• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dayak Punan: Eksploitasi Gaharu dan Ancaman Subsistensi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dayak Punan: Eksploitasi Gaharu dan Ancaman Subsistensi"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Dayak Punan:

Eksploitasi Gaharu dan Ancaman Subsistensi

Marahalim

 

Siagian

1) 

   

Pendahuluan

Studi lapangan ini melihat subsistensi masyarakat Dayak Punan di interior hutan Kalimantan Timur (Kaltim) yang terisolasi, di mana gaharu (Aquilaria becacariana) merupakan hasil hutan utama yang diperdagangkan dan merupakan produk yang terintegrasi dengan pasar internasional. Tingginya harga dan permintaan pasar menyebabkan gaharu terus dieksploitasi. Akibat eksploitasi gaharu yang terus-menerus, gaharu menjadi sangat langka dan pencaharian Punan mulai terancam.

Studi dilakukan di dua kecamatan, yakni Kecamatan Malinau Selatan dan Kecamatan Mentarang. Dua Kecamatan ini merupakan bagian dari Kabupaten Malinau di mana 55% dari 8.956 jiwa Punan (Cifor, 2004), berada di Kabupaten Malinau, Provinsi Kaltim.

Studi tentang Dayak Punan di Kalimantan Timur (Kaltim) masih relatif sedikit. Lars Kaskija (1995) menulis tentang ketidakstabilan budaya Punan di resettlement

penduduk (respen) di Malinau Utara. Studi lain tentang populasi Punan di Kaltim (Cifor, 2004) dan sejarah etnis Dayak di Kabupaten Bulungan (Lars Kaskija, 2004). Studi tentang pemanfaatan gaharu di Kalimantan Timur dilakukan Cifor tahun 1998. Studi tentang pemanfaatan gaharu pada masyarakat Punan di Malinau dan Tubu –di mana penelitian ini berlangsung, belum banyak diketahui.

Studi lapangan ini dilakukan pada November 2005 di sejumlah desa dalam Kecamatan Malinau Selatan dan Mentarang, yakni Desa Pelancau, permukiman1 di Desa Tanjung Naga, Desa Metut, permukiman Liu Mutai, Desa Laban Nyarit, Desa Halanga, Desa Long Mirau, dan Desa Long Rat. Semua desa/permukiman yang

Kerabat/ A n g ga 1

Istilah permukiman dimaksudkan untuk sekelompok Punan yang merupakan bagian dari desa tertentu.

dikunjungi tersebut merupakan bagian dari Kecamatan Malinau Selatan.

Selanjutnya desa/permukiman Punan di Sungai Tubu meliputi; permukiman di Kuala Avang, Desa Long Pada, Desa Long Ranau, permukiman Long Tami, Desa Long Titi, permukiman Kuala Penai, serta Desa Kuala Rian, semuanya merupakan bagian dari Kecamatan Mentarang.

Secara umum permukiman Punan di sepanjang Sungai Malinau lebih terakses karena adanya transportasi darat yang menghubungkan kota kabupaten dengan pusat kota Kecamatan Malinau Selatan. Namun, angkutan perdesaan hanya dapat menjangkau Desa Tanjung Nanga. Sementara Desa Punan yang berada di DAS Ran sub-DAS Malinau lebih terisolasi karena hanya bisa dijangkau dengan transportasi air seperti ketinting atau

longbot (perahu bermesin). Kondisi akses

ini kurang lebih sama dengan desa/permukiman Punan di Sungai Tubu. Perbedaan sistem transportasi di Malinau, daerah aliran sungai (DAS) Tubu mempengaruhi biaya transportasi, harga kebutuhan pokok, akses terhadap pasar, pendidikan dan kesehatan.

Jumlah penduduk desa umumnya kecil, hanya 190-300 jiwa. Jumlah itu hanya setara dengan satu dusun di Sumatera Utara atau satu RT (rukun tetangga) di Pulau Jawa. Desa dengan karakter khas seperti itu sulit mengembangakan diri karena perangkat desa belum berfungsi semestinya, bahkan sebagian belum terisi. Salah satu faktornya adalah kelangkaan individu yang melek huruf atau kecakapan sebagai perangkat desa. Kondisi ini membuat seseorang silih berganti menduduki posisi di pemerintahan atau bertukar posisi ke lembaga adat. Keterbatasan lainnya adalah sarana pendukung desa yang belum tersedia seperti pasar, puskesmas, balai desa, balai adat, sarana ibadah, bahkan sekolah dasar.

