• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN ECPAT DALAM MENANGANI MASALAH CHILD SEX TOURISM (CST) DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN ECPAT DALAM MENANGANI MASALAH CHILD SEX TOURISM (CST) DI INDONESIA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ECPAT DALAM MENANGANI MASALAH

CHILD SEX TOURISM (CST) DI INDONESIA

Antonius Gabriel Liah1 NIM.0802045115

Abstract

Tourism is an industry which greatly contributes in increasing of revenue and economic in Indonesia. But on the other side there is also an aspect which illegally happening related to tourism. The aspect is sex tourism involving illegal transaction of sexual practice not only adult but also children.

To address this issue, Indonesian government take actions by cooperating with a international organization for End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purpose (ECPAT). The mission is to work together and organize a national consultation to establish a network of organization in order to abolish child sex trafficking, child pornography, child sex tourism, and child marriages. Indonesian government assisted by ECPAT has develop a National Action Plan for Human Rights. This plan including the specific purpose of protecting the rights of children. It also sets the goal to against human trafficking practice and protect them from any kind of sexual tourism and also child labor practice in negative ways.

Keywords : Child Sex Tourism, Commercial Sexual Exploitation of Children, ECPAT, Indonesia.

Pendahuluan

Pariwisata merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi besar dalam peningkatan pendapatan dan ekonomi bagi Indonesia, namun di sisi lain terjadi pula peningkatan praktek-praktek transaksi seksual ilegal di daerah wisata yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga anak-anak yang dikenal dengan istilah Pariwisata Seks Anak (PSA) atau Child Sex Tourism (CST). Child

Sex Tourism (CST) merupakan bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak

(ESKA) yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari daerah, wilayah geografis atau negara asal mereka untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak atau wisatawan yang tujuannya berwisata namun dengan kondisi yang memungkinkan kemudian melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Para wisatawan yang menjadi pelaku CST bisa saja orang yang telah

1 Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: chipenk.lie@gmail.com

(2)

menikah atau orang yang belum menikah, laki-laki atau perempuan, orang asing atau domestik, wisatawan kaya atau wisatawan yang pas-pasan.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan lembaga pemerhati masalah ESKA yang kemudian pada tahun 2005, Indonesia secara resmi bergabung dalam jaringan End Child Prostitution, Child Pornography, &

Trafficking of Children for Sexual Purpose (ECPAT) Internasional.

(www.ecpat.net). Atas dasar komitmen untuk bekerja bersama menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA), pada tahun 2000 diselenggarakan konsultasi nasional untuk membentuk sebuah organisasi jaringan atau koalisi dalam rangka menghapuskan perdagangan seks anak, pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak, dan perkawinan anak. Konsultasi nasional menyepakati adanya kerjasama dengan Indonesia melalui jaringan ECPAT Internasional di Indonesia yaitu Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (KONAS PESKA).

Pemerintah Indonesia serta dibantu oleh ECPAT telah mengembangkan sebuah Rencana Aksi Nasional untuk Hak Asasi Manusia. Rencana ini mengandung tujuan khusus untuk melindungi hak-hak anak dan juga kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memerangi praktek perdagangan manusia dan melindungi mereka dari eksploitasi seksual, pornografi, dan bentuk buruk lainnya dari praktek perburuhan anak. Dan penelitian ini akan membahas peran ECPAT dalam menangani masalah Child Sex Tourism (CST) di Indonesia.

Kerangka Dasar Teori

Perdagangan Orang (Human Trafficiking)

Menurut Protokol PBB tahun 2000, perdagangan orang (Human Trafficking) adalah sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi atau menerima pembayaran atau manfaat memperoleh izin dari orang yang mempunyai kewenangan atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Romli Atmasasmita, 2004 : 121). Yang termasuk dalam bentuk eksploitasi adalah sebagai berikut:

1. Eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual.

2. Kerja atau layanan paksa.

3. Perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan. 4. Perhambatan.

5. Pengambilan organ tubuh

Konsep Human Trafficking berdasarkan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1994, dalam resolusi ini disebutkan bahwa Trafficking adalah:(Andi Yentriyani, 2004 : 20) Pergerakan atau penyelundupan orang secara sembunyi-sembunyi melintas batas-batas negara dan internasional, kebanyakan berasal dari negara berkembang dan ekonominya berada dalam masa transisi, dengan tujuan

(3)

memaksa anak-anak dan perempuan ke dalam situasi yang secara seksual maupun ekonomi teroperasi, dan situasi eksploitatif demi keuntungan perekrut, penyelundup, dan sindikat kriminal, seperti halnya aktivitas ilegal lain yang terkait dengan perdagangan (trafficking), misalnya pekerja rumah tangga paksa, perkawinan palsu, pekerja yang diselundupkan dan adopsi palsu.

