagi pemerintah. Disamping itu, penulisan Awig-awig penting untuk dilakukan dalam rangka penemuan hukum, yaitu untuk memudahkan menemukan, mengetahui dan memahami isi ketentuan hukum adat.

(8)

Dalam bentuknya yang tertulis, hukum adat akan mudah ditemukan terutama oleh kalangan petugas hukum (hakim, jaksa, polisi) dan generasi yang akan datang sehingga bermanfaat dalam penegakan hukum sekaligus bermanfaat bagi pewarisan nilai-nilai budaya (Pemerintahan Provinsi Bali, 2001).

Awig-awig ditulis dalam bahasa Bali. Di beberapa desa pakraman terutama desa pakraman yang pernah mengikuti lomba, ditemukan Awig-awig yang ditulis dalam dua bentuk huruf (ekabasa-dwi aksara), yaitu dengan aksara Bali dan huruf Latin. Di beberapa tempat ditemukan ada Awig-awig yang ditulis di daun lontar bahkan di atas lempengan perunggu, ada pula yang ditulis dalam kertas biasa. Sistematika Awig-awig tertulis yang ada sekarang umumnya mengikuti pola yang dibakukan oleh pemerintah melalui pembinaan-pembinaan, sesuai dengan Pedoman Penulisan Awig-awig Desa Pakraman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali.

Dalam buku pedoman tersebut telah dilampirkan contoh format yang lengkap. Sesuai pedoman yang ada, sistematika Awig-awig terdiri dari Murdha Citta (Pembukaan) dan Batang Tubuh. Batang tubuh Awig-awig terdiri dari beberapa sargah (bab) yang dibagi-bagi lagi dalam Palet (bagian) dan Pawos (Pasal). Bila diperlukan, pawos masih diuraikan lagi dalam beberapa Kaping (ayat). Penomoran bab menggunakan bahasa Sansekerta, seperti misalnya bab pertama disebut Pratamas Sargah, Bab kedua disebut Dwityas Sargah, dan seterusnya. Penomoran pawos menggunakan angka dalam aksara Bali, yang bila ditranslit ke dalam huruf latin menjadi 1,2,3,4, dan seterusnya, sedangkan penomoran kaping (ayat) menggunakan alpabet dalam bahasa Bali, yaitu ha, na, ca, ra, ka, dan seterusnya. Bila dibandingkan dengan format peraturan

(9)

perundang-undangan, sistematika Awig-awig desa pakraman menyerupai sistematika UUD 1945 (Sudantra, K. 2003)

Awig-awig tertulis umumnya hanya memuat pokok-pokok mengenai kehidupan desa pakraman, sedangkan aturan-aturan pelaksanaannya yang lebih rinci dituangkan dalam bentuk pararem. Dalam pengertian luas, Awig-awig meliputi pula pararem, kadang-kadang keduanya tidak dibedakan penggunaannya. Dalam pengertian khusus, pararem diartikan sebagai keputusan-keputusan rapat di desa pakraman yang mempunyai kekuatan mengikat. Dilihat dari substansinya, pararem dapat digolongkan dalam tiga golongan. Pertama pararem penyahcah awig, yaitu keputusan-keputusan rapat di desa pakraman yang merupakan aturan pelaksanaan dari Awig-awig. Kedua, pararem ngele/pareram lepas yaitu keputusan rapat di desa pakraman yang merupakan aturan hukum baru yang tidak ada landasannya dalam Awig-awig tetapi dibuat untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, dan ketiga yaitu pararem penepas wicara, yang berupa keputusan rapat di desa pakraman mengenai suatu persoalan hukum (perkara) tertentu, baik yang berupa sengketa maupun pelanggaran hukum (pararem panepas wicara).

Materi muatan Awig-awig tidak lain dari penjabaran dari konsepsi Tri Hita Karana yang sudah dijelaskan di atas, yaitu menyangkut aspek keagamaan atau parhyangan (hubungan kerama desa dengan Tuhan), aspek kemasyarakatan atau pawongan (hubungan kerama desa dengan sesamanya sebagai individu maupun kelompok), dan aspek kewilayahan atau palemahan (hubungan kerama desa dengan wilayahnya). Di luar tiga aspek tersebut, pada bagian akhir Awig-awig umumnya dijelaskan mekanisme penyelesaian masalah apabila terjadi pelanggaran pada ketiga aspek di atas. Pasal-pasal yang mengatur penyelesaian

(10)

masalah ini dimuat dalam bab tersendiri dengan judul Wicara lan Pamidanda (Masalah dan Sanksi) (Parwata,A.A. G. O., 2007).

2.3.3. Awig-Awig KTR di Desa Pakraman Selat

Penerapan awig-awig KTR di desa pakraman selat ini mulai ditetapkan pada Hari Rabu Pon wuku Medangkungan tepatnya tanggal 16 September 2015. Awig-awig ini di sahkan oleh Prajuru Desa Pakraman yang terdiri dari Bendesa, Kelian Adat, Petajuh Bendesa, Penyarikan Adat, Kelian Kamplengan, serta yang bertindak sebagai saksi adalah kelian dinas, kepala desa, dan camat.

