2.1. Mebel
Kata mebel atau furnitur di dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah perabot yang diperlukan, berguna, atau disukai, seperti barang-barang yang dipindah-pindah, digunakan untuk melengkapi rumah dan kantor (Anonim 2009).
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara eksportir mebel terbesar di dunia. Pada awal tahun 2000, Indonesia masuk dalam urutan ke 15 diantara eksportir mebel di dunia. Data dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dalam USAID (2007) menunjukkan pada tahun 2006 posisi ekspor produk mebel Indonesia di dunia berada pada peringkat 8 dengan urutan dari peringkat tertinggi Cina, Kanada, Meksiko, Italia, Vietnam, Malaysia, dan Taiwan.
Industri mebel telah memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perekonomian nasional, dimana perkembangan ekspor mebel Indonesia tahun 2001 sampai dengan 2006 menunjukkan trend meningkat. Pada tahun 2004 nilai ekspor mebel Indonesia mencapai US$ 1,129,502,649 dan meningkat menjadi US$ 1,326,300,209 pada tahun 2005. Pertumbuhan nilai ekspor mebel Indonesia dari tahun 2004 dan 2005 sebesar 6,14%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan nilai ekspor tersebut selama 6 tahun sebesar 7,37% (USAID 2007).
Usaha mebel telah lama dikenal di Indonesia dan merupakan budaya turun-temurun. Kabupaten Jepara merupakan sentra industri mebel di Indonesia. Industri permebelan ini didominasi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan sistem home industry yang bekerjasama dengan industri - industri besar. Penyerapan tenaga kerja per US$ 100 investasi adalah yang terbanyak diantara seluruh sektor industri kehutanan (Departemen Kehutanan 2007).
Kebutuhan bahan baku kayu industri mebel dan kerajinan adalah sekitar 7 – 7,5 juta m3 per tahun dan umumnya jenis kayu jati, mahoni, pinus, acasia, gmelina, durian, mangga, mbacang, kuweni, bungur, sonokeling, mindi, waru, kayu karet dan sebagian kecil kayu-kayu yang berasal dari hutan alam, seperti meranti, nyatoh, bangkirai, kempas (Departemen Kehutanan 2007). Perkembangan industri mebel berdampak kepada semakin meningkatnya
permintaan bahan baku kayu. Kebutuhan bahan baku kayu untuk industi mebel di Jepara adalah sebanyak 1.5 juta – 2.2 juta m3 (Roda et al. 2007). Kebutuhan ini melebihi kemampuan produksi log oleh Departemen Kehutanan untuk Pulau Jawa yaitu sebesar 923.632 m3 pada tahun 2004. Permintaan bahan baku kayu diperkirakan meningkat drastis sehubungan dengan peningkatan jumlah industri mebel sebanyak 15.271 pada tahun 2007.
Seiring dengan pertumbuhan industri mebel kayu Jepara maka industri pendukung juga bertambah banyak. Roda et al. (2007) menyatakan bahwa perusahaan mebel di Jepara mempunyai satu atau lebih perusahaan mitra. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat satu atau lebih lembaga pemasaran mebel yang terdapat di Jepara. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jumlah perusahaan yang terkait dengan pembuatan mebel di Jepara berdasarkan kegiatan ekonomi dan ukuran terdiri atas bengkel, ruang pamer, tempat penimbunan kayu, tempat penggergajian kayu, gudang dan toko perlengkapan mebel. Berdasarkan struktur produksi perusahaan di Jepara dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu, yang menghasilkan produk jadi atau produk setengah jadi dari kayu bulat yang belum diolah, (2) perusahaan (tempat penimbunan kayu dan tempat penggergajian kayu) yang berfokus pada pengolahan awal bahan baku dan menghasilkan kayu gergajian untuk keperluan pihak ketiga, (3) bengkel yang menggunakan kayu gergajian serta berbagai komponen dan menghasilkan produk jadi. Selain hal tersebut di atas, industri yang terkait dengan mebel Jepara juga dilihat berdasarkan sumber bahan kayu, yaitu: (1) bengkel yang memperoleh bahan baku secara langsung dari luar Jepara dan (2) bengkel yang memperoleh bahan baku secara tidak langsung dengan membelinya dari tempat penimbunan kayu atau penjual di Jepara. Pada umumnya, kelompok kedua tidak mempunyai modal yang cukup untuk membeli semua kayu bulat yang diperlukannya sehingga mereka mendapatkan pinjaman dari pembelinya.
