• Tidak ada hasil yang ditemukan

Standar Mutu Biji Kedelai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Standar Mutu Biji Kedelai"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Standar Mutu Biji Kedelai

Erliana Ginting dan I K. Tastra

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi kedelai secara kuantitatif, baik melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi, selayaknya diikuti oleh peningkatan mutu hasil panen karena akan berpengaruh terhadap harga jual bila diperdagang-kan, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional (ekspor). Selain itu, mutu hasil panen juga akan mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan dan keamanannya bila dikonsumsi.

Mutu dari suatu komoditas merupakan kumpulan sifat-sifat yang membedakan tiap unit individu dalam komoditas tersebut (Nugraha dan Setyono 1989) dan mencirikan tingkat penerimaan konsumen (Pramudyan et al. 1987 dalam Tastra et al. 1997). Standarisasi mutu adalah klasifikasi suatu komoditas berdasarkan tingkatan komponen mutu, nilai komersial, dan penggunaannya. Standar mutu berguna untuk menentukan harga jual yang layak untuk suatu komoditas, sehingga tidak merugikan produsen maupun konsumen. Standardisasi mutu juga diperlukan untuk menghindari penipuan, seperti mencampur biji dengan pasir, tanah atau biji dengan mutu lebih rendah dengan maksud mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, standardisasi mutu hendaknya diketahui dan disepakati oleh produsen (petani) maupun konsumen (pembeli). Pemerintah perlu menetapkan standar mutu yang diberlakukan secara nasional. Standarisasi mutu juga berguna untuk mengukur keragaan penanganan pascapanen kedelai di tingkat petani. Berdasarkan mutu kedelai yang dihasilkan oleh petani dapat diketahui gambaran umum kinerja penanganan pascakedelai dan dapat ditentukan skala prioritas perbaikan penanganan pascapanen di tingkat petani.

Pemerintah melalui Dewan Standardisasi Nasional (DSN) telah menetap-kan Standar Nasional Indonesia untuk mutu fisik biji kedelai (SNI 01-3922-1995) yang masih berlaku sampai saat ini. Sebelumnya, digunakan standar mutu yang ditetapkan/disepakati secara bersama oleh Departemen Pertanian, Departemen Koperasi, dan BULOG pada tahun 1988 (Tabel 1). Secara substansial, komponen parameter mutu yang diacu relatif sama. Untuk menghindari timbulnya masalah dalam penerapan standar mutu kedelai, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan yaitu: (i) syarat kualitatif dan kuantitatif biji kedelai, (ii) metode analisis yang digunakan, dan (iii) alat yang digunakan untuk menganalisis. Ketiga hal tersebut telah dicantumkan pada

(2)

SNI di samping cara pengambilan sampel/contoh yang juga penting dalam penentuan mutu. Berikut akan dibahas pengertian persyaratan standar mutu fisik kedelai, penerapannya dalam penanganan pascapanen, dan kemungkinan perbaikan/penambahan kriteria mutu berdasarkan kebutuhan pengguna dan penanganan pascapanennya.

STANDAR MUTU BIJI KEDELAI

Standar mutu biji kedelai, baik untuk jenis kuning, hitam, dan hijau maupun campuran ditetapkan dalam SNI 01-3922-1995 yang mengklasifikasikan mutu kedelai dalam empat tingkatan, yakni mutu I, II, III, dan IV (Tabel 2). Syarat umum (kualitatif) meliputi bebas hama dan penyakit (kutu, ulat, telur, kepompong), bebas bau busuk, asam atau bau asing lainnya, bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida, memiliki suhu normal, syarat

Tabel 1. Persyaratan kuantitatif untuk kedelai kuning*).

Kedelai kuning Komponen

B C

Kadar air (maksimum) 14% 14%

Kadar kotoran (maksimum) 3% 5%

Butir belah (maksimum) 3% 5%

Butir rusak (maksimum) 3% 5%

Butir keriput (maksimum) 5% 8%

Butir warna lain (maksimum) 5% 10%

*) SK bersama Deptan, Depkop, dan BULOG No. 456/BUK/XI./1988. Sumber: Purwadaria 1989.

Tabel 2. Persyaratan mutu biji kedelai menurut SNI 01-3922-1995.

Persyaratan mutu

Jenis uji Satuan

I II III IV

Kadar air (maksimum) % 13 14 14 16

Butir belah (maksimum) % 1 2 3 5

Butir rusak (maksimum) % 1 2 3 5

Butir warna lain (maksimum) % 1 3 5 10

Butir keriput (maksimum) % 0 1 3 5

Kotoran (maksimum) % 0 1 2 3

Untuk kedelai campur, tidak perlu memasukkan komponen mutu butir warna lain Sumber: SNI (1995).

(3)

khusus atau kuantitatif (Tabel 2). Pengertian definisi masing-masing komponen mutu kuantitatif tersebut adalah sebagai berikut:

• Kadar air, adalah jumlah kandungan air dalam biji kedelai yang dinyatakan dalam persentase berat basah.