Isi dalam awig-awig ini adalah hasil revisi dari awig-awig sebelumnya. Dalam awig-awig ini terdiri dari 3 sargah yaitu Pratama Sargah “Aran Lan Wewidangan Desa”, Dwitya Sargah “Patitis Lan Pamikukuh”, dan Tritya Sargah “Sukerta Tata Pakraman”. Aturan mengenai masalah rokok terdapat pada sargah III, tepatnya pada kaping 6 pawos 34. Dalam pasal tersebut disebutkan “Penyanggra krama banjar lan patedunan krama banjar inggih punika : patedunan krama desa/banjar lanang-istri rikala makarya sanganan kaaturang wedang lan ajengan, nenten kadadosang ngaturan lanjaran”. Dalam bahasa indonesia dapat diartikan yaitu pada saat kehadiraan warga desa membuat jajan atau banten baik itu laki-laki ataupun perempuan, hanya disuguhkan nasi dan minuman saja, sedangkan tidak diperbolehkamn menyajikan rokok.

Aturan selanjutnya diatur pada Palet 3 tentang Indik Pitra Yadnya, yaitu pada pawos 45. Di dalamnya disebutkan “Rikala nyangra upacara kelayu sekaran, sang sane maduwe kelayu sekaran punika nenten kadadosang ngaturang wedang, lanjaran, lan toya kemasan.”, dalam bahasa indonesia berarti pada saat

(11)

ada kematian, yang mempunyai hajatan tidak dibolehkan memberikan kopi, rokok, dan air kemasan.

Selain tertulis didalam awig-awig aturan mengenai larangan menyediakan rokok ini juga di tetapkan kedalam pararem penyahcah awig, yaitu aturan yang dibuat untuk mempertegas atau memperjelas isi awig-awig. Perarem ini disampaikan secara lisan pada saat prajuru desa pakraman mensosialisasikan perubahan awig-awig dalam rapat di desa pakraman. Aturan yang disampaikan dalam perarem ini yaitu mengenai larangan meyediakan rokok tersebut diharapkan dapat dibarengi dengan tidak merokok pada pelaksanaan upacara agama oleh masyarakat desa pakraman selat.

2.4. Pengetahuan

2.4.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar, pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, S. 2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

(12)

Penelitian Rogers (1974) mrngungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yang disebut AIETA, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

c. Evaluation (menimbang – nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d. Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa

yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adaption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, S. 2007).

2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo, (2007), yaitu :

a. Tingkat pendidikan

Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka seseorang tersebut akan lebih mudah dalam menerima hal-hal baru sehingga akan lebih mudah pula menyelesaikan hal-hal baru tersebut.

(13)

Menurut Wied Hary A. (1996) dalam Rahayu, N. (2012), informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang. Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik akan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang. Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih baik banyak akan memberikan pengetahuan yang jelas.

c. Budaya

Sosial budaya mempunyai pengaruh pada pengetahuan seseorang. Seseorang memperoleh suatu kebudayaan dalam hubungannya dengan orang lain, karena hubungan ini seseorang mengalami suatu proses belajar dan memperoleh suatu pengetahuan.

d. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik. Pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman itu suatu cara memperoleh kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu, pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu

e. Sosial Ekonomi

Tingkatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup disesuaikan dengan penghasilan yang ada, sehingga menuntut pengetahuan yang dimiliki harus dipergunakan semaksimal mungkin, begitupun dalam mencari bantuan ke sarana kesehatan yang ada, mereka sesuaikan dengan pendapatan keluarga.

(14)

2.5. Persepsi

2.5.1. Pengertian Persepsi

Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekstern. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya

Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrasi dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain (Bimo,W. 2004).

Persepsi ialah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancaindranya mendapat rangsang (Maramis.W.F., 1999). Menurut Davidoff, persepsi merupakan cara kerja atau proses yang rumit dan aktif, karena tergantung pada sistem sensorik dan otak. Bagi manusia, persepsi merupakan suatu kegiatan yang fleksibel, yang dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap masukan yang berubah-ubah. Dalam kehidupan sehari-hari, tampak bahwa

(15)

persepsi manusia mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan dan budayanya. Dalam konteks ini, pengalaman-pengalaman pada berbagai kebudayaan yang berbeda dapat mempengaruhi bagaimana informasi penglihatan itu diproses.

Pengalaman budaya berperan sangat penting dalam proses kognitif, karena tangapan dan pikiran yang merupakan alat utama dalam proses kognitif selalu bersumber darinya. Dengan demikian pengalaman seseorang yang merupakan akumulasi dari hasil berinteraksi dengan lingkungan hidupnya setiap kali dalam masyarakat, lokasi geografisnya, latar belakang sosial-ekonomi-politiknya, keterlibatan religiusnya, sangat menentukan persepsinya terhadap suatu kegiatan dan keadaan.

