• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penentuan Rasio Rosella dengan Larutan Pengekstrak (Aquades)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penentuan Rasio Rosella dengan Larutan Pengekstrak (Aquades)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Rasio Rosella dengan Larutan Pengekstrak (Aquades)

Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (solvent) sebagai agen pemisah. Salah satu tujuan ekstraksi pada tanaman obat adalah untuk memperoleh komponen bioaktif yang berkhasiat sebagai pangan fungsional. Komponen bioaktif dari suatu bahan pangan memegang peranan penting dalam memberikan efek kesehatan. Komponen aktif yang terdapat pada bahan tanaman dikenal dengan istilah fitokimia. Pengertian fitokimia adalah suatu bahan dari tanaman (phytos = tanaman), yang dapat memberikan fungsi-fungsi fisiologis untuk pencegahan penyakit. Bahan yang dimaksud adalah senyawa kimia berupa komponen bioaktif yang dapat digunakan untuk pencegahan atau pengobatan penyakit (Ardiansyah. 2006). Menurut Hansawasdi et al (2000), Jong-Anurakkun et al (2007), Chethan et al (2008) dan McDougall et al (2008) komponen bioaktif yang berperan sebagai inhibitor enzim α-amilase, α-glukosidase dan lipase termasuk dalam golongan polifenol dan asam hibiscus yang mudah larut dalam air. Menurut Suradikusuma (1989), senyawa fenol yang berikatan dengan protein maupun gula glikosida cenderung mudah larut pada pelarut aquades dibandingkan dengan senyawa yang lain.

Air merupakan pelarut polar yang mampu melarutkan zat kimia tertentu,zat terlarut (solute), yang bersifat polar. Senyawa polar memiliki momen dipol, sehingga selalu punya muatan, antar sesama senyawa polar akan saling larut karena muatan-muatan didalamnya akan saling berikatan. Senyawa non polar akan lebih sulit larut dalam air yang bersifat polar karena tidak mempunyai momen dipol, sehingga tidak memiliki muatan untuk berikatan dengan senyawa polar (Bloch. 2006). Perbandingan antara sampel dan pelarut yang tepat akan menghasilkan ekstrak dengan total padatan terlarut tertinggi yang diharapkan dapat sebagai sumber senyawa bioaktif yang optimum.

Pada tahap ini dilakukan 5 variasi perbandingan antara rosella dan aquades yaitu 1:1; 1:2; 1:3; 1:4 dan 1:5. Berdasarkan hasil ekstraksi diketahui rasio rosella

(2)

dan aquades 1:3 memiliki tingkat warna yang lebih gelap, nilai total padatan terlarut sebesar 0,6%, dibandingkan dengan rasio lainnya. Total padatan terlarut pada rasio 1:1, 1:2, 1:4 dan 1:5 secara berturut-turut adalah 0,1%, 0,3%, 0,2%, 0,2%. Menurut Chumsri et al (2008) total padatan terlarut ekstrak rosella segar dengan rasio rosella dan aquades 1:5 pada suhu 60o C selama 60 menit adalah 0,8%. Perbedaan hasil penelitian tersebut diduga karena perbedaan suhu dan waktu ekstraksi serta jenis rosella yang digunakan.

Gambar 10. Nilai total padatan terlarut pada berbagai rasio sampel dengan aquades.

Pada rasio 1:1 dan 1:2 sampel tidak seluruh terendam setelah dihancurkan dengan blender, masih ada sebagian hancuran sampel tidak terendam dalam aquades, sehingga tidak semua hancuran sampel dapat terekstrak sempurna. Pada rasio 1:3; 1:4 dan 1:5 seluruh hancuran sampel dapat terendam sempurna dalam aquades. Perbandingan sampel dan aquades sebesar 1:3 memiliki total padatan terlarut paling tinggi sebab dengan meningkatnya jumlah pelarut yang digunakan ekstrak yang didapat semakin encer dan menghasilkan total padatan terlarut yang lebih rendah. Total padatan terlarut; 1˸1; 0,1% Total padatan terlarut; 1˸2; 0,3% Total padatan terlarut; 1˸3; 0,6% Total padatan terlarut; 1˸4; 0,2% Total padatan terlarut; 1˸5; 0,2% To tal p ad atan t e rl ar u t

(3)

4.2 Karakterisasi Ekstrak

Proses ekstraksi dilakukan pada penangas air bergoyang dengan 3 variasi suhu 70o C, 85o C, 100o C dan 2 variasi waktu 15 dan 30 menit. Ekstrak yang telah dihasilkan kemudian ditepatkan kembali pada volume 230 ml (setiap 1ml ekstrak mengandung 0,21 gram kelopak rosella basah) dan diukur pH masing-masing ekstrak setelah ditepatkan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa semakin tinggi dan lama waktu ekstraksi maka volume ekstrak semakin tinggi. Diduga pada suhu yang semakin tinggi kemampuan sampel menahan air dan komponen- komponen larut air semakin rendah sehingga semakin banyak komponen larut air yang terbebaskan dan bercampur dengan aquades. Hal tersebut menyebabkan volume ekstrak akhir sama atau lebih besar dari volume awal. Peningkatan suhu akan menurunkan kemampuan bahan pangan menahan air yang mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan akibat pemanasan yang tidak dapat kembali (Purnomo. 1995). Menurut Duke (2008) rosella segar memiliki kadar air sebesar 80%.

Karakterisasi ekstrak dilakukan dengan melihat pH, total fenol dan total asam tertitrasi. Analisis pH, total fenol dan total asam tertitrasi dilakukan untuk mengetahui karakter dari ekstrak yang digunakan dalam analisis inhibisi enzim, sehingga dapat diamati hubungan antara karakter ekstrak dengan kemampuan farmakologi ekstrak.

