• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ASPEK HUKUM LAMBANG PALANG MERAH"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

A. Sejarah Organisasi

Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang mengakibatkan banyak korban dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing pihak yang bersengketa tidak sanggup lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis sebuah buku di tahun 1861 yang berjudul “Un Souvenir de Solferino” (Kenang-kenangan dari Solferino). Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan penolong para prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran.46

Pada saat peperangan terjadi saat itu, pelayanan medis kemiliteran memiliki tanda pengenal sendiri-sendiri dengan warna yang berbeda-beda. Austria menggunakan warna putih, Perancis menggunakan warna merah, sehingga tanda pengenal tersebut bukannya memberikan perlindungan tetapi juga merupakan target bagi tentara lawan yang tidak mengetahui apa artinya.

46 Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949, Bina Cipta,

(2)

Buku tersebut menggemparkan seluruh Eropa sehingga pada tanggal 17 Pebruari 1863 beberapa warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk bergabung dengan Henry Dunant guna mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah “Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang terluka” (“International Committee for Aid to Wounded Soldiers”). Tahun 1875 Komite menggunakan nama “Komite Internasional Palang Merah” (“International

Committee of the Red Cross” / ICRC), hingga saat ini.47

Kemudian, muncul pemikiran untuk mengadopsi lambang yang menawarkan status netral kepada mereka yang membantu korban luka dan menjamin perlindungan mereka yang membantu korban perang. Kepentingan tersebut menuntut dipilihnya hanya satu lambang. Delegasi dari konferensi 1863 akhirnya memilih lambang Palang Merah diatas dasar putih, warna kebalikan dari bendera nasional Swiss (palang putih diatas dasar merah) sebagai bentuk penghormatan terhadap negara Swiss. Selanjutnya dalam Konferensi Internasional di Jenewa 1863 sepakat untuk mengadopsi lambang Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal perhimpunan bantuan untuk tentara yang terluka yang nantinya menjadi Perhimpunan Nasional Palang Merah. Pada tahun 1864, lambang Palang Merah diatas dasar pitih secara resmi diakui sebagai tanda pengenal pelayanan medis angkatan bersenjata.48

Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat

47

Hans Haug, Humanity for All. The International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.

(3)

untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata pada waktu peperangan. Organisasi tersebut pada waktu sekarang disebut dengan “Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional” (“National Societies”) yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah (Nasional) atau Bulan Sabit Merah (Nasional), misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama “Palang Merah Indonesia”; di Malaysia disebut dengan “Bulan Sabit Merah Malaysia”.

Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi Internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang dikenal dengan nama “Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi prajurit yang cedera di medan perang” (“Geneva Convention for the amelioration of the condition of the wounded in

armies in the field”). Karena banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan

Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk “Liga Perhimpunan Palang Merah” (“League of Red Cross Societies”), yang bertugas mengkoordinir seluruh perhimpunan nasional dari semua negara.

Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh Turki (dahulu Ottoman Empire) serta lambang Singa dan Matahari Merah yang digunakan oleh tentara Persia (saat ini Republik Islam Iran). Negara-negara lain kemudian juga menggunakan lambang sendiri, seperti Siam (saat ini Thailand) yang menggunakan lambang Nyala Api Merah (red flame); Israel menggunakan lambang Bintang David Merah (red shield of david); atau Afganistan yang menggunakan Red

(4)

merah di bawah matahari merah di atas dasar putih (red strip beneath a red sun on a

white ground), lambang Swastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah (red palm) oleh

Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan Sri Lanka tidak menggunakan klausula reservasi dan memutuskan untuk menggunakan lambang palang merah.49 Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta Singa dan Matahari Merah kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun 1929. Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah (“red crescent”). Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk menggunakan lambang lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa.50

Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam Liga Palang Merah (termasuk di Indonesia dibentuk Palang Merah Indonesia berdasarkan Keppres No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963).51 Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya

49Jean-Francois Queiguiner, “Commentary to the Protocol Additional to the Geneva

Conventions of 12 August 1949, and relating to the adoption of an additional distinctive emblem (Protocol III), International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, hal. 2-3.

50Francois Bugnion, Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneva, May 2007,

hal. 10-16.

51Saat ini terdapat 151Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan

32 negara yang menggunakan lambang bulan sabit merah; lihat pada http: //icrc.org/Web/Eng/siteeng0.nsf/html/emblem-history

(5)

menjadi Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of the Red Cross and Red Crescent Societies / IFRC).

Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864 tersebut, yang telah mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para korban perang; di mana aturan mengenai penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut.

Pada bulan Desember 2005, diadakan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan suatu perjanjian internasional, yaitu Protokol Tambahan III (tahun 2005) pada Konvensi-konvensi Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan lambang baru di samping lambang palang merah dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu agama tertentu. Lambang yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah (“red crystal”).52 Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian (purity) yang seringkali dihubungkan dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia.53

52 Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the

Adoption of an Additional Distinctive Emblem (Protocol III), http://icrc.org/Web/Eng/siteeng0 nsf/html/treaties-third%20protocol-emblem-081205, diunduh pada tanggal 14 Desember 2012.