• Kedelai kuning, adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna kuning, putih atau hijau dan bila dipotong melintang memperlihatkan warna kuning pada bidang irisan keping bijinya dan tidak tercampur lebih dari 10% kedelai jenis lain.

• Kedelai hitam, adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna hitam dan tidak tercampur lebih dari 10% kedelai jenis lain.

• Kedelai hijau, adalah kedelai yang kulit bijinya berwarna hijau dan bila dipotong melintang memperlihatkan warna hijau pada bidang irisan keping bijinya dan tidak tercampur lebih dari 10% kedelai jenis lain. • Kedelai campur, adalah kedelai yang tidak memenuhi syarat-syarat jenis

kedelai kuning, hitam, dan hijau dan kedelai berwarna dua macam. • Butir belah, adalah biji kedelai yang kulit bijinya terlepas dan

keping-keping bijinya terlepas atau tergeser.

• Butir rusak, adalah biji kedelai yang berlubang bekas serangan hama, pecah karena mekanis, biologis, fisis, dan enzimatis seperti ber-kecambah, busuk, timbul bau yang tidak disukai, dan berubah warna ataupun bentuk.

• Butir warna lain, adalah butir kedelai yang warnanya tidak sama dengan aslinya akibat campuran dengan varietas lain.

• Kotoran, adalah benda asing seperti pasir, tanah, potongan sisa batang, daun, kulit polong, biji-bijian lain yang bukan kedelai.

• Butir keriput, adalah biji kedelai yang berubah bentuknya dan keriput, termasuk biji sangat muda atau tidak sempurna pertumbuhannya.

Pengambilan Sampel/Contoh

Untuk pengambilan sampel/contoh, diambil secara acak sebanyak “akar pangkat dua” dari jumlah karung dan maksimum 30 karung dari tiap partai. Kemudian diambil secara acak maksimum 500 g dari tiap karung. Contoh primer (stock sample) ini, semuanya dicampur menjadi satu dan diaduk rata, lalu dibagi empat dan dua bagian diambil secara diagonal. Cara ini dilakukan beberapa kali sampai mendapatkan contoh seberat 500 g yang disebut sebagai contoh kerja (working sample), yang kemudian dimasukkan ke dalam kemasan tertutup dan diberi label. Selanjutnya, untuk contoh analisis, diambil masing-masing 100 g secara acak dari contoh kerja untuk satu ulangan, paling sedikit tiga ulangan. Untuk lebih jelasnya, cara pengambilan contoh ini disajikan pada Gambar 1.

(4)

Analisis Kadar Air dan Sortasi

Penentuan kadar air dilakukan dengan menggunakan moisture tester electronic atau air oven method (ISO/R939-1969E atau AOAC 930.15). Untuk metode oven, 5 g contoh kedelai yang telah digiling halus dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya, lalu dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-105oC selama 16 jam. Setelah itu diangkat dan dimasukkan ke dalam desikator sampai suhunya mencapai suhu ruang, lalu ditimbang. Kadar air (%) merupakan selisih berat awal sampel dikurangi berat setelah dioven (berat kering), dibagi dengan berat awal sampel dan dikali 100%. Sedang pengukuran dengan moisture tester, sebaiknya dilakukan kalibrasi dengan metode oven untuk menjamin tingkat akurasinya. Untuk menentukan butir rusak, pecah, warna lain, dan kotoran dilakukan secara

Gambar 1. Cara pengambilan contoh primer, contoh kerja, dan contoh analisis pada analisis mutu biji kedelai.

Sumber: SNI 1995.

Timbunan biji kedelai (30 karung)

Karung contoh (30 =  5)

2.500 g (contoh primer) Dicurah dan diambil

masing-masing 500 g

500 g

(contoh kerja) Dicampur, dibagi 4, diambil 2 bagian

diagonal, dilakukan beberapa kali

100 g (Analisis kimia) 100 g (Analisis fisik) (Contoh analisis) Diambil acak Kadar air Butir rusak Butir keriput Butir belah Butir warna lain Kotoran Timbunan biji kedelai (30 karung)

Karung contoh (30 =  5)

2.500 g (contoh primer) Dicurah dan diambil

masing-masing 500 g

500 g

(contoh kerja) Dicampur, dibagi 4, diambil 2 bagian

diagonal, dilakukan beberapa kali

100 g (Analisis kimia) 100 g (Analisis fisik) (Contoh analisis) Diambil acak Kadar air Butir rusak Butir keriput Butir belah Butir warna lain Kotoran

(5)

visual. Contoh diletakkan di atas baki plastik, disortir/dipisahkan menurut kriterianya masing-masing dengan menggunakan pinset, lalu ditimbang beratnya. Perhitungan untuk butir rusak (sama untuk kriteria mutu lainnya), dapat menggunakan rumus berikut:

Berat butir rusak (g)

Butir rusak (%) = x 100% Berat contoh (g)

