• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Total Electron Content di Lapisan Ionosfer Menggunakan Data Global Positioning System: Aplikasi Data Sumatran GPS Array

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemetaan Total Electron Content di Lapisan Ionosfer Menggunakan Data Global Positioning System: Aplikasi Data Sumatran GPS Array"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Pemetaan Total Electron Content di Lapisan Ionosfer

Menggunakan Data Global Positioning System: Aplikasi Data Sumatran GPS Array

Djedi S. Widarto

Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI, Jl. Sangkuriang, Bandung 40135, Indonesia e-mail : widartto@geotek.lipi.go.id

Abstrak

Pemetaan jumlah total kandungan elektron (total electron content, TEC) di lapisan ionosfer Sumatra dilakukan berdasarkan hasil pengukuran sinyal radio frekuensi ganda dari beberapa stasiun penerima GPS pada jaringan

Sumatran GPS Array (SUGAR). Data GPS yang dianalisa diambil dari hasil rekaman sinyal tanggal 1 – 16

November 2004 dimana badai magnetik global telah terjadi pada 7 November 2004. Pemetaan TEC ditentukan menggunakan prosedur pengukuran kombinasi karakteristik differential pseudorange dan differential carrier

phase. Hasil pemetaan TEC menunjukkan perubahan nilai TEC yang intensif, baik itu penurunan maupun

peningkatan jumlah elektron, yang dimulai dari beberapa jam sampai beberapa hari setelah badai magnetik terjadi. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa pemetaan TEC dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dinamika dan struktur ionosfer di Sumatra.

Abstract

The total electron content (TEC) mapping in the Sumatran ionosphere was carried out based on the measurements of dual frequency radio signals of some GPS receivers in the Sumatran GPS Array (SUGAR) Network. The TEC mapping was applied to GPS data records during 1 – 16 November 2004, in which a global magnetic storm occurred in November 07, 2004. The TEC map was constructed based on a procedure that allows the balance of measurements of differential group delays and differential carrier phase lead characteristics. The results show that the TEC values change intensively, by means of its enhancement or reduction, which is started from few hours to several days after the storm occurred. In general, it can be concluded that the TEC mapping can be employed to examine the ionospheric structure and dynamics in Sumatra.

1. Pendahuluan

Pemetaan jumlah total kandungan elektron atau sering disebut sebagai total electron content (selanjutnya, TEC) di lapisan ionosfer menggunakan data sinyal radio frekuensi ganda dari sistem penentu posisi global atau Global Positioning System (selanjutnya, GPS) telah banyak dilakukan dalam waktu satu dekade terakhir ini. Secara umum, pemetaan TEC sering digunakan untuk mempelajari dinamika dan struktur ionosfer, termasuk kandungan uap, di angkasa yang memiliki ketinggian antara 300 – 450 km (Davies, 1990) atau ada juga yang menyebutkan antara 300 – 400 km (Hoffmann-Wellenhoff et al., 1997). Beberapa peneliti terdahulu telah melakukan penentuan nilai TEC di ionosfer. Berdasarkan kepada tujuannya, Liu et al. (1996) menghitung nilai TEC di angkasa Taiwan dari 4 stasiun GPS genetik untuk mengetahui variasi harian anomali ekuatorial dan mendapatkan snapshot peta TEC di ketinggian 325 km sebagai fungsi lintang dan bujur. Hasil pemetaan TEC tersebut kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran TEC pada foF2 secara langsung menggunakan TECMETER. Liu et al. (2000 dan 2004) juga mempelajari

tanda-tanda dan/atau kemunculan anomali TEC sebelum kejadian gempa-gempa Taiwan bersekala M≥6 melalui suatu pengukuran GPS TEC secara menerus. Otsuka et al. (2000), selain memperkenalkan teknik pemetaan TEC yang baru, mereka juga mengamati dinamika TEC ionosfer di angkasa Jepang beberapa saat setelah terjadinya badai magnetik pada 25 September 1998. Sementara itu, Chuo et al. (2002) secara lebih khusus mempelajari gangguan yang terjadi di ionosfer sebelum gempa Chi-Chi dan Chia-Yi terjadi. Berdasarkan kepada pengalaman mereka, pemetaan nilai TEC vertikal (selanjutnya, VTEC) di ionosfer Sumatra telah dilakukan dengan menggunakan data dari beberapa stasiun penerima GPS yang terpasang di pantai barat dan pulau-pulau busur luar Sumatra. Secara khusus, makalah ini membahas variasi harian TEC dan dinamika ionosfer Sumatra, sebagai fungsi waktu dan lintang, menjelang dan sesudah badai magnetik itu terjadi.

2. Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data sinyal radio frekuensi ganda yang terekam pada beberapa stasiun penerima GPS yang berada dalam

(2)

jaringan Sumatran GPS Array (selanjutnya,

SUGAR). Gambar 1 menunjukkan 6 stasiun GPS dari sejumlah 20-an stasiun penerima GPS yang tersebar dalam jaringan SUGAR. Jaringan SUGAR merupakan hasil kerjasama antara Tectonics Observatory, California Institute of Technology dengan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Instalasi jaringan GPS di sepanjang pantai barat dan beberapa pulau busur luar Sumatra ini bertujuan untuk mempelajari dinamika pergerakan kerak bumi Sumatra, baik vertikal maupun horisontal, dan mencoba memprakirakan gempa-gempa besar yang mungkin terjadi di sepanjang zona batas lempeng Sumatra maupun Zona Sesar Sumatra pada masa yang akan datang.

Pemetaan TEC stasiun tunggal dilakukan terhadap 6 stasiun penerima GPS masing-masing adalah abgs (Air Bangis), pski (Pulau Sikuai), mkmk (Muko-Muko Airport, Bengkulu), pbai (Pulau Bais), ngng (Pulau Nyang-Nyang, Siberut), dan prkb (Parakbatu, Pulau Pagai Selatan). Panjang data yang digunakan dalam studi ini adalah selama periode 1-16 November 2004. Dalam kurun waktu tersebut, badai magnetik global terjadi pada 7 November 2004. Tingkat cuplikan (sampling rate) data GPS pada jaringan SUGAR adalah 120 detik. Sementara itu, data magnetik berupa medan magnetik ekuatorial Dst index selama periode 1 – 30 November 2004 diperoleh dari World Geomagnetic Data Center, Universitas Kyoto di Jepang.

3. Metode

Beberapa teknik untuk menentukan nilai mutlak TEC telah diperkenalkan oleh peneliti terdahulu. Sardon et al. (1994) dan Komjathy (1997) menerapkan teknis tapis Kalman untuk menentukan secara tepat, baik itu bias instrumen maupun nilai TEC, dengan menganggap distribusi VTEC vertikal adalah linier secara spasial di sekitar zenith stasiun penerima. Bishop et al. (1996) mengembangkan teknik SCORE (self-calibration of pseudorange

errors) yang kemudian divalidasi melalui

pengukuran secara terpisah oleh Bishop et al. (1997) dan pemodelan oleh Lunt et al. (1999a dan 1999b). Lanyi dan Roth (1988) dan Coco et al. (1991), berdasarkan pada analisis data dari stasiun tunggal, menentukan nilai VTEC dengan teknik pendekatan polinomial. Wilson et al. (1992) menggunakan data stasiun GPS dari jaringan global untuk memodelkan VTEC dengan teknik ekspansi harmonik sferis. Dalam makalah ini, nilai VTEC di ionosfer Sumatra ditentukan menggunakan algoritma berdasarkan pada kombinasi pengukuran pseudorange dan

carrier phase yang terekam oleh penerima GPS

frekuensi-ganda. Penjelasan secara garis besar tentang teknik ini diberikan oleh Liu et al. (1996). Sementara itu, tinjauan rinci terhadap teori

penentuan TEC tersebut dapat dilihat pada Widarto (2005) yang merupakan pendahulu makalah ini. Dalam penghitungan VTEC, satelit-satelit yang dipilih adalah yang memiliki sudut elevasi lebih dari 20°. Asumsi parameter ketinggian ionosfer didasarkan atas model ionosfer lapisan tunggal dimana untuk Indonesia adalah h=350 km (Saroso, 2005; komunikasi pribadi). Untuk menghilangkan variasi TEC normal, maka kita perlu menentukan harga differential TEC (dTEC) berdasarkan

persamaan dTEC=[VTEC] – [15 days backward

running median of VTEC] untuk setiap epoch.

Untuk data GPS dengan tingkat cuplikan 120 detik, maka terdiri dari 720 epoch. Secara sederhana, diagram alir penghitungan VTEC diberikan pada Gambar 2.

Gambar 1. Peta distribusi stasiun penerima GPS

yang berada dalam Jaringan SUGAR yang terpasang sampai dengan Januari 2006 (atas). Enam stasiun GPS yang digunakan dalam studi ini (bawah).

(3)

Gambar 2. Diagram alir sederhana untuk penentuan

nilai TEC.

4. Hasil dan Diskusi

Gambar 3 menunjukkan rekaman medan magnet bumi yang menggambarkan variasi dalam arus cincin ekuatorial (equatorial ring current) selama 31 hari pada bulan November 2004. Variasi medan magnet terhadap waktu ini yang dikenal sebagai Dst

Index. Data ini diperoleh dari World Geomagnetic

Data center (WGDC), Kyoto University. Dalam keadaan normal, variasi Dst Index mendekati harga nol. Namun demikian, mulai dari tengah hari pada 7 November sampai dengan pagi hari 8 November 2004 telah terjadi badai magnetik global yang cukup besar dengan amplitudo sekitar 400 nT. Pengaruh

badai magnetik terhadap variasi Dst Index sangat kuat. Anomali nilai Dst Index muncul selama 4 sampai 5 hari, dimana anomali terendah muncul sebanyak 2 kali, yakni pada 8 November pagi dan 10 November siang yang masing-masing mewakili nilai anomali maksimum dan minimum.

Gambar 4 (a) dan (b) menunjukkan kurva-kurva variasi harian VTEC sebagai fungsi dari waktu dalam sehari, yang diamati di salah stasiun GPS

Sumatran GPS Array Network, yakni stasiun ABGS

(Air Bangis, Sumatra Barat). Stasiun ABGS terletak di dekat pantai arah baratlaut Padang. Kurva-kurva variasi tersebut dibuat mulai dari 5 sampai 16 November 2004 untuk mengetahui variasi VTEC sebelum, selama, dan sesudah badai magnetik terjadi. Sementara itu, gambar indek sky plot adalah lintasan satelit-satelit GPS yang dikenal sebagai satellite foot

print, yang melewati stasiun ABGS dengan sudut

elevasi 20° pada setiap hari pengamatan.

Pada Gambar 4(a) tampak bahwa kurva variasi nilai VTEC antara 5 – 7 November 2004 dalam keadaan normal sebelum badai magnetik terjadi. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, badai magnetik global terjadi mulai tengah hari pada 7 November 2004. Namun demikian, pengaruh badai magnetik terhadap penurunan nilai VTEC baru dapat diamati dengan jelas di ionosfer mulai 8 November. Pada waktu siang sampai petang hari, pukul 5 sampai 12 UTC (12.00 – 17.00 WIBB), terjadi penurunan nilai VTEC dari sekitar 70 TECU menjadi sekitar 60 TECU. Sementara itu, mulai sekitar pukul 13.00 UTC atau 20.00 WIBB, nilai VTEC turun dari sekitar 20-30 TECU menjadi lebih kecil dari 10 TECU. Secara umum, nilai VTEC pada malam hari selalu lebih kecil dibandingkan dengan siang hari. Turunnya nilai VTEC ini tidak terjadi secara tiba-tiba sesaat setelah terjadinya badai magnetik. Artinya, ada periode waktu tertentu yang dibutuhkan untuk membuat jumlah elektron di ionosfer berkurang. Ini diduga berkaitan dengan waktu perambatan medan magnetik menuju ke lapisan ionosfer.