53Michael Meyer, “The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem”,

dalam International Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey, Cambridge University Press, Cambridge, 2005, (edited by Richard Burchill, Nigel D. White, and Justin Morris) hal. 98.

(6)

Lambang Palang Merah bukanlah sebuah simbol religius melainkan hanya sekedar kebalikan dari warna bendera Swiss. Kekeliruan pengertian disebabkan karena sebutan “palang” dan “salib” dalam bahasa Inggris memiliki penyebutan yang sama (cross).54

Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam perjanjian internasional. Ketiga lambang tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok tentang tata-cara dan penggunaan lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit merah dan kristal merah (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005 yang berbunyi “this Protocol recognizes an additional emblem in addition to,

and for the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive emblems shall enjoy the equal status”55, serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (International Red Cross and Red

Crescent Movement).

B. Fungsi Lambang Palang Merah

Lambang palang merah memiliki dasar hukum di tingkat internasional, antara lain, seperti dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol-protokol

54

Haris Munandar, Mengenal Palang Merah Indonesia (PMI) dan Badan Sar Nasional (Basarnas), PT. Gelora Aksara Pratama, 2008, hal. 22.

(7)

Tambahannya tahun 1977 serta Regulation on the Use of the Red Cross or Red

Crescent by the National Societies tahun 1991 (selanjutnya disebut Regulation).

Lambang palang merah dipergunakan sesuai dengan aturan di dalam Pasal 44 Konvensi Jenewa 1949 yang meliputi dua jenis penggunaan, yaitu dipergunakan sebagai ‘tanda pelindung’ (“protective use”) dan ‘tanda pengenal’ (“indicative

use”).56 Sedangkan Regulation on the Use of the Red Cross or Red Crescent by the

National Societies Tahun 1991 mengatur secara lebih detail tentang tata-cara ke dua

jenis penggunaan tersebut.

1. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pelindung (“Protective Use”)57

Penggunaan lambang sebagai tanda pelindung pada masa peperangan terutama ditujukan bagi anggota-anggota personil medis dari Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata yang sedang bertugas membantu tentara yang terluka dan sakit di medan peperangan, sehingga dalam melakukan tugas medis tersebut, mereka harus dihormati dan dilindungi.58 Di samping dinas kesehatan, anggota perhimpunan nasional maupun anggota organisasi kemanusiaan lainnya yang diijinkan oleh penguasa militer yang berwenang, dapat menggunakan lambang ini pada waktu peperangan guna menjalankan mandat kemanusiaannya.

Bagi para personil yang berhak menggunakannya sebagai tanda pelindung, lambang palang merah dipakai dalam bentuk ban lengan dan dipakai di sebelah kiri.

56

Arlina Permanasari, Op. Cit., hal. 321-327.

57ICRC – IFRC, Handbook of the International Red Cross and Red Crescent Movement, 13th Edition, Geneva, 1994, hal. 551-568.

58Pasal 1 (alinea pertama) Regulation menyebutkan bahwa, “..the emblem is meant to mark

medical personnel and religious personnel and equipment which must be respected and protected in armed conflict”, hal. 552.

(8)

Ban lengan ini sedemikian rupa harus terlihat dengan jelas (cukup besar) ketika ia menjalankan tugas kemanusiaan dan personil tersebut harus membawa kartu identitas yang dikeluarkan oleh Pemerintah mengenai statusnya. Ukuran lambang sebagai tanda pelindung harus besar. Sedangkan bagi kendaraan atau bangunan yang berhak menggunakan lambang, maka penempatan lambang harus diletakkan sedemikian rupa sehingga terlihat jelas dari jauh maupun dari udara, misalnya diletakkan di atap bangunan/kendaraan atau pada sisi-sisinya dengan ukuran yang besar.

Dengan demikian yang berhak menggunakan lambang dalam ukuran besar, yakni sebagai tanda pelindung ketika terjadi peperangan adalah :

a. Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata.

b. Perhimpunan Palang Merah yang telah diakui dan disahkan oleh pemerintahnya untuk membantu Dinas Kesehatan Angkatan Bersenjata. Mereka yang boleh menggunakan lambang sebagai sarana pelindung hanyalah personil dan peralatan yang digunakan untuk membantu Dinas Kesehatan yang resmi, untuk tujuan yang sama seperti Dinas Kesehatan militer dan tunduk pada hukum dan peraturan militer.

c. Rumah sakit sipil yang telah diakui oleh Pemerintah dan diberi hak untuk memasang lambang sebagai sarana perlindungan.

d. Semua kesatuan medis sipil (Rumah Sakit, Pos P3K dan sebagainya) yang telah disahkan dan diakui oleh penguasa yang berwenang (berlaku bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Tambahan I tahun 1977).

(9)

e. Perhimpunan penolong sukarela lainnya, yang telah memenuhi persyaratan yang berlaku bagi Perhimpunan Nasional, yang boleh memakai lambang hanyalah personil dan perlengkapan yang digunakan pada Dinas Kesehatan militer, serta tunduk pada hukum dan peraturan militer.

Sedangkan penggunaan lambang sebagai tanda pengenal pada waktu peperangan hanya boleh digunakan oleh Perhimpunan Nasional; dalam hal ini guna menghindari adanya kebingungan dengan pemakaian lambang sebagai tanda pelindung pada waktu perang, maka lambang yang digunakan tidak boleh dipasang pada ban lengan atau di atap bangunan.

2. Penggunaan Lambang Sebagai Tanda Pengenal (“Indicative Use”)59

Lambang selain dapat dipergunakan sebagai tanda pelindung, dapat juga dipergunakan sebagai tanda pengenal. Tanda pengenal menunjukkan bahwa si pemakai tanda pengenal adalah orang-orang atau objek-objek yang ada kaitannya dengan gerakan palang merah dan bulan sabit merah internasional.60

Anggota Perhimpunan Nasional diperpolehkan memakai lambang sebagai tanda pengenal ini pada waktu melaksanakan tugas, tetapi dengan ukuran yang kecil. Pada saat tidak sedang menjalankan tugas, mereka hanya boleh memakai emblem dalam ukuran yang sangat kecil, misalnya dalam bentuk badge, jepitan dasi, pin, dan sebagainya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Palang Merah Remaja dengan mencantumkan kata Palang Merah Remaja atau singkatannya.

59Keterangan pada bagian ini merupakan ringkasan dari Regulation tentang lambang sebagai

tanda pelindung, hal. 551-568.

60Pasal 1 (alinea kedua ) Regulation tahun 1991 menyebutkan bahwa “…the indicative use of

(10)

Selain mengatur tentang penggunaan lambang sebagaimana di atas, dalam

Regulation juga diatur tentang penggunaan lambang untuk tujuan diseminasi

(sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana (“fund-raising”). Perhimpunan Nasional dapat memakai lambang sebagai tanda pengenal untuk mendukung kampanye atau kegiatannya agar diketahui oleh masyarakat umum; untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang Hukum Humaniter Internasional dan Prinsip-prinsip Fundamental Perhimpunan Nasional atau untuk mengumpulkan dana.61

Apabila ditampilkan pada bahan cetakan (printed matter), objek atau bahan iklan lain untuk suatu kampanye; maka lambang harus disertai nama perhimpunan, teks atau gambar-gambar yang dipublikasikan, akan tetapi jangan sampai memberikan sugesti bahwa objek tersebut mendapatkan perlindungan dari Hukum Humaniter atau keanggotaan “Gerakan”, atau memberikan kesempatan penyalahgunaan di kemudian hari, sehingga objek tersebut harus dalam ukuran yang kecil, atau dari bahan yang mudah rusak atau cepat hancur. Perhimpunan Nasional yang bekerjasama dengan perusahaan dagang atau organisasi lain untuk melaksanakan kegiatannya, dapat menampakkan cap atau logo perusahaan, atau kalimat lainnya asalkan sesuai dengan syarat berikut ini :62

a. Jangan menimbulkan anggapan bahwa ada kaitan antara kegiatan perusahaan atau kualitas produk dengan emblem atau Perhimpunan Nasional sendiri;

b. Perhimpunan Nasional tetap mengawasi jalannya kampanye, menentukan di mana cap atau logo atau kalimat dari perusahaan yang ditampilkan;

61Lihat Pasal 23 ayat(1) dan (2) Regulation. 62Arlina Permanasari, Op. Cit., hal. 325-326.

(11)

c. Perusahaan yang bersangkutan tidak boleh terlibat dengan kegiatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Gerakan atau yang oleh masyarakat umum dianggap kontroversial;

d. Perhimpunan Nasional setiap saat berhak membatalkan kontrak tertulis dengan perusahaan yang bersangkutan bila kegiatan tersebut merongrong rasa hormat terhadap emblem;

e. Keuntungan materiil atau financial yang diperoleh Perhimpunan Nasional dari kampanye, harus bersifat substansial;

f. Kontrak tersebut harus disetujui oleh Pimpinan Pusat dari Perhimpunan Nasional.

Di samping ketentuan di atas, Perhimpunan Nasional dapat menyetujui pemakaian lambang untuk dijual di pasaran, asalkan objek tersebut menggambarkan individu atau objek yang memang benar-benar berhak menggunakan lambang. Namun ijin tersebut hanya atau terbatas untuk jangka waktu tertentu dan untuk objek tertentu saja.

Perhimpunan Nasional juga dapat memberi ijin untuk memakai lambang pada lembaga yang tidak mempunyai tujuan komersial dan tujuannya hanya untuk menyampaikan atau mempromosikan kegiatan Perhimpunan atau “Gerakan”.

Adapun, pemakaian lambang atau kata-kata “palang merah” atau “palang Jenewa”, atau tanda atau sebutan apapun lainnya yang merupakan tiruan dari lambang yang banyak dilakukan oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, maupun perusahaan merupakan suatu pelanggaran hukum dan oleh karenanya harus

(12)

dilarang, apapun maksud dari pemakaian itu dan tanpa mengindahkan tanggal penggunaannya.

Sedangkan penggunaan lambang sebagai tanda pelindung yang dipakai pada waktu damai, dapat dilakukan oleh unit-unit kesehatan Perhimpunan Nasional (termasuk Rumah Sakit, Pos P3K milik Perhimpunan Nasional, dan lain-lain) dan sarana transportasi (laut, udara dan darat) yang bertugas melakukan tujuan medis pada masa peperangan namun dapat memakai atau memajang lambang tersebut sebagai tanda pelindung pada masa damai dengan seijin Pemerintah.