4. 2. 1 Nilai Keasaman (pH)

Skala pH bersifat logaritmik, yang berarti perbedaan 1 unit pH dari 2 buah larutan menunjukkan bahwa larutan yang satu mempunyai konsentrasi H+ 10 kali konsentrasi H+ pada larutan yang lain. Istilah pH ditentukan oleh persamaan berikut :

pH = log 1 = - log [H+] [H+]

Pengukuran pH adalah salah satu prosedur yang paling penting, karena pH menetukan banyak peranan penting dari struktur dan aktivitas makromolekul biologi seperti aktivitas katalitik enzim (Lehninger. 1994).

(4)

Perlakuan suhu dan lama pemanasan pada saat ekstraksi tidak berpengaruh pada pH ekstrak. Nilai keasaman (pH) awal ekstrak rosella relatif seragam yaitu antara 2,78-2,86 (Gambar 11, Lampiran 1), sedangkan pH minuman rosella komersial pada umumnya antara pH 3-4. Rosella mengandung asam-asam organik seperti asam sitrat, asam askorbat dan asam hibiscus yang akan menyebabkan ekstrak rosella menjadi bersifat asam. Hart et al (2003) menyatakan total asam pada sampel akan berkorelasi dengan nilai pH sampel. Pada umumnya semakin tinggi asam pada sampel maka nilai pH akan semakin rendah, akan tetapi hal tersebut tidak berlaku pada beberapa kondisi. Hasil uji analisis sidik ragam menunjukkan nilai pH tidak berbeda pada berbagai kondisi ekstraksi (Lampiran 2).

Gambar 11. Nilai pH dan total asam tertitrasi ekstrak rosella

4. 2. 2 Total Asam Tertitrasi

Total asam tertitrasi adalah penentuan total asam yang terdapat pada sampel. pH merupakan kekuatan asam pada sampel, sedangkan total asam tertitrasi adalah jumlah asam yang terdapat pada sampel (Hart et al. 2003). Penentuan total asam tertitrasi dapat dilakukan menggunakan titrasi asam basa. Prinsip titrasi asam basa melibatkan reaksi antara asam dengan basa, sehingga akan terjadi perubahan pH larutan yang dititrasi. Dalam prosedur ini sejumlah volume tertentu dari asam

c 6.63 a 5.43 a 5.74 5.57 a b 6.23 d 9.06 a' 2.85 2.85 a' 2.86 a' a' 2.85 a' 2.78 a' 2.86 TA T (% ) d an p H Kondisi Ekstraksi

Total asam tertitrasi (%) pH

(5)

dititrasi oleh larutan basa, biasanya sodium hidroksida (NaOH) yang mempunyai konsentrasi yang diketahui dengan tepat. NaOH ditambahkan perlahan-lahan sampai titik netralisasi asam tercapai (pH 7). Dengan mengetahui volume dan konsentrasi NaOH yang ditambahkan, konsentrasi asam di dalam larutan dapat dihitung. Pemetaan pH larutan terhadap jumlah NaOH yang ditambahkan sampai titik netralisasi disebut kurva titrasi (Lehninger. 1994).

Data hasil penelitian nilai total asam tertitrasi menunjukkan perlakuan ekstraksi menghasilkan TAT yang berbeda pada ekstrak rosella, sedangkan pH tidak. Hal tersebut diduga karena jenis asam yang terekstrak berbeda pada berbagai kondisi ekstraksi, sehingga total asam tertitrasi tidak berkorelasi negatif terhadap pH ekstrak. Al-Shoosh (1997) menyatakan jenis asam organik pada rosella terdiri atas asam hibiscus ((-)-Hydroxycitricacid/ HCA), asam malat, asam askorbat, asam sitrat dan asam oksalat. Data hasil penelitian nilai total asam tertitrasi ekstrak rosella terlampir pada Lampiran 5.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam diketahui suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh terhadap total asam tertitrasi ekstrak rosella (Lampiran 6). Hasil penelitian menunjukkan secara umum semakin banyak panas yang diterima semakin tinggi total asam tertitrasi ekstrak rosella (Gambar 11), kecuali pada suhu ekstraksi 70o C. Ekstrak 70o C selama 30 menit memiliki total asam tertitrasi yang lebih rendah daripada ekstrak pada kondisi 70o C 15 menit. Hal tersebut diduga karena adanya beberapa asam organik yang tidak tahan terhadap pemanasan, pada kondisi ekstraksi yang semakin lama akan semakin banyak asam organik yang mengalami kerusakan, terutama asam askorbat. Beberapa faktor yang merusak asam askorbat selama pengolahan adalah pemanasan dan penghancuran bahan makanan. Bahan makanan yang telah dipotong dalam bentuk lebih kecil lebih mudah kehilangan kandungan asam askorbat selama proses blanching (pemanasan) dengan air, semakin tinggi suhu dan waktu blanching jumlah asam askorbat yang rusak semakin tinggi (Odland & Eheart. 1975; deMan. 1999). Widjanarko (2008) menyatakan asam askorbat sangat sensitif terhadap senyawa oksidator, sinar dan pemanasan. Asam askorbat dapat rusak pada pemanasan yang ringan dan mudah teroksidasi bila terlarut dalam suatu pelarut, misalnya aquades.

(6)

Kandungan total asam tertitrasi pada kondisi ekstraksi 100o C 30 menit lebih tinggi daripada pada kondisi ekstraksi 100o C 15 menit. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Permawati (2008) yang menyatakan semakin lama waktu ekstraksi pada simpilisia gandarusa maka zat kimia yang terekstrak semakin banyak. Total asam tertitrasi yang dihasilkan pada kondisi ekstraksi 100o C 30- menit menghasilkan total asam tertitrasi paling tinggi dibandingkan dengan kondisi ekstraksi lainnya. Diduga pada suhu yang lebih tinggi asam-asam organik yang bersifat tahan panas semakin banyak yang terekstrak. Beberapa asam organik yang bersifat tahan panas antara lain asam hibiscus (HCA), asam sitrat, asam malat dan asam oksalat. Asam-asam tersebut akan terurai jika dipanaskan pada suhu diatas 100o C. Secara berturut-turut titik didih HCA, asam sitrat, asam malat dan asam oksalat adalah 182o C, 175o C, 135o C dan 100o C ( Jena et al. 2002; Wikipedia. 2011).