PENERAPAN STANDAR MUTU DALAM SISTEM

PASCAPANEN KEDELAI

Pemerintah sudah lama mengeluarkan standar mutu biji kedelai dalam negeri, tetapi penerapannya di tingkat petani masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh rendahnya adopsi teknologi mekanis pada pasca-panen kedelai. Penerapan teknologi mekanis baru pada tahap meringankan beban kerja, belum berorientasi pada mutu. Hal ini tampak dari pe-ngembangan jasa perontokan padi yang juga bisa dipakai untuk perontokan kedelai. Saat ini petani kedelai telah dapat mengurangi beban kerja dan menghemat biaya dengan cara menyewa mesin perontok. Pengembangan jasa perontokan sangat tepat mengingat kehilangan hasil panen masih tinggi, mencapai 14,7%, 7,2% di antaranya terjadi pada saat perontokan (Manwan dan Sumarno 1996). Namun kinerja mesin perontok kedelai yang beroperasi di sentra produksi umumnya belum optimum, terbukti dari masih diperlukannya banyak tenaga untuk membersihkan biji setelah dirontok dengan mesin (presentase kotoran masih tinggi). Akibatnya, biaya untuk perontokan dan pembersihan biji kedelai dengan mesin lebih mahal (Rp 12.000/t) dibanding dengan cara tradisional (Rp 7.000/t) (Purwadaria 1993). Kenyataan ini menunjukan bahwa penerapan standar mutu biji (terutama dari komponen mutu/persentase kotoran biji) pada tingkat penjualan jasa perontokan kedelai belum berjalan dengan baik.

Sesungguhnya masih ada peluang untuk memacu penerapan standar mutu biji kedelai dengan menggunakan mesin perontok yang tepat guna dan kesepakatan adanya jaminan pembagian nilai tambah yang wajar bagi petani sebagai pengguna, pemilik mesin sebagai penjual jasa perontokan, dan bengkel alsintan sebagai produsen mesin perontok. Untuk itu, diperlukan upaya pelembagaan standar mutu biji yang menyeluruh melalui pendekatan sistem (Gambar 2) dalam mengembangkan sistem penjualan jasa perontokan kedelai. Hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan dalam memilih dan mengoperasikan alat perontok yang tepat guna, yang ber-dampak positif terhadap peningkatan mutu biji kedelai maupun pendapatan petani, penjual jasa, dan bengkel alsintan.

(6)

Adanya hubungan kemitraan antara petani pemasok bahan baku kedelai dengan industri pengolahan, juga membuka peluang bagi keberhasilan penerapan standar mutu biji kedelai di tingkat petani. Sebagai contoh, dengan adanya jaminan harga jual kedelai sekitar 10% lebih tinggi dari harga kedelai di pasaran, petani bersedia membersihkan biji kedelai (agar memenuhi standar mutu) dan menggunakan grader untuk sortasi biji yang dipasok petani kooperator ke industri susu kedelai di Pasuruan (Tastra dan Gatot 1996). Hal ini menunjukkan bahwa insentif harga jual menjadi pemicu keberhasilan penerapan standar mutu biji kedelai dan penggunaan alsintan.

Standar mutu biji kedelai tersebut belum sepenuhnya diterapkan dalam sistem pemasaran, terutama di tingkat petani dan pedagang pengumpul karena harga jual yang diberlakukan relatif sama untuk semua biji kedelai yang dihasilkan petani. Relatif panjangnya rantai pemasaran juga meng-akibatkan margin/keuntungan lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dibanding petani produsen. Gambar 3 menunjukkan bahwa rantai

Gambar 2. Mutu kedelai dalam perspektif penanganan pascapanen kedelai. Pendapatan bengkel alsintan Pilihan alsintan & pengembang-annya Daya beli petani Ber-kurangnya tenaga pertanian Kehilangan hasil Produktivitas petani Beban kerja Intensitas tanam Produksi kedelai jagung & padi Mutu biji/ benih Pola tanam berorientasi pasar Dampak sosial ekonomis Pendapatan petani + + + + + + + + + + + + + -+ -+ -Pendapatan bengkel alsintan Pilihan alsintan & pengembang-annya Daya beli petani Ber-kurangnya tenaga pertanian Kehilangan hasil Produktivitas petani Beban kerja Intensitas tanam Produksi kedelai jagung & padi Mutu biji/ benih Pola tanam berorientasi pasar Dampak sosial ekonomis Pendapatan petani + + + + + + + + + + + + + -+ -+

(7)

-pemasaran di sentra produksi kedelai di luar Jawa dan Jawa sedikit berbeda. Di luar Jawa, grading/pemisahan mutu menjadi kategori baik dan kurang baik tidak dilakukan oleh petani tetapi dilakukan oleh pialang yang merupakan kepanjangan tangan dari pedagang antarpulau (kasus di Aceh) dan di tingkat pedagang pengumpul desa (kasus di Sulawesi Selatan), karena sebagian besar kedelai dari daerah ini diperdagangkan ke Jawa, konsumen terbesar kedelai di Indonesia. Selanjutnya, biji kedelai tersebut kembali disortasi menjadi tiga kategori mutu (baik, sedang, dan biasa) di tingkat pedagang antarpulau dan diperdagangkan dengan harga yang sesuai dengan penggolongan mutu tersebut. Tidak mengherankan jika pedagang antarpulau menerima margin terbesar dalam pemasaran kedelai (Zulham dan Yumm 1996).