2.2. Sumber Bahan Baku Kayu
Produksi mebel kayu Jepara dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku kayu. Sumber bahan baku kayu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kayu yang berasal dari Perum Perhutani dan hutan rakyat. Kayu yang
berasal dari Perum Perhutan seperti Jati dan Mahoni. Sementara, kayu yang berasal dari hutan rakyat sangat beragam seperti kayu mangga, durian dan lain-lain. Selain dari daerah Jepara terdapat juga kayu yang berasal dari luar Jepara diantaranya seperti dari Yogyakarta, Cepu, dan Wonogiri (Roda et al. 2007).
Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan (2008), produksi kayu bulat yang dihasilkan oleh Provinsi Jawa Tengah untuk jati adalah sebanyak 186.613 m3 dan untuk mahoni sebanyak 21.200 m3 (Tabel 1). Produksi kayu bulat Provinsi Jawa Barat dan Banten untuk jenis jati adalah 137.173 m3 dan mahoni 16.180 m3. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menghasilkan kayu bulat jati sebanyak 1.229 m3. Data statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Jepara (2008) menyatakan bahwa jumlah produksi kayu di Kabupaten Jepara adalah sebesar 21.841,5 m3. Produksi hasil hutan tersebut berasal dari hutan rakyat, yang terdiri dari jati (135.7803 m3), mahoni (2.255,2 m3), sengon (10.102,6 m3) dan jenis lain (9.347,9 m3). Adapun produksi kayu yang berasal dari Perhutani untuk kayu jati adalah 491.262m3 dan kayu mahoni sebanyak 51.202m3.
Tabel 1 Statistik kayu bulat tahun 2007
No Provinsi Jenis Kayu Bulat Realisasi (m3) Keterangan
1 Jawa Barat dan Banten
Jati 137.173 Sumber: Perum Perhutani Unit III
Mahoni 16.180
2 Jawa Tengah Jati 186.613 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
Mahoni 21.200
3 Daerah Istimewa Yogyakarta
Jati 1.229 Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
4 Jawa Timur Jati 191.269 Sumber: Perum Perhutani Unit III
Mahoni 14.543
Jumlah 568.207
Sumber: Statistik Departemen Kehutanan (2008)
2.3. Pemasaran
Menurut Kotler dan Keller (2007) pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajemen, dimana individu-individu atau kelompok dapat memenuhi kebutuhan
dan keinginannya melalui pembuatan dan pertukaran suatu produk dan uang dengan individu-individu atau kelompok-kelompok lainnya. Sudiyono (2002) menyatakan bahwa pemasaran di dalam pertanian adalah proses aliran barang dari produsen ke konsumen yang terjadi di dalam pasar, dimana terjadi penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan.
Pemasaran menurut Bell (1996) dalamSudiyono (2002) merupakan bagian manajemen yang diterapkan secara strategis dalam perencanaan, pengaturan dan pengawasan dengan motivasi untuk mencapai keuntungan dengan jalan memenuhi kebutuhan konsumen secara baik dengan melakukan integrasi ke belakang (backward linkage) maupun integrasi ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang pada umumnya bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke depan lebih menekankan aspek pemasaran.
2.4. Saluran dan Lembaga Pemasaran
Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan saluran pemasaran sebagai suatu serangkaian organisasi yang saling tergantung, yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang dan jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Sebuah saluran pemasaran melaksanakan tugas memindahkan barang dari produsen ke konsumen. Saluran pemasaran tersebut bertujuan untuk mengatasi kesenjangan waktu, tempat dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari orang-orang yang membutuhkan.
Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa di dalam saluran pemasaran terdapat lembaga-lembaga pemasaran yaitu badan-badan atau lembaga baik perorangan maupun kelembagaan, yang berusaha dalam bidang pemasaran yang menggerakkan barang dari titik produsen sampai ke titik konsumen melalui penjualan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam memilih saluran pemasaran, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti :
1. Pertimbangan pasar yang meliputi konsumen sebagai sasaran akhir, yaitu mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan membeli dan volume pesanan.