4. 2. 3 Total Fenol

Karakter dari komponen fenolik adalah memiliki cincin aromatik dengan satu atau lebih yang berikatan dengan gugus hidroksil. Terdapat lebih dari 8000 struktur fenolik tersebar pada kingdom tanaman yang telah dilaporkan (Strack. 1997). Bentuk komponen fenolik tersebar mulai dari bentuk paling sederhana, bentuk dengan berat molekul ringan, cincin aromatik tunggal hingga kompleks tanin serta turunan polifenol. Klasifikasi komponen fenolik terbagi dalam dua grup yaitu flavonoid dan non flavonoid (Crozier et al. 2006).

Analisis terhadap total fenol sampel dilakukan dengan menggunakan pereaksi Ciocalteau. Pengukuran total fenol dengan metode Folin-Ciocalteau didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi. Reagen folin yang terdiri dari asam fosfomolibdat dan asam fosfotungstat akan tereduksi oleh senyawa polifenol menjadi molibdenum-tungsten (The Grape Seed Method Evaluation Committee, 2001). Reaksi ini membentuk kompleks warna biru. Semakin tinggi kadar fenol pada sampel, semakin banyak molibdenum-tungsten yang terbentuk akibatnya nilai absorbansinya meningkat. Standar polifenol yang digunakan pada uji total fenol adalah asam gallat (asam 3,4,5-hidroksibenzoat) dengan konsentrasi 50,

(7)

100, 150, 200, dan 250 ppm. Asam gallat merupakan asam organik yang memiliki kestabilan yang lebih baik daripada asam tanat. Pada asam gallat gugus OH pada karboksil belum melepaskan hidrogen, sedangkan pada asam tanat hidrogen telah dilepaskan (Crozier et al. 2006) .

Data hasil perhitungan total fenol dapat dilihat pada Gambar 12.

Persamaan linier asam gallat yang diperoleh berdasarkan percobaan adalah y = -0.0044x + 0.1021, dimana y adalah nilai absorbansi dan x adalah konsentrasi

(ppm). Persamaan yang diperoleh dari kurva standar (Lampiran 3) tersebut akan digunakan untuk menentukan kadar fenol pada sampel.

Pada umumnya flavonoid tanaman berada dalam bentuk glikosida. Kelarutan flavonoid bergantung pada gugus hidroksil dan gulanya. Gugus hidroksil dan gula akan meningkatkan kelarutan flavonoid pada air, sedangkan gugus metil dan turunan isopentil akan menyebabkan flavonoid bersifat hidrofobik (tidak larut air). Antosianin merupakan komponen fenolik dalam bentuk glikosida, antosianin berikatan dengan gula pada posisi C ke-3 dan kadang-kadang pada posisi C yang lain (Taiz & Zeiger. 2002). Beberapa flavonoid lain seperti mirisetin, kuercetin, isorhamnetin dan kaempferol juga banyak ditemui dalam bentuk glikosidanya. Umumnya konjugasi dengan glikosida terjadi pada cincin atom C nomor 3, tetapi dapat juga terjadi pada cincin atom C 5, 7, 4, 3 (Crozier et al. 2006). Marete et al (2009) menyatakan beberapa komponen fenolik di alam membentuk kompleks dengan protein.

Analisis sidik ragam dengan selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa suhu ekstraksi berpengaruh terhadap total fenol ekstrak rosella, sedang waktu ekstraksi tidak berpengaruh terhadap total fenol ekstrak (Lampiran 4). Pada uji lanjut analisis ragam dengan taraf signifikansi p < 0,05 terlihat masing-masing suhu ekstraksi saling berbeda nyata. Interaksi antara suhu dan waktu inkubasi saling berpengaruh terhadap total fenol ekstrak pada taraf signifikansi p = 0,07.

(8)

Gambar 12. Kadar total fenol ekstrak rosella

Suhu ekstraksi sangat mempengaruhi terlepasnya komponen fenol dari rosella. Diduga semakin tinggi suhu ekstraksi akan meningkatkan jumlah membran yang pecah akibat pemanasan dan komponen fenol dapat terekstrak. Pada kondisi ekstraksi 70-85o C diduga komponen fenol yang terekstrak sebagian besar adalah komponen fenol dalam bentuk glikosida, sedangkan fenol yang berikatan dengan protein atau fenol murni jumlahnya lebih sedikit. Dengan semakin meningkatnya suhu maka jumlah fenol dalam bentuk glikosida diduga akan semakin menurun. Menurut Taiz & Zeiger (2002) gugus hidroksil dan gula akan meningkatkan kelarutan flavonoid pada air. Marete et al (2009) menyatakan pada suhu ekstraksi di atas 70o C protein dan enzim pengoksidasi telah terdenaturasi sehingga jumlah protein pada ekstrak tanaman feverfew (Tanacetum parthenium) sangat rendah. Diketahui dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi feverfew maka senyawa hasil oksidasi komponen fenol yang berikatan dengan protein semakin kecil. Xu et al (2006) menyatakan dengan semakin meningkatnya suhu ekstraksi pada huyou (Citrus paradisi Changshanhuyou) jumlah komponen fenolik dalam bentuk glikosida akan semakin menurun. Sebagian besar komponen fenol yang terekstrak pada kondisi ekstraksi 100o C diduga adalah tanin. Ekstraksi pada suhu 100o C dapat menyebabkan gula dan beberapa komponen organik pada tanaman pecah dan menghasilkan ekstrak dengan warna yang gelap. Tanin adalah golongan polifenol yang tahan terhadap pemanasan (Pansera et al. 2004; Winarno. 1997).