(2)

Kerabat/

A

n

g

ga

Gaharu dan Pertaukean

Pasar Gaharu terutama dibutuhkan negara Arab Saudi, Jepang, Cina yang merupakan bahan untuk ritual agama dan bahan baku parfum. Produksi gaharu dari Indonesia berasal dari Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua).

Saat ini, gaharu masih termasuk dalam urutan hasil hutan bernilai ekonomi tinggi yang diperdagangkan di seluruh dunia. Hasil temuan pada tahun 1998 ini menyebutkan bahwa sejak tahun 1993, harga yang dibayarkan kepada para pemungut di Kalimantan Timur untuk jenis berkualitas tinggi melonjak naik (belum pernah terjadi sebelumnya), dan saat ini merupakan masa pemungutan kayu gaharu yang paling intensif sepanjang sejarah (Cifor, 2005).

Di Kabupaten Malinau, khususnya Kecamatan Malinau Selatan dan Kecamatan Mentarang, eksploitasi gaharu meningkat tajam sebagai akibat dari tingginya harga dan permintaan pasar terutama oleh penduduk Punan di hulu sungai yang terisolasi, di mana sungai sebagai sistem transportasi utama berbiaya tinggi. Sampai saat ini, hanya gaharu yang merupakan hasil hutan nonkayu yang dapat diperdagang-kan untuk mengimbangi tingginya biaya transportasi.

Pengambilan gaharu dilakukan berke-lompok yang terdiri dari 5 – 15 aliansi rumah tangga. Umumnya kelompok rumah tangga menghabiskan waktunya di hutan bervariasi antara 1 – 3 minggu. Untuk kelompok kecil dengan biaya mandiri, memasuki hutan yang lebih dekat untuk mengurangi risiko kerugian. Sedangkan kelompok rumah tangga yang lebih besar yang dapat menyediakan modal kerja utang, dapat menjangkau sumber-sumber gaharu yang masih potensial, namun semakin jauh dengan biaya besar.

Jumlah pengeluaran kelompok berkisar Rp 1.500.000,- – Rp 4.500.000,- atau Rp 300.000,- per individu. Modal kerja terutama untuk bensin dan sewa perahu yang ditanggung bersama, sedangkan kebutuhan beras, gula, kopi, tembakau/ rokok, obat, mi instan, dan baterai dibiayai secara individual. Strategi untuk mengurangi biaya operasional yaitu dengan melibatkan

anggota keluarga dekat. Dengan demikian sewa perahu dan mesin tidak diperhitungkan. Kebutuhan lainnya dicukupi dengan berburu dan menangkap ikan bersama.

Pasar gaharu sangat terbuka luas, namun biaya transportasi untuk membawa gaharu ke kota cukup tinggi, 2 juta rupiah, sehingga penduduk terjebak dalam pertaukean di mana eksploitasi berlangsung. Eksploitasi tauke dilakukan melalui harga dan sistem klasifikasi mutu gaharu yang bermotif menipu.

Bensin merupakan komponen pengeluaran paling besar. Harga bensin di pusat kota kabupaten berkisar Rp 5.500,-/ liter dan Rp 8.000,- – Rp 9.000,-/liter di pusat kecamatan. Di desa yang lebih terisolir harus membeli bensin di kecamatan dengan waktu tempuh 1 – 3 jam dan menghabiskan minyak 3 – 6 liter pp (pulang pergi). Perbandingan harga pokok dapat dilihat dalam Appendix 1.

Organisasi kerja gaharu membutuhkan mobilitas yang tinggi karena mobilitas merupakan kunci untuk mendapatkan gaharu yang semakin langka. Rata-rata perpindahan kelompok sebanyak 4 – 7 kali. Dengan demikian, mengharuskan mereka membangun pondok-pondok kerja agar dapat memanfaatkan waktu malam untuk membersihkan gaharu yang didapat.