Adapun, berbeda dengan ke dua lambang sebelumnya, penggunaan lambang Kristal Merah dapat memungkinkan negara-negara yang tidak ingin menggunakan lambang palang merah ataupun bulan sabit merah untuk bergabung ke dalam “Gerakan”; serta kemungkinan untuk menggunakan lambang palang merah dan bulan sabit merah secara bersama-sama. Lambang Kristal Merah sebagai tanda pengenal dapat ditampilkan bersama-sama dengan bulan sabit merah maupun palang merah atau kedua-duanya di dalam badan lambangnya, atau semata-mata hanya menggunakan lambang Kristal Merah saja, atau menggunakan simbol lainnya yang telah secara efektif digunakan dan telah dikomunikasikan dengan negara-negara penandatanganan lainannya.63 Adapun penggunaannya sebagai tanda pelindung, ditampilkan dalam ukuran yang besar, sebagaimana berlaku pula pada lambang palang merah dan bulan sabit merah.

(13)

C. Dasar Hukum Lambang Palang Merah 1. Dalam Hukum Humaniter Internasional

Setelah Palang Merah Indonesia (PMI) diakui oleh Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross) atau disingkat ICRC pada tanggal 15 Juni 1950, selanjutnya PMI diterima sebagai anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan Palang Merah pada tanggal 16 Oktober 1950.

Untuk menindaklanjuti surat dari Menteri Luar Negeri tertanggal 5 Februari 1951 Nomor 10341 yang menyatakan kesediaan Negara Republik Indonesia untuk ikut serta dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 dan untuk menjadi negara peserta dalam suatu konvensi diperlukan Undang-undang, maka Pemerintah Indonesia pada tanggal 4 Juli 1958 mengesahkan Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.

Konvensi Jenewa Tahun 1949 merupakan satu komponen dari Hukum Humaniter Internasional atau disebut juga Hukum Perikemanusiaan Internasional sebagai suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dasar hukum yang mengatur tentang lambang palang merah dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) dari hasil wawancara dengan Bapak H. Muhammad Muas (Pengurus PMI Pusat) adalah64: a. Geneva Convention I Tahun 1949

(14)

Konvensi Jenewa I Tahun 1949 mengatur tentang perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan bersenjata di medan pertempuran darat.

Beberapa pasal yang mengatur penggunaan lambang diatur dalam Pasal 38-44, Pasal 53 dan Pasal 54; antara lain :65

1) Pasal 38 :

Sebagai penghargaan terhadap negara Swiss, maka lambang pusaka palang merah diatas dasar putih, yang dibentuk mengganti warna-warni federal, dipertahankan sebagai lambang dan tanda yang berbeda dari dinas kesehatan angkatan perang.

2) Pasal 39 :

Menyatakan bahwa atas petunjuk penguasa militer yang berwenang, lambang itu harus tampak pada bendera-bendera,ban lengan dan pada semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan.

3) Pasal 40 :

Menyatakan bahwa lambang palang merah diatas dasar putih yang dipakai pada lengan kiri suatu ban lengan tahan basah yang memuat lambang pengenal, yang dikeluarkan dan dicap oleh penguasa militer dan hanya boleh dipakai oleh : a) Anggota dinas kesehatan termasuk rohaniawan pada angkatan bersenjata. b) Anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota perhimpunan

penolong sukarela lainnya, yang diakui dan disahkan oleh pemerintah dan mereka tunduk pada hukum dan peraturan militer.

65Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan

(15)

c) Anggota perhimpunan yang diakui dari suatu negara netral yang diperbantukan anggota dinas dan kesatuan kesehatannya jika telah diperoleh persetujuan dari pemerintahnya sendiri dan mendapat izin dari negara yang sedang bertikai.

Pada pasal 40 juga menambahkan bahwa para personil tersebut harus dilengkapi dengan kartu pengenal khusus yang memuat lambang pengenal tersebut, yang sedapat mungkin harus sama dengan yang dibuat di negara peserta konvensi dan dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua, satu helai disimpan dinegara asal.

4) Pasal 41 :

Menyatakan bahwa para personil yang menggunakan sebuah ban lengan putih yang memuat ditengah-tengahnya tanda pengenal yang digunakan hanya selama mereka menjalankan kewajiban-kewajiban kesehatan yang harus dikeluarkan dan distempel oleh penguasa militer.66

5) Pasal 42 :

Menyatakan bahwa lambang sebagai tanda pengenal dapat juga dipakai pada bendera-bendera yang hanya boleh dikibarkan diatas kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan yang berhak menggunakannya dengan izin penguasa militer. Bendera itu dapat didampingi oleh bendera nasional suatu negara.