a 0.49 ab 0.53 b 0.57 ab 0.55 b 0.59 c 0.67 To tal fen o l ( m g GAE /g ) Kondisi Ekstraksi

(9)

Total fenol ekstrak berkisar antara 0,49-0,67 mg GAE/g rosella basah (kadar air 81% (bb)). Data kadar air dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi suhu dan waktu ekstraksi pada 70-85o C (15 dan 30 menit) tidak berpengaruh terhadap total fenol ekstrak rosella kecuali pada suhu 100o C (15 dan 30 menit). Pada suhu ekstraksi 70-85o C diduga PPO masih aktif sehingga interaksi suhu dan waktu ekstraksi tidak banyak berpengaruh terhadap total fenol ekstrak. Enzim PPO akan memungkinkan sejumlah komponen fenolik teroksidasi menjadi bentuk quinon. Suhu diatas 50o C akan menstimulasi kerja enzim yang bersifat panas sedang seperti PPO yang menyebabkan perubahan yang signifikan pada polifenol. Aktivitas optimum enzim berbeda pada setiap tanaman, PPO memiliki aktivitas pada suhu optimum 30-90o C (Capecka et al. 2005; Crozier et al. 2006; Diwakar & Mishra. 2011). Flavonoid pada teh hitam, katekin dan gallokatekin, akan teroksidasi oleh PPO menjadi bentuk quinon yaitu katekin quinon dan gallokatekin quinon (Wan et al. 2008). Diduga pada suhu 100o C PPO sudah tidak aktif lagi sehingga semakin lama interaksi suhu dan waktu ekstraksi, total fenol ekstrak akan semakin meningkat.

Menurut Ayerdi et al (2007), 1 gram rosella kering, dengan kadar air 5% akan setara dengan 18 g rosella basah, yang diekstraksi menggunakan campuran air, metanol dan aseton pada suhu ruang selama 60 menit mengandung total fenol sebesar 0,02 mg GAE/g. Perbedaan hasil penelitian dengan literatur disebabkan oleh beberapa hal yaitu suhu dan waktu ekstraksi, jenis pelarut, berat sampel dan jenis rosella yang digunakan.

4.3 Pengujian Pengaruh pH Sistem Pencernaan terhadap Daya Inhibisi Enzim

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH didefinisikan sebagai logaritma aktivitas ion hidrogen (H+) yang terlarut. Semua reaksi enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi. Pada umumnya enzim aktif pada pH netral, yakni pH cairan mahluk hidup, kecuali enzim pepsin yang bekerja

(10)

pada kisaran pH 1-2,5. Kisaran keaktifan enzim dapat mencapai pH 5-9, atau pada konsentrasi ion Hidrogen 10-9 - 10-5 M (Suhartono . 1989). Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh mulai dicerna di mulut dan dilanjutkan pada organ-organ pencernaan seperti lambung yang memiliki kisaran pH 1-2 dan usus halus dengan kisaran pH 6.8-7.00. Pengujian daya inhibisi enzim dilakukan pada dua nilai pH yang berbeda, yakni pH ekstrak awal dan pada pH 6,8-7 setelah didiamkan selama 30 menit pada pH 2 sebagai simulasi kondisi pH pada pencernaan

4. 3. 1 Inhibisi enzim α-Amilase secara In Vitro

Aktivitas inhibisi enzim α-amilase dilakukan menggunakan 2 enzim dari sumber yang berbeda yaitu α-amilase dari Bacillus sp dan α-amilase yang berasal dari pankreas babi. Babi merupakan hewan mamalia yang merupakan sumber enzim yang murah. Alfa-amilase dari Bacillus sp lebih sulit dihambat daripada aktivitas enzim yang lain. Inhibisi enzim α-amilase menggunakan ekstrak amadumbe (Colocasia esculenta) terhadap berbagai sumber enzim yaitu air liur manusia, barley, kentang, Bacillus sp, Aspergillus sp dan pankreas babi menunjukkan α-amilase dari Aspergillus sp paling tidak bisa dihambat diikuti dengan α-amilase dari kentang dan Bacillus sp (McEwan et al. 2010). Hasil penelitian Marshall et al (1975) menunjukkan inhibitor α-amilase dari kacang jogo (Phaseolus vulgaris) tidak mampu menghambat kerja enzim α-amilase dari Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis, rye dan gandum barley. Inhibitor kacang jogo mampu menghambat kerja enzim α-amilase dari pankreas babi sebesar 97%.

a. Inhibisi enzim α-amilase Bacillus sp.

Enzim α-amilase terdapat pada tanaman, jaringan mamalia dan tersebar luas pada berbagai mikroba. Bacillus merupakan sumber enzim α-amilase jenis thermofil. Genus bacilli penghasil enzim α-amilase antara lain B. acidocaldarius, B. amyloliquifaciens, B. caldolyticus, B. coagulans, B. licheniformis, B. sterothermophillus dan B. subtillis (Suhartono. 1989).

Kontrol positif yang digunakan dalam penelitian ini adalah acarbosa yang diekstrak dari obat tablet dengan merk glukobay. Acarbosa merupakan obat

(11)

antidiabetes yang telah beredar banyak di pasaran dengan kemampuan inhibisi enzim α-amilase dan α-glukosidase.

Gambar 13. Daya inhibisi ekstrak rosella terhadap enzim α-amilase

Keterangan: aktivitas anti α-amilase acarbosa pH awal : 98, 76% ; pH simulasi sistem pencernaan : 65, 22%

Hasil penelitian inhibisi ekstrak rosella terhadap α-amilase dari Bacillus sp menunjukkan inhibisi ekstrak pH awal berbeda dengan ekstrak yang telah mengalami perlakuan (Gambar 13, Lampiran 7). Pada ekstrak awal rosella memiliki daya inhibisi cukup tinggi sebesar 92,93 - 98,65%. Berdasarkan analisis sidik ragam diketahui bahwa pada ekstrak awal adanya perbedaan suhu dan waktu ektraksi tidak berpengaruh pada daya inhibisi α-amilase. Acarbosa sebagai kontrol positif tidak berbeda nyata dengan inhibisi ektrak rosella, nilai aktivitas penghambatannya adalah sebesar 98,76%. Keberadaan asam-asam organik dan asam hibiscus pada ekstrak awal mampu menurunkan pH ekstrak sampai dengan 2,75. Asam-asam organik pada rosella merupakan faktor penting dalam hubungannya dengan penghambatan kerja enzim α-amilase. Selain asam-asam organik komponen bioaktif yang diduga mampu menghambat enzim α-amilase pada rosella adalah komponen polifenol seperti asam gallat, asam vanillat, kuercetin dan trans-sinamat (Hansawasdi et al, 2000; Chethan et al, 2008).

a 93.81 a 92.93 a 97.29 94.08 a 93.40 a a 98.65 b' 40.39 a' 8.48 a' 18.99 a' 9.25 a' 13.91 a' 11.57 In h ib isi e n zi m α -a m ila se B a cillus sp (%) Kondisi Ekstraksi pH awal pH 6,8

(12)

HCA dan asam-asam organik lain mampu menghambat kerja enzim α-amilase dengan cara membuat pH medium dalam suasana asam dengan cara

melepaskan H+ ke dalam medium. Hansawasdi et al (2000) menyatakan HCA mampu menghambat kerja enzim α-amilase dengan cara menurunkan pH secara ekstrim sampai dengan pH 3. HCA merupakan inhibitor lemah bagi kerja enzim α-amilase pada pH 3,5-7. Diduga perubahan gugus-gugus ionik pada enzim akan mengakibatkan perubahan struktur kuartener enzim karena terganggunya ikatan elektrostatik. Hart et al (2003) menyatakan asam amino bersifat amfoterik, artinya berperilaku sebagai asam dan mendonasikan proton pada basa kuat, atau dapat juga berperilaku sebagai basa dan menerima proton dari asam kuat. Menurut Muchtadi et al (1993) pada umumnya enzim bersifat amfolitik yang berarti enzim mempunyai konstanta disosiasi pada gugus asam maupun pada gugus basanya, terutama pada residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya. Struktur kuartener enzim dipertahankan oleh ikatan peptida, ikatan disulfida, ikatan hidrogen dan ikatan elektrostatik. Ikatan elektrostatik merupakan ikatan garam antara gugus yang bermuatan berlawanan pada rantai samping asam amino. Diperkirakan perubahan keaktifan enzim akibat perubahan pH lingkungan disebabkan oleh terjadinya perubahan ionisasi pada gugus ionik enzim, pada sisi aktifnya atau sisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi sisi aktif. Gugus ionik berperan dalam menjaga konformasi sisi aktif untuk mengikat substrat.

Acarbosa sebagai kontrol positif diketahui masih memiliki daya inhibisi sebesar 65,22% pada pH sistem pencernaan. Hasil analisis sidik ragam ekstrak pada pH sistem pencernaan, menunjukkan suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh terhadap inhibisi enzim α-amilase (Lampiran 8). Ekstrak 70O C selama 15 menit memiliki daya inhibisi paling besar yaitu 40,39%. Diduga pada kondisi ekstraksi menggunakan suhu dan waktu yang lebih tinggi komponen polifenol yang berperan dalam menghambat α-amilase mulai terdegradasi atau terpolimerisasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kim dan Goodner (2009) ekstraksi suhu tinggi menghasilkan antosianin paling tinggi pada jagung ungu, akan tetapi suhu tinggi mendegradasi antosianin dengan sangat cepat. Suhu sedang (70o C selama 20 menit) merupakan kombinasi yang paling bagus untuk menghasilkan

(13)

antosianin dan total fenol pada jagung ungu. Polifenol dapat membentuk kompleks dengan protein enzim sehingga menyebabkan kehilangan kemampuan katalisatornya. Diduga komponen fenolik yang berperatn sebagai anti α-amilase di usus adalah fenolik yang terekstrak pada suhu paling rendah (70o C) dan tahan terhadap perubahan pH.

b. Inhibisi enzim α-amilase pankreas babi.

Inhibisi menggunakan ekstrak rosella terhadap kerja enzim α-amilase dari pankreas babi hanya dilakukan pada pH ekstrak awal. Pemilihan ekstrak yang digunakan untuk analisis berdasarkan kemampuan inhibisinya pada pH awal dan setelah mendapat perlakuan pH. Berdasarkan daya inhibisi pada enzim α-amilase Bacillus sp, ekstraksi pada kondisi 70o C 15 menit tetap memiliki kemampuan inhibisi yang masih cukup tinggi (40,392%) sehingga hanya ekstrak tersebut yang digunakan untuk analisis kali ini.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak pada kondisi 70o C 15- menit memiliki daya inhibisi yang hampir sama dengan terhadap α-amilase Bacillus sp maupun α-amilase pankreas babi (Lampiran 9). Diduga ekstrak rosella mampu menghambat kerja enzim α-amilase dari pankreas babi pada berbagai kondisi ekstraksi, disebabkan ekstrak rosella memiliki kemampuan inhibisi terhadap kerja α-amilase Bacillus sp. Enzim α-amilase dari pankreas babi lebih sensitif mudah dihambat dibandingkan dengan α-amilase Bacillus sp. Mc Ewan et al (2010) menyatakan dari ekstrak amadumbe (Colocasia esculenta) memiliki daya inhibisi 2 kali lebih besar terhadap kerja enzim α-amilase dari pankreas babi daripada α-amilase Bacillus sp. Hasil penelitian Marshall et al (1975) menunjukkan α-amilase dari Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis tidak mampu dihambat oleh ekstrak kacang jogo. Ekstrak kacang jogo mampu menghambat kerja α-amilase pankreas babi sebesar 97%, α-amilase saliva manusia sebesar 94% dan α-amilase pankreas manusia sebesar 100%.

Asam hibiscus atau HCA hasil ekstraksi menggunakan metanol dan aseton pada rosella kering mampu menghambat kerja enzim α-amilase pankreas babi sampai dengan 100% pada konsentrasi 1M (Hansawasdi et al. 2000)

(14)

4.3.2 Inhibisi Enzim α-Glukosidase secara In Vitro

Inhibisi reaksi enzim merupakan salah satu strategi utama dalam perancangan pangan fungsional. Inhibisi dari suatu reaksi yang dikatalisis enzim dapat menghambat jalur metabolik utama dengan memblok pembentukan dari suatu metabolit essensial maupun metabolit yang tidak diinginkan. Alfa-glukosidase merupakan enzim-enzim yang berperan pada proses hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya (Kim et al. 2007). Pada penderita diabetes mellitus, inhibisi terhadap enzim α-glukosidase dapat menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa, sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Acarbosa merupakan obat golongan inhibitor α-glukosidase dan dipasarkan dengan nama glucobay. Acarbosa merupakan suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi mikroorganisme Actinoplanes utahensis. Acarbosa merupakan serbuk berwarna putih dengan berat molekul 645,6. Rumus empiriknya adalah C25H43NO18 (Slagle-

2002; Bayer. 2004).

Hasil uji inhibisi enzim pada Gambar 14 menunjukkan bahwa keseluruhan ekstrak awal memiliki daya inhibisi terhadap kerja enzim α-glukosidase yaitu berkisar 82,65-93,53%, sedang ekstrak pada pH saluran pencernaan tidak mampu menghambat kerja enzim tersebut (Lampiran 10). Analisis sidik ragam ekstrak awal menunjukkan suhu dan waktu ekstraksi tidak mempengaruhi daya inhibisi α-glukosidase dari ekstrak rosella (Lampiran 11). Acarbosa sebagai kontrol positif memiliki kemampuan inhibisi lebih besar daripada inhibisi ekstrak rosella baik pada pH awal maupun pada pH sistem pencernaan. Daya inhibisi acarbosa pada masing-masing pH adalah sebesar 100%.

(15)

Gambar 14. Daya inhibisi ekstrak rosella terhadap enzim α-glukosidase Keterangan: Nilai penghambatan pada pH 6,8 sebesar 0% ;

Aktivitas anti α-amilase acarbosa pH awal : 100% ; pH simulasi sistem pencernaan : 100%

Daya inhibisi ekstrak awal rosella diduga karena kandungan HCA, flavonoid dan komponen polifenol lain pada ekstrak rosella yang saling sinergis. HCA dan asam-asam organik lain mampu menghambat kerja enzim α-glukosidase dengan cara membuat pH medium dalam suasana asam. Diduga perubahan gugus-gugus ionik pada enzim akan mengakibatkan perubahan struktur kuartener enzim karena terganggunya ikatan elektrostatik seperti yang telah dijalaskan oleh Muchtadi et al (1993) dan Hart et al (2003). Flavonoid pada ekstrak tanaman devil tree (Alstonia scholaris) yang memiliki daya inhibisi α-glukosidase adalah kuercetin 3-O-β-D-xylopyranosyl (1”-2”)-β-D-galactopyranoside dan (-)-lyoniresinol 3-O-β-D-glucopyranoside (Jong-Anurakkun et al, 2007). Beberapa

golongan flavonoid lain yang diduga mampu menghambat kerja enzim α-glukosidase adalah: naringenin, kaempferol, luteolin, apigenin, katekin,

epikatekin, diadzein, epikatekin galat, turunan glikosida kuersetin seperti rutin dan isokuersetin (Tadera et al. 2006; Jo SH. 2010).

Ekstrak pada pH saluran pencernaan tidak mempunyai lagi aktivitas inhibisi enzim. Hal tersebut diduga karena beberapa hal yaitu: sebagian besar komponen bioaktif, terutama golongan flavonoid, mengalami perubahan bentuk struktur glikosidanya sehingga tidak mampu lagi menghambat kerja enzim α-glukosidase.

a 93.53 a 92.35 a 87.94 a 88.24 a 82.65 a 89.41 In h ib isi e n zi m α -g luk o sida se Kondisi ekstraksi pH awal pH 6,8

(16)

Webb dan Ebeler (2004) menyatakan perubahan pH medium akan mempengaruhi sifat fisiologi flavonoid secara signifikan dan berakibat pada aktivitas biologinya. Shahidi dan Naczk (2004) perubahan pH medium pada saat fementasi akan menyebabkan perubahan fisiologi komponen polifenol pada daun teh, epikatekin dan epigalokatekin akan ter epimerisasi menjadi katekin dan galokatekin. Hasil penelitian Hakkinen (2000) pada lima tanaman berri menunjukkan bahwa proses juicing dan penghancuran dapat mengakibatkan kehilangan beberapa senyawa flavonoid. Selain hal tersebut diatas diduga HCA dan asam-asam organik lainnya tidak memiliki lagi aktivitas biologis dengan cara membuat pH ekstrak dalam suasana asam sehingga enzim terdenaturasi.