Gambar 3. Rekaman medan magnetik Dst Index sepanjang 31 hari pada November 2004. Sumbu datar adalah

(4)

(a) Variasi VTEC antara 5 – 10 November 2006

Gambar 4. Kurva-kurva variasi harian VTEC yang diamati di stasiun ABGS, dari 5 sampai 16 November 2004.

(a) Variasi VTEC antara 5 – 10 November 2006, (b) Variasi VTEC antara 11 – 16 November 2006 (halaman berikutnya). Badai magnetik global mulai terjadi pada 7 November 2004 dan pengaruhnya terhadap reduksi nilai VTEC dapat diamati di ionosfer mulai 8 November.

(5)

(b) Variasi VTEC antara 11 – 16 November 2006

Fenomena penurunan nilai VTEC ternyata tidak terjadi pada hari esoknya, yakni 9 November 2004. Sebaliknya, nilai VTEC mengalami kenaikan dan bahkan mencapai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan hari-hari sebelum dan beberapa hari sesudah badai. Nilai VTEC naik mencapai 80 sampai 90 TECU pada siang hari. Namun pada malam hari

kembali turun menjadi lebih kecil dari 10 TECU. Penurunan terendah nilai VTEC terjadi pada 10 November 2004, dimana pada siang hari nilai TEC mencapai lebih kecil dari 35 TECU, dan pada malam hari lebih kecil dari 10 TECU. Mulai 11 November, variasi nilai VTEC cenderung mulai kembali normal, meskipun terjadi sedikit penurunan pada 12 November 2004.

(6)

(a) ABGS (b) PBAI (c) NGNG (d) PSKI -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.1 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.2 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.3 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.4 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.5 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.6 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.7 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.8 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.9 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.10 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.11 2004 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.12 2004 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.13 2004 UT (hr) 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.14 2004 UT (hr) 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.15 2004 UT (hr) 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 4 Nov.16 2004 UT (hr) TE C ( T E C U ) G eog raphi c Lat itude ( ¢ X N ) 10 20 30 40 50 60 70 80 -8 -6 -4 -20 2 Nov.1 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.2 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.3 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.4 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.5 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.6 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.7 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.8 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.9 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.10 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.11 2004 -8 -6 -4 -20 2 Nov.12 2004 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 Nov.13 2004 UT (hr) 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 Nov.14 2004 UT (hr) 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 Nov.15 2004 UT (hr) 0 6 12 18 24 -8 -6 -4 -20 2 Nov.16 2004 UT (hr) TE C ( T E C U ) G eog raphi c Lat itude ( ¢ X N ) 10 20 30 40 50 60 70 80 (e) MKMK (f) PRKB

Gambar 5. Kontur distribusi nilai differential-TEC sebagai fungsi dari garis lintang dan waktu UTC untuk 6

(7)

Gambar 5 menunjukkan kontur distribusi nilai

differential-TEC (dTEC) di ionosfer Sumatra pada

ketinggian 350 km, sebagai fungsi dari garis lintang dan waktu UTC untuk 6 stasiun GPS SUGAR. Sama seperti yang diberikan oleh Gambar 4, pola distribusi nilai dTEC untuk seluruh stasiun pada Gambar 5 antara 1 sampai 7 November 2004 menunjukkan kondisi normal, dengan nilai dTEC mencapai lebih dari 70 TECU. Setelah kejadian badai magnetik 7 November, tampak bahwa ada sedikit penurunan nilai dTEC pada 8 November menjadi sekitar 50-60 TECU. Peningkatan terjadi pada 9 November, namun kemudian diikuti dengan penurunan ekstrim nilai dTEC pada 10 November, dimana nilai dTEC mencapai 30-an TECU. Liu (2006, kom. pribadi) menjelaskan bahwa fenomena peningkatan nilai dTEC setelah badai dan yang kemudian diikuti dengan penurunan yang tajam pada hari berikutnya merupakan suatu kejadian yang normal. Hari-hari berikutnya, mulai 11 sampai 16 November, variasi dTEC tampak menuju normal kembali meskipun besarannya masih lebih kecil dibanding pada kondisi normal sebelum kejadian badai magnetik.

5. Kesimpulan

Pemetaan total electron content (TEC) di lapisan ionosfer Sumatra menggunakan data global

positioning system dari data Sumatran GPS Array

(SUGAR) telah dilakukan untuk mempelajari variasi harian VTEC terhadap posisi lintang dan waktu. Dalam keadaan normal, distribusi nilai VTEC di ionosfer tidak menunjukkan adanya variasi yang memunculkan anomali ekstrem dengan nilai yang berkisar antara 70 TECU di siang hari dan antara 20 – 30 TECU di malam hari. Badai magnetik regional yang muncul pada 7 November telah mengakibatkan terjadinya reduksi kecil nilai VTEC pada esok harinya. Namun demikian, nilai VTEC meningkat kembali secara signifikan pada 9 November, lalu menurun secara ekstrem pada 10 November 2004 dengan nilai VTEC tidak lebih dari 30 TECU di siang hari dan lebih rendah dari 10 TECU di malam hari. Liu (2006, kom. pribadi) menjelaskan bahwa fenomena peningkatan nilai VTEC setelah badai dan yang kemudian diikuti dengan penurunan yang ekstrem pada hari berikutnya merupakan suatu kejadian yang normal.

Ucapan Terima Kasih

Tulisan ini merupakan bagian dari kerjasama riset antara Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI dengan Chiba University, Jepang yang dibiayai oleh JSPS Bilateral Program selama periode 2005 – 2008. Ucapan terima kasih disampaikan terutama kepada Dr. Katsumi Hattori dari Chiba University, Jepang

atas kesempatan untuk pemrosesan data dalam mempersiapkan tulisan ini. Kepada Tectonics Observatory CALTECH dan Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, terutama kepada Dr. Kerry Sieh dan Dr. Danny Natawidjaja, penulis mengucapkan terima kasih pula atas tersedianya data Sumatran

GPS Array (SUGAR).

Daftar Pustaka

Bishop, G.J., Mazzella, A.J., Holland, E., and Rao, S., 1996. Algorithms that use the ionosphere to control GPS errors, in Proceedings of the IEEE

1996 Position Location and Navigation Symposium (PLANS), IEEE Press, Piscataway,

N.J., pp. 145-152.

Bishop, G.J., Coco, D.S., Lunt, N., Coker, C., Mazzella, A.J., and Kersley, L., 1997. Application of SCORE to extract protonospheric electron content from GPS/NNSS observations, in Proceedings of

ION GPS ’97, Inst. of Navig., Alexandria, Va.,

pp. 207-216.

Chuo, Y.J., Liu, J.Y., Pulinets, S.A., and Chen, Y.I., 2002. The ionospheric perturbations prior to the Chi-Chi and Chia-Yi earthquakes, J. Geodynamics, 33, 509-517.

Coco, D. S., C. Coker, S. R. Dahlke, and J. R. Clynch, 1991. Variability of GPS satellite differential group delay biases, IEEE Trans.

Aeros. and Electr. Syst., AES-27, 931–938.

Davies, K., 1990. Ionospheric Radio, Peter Peregrinus Ltd., 580pp.

Hofmann-Wellenhof, B., Lichtenegger, H., Collins, J., 1997, GPS - Theory and Practice, 4th revised edition, Springer, Wien - New York. Komjathy, A., 1997. Global Ionospheric Total

Electron Mapping Using the Global Positioning System, PhD Thesis, The Univ. of

New Brunswick, 248 pp.

Lanyi, G.E. and Roth, T., 1988. A comparison of mapped and measured total ionospheric electron content using global positioning system and beacon satellite observations, Radio

Sci., 23 (4), 483-492.

Liu, J.Y., Tsai, H.F., and Jung, T.K., 1996. Total electron content obtained by using the global positioning system, J. Terr. Atmos. and

Oceanic Sci. (TAO), 7(1), 107-117.

Liu, J.Y., Chen, Y.I., Pulinets, S.A., Tsai, Y.B., and Chuo, Y.J., 2000. Seismo-ionospheric signatures prior to M6.0 Taiwan earthquakes, Geoph. Res. Lett., 27(19), 3113-3116.