6) Pasal 43 :

Menyatakan bahwa kesatuan-kesatuan kesehatan negara netral yang mungkin telah diizinkan untuk memberikan jasa-jasa mereka kepada salah satu pihak yang berperang menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 27, harus

(16)

mengibarkan disamping bendera Konvensi, bendera nasional pihak berperang itu, dimana saja pihak itu menggunakan hak yang diberikan kepadanya oleh Pasal 42.67

7) Pasal 44 :

Menyatakan bahwa dengan pengecualian hal-hal yang disebutkan dalam paragrap-paragrap berikut dari pasal ini, lambang Palang Merah atas dasar putih dengan kata-kata "Palang Merah", atau "Palang Jenewa" tidak boleh dipergunakan, baik dalam waktu damai maupun dalam waktu perang, kecuali untuk menunjukkan atau melindungi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, anggota-anggota serta bahan perlengkapan yang dilindungi oleh konvensi ini dan lain-lain konvensi-konvensi yang mengatur hal-hal serupa.68 8) Pasal 53 :

Menyatakan bahwa pemakaian lambang atau sebutan "Palang Merah" atau "Palang Jenewa", atau tanda atau sebutan apapun yang merupakan tiruan dari padanya oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, perusahaan atau perseroan dagang baik pemerintah maupun swasta, selain dari mereka yang berhak di bawah konvensi ini selalu harus dilarang, apapun maksud daripada pemakaiannya itu dan tanpa mengindahkan tanggal penggunaanya.69

9) Pasal 54 :

Menyatakan bahwa apabila perundang-undangan mereka belum juga sempurna, Pihak-pihak Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil

67Ibid, hal. 59 68

Ibid, hal. 60.

(17)

tindakan yang perlu untuk pencegahan dan pemberantasan tindakan-tindakan penyalahgunaan seperti tersebut dalam Pasal 53.70

b. Geneva Convention II Tahun 1949

Konvensi Jenewa II Tahun 1949, mengatur tentang perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata di laut yang luka, sakit, dan korban karam. (Pasal 41-45);71

Beberapa pasal yang mengatur penggunaan lambang diatur dalam Pasal 38-44, Pasal 53 dan Pasal 54; antara lain :

1) Pasal 41 :

Menyatakan bahwa atas petunjuk penguasa militer yang berwenang, lambang palang merah dia atas dasar putih, harus diperlihatkan pada bendera-bendera, ban lengan, dan pada semua perlengkapan yang dipakai dalam Dinas Kesehatan. Walaupun demikian, mengenai negara-negara yang telah memakai sebagai lambang bulan sabit merah atau singa dan matahari merah di atas dasar putih sebagai pengganti palang merah, lambang-lambang itu juga diakui dalam arti konvensi ini.

2) Pasal 42 :

Menyatakan bahwa Personel dinas rohani, kesehatan dan rumah sakit, yang disebut dalam Pasal-pasal 36 dan 37 harus memakai pada lengan kiri ban lengan

70Ibid, hal. 73 71Ibid, hal. 92-158

(18)

yang tahan basah, dan memuat lambang pengenal, yang dikeluarkan dan dicap oleh penguasa militer.

Personel demikian harus juga membawa suatu kartu identitas khusus yang memuat lambang pengenal itu, sebagai tambahan pada cakram pengenal yang disebut dalam Pasal 19. Kartu ini harus tahan basah dan sedemikian besarnya sehingga dapat dibawa dalam saku. Kartu harus ditulis dalam bahasa nasional, harus menyebut sekurang-kurangnya nama keluarga dan nama kecil, tanggal lahir, pangkat serta nomor dinas pemegangnya, dan harus menyatakan dalam kedudukan apa pemegangnya berhak akan perlindungan konvensi ini. Kartu itu harus memuat potret pemiliknya dan juga tanda tangan atau cap jari atau kedua-duanya. Kartu itu dibubuhi stempel penguasa militer. Kartu identitas harus seragam di seluruh angkatan bersenjata yang sama dan sedapat mungkin berbentuk serupa dalam angkatan bersenjata pihak Peserta Agung. Pihak-pihak yang bertikai dapat berpedoman pada contoh yang dilampirkan pada konvensi ini. Pada pecahnya pertempuran mereka harus saling memberitahukan bentuk kartu yang dipergunakan. Apabila mungkin kartu-kartu identitas harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua, satu salinan disimpan di negara asal. Personel tersebut dalam keadaan apapun tidak boleh dirampas lencana atau kartu identitas itu hilang, mereka berhak untuk menerima salinan-salinan kartu-kartu itu dan mendapat penggantian lencana

(19)

Menyatakan bahwa kapal-kapal yang disebut dalam Pasal-pasal 22,24, 25 dan 27 harus ditandai dengan jelas sebagai berikut :

a) Semua dataran luar harus putih,

b) Pada tiap sisi badan kapal dan pada dataran horisontal, harus digambarkan dan diperhatikan satu atau lebih palang berwarna merah tua sebesar mungkin, ditempatkan sedemikian rupa sehingga dapat kelihatan sejelas-jelasnya dari laut dan dari udara. Apabila sekoci-koci pantai terus beroperasi dengan persetujuan negara pendudukan dari suatu pangkalan yang diduduki, sekoci-koci itu dapat diperkenankan untuk terus mengibarkan warna-warna nasionalnya sendiri bersama dengan bendera bersama dengan bendera palang merah di atas dasar putih, jika berada di luar pangkalannya, yang harus terlebih dahulu diberitahukan kepada semua pihak-pihak yang bertikai bersangkutan.