Dalam kasus perdagangan orang (Human Trafficking), ada beberapa bentuk

human trafficking yaitu :

1. Kerja paksa seks dan eksploitasi seks.

2. Pembantu rumah tangga baik diluar maupun wilayah Indonesia. 3. Bentuk dari kerja migran baik di luar atau di wilayah Indonesia.

Kemudian dalam kasus perdagangan orang (Human Trafficking) disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perdagangan orang (Human

Trafficking) yaitu :

1. Kurangnya kesadaran

Banyak orang yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya trafficking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu dan menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip diperbudakkan.

2. Kemiskinan

Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan strategi penopang kehidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu pekerjaan yang dikerjakan karena untuk membayar hutang atau pinjaman.

3. Keinginan cepat kaya

Keinginan untuk memiliki materi serta standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan kemudian membuat orang-orang yang bermigrasi rentan dengan human trafficking.

4. Kurangnya pendidikan

Orang dengan pendidikan terbatas memiliki lebih sedikit keahlian atau skill dan kesempatan kerja dan lebih mudah ditarik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.

Peran Organisasi Internasional

Organisasi internasional dalam arti yang luas pada hakikatnya meliputi tidak saja organisasi internasional publik (Public International Organization) tetapi juga organisasi internasional privat (Private International Organization). Organisasi internasional semacam ini meliputi juga organisasi regional dan organisasi sub-regional. Ada pula organisasi yang bersifat universal (Organization of universal

character). (Prof.Dr.Sumaryo Suryokusumo, 1997 : 137). Organisasi

Internasional adalah merupakan suatu pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara, dengan didasari struktur organisasi yang jelas dan lengkap serta diharapkan atau diproyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah

(4)

dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda. (Teuku May Rudy, 2009 : 3).

Setiap organisasi internasional tentunya dibentuk untuk melaksanakan peran-peran dan fungsi-fungsi sesuai dengan tujuan pendirian organisasi internasional tersebut oleh para anggotanya.

Peran organisasi internasional adalah sebagai berikut: (Teuku May Rudy, 2009 : 27)

1. Wadah atau forum untuk menggalang kerjasama serta untuk mencegah atau mengurangi intensitas konflik (sesama anggota).

2. Sebagai sarana untuk perundingan dan menghasilkan keputusan bersama yang saling menguntungkan.

3. Bertindak sebagai lembaga yang mandiri untuk melaksanakan kegiatan

yang diperlukan, antara lain kegiatan sosial kemanusiaan, bantuan untuk pelestarian lingkungan hidup, pemugaran monumen bersejarah, peace keeping operation, dan lain-lain.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yang memaparkan secara jelas dan sistematis mengenai peran ECPAT dalam menangani masalah Child Sex

Tourism (CST) di Indonesia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder

dengan menggunakan literatur buku-buku dan sumber dari internet. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis kualitatif.

Hasil Penelitian

Peran ECPAT dalam menangani masalah Child Sex Tourism (CST) di Indonesia dapat dijelaskan berdasarkan teori organisasi internasional dan konsep perdagangan orang (Human Trafficking). Berdasarkan teori organisasi internasional maka akan dijelaskan tentang peran dan tindakan dari ECPAT sedangkan konsep perdagangan orang (Human Trafficking) akan menjelaskan mengenai bentuk eksploitasi seksual komersial anak dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya Child Sex Tourism (CST). Serta gambaran umum mengenai pariwisata di Indonesia yang dalam upaya pengembangannya, pemerintah mengadakan program tahun kunjungan untuk meningkatkan jumlah wisatawan asing ke Indonesia. Bali sebagai daerah tujuan wisata bagi masyarakat Indonesia dan di seluruh dunia, hal ini menjadikan Bali konsisten dalam menempatkan sektor pariwisata sebagai sektor andalan. Namun di sisi lain dari sektor pariwisata, terjadi pula praktek-praktek transaksi seksual ilegal di daerah wisata yang tidak hanya melibatkan orang dewasa tetapi juga anak-anak yang dikenal dengan istilah Child Sex Tourism (CST). Kemudian kasus Child Sex