Hasil gaharu tergantung pada jumlah yang didapatkan individu. Hasil yang didapatkan, seperti dapat diduga tidak merata. Untuk mengurangi risiko kerugian, anggota yang dilibatkan dalam kelompok terdiri atas keluarga dekat. Dengan demikian seseorang rela membagi batang gaharu yang dia temukan kepada anggota kelompok lainnya, dengan hak istimewa menentukan bagian mana yang menjadi miliknya.

Punan sangat percaya bahwa keberhasilan pencarian gaharu bukan pada kecanggihan organisasi kerja namun karena nasib. Hal ini terlegitimasi dengan kasus-kasus di mana seseorang mendadak kaya karena mendapat banyak gaharu. Pendapatan penduduk dari gaharu 100 – 500 ribu rupiah per minggu. Secara relatif pendapatan umum pengumpul gaharu dapat dikatakan tinggi jika inflasi rendah.

(3)

Tauke sengaja membuat sistem klasifikasi yang semakin banyak dan harga yang berbeda-beda sehingga tidak ada klasifikasi dan harga yang dapat diacu bersama.

Harga Gaharu di Kota Malinau

Kelas 1 super : 10 juta Kelas 1 : 5 juta Kelas 2 keras : 2-2,5 juta Kelas 2 kepala : 400 – 600 ribu Kelas 3 : 100 – 300 ribu Plagun : 40 ribu

Harga Gaharu di Malinau Selatan

Kelas 1 super : 6 juta Kelas 1 : 4 juta Kelas 2a : 800 ribu Kelas 2b : 300 ribu Kelas 3 : 150 ribu Plagun : 50 ribu

Kecamatan Mentarang (Tubu)

Kelas 1 : 4 juta Kelas 2a : 2,5 juta Kelas 2b : 2 juta Kelas 3 : 900 ribu Plagun : 50 ribu

Kecenderungan baru, yakni meningkatnya jumlah manusia dari luar yang mencari gaharu sangat merisaukan Punan. Dapat diperkirakan gaharu akan semakin langka tanpa aturan pengelolaan.

Kelangkaan gaharu memicu penduduk untuk memasuki wilayah Taman Nasional Kayan Mentarang, di mana ada dasar melakukannya karena sebagian wilayah taman diklaim sebagai wilayah dari desa; Long Titi, Long Tami, dan Kuala Rian.

Respons Punan dalam membatasi pemanfaatan gaharu di wilayah desa adalah dengan membuat aturan pemanfaatan hasil gaharu. Beberapa desa telah menerapkan iuran 300 ribu rupiah per kepala untuk kelompok yang berasal dari luar. Aturan tersebut sebenarnya tidak efektif karena aktivitas manusia dalam hutan sulit diawasi. Faktanya, orang lebih menyukai masuk dengan cara menyusup.

Subsistensi

Punan lebih menyukai kehidupan di hutan karena dekat dengan “sayur” (babi, ikan, sayuran, dan hasil hutan lainnya), selain untuk mendapatkan tanah subur bagi pertanian.

Cara hidup ini di sisi lain membuat mereka sangat meguasai sumber daya hutan tetapi tidak terakses pendidikan dan kesehatan. Rendahnya pendidikan berindikator pada angka buta huruf sebesar 41% dari populasi Punan di Kaltim. Kondisi negatif ini juga tergambar pada aspek kesehatan di mana tingkat kematian anak tinggi dan usia harapan hidup yang rendah (Cifor, 2004 p. 20). Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin dan usia mengikuti model piramida kerucut menyerupai model piramida negara berkembang umumnya.

Masalah utama pertanian adalah kondisi tanah yang secara umum kurang subur, curam, mudah tererosi, berbatu, dan lapisan tanahnya tipis. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pertanian seperti hasil padi dipengaruhi oleh cuaca dan hama. Kemarau panjang membuat padi cepat mati, curah hujan tinggi membuat pembakaran kayu tebangan tidak sempurna, yang akhirnya mempengaruhi kesuburan tanah.

