• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TABUH RAH"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

21

2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tabuh Rah dan Sabungan Ayam (Tajen) Hubungan tabuh rah dengan sabungan ayam terdapat pandangan semu dari sebagian masyarakat awam, bahwa tabuh rah itu sama dengan sabungan ayam (tajen). Oleh karena itulah sangat perlu pemahaman dari kedua istilah tersebut itu. Tabuh rah atau Perangsata dalam masyarakat Hindu di Bali mensyaratkan adanya darah yang menetes sebagai simbol atau syarat mensucikan umat manusia dari ketamakan, keserakahan, atau kelobaan terhadap nilai-nilai materialistis dan duniawi. Tabuh Rah juga bermakna sebagai upacara ritual Bhuta Yadnya yang mana darah yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.Oleh karena itu, dipandang dari filosofisnya, tabuh rah mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara dalam agama Hindu. 1

Kata tabuh rah merupakan kata majemuk, yaitu rangkaian dua buah kata yang memiliki satu pengertian. Adapun kata dasarnya adalah “tabuh” dan “rah”. Secara etimologis kata tabuh rah berasal dari kata tawur yang berarti “bayar” sedangkan kata rah berasal dari “darah”.

Dengan uraian secara etimologis tersebut, maka kata tabuh rah berarti pembayaran dengan darah yang dilakukan dengan cara menaburkan darah pada

(2)

tempat-tempat tertentu misalnya di pura.2 Tabuh rah biasanya dilakukan dengan beberapa cara dan selalu berhubungan dengan Bhuta Yadnya atau lazim di Bali disebut dengan mecaru (membuat acara kurban). Bhuta Yadnya sering dilakukan dengan mecaru, karena makna dari Bhuta Yadnya itu adalah mengharmonisasikan hubungan unsur-unsur Panca Maha Bhuta di Bhuana Agung dan Bhuana Alit.

Parisadha Hindu Dharma dan Istitut Hindu Dharma menyelenggarakan seminar pada Tahun 1976, dan berhasil merumuskan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Tabuh rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama ;

2. Sumber penggunaan tabuh rah pada Panca Yadnya ;

3. Dasar penggunaan tabuh rah tercantum dalam Prasasti Sukawan A.I 804 Caka, Prasasti Batur Abang 933 Caka, Prasasti Batuan 944 Caka ;

4. Fungsi tabuh rah adalah runtutan / rangkaian dari upacara agama (Yadnya) ; 5. Tabuh rah berwujud taburan darah binatang korban ;

6. Jenis–jenis binatang yang digunakan untuk tabuh rah yaitu ayam, itik, kerbau, babi dan lain-lain ;

7. Penaburan darah dilaksanakan dengan “nyembelih” (perangsatha) telung perahatan, dilengkapi dengan aduaduan kemiri, telor, kelapa, beserta upakaranya ;

8. Diadakan pada tempat dan saat upacara berlangsung oleh Sang Jayamana ; 9. Diadakan dengan perangsatha disertakan toh dedamping (taruhan

pendamping) yang maksudnya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Jayamana yang sedang melaksanakan upacara yadnya dan bukan bermotif judi ;

10. Adu ayam yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidaklah perangsatha dan bukan pula rangkaian upacara yadnya ;

11. Pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. 3

2. Ida Bagus Putu Purwita, loc.cit.

3. I Ketut Mertha, 2010, Politik Kriminal Dalam Penanggulangan Tajen (Sabungan Ayam ) di

(3)

Dengan dasar kesimpulan ini dapat ditentukan bahwa aduan ayam yang memenuhi kesebelas unsur tersebut adalah “tabuh rah”, sedang yang lainnya atau melebihi ketentuan itu bukanlah tabuh rah.

Bahkan dalam pemilihan warna bulu ayam yang digunakan dalam tabuh rah harus bersesuaian dengan caru Panca Sata, yakni upacara korban yang memakai lima ekor ayam, yang masing-masing berwarna putih, merah, siungan (ayam putih yang paruh dan kakinya yang berwarna kuning seperti burung siung), hitam dan brumbun (ayam yang warna bulunnya campuran dari warna putih, merah, kuning, hitam dan putih. Dengan demikian, warna dalam pelaksanaan tabuh rah sangat menentukan.