2. Pertimbangan produk yang meliputi nilai barang per unit, berat barang, tingkat kesukaran, sifat teknis barang, apakah barang tersebut memenuhi pesanan dan pasar.
3. Pertimbangan internal perusahaan yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran dan pelayanan. 4. Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai pemasaran yaitu kesesuaian
lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan.
Selain pertimbangan tersebut di atas, banyaknya tingkat saluran pemasaran juga merupakan hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan di dalam memilih saluran pemasaran. Panjangnya suatu saluran pemasaran ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Tingkat saluran pemasaran tersebut sebagai berikut:
1. Saluran non tingkat (zero level channel) atau dinamakan sebagai saluran pemasaran langsung, adalah saluran dimana produsen atau pabrikan langsung menjual produknya ke konsumen.
2. Saluran satu tingkat (one level channel) adalah saluran yang menggunakan satu perantara.
3. Saluran dua tingkat (two level channel), saluran yang mempunyai dua perantara
4. Saluran tiga tingkat (three level channel), saluran dengan 3 perantara.
Lembaga-lembaga pemasaran yang terdapat pada saluran pemasaran biasanya terdiri atas produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, broker, eksportir, importir atau lainnya. Adanya lembaga pemasaran ini di negara berkembang memperlihatkan lemahnya pemasaran pertanian, dimana kompetisi pasar yang terjadi akan menentukan mekanisme pasar (Soekartiwi 1993).
Saluran pemasaran mebel kayu Jepara dilihat dari aspek bahan baku dan aspek produk mebel. Saluran pemasaran kayu untuk bahan baku mebel kayu di Pulau Jawa pada umumnya dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Saluran pemasaran langsung terdapat pada industri skala besar yang langsung membeli kayu dari Perum Perhutani atau dari hutan rakyat. Sebaliknya industri skala kecil membeli log atau kayu gergajian dari agen atau middlemen. Pembelian kayu jati dari Perum Perhutani dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu (1)
pembelian langsung di tempat penimbunan kayu, (2) penawaran di tempat penimbunan kayu, (3) penjualan berdasarkan kontrak, dan (4) penjualan dalam bentuk kayu gergajian atau produk lain.
Pada umumnya rumah tangga membeli mebel kayu melalui lembaga pemasaran seperti outlet/toko mebel (59%), pesan langsung dari pengrajin (25%), lembaga pemasaran lain (14%) dan pameran mebel (2%). Berdasarkan data tersebut di atas, outlet atau toko mebel adalah lembaga pemasaran yang paling efektif untuk menjual mebel kayu di Indonesia. Pemasaran melalui pameran mebel lebih difokuskan untuk konsumen kelas atas dan biasanya terdapat di kota-kota besar. Produk mebel yang dibeli toko mebel diperoleh melalui beberapa cara, yaitu membeli langsung di industri skala kecil (35%), membuat sendiri (27%), diperoleh dari agen khusus untuk mebel pabrikan (23%), dan pesanan khusus (15%) (Departemen Kehutanan 2007a).
2.5. Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima oleh produsen (Sudiyono 2002). Tomek dan Robinson (1977) dalam Sallatu (2006) serta Friendman (1962) dalam Sudiyono (2002) mendefinisikan marjin pemasaran sebagai berikut: (1) marjin pemasaran merupakan perbedaan harga antara produsen dengan konsumen, dan (2) marjin pemasaran merupakan kumpulan balas jasa yang diterima oleh lembaga pemasaran. Berdasarkan definisi yang pertama, Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa marjin pemasaran terdiri dari biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran. Pada definisi kedua membawa konsekuensi berbeda, dimana jasa penawaran sering dikaitkan dengan penambahan utility dari guna bentuk (form utility), guna tempat (place utility), guna waktu (time utility) serta guna kepemilikan (possesion utility). Penentuan distribusi marjin pemasaran dilakukan untuk mengetahui berapa persen bagian total marjin yang digunakan masing-masing lembaga pemasaran ke-i (Sudiyono 2002).