Di Jawa, pada berbagai tingkatan (kasus di Jawa Tengah dan Jawa Timur), mulai dari tingkat petani, pedagang pengumpul desa sampai pedagang pengumpul propinsi tidak melakukan sortasi (grading) karena harga kedelai tidak berbeda antara yang disortasi dengan yang tidak disortasi. Hal ini berkaitan dengan tingginya permintaan kedelai di kedua daerah tersebut sehingga mutu kurang menjadi perhatian pasar. Namun, dengan adanya keterikatan petani dengan pedagang pengumpul desa karena pinjaman modal, penentuan harga seringkali ditentukan sepihak oleh pedagang tanpa mempertimbangkan mutu kedelai yang dihasilkan sehingga merugikan petani. Akibatnya, banyak petani mencampur kedelainya dengan tanah, pasir atau sisa polong untuk mendapatkan tambahan pendapatan (Zulham dan Yumm 1996). Mereka tidak terpacu untuk menghasilkan biji yang bermutu baik karena harga jualnya relatif sama. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang memberi insentif harga jual untuk biji yang mutunya baik, terutama di tingkat petani. Studi kasus di sentra produksi kedelai di Pasuruan menunjukkan bahwa dengan harga jual 10-15% di atas harga normal, petani dapat memproduksi kedelai sesuai standar mutu yang dikehendaki industri pengolahan susu kedelai (Tastra dan Gatot 1996). Demikian pula pengolahan produk pangandari kedelai, seperti tempe, tahu, dan kecap belum memiliki standar mutu biji yang resmi. Secara kualitatif, pengrajin tempe lebih menyukai biji kedelai impor sebagai bahan baku karena ukuran bijinya lebih besar dan seragam, sehingga rendemennya 25% lebih tinggi dibanding kedelai lokal dan pengrajin tahu lebih menyukai kedelai lokal karena rendemennya lebih tinggi dibanding kedelai impor (Suharno dan Mulyana 1996). Pengrajin kecap lebih menyukai kedelai hitam dibanding kedelai kuning. Namun karena relatif lebih murahnya harga kedelai impor, terbatasnya pasokan kedelai lokal dan kedelai hitam untuk kecap, pengrajin akhirnya menggunakan kedelai jenis apa saja yang tersedia di pasar. Akibatnya,

(8)

mutu produk yang dihasilkan tidak selalu seragam karena belum terstandarisasinya bahan baku.

Uraian di atas menggambarkan pentingnya upaya untuk meningkatkan kesadaran/kepedulian seluruh stakeholder (petani, pedagang, dan industri pengolahan) untuk menerapkan standar mutu biji kedelai. Di tingkat petani, upaya ini dapat dilakukan dengan

Gambar 3. Rantai pemasaran kedelai di Jawa dan di luar Jawa. Sumber: Zulham dan Yumm (1996).

Petani

Pedagang Pengumpul Desa

Pialang Pedagang Besar/Grosir Pengecer di Pasar Ind. Pengolah Kedelai KOPTI Pedagang Antarprop./ Antarpulau Pedagang Pengecer Ind. Pengolah Kedelai PUSKUD Kelompok Pedagang

Kac. Kedelai (KPKD) BULOG/DOLOG

PUSKUD Des a Pedagang Besar Propinsi/Antar-propinsi Pengecer Pasar Propinsi Ind. Pengolah Kedelai KOPTI Pedagang Besar Kabupaten Pengecer

Pasar Kab. Ind. PengolahKedelai KOPTI

Ind. Pengolah Kedelai Pedagang Besar Pedagang Pengumpul Desa Ind. Pengolah Kedelai Ped. Pengumpul antar Petani Pengecer Pasar Kecamatan Kec. Kab. Pr op. D e sa K e c. K ab. Pro p . L U AR J AW A JA W A Petani

Pedagang Pengumpul Desa

Pialang Pedagang Besar/Grosir Pengecer di Pasar Ind. Pengolah Kedelai KOPTI Pedagang Antarprop./ Antarpulau Pedagang Pengecer Ind. Pengolah Kedelai PUSKUD Kelompok Pedagang

Kac. Kedelai (KPKD) BULOG/DOLOG

PUSKUD Des a Pedagang Besar Propinsi/Antar-propinsi Pengecer Pasar Propinsi Ind. Pengolah Kedelai KOPTI Pedagang Besar Kabupaten Pengecer

Pasar Kab. Ind. PengolahKedelai KOPTI

Ind. Pengolah Kedelai Pedagang Besar Pedagang Pengumpul Desa Ind. Pengolah Kedelai Ped. Pengumpul antar Petani Pengecer Pasar Kecamatan Kec. Kab. Pr op. D e sa K e c. K ab. Pro p . L U AR J AW A JA W A

(9)

mensosialisasikan dan menerapkan good agricultural practices dan good handling practices, di tingkat pedagang pengumpul/besar good handling practices, dan di tingkat industri pengolahan good manufacturing practices. Hal ini disarankan pula oleh Codex Alimentarius Commission (CAC/RCP 51 2003) dalam Damardjati (2005) untuk penanganan kacang tanah. Selain itu, penerapan standar mutu biji kedelai di lapangan yang sifatnya mengikat (mandatory) yang memberi insentif harga bagi kedelai yang memenuhi standar mutu juga diperlukan untuk memacu upaya pengendalian mutu biji kedelai dan produk olahannya.