Pemerintah Daerah Provinsi Bali, lebih mempertegas lagi syarat-syarat untuk pelaksanaan Tabuh rah, yakni :

a. Fungsi tabuh rah adalah sebagai runtutan / rangkaian dari upacara / upakara agama (yadnya) ;

b. Wujud tabuh rah adalah berwujud taburan darah hewan korban ;

c. Sarana yang digunakan adalah jenis-jenis hewan yang dijadikan korban yaitu ayam, babi, itik, kerbau, dan lain-lainnya ;

d. Cara penaburan darah yakni semburan darah dilakukan dengan penyembleh, perangsatha (telung perahatan) dilengkapi dengan aduaduan : kemiri, telor, kelapa, andelandel, beserta upakaranya ;

e. Pelaksanaan tabuh rah :

1. Diadakan di tempat dan saat-saat upacara berlangsung oleh Sang Yajamana.

2. Pada waktu perangsatha disertakan toh dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi.

3. Pelaksanaannya memakai pakaian adat.

4. Pelaksanaan tabuh rah tidak meminta ijin yang berwenang.

5. Dalam melakukan perangsatha tidak ada penonton, melainkan hanya sebatas masyarakat desa setempat yang melaksanakan upacara keagamaan.

(4)

6. Aduan ayam tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidaklah perangsatha dan bukan pula runtutan upacara yadnya. 4

Dengan demikian, bila pelaksanaan tabuh rah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas, berarti telah terjadi salah arti, dan tidak menutup kemungkinan terjadi penyalahgunaan tabuh rah sebagai ajang perbuatan tindak pidana dalam bentuk perjudian sabungan ayam.5

Kehidupan tata pergaulan masyarakat di Bali, faktor tradisi merupakan hal penting, lebih-lebih lagi dalam hubungan dengan pelaksanaan upacara keagamaan. Warga masyarakat merasakan betapa pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang mereka warisi. Mereka berpandangan bahwa apa yang diwarisi dari leluhurnya merupakan suatu pustaka, baik yang sifatnya kebendaan maupun merupakan pandangan hidup. Demikian pula halnya dengan tabuh rah di Bali yang sudah menjadi tradisi, telah berlangsung di masyarakat sejak dahulu hingga kini.

Penaburan darah binatang korban seperti itu digemari orang karena disamping itu bertujuan religius, juga mengandung nilai hiburan bagi penggemarnya. Gaya dan gerak-gerik ayam yang sedang berlaga itu, bagi mereka menimbulkan rasa seni, sehingga logislah lama kelamaan fungsi tabuh rah dalam rangka upacara keagamaan (mecaru) yang dilakukan dengan mengadu ayam menjadi berkurang, sedang fungsi hiburan sangat menonjol.6

4. Ibid. h.15. 5. Ibid, h.17.

(5)

Membahas tentang tabuh rah tidak lepas dengan sabungan ayam (tajen). Sabungan ayam di Bali disebut dengan Tajen dan telah ada sejak jaman kerajaan dan berlangsung hingga kini. Perkembangannya, sabungan ayam (tajen) yang pada awalnya berupa permainan yang berfungsi pengisi waktu yang kosong sebagai hiburan, lama kelamaan di tambah unsur baru guna menambah kegairahan dalam bermain dengan harapan untuk memperoleh kemenangan, yakni dengan memakai taruhan uang. Akibatnya, sabungan ayam (tajen) semakin berkembang yang mengakibatkan fungsi sebagai hiburan pada awalnya berkurang dan unsur judinya yang semakin lebih bertambah.

Istilah tajen berasal dari kata “taji” yang artinya susuk pada kaki ayam. Pengertian taji ada hubungannya dengan pengertian tajam dalam Bahasa Indonesia, dan ”taji” dalam Bahasa Bali yang bermakna sesuatu yang runcing. Pengertian tajam ditekankan pada taji atau senjata yang digunakan oleh ayam dalam beradu, sebab hanya ayam yang diadu sajalah yang memakai taji.7 Dalam Kamus Bali Indonesia, kata “tajen” berarti sabungan ayam. Istilah lain dari “tajen” adalah ”kelecan” yang berarti pula sabungan ayam.

Dari pendapat Ida Bagus Purwita yang dikutip dari buku Bali dalam Perspektif Sejarah dan Tradisi karangan I Nyoman Suada bahwa adanya hal yang menarik mengenai uraian orang yang ingin berjudi dalam Lontar Dharmapajuden yakni, Bhatara Guru menyuruh membuat sabungan ayam untuk kesenangan.

