• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A FORGIVENESS

Seseorang tidak mungkin forgive (memaafkan) kecuali jika unforgive (tidak memaafkan) telah terjadi. Forgiveness memang baru dapat muncul setelah adanya unforgiveness, namun orang yang mengalami unforgiveness bukan berarti pasti akan mengalami forgiveness. Forgiveness merupakan satu cara untuk mengatasi unforgiveness. Oleh karena itu, peneliti terlebih dahulu menjelaskan mengenai unforgiveness sebelum membahas forgiveness.

II. A. 1 Definisi Unforgiveness

Unforgiveness didefinisikan sebagai "emosi dingin" yang melibatkan rasa

marah, sakit hati, dan permusuhan, bersama dengan motivasi untuk meghindar atau membalas transgresor (orang yang melakukan kesalahan) (Worthington & Wade, 1999).

Worthington (dalam Zechmeister, 2004) mendefinisikan unforgiveness sebagai kemarahan, permusuhan, ketakutan dan stress ruminatif yang terjadi setelah penyerangan interpersonal.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

unforgiveness adalah emosi “dingin” yang merupakan gabungan dari rasa marah,

rasa benci, permusuhan, sakit hati, rasa takut, dan stres, bersamaan dengan motivasi untuk menghindar atau membalas transgresor.

▸ Baca selengkapnya: apa akibatnya jika seseorang dipengaruhi oleh sifat krodha

(2)

II. A. 2 Definisi Forgiveness

McCullough, Worthington, & Rachal (dalam Hall, 2006) mendefinisikan

forgiveness sebagai perubahan motivasi ketika individu mengganti respon

destruktif terhadap transgresor, dengan respon yang konstruktif.

Forgiveness merupakan suatu pilihan internal korban (baik sengaja

maupun tidak) untuk melepaskan unforgiveness, dan jika dirasa aman, mungkin, dan bijaksana, maka rekonsiliasi dengan transgresor dapat terjadi. Forgiveness tidak sama halnya dengan resolusi konflik. Seseorang mungkin saja memecahkan konflik tetapi tidak forgive atau mungkin saja forgive padahal konflik belum dipecahkan (Worthington & Wade, 1999).

Forgiveness merupakan suatu set perubahan motivasi prososial yang ada

dalam diri korban sehingga keinginannya untuk membalas dendam dan menghindar berkurang, atau sikapnya menjadi lebih baik pada transgresor (Tsang, 2006).

Menurut Lucia (2005), ketika seseorang forgive, ia mengganti

unforgiveness dengan emosi yang lebih positif, seperti empati, simpati, dan cinta. Forgiveness dapat mengurangi permusuhan dan stres negatif yang dirasakan

seseorang.

McCullough et al. (dalam Zechmeister, 2004) menekankan bahwa respon

forgiveness merefleksikan perubahan motivasi dasar yang melawan

kecenderungan natural individu untuk membalas.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa forgiveness adalah suatu pilihan internal untuk melepas unforgiveness, melawan

(3)

kecenderungan natural individu untuk membalas, menuntut ganti rugi, atau menghindari orang yang pernah menyakitinya dan mengganti keinginan destruktif tersebut dengan respon yang lebih konstruktif seperti simpati, empati, cinta, dan kemungkinan berekonsiliasi dengan transgresor.

II. A. 3 Proses Forgiveness – Unforgiveness

Worthington & Wade (1999) membuat sebuah model yang menjelaskan proses forgiveness dan unforgiveness dalam hubungan interpersonal. Proses ini dibuat sebagai suatu siklus karena proses ini dapat berulang apabila transgresi terjadi kembali. Skema proses ini adalah sebagai berikut :

(4)

6.b. FORGIVENESS 6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI 4.b.1. Rumination 6.a. UNFORGIVENESS 1. Konteks: Personal context Valence context Person x relationship context 2. Transgresi 4. Reaksi emosional awal 4.b. Respon pasif 4.a. Respon aktif 4.a.2. Pro-Relationship Behavior 4.a.1. Retaliation, Avoidance

Partner is positively affected by event (path A) (path B)

+

+

+/-

+

+

+

+

+

+

+

3. Persepsi korban atas transgresi 7. Perubahan pada atribusi, optimisme dan harapan 5. Respon transgresor dan persepsi korban

(5)

Skema di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. KONTEKS

(a) Personal Context

Faktor kepribadian mempengaruhi cara seseorang mempersepsikan suatu kejadian. Orang dengan emotional intelligence yang tinggi dapat membedakan situasi interpersonal dan mengendalikan perilaku mereka untuk meningkatkan interaksi sosial yang positif mereka. Pride, kecenderungan-merasa bersalah (guilt-proneness), dan kecenderungan merasa malu (shame-proneness) juga berpengaruh terhadap bagaimana orang berhadapan dengan transgresi.

(b) Emotional Valence of the Relationship

Terjadinya peristiwa yang dirasakan secara positif maupun negatif akan mempengaruhi persepsi terhadap kualitas suatu hubungan. Peristiwa yang negatif, seperti transgresi, membuat hubungan yang positif menjadi kurang positif, merubahnya menjadi negatif, atau membenarkan pandangan negatif korban terhadap hubungan yang sudah negatif, sedangkan peristiwa positif bertindak sebaliknya. Sekali hubungan dianggap sebagai hal yang negatif, peristiwa yang berikutnya dirasakan dan direspon dengan negatif pula.

(c) Interaksi antara Personal Context dan Valence of the Relationship

Seseorang mungkin berperilaku berbeda pada suatu hubungan yang berbeda pula, misalnya, seorang anak mungkin pendiam dan penurut di rumah, namun agresif di luar rumah.

(6)

2. TRANSGRESI

Transgresi adalah tindakan yang salah atau secara moral menyerang atau menimbulkan rasa sakit/kerugian secara fisik maupun psikologis pada korban. Transgresi bersifat destruktif terutama ketika berulang, dipenuhi dengan emosi negatif, severe (parah), dan tidak disertai rasa bersalah atau permintaan maaf dari transgresor (orang yang melakukan transgresi). Transgresi itu bersifat objektif, artinya orang lain (selain transgresor dan korban) juga setuju bahwa transgresi telah terjadi. Dalam penelitian ini transgresi yang dimaksud adalah child abuse sehingga pelaku akan disebut sebagai abuser.

3. PERSEPSI KORBAN ATAS TRANSGRESI

Persepsi memotivasi respon individu terhadap suatu kejadian. Suatu peristiwa dapat dipersepsikan berbeda oleh individu yang berbeda. Contohnya, seseorang mungkin merasakan suatu komentar negatif yang ambigu sebagai humor dan merespon dengan tertawa atau dengan tidak peduli. Hal ini dapat menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat figur 1, path A). Seseorang juga dapat menganggap komentar tersebut sebagai penyerangan personal sehingga ia berespon secara defensif dan muncullah reaksi emosi awal.

4. REAKSI EMOSI AWAL

Ketika seseorang mempersepsikan suatu kejadian sebagai transgresi, ia akan mengalami reaksi emosional negatif yang disebut sebagai unforgiveness. Respon terhadap unforgiveness ini dapat berupa penerimaan, kesabaran atau

(7)

defense psikologis yang kemudian menghindarkan orang tersebut dari siklus unforgiveness dan memperbaiki stabilitas hubungan (lihat skema II.1, path B).

Akan tetapi, unforgiveness juga dapat menyebabkan motivasi pembalasan dan permusuhan yang berkepanjangan terhadap transgresor sehingga memicu mekanisme coping aktif dan pasif.

4.a. Respon interpersonal aktif

Respon aktif adalah tindakan eksternal yang dapat bersifat memperbaiki atau malah merusak hubungan ketika berhadapan dengan kejadian interpersonal. Ada dua tipe respon aktif:

4.a.1. Retaliation yaitu membalas dengan berteriak atau melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang sama pada transgresor. Avoidance yaitu berusaha menjauh atau menghindari transgresor. Pelepasan seperti itu umumnya tidak membantu dan sebaliknya dapat menyebabkan

distress.

4.a.2. Constructive Relationship Behavior, yang bertujuan

mengkomunikasikan rasa sakit (harm) sehingga tidak merusak hubungan antara kedua belah pihak, namun dalam merespon peristiwa yang menimbulkan reaksi emosi negatif, respon konstruktif ini hampir mungkin merupakan respon agresif.

4.b. Respon interpersonal pasif

Respon pasif merupakan cara lain bagi korban merespon emosi negatif akibat transgresi. "Pasif" lebih mengarah pada hubungan interpersonal, walaupun kemungkinan coping intrapsikis dan kognitif-nya aktif (misalnya,

(8)

korban tidak membalas transgresor, tapi ia selalu mengingat-ingat penyerangan tersebut). Respon pasif juga meliputi perasaan, perilaku, atau pikiran yang tidak dikomunikasikan secara langsung kepada transgresor – meliputi berdiam diri, tindakan agresi-pasif, menyalahkan diri sendiri, dan

rumination (Skema II.1, box 4.b.1.).

5. RESPON TRANSGRESOR DAN PERSEPSI KORBAN

Respon transgresor yaitu berupa account (respon yang ditawarkan) untuk menjelaskan, membenarkan, atau untuk mengurangi efek negatif dari transgresi.

Accounts dapat berupa penolakan (refusal), pembenaran (justifications), memberi

alasan (excuses), atau concessions. Refusal menyangkal peran sebagai penyebab apapun dalam kerugian interpersonal dan akibat-akibatnya, dan menolak hak orang lain menanyakan integritas dan ke-bersalah-annya. Justifications membenarkan adanya perbuatan salah namun menolak bertanggungjawab.

Excuses, membenarkan adanya kesalahan dan bertanggung jawab untuk

mengurangi rasa bersalah personal. Concessions yaitu mengakui kesalahan dan bertanggung jawab atas akibat transgresi dan penggantirugian.

Reaksi transgresor yang positif (excuses atau concessions) seharusnya diikuti juga dengan persepsi positif korban sehingga menyebabkan disonansi emosi (skema II.1, box 6). Akan tetapi, jika respon transgresor negatif (refusal atau justifications), maka rasa sakit yang dirasakan korban akan semakin kuat dan mengarah ke rumination (skema II.1, box 4.b.1.).

(9)

6. RESOLUSI DISONANSI EMOSI

Disonansi emosi memfasilitasi munculnya forgiveness setelah individu mengalami unforgiveness. Disonansi emosi terjadi ketika korban dan transgresor memperoleh kembali valensi hubungan yang positif sehingga korban mengalami emosi positif seperti simpati, empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi positif ini terjadi ketika trangresor meminta maaf dengan tulus atau munculnya variabel-variabel lain yang mempengaruhi seperti komitmen agama, kecerdasan emosi, atau keinginan berkorban demi hubungan. Emosi-emosi yang bertolak belakang dengan emosi awal (unforgiveness) ini menyebabkan korban merasa ketidaknyamanan emosional sehingga korban akan berusaha menyeimbangkan emosinya. Disonansi emosi dapat diatasi dengan kembali ke unforgiveness (Skema II.1, box 6.a.) atau menuju ke forgiveness (Skema II.1, box 6.b.). Unforgiveness merupakan resolusi negatif dari disonansi emosi sedangkan forgiveness merupakan resolusi positif dari disonansi emosional. Perlu diingat, forgiveness-unforgiveness merupakan siklus atau proses yang dapat berulang. Korban mungkin forgive saat ini namun, suatu saat nanti ruminate kembali apabila korban merasakan transgresi baru.

7. PERUBAHAN PADA ATRIBUSI, OPTIMISME DAN HARAPAN

Forgiveness menyebabkan unforgiveness menurun dan motivasi untuk

memiliki hubungan yang baik meningkat. Rekonsiliasi dapat muncul apabila mungkin dan bijaksana dilakukan. Hal-hal lain yang dapat berubah sebagai akibat dari forgiveness dan unforgiveness meliputi atribusi, optimisme dan harapan

(10)

(Skema II.1, box 7). Pada hubungan yang positif, secara umum atribusi akan menjadi stabil dan lebih positif. Pada hubungan yang negatif, atribusi menjadi stabil dan kurang negatif. Orang yang memberi maaf menjadi lebih optimis tentang hubungan dan masa depan. Baik orang yang dimaafkan maupun orang memberi maaf dapat menjadi lebih hopeful.

II. A. 4 Hal-Hal yang Mempengaruhi Forgiveness

Ada banyak tokoh dari berbagai sumber yang menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan individu memilih forgive atau tidak, antara lain:

A. Kecerdasan emosi

Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dapat memprediksi dampak-dampak unforgiveness dan solusi yang lebih cepat untuk dilema interpersonal akibat disonansi emosi. Selain itu, kecerdasan emosi juga penting jika dilihat dari perspektif transgresor. Transgresor yang memiliki kecerdasan emosi tinggi memiliki kapasitas yang besar untuk mengerti dan memahami keadaan emosi korban, dengan begitu akan memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, atau mendiskusikan masalah dengan korban (Worthington & Wade, 1999).

B. Respon transgresor

Variabel penting lain dalam forgiveness adalah ketika transgresor meminta maaf dengan tulus atau menunjukkan penyesalan yang dalam. Permintaan maaf memiliki berkorelasi positif dengan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006;

(11)

McCullough, 2000). Penyangkalan dan penolakan tanggung jawab dari transgresor, sebaliknya, berkorelasi negatif dengan forgiveness (Worthington & Wade, 1999).

C. Munculnya empati

Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman kognitif dan afektif orang, tanpa perlu mengalami situasinya. Empati menengahi hubungan antara permintaan maaf dan forgiveness (McCullough dalam Worthington & Wade, 1999). Munculnya empati ketika transgresor meminta maaf, mendorong korban untuk memaafkan transgresor (McCullough, 2000). Empati biasanya menjadi topik dalam konseling yang didesain untuk meningkatkan forgiveness (Lawler, 2006; Strelan, 2006). Wanita lebih mudah merasakan empati daripada pria, namun tidak ada perbedaan gender terhadap

forgiveness. Empati dalam hal ini lebih mengarah pada motivasi dari pada

kemampuan (Toussaint, 2005).

D. Kualitas hubungan sebelum transgresi

Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh

kedekatan, komitmen, dan kepuasan (McCullough, 2000). Forgiveness juga berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut bagi korban dan

secure attachment style (Lawler, 2006). Dengan kata lain, forgiveness lebih

mungkin terjadi pada kualitas hubungan sebelum transgresi yang positif. E. Rumination

Semakin sering individu ruminate (merenung atau mengingat-ingat) tentang transgresi dan emosi yang dirasakan, semakin sulit forgiveness terjadi.

(12)

Rumination dan usaha menekan rumination tersebut dihubungkan dengan

motivasi penghindaran (avoidance) dan membalas dendam (revenge). Orang yang memiliki masalah dalam mengatasi pikiran-pikiran ruminatif umumnya lebih memiliki kesulitan untuk forgive (Strelan, 2006; McCullough, 2000).

F. Komitmen Agama

Semua agama mengajarkan forgiveness, namun tidak menjamin semua pemeluknya akan memberikan maaf. Pemeluk agama yang commit dengan ajaran agamanya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada

unforgiveness (Worthington & Wade, 1999).

G. Faktor Personal Korban

Sifat pencemas, sifat pemarah, neurotik, introversion, reaktivitas terhadap stress, dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya

forgiveness. Sebaliknya, Sifat pemaaf, terbuka, agreeable, dan kecenderungan

merasa bersalah merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness (Tangney, dalam Worthington, 1998). Narsisme dihubungkan dengan penurunan empati, oleh karenanya narsisme berhubungan negatif dengan forgiveness. Orang yang berbangga diri (pride) lebih mudah merasa diserang atau terluka perasaannya sehingga lebih sulit untuk forgive Kecenderungan merasa malu

(shame-proneness) akan meningkatkan rasa marah, menghambat peristiwa yang

menyebabkan disonansi emosi, sehingga mengakibatkan korban dan transgresornya terpisah secara emosional (dan mungkin secara fisik). Kecenderungan merasa bersalah (guilt-proneness) dapat menyebabkan disonansi emosi dan memicu terjadinya forgiveness. (Worthington & Wade, 1999).

(13)

H. Faktor Peristiwa

Semakin parah dan sering transgresor melakukan transgresi, semakin tinggi keinginan korban untuk membalas dan menuntut tanggung jawab sehingga semakin kecil kemungkinan terjadinya forgiveness (Zechmeister, 2004; Worthington & Wade, 1999). Persepsi terhadap tujuan transgresor melakukan transgresi juga mempengaruhi korban untuk forgive (Worthington, 1998). Peristiwa yang menimbulkan rasa malu (shame) cenderung mengarah pada

unforgiveness daripada peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt). Rasa

malu membuat transgresor enggan mengaku untuk melindungi diri, dan cenderung merasa terisolasi sehingga menghambat terjadinya forgiveness. Sebaliknya, peristiwa yang menimbulkan rasa bersalah (guilt) memicu transgresor meminta maaf, mengganti rugi, dan berusaha memperbaiki hubungan sehingga memicu terjadinya forgiveness (Worthington & Wade, 1999).

II. A. 5 Manfaat Forgiveness

Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk (Zechmeister, 2004), tingginya tekanan darah, dan masalah jantung (Enright, 2005). Worthington (dalam Lucia, 2005) juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan.

Di sisi lain, forgiveness, dapat menurunkan anxiety dan depresi, serta bermanfaat bagi kesehatan fisik (Enright, 2005; Zechmeister, 2004). Forgiveness

(14)

dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma (Orcutt dalam Worthington, 1999).

Orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil daripada orang yang unforgive (Worthington, 1998). Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey&Corey, 2006).

Memiliki fisik, emosi, dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia seperti yang dikemukakan oleh Konstam (2000) bahwa selain dapat memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat meningkatkan kesejahteraan (well-being).

II. B CHILD ABUSE

II. B. 1. Definisi Child Abuse

Peristiwa penganiayaan anak lebih dikenal masyarakat dan para profesional dengan istilah child abuse, akan tetapi, banyak ahli perkembangan yang lebih suka menggunakan istilah child maltreatment (Manly, dalam Santrock, 1998).

(15)

Barnett dkk. (dalam Berns, 2004) mendefinisikan child abuse sebagai tindakan yang merusak atau membahayakan anak, meliputi tidak bersikap baik pada anak, kasar pada anak, menolak anak, merampas hak anak, menyalahgunakan anak, dan/atau melakukan kekerasan pada anak.

Child maltreatment meliputi perilaku abuse dan neglect. Abuse mengarah pada perilaku atau tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak, sedangkan

neglect mengarah pada tidak ada tindakan sama sekali, yaitu pengabaian yang

merusak anak (Papalia, 2004).

The Child Abuse Prevention and Treatment Act (CAPTA) (dalam

McDonal, 2007) mendefinisikan child abuse sebagai suatu tindakan atau tidak ada tindakan sama sekali yang dapat menyebabkan kematian, kerusakan fisik atau emosi yang serius; melibatkan seorang anak; dan dilakukan oleh orang tua atau

caregiver yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa child abuse adalah tindakan (misalnya menolak, melakukan kekerasan pada anak) atau tidak ada tindakan sama sekali (misalnya lalai dalam pemeliharaan anak) yang dilakukan oleh orang tua atau caregiver sehingga menimbulkan kerusakan (harm) baik fisik maupun emosi, bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.

II. B. 2. Tipe-Tipe Child Abuse

Menurut Papalia (2004), child abuse meliputi dua perilaku yaitu abuse dan

neglect. Abuse mengarah pada tindakan yang menimbulkan kerusakan pada anak,

(16)

pengabaian yang merusak anak. Kemudian, perilaku abuse dan neglect ini terbagi lagi menjadi :

a. Physical abuse

Physical abuse atau kekerasan fisik meliputi pengrusakan pada tubuh anak

seperti pukulan, tendangan, membakar dan lain-lain. b. Sexual abuse

Sexual abuse atau kekerasan seksual merupakan segala bentuk kegiatan

seksual yang melibatkan anak. c. Neglect

Neglect atau pengabaian merupakan kegagalan memenuhi kebutuhan fisik,

emosi, kesehatan dan pendidikan dasar anak. d. Emotional Abuse

Emotional abuse adalah semua tindakan atau tidak ada tindakan sama

sekali yang dapat menyebabkan gangguan perilaku, kognitif, dan emosi anak. Emotional abuse juga meliputi penolakan, peneroran, isolasi, eksploitasi, menghina, kekerasan verbal, atau tidak menyediakan dukungan emosional, cinta dan afeksi yang konsisten pada anak.

II. B. 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Child Abuse

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadi child abuse. Banyak

abuser yang memiliki sejarah kekerasan dalam keluarga (Berns, 2004). Sejarah

kekerasan biasa juga merupakan hasil dari pola asuh keluarga yang menerapkan hukuman sebagai dasar pendisiplinan. Orang tua kadang menghukum anak-anak

(17)

mereka untuk menghentikan perilaku yang tidak diinginkan, mengontrol perilaku anak-anak sebagaimana dulu mereka dikontrol (Santrock, 1998).

Karakteristik fisik maupun psikologis tertentu pada anak dapat pula memicu terjadinya child abuse. Anak yang hiperaktif, cengeng, mental retardasi, dan anak yang sulit diatur cenderung mengalami child abuse, sedangkan keluarga yang abusive biasanya mengalami isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial sehingga tidak ada yang membantu saat mereka mengalami kesulitan dan membutuhkan nasehat. Selain itu, terdapat asosiasi antara hilangnya pekerjaan orang tua dan intrafamily violence, seperti partner abuse dan child abuse.

Physical abuse lebih mungkin muncul dalam keluarga yang terdapat kekerasan

domestik baik berupa agresi fisik maupun verbal. (Berns, 2004).

Selain itu, kemiskinan, pengangguran, isolasi sosial, gaya hidup yang berubah-ubah, kurangnya pemahaman mengenai hak anak, budaya yang menerima hukuman fisik, dan keterbatasan bantuan saat keluarga dalam situasi krisis merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi dengan abuse (Garbarino dalam Berns, 2004). Stresor yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan perilaku abusive dalam keluarga adalah rendahnya status sosioekonomi (McLoyd dalam Berns, 2004) dan tinggal dikomunitas yang biasa melakukan kekerasan (Barry & Garbarino dalam Berns, 2004)

(18)

Orang dewasa yang pernah mengalami child abuse sering disebut sebagai

survivor (Herman, 1997), abuse survivor (Crosson, 2002), atau adult survivor

(Biere, 1992).

Kata survivor sendiri berarti orang yang selamat. Survivor mengacu pada orang yang selamat atau berhasil bertahan hidup dari peristiwa abusive. Akan tetapi, walaupun telah selamat, mereka masih harus berjuang melawan after-effect setelah mereka dewasa (Crosson, 2002). Tanpa intervensi yang tepat, anak yang merasakan penderitaan akan tumbuh menjadi orang dewasa yang menderita juga. Mereka menjalani hidup mereka dengan membawa trauma dan dampak negatif jangka panjang dari pengalaman mereka (Biere, 1992).

Crosson (2002) mengatakan bahwa efek residu yang dialami survivors hampir sama baik untuk neglect maupun abuse, antara lain:

a. Kepercayaan (trust)

Kepercayaan merupakan aspek dasar dari sosialisasi, dan perkembangan kemampuan mempercayai dimulai pada tahun pertama kehidupan. Anak kemungkinan pada awalnya tidak sadar bahwa ia tidak menerima pengasuhan yang baik dari orang tua, namun sebagai orang dewasa yang mulai menyadari bahwa orang tuanya secara emosional tidak ada, atau kalaupun ada, dirasa kurang atau tidak konsisten. Sulitnya mempercayai orang lain merupakan manifestasi dari pemahaman anak bahwa kehidupan dan semua yang hidup di dunia ini tidak dapat diprediksi. Anak juga belajar bahwa hidup yang tidak dapat diprediksi ini menyakitkan dan tidak

(19)

dapat dipercaya. Untuk menghindar dari hidup yang menyakitkan ini, anak memilih tidak mempercayai orang lain dan mengisolasi/menarik diri. b. Merasa dikhianati

Sebagai seorang anak, individu mempercayai orang tua dan merasa bahwa kepercayaan ini dihargai dan dimengerti, namun menyakitkan dan membingungkan bagi anak ketika menyadari bahwa ia digunakan untuk kepentingan abuser. Anak tidak hanya tumbuh dewasa sebagai orang yang sulit mempercayai, namun juga merasa dikhianati oleh orang tua yang telah diberikannya kepercayaan. Pada orang dewasa, pengkhianatan dicerminkan dengan ketidakmampuan mempercayai orang lain, diri sendiri, dan lingkungannya.

c. Rasa marah

Rasa marah dan khayalan untuk membalas dendam merupakan respon normal pada anak yang mengalami child abuse (Herman, 1997). Kemarahan ini merupakan akumulasi dari perasaan dikhianati, dan ketidakberdayaan yang kemudian dapat menjadi amukan yang kuat setelah anak dewasa. Gagalnya terpenuhi kebutuhan di masa kecil merubah rasa marah dan frustrasi menjadi perilaku agresif sehingga kemarahan yang dulunya hanya ada dalam batin, diproyeksikan ke luar. Agresi juga dapat disebabkan oleh proses belajar dari cara orang tua menyelesaikan masalah. Agresi dapat ditujukan ke benda-benda, orang lain, bahkan ke diri sendiri.

(20)

d. Harga diri rendah

Anak yang di-abuse mengasumsikan bahwa hukuman yang mereka terima disebabkan oleh perilaku mereka yang salah, tanpa melihat kebenarannya. Apalagi kalau orang tua secara langsung mengatakannya. Mereka sering memandang dunia dari dua sisi, sebagai ‘hitam’ dan ‘putih’ atau ‘baik’ dan ‘buruk’. Mereka menganggap orang tua adalah sosok yang baik dan kalau orang tua itu baik, maka merekalah yang buruk dan menyebabkan segala kejadian buruk terjadi. Perasaan ini terus mengikuti anak hingga ia dewasa dan mewarnai perilaku mereka. Mereka percaya bahwa tidak seorangpun akan menemukan kebaikan dalam diri mereka karena orang tua mereka juga tidak mampu. Beberapa survivors menggunakan humor sebagai pembenaran keberadaannya dan melindungi diri mereka dari depresi akibat tidak dapat menjadi lebih baik.

Orang dewasa korban sexual abuse memiliki harga diri rendah disebabkan rasa malu, rasa bersalah dan stigmatisasi atau label buruk yang diberikan orang lain.

e. Ketidakseimbangan hubungan

Kegagalan mempercayai dan rendahnya self-esteem ditambah dengan kemarahan yang di-repress atau diekspresikan secara agresif, menghambat kemampuan survivor untuk membentuk hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Mereka tidak pernah belajar strategi coping dan

problem solving yang baik, padahal hal tersebut penting dalam membina

(21)

disebabkan karena kurangnya stimulasi sosial dari orang tua, khususnya pada kasus pengabaian. Mereka juga memiliki harapan yang tidak realistis bahwa semua orang harus memenuhi apa yang dia butuhkan sehingga mereka cenderung tidak pernah puas dengan orang lain.

f. Penyalahgunaan zat

Obat-obatan terlarang, atau alkohol digunakan sebagai pelarian, atau sebagai pengganti interaksi sosial yang sulit mereka bina. Penggunaan zat-zat ini dapat disebabkan karena modelling, tekanan teman sebaya, dan sebagainya. Berns (2004) mengemukakan bahwa kurangnya pengasuhan yang normal selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan individu mengganti kebutuhannya akan cinta dan rasa aman yang hilang dengan obat-obatan terlarang, alkohol, makanan, objek material, seks, dan judi. g. Masalah fisik

Pengasuhan yang salah juga berdampak buruk bagi fisik anak. Kekerasan fisik dapat menyebabkan kecacatan seperti patah tulang atau kerusakan atau kehilangan organ tubuh. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan kerusakan organ reproduksi, tertular penyakit menular seksual, dan kehamilan. Anak yang mengalami pengabaian dan kekerasan emosi cenderung tumbuh dengan buruk dan mengalami masalah medis karena kekurangan nutrisi akibat tidak diberi makan atau karena gangguan makan (Berns, 2004). Selain itu, masalah fisik juga disebabkan karena penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol, dan tidak jarang masalah fisik ini muncul sebagai usaha mencari perhatian.

(22)

h. Trauma

Trauma fisik dapat berupa bekas luka atau kecacatan permanen yang dapat berimplikasi ke psikis. Trauma psikis merupakan trauma karena mengalami peristiwa yang menyakitkan hati (misalnya child abuse). Anak yang mengalami child abuse belajar mengenal situasi terjadinya peristiwa

abusive, dan ekspresi wajah dan bahasa tubuh orang tua – pada situasi dan

ekspresi bagaimana orang tua akan memukul atau marah. Proses belajar ini kemudian digeneralisasikan ke semua orang dan situasi. Mengalami kekerasan seksual atau kekerasan fisik membuat anak takut akan sentuhan. Sentuhan sering mengingatkan mereka akan peristiwa abusive yang pernah mereka alami. Tanpa adanya sentuhan pun peristiwa tersebut dapat muncul kembali dalam mimpi bahkan setelah anak dewasa.

Berikut ini adalah skema paradigma penelitian yang menggambarkan dinamika forgiveness pada orang dewasa yang pernah mengalami child abuse, dibuat sesuai dengan teori proses forgiveness – unforgiveness oleh Worthington & Wade (1999) :

(23)

(-) (+)

(+) (-)

HUB. ORANG TUA & ANAK

Child abuse

Persepsi anak

Reaksi emosi awal (negatif)

unforgiveness Disonansi emosi forgiveness

pasif aktif

Respon org tua

Reaksi emosi akhir (positif) diabaikan diakui Pilih emosi awal Pilih emosi akhir Kualitas hub. menjadi lebih negatif Kualitas hub. menjadi lebih positif KETERANGAN: : Terjadi peristiwa : Menimbulkan/maka

: Hub. kembali seperti sebelum terjadi child abuse

: Bentuk respon : Maka semakin

: Reaksi emosi negatif dan positif terjadi bersamaan

Referensi

Dokumen terkait

Teknik mikroabrasi email digunakan untuk mengatasi adanya pewarnaan gigi akibat fluorosis sebagai terapi awal yang diikuti oleh bleaching pada kasus pewarnaan yang berat

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa informan terkait pendapat informan definisi SISRUTE, informan mengatakan bahwa SISRUTE adalah Sistem rujukan

bagaimana efek pemberian kompos serasah daun acasia mangium L terhadap pertumbuhan dan produksi kacang tanah.. Tujuan dan

Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai maka perusahaan perlu melakukan suatu perencanaan dan pengendalian material yang selain dapat bermanfaat untuk

Berdasarkan hasil dan analisis, (1) Bentuk pelanggaran maksim kesantunan berbahasa yang terdapat dalam Fesbukers di Antv mencakup maksim kebijaksanaan, maksim

Mes- kipun di sisi yang lain, reaktualisasi filsafat Islam, khususnya dalam rangka reintegrasi keilmuan di perguruan tinggi Islam menjadi sangat krusial mengingat umat

dengan harga yang ada (Going Rate Pricing). 54 Hal ini bertujuan untuk memudahkan pengambil keputusan dalam menentukan harga, serta mempermudah produk masuk

34 Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan dari diri penulis terkait persoalan yang sedang diteliti, yaitu tentang karakteristik orang-orang yang meraih al-fala>h{