Kuersetin adalah kelompok flavonol pada flavonoid yang banyak ditemukan sebagai O-glikosida. Flavonoid adalah komponen terbesar senyawa polifenol yang berisikan lima belas atom karbon dengan cincin aromatik berikatan melalui tiga jembatan karbon. Daun dan kulit buah umumnya mengandung kuersetin dalam konsentrasi yang cukup tinggi (Crozier et al. 2006).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara in vitro diketahui ekstrak rosella tidak memiliki aktivitas anti α-glukosidase. Ganong et al (2003) menyatakan enzim α-glukosidase berada pada mukosa usus halus. Ekstrak tanaman yang mampu menghambat kerja α-glukosidase harus tahan terhadap perubahan pH sistem pencernaan.

4. 3. 3 Inhibisi enzim Lipase secara In Vitro

Aktivitas inhibisi enzim lipase merupakan salah satu indikator yang menunjukkan penghambatan absorpsi zat makanan, sehingga energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berkurang. Pada tahap ini seluruh ekstrak rosella awal dan ekstrak yang telah diberi perlakuan pH dianalisis terhadap daya inhibisi enzim lipase. Pengujian pada seluruh kondisi ekstraksi bertujuan untuk melihat pengaruh pH dan kondisi ekstraksi terhadap daya inhibisi ekstrak rosella (Lampiran 12).

Hasil analisis menunjukkan, bahwa ekstrak rosella awal memiliki daya inhibisi enzim lipase lebih besar daripada ekstrak yang mengalami perlakuan pH sistem pencernaan. Ekstrak rosella awal memiliki rata-rata daya inhibisi enzim

(17)

lipase 85,78-94,17%, sedangkan ekstrak rosella yang telah mengalami perlakuan pH memiliki daya inhibisi enzim lipase 2,64-41,15% (Gambar 15, Lampiran 13). Hasil uji lanjut analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu ekstraksi pada pH awal memberikan pengaruh daya inhibisi ekstrak terhadap kerja enzim lipase pada taraf signifikansi p > 0,1 (Lampiran 13). Interaksi suhu dan waktu ekstraksi pada pH simulasi sistem pencernaan memberikan pengaruh daya inhibisi ekstrak terhadap kerja enzim lipase pada taraf signifikansi p < 0,05. Analisis uji t-test inhibisi enzim lipase menunjukkan bahwa terdapat perbedaan daya inhibisi antara ekstrak pH awal dan pH sistem pencernaan pada taraf signifikasi p < 0,05. Analisis sidik ragam ekstrak yang telah mengalami perlakuan pH sistem pencernaan menunjukkan hasil ekstraksi suhu 100o C memiliki aktivitas penghambatan paling tinggi dan berbeda nyata dengan hasil ekstraksi pada suhu 70o C dan 85o C. Ekstrak pada suhu 100o C memiliki daya inhibisi 33,85-41,15%.

Diduga inhibisi ekstrak awal sangat dipengaruhi oleh keberadaan HCA pada rosella. Jena et al (2002) menyatakan HCA pada ekstrak Garcinia cambogia menyebabkan pH ekstrak tersebut bersifat asam. Aktivitas anti lipase ekstrak awal kemungkinan disebabkan oleh HCA dan asam-asam organik pada ekstrak rosella. Pada pH asam kondisi lingkungan akan dipenuhi ion-ion H+. Diduga perubahan sifat asam amino-asam amino penyusun enzim akan mempengaruhi struktur tiga dimensi enzim sehingga enzim tidak dapat bekerja secara optimum. Keberadaan ion H+ dapat mempengaruhi sifat asam amino penyusun enzim. Hart et al (2003) menyatakan asam amino bersifat amfoterik artinya dapat berperilaku sebagai asam dan basa. Muchtadi et al (1993) menyatakan perubahan keaktifan enzim oleh perubahan pH lingkungan disebabkan oleh terjadinya perubahan ionisasi pada gugus ionik enzim, pada sisi aktifnya atau sisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi sisi aktif. Perlakuan pH sistem pencernaan mengakibatkan pH ekstrak rosella bersifat netral sehingga HCA serta asam-asam organik lain tidak lagi mampu menghambat kerja enzim lipase.

Suhu ekstraksi berpengaruh terhadap daya inhibisi enzim lipase ekstrak awal rosella, tetapi waktu ekstraksi tidak berpengaruh terhadap inhibisi enzim

(18)

lipase (Lampiran 14). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kondisi ekstraksi pada suhu 85o C (30 menit) menghasilkan ekstrak yang memiliki daya inhibisi lipase berbeda nyata dengan hasil ekstraksi pada suhu 100o C (15 dan 30 menit). Anti lipase ekstrak hasil interaksi suhu dan waktu pada 70o C tidak berbeda nyata dengan hasil ekstraksi pada interaksi suhu dan waktu 85o C maupun 100o C. Diduga pada suhu ekstraksi pada suhu 100o C (15 dan 30 menit) senyawa bioaktif yang tidak tahan panas telah mengalami kerusakan.

Gambar 15. Daya inhibisi ekstrak rosella terhadap enzim lipase

Gondoin et al (2010) menyatakan strictinin disinergiskan dengan polifenol lain dalam ekstrak teh putih, yaitu teh yang pembuatannya diproses lebih sederhana daripada teh hijau, memiliki aktivitas penghambatan enzim lipase paling tinggi dibandingkan dengan ekstrak teh hijau dan teh hitam. Strictinin diduga sebagai komponen paling penting dalam menghambat kerja enzim lipase. Komponen bioaktif pada tanaman berry yang mampu menghambat kerja enzim lipase diduga tanin beserta turunannya seperti tanin elagat, proantosianidin. (McDougall. 2008). Senyawa bioaktif golongan tanin maupun non tanin kemungkinan bekerja saling sinergis dengan asam-asam organik pada ekstrak rosella dalam menghambat kerja enzim lipase.