Kemitraan antara petani dengan industri pengolahan kedelai merupa-kan salah satu alternatif yang dapat memberi jaminan harga jual yang memadai kepada petani, sesuai dengan mutu biji kedelai yang dihasilkan. Sosialisasi cara penentuan mutu dan harga jual di tingkat pedagang besar dan industri pengolahan perlu dilakukan agar petani/pedagang pengumpul terdorong untuk menangani hasil panennya dengan baik guna mendapat-kan harga jual yang tinggi.

PENGEMBANGAN STANDAR MUTU BIJI KEDELAI

Standar mutu kedelai mempunyai peranan penting dalam pemasaran produksi dan dapat digunakan sebagai indikator kinerja sistem pengananan pascapanen kedelai di tingkat petani. Pencapaian standar mutu kedelai yang sesuai dengan yang telah disepakati oleh pihak yang terlibat dalam sistem produksi dan pemasaran, seperti tercermin dalam SNI 01-3922-1995, merupakan tolok ukur laju adopsi teknologi pascapanen kedelai di tingkat petani. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam mengoptimalkan kinerja komponen teknologi pascapanen yang berdampak langsung terhadap pencapaian standar mutu kedelai. Seperti telah dikemukakan, belum ter-penuhinya standar mutu biji kedelai (komponen kotoran biji) dari perontokan penjual jasa alsintan menunjukkan bahwa adopsi teknologi perontokan kedelai baru pada tahap penggantian tenaga manusia dengan mesin, belum berorientasi kepada pemenuhan standar mutu.

Secara teknis, mutu kedelai yang dihasilkan pada hakikatnya merupakan interaksi antara sifat fisik dan panas biji dengan alsintan yang digunakan (Gambar 4). Oleh karena itu, selain membenahi proses pelembagaan standar mutu, perlu pula dukungan pengembangan data base sifat fisik dan panas biji kedelai agar dapat dikembangkan standar mutu yang mempertimbangkan adanya keragaman sifat fisik dan panas biji varietas unggul kedelai (Prastiwi 2005, Hermawan 2005, Ardhianto 2005). Adanya data base sifat fisik dan panas biji kedelai berguna dalam optimasi sistem penanganan pascapanen. Sebagai contoh, informasi kecepatan terminal

(10)

biji kedelai dan sifat viskoelastis biji kedelai (Tabel 3) berguna dalam optimasi sistem perontokan agar tingkat kotoran dan kerusakan biji kedelai memenuhi standar mutu. Sementara sifat konduktivitas panas biji kedelai bermanfaat dalam optimasi sistem pengeringan yang berkaitan langsung dengan pemenuhan komponen mutu kadar air biji dan daya tumbuh benih bila pengeringan biji digunakan benih.

Sifat fisik dan kimia biji kedelai juga turut menentukan pemanfaatan kedelai sebagai bahan pangan. Berdasarkan warna bijinya, kedelai dapat digolongkan menjadi kedelai putih/kuning, hijau, dan hitam. Warna biji ini sangat mempengaruhi penggunaan kedelai sebagai bahan makanan, misalnya untuk produk kecap lebih disukai kedelai hitam, biji kuning sampai hijau untuk tahu, dan biji kuning untuk tempe. Menurut Susanto dan Saneto (1994), ukuran biji kedelai tergolong kecil apabila memiliki bobot 8-10 g/100 biji, berukuran sedang jika bobotnya 10-13 g/100 biji, dan berukuran besar bila bobotnya > 13 g/100 biji. Ukuran biji juga berpengaruh terhadap pemanfaatan kedelai. Menurut Krisdiana (2004), sekitar 93% pengrajin tempe menyukai biji kedelai yang warna kulitnya kuning dan ukurannya besar (82%), karena menghasilkan tempe yang warnanya cerah dan volumenya besar (Antarlina et al. 2000). Oleh karena itu, pengrajin tempe lebih memilih kedelai impor yang ukuran bijinya lebih besar, seragam, dan kualitasnya lebih baik (bebas dari kotoran/campuran), sehingga tidak memerlukan tambahan tenaga dan waktu untuk membersihkan sebelum diolah menjadi tempe. Beberapa varietas unggul kedelai yang dilepas akhir-akhir ini umum-nya berwarna kuning dan memiliki ukuran biji besar untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seperti Argomulyo, Bromo, Burangrang, Panderman, dan Anjasmoro (Tabel 4). Oleh karena itu, dalam pengembangan standar

Gambar 4. Interaksi standar mutu kedelai dengan sifat fisik, panas biji, dan sistem pascapanen.