Marjin keuntungan yang terdapat pada lembaga-lembaga pemasaran mebel kayu memiliki nilai yang berbeda antara satu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran yang lain. Nurrochmat et al. (2008) menyatakan bahwa marjin
keuntungan tertinggi terdapat pada industri pengolahan akhir atau penjual akhir yaitu sebesar 75% sedangkan marjin keuntungan paling kecil terdapat pada lembaga pemasaran berupa outlet. Perkiraan marjin pemasaran pada lembaga pemasaran mebel kayu sebagaimana tertera pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkiraan marjin keuntungan mebel kayu Lembaga Pemasaran Perkiraan Marjin
Keuntungan (%)
Perkiraan rata-rata marjin keuntungan (%) Terendah Tertinggi
Lembaga penjual (outlet) 5 25 15
Lembaga pemasaran produk bermerek
10 30 20
Lembaga pemroses akhir dan penjual akhir
50 100 75
Sumber: Nurrochmat et al. 2008
Pada tabel di atas, mebel kayu mempunyai interval marjin pemasaran yang panjang, antara 5% sampai 100%. Level marjin pemasaran dipengaruhi oleh jenis aktifitas pasar dari masing-masing aktor. Jika aktifitas dari aktor atau outlet adalah menjual (penjual), marjin pasar hanya akan menjadi 5% - 25%. Hal senada juga dinyatakan oleh Purnomo (2006) dimana marjin keuntungan terbesar diperoleh eksportir (21,9%). Sementara produsen mebel sebagai pembuat mebel hanya memperoleh marjin keuntungan sebesar 3,6%.
2.6. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya
Penilaian rasio keuntungan terhadap biaya dilakukan untuk mengetahui distribusi keuntungan yang terdapat pada masing-masing lembaga pemasaran.
2.7. Struktur Pasar
Struktur pasar penting diketahui untuk melihat bagaimana kekuatan pasar dalam sistem pemasaran. Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat masuk pasar.
Struktur pasar suatu komoditas yang diperjualbelikan akan menentukan pembentukan harga suatu komoditas bagi setiap lembaga pemasaran sehingga
hubungan harga yang diterima produsen dan harga yang harus dibayar konsumen akhir akan menentukan seberapa besar marjin pemasarannya.
Menurut Hammond dan Dahl (1997) dalam Setyawan (2002) struktur pasar ditentukan oleh empat karakteristik pasar, yaitu jumlah dan ukuran perusahaan, pandangan pembeli terhadap sifat produk, kondisi keluar masuk pasar, tingkat pengetahuan seperti biaya, harga dan kondisi pasar di antara partisipan. Karakterisik yang membedakan struktur pasar disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Karakteristik struktur pasar
Karakteristik Struktur Pasar
Jumlah Pembeli atau Penjual
Sifat Produk Sudut Pandang Pembeli
Sudut Pandang Penjual
Banyak Homogen Pasar Persaingan
Murni
Pasar Persaingan Murni
Banyak Terdiferensiasi Pasar Persaingan Monopolistik
Pasar Persaingan Monopolistik
Sedikit Homogen Oligopoli Murni Oligopsoni Murni
Sedikit Terdiferensiasi Oligopoli terdiferensiasi
Oligopsoni terdiferensiasi
Satu Unik Monopoli Monopsoni
Struktur pasar industri mebel kayu berbeda dengan struktur pasar pada bahan baku kayu untuk mebel. Perum Perhutani yang memiliki peranan utama dalam menyediakan bahan baku kayu berupa jati dan mahoni menyebabkan struktur pasar lebih bersifat monopoli. Hal yang berbeda terjadi pada strukur pasar mebel kayu. Tingginya tingkat pertumbuhan mebel kayu Jepara menyebabkan pasar mebel menjadi lebih bersaing. Struktur pasar yang terdapat pada industri mebel kayu dapat diklasifikasikan atas struktur pasar bersaing sempurna dan struktur pasar bersaing monopolistik. Struktur pasar persaingan monopolistik terbentuk disebabkan banyaknya penjual dan pembeli mebel kayu, dimana masing-masing pembeli dan penjual tersegmentasi pada model, kualitas dan harga mebel tertentu. Adapun segmentasi konsumen mebel adalah rumah tangga (64%), perusahaan (14%), lembaga pemerintah (17%), dan lain-lain (5%) (Nurrochmat et al. 2008).
2.8. Preferensi konsumen
Menurut Kotler dan Keller (2007) preferensi konsumen merupakan suatu proses pilihan suka atau tidak suka oleh konsumen terhadap suatu produk (barang dan jasa) yang dikonsumsi. Sedangkan Assael (1992) menyatakan bahwa preferensi konsumen terbentuk dari persepsi konsumen terhadap produk. Persepsi yang telah mengendap dan melekat dalam pikiran akan menjadi preferensi. Persepsi dapat dipengaruhi oleh rangsangan dari produk tersebut dan rangsangan yang berasal dari simbol, kesan, dan informasi tentang produk.
Preferensi konsumen terhadap produk barang dan jasa dapat diukur dengan model pengukuran yang dapat menganalisis hubungan antara produk yang dimiliki konsumen dan sikap atas produk sesuai dengan ciri atau atribut produk.
Menurut Supranto (1991) perubahan preferensi konsumen disebabkan oleh faktor-faktor seperti adanya kegiatan advertensi, pendapatan yang berbeda dengan waktu sebelumnya karena kenaikan gaji atau upah, dan karena adanya barang-barang baru yang masuk di pasar. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan kesempatan yang lama hilang dan muncul kesempatan-kesempatan yang baru.
Kotler dan Keller (2007) menyarankan menggunakan 4 P penjualan untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap costumer needs and wants, cost to the costumer, convenience, dan communication (4C) atau yang disebut kebutuhan dan biaya konsumen, kepuasan konsumen dan komunikasi terhadap konsumen suatu produk. Konsep 4P ini lebih dikenal dengan bauran pemasaran (marketing mix) yaitu perencanaan produk (product planning), distribusi (place), harga (price), dan promosi (promotion) (Kotler dan Keller 2007). Empat P menggambarkan pandangan penjual tentang alat pemasaran yang tersedia untuk mempengaruhi pembeli (Gambar 3).
Menurut Barners (2000) dalam Kaplinsky dan Morris (2000), penelitian terhadap preferensi konsumen sebaiknya diikuti dengan penilaian terhadap preferensi produsen. Adapun tujuannya adalah untuk menyatukan antara keinginan konsumen dan keinginan produsen. Pada umumnya terdapat perbedaan antara preferensi konsumen dan preferensi produsen. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perusahaan kurang memperhatikan faktor lokasi, fasilitas kredit, proses inovasi, dan kemasan yang menjadi keinginan konsumen dalam
pemasaran produk. Sebaliknya produsen telah mengakomodir keinginan konsumen terkait dengan kualitas produk, harga, pemesanan, dan conformance to standard.
Gambar 3 4 P dalam bauran pemasaran (Kotler dan Keller 2007)
2.8.1 Preferensi Konsumen Terhadap Produk
Assael (1992) menyatakan produk adalah sesuatu yang kompleks, baik dapat diraba maupun tidak dapat diraba, termasuk kemasan, warna, harga, prestise, layanan perusahaan dan pengecer yang diterima oleh pembeli untuk memuaskan konsumen.
Sebelum memutuskan untuk membeli atau tidak membeli barang, menurut Kotler dan Keller (2007) terdapat lima faktor yang menjadi pertimbangan
Produk (Product) Keragaman produk Kualitas Design Ciri Nama merek Kemasan Ukuran Pelayanan Garansi Imbalan Promosi (Promotion) Promosi penjualan Periklanan Tenaga penjualan Kehumasan/Public relation Pemasaran langsung Tempat (place) Saluran pemasaran Cakupan pasar Pengelompokan Lokasi Persediaan Transportasi Harga (Price) Daftar harga Rabat/diskon
Potongan harga khusus Periode pembayaran Syarat kredit
Bauran pemasaran
konsumen yaitu : (1) atribut, yaitu mutu, harga, fungsi (fitur), desain, dan layanan purna jual; (2) merek, merek (branding) sangat penting bagi keberhasilan produk; (3) kemasan, kemasan (packaging) berpengaruh terhadap daya tarik konsumen, sehingga menimbulkan citra (image) produk; (4) label, pemberian label (labeling) berhubungan dengan kebutuhan konsumen dan atau ketentuan pemerintah; (5) pendesainan layanan produk pendukung. Dzięgielewski dan Fabisiak (2008) menyatakan bahwa desain merupakan faktor penting yang akan meningkatkan pendapatan dan penjualan mebel. Selain itu desain juga dapat meningkatkan pangsa pasar, memperbaiki citra perusahaan, meningkatkan daya saing perusahaan dan meningkatkan kepuasan konsumen. Kaplinsky dan Morris (2000) menyatakan hal yang sama dengan Kotler bahwa preferensi konsumen atas suatu produk diantaranya didasarkan atas kualitas, harga, layanan pemesanan, pengepakan, inovasi dan lain-lain.