4) Pasal 44 :

Menyatakan bahwa tanda-tanda pengenal yang disebutkan dalam Pasal 43 hanya boleh dipakai untuk menandakan atau melindungi kapal-kapal yang disebut disitu, baik diwaktu damai maupun diwaktu perang, kecuali apa yang mungkin ditentukan dalam tiap konvensi internasional lainnya atau dengan persetujuan antara pihak-pihak yang bertikai bersangkutan.

5) Pasal 45 :

Menyatakan bahwa apabila perundang-undangan mereka belum juga sempurna, Pihak-pihak Peserta Agung pada setiap saat harus mengambil

(20)

tindakan-tindakan yang perlu untuk pencegahan dan penindakan dari tiap penyalahgunaan tanda-tanda pengenal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 43. c. Additional Protocol I tahun 1977,

Protokol Tambahan I tahun 1977 mengatur tentang memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata internasional.

Beberapa pasal yang mengatur penggunaan lambang adalah Pasal 18 dan Pasal 85,72yaitu :

1) Pasal 18 :

Menyatakan perihal aturan penggunaan lambang palang merah. 2) Pasal 85:

Menyatakan perihal tentang penindakan terhadap pelanggaran Protokol ini. d. Additional Protocol II tahun 1977

Protokol Tambahan II tahun 1977 mengatur tentang memperkuat perlindungan kepada para korban konflik bersenjata non-internasional.

Aturan tentang lambang Palang Merah terdapat pada Pasal 12, yaitu ;73 menyatakan bahwa dibawah pengarahan dari pejabat yang berwenang, lambang pengenal berupa palang merah, bulan sabit merah dan singa dan matahari merah diatas dasar putih harus diperlihatkan oleh anggota-anggota dinas kesehatan dan keagamaan, dan dipasang pada alat angkutan kesehatan. Pemakaian lambang pengenal itu tidak boleh disalahgunakan.

e. Statutes of the International Red Cross and Red Crescent Movement (1986);

72

Protokol Tambahan pada Konvensi-konvensiJenewa12 Agustus 1949 dan Yang Berhubungan Dengan Perlindungan Korban-korban Pertikaian-pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Ptotokol II), http://icrcjakarta.info/ download/Protokol%20Tambahan%201977.pdf, diunduh pada tanggal 20 Desember 2012

(21)

Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah internasional mengatur tentang :

1) Komponen-komponen Gerakan (Pasal 3-7), yang terdiri dari Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Nasional serta persyaratan untuk diakui sebagai Perhimpunan Nasional; Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross/ICRC); Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of the Red Cross and Red Crescent); kemudian berganti nama menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent); serta mengatur kerjasama di antara ketiga komponen Gerakan.

2) Badan-badan hukum Gerakan (Pasal 8-19), yang mengatur tentang batasan, komposisi, fungsi serta prosedur dari Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (Council of Delegates), serta Komisi Pendiri Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Standing Commission).

3) Ketentuan-ketentuan Penutup (Pasal 20-21), yang mengatur mengenai amandemen Statuta dan pemberlakuan Statuta.

f. Regulation on the Use of the Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies (disetujui dalam Konferensi Internasional ke-20 di Wina

tahun 1965 dan direvisi oleh Council of Delegates, Budapest, 1991).74

Regulasi mengatur secara teknis mengenai penggunaan lambang palang merah (dan bulan sabit merah), antara lain :

74

Peraturan Tentang Pemakaian Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah oleh Perhimpunan-perhimpunan Nasional,http://www.scribd.com/doc/60173890/Lam-Bang, diunduh pada tanggal 20 Desember 2012.

(22)

1) Aturan-aturan umum (Pasal 1-7) yang mengatur perihal arti lambang, kewenangan Perhimpunan Nasional, penghormatan terhadap lambang, perbedaan tentang dua macam penggunaan lambang, rancangan lambang, jarak penglihatan untuk lambang sebagai tanda pelindung dan regulasi internal bagi Perhimpunan Nasional.

2) Aturan-auran khusus (Pasal 8-22), yaitu mengatur lambang sebagai tanda pelindung (Pasal 8-15) dan lambang sebagai tanda pengenal (Pasal 16-22). 3) Aturan-aturan mengenai kegiatan (Pasal 23-27), yang berupa kegiatan

diseminasi (sosialisasi) dan kegiatan pengumpulan dana (fund-raising). g. Surat pengakuan dari ICRC (International Committee of the Red Cross) tentang

berdirinya Perhimpunan Palang Merah Indonesia pada tanggal 15 Juni 1950. h. Surat pengakuan dari IFRC (International Federation of Red Cross and Red

Crescent Societies) pada tanggal 16 Agustus 1950 dan diterima Indonesia

sebagai angggota ke-68.

Di samping itu terdapat pula ketentuan pendukung lainnya yang dikenal dengan Paris Convention 1883 mengenai ‘industrial property’ (Pasal 6), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres No. 15 tahun 1997 tentang ratifikasi Paris Convention.

