• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh MARCIA BUNGA PABENDON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh MARCIA BUNGA PABENDON"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA

BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA

PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI

DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG

Oleh

MARCIA BUNGA PABENDON

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

Correlation Analysis of Heterotic Pattern of Inbreds Microsatellite Marker-Based to the Phenotypic Performance of Test Cross and Diallel Cross of Maize Hybrid

Abstract

The objectives of this study are: (a) to estimate the level of genetic diversity, genetic distance (GD), heterotic groups, and the SSRs marker package that are effective to differentiate among 34 inbreds and relatively stable in their heterotic groups, (b) to correlate between the GD and seed weight per plant of single cross through testcrossed method, (c) to correlate between the GD and seed weight per plant of single cross hybrid through diallel method, and (d) to determine the hybrids that potential to develop as new hybrid varieties. Genetic diversity study characterizing 34 inbred lines by using 36 SSRs loci are distributed throughout the maize genome. SSRs marker package develops the data through simulation (data iteration) and Principal Component Analysis (PCA). Testcross method uses two testers (Mr4 and Mr14), crossed with 32 genotyped inbreds to get F1 single cross plus three cultivars for each set i.e. Bima1, Bisi2, and Semar10. Evaluation of the phenotypic performance of the two sets of F1 single cross is conducted at the Bajeng Experimental Station. The layout of the trials is alpha lattice 7 x 6 with two replications. Diallel method uses seven selected inbreds (from low to high average GD value), developing a set of 21 single cross hybrids. Evaluation of the phenotypic performance consists of 21 hybrids and four check cultivars (Bima1, Bima2, Bima3, and Semar10) conducted at the Bajeng Experimental Station, South Sulawesi and Muneng Experimental Station, East Java. The experiment uses Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications. The results shows that the observed GD between 34 inbreds ranging from 0.22 to 0.86, indicates the broad ranges of genetic variability of the inbreds. Construction of the dendrogram can differentiate among the inbreds, and also cluster the inbreds in five groups based on the genetic similarities (GS), and generally be consistent with the pedigree data. The limitation of using pedigree data showed up in this study where there are four inbreds having the same initial pedigree (SP007) scattered in the three groups or have unclear pedigree data. A set of twenty five SSRs markers package provides a high value of cophenetic correlation was 0.79; however, the correlation value is good enough to differentiate the inbreds. Heterotic groups that developed based on the 36, 30, and 25 SSRs markers do not assertively cluster the inbreds into five groups. There is a medium to high correlation between the genetic distance value and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers i.e 0.81 and 0.76 respectively. The average correlation values of hybrids between GD and average seed weight per plant, GD and specific combining ability (SCA), GD and high parent heterosis (HPH), as well as GD and MPH are in the medium level i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. There are six hybrids showing potential to be developed as new hybrid varieties with seed weight ranging from 176.05 to 181.24 g/plant. These hybrids are Bisma-140-2×SP007-68, BM(S1)C0-172×Mr4, SP007-68×SP008-120, P5/GM26-22×SP008-120, Bisma-140-2×Mr14, and BM(S1)C0-172×Mr14. The intergroup inbreds placed by genotyping, generally produced hybrids with greater yield potential than the intragroup inbreds. This experiment indicates that the development of hybrids based on SSRs marker can reduce the number of crossing, and one or two cultivating seasons. The evaluation of phenotypic performance is sufficient by using one of the two methods of the process of hybrid development i.e. testcross or diallel methods. However, there is a need to add more primers in order to get the stable dendrogram. In the field experiment, there is also a need to find more locations and to add new hybrids specialty with medium to high GD value to have more oppotunities to obtain the best heterosis.

(3)

RINGKASAN

MARCIA BUNGA PABENDON. Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Uji dan Silang Dialel Hibrida Jagung. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, dan I MADE JANA MEJAYA.

Studi disertasi ini menduga hubungan antara marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida serta parameter genetik inbrida jagung dalam upaya untuk menjadikan marka molekuler bermanfaat dalam memprediksi penampilan hibrida.

Percobaan pertama, mengamati keragaman genetik 34 inbrida jagung yang dibentuk dari beberapa sumber populasi yang berbeda. Hasil penelitian menggambarkan keragaman genetik yang tinggi dari materi yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai polimorfisme yang cukup tinggi (0,61). Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Berdasarkan kemiripan genetik, inbrida dapat dikelompokan menjadi lima grup dan secara umum konsisten dengan data

pedigree. Namun demikian keterbatasan data pedigree ditemukan dalam penelitian ini

antara lain pada empat inbrida dengan inisial SP007 menyebar pada tiga kelompok yang berbeda sehingga klasternya kurang tegas. Informasi ini akan efektif untuk digunakan dalam menyeleksi tetua dan dijadikan sebagai salah satu strategi dalam program pemuliaan jagung hibrida.

Percobaan kedua dilakukan untuk memperoleh paket marka yang efektif dalam memprediksi tetua hibrida potensial melalui simulasi data biner dari 34 inbrida yang dikarakterisasi. Hasil menunjukkan bahwa paket dengan 25 primer dengan total 128 alil menghasilkan koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,79, mengindikasikan bahwa 128 alil mampu untuk membedakan 34 inbrida dengan jelas. Walaupun demikian, 128 alil belum mampu untuk menghasilkan konstruksi dendrogram yang stabil. Kelompok heterotik yang dibentuk berdasarkan 36, 30, dan 25 primer belum tegas membagi inbrida ke dalam lima kelompok heterotik, yang ditunjukkan oleh masih adanya beberapa inbrida yang berpindah kelompok jika paket marka diubah. Merupakan hal yang penting untuk tidak hanya membedakan inbrida satu dengan yang lain tetapi juga menghasilkan dendrogram yang stabil yang menggambarkan hubungan genetik yang benar di antara inbrida sehingga inbrida yang terseleksi tetap stabil.

Percobaan ketiga dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji dari dua set hibrida hasil silang uji (inbrida penguji Mr4 dan Mr14). Terdapat korelasi dari sedang sampai tinggi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal dengan Mr4 dan Mr14 yaitu masing-masing 0,81 dan 0,76. Terdapat dua genotipe F1 silang tunggal yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1 yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma-3-1xMr14 dengan bobot biji 179,10 dan 178,52 g/tanaman, dan nilai jarak genetik masing-masing adalah 0,82 dan 0,84. Jarak genetik kultivar Bima1 adalah 0,65. Salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri lebih banyak galur inbrida yang lebih potensial dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang dapat digunakan sebagai pola heterotik potensial di Indonesia dengan menggunakan alat bantu marka molekuler.

Percobaan keempat dilaksanakan untuk mengetahui korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji hibrida hasil silang dialel. Korelasi pada level medium

(4)

teridentifikasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal, nilai daya gabung khusus (DGU), serta heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi yaitu 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Persilangan antargrup berbasis marka mikrosatelit menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan persilangan intragrup. Penggunaan materi silang uji dan silang dialil memberikan informasi korelasi yang sama antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman. Oleh sebab itu dalam program pemuliaan jagung hibrida dapat dianjurkan menggunakan hanya salah satu dari materi genetik tersebut. Penggunaan marka mikrosatelit juga efisien dalam mengklasifikasi inbrida ke dalam kelompok heterosis pada awal seleksi. Namun demikian masih diperlukan penambahan sejumlah primer untuk meningkatkan nilai korelasi baik korelasi kofenetik maupun korelasi antara nilai jarak genetik dengan penampilan fenotipik hibrida F1.

(5)

SUMMARY

MARCIA BUNGA PABENDON. Correlation Analysis of Heterotic Pattern of Inbreds Microsatellite Marker-Based to the Phenotypic Performance of Single Cross Maize

Hybrid. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, and I MADE JANA MEJAYA.

This research disertation observes the relationship of microsatellite markers with hybrid phenotypic performance as well as the genetic parameters in maize inbreds in an attempt to make use of molecular markers in predicting hybrid performance.

The first study observe the genetic diversity of 34 inbred lines originating from various source populations. The result reveals high levels of genetic diversity between inbred lines, indicated by the average level of polymorphism (0.61). The genotipic data also show that the dendrogram construction based on UPGMA (unweighted pair group

method of arithmetic means) could be differentiated among inbreds each other, and

clustered the inbreds in five groups based on the genetic similarities and consistent with the pedigree data. However, the limitation of using pedigree data showed up in this study where four inbreds which have the same initisal (SP007) scattered in the three groups or have no clear pedigree data. Using microsatellite marker is effective to select hybrid parents and becomes one of the rational strategies in hybrid breeding program.

The second study identifies the set of markers to predict potential hybrid parents through simulation of binary data of 34 genotyping inbreds . The result shows that the set of 25 primers with the total of 128 alleles have the highest coefficent correlation i.e. 0.79 indicated that 128 alleles are sufficient to differentiate all 34 inbred lines. However, 128 alleles are insufficient to construct a stable dendrogram to objectively reflect genetic relationships. It is important to not only discriminate the inbreds but also to obtain a stable dendrogram that reflects the true genetic relationships among maize inbreds so that core collections can be established. The result shows that 25 SSR markers package provide the highest value of cofenetic correlation (0.79); however, this value is good enough to differentiate the inbreds. Heterotic groups developed based on 36, 30, and 25 SSRs are yet to be assertive to divide into five groups. It is necessary to continue iterating the binary data or add primers whether higher correlation than the value of 0,79 could be found.

The third studies on correlation between the value of the genetic distance (GD) and seed weight per plant of the two sets of F1 maize test crosses (Mr4 and Mr14 testers). The result indicates that there is a medium to high correlation between GD and the seed weight per plant of F1 single cross using Mr4 and Mr14 testers (0.81 and 0.76 respectively). Two F1 single crosses are significantly different from the Bima1 as a check i.e P5/GM26-9xMr4 and Bisma-3-1xMr14 with 179.10 and 178.52 g/plant of seed weight respectively. The value of GD of the two hybrids were 0.82 dan 0.84 respectively, while the value of genetic distance of Bima1 was 0.65. It is worth considering to search more inbreds which are more potential than Mr4 and Mr14 testers that can serve as the best heterotic pattern in Indonesia by using molecular markers as tools.

(6)

On the fourth study, a medium level of correlation is observed between the value of GD and seed weight per plant of F1 single cross, specific combining ability (SCA), as well as mid parent heterosis (MPH) and high parent heterosis (HPH) i.e. 0.67, 0.59, 0.55, and 0.64 respectively. The intergroup crossing placed by genotypic grouping, in general, produces hybrids with greater yield potential than intragroup crossing. It was concluded that the use of microsatellite markers were efficient in placing the inbreds in different heterotic groups. However, there is a need to add more primers to obtain the best correlation between the value of GD and seed weight per plant.

Detailed characterization of the maize germplasm and in-depth understanding of the genetic basis of heterosis are required for molecular markers to have practical utility in predicting hybrid performance.

(7)

RINGKASAN

MARCIA BUNGA PABENDON. Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Tunggal Hibrida Jagung. Supervisors: HAJRIAL ASWIDINNOOR, JAJAH KOSWARA, dan I MADE JANA MEJAYA.

Studi disertasi ini mengamati hubungan antara marka mikrosatelit dengan penampilan fenotipik hibrida serta parameter genetik inbrida jagung dalam upaya untuk menjadikan marka molekuler bermanfaat dalam memprediksi penampilan hibrida.

Percobaan pertama, mengamati keragaman genetik 34 inbrida jagung yang dibentuk dari beberapa sumber populasi yang berbeda. Hasil penelitian menggambarkan keragaman genetik yang tinggi dari materi yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai polimorfisme yang cukup tinggi (0,61). Konstruksi dendrogram berdasarkan UPGMA dapat membedakan inbrida satu dengan yang lain. Berdasarkan kemiripan genetik, inbrida dapat dikelompokan menjadi lima grup dan secara umum konsisten dengan data pedigree. Namun demikian keterbatasan data pedigree ditemukandalam penelitian ini antara lain pada empat inbrida dengan inisial SP007 menyebar pada tiga kelompok yang berbeda sehingga klasternya kurang tegas. Informasi ini akan efektif untuk digunakan dalam menyeleksi tetua dan dijadikan sebagai salah satu strategi dalam program pemuliaan jagung hibrida.

Percobaan kedua dilakukan untuk mengetahui paket marka yang efektif dalam memprediksi tetua hibrida potensial melalui simulasi data biner dari 34 inbrida yang dikarakterisasi. Hasil menunjukkan bahwa paket dengan 25 primer dengan total 128 alil menghasilkan koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,79, mengindikasikan bahwa 128 alil mampu untuk membedakan 34 inbrida dengan jelas. Walaupun demikian, 128 alil belum mampu untuk menghasilkan konstruksi dendrogram yang stabil. Kelompok heterotik yang dibentuk berdasarkan 36, 30, dan 25 primer belum tegas membagi inbrida ke dalam lima kelompok heterotik, yang ditunjukkan oleh masih adanya beberapa inbrida yang berpindah kelompok atau memjadi pencilan jika paket marka diubah. Merupakan hal yang penting untuk tidak hanya membedakan inbrida satu dengan yang lain tetapi juga menghasilkan dendrogram yang stabil yang menggambarkan hubungan genetik yang benar di antara inbrida sehingga inbrida yang terseleksi tetap stabil.

Percobaan ketiga dilaksanakan untuk mengetahui korelasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji dari dua set F1 hasil silang uji (test cross). Terdapat korelasi dari sedang sampai tinggi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal dengan Mr4 dan Mr14 yaitu masing-masing 0,81 dan 0,76. Terdapat dua genotipe F1 silang tunggal yang berbeda nyata terhadap kultivar Bima1 yaitu P5/GM26-9xMr4 dan Bisma-3-1xMr14 dengan bobot biji 179,10 dan 178,52 g/tanaman, dan nilai jarak genetik masing-masing adalah 0,82 dan 0,84. Jarak genetik kultivar Bima1 adalah 0,65. Salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan dari penelitian ini adalah untuk menelusuri lebih banyak galur inbrida yang lebih potensial dari inbrida penguji Mr4 dan Mr14 yang

(8)

dapat digunakan sebagai pola heterotik potensial di Indonesia dengan menggunakan alat bantu marka molekuler.

Korelasi pada level medium teridentifikasi antara nilai jarak genetik dan bobot biji F1 silang tunggal, nilai daya gabung khusus (DGU), serta heterosis rata-rata tetua dan tetua tertinggi yaitu 0,67, 0,59, 0,55, dan 0,64. Persilangan antargrup berbasis marka mikrosatelit menghasilkan bobot biji yang lebih tinggi dibandingkan persilangan intragrup. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan marka mikrosatelit efisien dalam mengklasifikasi inbrida ke dalam kelompok heterosis, tetapi dalam penelitian ini masih diperlukan untuk menambah sejumlah primer untuk meningkatkan nilai korelasi baik korelasi kofenetik maupun korelasi antara nilai jarak genetik dengan penampilan fenotipik hibrida F1.

Karakterisasi plasma nutfah jagung secara detail dan memahami lebih jauh dasar genetik dari heterosis dibutuhkan dalam program pemuliaan hibrida berbasis-marka molekular sehingga bisa dilaksanakan oleh para pemulia dalam memprediksi penampilan inbrida.

(9)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Tunggal Hibrida Jagung” adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya

Bogor, Juni 2008

Marcia Bunga Pabendon NRP A361040111/AGR

(10)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya iimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu maasalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(11)

ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA

BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA

PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI

DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG

Oleh:

MARCIA BUNGA PABENDON

A361040111

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Judul Disertasi : Analisis Korelasi Pola Heterotik Inbrida Berbasis Marka Mikrosatelit terhadap Penampilan Fenotipik Hasil Silang Uji dan Silang Dialel Hibrida Jagung.