Ekstrak yang telah mengalami perlakuan pH sistem pencernaan menunjukkan interaksi suhu dan waktu ekstraksi pada 100o C (15 dan 30 menit) memiliki daya inhibisi paling tinggi. Hal tersebut diduga karena komponen

ab 89.58 ab 92.17 ab 92.56 b 94.19 a 86.05 a 85.78 a' 6.56 a' 6.03 a' 2.64 a' 4.76 b' 41.15 b' 33.85 In h ib isi e n zi m li p ase (% ) Kondisi ekstraksi pH awal pH 6,8

(19)

bioaktif yang terekstrak tetap stabil meskipun telah diberi perlakuan pH pencernaan. Komponen bioaktif yang terekstrak pada interaksi suhu dan waktu 70o C dan 85o C ( 15 dan 30 menit) diduga telah mengalami perubahan struktur akibat perubahan pH sistem pencernaan, selain itu pada saat suhu 70-85o C kemungkinan enzim polifenol oksidase (PPO) masih aktif sehingga komponen fenol yang terekstrak teroksidasi oleh enzim PPO. Komponen polifenol memiliki beberapa sifat antara lain cepat membentuk kompleks dengan protein dan sangat peka terhadap oksidasi enzim PPO. Suhu diatas 50o C akan menstimulasi kerja enzim yang bersifat panas sedang seperti PPO yang menyebabkan perubahan yang signifikan pada polifenol (Capecka et al. 2005; Crozier et al. 2006). Aktivitas enzim PPO berbeda pada setiap tanaman, PPO memiliki aktivitas pada suhu optimum 30-90o C (Diwakar & Mishra. 2011).

Diduga antosianin tidak berperan sebagai komponen anti lipase pada ekstrak yang telah mengalami perlakuan pH sistem pencernaan. Antosianin merupakan pigmen warna terbesar yang terdapat pada rosella. Antosianin tidak stabil terhadap perubahan pH. Pada pH rendah antosianin akan berwarna merah dan pada pH tinggi akan menjadi violet dan kemudian menjadi biru (Winarno. 1997).

4.4 Kinetika Inhibisi Enzim α-Amilase Pankreas Babi

Konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan dalam uji kinetika inhibisi adalah 0,5M. Pemilihan ini didasarkan atas kemampuan inhibisi yang hampir sama pada beberapa konsentrasi ekstrak (Lampiran 14). Hasil analisis kinetika enzim menurut persamaan Michaelis-Menten dan turunannya (Lineweaver-Burk) dapat dilihat pada Lampiran 15.

Hasil persamaan garis yang terbentuk, terhadap nilai konsentrasi substrat dan kecepatan, pada masing-masing perlakuan melalui persamaan Lineweaver-Burk menunjukkan penurunan nilai KM dan Vmaks. Pola kinetika yang terbentuk

setelah penambahan ekstrak mengakibatkan penurunan nilai KM dari 13,280 mM

menjadi 4,77 mM juga penurunan nilai Vmax dari 0,91 menjadi 0,06. Berdasarkan

gambar pola kinetika Lineweaver-Burk pada Gambar 16 dan perubahan nilai KM

(20)

menghambat kerja enzim α-amilase pankreas babi dengan cara sebagai inhibitor unkompetitif.

Gambar 16. Pola kinetika inhibisi ekstrak rosella

Diduga ekstrak rosella akan menghambat kerja enzim α-amilase setelah enzim tersebut berikatan dengan substrat. Menurut Suhartono (1989) inhibitor unkompetitif merupakan senyawa yang berikatan secara reversibel pada molekul kompleks Enzim Substrat, membentuk kompleks Enzim Substrat Inhibitor (ESI) yang bersifat inaktif, artinya tidak dapat menghasilkan produk. Inhibitor unkompetitif tidak dapat berikatan dengan molekul enzim bebas.

y = 13,358x - 0,1936 R² = 0,9959 y = 56,013x - 2,7449 R² = 0,9541 1/V 1/ [S] non inhibitor inhibitor

Gambar

Gambar 11. Nilai pH dan total asam tertitrasi ekstrak rosella
Gambar 13. Daya inhibisi ekstrak rosella terhadap enzim α-amilase
Gambar 14. Daya inhibisi ekstrak rosella terhadap enzim α-glukosidase  Keterangan: Nilai penghambatan pada pH 6,8 sebesar 0% ;
Gambar 15. Daya inhibisi ekstrak rosella terhadap enzim lipase

Referensi

Dokumen terkait

Penabuh ricikan kempul biasanya diserahkan pada penabuh yang mempunyai kemampuan menguasai alur kedalaman lagu dalam sebuah gendhing , karena seorang pengempul tidak

Untuk memperoleh data melalui observasi partisipasi ini peneliti terjun langsung mengikuti beberapa kegiatan pendidikan di MI Negeri Paju Ponorogo dan MI Terpadu

Penelitian ini diawali dengan pengambilan dataset dari University of California, Irvine (UCI) Machine Learning Repository, selanjutnya dataset diolah dengan software

oleh aplikasi dapat digunakan kembali oleh aplikasi lain yang berbeda platform tanpa harus membuat aplikasi baru, lebih efisien dalam mengembangkan aplikasi yang lebih

Keputusan investasi merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada peneluaran- pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, pada saat ini merupakan

Berinvestasi di sektor financial asset merupakan hal yang menjanjikan. Data historis valuta asing, emas dan saham menunjukkan kenaikan diatas 100% untuk jangka

Kajian yang dilakukan ini adalah bertujuan untuk mengenalpasti tahap sikap dan kemahiran mengakses terhadap penggunaan e-pembelajaran di kalangan pelajar tahun akhir