2. Dasar Hukum Lambang Palang Merah Di Indonesia

Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-Konvensi Den Haag pada tahun 1907 maka F Sugeng Sutanto menjelaskan bahwa pada saat itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Belanda sehingga

(23)

ratifikasi ditetapkan oleh Kerajaan Belanda oleh Undang-Undang (wet) tanggal 1 Juli 1909 dan keputusan Raja Tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.75

Melalui Persetujuan Peralihan yang merupakan Lampiran Induk Perjanjian Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada saat penyerahan kekuasaan tanggal 27 Desember 1949, maka seluruh hak dan kewajiban beralih kepada Republik Indonesia Serikat. Maka hal mengenai konvensi Den Haag telah di ratifikasi oleh Pemerintah.

Selanjutnya berdasarkan wawancara dengan Bapak H. Muhammad Muas (Pengurus PMI Pusat), bahwa dasar hukum terhadap lambang Palang Merah Indonesia adalah :76

a. Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 25 Tahun 1950

Keputusan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Januari 1950 yang isinya menetapkan dan mengesahkan anggaran dasar dari dan mengakui sebagai badan hukum “Perhimpunan Palang Merah Indonesia” yakni dengan menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai satu-satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan Palang Merah di Republik Indonesia Serikat menurut Konvensi Jenewa Tahun 1864, 1906, 1929 dan 1949.

b. Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1950

Disahkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1958 yang isinya memutuskan dan menetapkan ikut sertanya Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi 75F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan

Hukum Internasional, (Andi Offset, Yogyakarta, 1992), hal. 183-184.

(24)

Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Dengan demikian secara yuridis Indonesia terikat untuk melaksanakan semua kewajiban internasional yang tercantum dalam konvensi Jenewa 1949.

c. Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962

Peraturan ini menetapkan tentang Peraturan tentang Pemakaian/Penggunaan Tanda dan Kata-kata Palang Merah.

Pada pasal 1 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 disebutkan bahwa tanda palang merah atas dasar putih, selanjutnya disebut “Tanda Palang Merah” dan kata-kata “Palang Merah” hanya boleh digunakan untuk menandakan atau untuk melindungi petugas-petugas, bangunan-bangunan, alat-alat, yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Pasal 2 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 mengatur tentang siapa pihak-pihak yang berhak menggunakan tanda dan/atau kata-kata palang merah, yaitu :

1) Komite Palang Merah Internasional, 2) Jawatan Kesehatan Angkatan Darat, 3) Jawatan Kesehatan Angkatan Laut, 4) Jawatan Kesehatan Angkatan Udara, 5) Palang Merah Indonesia,

6) Badan-badan/Perkumpulan-perkumpulan atau perseorangan yang melakukan usahausaha pemberian pertolongan kepada orang-orang yang luka atau sakit, sepanjang pemberian pertolongan tersebut diberikan dengan

(25)

cuma-cuma dan setelah mendapat persetujuan dari Palang Merah Indonesia. Pemakaian ini hanya meliputi pemberian tanda pada kendaraan-kendaraan yang digunakan sebagai ambulans dan sebagaipenujuk tempat-tempat pos Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P.P.P.K.).

Sedangkan dalam keadaan perang-nyata, yang diperkenankan memakai/mempergunakan tanda palang merah dan kata-kata palang merah, yaitu:

1) Komite Palang Merah Internasional, 2) Jawatan Kesehatan Angkatan Darat, 3) Jawatan Kesehatan Angkatan Laut, 4) Jawatan Kesehatan Angkatan Udara

5) Palang Merah Indonesia, yang diperbantukan kepada Jawatan-jawatan Kesehatan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara,

6) Petugas-petugas penolong yang telah diakui secara resmi dan telah ditunjuk secara resmi pula untuk membantu Jawatan-jawatan Kesehatan Angkatan Perang,

7) Petugas-petugas kerohanian Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara,

8) Dengan persetujuan khusus dari Pemerintah Republik Indonesia, tanda palang merah dapat digunakan untuk menandakan bangunan-bangunan dan petugas-petugas rumah sakit umum, lingkungan-lingkungan rumah-rumah sakit dan tempat yang disediakan untuk orang-orang luka dan sakit, alat-alat

(26)

pengangkutan yang digunakan oleh badan-badan penolong karam di laut, yang telah diakui dengan resmi, iring-iringan kendaraan sakit, kereta-kereta sakit, kapal-kapal atau pesawat udara, untuk pengangkutan rakyat sipil yang luka atau sakit, cacat atau lemah dan wanita-wanita hamil.

Pada Pasal 3 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 diatur mengenai larangan memakai/menggunakan tanda palang merah dan/atau kata-kata palang merah atau kata-kata lain yang merupakan tiruan dari padanya atau yang memungkinkan kekeliruan dengannya oleh perseorangan, perkumpulan-perkumpulan, badan-badan, perusahaan-perusahaan atau apa pun juga namanya, selain dari pada mereka yang diperkenankan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 2 tersebut diatas.

Perihal sanksi atas pelanggaran peraturan ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 yang menyebutkan barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 3 Peraturan ini, dihukum dengan hukuman sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139) tentang Keadaan Bahaya, ialah hukuman kurungan selama-lamanya sembilan bulan atau denda setinggi-tingginya dua puluh ribu rupiah.

Aturan mengenai sanksi juga diatur dalam Pasal 6 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 yaitu terhadap barang-barang yang digunakan dalam atau diperoleh dari tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 5

(27)

berhubungan dengan Pasal 3 Peraturan ini, dapat dikenakan ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 47 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139) tentang Keadaan Bahaya.

Sanksi lainnya diatur dalam Pasal 7 Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Nomor 1 Tahun 1962 yang menyebutkan tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 5 berhubungan dengan Pasal 3 Peraturan ini, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 139) tentang Keadaan Bahaya adalah termasuk pelanggaran. d. Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 246 Tahun 1963 tentang

Perhimpunan Palang Merah Indonesia.

Disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 246 Tahun 1963 bahwa Perhimpunan Palang Merah Indonesia selanjutnya disebut PMI, adalah suatu organisasi nasional, yang berdiri alas azas perikemanusiaan dan atas dasar sukarela dengan tidak membedabedakan bangsa, golongan dan paham politik.

Sedangkan untuk tugas-tugas pokok PMI disebut dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Repulik Indonesia Nomor 246 Tahun 1963 adalah :

1) PMI bertindak atas nama Pemerintah Republik Indonesia tentang pelaksanaan hubungan luar negeri dalam lapangan kepalangmerahan untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa terhadap dunia luar.

(28)

2) PMI mempersiapkan diri untuk dapat melaksanakan tugas-tugas baik didalam negeri maupun diluar negeri dengan tujuan tugas-tugas bantuan pertama pada tiap-tiap bencana alam yang terjadi baik didalam negeri maupun diluar negeri dengan tujuan untuk mencari ketangkasan-ketangkasan dalam melaksanakan tugas-tugas pada waktu ada perang disampingnya tujuan pokok dari PMI dalam lapangan perikemanusiaan. e. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan Palang Merah

Indonesia, yang ditetapkan oleh Musyawarah Nasional (Munas) ke-XVII PMI di Jakarta pada tanggal 28-30 Nopember 1999;

f. Undang-undang No. 15 tahun 2001 Pasal 6 ayat (3) huruf (b);

Pada Pasal 6 ayat (3) huruf (b) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan bahwa setiap permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) apabila merek tersebut merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.

g. Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Lambang Palang Merah (belum disahkan).

Indonesia belum memiliki Undang-Undang Lambang yang secara penuh melindungi lambang Palang Merah. Pada masa damai pelanggaran ringan yang berdampak kerugian ekonomi dan moril bagi PMI sering terjadi. Banyak individu/Perusahaan yang melakukan usaha dengan meniru lambang PMI. Selain

(29)

itu ada lembaga yang melakukan aktifitas sosialnya menggunakan lambang Bulan Sabit Merah di Indonesia Bulan Sabit Merah Indonesia dan melakukan gerakan kepalangmerahan tetapi tidak ditindak hukum padahal tindakannya telah melanggar Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 1950 tentang PMI satu-satunya gerakan yang melaksanakan kepalang merahan di Indonesia.

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang lambang Palang Merah sejak tahun 2005 telah diusulkan, tetapi saat tulisan ini dibuat, RUU tersebut belum disyahkan. Perhimpunan Nasional bersama dengan Pemerintah dalam hal ini harus memutuskan harus memutuskan ketentuan-ketentuan tentang penggunaan lambang baik di saat perang maupun di saat damai. Menurut Arlina Permana Sari menyatakan pedoman untuk menyusun peraturan tersebut untuk penggunaan protektif perlu dicantumkan antara lain77:

1) Penunjukan peraturan-peraturan nasional yang berhubungan dengan subyek tersebut.

2) Keterangan tentang tentang pejabat mana yang mempunyai wewenang untuk mensahkan penggunaan lambang

3) Daftar dari langkah-langkah yang harus diambil pada saat pecahnya konflik untuk mencegah kekeliruan antara penggunaan protektif dan indikatif. 4) Syarat-syarat yang mengatur penggunaan lambang oleh orang-orang dan

obyek dari perhimpunan nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan lima strategi tersebut diharapkan dapat menjadi solusi agar konflik yang dihadapi tidak bersifat merusak atau menghambat produktivitas akan tetapi justru menjadi

Dokumen Maklumat Program Pengajian (berserta lampiran) disediakan secara bona fide sebagai panduan umum kepada pihak yang berkepentingan dengan peluang melanjutkan pengajian tinggi

Crown Sponsor akan mendapatkan keuntungan sponsor • Profil perusahaan atau institusi pada website team • Logo pada kendaraan.. • Logo pada spanduk/banner • Logo pada t

Abstrak: Sertifikasi, Kinerja Dosen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sertifikasi dengan kinerja dosen di lingkungan Politeknik Kesehatan

5 Berdasarkan pelatihan dan evaluasi yang telah dilakukan terhadap 10 model JST dengan variasi hidden node , diketahui bahwa JST dengan 3 hidden node memiliki performance

[r]

Di Indonesia memiliki dua instansi yang menjadi leading sector dalam bidang penataan pegawai adalah Badan Kepegawaian Negara dengan peraturan Kepala Badan Kepegawaian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hukum antara saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dengan penegak hukum serta untuk