Namun sesungguhnya konsumen cenderung kurang mengetahui produk yang sebenarnya dibutuhkan, tetapi memilih berdasarkan kebiasaan, tingkat keterlibatan rendah dan tidak dapat membedakan merek, sehingga tidak membentuk sikap yang kuat terhadap merek produk dan menimbulkan perasaan yakin bahwa produk tersebut bermanfaat bagi dirinya (Kotler dan Keller 2007).
2.8.2. Preferensi Konsumen Terhadap Harga
Penentuan harga oleh suatu perusahaan dilakukan untuk mencapai keseimbangan antara laba dengan tingkat kepuasaan konsumen, disamping segmen pasar yang jelas dan mencapai tingkat penjualan yang sesuai dengan perencanaan perusahaan (Assael 1992). Artinya harga tidak boleh lebih rendah dari biaya rataan per produk jika produsen ingin memperoleh keuntungan. Zhang et al. (2002) dalam Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa harga merupakan faktor penting yang berpengaruh ketika melakukan pembelian mebel.
Namun Simamora (2003) menyatakan bahwa faktor harga tidak selalu dapat digunakan untuk memenangkan persaingan karena harga tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memenangkan persaingan. Harga rendah bukan andalan jika atribut yang diperhatikan konsumen adalah keindahan produk. Produk mebel yang terbuat dari kayu yang berkualitas/bernilai tinggi atau kayu mewah (fancy
wood) maka harga untuk suatu mebel lebih ditentukan oleh persepsi konsumen (Nurrochmat et al. 2008). Begitu juga dengan konsumen di negara-negara seperti Kanada, Kolombia dan Eropa yang lebih mengutamakan kualitas dan desain dari pada harga (Kozak et al. 2004; Forsyth et al. 1999 dan Anonim 2000 dalam Mohamed dan Yi 2008)
2.8.3. Preferensi Konsumen Terhadap Tempat
Menurut Kotler dan Amstrong (1995), pemilihan tempat membeli suatu produk merupakan fungsi dari karakteristik konsumen dan toko. Keputusan tentang tempat dimana konsumen akan membeli suatu produk dipengaruhi oleh atribut yang mencolok dari tempat tersebut, seperti harga, iklan, dan promosi, personil penjualan, pelayanan yang diberikan, atribut fisik, pelanggan toko dan pelayanan sesudah transaksi. Preferensi konsumen terhadap tempat ini berkaitan dengan jaringan distribusi. Distribusi dalam hal ini adalah pemilihan saluran distribusi yang akan digunakan mencapai pelanggan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau kombinasi keduanya. Pendistribusian produk membutuhkan lokasi yang mudah dijangkau oleh konsumen seperti penjualan di showroom, toko, atau mall.
Hasil penelitian Mohamed dan Yi (2008) menyatakan bahwa faktor tempat atau lokasi mebel mempengaruhi pembelian mebel oleh konsumen di Malaysia. Pada umumnya konsumen lebih banyak membeli mebel di toko-toko mebel yang dekat dengan pemukiman atau toko mebel yang mempunyai kemudahan akses transportasi.
2.8.4 Preferensi Konsumen Terhadap Promosi
Salah satu cara untuk merubah persepsi konsumen diantaranya adalah dengan kegiatan promosi. Menurut Cravens (1996) dalam Listyanti (2003) kegiatan promosi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mengkomunikasikan, menginformasikan, dan memperkenalkan produk kepada konsumen, dan pihak lain yang terkait dengan produk yang dihasilkan. Promosi juga bertujuan untuk memberitahukan, mengingatkan dan membujuk pembeli, serta pihak lain yang berpengaruh dalam proses pembelian. Kotler dan Keller (2007) mengemukakan
bahwa promosi adalah kegiatan yang ditujukan untuk mempengaruhi konsumen agar menjadi kenal dan senang untuk membeli produk tersebut. Promosi untuk suatu produk pada umumnya dilakukan melalui media masa seperti radio, televisi, pamflet, iklan dan sebagainya (Sutisna 2001).