SIFAT FISIK & PANAS

BIJI/BENIH KEDELAI

STANDAR MUTU

FISIK BIJI/BENIH KEDELAIfisik biji/benih kedelaiStandarmutu

SISTEM PASCA PANEN

KEDELAI

Sistem pascapanen kedelai Sifat fisik dan panas

biji/benih kedelai

SIFAT FISIK & PANAS

BIJI/BENIH KEDELAI

STANDAR MUTU

FISIK BIJI/BENIH KEDELAIfisik biji/benih kedelaiStandarmutu

SISTEM PASCA PANEN

KEDELAI

Sistem pascapanen kedelai Sifat fisik dan panas

(11)

mutu biji kedelai perlu pula dipertimbangkan untuk memasukan komponen warna, ukuran, dan keseragaman biji kedelai, khususnya untuk produk tertentu.

Kedelai merupakan sumber protein nabati yang relatif murah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, dibanding protein hewani. Kedelai dalam bentuk bungkil juga digunakan sebagai sumber protein bagi ternak. Konsumsi kedelai sebagai bahan pangan diperkirakan meningkat 2-3% dalam kurun waktu 1995-2010 dan 5-7% sebagai pakan ternak (Sudaryanto 1996). Kadar protein kedelai lebih tinggi dari jenis kacang-kacangan lainnya dan bervariasi (34-48%), bergantung pda varietas (Indrasari dan Damardjati 1991, Kusbiantoro 1993, Antarlina et al. 2000). Protein biji menentukan gizi produk berbahan baku kedelai, seperti tahu, kecap, susu kedelai, tepung, dan protein isolat/konsentrat.

Kadar protein kedelai berpengaruh terhadap kadar protein kecap yang dihasilkan dan merupakan salah satu persyaratan standar mutu kecap menurut SNI (1995), yakni minimal 2% (Ginting dan Suprapto 2004). Kadar protein kedelai juga berpengaruh terhadap rendemen tahu yang dihasilkan (Kusbiantoro 1993, Antarlina et al. 2000). Oleh sebab itu, kedelai lokal lebih

Tabel 3. Nilai parameter viscoelastis biji kedelai varietas Wilis berdasarkan model SMK dan DM pada kadar air biji 13,78% dan laju tekan 50 mm/menit.

Model SMK Model DM Ulangan K1(N/mm) K2(N/mm) C1(N-s/mm) K3(N/mm) K4(N/mm) C2(N-s/mm) 1 56,1 54,8 455,3 27,7 28,4 116,5 2 52,4 49,0 412,2 25,3 27,0 110,0 3 50,9 50,6 411,4 25,4 25,5 103,4 4 44,8 40,3 345,6 21,2 23,6 95,9 5 46,7 43,4 364,2 22,5 24,2 97,9 6 49,9 46,5 389,1 24,1 25,9 104,4 7 46,6 41,5 354,2 22,0 24,7 99,1 8 54,8 60,8 483,7 28,8 26,0 108,8 9 44,5 40,6 339,1 21,2 23,3 92,8 10 43,1 38,3 325,2 20,3 22,8 91,1 11 45,4 41,2 359,7 21,6 23,8 98,9 12 53,8 58,1 460,2 27,9 25,8 106,4 13 50,7 49,7 408,5 25,1 25,6 104,2 14 45,7 39,9 345,1 21,3 24,4 98,3 15 37,8 27,0 258,0 15,7 22,0 87,8 Rata-rata 48,2 45,4 380,8 23,3 24,9 101,0 SD 5,0 8,7 59,2 3,4 1,7 7,7

SMK= Simplified Maxwell-Kelvin Model; DM= Degenerated Maxwell Model Sumber: Tastra (2004).

(12)

disukai dibanding kedelai impor sebagai bahan baku tahu karena umur simpannya relatif pendek daripada kedelai impor yang dapat mencapai 6 bulan. Umur simpan kedelai berpengaruh terhadap kadar protein biji dan rendemen tahu. Untuk tempe, biji berukuran besar dan berwarna kuning tampaknya lebih disukai (Krisdiana 2004), sehingga produsen tempe lebih menyukai kedelai impor dibanding kedelai lokal. Akhir-akhir ini banyak dihasilkan dan dilepas varietas unggul kedelai yang ukuran bijinya besar, berwarna kuning, dan kadar proteinnya tinggi, seperti Bromo, Burangrang, dan Argomulyo (Balitkabi 2005). Ukuran bijinya relatif sama/lebih besar dibanding kedelai impor dan kadar proteinnya lebih tinggi dibanding varietas Wilis yang sudah lama berkembang di petani (Tabel 4). Upaya untuk me-ningkatkan kadar protein biji kedelai masih terus dilakukan dengan menyeleksi galur/varietas yang potensial sebagai tetua persilangan, termasuk varietas berbiji kuning dan berbiji hitam yang kadar proteinnya cukup tinggi namun ukuran bijinya kecil, seperti Cikurai dan Merapi. Hasil persilangan tersebut menghasilkan varietas/galur berbiji hitam, beberapa di antaranya memiliki protein dengan kadar yang cukup tinggi dan biji berukuran besar (Tabel 4). Kenyataan ini menunjukkan, di samping mutu fisik yang telah ditetapkan dalam SNI, sifat fisik dan kimia lainnya, terutama ukuran biji dan kadar protein, perlu dipertimbangkan standardisasi mutunya sesuai dengan tujuan akhir pemanfaatan kedelai. Hal ini juga akan mendorong pemulia untuk menghasilkan varietas kedelai yang dapat memenuhi standar mutu tersebut, sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Tabel 4. Ukuran biji (berat 100 biji) dan komposisi kimia beberapa varietas/galur kedelai. Varietas/galur Warna kulit Berat 100 biji Kadar air Protein Lemak

biji (g) (%) (% bk) (% bk) Anjasmoro a Kuning 14,8-15,3 - 41,8-42,1 17,2-18,6 Panderman a Kuning 18-19 - 36,9 17,7 Argomulyo b Kuning 15,0 10,0 40,2 19,3 Bromo b Kuning 14,4 9,6 42,6 19,5 Burangrang b Kuning 15,9 10,2 41,6 20,0 Kawi b Kuning 10,1 10,6 44,1 16,6 Tampomas b Kuning 10,9 9,9 41,2 19,6 Krakatau b Kuning 9,1 10,8 44,3 17,0 Wilis b Kuning 8,9 9,9 40,5 18,8

Kedelai impor b Kuning 15,8 12,1 36,8 21,7

Cikuray b Hitam 9,1 9,2 42,4 19,0

Merapi c Hitam 9,5 7,2 42,6 13,0

9837/Kawi-D-8-125 d Hitam 14,0 7,1 45,4 13,1

9837/Kawi-D-3-185 d Hitam 14,0 6,0 45,6 13,3

Sumber: a Balitkabi (2005); b Antarlina et al. (2000); c Ginting dan Suprapto (2004); d Ginting dan Adie (2006).

(13)

Beberapa komponen mutu yang disebutkan di atas telah digunakan dalam standar mutu biji kedelai di Amerika Serikat (Tabel 5). Densitas kamba (bulk density) yang menggambarkan berat biji per satuan unit volume merupakan kriteria mutu yang telah dibakukan karena dianggap penting untuk mengestimasi kapasitas ruang penyimpanan biji kedelai atau kapasitas alat pengolahan yang diperlukan. Kerusakan biji akibat perlakuan panas mendapat perhatian khusus di samping kerusakan akibat hama, jamur, busuk, dan bertunas. Pengeringan kedelai di Amerika Serikat umumnya dilakukan dengan alat pengering buatan (dryer). Mengingat dominannya penggunaan kedelai sebagai bahan baku minyak, kriteria tersebut dianggap penting untuk dicantumkan dalam standar mutu karena akan berpengaruh terhadap mutu minyak yang dihasilkan, yakni tingginya angka keasaman dan peroksida yang mengakibatkan minyak

Tabel 5. Persyaratan mutu biji kedelai yang berlaku di Amerika Serikata.

Klasifikasi mutu

Komponen mutu Satuan

1 2 3 4

Densitas kamba (bulk density) lbs/bushel 56,0 54,0 52,0 49,0 (minimum)

Butir rusak (minimum):

- Akibat panas (bagian dari total) % 0,2 0,5 1,0 3,0

- Total % 2,0 3,0 5,0 8,0

Benda asing (minimum)b % 1,0 2,0 3,0 5,0

Butir belah (minimum)c % 10,0 20,0 30,0 40,0

Butir warna lain (minimum)d 1,0 2,0 5,0 10,0

Benda lain (maksimum): Jumlah

- Limbah hewan Jumlah 9 9 9 9

- Biji jarak Jumlah 1 1 1 1

- Biji Crotalaria Jumlah 2 2 2 2

- Kaca Jumlah 0 0 0 0

- Batue Jumlah 3 3 3 3

- Benda asing yang tidak dikenal Jumlah 3 3 3 3

- Totalf 10 10 10 10

aSampel biji kedelai yang tidak memenuhi standar mutu adalah yang tidak termasuk

kategori mutu 1,2,3 dan 4 atau berbau asam ,busuk/bau yang tidak disukai (kecuali bau bawang putih) atau rusak karena panas atau secara visual mutunya rendah.

bSemua benda yang dapat melewati ayakan berlubang dengan diameter 3,2 mm dan

semua benda yang tertinggal di ayakan tersebut kecuali biji kedelai

c Kedelai yang seperempat bagian atau lebih bijinya hilang, tetapi tidak termasuk

kategori butir rusak.

d Untuk kedelai campur, tidak perlu memasukkan komponen mutu butir warna lain eSebagai tambahan untuk batas jumlah maksimum, berat batu harus lebih 0,1% dari

berat sampel

f Sebagai jumlah dari kombinasi semua benda asing. Berat batu tidak digunakan untuk

total jumlah benda asing Sumber: USSEC (2006).