2.5.2. Faktor-Fakor Yang Mempengaruhi Persespsi

David Krech (1962) dalam Prasilika, T. (2007), mengemukakan bahwa yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah :

1. Frame of Reference, yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang dipengaruhi dari pendidikan, bacaan, penelitian, dll.

2. Frame of experience, yaitu berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya yang tidak terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya.

Notoatmodjo, S. (2007) menyatakan bahwa ada dua faktor yang memengaruhi persepsi yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terdapat pada orang yang memersepsikan stimulus tersebut, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang melekat pada objeknya. Faktor internal yaitu terdiri dari, pengalaman/ pengetahuan, harapan (expectation), kebutuhan, motivasi, emosi, dan budaya. Sedangkan faktor eksternal yaitu,

(16)

kontras, perubahan intensitas, pengulangan (repetition), sesuatu yang baru (novelty), dan sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak

2.5.3. Proses Terbentuknya Persepsi

Proses persepsi terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Seleksi, yakni proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit.

2. Interpretasi, yakni proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Dalam fase ini rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk, interpretasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian dan kecerdasan. Namun, persepsi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengkategorian informasi yang kompleks menjadi sederhana.

3. Reaksi, yaitu tingkah laku setelah berlangsung proses seleksi dan interpretasi (Sobur.A., 2003).

2.6. Sikap

2.6.1. Pengertian Sikap

Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap melakukan aksi / tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan seorang gladiator dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam pertarungan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat diamati (Sarwono. S.W., 2011).

(17)

Notoatmodjo.S., (2007), meyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan merupakan kesiapan untuk berreaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek. Sikap dikatakan sebagai suatu respon evaluatif. Respon hanya akan timbul apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Respons evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif, menyenangkan-tidak menyenangkan yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi terhadap objek sikap (Azwar, 2011).

2.6.2. Komponen Sikap

Sikap terbentuk melalui 3 komponen yang akan membentuktuk strukturnya yaitu :

a. Komponen kognitif ( komponen perceptual ), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana persepsi orang terhadap objek sikap. Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Berisi persepsi dan kepercayaan yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif disamakan dengan pandangan (opini) apabila menyangkut masalah issu atau problem controversial.

(18)

b. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau rasa tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif dan negatif. Merupakan perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional ini yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang. Komponen afeksi disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. c. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component, yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Merupakan aspek kecenderungan berperilaku sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Berisi tendensi untuk bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu dan berkaitan dengan objek yang dihadapi. Adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang dicerminkan dalam bentk tendensi perilaku terhadap objek (Triadic Scheme) (Azwar,S., 2011).

2.7. Referensi dalam Penelitian

1. Penelitian yang dilakukan oleh Tyas Widyastini dan Arya Hadi Dharmawan pada tahun 2013 dengan judul “Efektivitas Awig-awig Dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan Di Pantai

(19)

Kedonganan Bali”. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa dengan adanya Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat Nelayan, secara keseluruhan keefektif yang lebih baik adalah yang mengatur nelayan pribumi daripada nelayan pendatang karena jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan aturan lebih banyak berasal dari nelayan pribumi. Metode penelitian ini menggunakan kualitatif dan kuantitatif. Dimana Metode penelitian kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat desa, ketua kelompok nelayan dan nelayan kedonganan. Sedangkan Kuantitatif dilakukan dengan penelitian survei menggunakan instrumen kuesioner dengan mengambil sampel dari satu populasi.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Tria Febriani pada tahun 2014 dengan judul “Pengaruh Persepsi Mahasiswa Terhadap Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dan Dukungan Penerapannya Di Universitas Sumatera Utara”. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang KTR terhadap dukungan penerapan KTR. Metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh persepsi mahasiswa tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dengan dukungan penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Pimpinan STIESIA dalam Rapat Pleno tanggal 14 September 2012 telah menerima konsep Rencana Strategis (Renstra) Prodi S3 Ilmu Manajemen Tahun 2012-2016, dan sesuai

Pemerintah tidak sependapat dengan Pemohon, yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar

Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerapan strategi artikulasi pada pembelajaran Bahasa Indonesia siswa kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Sullamut

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Mengemukakan bahwa memang benar apa yang dikemukakan oleh FKP bahwa di dalam membahas Pasal 2 butir b Pemerintah

Berdasarkan nilai indeks keragaman dan jumlah total keragaman spesies Thiaridae di danau Sentani dan sungai-sungai yang disekitarnya terbukti bahwa daerah tanpa

Fenomena anak jalanan dengan beragam permasalahannya tersebut, tidak bisa menghindarkan dari konflik batin yang kerap kali mereka alami, karena pada dasarnya apa

Pada grafik diatas dapat di lihat bahwa kunjungan wisatawan di Bandung Indah Waterpark dari tahun 2012 sampai dengan 2014 mengalami penurunan jumlah kunjungan

pada power amplifier tidak dapat diprediksi. Selain itu, besarnya nilai SWR juga berpengaruh terhadap kinerja power amplifier, hal ini diakibatkan oleh ketidakstabilan