Tourism (CST) di Bali, yang mana untuk di daerah Bali diketahui sampai Maret

2009, praktek ESKA yang dilakukan oleh orang-orang asing di antaranya 11 orang berasal dari Australia, 4 orang dari Jerman, 3 orang dari Belanda, 3 orang dari Perancis, 2 orang dari Italia, serta masing-masing 1 orang dari Swiss dan Amerika Serikat.(www.gugustugastrafficking.org). Peran pemerintah serta keterlibatan ECPAT dalam menangani masalah ini. Kemudiaan kedua pihak

(5)

melakukan kerjasama dalam pembentukan langkah-langkah dan program kerja dalam penanganan kasus ESKA ini.

Peran ECPAT Dalam Menangani Masalah Child Sex Tourism (CST)

Dalam upaya penanggulangan masalah ESKA ini, ECPAT berperan sebagai pihak pemberi bantuan luar negeri berupa bantuan teknis, bantuan dalam pengawasan program nasional, usaha-usaha advokasi, dan kampanye ESKA. Dalam pelaksanaan program-programnya, ECPAT juga menjalin kerjasama baik dengan pemerintah Indonesia maupun dengan organisasi-organisasi non pemerintah sebagai jaringan ECPAT maupun yang bukan jaringan ECPAT. Dari kerjasama inilah diharapkan praktek-praktek ESKA yang terjadi di Indonesia dapat tertangani dan mengalami penurunan, selain itu karena ECPAT merupakan suatu organisasi non pemerintah yang berfokus pada masalah ESKA, dianggap sebagai patner yang tepat untuk menjalankan berbagai program penanggulangan ESKA. Langkah-langkah yang telah dibentuk antara ECPAT dan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan masalah ESKA di sektor pariwisata kemudian diimplementasikan dalam bentuk program kerja yang dibagi dalam program jangka pendek maupun jangka panjang. Bentuk-bentuk kerjasama tersebut didukung dengan adanya program kerja bersama. Program kerja yang dibentuk oleh ECPAT dan pemerintah Indonesia kemudian mulai dilaksanakan pada tahun 2002. Pemerintah telah mengadopsi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (2002-2007) dan Rencana Aksi Nasional untuk Memberantas Perdagangan Perempuan dan Anak (2002-2007). Dan sebagai bentuk program jangka panjang, pada tahun 2002 Pemerintah Indonesia mulai mengimplementasikan sebuah Rencana Aksi Nasional 20 tahun ke depan untuk Penghapusan Bentuk-bentuk Perburuhan Terburuk Untuk Anak. Kemudian Pemerintah Indonesia melanjutkan program tersebut dengan mengembangkan sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Hak Asasi Manusia yang dijalankan pada tahun 2004-2009. (www.ecpat.net). Rencana ini mengandung tujuan khusus untuk melindungi hak-hak anak dan juga kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk memerangi praktek perdagangan manusia dan melindungi mereka dari eksploitasi seksual, pornografi, dan bentuk buruk lainnya dari praktek perburuhan anak. Di tahun 2008, pemerintah menyusun laporan evaluasi pelaksanan dan dampak dari kedua Rencana Aksi Nasional tersebut. Laporan tersebut memberikan otoritas pemerintah dengan rekomendasi yang jelas untuk meningkatkan kapasitas mereka agar lebih efektif menyelesaikan masalah perdagangan anak dan ESKA. Berdasarkan rekomendasi ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional 5 tahun ke depan untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan ESKA (2009-2014).