Luas lahan yang dapat dibuka satu rumah tangga ½ sampai 1 hektar, membutuhkan 5 kg bibit padi. Hasil padi (dipanen dalam umur 5 bulan) dalam kondisi baik hasilnya mencapai 100 kg atau 30 – 50 kg dalam kondisi gagal. Jumlah ini hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga 3 – 6 bulan, kekurangan pangan disubstitusi ubi kayu (inau) dan atau sagu hutan (lo’ hulung). Satu batang sagu besar dapat mencukupi kebutuhan makan satu rumah tangga dalam satu minggu. Jadi, sagu menjadi jaring pengaman pangan dalam kegagalan panen.

Hasil pertanian lainnya tidak ada yang dapat meningkatkan perekonomian secara substansial. Walaupun kopi ditanam di Desa Long Titi dan di beberapa desa lainnya menanam coklat, keduanya hanya untuk konsumsi sendiri dan produksinya tidak berarti. Perhatian yang lebih meningkat terhadap pertanian kopi atau coklat yang berorientasi pasar sebenarnya terdukung oleh lahan, tetapi Punan tidak

(4)

melakukannya karena harga dan ongkos mengeluarkannya tidak sebanding, bahkan jika kopi dan coklat mengalami kenaikan harga 200 – 300 persen. Praktis, hanya gaharu yang menjadi sumber pendapatan tetap.

Di sisi lain, hasil perburuan masih sangat baik, terutama ikan, babi, dan binatang lainnya. Peranan anjing sangat besar dan alat berburu yang dipergunakan –sumpit dan tombak (bujak), sangat murah dan efektif. Racun untuk sumpit (tacom) dapat diproduksi dari berbagai akar, daun, dan getah yang sumbernya melimpah.

Pada musim buah, terjadi migrasi babi

(bavui nyatung) dari Malinau ke Tubu (dari

timur ke barat) dan sebaliknya, di mana babi sangat mudah untuk dibunuh. Surplus lemak babi diolah menjadi minyak (lanyih) yang berfungsi sebagai pengganti minyak sayur. Pada musim ini penduduk dapat menyimpan minyak babi 5 – 25 kg/rumah tangga.

Sumber daya khusus seperti sungai, air asin (van), sagu, rotan, daun untuk atap, racun, dan lain-lain memang dilindungi secara ketat dan aturan pemanfaatan sumber daya tersebut terdukung dengan dipatuhinya lembaga adat.

Cara subsistensi Punan ini merupakan pola umum pada masyarakat peburu-peramu di dunia. Hal fundamental yang membedakannya dengan masyarakat perburu peramu yang lain –misalnya Kubu di Sumatera, Punan sangat konsumeris dan mereka telah mengacu cara hidup masyarakat luar secara umum.

Di permukiman yang terisolasi, yang hanya terjangkau dengan jalan kaki berhari-hari, mereka menikmati siaran televisi dari berbagai negara di dunia yang diakses melalui parabola dan pembangkit listrik tenaga surya. Televisi, parabola, VCD, generator listrik, pembangkit listrik tenaga surya, dan lain-lain juga merupakan bride

price (tiran atau purut) dan cara

mempertahankan perkawinan,2 sehingga

2 Semua perkawinan yang stabil dijamin melalui pertukaran barang

(resiprositas terbatas) antara keluarga laki-laki dengan perempuan, di mana laki-laki memberikan purut/tiran dan ulang dari pihak perempuan. Pemberian sejumlah barang dimulai dalam rangkaian proses perkawinan. Pertukaran ini dilakukan sepanjang hidup agar perkawinan stabil. Barang-barang itu dapat berupa tempayan,

barang disebut di atas tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Punan.

Kesimpulan

Punan marginal karena gaharu merupakan sumber pendapatan utama yang kondisinya semakin langka dan dalam kondisi itu Punan terjebak dalam pertaukean yang eksploitatif.

Pertanian belum signifikan meningkatkan pendapatan dan distribusinya terbatasi oleh sistem transportasi sungai yang berbiaya mahal. Secara umum hal ini juga mempengaruhi layanan pendidikan dan kesehatan.

Daftar Pustaka

Kaskija, Lars. 1995. Punan Malinau: The Persistence of Unstable Culture, Thesis.