Nama Mahasiswa : MARCIA BUNGA PABENDON No. Pokok : A361040111

Program Studi : Agronomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Dr. Ir. I Made Jana Mejaya, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(13)

Penguji Luar Komisi

Penguji Ujian Tertutup:

Dr. Ir. Muhammad Yusuf

(Staf Pengajar pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB)

Penguji Ujian Terbuka:

1. Dr. Edi Santosa, SP, M.Si.

(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB)

2. Prof. Dr. Ir. Andi Hasanuddin, M.Sc., APU

(Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian)

(14)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah atas segala rahmat, cinta, dan perkenanNya yang tidak terhingga yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi yang berjudul “ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA BERBASIS MARKA MIKROSATELIT DALAM MENDUGA PENAMPILAN FENOTIPIK HASIL SILANG UJI DAN SILANG DIALEL HIBRIDA JAGUNG” disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Marka Molekuler Tanaman, Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros, Rumah Kaca Balitsereal, Kebun Percobaan (KP) Bajeng, Sulawesi Selatan, dan di KP. Muneng, Jawa Timur.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, atas bimbingan, inspirasi, kritik dan saran, serta dukungan moril mulai dari pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai penyelesaian disertasi ini. Kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara, yang mengajarkan ketelitian sampai hal-hal yang kecil, memberikan petuah, juga inspirasi serta dukungan moril selama penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Bapak Dr. Ir. I Made Jana Mejaya atas bimbingan di lapangan, dalam penulisan, serta ketulusan hati untuk berusaha hadir dalam setiap tahapan pengujian walaupun ditugaskan jauh dari IPB.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Pertanian Tanaman Pangan, dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S3, serta bantuan sebagian kecil biaya penelitian melalui proyek ARM (Agricultural Research Management). Kepada staf peneliti dan pegawai Balitsereal, khususnya kepada rekan-rekan peneliti, teknisi dan administrasi di kelompok peneliti pemuliaan tanaman seperti Dr. Muh. Azrai, Sri Sunarti, SP, Haryati, SP., Rismayanti, SP., Sampara, Wen Langgo, SP., Stephanus Misi, Fransiskus Misi, Adrian, Kasmiati yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marsum Dahlan (alm), Dr. Maria Luz George (ex koordinator proyek Asian Maize Biotechnology

Network = AMBIONET), Dr. Muh. Azrai (Balitsereal), Dr. I Made Jana Mejaya (Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian, Maluku Utara), Dr. Firdaus Kasim (Balai Penelitian Tanaman Sayuran), Dr. Sutrisno (Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian), yang banyak membantu dan memberi dukungan untuk membuka laboratorium satelit marka molekuler di Balitsereal Maros mulai dari pengadaan peralatan dan bahan kimia, sampai laboratorium tersebut bisa digunakan dan dapat memproduksi data molekuler yang digunakan oleh penulis dalam disertasi.

Dengan segenap rasa hormat dan bangga serta terima kasih penulis sampaikan kepada Ayahanda tercinta Bapak Antonius D. Pabendon (alm) dan Ibunda tercinta Christina Sima Palalangan semua kakak dan adik masing-masing dengan keluarga tercinta, dimanapun berada yang telah memberikan dukungan moril dan materil, kasih

(15)

sayang, bimbingan dan doa kepada penulis. Secara khusus dengan penuh rasa haru saya ucapkan terima kasih kepada adik saya Agus Friska Pabendon dan keluarga tercinta yang bersedia dengan tulus hati membiayai sebagian besar pendidikan S3 saya.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa dan rekan-rekan peneliti yang selama ini banyak membantu baik selama kuliah, penelitian dan penulisan yaitu: Ir. Suskandari, MP., Refli Noor, SP, MSi, Nur Kholilatul Izah, SP. MP., Haryati, SP., Yusniwati, SP. MP., A. Takdir Makkulawu, SP. MP, Neny Iriani, SSi. MP., Ir. Minangsari, MP., Roberdi, SP. MSi, Wening Enggarini SSi. M.Si., Roy Efendy, SP., Musdalifa, SP., Amin Noor, SP., dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam tulisan ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk kepentingan penelitian, kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi kehidupan.

Bogor, Juni 2008 Penulis,

Marcia Bunga Pabendon NRP A361040111

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tana Toraja pada tanggal 20 Oktober 1962, dari pasangan Bapak Antonius D. Pabendon (alm) dan Ibu Christina S. Palalangan sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara. Pendidikan dasar pada tahun 1973 di SD. Katolik Yayasan Yosef, Tana Toraja. Pendidikan Menengah Pertama tahun 1976 di SMP Katolik Yayasan Paulus, Tana Toraja. Pendidikan Menengah Atas tahun 1980 di SMA Katolik Yayasan Paulus, Tana Toraja. Gelar Sarjana Pertanian Program Studi Ilmu Tanah diraih tahun 1985 pada Fakultas Pertanian di Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada tahun 2002 memperoleh gelar Magister Pertanian (MP) dari Program Studi Ilmu Tanaman, pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, melalui Program Bea Siswa proyek ARM, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada tahun 2004 melanjutkan studi ke program Doktor (S3) dimana sebagian kecil biaya penelitian dibantu dari proyek ARM melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sedangkan biaya lainnya ditanggung oleh keluarga (orang tua dan saudara) dan penulis.

(17)

Glossary

alel adalah salah satu bentuk alternatif dari gen yang dapat muncul sebagai lokus tunggal.

data biner adalah data pola pita yang distandarisasi menjadi suatu nilai yaitu satu (1) jika ada pita atau nol (0) jika tidak ada pita sehingga bisa dianalis secara statistik. kelompok heterotik adalah kumpulan aksesi atau genotipe berdasarkan tingkat

kemiripan genetik.

koefisien korelasi kofenetik adalah tingkat keakuratan dendrogram yang dihasilkan berdasarkan analisis pautan rata-rata.

marker adalah lokasi fisik pada kromosom yang teridentifikasi dan pewarisannya dapat dimonitor (mis. marka mikrosatelit atau SSR).

mikrosatelit atau marka SSR (Simple Sequence Repeats) adalah tipe DNA berulang dengan pengulangan basa secara tandem yang sangat pendek seperti dua nukleotida, tiga nukleotida, atau empat nukleotida.

MAS (Marker Assisted Selection) adalah seleksi dengan alat bantu marka.

PCA (Principal Component Analysis) atau Analisis Komponen Utama adalah analisis untuk mengetahui posisi relatif inbrida yang dikarakterisasi.

PCoA (Principal Coordinate Analysis) atau Analisis Koordinat Utama sama dengan PCA tetapi PCoA digunakan jika dalam hasil skoring ditemukan missing data. phylogeni adalah suatu diagram yang menggambarkan sejarah evolusi populasi dari

organisme yang berkerabat.

pleiotropik adalah satu gen yang mengendalikan beberapa karakter.

polimorfisme adalah penampakan bentuk yang berbeda yang berasosiasi dengan variasi alel dari satu gen atau homolog dari satu kromosom.

silang puncak (top cross) adalah persilangan antara sejumlah galur yang berbeda sebagai tetua betina dengan populasi sebagai tetua jantan.

silang uji (test cross) adalah persilangan antara sejumlah galur yang berbeda sebagai tetua betina dengan galur homosigot yang sama sebagai tetua jantan.

(18)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... I. PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Hipotesis ... 4 Strategi Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Dasar Pembentukan Jagung Hibrida ... 8

Peranan Pola Heterosis dalam Pemuliaan Jagung Hibrida ... 9

Aplikasi Marka Molekuler ... 10

Marka Molekuler untuk analisis keragaman genetik ... 12

Keragaman molekuler pada jagung ... 13

Marka SSR berbasis PCR ... 13

Analisis statistik untuk data molekuler ... 15

Korelasi marka DNA dengan informasi fenotipik ... 18

III. ANALISIS KERAGAMAN GENETIK INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MOLEKULER ... 20

Abstrak... 20

Pendahuluan ... 22

Bahan dan Metode ... 24

Hasil ... 30

Pembahasan ... ... 34

Kesimpulan ... 36

IV. SIMULASI ANALISIS MARKA MIKROSATELIT UNTUK PENDUGA HETEROSIS PADA POPULASI INBRIDA ... 37

Abstrak... 37

Pendahuluan ... 39

Bahan dan Metode ... 41

Hasil ... 42

Pembahasan ... ... 51

Kesimpulan ... 54

V. ANALISIS KORELASI POLA HETEROTI INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MIKROSATELIT TERHADAP PENAMPILAN FENOTIPIK F1 HASIL SILANG UJI ... 55