(8)

Liu, J.Y., Chuo, Y.J., Shan, S.J., Tsai, Y.B., Chen, Y.I., Pulinets, S.A., and Yu, S.B., 2004. Pre-earthquake ionospheric anomalies registered by continuous GPS TEC measurements, Ann. Geoph., 22, 1585-1593.

Liu, J.Y., 2006. Komunikasi personal.

Lunt, N., Kersley, L., Bishop, G.J., Mazzella, A.J., and Bailey, G.J. 1999a. The effect of the protonosphere on the estimation of GPS total electron content: Validation using model simulations, Radio Sci., 34, 1261-1271.

Lunt, N., Kersley, L., and Bailey, G.J., 1999b. The influence of the protonosphere on GPS observations: Model simulations, Radio Sci., 34, 725-732.

Otsuka,Y. Ogawa,T. Saito,A. Tsugawa,T. Fukao,S. Miyazaki,S., 2002. A new technique for mapping of total electron content using GPS network in Japan, Earth Planets Space, 54, 63-70.

Saroso, S., 2006. Komunikasi pribadi.

Sardon, E., Rius, A., and Zarraoa, N., 1994. Estimation of the transmitter and receiver differential biases and the ionospheric total electron content from Global Positioning System observations, Radio Sci., 29 (3), 577-586.

Widarto, D.S., 2006. Pemetaan total electron content di lapisan ionosfer menggunakan data global positioning system: tinjauan teori, J. Geofisika, HAGI, dalam publikasi ini.

Wilson, B.D., Mannucci, A.J., Edwards, C.D., and Roth, T., 1992. Global ionospheric maps using a global network of GPS receivers, the

Internatl. Beacon Satellite Symp., MIT,

Gambar

Gambar 1. Peta distribusi stasiun penerima GPS  yang berada dalam Jaringan SUGAR yang terpasang  sampai dengan Januari 2006 (atas)
Gambar 2. Diagram alir sederhana untuk penentuan  nilai TEC.
Gambar 4. Kurva-kurva variasi harian VTEC yang diamati di stasiun ABGS, dari 5 sampai 16 November 2004
Gambar 5. Kontur distribusi nilai differential-TEC sebagai fungsi dari garis lintang dan waktu UTC untuk 6  stasiun GPS, sebagai hasil pemrosesan data GPS SUGAR antara 1 sampai 16 November 2004

Referensi

Dokumen terkait

Semarang 8 Universitas Gunadarma 275 Universitas Indonesia 33 Universitas Surabaya 281 Institut Teknologi 10 Nov 47 Universitas Pancasila 288 Institut Pertanian Bogor 59

Segmentasi citra (image segmentation) mempunyai arti membagi suatu citra menjadi wilayah-wilayah yang homogen berdasarkan kriteria keserupaan yang tertentu antara tingkat

Hasil Identifikasi senyawa terpenoid menggunakan metode KLT dengan penampak noda annisaldehid asam sulfat: (a) Plat KLT yang diamati pada sinar UV 254 nm sebelum

bahwa induk yang diberi pakan yang rendah vitamin E akan menghasilkan larva abnormal yang tinggi. Defisiensi vitamin E pada ikan dapat

Pemberian resveratrol pada penelitian ini terbukti secara klinis mampu mempercepat perbaikan klinis penderita PPOK eksaserbasi meskipun per- bedaan nilai skor CAT pada

dan hal tersebut dapat kita rekam pula, seperti terlihat pada Gambar 4.6 Satu pertanyaan yang penting dalam proses perekaman data komponen adalah apakah data tersebut akan dengan

Percabangan tumbuh mulai dari 1/3 buku bagian atas diikuti percabangan dibagian tengah buluh terus ke bagian bawah, percabangan bambu betung termasuk kelompok banyak cabang

Karena satu dari sekian banyaknya warisan kesenian budaya Sunda tepatnya di Indonesia, dan kesenian budaya yang ada pada sekitar kita merupakan aset atau jati