(6)

Maka dengan demikian dikatakan bahwa erat relevansinya dengan sabungan ayam di Bali yang disebut dengan istilah klecan yang telah disebutkan sebelumnya pada penjelasan diatas. Mungkin klecan ini berasal dari kata “ica” yang berarti tertawa, senang atau diberi. Kata “ica” kemudian berkembang menjadi kata klecan yang artinya kesenangan.8

2.2 Pengertian dan Unsur-Unsur Perjudian

Pengertian perjudian telah ada sejak dulu sebelum pemerintahan sekarang ini dan bahkan telah tertulis di kitab suci agama Hindu. Di dalam Saramuscaya sloka 266 terkait dengan judi ada disebutkan :

“ yer thah klecana mahata dharmasyatikramena va arerva pranipatena ma sma tesu krtha manah, Hana yartha urihning parikleca, ulihning anyaya kuneng, athawa kasembahaning catra kuneng, hetunya ikang artha mangkana kramanya, tan kenginakena ika yang memiliki pengertian uang yang diperoleh dengan jalan jahat (melakukan siksaan) uang yang diperoleh dengan jalan melanggar hukum ataupun uang persembahan musuh uang yang demikian halnya jangan hendaknya diinginkan.” 9

Berdasarkan uraian diatas mempertegas bahwa uang yang diperoleh dengan cara daya upaya atau persembahan musuh itu cemar. Uang itu tidak baik, sehingga biasanya cepat habis. Sebagaimana diketahui bahwa orang di arena judi sabungan ayam (tajen) misalnya, bila seseorang menang, tentu uang diserahkan oleh “musuhnya”. Berdasarkan sloka Saramuscaya uang tersebut yang diperoleh

8. I Nyoman Suada, 2013, Bali Dalam Perspektif Sejarah Dan Tradisi, Paramita, Surabaya, h. 84.

(7)

dari musuhnya disebut dengan uang cemar dikarenakan musuh tersebut menyerahkan dengan rasa kecewa setelah kekalahannya.10

Perjudian yang dilakukan pada awalnya hanya berwjud permainan untuk mengisi waktu senggang guna menghibur hati dan untuk mencari kesenangan yang semata-mata dilakukan tidak untuk mendapatkan untung atau kemenangan. Sifatnya pun relatif netral. Pertaruhan dalam perjudian ini sifatnya murni spekulatif untung-untungan. Konsep untung-untungan itu sedikit atau banyak mengandung unsur kepercayaan mistik terhadap kemungkinan peruntungan. Pada masa sekarang ini bentuk perjudian ini tidak hanya bersifat mengisi waktu tetapi tidak jarang sudah menjadi bahan bisnis yang bersifat untung-untungan bagi sebagian masyarakat.

Judi atau permainan “judi” atau “perjudian” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “permainan dengan memakai uang sebagai taruhan”.11

Berjudi ialah “mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula.

Pada hakekatnya perjudian adalah bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan nilai-nilai pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa, dan negara, dan ditinjau dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan moral dan mental masyarakat. Judi juga

10. Ibid.

11. Poerwadarminta, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, h.419.

(8)

merupakan masalah sosial yang sulit di tanggulangi dan timbulnya judi tersebut sudah ada sejak adanya peradaban manusia, sehingga judi tersebut bisa dikatakan lahir karena adanya manusia. Pengertian lain dari judi atau perjudian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea yang menyebutkan sebagi “Hazardspel atau kata lain dari Kansspel, yaitu permainan judi, permainan untung-untungaan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan yang ada”.12

Perjudian menurut Kartini Kartono adalah :

„Pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggapa bernilai dengan menyadari adanya resiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya‟. 13

Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP menyatakan sebagai berikut :

“permainan judi berarti harus diartikan dengan artian yang luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan, dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator dan lain-lain”. 14

12. N.E. algra dan Mr. R.R.W. Gokkel, 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk, Bina Cipta, Jakarta, h.186.

13. Kartini Kartono, 2005, Patologi Sosial, jilid I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.56. 14. Dali Mutiara, 1962, Tafsiran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 220.

(9)

Sedangkan perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan bahwa :

“ Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untuk tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainnanya lebih terlatih atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya”.

Pengertian perjudian oleh masyarakat, yaitu setiap permainan atau perbuatan yang sifatnya untung-untungan atau dengan tidak mempergunakan uang atau barang sebagai taruhannya. Dari pengertian tersebut jika ditelaah maka :

1. Permainan atau perlombaan yaitu perbuatan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau perlombaan. Jadi dilakukan semata-mata untuk bersenang-senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggan guna menghibur hati. Jadi bersifat rekreatif. Namun disini para pelaku tidak harus terlibat dalam permainan, dikarenakan mereka mungkin merupakan penonton atau orang yang ikut bertaruh terhadap jalannya sebuah permainan atau perlombaan.

2. Untung-untungan yaitu untuk memenangkan permainan atau perlombaan ini lebih banyak digantungkan kepada unsur spekulatif atau kebetulan atau untung-untungan. Atau faktor kemenangan yang diperoleh dikarenakan kebiasaan atau kepintaran pemain yang sudah sangat terbiasa atau terlatih. 3. Adanya taruhan di dalam permainan atau perlombaan ini yang dipasang

(10)

benda lainnya dan mengakibatkan ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Unsur ini merupakan unsur yang paling utama untuk menentukan apakah sebuah perbuatan dapat disebut sebagai judi atau bukan. Judi ataupun perjudian dalam Pasal 1 Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebut “sebagai tindak pidana perjudian dan identik dengan kejahatan, tetapi pengertian dari tindak pidana perjudian pada dasarnya tidak disebutkan secara jelas dan terperinci baik dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian”.15 Dalam penjelasan Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan adanya pengklasifikasian terhadap segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai kejahatan dan memberikan ancaman hukumannya. Ancaman hukuman yang berlaku sekarang ternyata sudah tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera dan takut untuk mengulangi perbuatannya lagi.

Ketentuan yang merumuskan ancaman terhadap tindak pidana perjudian adalah dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 bis KUHP yang telah dirubah dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Adanya ketentuan dalam KUHP tersebut maka perjudian dapat digolongkan menjadi dua golongan/macam yaitu :

1. Perjudian yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan apabila pelaksanaannya telah mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang.

15. Wantjik Saleh, 1976, Perlengkapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 69.

(11)

2. Perjudian yang merupakan tindak pidana kejahatan, apabila pelaksanaannya tanpa mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang, seperti main dadu, bentuk permainan ini sifatnya hanya untung-untungan saja, karena hanya bergantung pada peruntungan nasib baik atau buruk, pemain tidak hanya mempengaruhi permainan tersebut.

Dalam Pasal 303 bis KUHP menyebutkan unsur-unsur tindak pidana perjudian sebagai berikut :

a. Menggunakan kesempatan untuk main judi ; b. Dengan melanggar ketentuan Pasal 303 KUHP.

Rumusan Pasal 303 bis KUHP tersebut sama dengan Pasal 542 KUHP yang semula merupakan pelanggaran dengan ancaman pidana pada ayat (1) nya maksimal satu bulan pidana kurungan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah dan diangkat menjadi suatu kejahatan dengan ancaman ayat (1) pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah. Ayat (2) menjadi pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

Referensi

Dokumen terkait

Bilangan kuadrat sempurna adalah bilangan yang merupakan hasil kali dari suatu bilangan dengan dirinya sendiria. Bentuk pangkat ini menjelaskan pada kita berapa

Analisa proksimat dilakukan pada perlakuan terbaik dari tempe kacang koro dengan parameter sensori warna, aroma, tekstur, dan kelebatan miselium yang disukai oleh panelis

34 Maklumat berikut diperoleh daripada Kedai Runcit Jihah yang menyimpan rekod perakaunan tidak mengikut sistem catatan bergu pada 31 Disember 2009... 36 Encik Zakirin

Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) Dalam 5 Tahun Terakhir No Nama Pertemuan Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat.?. No Judul Buku Tahun

Dan kepada Yesus Kristus, AnakNya yang tunggal, Tuhan kita, yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anakdara Maria, yang menderita di bawah pemerintahan Pontius

Pondok Pesantren Bahrul Ulum untuk memperbaiki Ahlak dengan dorongan keinginan diri sendiri, orang tua, atau teman sepermaian dengan rutinitas yang dilakukan para

Aktifitas permainan yang tersaji dalam bentuk game tidak lepas dari perkembangan teknologi informasi, implementasi game menggunakan media atau perangkat teknologi