Abstrak... 55

(19)

xii Halaman

Bahan dan Metode ... 58

Hasil ... 62

Pembahasan ... ... 65

Kesimpulan ... 68

VI. ANALISIS KORELASI POLA HETEROTIK INBRIDA JAGUNG BERBASIS MARKA MIKROSATELIT TERHADAP PENAMPILAN FENOTIPIK HIBRIDA HASIL SILANG DIALEL ... 69

Abstrak... 69

Pendahuluan ... 71

Bahan dan Metode ... 72

Hasil ... 77

Pembahasan ... ... 85

Kesimpulan ... 89

VII. PEMBAHASAN UMUM ………. 90

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ………... 95

Kesimpulan ……….. 95

Saran ……… 96

DAFTAR PUSTAKA ………. 97

(20)

xiii DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam

penelitian ini ... 25 Tabel 2. Profil hasil karakterisasi 34 inbrida jagung menggunakan

36 marka SSR ... 31 Tabel 3. Komposisi genotipee dalam gerombol berdasarkan tingkat

kemiripan genetik... 33 Tabel 4. Jumlah marka, koefisien korelasi kofenetik (r), jumlah alil,

dan tingkat polimorfisme (PIC) ... 47 Tabel 5. Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing

pita/alil yang berperanan dalam membedakan 34 genotipe

jagung yang dikarakterisasi ... 49 Tabel 6. Primer SSR yang tidak berperan dalam pembentukan

dendrogram berdasarkan analisis komponen utama (PCA) ... 50 Tabel 7. Jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1 hasil

silang uji 32 inbrida dengan penguji inbrida Mr4 dan

Mr14, KP. Bajeng, Sulawesi Selatan, 2006 ... 63 Tabel 8. Nilai rata-rata jarak genetik dan bobot biji dua set genotipe

hasil silang uji ... 64 Tabel 9. Materi genetik yang digunakan dalam

persilangan dialil ... 72 Tabel 10. Analisis Ragam silang dialil metode II ... 74 Tabel 11. Analisis varians daya gabung metode II (Griffings’, 1956) ... 75 Tabel 12. Nilai jarak genetik 21 pasangan hibrida F1 hasil silang tunggal 78 Tabel 13. Nilai jarak genetik dan bobot biji per tanaman hibrida F1

hasil silang tunggal di KP. Bajeng dan KP. Muneng, MP 2007 79 Tabel 14. Penampilan rata-rata beberapa karakter fenotipik hibrida

F1 hasil silang tunggal ... 81 Tabel 15. Estimasi daya gabung khusus (DGK) pasangan inbrida pada dua

(21)

xiv Halaman Tabel 16. Estimasi heterosis tetua tertinggi, dan heterosis rata-rata

tetua hibrida F1 silang tunggal pada dua lokasi, MP 2007 ... 83 Tabel 17. Nilai duga DGU tujuh inbrida yang digunakan sebagai

tetua dalam pembentukan hibrida ... 84 Tabel 18. Korelasi (r) antara nilai jarak genetik dengan bobot biji,

DGK, dan heterosis pada dua lokasi (KP. Bajeng dan KP.

Muneng) ... 85 Tabel 19. Tahapan pemuliaan hibrida jagung berbasis marka fenotipik .. 93

(22)

xv DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagan alir kegiatan penelitian ... 7 Gambar 2. Visualisasi pola pita DNA menggunakan marka SSR

phi374118 menggunakan elektroforesis vertikal 4,5%

PAGE (Polyacrilamide Gel Electrophoresis) ……... 30 Gambar 3. Dendrogram 34 inbrida berdasarkan UPGMA dengan

menggunakan 36 marka SSR polimorfis……… 32 Gambar 4. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 36 marka

SSR (r = 0,76)... 43 Gambar 5. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka

SSR (r = 0,78)... 43 Gambar 6. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka

SSR (r = 0,78)... 44 Gambar 7. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka

SSR (r = 0,79)... 44 Gambar 8. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 25 marka

SSR (r = 0,79)... 45 Gambar 9. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka

SSR (r = 0,76)... 45 Gambar 10. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 20 marka

SSR (r = 0,76)... 46 Gambar 11. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka

SSR (r = 0,76)... 46 Gambar 12. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 15 marka

SSR (r = 0,76)... 47 Gambar 13. Diagram jumlah primer dan koefisien korelasi kofenetik 48 Gambar 14. Dendrogram 34 inbrida jagung menggunakan 29 marka

SSR (r = 0,72) ... 50 Gambar 15. Posisi relatif 34 inbrida jagung menggunakan 30 marka

SSR (r = 0,72) ... 51 Halaman

(23)

xvi Gambar 16. Bentuk penutupan kelobot dan nilai skoring ... 60 Gambar 17. Hasil regresi jarak genetik berdasarkan marka SSR terhadap bobot

biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan inbrida Mr4 dan Mr14. Nilai r adalah hasil analisis korelasi antara jarak genetik dan bobot biji per tanaman (g) hibrida F1 hasil silang uji dengan

inbrida Mr4 dan Mr14 ... 65 Gambar 18. Keragaan biji hibrida silang tunggal (atas) dan kultivar

pembanding (bawah). Rendemen biji masing-masing sebesar 0,8 (T1xT6), 0,75 (T6xT7), 0,79 (T1xT3), 0,73

(Bima1), 0,74 (Bima2), 0,76 (Bima3) ... 87 Gambar 19. Ilustrasi pasangan tetua hibrida potensial berdasarkan bobot

biji yang berbeda nyata terhadap kultivar cek Bima1, Bima3 dan Semar10 pada dua lokasi (KP.Bajeng dan KP.

(24)

xvii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Sumber populasi 39 galur inbrida yang digunakan dalam

penelitian ini ... 106 Lampiran 2. Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil

silang uji dengan Mr4 dan Mr14 ... 107 Lampiran 3. Nilai kuadrat tengah karakter fenotipik hibrida F1 hasil

silang dialel di lokasi Bajeng, Muneng dan Gabungan …… 107 Lampiran 4. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Bajeng dan

empat kultivar pembanding. Gambar a, b, dan c adalah hibrida harapan; g, h, i, dan j adalah kultivar

pembanding ... 108 Lampiran 5. Keragaan tongkol tiga hibrida potensial di Muneng dan

empat kultivar pembanding. Gambar d, e, dan f adalah

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Belajar Peserta Didik pada Siklus Dua Di siklus kedua, hasil ulangan harian yang diperoleh peserta didik juga belum dapat memenuhi ketuntasan secara klasikal, karena

9.4.1 Program ini dilaksanakan untuk berkongsi kemahiran, pengetahuan dan pengalaman di antara UPM dan agensi yang terlibat, selain untuk mewujudkan hubungan

Ia juga menampilkan satu kajian sistematik pada pemahaman tema Surah dalam Al-Qur’Én dan menganggapnya satu bidang penyelidikan penting dalam kajian tafsiran Al-Qur’Én mengikut

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai

Namun ke- nyataannya guru di Taman Kanak-Kanak (TK) masih sulit dalam mengatasi proses pembelajaran agar menyenangkan untuk anak-anak. Seperti dalam pembuatan media

Tidak ada bahaya pada penggunaan zat ini sebagai suplemen nutrisi pada dosis yang tepat/normal... Pertolongan

Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam

Penelitian yang dilakukan oleh Muctharjo (2013) dengan judul “Pembentukan Karakter Disiplin Dan Tanggung Jawab Melalui Pemahaman Dasadarma Dalam Kegiatan