Di tahun 2008, pemerintah Indonesia memulai fase lima tahunan ke-2 dari Rencana Aksi Khusus Nasional di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Lampung. Strategi untuk fase ke-2 ini termasuk didalamnya

(6)

adalah melanjutkan untuk mempromosikan kebijakan nasional dan daerah yang menangani pekerja buruh anak dan penghapusan anak-anak dari bentuk-bentuk pekerjaan buruh terburuk melalui penganganan langsung dan terarah di beberapa sektor, termask perdagangan manusia untuk tujuan seksual.

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA) dan Rencana Aksi Nasional Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A) telah berlangsung lima tahun sejak disahkannya. Kedua RAN tersebut diluncurkan berdasarkan Keputusan Presiden No.87 dan 99 tahun 2002. (www.ilo.org). Pengesahan kedua RAN tersebut menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah-langkah yang nyata dalam penghapusan tindakan ESKA di Indonesia.

Implementasi Program Kerja ECPAT

Banyak perkembangan yang terjadi selama periode implementasi kedua dari Rencana Aksi Nasional (RAN). Dalam P3A, pencapaian utamanya adalah disahkannya sebuah UU baru (UU PTPPO) tentang penanggulangan perdagangan orang yang disahkan pada bulan April 2007. UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga disahkan pada tahun 2004 serta berbagai peraturan baik di tingkat nasional maupun daerah. Di beberapa daerah di Indonesia, kinerja polisi telah sangat meningkat. Meskipun UU PTPPO dan UU Perlindungan Anak yang disahkan pada tahun 2002 secara umum belum dipakai sebagai acuan untuk menegakkan keadilan. Acuan hukum yang sering digunakan untuk kasus perdagangan manusia adalah KUHP, yang seringkali terdapat efek mengkriminalisasi korban, disamping hukuman yang sangat ringan untuk para pelakunya. Oleh sebab itu, dibutuhkan lebih banyak harmonisasi terhadap kerangka kerja hukum. Ada banyak keluhan tentang hakim dan jaksa yang kurang mempunyai komitmen dan pengetahuan dalam penanganan kasus trafficking. Prioritas-prioritas utama yang dilakukan oleh ECPAT dan pemerintah Indonesia didalam pelaksanaan RAN diantaranya yaitu menyusun dan menegakkan kode etik ESKA untuk agen-agen pariwisata. Hal ini mencakup pengembangan informasi dan bahan-bahan peningkatan kesadaran seperti katalog, brosur, poster, film in-flight, slip tiket, home page, dan lain-lain. Kemudian memperkenalkan pendidikan ESKA di sekolah-sekolah dengan memberikan penyuluhan-penyuluhan tentang pencegahan eksploitasi seksual komersial anak di berbagai sekolah. Hal ini juga disertai dengan bekerja bersama-sama untuk memerangi prilaku masyarakat yang memberikan kontribusi terhadap perdagangan orang dan ESKA (contohnya, persepsi masyarakat dalam melihat anak perempuan sebagai aset), termasuk melalui pelibatan para tokoh agama serta memastikan bahwa semua program didasarkan pada kepentingan terbaik anak.

Salah satu bukti tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan ECPAT dalam pencapaian prioritas-prioritas utama tersebut adalah dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Tenggara tentang Pariwisata Seks Anak yang diselenggarakan di Bali pada Maret 2009. Konferensi tersebut diorganisir oleh

(7)

pusat studi dan perlindungan anak (PKPA), yang merupakan sebuah anggota koalisi nasional untuk penghapusan ESKA (ECPAT di Indonesia), bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan. Lebih dari 200 perwakilan pemerintah, akademisi, sektor swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional dan Lembaga Swadaya Masyarakat, termasuk anggota ECPAT dari regional, berpartisipasi dalam konferensi ini. Konferensi ini menghasilkan komitmen dan rekomendasi terhadap eksploitasi anak di bidang pariwisata (Bali Commitment and Recommendation Againts the

Exploitation of Children in Tourism). Dokumen ini mendesak semua sektor

masyarakat terutama para negara anggota ASEAN untuk segera meningkatkan tindakan melindungi anak-anak dan mengadili para pelaku. Dokumen ini juga menyerukan para negara anggota ASEAN untuk meratifikasi protokol opsional untuk perjanjian tentang hak-hak anak pada penjualan anak, pelacuran anak, dan pornografi anak serta menyerukan untuk memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum sekolah sebagai strategi pencegahan. Rekomendasi dari konferensi ini termasuk menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk berpartisipasi aktif dalam memerangi pariwisata seks anak, meningkatkan upaya untuk melindungi anak-anak terhadap pariwisata seks anak di sektor swasta dan meningkatkan kerjasama dan koordinasi masyarakat sipil dan lembaga internasional untuk memastikan efektivitas kegiatan dan program ditujukan untuk melindungi anak-anak dan mencegah pariwisata seks anak-anak.

Beberapa pencegahan yang dilakukan oleh ECPAT yang bekerja sama dengan pemerintah Indonesia, yaitu melaksanakan sebuah kampanye yang komprehensif dan berkesinambungan untuk menangani eksploitasi dalam sistem migrasi. Ini akan termasuk dalam memperkuat monitoring agen-agen perekrutan, pemberantasan praktek-praktek ilegal seperti perampasan hak untuk kebebasan bergerak di tempat-tempat penampungan, pemalsuan/penahanan dokumen serta jeratan hutang, pengembangan cara-cara atau pendekatan penanganan yang lebih baik. Kemudian menggunakan informasi yang dikumpulkan dari korban-korban dan sumber-sumber lain agar dapat dipakai untuk membuat target dan mengalokasikan program-program penanganan yang lebih baik.

Mengganti konsep peningkatan kesadaran atau sosialisasi dengan program-program komunikasi perubahan sikap, dengan pesan yang jelas dan akurat, serta memperkuat monitoring dan evaluasi. Sebuah workshop nasional dapat membantu menyusun strategi komunikasi perubahan sikap bagi RAN tersebut. Serta mengembangkan sebuah penanganan percontohan yang komprehensif di sepanjang rute-rute trafficking yang dipilih, tujuannya agar dampaknya terhadap

trafficking terus berlangsung dan menyediakan sebuah contoh yang positif

sehingga dapat diadopsi di tempat lain.

Selain beberapa pencegahan yang telah dipaparkan diatas, adapula pencegahan yang dilakukan dari sisi norma hukum dan penegakan hukum (sistem peradilan), diantaranya yaitu membuat kerangka kerja legal yang sejalan dengan Undang-Undang dan standar internasional anti-trafficking baik di tingkat nasional maupun

(8)

provinsi, memperkuat dan menegakkan kerangka kerja dalam perlindungan buruh migran (termasuk mengkaji Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran No. 39/2004 dan MOU dengan malaysia, serta memonitor praktek-praktek jeratan hutang).

Kemudian mendukung sebuah badan independen untuk memonitor kemajuan komplain dan kasus trafficking serta ESKA dalam keseluruhan proses sistem peradilan serta secara cepat menangani masalah-masalah dan kesenjangan yang teridentifikasi melalui proses ini, meningkatkan jumlah petugas polwan dan memastikan bahwa mereka cukup terwakili dalam posisi-posisi yang melibatkan perdagangan orang dan ESKA, memastikan bahwa semua personel sistem peradilan mendapatkan pendidikan terkait Undang-Undang trafficking yang baru (UU PTPPO) dan melihatnya sebagai sebuah prioritas. Ini termasuk memastikan bahwa pelanggaran Undang-Undang dalam sistem migrasi tidak dibiarkan begitu saja serta memperkuat proses-proses legal dan peradilan.

Selain pemberlakuan norma hukum dan peradilan serta beberapa pencegahan yang dilakukan oleh ECPAT dan pemerintah Indonesia dalam menangani masalah ESKA, ada beberapa hal yang diterapkan untuk rehabilitasi dan reintegrasi korban dari ESKA, yaitu:

1. Memastikan identifikasi korban trafficking dan ESKA secara tepat dan

akurat, termasuk melalui screening rutin terhadap para buruh migran yang dideportasi dan anak-anak atau perempuan yang menjadi korban ESKA, pengembangan hotline (layanan sambungan telpon untuk mendapatkan bantuan), dan pembuatan mekanisme keluhan, mengidentifikasi serta menghilangkan hambatan-hambatan dan kendala-kendala yang akan dialami korban.