---. 2004. Claiming the Forest Punan Local Histories and Rescent Development in Bulungan, East Kalimantan, Bogor: Cifor.

Sitorus, Soaduon, dkk. 2005. Potret Punan Kalimantan Timur: Sensus Punan 2002-2003, Bogor: Cifor.

Website Center for International Forestry Research (Cifor). 2005

gong, mesin perahu, perahu, emas, TV, VCD, generator listrik bahkan chain-saw. Jumlah nominalnya sangat besar. Perkawinan yang terjadi tanpa membayarkan sejumlah barang yang disepakati mewajibkan laki-laki untuk mengabdi di tempat mertuanya

(ngiban) sekaligus mempersiapkan tiran yang disyaratkan. Ia tidak

dapat membawa istrinya meninggalkan mertuanya tanpa membayar tiran.

Setelah pemberian itu, ritual perkawinan mengesahkan hubungan perkawinan di mana perempuan tinggal pada keluarga suaminya (patrilokal). Perempuan dipandang sebagai tambahan tenaga kerja penting, di mana ia harus menunjukkan kerja keras dalam pekerjaan rumah tangga serta melakukan fungsi reproduksi dengan baik.

Ulang merupakan sejumlah barang yang dapat berupa tikar,

anjing, parang, babi peliharaan, sumpit, dan barang lain yang kira-kira setengah dari nilai tiran yang diterima. Aliansi perkawinan juga terpelihara dengan pertukaran jasa dalam berbagai macam kegiatan.

(5)

Appendix 1

Tabel 1: Perbandingan Harga di Kabupaten Malinau dan Kecamatan Malinau Selatan dan Mentarang (Tubu)

Nama Barang Malinau Malinau Selatan Mentarang (Tubu)

Bensin 5.500/liter 8.000/liter 10-15.000/liter

Minyak sayur 7.000/kg 8.500/kg -

Minyak tanah 4.000/liter 8.000/liter 8.000/ liter

Rokok 4.000/bks 5.000/bks 7.000/bks

Tembakau 4.000/bks 5.000/bks 4.000/bks

Gula 7.000/9 ons 10.000/9 ons 10.000/9 ons

Obat malaria 8.000/bks 10.000/bks 10.000/bks

Obat sakit kepala 2.500/bks 3.000/bks 4.000/bks

Baterai 6.000/pasang 8.000/pasang 3.000/bks

Garam 1.500/bks kecil 2.500/bks kecil 3.000/bks

Gambar

Tabel 1: Perbandingan Harga di Kabupaten Malinau dan Kecamatan Malinau Selatan dan  Mentarang (Tubu)

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia mengambil tindakan tegas dalam dalam penegakan hukum di wilayah Perikanannya, berdasarkan pasal 69 ayat (4) Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang

Penyitaan terbesar (94%) terdapat di wilayah Cina dan Indonesia. 2) Berdasarkan Laporan UNODC Asia Pasifik, Global Smart Update 2012, sepertiga dari ATS global dan setengah

$erdasarkan pengamatan, diperoleh hasil baha paku dikategorikan men&adi in group, sedangkan baud sebagai out grup- n!a. Paku dilihat hubungan kekerabatann!a

Larutan terhidrolisis parsial karena hanya harga Ka dari kation asam nya saja atau hanya harga Kb dari anion basa nya saja yang lebih besar dari harga Kw air, sehingga hanya

Jika seseorang telah terikat hubungan pernikahan dengan seorang wanita yang pada dasarnya layak untuk dicampuri meski belum mencapai usia baligh, wanita itu tidak menolak

Dikaitkan dengan objektif terakhir kajian ini iaitu memaparkan kekurangan dan kelemahan yang dibawa oleh peruntukan keterangan yang sedia ada, maka dapatan kajian

LPJ Bendahara Pengeluaran, Rincian kas, Saldo Rekening, BKU, BP Kas Tunai, BP LAIN-LAIN, BP LS Bendahara, BP BANK, BP UP, BP KAS, BP PAJAK dokumen pertanggungjawaban

banyak orang tua menjadi takut. 5) Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat