• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II LANDASAN TEORI

A. Asertivitas

1. Pengertian Asertivitas

Menurut kamus Webster Third International asertivitas berasal dari kata kerja “assert” (sadar) berarti “menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus terang, atau tegas” (Fensterheim & Baer, 1980). Rathus dan Nevid (1995), mendefinisikan perilaku asertif sebagai tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka mengungkapkan kebutuhan, perasaan, dan pikiran-pikiran dengan apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal termasuk tekanan yang datang dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok. Individu yang asertif juga menggunakan kekuatan pengaruh sosial untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Menurut Alberti dan Emmons (2002), perilaku asertif adalah perilaku individu yang bisa melakukan sesuatu atas dasar keinginannya sendiri tanpa adanya paksaan dari orang lain, menegakkan hak-hak pribadinya tanpa mengesampingkan hak-hak orang lain, serta mampu untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya secara nyaman. Hal ini sebagaimana Lazarus (Fensterheim & Baer, 1980) menyatakan tingkah laku yang tegas timbul sebagai aspek “kebebasan emosional” yang

(2)

menyangkut usaha membela hak-hak yang dimiliki. Ini meliputi (1) mengetahui hak-hak pribadi; (2) berbuat sesuatu untuk itu; (3) melakukan hal ini dalam rangka usaha mencapai kebebasan emosional.

McBride (1998) menyebutkan bahwa asertif merupakan pertengahan antara sikap agresif dan pasif. Menjadi asertif berarti memiliki keyakinan dan kepercayaan diri, berpendapat dengan tidak merugikan dan merendahkan orang lain, mampu menyesuaikan diri dan menggunakan bahasa tubuh yang tepat pada setiap situasi, mampu berbicara pada diri sendiri atau orang lain, menghormati diri sendiri dan orang lain dengan setara, mampu mengatakan “tidak tahu” atau “tidak mengerti”, serta memiliki tujuan yang jelas. Sebaliknya bersikap tidak asertif berarti tidak mau mendengar apa yang dikatakan orang lain, melakukan sesuatu dengan caranya sendiri, memperlakukan orang lain tanpa rasa hormat, melakukan bullying, takut dengan situasi sulit, terlihat tunduk, selalu menanggapi situasi dengan cara yang sama.

Menurut Burley-Allen (1995) asertivitas didasarkan pada hak-hak alami kita sebagai manusia; dapat diperlakukan dengan hormat, menjadi diri sendiri, dan memiliki nilai-nilai kita sendiri. Setiap dari kita memiliki ruang pribadi yang unik yang harus dihormati oleh orang-orang yang berinteraksi dengan kita begitupun sebaliknya kita menghormati hak orang lain. Elemen penting lainnya dari asertif adalah tanggung jawab; terutama tanggung jawab untuk diri sendiri. Ini berarti menetapkan batas untuk

(3)

mengurus diri sendiri, tetap menerima konsekuensi dari setiap tindakan yang kita lakukan.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa asertivitas adalah kemampuan individu untuk mempertahankan hak-hak yang dimilikinya serta keberaniannya untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, menjadi diri sendiri, dengan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan dan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain. 2. Aspek-aspek Asertivitas

Fensterheim dan Baer (1980) menyatakan asertivitas meliputi empat aspek, yaitu :

a. Mampu mengemukakan dirinya sendiri

Merasa bebas untuk mengemukakan emosi yang dirasakan, pendapat dan keinginan melalui kata dan tindakan. Misalnya: “inilah diri saya, inilah yang saya rasakan dan saya inginkan”.

b. Mampu berkomunikasi dengan orang lain

Orang asertif dapat berkomunikasi dengan orang lain dari semua tingkatan, baik dengan orang yang tidak dikenal, sahabat, dan keluarga. Dalam berkomunikasi ia relatif terbuka, jujur, dan sebagaimana mestinya.

c. Mempunyai pandangan yang aktif tentang hidup

Orang asertif cenderung mengejar apa yang diinginkan dan berusaha agar sesuatu itu terjadi serta sadar akan dirinya bahwa ia tidak dapat selalu menang, maka ia menerima keterbatasannya, akan tetapi ia

(4)

selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dengan usaha yang sebaik-baiknya dan sebaliknya orang yang tidak asertif (pasif) selalu menunggu terjadinya sesuatu.

d. Bertindak dengan cara yang dihormatinya

Karena sadar bahwa ia tidak dapat selalu menang, ia menerima keterbatasannya. Namun demikian ia tetap berusaha mencapai sesuatu dengan usaha sebaik-baiknya, sehingga baik ia berhasil ataupun gagal, ia tetap memiliki harga dirinya.

3. Pola Perilaku Asertif

Berikut merupakan keseluruhan pola perilaku gaya asertif (Burley-Allen, 1995) antara lain :

a. Isyarat Nonverbal

1) Gerakan :menjangkau, terbuka

2) Ekspresi wajah :penuh perhatian, tertarik, responsif, kongruen dengan apa yang diungkapkan

3) Kontak mata :langsung, kontak mata yang baik 4) Postur :santai, terbuka

5) Nada suara :sedang, volume sesuai

6) Kecepatan bicara :moderat, bervariasi tergantung pada situasi b. Perilaku

Individu yang asertif akan tahu apa yang dibutuhkan dan mengembangkan rencana untuk mendapatkannya, berorientasi pada tindakan, tegas, percaya diri, bertanggung jawab, memiliki harapan

(5)

yang realistis, menekankan sifat positif diri dan orang lain, cukup adil, konsisten, proaksi, mengambil tindakan yang tepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan tanpa melanggar hak orang lain.

c. Isyarat verbal

Kata-kata yang digunakan biasanya seperti “saya memilih untuk” “apa saja pilihan kita?”, “mari membicarakannya”, “saya setuju bahwa saya bisa saja mengambil tindakan lain”.

d. Motto dan Beliefs

Gaya asertif memiliki keyakinan meliputi : bersedia untuk belajar dari kesalahan, mengoreksi kesalahan, mempercayai diri sendiri dan orang lain, mengetahui ketegasan itu tidak berarti selalu menang; tetapi menangani situasi seefektif mungkin, menghargai diri sndiri dan orang lain, memberikan penguatan positif untuk diri sendiri dan orang lain, "saya memiliki hak dan begitu juga orang lain,” “menghakimi tidak akan meningkatkan keefektifan saya.”

e. Karakteristik

Karakteristik dari gaya asertif antara lain : Tidak menghakimi, mengamati perilaku daripada memberi label, menerima dan menghormati diri sendiri dan orang lain, pemaaf, pengertian, mempercayai diri sendiri dan orang lain, penuh kasih, antusias, percaya diri, sadar diri, konsep diri dan harga diri positif, tanggung jawab, toleran, sabar, terbuka, fleksibel, serba bisa, gigih,

(6)

menyenangkan, rasa humor, tahu apa yang dia inginkan dan mengembangkan rencana untuk mendapatkannya, tegas, inisiatif. f. Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah dengan gaya asertif antara lain : win-win solution, negosiasi, tawar-menawar, kompromi, memecahkan masalah dengan menjelajahi alternatif, siap menghadapi masalah, tidak membiarkan perasaan negatif, mengklarifikasi kesalahpahaman, belajar keterampilan pemecahan masalah.

g. Feelings felt

Beberapa perasaan yang menggambarkan gaya asertif seperti sukacita, antusiasme, kegembiraan, kesejahteraan.

h. Gaya komunikasi

Individu asertif memiliki cara berkomunikasi antara lain : efektif, pendengar yang aktif, positif citra diri, menyatakan batasan, harapan, mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang tidak masuk akal, mendengarkan dengan pengertian tanpa menilai, menunjukkan keseimbangan komunikasi verbal dan nonverbalnya, dua arah, mendorong umpan balik, langsung, openminded, mengungkapkan diri secara langsung, jujur, dan sesegera mungkin tentang perasaan dan keinginan, menyatakan sesuatu dengan jelas, memeriksa perasaan orang lain.

(7)

i. Efek

Gaya asertif memiliki efek terhadap diri sendiri seperti : meningkatkan harga diri dan percaya diri, menghasilkan banyak energi, merasa puas, merasa baik tentang diri sendiri. Adapun efeknya pada orang lain seperti : meningkatkan harga diri dan percaya diri, merasa termotivasi dan dipahami, semangat tinggi, merasa didengarkan dan diakui, tahu di mana posisi mereka.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan asertivitas menurut Rathus & Nevid (1980), antara lain:

a. Jenis kelamin

Wanita pada umumnya lebih sulit bertingkah laku asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki. Wanita diharapkan lebih banyak menurut dan tidak boleh mengungkapkan pikiran dan perasaannya bila dibandingkan dengan laki-laki, artinya pengkondisian budaya untuk wanita cenderung membuat wanita menjadi lebih sulit mengembangkan asertivitasnya. b. Harga diri

Harga diri seseorang turut mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki harga diri yang tinggi, memiliki kekhawatiran sosial yang rendah sehingga ia mampu mengungkapkan pendapat dan perasaannya tanpa merugikan dirinya maupun orang lain.

(8)

c. Kebudayaan

Tuntutan lingkungan menentukan batasan-batasan perilaku masing-masing anggota masyarakat sesuai dengan umur, jenis kelamin, dan status sosial seseorang.

d. Tingkat pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka semakin luas wawasan berpikirnya sehingga kemampuan untuk mengembangkan diri lebih terbuka.

e. Situasi-situasi tertentu disekitarnya

Kondisi dan situasi dalam arti luas, misalnya posisi kerja antara bawahan terhadap atasannya, ketakutan yang tidak perlu (takut dinilai kurang mampu), situasi-situasi seperti kekhawatiran mengganggu dalam keadaan konflik.

Adapun Rathus dan Nevid (1980) juga mengungkapkan beberapa faktor-faktor yang dapat menghambat munculnya asertivitas antara lain :

a. Pengaruh budaya dan relasi sosial setempat. Dalam suatu kebudayaan tertentu, individu diharuskan untuk lebih menerima dan selalu setuju dengan pendapat orang lain, sehingga dalam sistem masyarakat ini tidak ada kesempatan untuk memunculkan tingkah laku asertif.

b. Pandangan-pandangan yang menyesatkan tentang cara-cara atau etika bertingkah laku, seperti:

(9)

1) Mitos rendah hati (Myth of modesty), sehingga individu tidak terbiasa menerima pujian atau kritik yang akhirnya individu tersebut menjadi ‘risi’ atau salah tingkah.

2) Mitos sahabat karib (Myth of good friends), yang berpandangan bahwa teman baik sudah mengetahui apa perasaan dan pikiran individu sehingga individu merasa tidak perlu lagi menyatakan pikiran dan perasaannya. Hal tersebut sering menimbulkan kesalahpahaman karena persepsi yang berbeda tentang suatu hal.

c. Konflik-konflik pribadi

1) Pola asuh yang salah atau tidak menguntungkan, dimana hal ini membuat tidak adanya kesempatan untuk mengembangkan tingkah laku asertif.

2) Perkembangan kepribadian terhambat, sehingga individu belum mencapai taraf kedewasaan tertentu.

3) Pengaruh peer group, individu akan bertingkah laku cenderung sama dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peer group nya, agar ia diterima dalam kelompok tersebut sehingga bila dalam kelompok tersebut tidak ada kesempatan untuk mengembangkan asertivitas maka individu tersebut akan bertingkah laku non-asertif.

d. Sasaran bertingkah laku non-asertif adalah untuk menyenangkan atau memuaskan orang lain, menghindari celaan orang lain dan

(10)

menghindari konflik. Individu yang non-asertif mengarah pada kehidupan mengingkari diri sendiri yang menyebabkan mereka menderita dalam hubungan interpersonal. Kadang-kadang juga menimbulkan konsekuensi emosional dan fisik, misalnya selalu cemas, tegang, bingung dan merasa tidak nyaman dalam menjalin relasi sosial sedangkan tingkah laku agresif selalu berkesan superioritas dan tidak adanya respek terhadap orang lain. Dengan berprilaku agresif berarti menempatkan keinginan, kebutuhan dan hak diatas milik orang lain. Tidak seorang pun senang bergaul dengan ‘tukang gertak’, sehingga didalam relasi interpersonalnya mereka selalu ’terbentur’ dan mempunyai masalah relasi sosial.

B. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh

Dariyo (2004) mengemukakan bahwa para ahli perkembangan sepakat dimana pola asuh orang tua amat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Menurut Santrock (2002), pola asuh merupakan cara orang tua terhadap anak-anak mereka yang menghadapi masa remaja untuk tumbuh menjadi individu yang matang secara sosial. Sedangkan menurut Grusec (Rathus, 2007), pola asuh merupakan pandangan tradisional di mana anak akan memperoleh nilai-nilai dan standar perilaku.

Baumrind (Marini & Andriani, 2005) mengatakan pola asuh orangtua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara

(11)

orangtua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Selanjutnya pola asuh menurut Gunarsa (2000) merupakan pola interaksi antara anak dengan orang tua yang meliputi bukan hanya pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis tetapi juga norma-norma yang berlaku di masyarakat, agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara orang tua berinteraksi terhadap anak mereka dengan mengajarkan norma-norma masyarakat yang bertujuan agar anak dapat mencapai kematangan sosial dan yang mana hal ini sangat dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak nantinya.

2. Jenis dan Dampak Pola Asuh Orang Tua

Baumrind (Papalia, Olds dan Feldman, 2008; Dariyo, 2004) membagi pola asuh orang tua menjadi tiga yakni otoritarian, permissif dan otoritatif.

a. Pola Asuh otoritarian (Parent Oriented)

Ciri-ciri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak. Gaya pengasuhan ini juga memandang pentingnya kontrol dan kepatuhan. Mereka mencoba membuat anak menyesuaikan diri dengan serangkaian standar perilaku. Orang tua bertindak semena- mena dan cenderung menghukum secara keras atas pelanggaran yang dilakukan anak, tanpa dapat dikontrol oleh

(12)

anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang di perintahkan oleh orang tua. Mereka menjadi terlepas (detached) dan kurang hangat dibandingkan orang tua lain.

Dalam hal ini anak seolah-olah menjadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut, kurang percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan; tetapi di sisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba (alcohol or drug abuse).

Dari segi positifnya, anak yang di didik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal ini tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu. b. Pola Asuh Permisif.

Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga di tangan anak. Apa yang di lakukan oleh anak di perbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Mereka menghargai ekspresi diri dan regulasi diri. Mereka mengizinkan anak utuk memonitor aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Mereka hangat, tidak mengontrol, tidak menuntut dan jarang menghukum.

(13)

Anak mereka cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Ia bebas melakukan apa saja yang di inginkan. Dari sisi negatif lain, anak kurang disiplin dengan aturan- aturan sosial yang berlaku. Anak menjadi cenderung tidak dewasa - sangat kurang kontrol diri dan kurang eksplorasi. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang mandiri, kreatif, inisiatif dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

c. Pola Asuh Otoritatif

Dalam pola asuh ini, kedudukan orang tua dan anak sejajar. Orang tua menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan batasan sosial. Mereka memiliki keyakinan diri akan kemampuan mereka membimbing anak tetapi mereka juga menghormati independensi keputusan, ketertarikan, pendapat, dan kepribadian anak. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak di beri kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang di lakukan oleh anak tetap harus di bawah pengawasan orang tua dan dapat di pertanggung jawabkan secara moral.

Mereka mencintai dan menerima, tetapi juga menuntut perilaku yang baik, kokoh dalam mempertahankan standar dan memberi hukuman dengan bijaksana dan terbatas ketika hal itu memang dibutuhkan. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi

(14)

seorang individu yang mempercayai orang lain, independen, terkontrol, asertif, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, berisi, dan jujur. Anak-anak juga tampaknya merasa aman ketika mengetahui bahwa mereka dicintai dan dibimbing secara hangat. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus di pertimbangkan anak-orang tua.

d. Pola Asuh Situasional

Dalam kenyataannya, sering kali pola asuh tersebut tidak di terapkan secara kaku, artinya orang tua tidak menerapkan salah satu tipe pola asuh tersebut. Ada kemungkinan orang tua menerapkan secara fleksibel, luwes dan di sesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu. Sehingga sering kali muncullah tipe pola asuh situasional. Orang yang menerapkan pola asuh ini, tidak berdasarkan pada pola asuh tertentu, tetapi semua tipe tersebut di terapkan secara luwes (Dariyo, 2004).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Orang Tua

Seperti semua sikap, sikap orang tua terhadap anak merupakan hasil belajar. Hurlock (1978) menyebutkan faktor-faktor yang ikut menentukan sikap apa yang akan dipelajari, yang paling umum di antaranya adalah :

a. Konsep “anak idaman” yang terbentuk sebelum kelahiran anak sangat diwarnai romantisme, dan didasarkan atas gambar anak

(15)

ideal orang tua itu. Bila anak gagal memenuhi harapan orang tua, orang tua merasa kecewa dan mulai bersikap menolak.

b. Pengalaman awal dengan anak mewarnai sikap orang tua terhadap anaknya sendiri. Orang tua yang sebagai anak keluarga besar, dulu diharuskan ikut mengasuh adik-adiknya mungkin mempunyai sikap yang kurang positif terhadap semua anak, termasuk anaknya sendiri, berbeda dengan orang tua yang sebagai anak mempunyai pengalaman yang bahagia dengan saudara kandungnya.

c. Nilai budaya mengenai cara terbaik memperlakukan anak, secara otoriter, demokratis maupun permisif, akan mempengaruhi sikap orang tua dan cara mereka memperlakukan anak mereka sendiri.

d. Orang tua yang menyukai peran orang tua, merasa bahagia, dan mempunyai penyesuaian yang baik terhadap perkawinan, mempunyai sikap yang mencerminkan penyesuaian yang baik ini terhadap anak mereka.

e. Bila orang tua merasa mampu berperan sebagai orang tua, sikap mereka terhadap anak dan perilakunya jauh lebih baik dibandingkan sikap mereka yang merasa kurang mampu dan ragu-ragu.

(16)

f. Orang tua yang merasa puas dengan jenis kelamin, jumlah, dan ciri-ciri watak anaknya mempunyai sikap yang lebih menguntungkan dari orang tua yang tidak puas.

g. Kemampuan dan kemauan untuk menyesuaikan diri dengan pola kehidupan yang berpusat pada keluarga sesudah bertahun-tahun menikmati pola yang egosentris akan menentukan bagaimana sikap orang tua terhadap anak yang menyebabkan diperlukannya pergeseran dalam peran ini.

h. Jika alasan untuk mempunyai anak adalah mempertahankan perkawinan yang retak dan hal ini tidak berhasil, sikap terhadap anak akan sangat kurang positif dibandingkan dengan sikap orang tua yang menginginkan anak untuk memperbesar kepuasan mereka dengan perkawinan mereka.

i. Cara anak bereaksi terhadap orang tua mempengaruhi sikap orang tua terhadapnya. Jika anak menunjukkan cinta kasihnya dan bergantung pada orang tuanya, reaksi orang tua terhadap mereka sangat berbeda dari pada bila anak itu mandiri dan lebih akrab dengan orang lain daripada dengan mereka.

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Remaja (adolescentia) disebut sebagai masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya

(17)

perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Fase remaja merupakan masa perkembangan individu yang sangat penting. Alberty (dalam Saefullah, 2012) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode dalam perkembangan yang dijalani seseorang yang terbentang sejak berakhirnya masa kanak-kanak sampai awal masa dewasa.

Para ahli perkembangan umumnya sepakat dengan rentangan masa remaja yang berlangsung dari usia 11-13 tahun sampai dengan 18- 20 tahun (Saefullah, 2012). Pada rentangan periode ini (sekitar 6-7 tahun) terdapat beberapa indikator perbedaan yang signifikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Oleh karena itu, para ahli mengklasifikasikan masa remaja ini ke dalam dua bagian, yaitu : (1) remaja awal (11-13 tahun s.d 14-15 tahun); dan (2) remaja akhir (14-16 tahun s.d 18-20 tahun).

Saefullah (2012) juga menemukan berbagai tafsiran dari para ahli tentang masa remaja.

1. Freud menafsirkan masa remaja sebagai masa mencari hidup seksual yang mempunyai bentuk yang definitif.

2. Charlotte Buhler menafsirkan masa remaja sebagai masa kebutuhan isi mengisi.

3. Spranger memberikan tafsiran masa remaja sebagai masa pertumbuhan dengan perubahan struktur kejiwaan yang fundamental.

(18)

4. Hofmann menafsirkan masa remaja sebagai masa pembentukan sikap- sikap terhadap segala sesuatu yang dialami individu. 5. G. Stanley Hall menafsirkan masa remaja sebagai masa strom

and drang (badai dan topan).

Saefullah (2012) juga mengungkap definisi remaja menurut WHO yaitu masa pertumbuhan dan perkembangan individu dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda- tanda seksual sekundernya (fisik) sampai ia mencapai kematangan seksual serta mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. Di sini terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Terdapat beberapa tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (Dariyo, 2004) yaitu sebagai berikut :

a. Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis. Diketahui bahwa perubahan fisiologis yang di alami oleh individu, mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi ia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis (seksual), namun bila di penuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itulah remaja mengalami dilema. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri (adjustment) dengan baik.

(19)

b. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita. Dalam hal ini, seorang remaja di harapkan dapat bergaul dan menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang di dasarkan atas saling menghargai dan saling menghormati antara satu dengan yang lainnya, tanpa menimbulkan efek samping yang negatif. Pergaulan dengan lawan jenis ini sebagai suatu hal yang amat penting, karena dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan pernikahan nanti.

c. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang lain.

Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, di bandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman-teman tetangga, teman sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada orang tua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya (peer-group), di bandingkan kehidupan remaja dengan keluarganya. d. Remaja bertugas untuk menjadi warga Negara yang bertanggung

jawab.

Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan

(20)

formal maupun non-formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keterampilan/keahlian yang professional. Oleh Schaie (Dariyo, 2004) masa tersebut di istilahkan sebagai masa aquisitif yakni masa di mana remaja berusaha untuk mencari bekal pengetahuan dan keterampilan/keahlian guna mewujudkan cita-citanya, agar menjadi seorang ahli yang professional di bidangnya. Warga Negara yang bertanggung jawab ditandai dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat. Karena itu, adalah hal yang wajar, agar remaja dipersiapkan dan mempersiapkan diri secara matang dengan sebaik-baiknya.

e. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis.

Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan menguasai ilmu dan keahlian tersebut, ialah untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan yang layak sehingga dapat menutupi diri sendiri maupun keluarganya nanti. Sebab keinginan terbesar seorang individu (remaja) adalah menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung dari orang tua secara psikis maupun secara ekonomis (keuangan). Karena itu, seringkali remaja mengambil keputusan dengan cara bekerja paruh baya, disela-sela jam belajarnya (part-timer),

(21)

misalnya menunggu toko, memberi les privat untuk pelajaran SD/SMP, dan sebagainya.

3. Karakteristik Masa Remaja

Periode ini dinilai sangat penting, bahkan Erik Erikson (Saefullah, 2012) menyatakan bahwa seluruh masa depan individu sangat bergantung pada penyelesaian krisis pada masa ini. Sebagai periode yang paling penting, masa remaja memiliki karakteristik yang khas dibanding dengan perkembangan lainnya, yaitu sebagai berikut :

a. Masa Remaja adalah Periode yang Penting

Dianggap masa yang penting karena memiliki dampak langsung jangka panjang dari yang terjadi pada masa ini. Selain itu perkembangan fisik dan psikologis individu yang cepat pada masa ini juga berdampak penting. Kondisi ini yang menuntut remaja untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan melihat pentingnya menetapkan sikap, nilai-nilai, dan minat yang baru. b. Masa Remaja adalah Masa Peralihan

Periode ini menuntut anak untuk meninggalkan sifat kekanak-kanakan dan harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola perilaku sebelumnya.

c. Masa Remaja adalah Periode Perubahan

Terdapat lima karakteristik perubahan yang khas dalam periode ini, yaitu (a) peningkatan emosionalitas, (b) perubahan cepat

(22)

yang menyertai kematangan seksual, (c) perubahan tubuh, minat, dan peran yang dituntut oleh lingkungan yang menimbulkan masalah baru, (d) karena perubahan minat dan pola perilaku, terjadi pula perubahan nilai, (e) kebanyakan remaja merasa ambivalen terhadap perubahan yang terjadi.

d. Masa Remaja adalah Usia Bermasalah

Hal ini disebabkan oleh dua alasan, yaitu pada saat anak-anak, sebagaian masalah diselesaikan oleh orangtua atau guru, sedangkan pada masa ini, remaja dituntut untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena dituntut untuk mandiri, mereka sering menolak untuk dibantu oleh orangtua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

e. Masa Remaja adalah Masa Pencarian Identitas Diri

Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara, dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya.

f. Masa Remaja adalah Usia yang Ditakutkan

Masa remaja sering ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran negatif yang ada di benak masyarakat mengenai perilaku remaja memengaruhi cara mereka berinteraksi. Hal ini membuat remaja merasa takut untuk

(23)

menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orangtua ataupun guru untuk memecahkan masalahnya.

g. Masa Remaja adalah Masa yang Tidak Realistis

Remaja memandang dirinya dan orang lain sebagaimana mereka inginkan dan bukan sebagai dia sendiri. Hal ini terlihat pada aspirasinya. Aspirasi yang tidak realistis ini tidak sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi bagi keluarga dan teman. Semakin tidak realistis aspirasi mereka, akan semakin marah dan kecewa apabila aspirasi tersebut tidak dapat mereka capai.

h. Masa Remaja adalah Ambang dari Masa Dewasa

Pada saat remaja mendekati masa ketika dianggap dewasa secara hukum, mereka merasa cemas dengan stereotipe remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka mendekati dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa sering tidak cukup, sehingga mereka mulai untuk memerhatikan perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang dewasa, seperti merokok, minum, menggunakan obat-obatan, bahkan melakukan hubungan seksual.

(24)

D. Kerangka Pemikiran

Dari gambar diatas dijelaskan bahwa pola asuh orang tua yang terbagi menjadi tipe otoritatif, otoritarian dan permisif diduga memiliki hubungan dengan tinggi rendahnya asertivitas yang dimiliki remaja dalam penelitian ini. Merujuk pada kesepakatan para ahli perkembangan dimana dikatakan bahwa pola asuh orang tua dapat amat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak (Dariyo, 2004). Tidak terkecuali pula peran pola asuh ini dalam mempengaruhi perkembangan asertivitas seseorang.

Sebagaimana Harris (dalam Prabana, 1997) mengatakan bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orangtua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang pada akhirnya menentukan Pola Asuh Orang Tua

(Baumrind) :

1.Otoritatif (authoritative) 2.Otoritarian

(authoritarian) 3.Permisif (permissive)

Asertivitas (Fensterheim & Baer ):

1.Mampu mengemukakan perasaan dan pendapat 2.Mampu berkomunikasi 3.Mempunyai pandangan

aktif tentang hidup

4.Bertindak dengan cara yang dihormati

(25)

pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak.

Rathus dan Nevid (1995) juga menjelaskan bahwa pola asuh yang salah atau tidak menguntungkan menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat munculnya asertivitas. Artinya pola asuh yang tidak menguntungkan disini ialah pola pengasuhan yang tidak memberi kesempatan pada anak mereka untuk mengembangkan tingkah laku asertif. Sehingga asertivitas pun tidak dapat muncul dalam diri seseorang tersebut.

Penelitian Jenaabadi, Pourghaz, dan Efteghari (2014) menemukan adanya hubungan antara pola asuh dengan asertivitas pada siswa di sekolah menengah atas. Dalam penelitiannya pola asuh otoritatif diyakini menjadi pilihan yang lebih tepat dari dua tipe pola asuh lainnya. Dimana orang tua otoritatif memiliki tuntutan yang wajar terhadap anak dengan tetap bertoleransi, menerima dan memberi kehangatan pada anak. Anak-anak dari orang tua yang berwibawa ini akan memiliki tingkat kompetensi kognitif dan sosial yang lebih tinggi, serta interaksi yang lebih baik dengan orang lain termasuk pula dalam mempengaruhi perilaku asertifnya.

Hal ini sebagaimana Marini dan Andriani (2005) yang meneliti mengenai asertivitas remaja ditinjau dari perbedaan pola asuh orang tua. Dimana dalam penelitiannya ia juga menemukan hal yang sama, subjek dengan pola asuh authoritative cenderung lebih asertif dibandingkan subjek dengan pola asuh authoritarian, permissive dan uninvolved.

(26)

Hal ini jelas sebagaimana telah lebih dulu dinyatakan Baumrind (dalam Papalia, Olds dan Feldman, 2008) yang mengklasifikasikan dampak-dampak yang berbeda dari perbedaan gaya pengasuhan orangtua. Ia menekankan adanya keuntungan bila seseorang diasuh dalam tipe pengasuhan otoritatif. Dimana anak dengan pola asuh ini akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, independen, terkontrol, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, serta menjadi lebih asertif.

Selaras dengan hal tersebut, penelitian Seyrdowleh, Barmas, dan Asadzadeh (2014) juga menemukan pentingnya peranan pola asuh dalam mempengaruhi asertivitas atau sikap ketegasan anak. Dimana melalui dukungan yang diberikan seperti pada orang tua demokratis, anak menjadi mampu untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka. Sehingga gaya pengasuhan demokratis ini diyakini dapat menjadikan seorang anak lebih tegas atau asertif. Berbeda dengan gaya otoriter dimana pola pengasuhan ini menyebabkan permusuhan antara orang tua dan anak-anak mereka dengan tidak adanya dukungan efektif dari orang tua yang pada akhirnya menyebabkan anak memiliki asertivitas yang cenderung rendah.

Gaya pengasuhan memang merupakan faktor penentu yang efektif memainkan peran penting dalam perkembangan anak. Dari ketiga tipe gaya pengasuhan berbeda yang diadopsi oleh orang tua hal ini secara signifikan berdampak pada berbagai aspek kehidupan dan pengurangan kecemasan individu (Dabiri, 2011). Maka berdasarkan beberapa penelitian-penelitian terdahulu, peneliti berasumsi bahwa pola asuh baik otoritatif, otoritarian dan

(27)

permisif ketiganya memiliki kaitan masing-masing dengan asertivitas remaja Sehingga diduga ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan asertivitas remaja di Pondok Pesantren.

E. Hipotesis

Berdasarkan apa yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Hipotesis alternatif (Ha) : Terdapat hubungan antara pola asuh dengan asertivitas pada remaja di Pondok Pesantren Daarul Rahman. 2. Hipotesis alternatif (H0) : Tidak terdapat hubungan antara pola asuh

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan modul elektronik ini didasarkan pada asumsi bahwa memasuki era Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sekarang ini sangat dirasakan kebutuhan dan

Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa informan terkait pendapat informan definisi SISRUTE, informan mengatakan bahwa SISRUTE adalah Sistem rujukan

Telah ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara stres infertilitas dengan kesepian pada wanita infertil di Bali yang menunjukkan bahwa semakin

Kualitas bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP kelas IX adalah (1) bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP

PROSEDUR C : DAILY SELF DECLARATION FORM PROSEDUR D :SANITASI BILIK SEBELUM MENDAFTAR PROSEDUR E : TINDAKAN KECEMASAN.. PROSEDUR F : SENARAI NAMA DIHUBUNGI

Dalam Divisi Pemasaran dan Pelayanan Pelanggan Praktikan ditugaskan dengan hal yang berkaitan dengan pelayanan pelanggan dari Unit Bisnis Pulomas Office Park seperti

3. Persentase ketuntasan belajar siswa baru mencapai 55,9%; sedangkan target persentase yang harus dicapai adalah 70%. Rata-rata skor tes.. Deskripsi Kegiatan Pembelajaran

(1) Software Design Document (SDD) yang berisi mengenai perancangan pendahuluan untuk setiap CSCI agar mengalokasikan kebutuhan- kebutuhan yang didefinisikan di dalam SRS dan IRS