2. Menyusun mekanisme rujukan nasional untuk korban trafficking dan

ESKA, secara jelas merinci tanggung jawab semua badan di berbagai bagian dari proses yang ada, dari identifikasi sampai pemulangan, pemulihan, dan reintegrasi. Untuk menjamin cakupan yang maksimum serta penggunaan sumber daya secara efisien, layanan yang terintegrasi serta pusat-pusat pelayanan seharusnya tidak hanya khusus untuk trafficking.

3. Memastikan bahwa dukungan dan bantuan untuk anak-anak harus sesuai dengan kebutuhan khusus mereka, serta mengeksplorasi potensi untuk bantuan sektor swasta dalam memberikan asistensi kepada korban termasuk keterlibatan sektor transportasi dalam pemulangan secara gratis atau yang tersedia murah. 4. Mengembangkan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) berbasis rumah sakit untuk perempuan korban kekerasan yang telah didirikan di beberapa daerah. PPT-PPT ini memberikan bantuan terhadap korban trafficking, korban kekerasan dalam rumah tangga, dan bentuk kekerasan lainnya. PPT menyediakan bantuan darurat yang penting tetapi perlu didukung oleh peningkatan bantuan reintegrasi.

Hambatan ECPAT dalam Menangani Masalah ESKA

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk menangani masalah pariwisata seks anak dan juga peningkatan dalam langkah-langkah untuk membantu korban anak, meskipun pada umumnya masih sebatas pada turunan kegiatan yang

(9)

diimplementasikan di bawah nama kegiatan anti-trafficking. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh ECPAT dengan pemerintah Indonesia ternyata menemukan hambatan-hambatan didalam pelaksanaannya. Beberapa hambatan yang muncul setelah dilakukannya evaluasi oleh pihak ECPAT serta pemerintah Indonesia tentang implementasi RAN, yaitu:

1. Meski gugus tugas telah dibentuk di tingkat nasional dan daerah,

kerjasama dan koordinasi yang efektif masih belum terlaksana. Bagian yang satu tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh bagian yang lain meskipun masih satu departemen, apalagi kerjasama antar departemen.

2. Koordinasi untuk pemulangan antar kabupaten dan provinsi masih sulit. Bagian yang bertanggung jawab menangani korban tidak jelas didefinisikan, antara daerah pengirim dan penerima mempunyai pendapat yang berbeda tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab.

3. Informasi yang akurat tentang trafficking dan ESKA sangat terbatas.

Informasi yang didapatkan dari korban tidak digunakan untuk meningkatkan usaha-usaha pencegahan. Hal ini sering terjadi karena bentuk-bentuk dari ESKA itu sendiri yang sifatnya terselubung dan sulit terindikasi.

4. Kurangnya pengetahuan tentang trafficking dan ESKA, ditambah dengan sering terjadinya rotasi pejabat yang berwenang serta keterbatasan anggaran sering menjadi masalah dalam pelaksanaan RAN.

Selain itu, ada pula beberapa hal yang kemudian menjadi hambatan di dalam mengatasi masalah ESKA dan kesenjangan yang terjadi dalam pelaksanaan program dari ECPAT dan pemerintah Indonesia, diantaranya adalah kondisi ekonomi yang lemah dan masalah-masalah dalam pendidikan yang menjadikan masyarakat semakin rentan terhadap isu ESKA. Hal ini termasuk dalam fenomena putus sekolah yang dialami oleh sejumlah anak yang dilatarbelakangi oleh tingkat perekonomian keluarga mereka yang lemah. Kemudian meski jumlah kegiatan peningkatan kesadaran terhadap isu ESKA kepada masyarakat sudah cukup banyak dilakukan, tetapi pengetahuan serta kesadaran dari masyarakat itu sendiri terkait masalah ESKA dan isu-isu terkait lainnya termasuk hak-hak mereka juga masih terbatas. Hal ini termasuk hak-hak anak dalam memperoleh pendidikan serta kehidupan yang layak.

Usaha untuk mencegah trafficking juga masih terbatas dan secara umum terfokus pada peningkatan kesadaran. Hanya sedikit monitoring dan evaluasi yang dilakukan terhadap kegiatan peningkatan kesadaran sehingga hampir tidak ada informasi yang didapatkan mengenai dampaknya. Langkah-langkah dalam RAN untuk mengatasi permasalahan ESKA, trafficking, pariwisata seks anak, kemiskinan (khususnya bagi perempuan dan anak) termasuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan peluang kerja belum dilaksanakan. Program-program di daerah masih sepotong-sepotong, ada yang cukup kuat di beberapa daerah, tetapi di daerah lain tidak ada sama sekali. Sedikit institusi yang mengalokasikan anggaran khusus untuk trafficking atau ESKA.

(10)

Berdasarkan hasil evaluasi dari pihak ECPAT, implementasi RAN yang sudah dijalankan masih sangat terbatas. Ini terbukti dengan pemerintah yang tidak memberikan prioritas yang tinggi terhadap RAN ini baik di departemen-departemen maupun kementerian-kementerian. Keduanya merefleksikan dan memberikan kontribusi terhadap kurangnya pemahaman pada kompleksitas dan dampak dari ESKA. Contohnya, masih adanya kebingungan untuk membedakan antara eksploitasi seksual komersial anak dengan pelecehan seksual terhadap anak. Pengumpulan informasi yang akurat untuk memungkinkan respon yang sistematis terhadap isu terkait eksploitasi seks komersial masih kurang memadai. Pemerintah provinsi enggan untuk mengadopsi dan mengimplementasikan RAN tersebut karena mereka tidak punya cukup pemahaman terhadap isu ESKA dan karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah

Efektifitas Peran ECPAT Dalam Menangani Masalah ESKA

Langkah-langkah yang telah dilakukan oleh ECPAT dan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan masalah ESKA sudah cukup baik dan hal ini ditandai dengan program-program kerja diantara pihak-pihak yang terlibat. Agar tercapainya efektifitas program-program kerja tersebut, pihak ECPAT dan pemerintah Indonesia terus memantau serta melakukan kerjasama dan koordinasi agar program-program kerja tersebut dapat berjalan secara berkesinambungan. Hal-hal yang dilakukan dalam kerjasama dan koordinasi, diantaranya memastikan bahwa RAN akan digunakan sebagai sebuah kerangka kerja yang dapat memberikan arahan untuk kegiatan-kegiatan ESKA dan trafficking, dengan standar-standar, target-target, dan jajaran akuntabilitas yang jelas, serta laporan kemajuan harus dibuat setiap tahun dengan menggunakan format RAN tersebut. Kemudian memastikan bahwa semua jenis trafficking dicakup oleh RAN

trafficking (ketenagakerjaan, kerja rumah tangga, eksploitasi seks, pangantin

pesanan). Serta menyusun sebuah program pelatihan interaktif yang berkesinambungan untuk pejabat tingkat nasional, provinsi, dan daerah demi memastikan pemahaman yang sama dan mengurangi dampak yang diakibatkan oleh rotasi posisi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), dilaporkan sepanjang tahun 2012 setidaknya ada 673 kasus eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia. Jumlah ini meningkat dibandingkan hasil laporan tahun 2011 yang berjumlah 480 kasus dan hasil laporan tahun 2010 yang berjumlah 412 kasus, korban yang dijadikan eksploitasi seksual umumnya berusia antara 13-17 tahun. (www. megapolitan.kompas.com).

Hal ini membuktikan bahwa peran ECPAT dalam menangani ESKA belum sepenuhnya efektif, dan ini terlihat dari adanya peningkatan jumlah kasus ESKA yang cukup signifikan di tahun 2012 dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu tahun 2010 dan 2011. Namun hal ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab ECPAT saja, tetapi peran serta pemerintah Indonesia yang dibantu oleh organisasi-organisasi terkait dan juga LSM yang diharapkan terus melakukan

(11)

upaya-upaya dan program kerja yang berkesinambungan dalam menangani masalah ESKA di Indonesia

Kesimpulan

Eksploitasi seksual komersial terhadap anak telah menjadi persoalan sosial yang semakin cepat perkembangannya. Kerjasama yang terjalin antara ECPAT dan pemerintah Indonesia memberikan kontribusi positif terhadap perubahan jumlah korban ESKA di Indonesia. Dalam hal ini, ECPAT berperan sebagai pihak pemberi bantuan luar negeri berupa bantuan teknis, bantuan dalam pengawasan program nasional, usaha-usaha advokasi, dan kampanye ESKA.

Langkah-langkah yang telah dibentuk antara ECPAT dan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan masalah ESKA di sektor pariwisata diimplementasikan dalam bentuk program kerja yang dibagi dalam program jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia mengembangkan sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) yang terbagi dalam Rencana Aksi Nasional 5 tahun ke depan dan Rencana Aksi Nasional 20 tahun ke depan.

Hal yang paling utama dalam penanggulangan masalah ESKA adalah komitmen politik yang tinggi dari pemerintah dan kontinuitas terhadap program-program yang telah dibentuk. Keberadaan ECPAT telah membantu pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedua unsur tersebut. Dilihat dari segi kuantitas aksi-aksi yang telah dilakukan ECPAT memang belum banyak dan pemerintah Indonesia sendiri belum dapat memaksimalkan keberadaan ECPAT di Indonesia dan kendala-kendala kultural di Indonesia sendiri yang sedikit menghambat aksi-aksi ECPAT.

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Ade Maman Suherman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi

Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,

2003

Andi Yentriani, “Politik Perdagangan Perempuan”, Gallang Pres, Yogyakarta, 2004

Kementrian Koordinator Bidang Kesra. “Penghapusan Perdagangan Orang

(Trafficking in Persons) di Indonesia”. Jakarta, 2005

Prof.Dr.Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung, 1997

Teuku May Rudy, Administrasi & Organisasi Internasional, Refika Aditama, Bandung

(12)

Skripsi:

Shinta Maharani, ”Peran Unicef Dalam Menanggulangi Masalah Human Trafficking Di Indonesia (Studi Kasus Perdagangan Perempuan Dan Anak Di Kalimantan Timur Tahun 2000-2007)

Media Internet

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, diakses melalui

www.bali.bps.go.id/index.php?reg=par_full pada tanggal 23 April 2013

Buku Combating CST – ECPAT Internasional. Diakses melalui

http://www.ecpat.net/ei/Publications/CST/CST_FAQ_BAHASA.pdf pada tanggal 14 Februari 2013

Buku ECPAT – ECPAT International, diakses melalui

http://www.ecpat.net/ei/Publications/About_CSEC/FAQ_Bahasa_2008.pdf pada tanggal 28 maret

Buku Strengthening to ECPAT – ECPAT Internasional, diakses melalui

www.ecpat.net/ei/Publications/Legal_Reform/Strengthening_law_CSEC_Bahasa. pdf pada tanggal 23 April 2013

Profile ECPAT, diakses melalui

http://www.ecpatindonesia.org/index.php/en/siapa- kami/profil.html pada tanggal 1 Juli 2013

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kata lain :’Pada proses reversibel antara dua titik keseimabngan I dan f, selalu dapat ditemukan jalan reversibel terdiri attas adiabat-isoterm-adiabat, sedemikian rupa

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data, mengolah,menganalisis dan membahas tentang Perilaku Masyarakat Dalam Melestarikan lingkungan Pantai Tiku Di Nagari Tiku Selatan

Bank sebagai Lembaga Keuangan dan Lembaga Intermediasi, berperan sebagai perantara keuangan masyarakat, yaitu berupa kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh diatas ternyata masih banyak keluarga yang memiliki pengetahuan rendah dalam merawat klien gangguan jiwa yang

Karena kelebihan kayu ati dari warna serat dan kelas awetnya, sebagian besar produsen furniture atau pemakai kayu jati tidak melapiskan bahan finishing karena

3alam mengahadapi masalah yang terdapat di Puskesmas 2atinom yaitu  pemanfaatan pelayanan imunisasi oleh masyarakat belum maksimal, ada masyarakat yang menolak

Mitra karya di Desa kampung Corom Kecamatan Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur.. Pembimbing :

yan ang g ak akan an se seiim mba bang ng de deng ngan an ar arus us k kas as m mas asuk uk y yan ang g dihasilkan dari in!estasi" rus kas yang mengambil