(14)

menjadi mudah tengik. Untuk kadar air, meski tidak tercantum dalam standar mutu, tetapi harus diukur dan dicantumkan dalam sertifikat/ laporan pengamatan karena berbeda rekomendasinya, sesuai dengan tujuan penggunaan biji kedelai. Sebagai contoh, untuk bahan pangan dan benih, kadar air biji harus < 11%, untuk ekstraksi minyak dengan pelarut 12,5-14%, dan untuk keperluan ekspor < 13%. Demikian pula kadar protein dan lemak/minyak, meski tidak tercantum dalam standar mutu, tetapi dapat dilakukan analisis bila diperlukan. Angka rata-rata yang digunakan adalah 35% untuk protein dan 19% untuk lemak pada tingkat kadar air biji 13% atau setara dengan 40,2% dan 21,8% dalam basis kering.

Komponen standar mutu yang perlu dipertimbangkan untuk pe-ngembangan standar mutu biji dan produk olahan kedelai adalah aspek kesehatan dan keamanan pangan. Mengingat intensifnya penggunaan pestisida dalam budi daya kedelai di Indonesia dan 92,6% produksi kedelai digunakan untuk bahan pangan (FAOSTAT 2005), maka residu pestisida dalam ambang batas yang aman perlu diperhatikan, seperti yang telah ditetapkan oleh FAO melalui Codex Alimentarius Commission (Tabel 6). Demikian pula untuk kontaminasi toksin oleh jamur atau bakteri, terutama aflatoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus perlu dipertimbangkan untuk dicantumkan dalam satandar mutu meskipun risiko kontaminasi oleh jamur tersebut relatif lebih kecil pada kedelai dibanding kacang tanah dan jagung. Aflatoksin berbahaya bagi kesehatan

Tabel 6. Batas maksimum residu pestisida yang diizinkan pada biji kedelai.

Jenis pestisida Batas maksimum residu yang diizinkan(mg/kg) Acephate 0,3 Aldicarb 0,02 Azinphos-methyl 0,05 Bentazone 0,05 Carbaryl 0,2 Carbendazim 0,2 Chlorpyrifos 0,1 Clethodim 10 Cycloxydim 2 Cypermethrin 0,05 Diquat 0,2 Endosulfan 1 Ethoprophos 0,02 Fenvalerate 0,1 Glufosinate-ammonium 2

(15)

manusia dan ternak karena bersifat karsinogenik (penyebab kanker), terutama terhadap hati, mutagenik, teratogenik, dan menurunkan respon immunitas tubuh (ICAR 1987 dalam Ginting et al. 2004). Selain itu, pada ternak juga dapat menyebabkan turunnya berat badan dan produksi susu atau telur. Badan POM RI pada tahun 2004 telah menetapkan ambang batas aflatoksin B1 sebesar 20 ppb dan total aflatoksin 35 ppb untuk produk olahan kacang tanah dan jagung (Dharmaputra 2005). Untuk biji kacang tanah dan biji jagung belum ditetapkan ambang batas aflatoksin karena belum siapnya penanganan pra dan pascapanen di tingkat petani, penebas, dan pedagang. Angka tersebut sesungguhnya juga dapat digunakan untuk mengendalikan kontaminasi aflatoksin pada biji dan produk olahan kedelai.

Isu mengenai masuknya kedelai impor yang berasal dari tanaman transgenik juga menjadi penting untuk diperhatikan dalam pengembangan standar mutu biji kedelai. Hal ini berkaitan dengan masih dikhawatirkannya efek negatif rekayasa genetik terhadap keamanan pangan dan lingkungan (keamanan hayati). Monsanto, salah satu perusahaan di Amerika Serikat, telah berhasil mengembangkan kedelai transgenik tahan terhadap glyphosate (RR soybean = Roundup Ready soybean), yakni toksin yang terdapat dalam herbisida yang dapat mematikan semua jenis gulma. Di Brazil, kedelai transgenik ini masuk secara illegal dan ditanam/diperbanyak pada periode 1988-2002 karena sistem perundangannya belum jelas. Pada tahun 2005, undang-undang yang mengatur, mengontrol keluar-masuk, dan penanaman/ perbanyakan tanaman transgenik, termasuk kedelai transgenik diperbarui dengan nama the New Biosafety Law No. 11.105/2005, setelah melalui perdebatan selama tujuh tahun antara pemerintah, peneliti, pemerhati lingkungan, pemuka agama, dan perusahaan produsen kedelai transgenik (Scalzilli et al. 2005). Intinya, peraturan tersebut tetap melarang RR soybean (kedelai transgenik) ditanam/diperbanyak di Brazil.

Di Indonesia, masuknya biji kedelai yang berasal dari tanaman transgenik tidak dilarang seperti halnya di Brazil, namun diatur sangat ketat dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Horti-kultura No. 998.1/Kpts/OT.201/9/1999; 790.a/Kpts-IX/1999; 1145A/MENKES/ SKB/ IX/1999; 015A/MenegPHOR/09/1999 tanggal 29 September 1999 mengenai Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Khusus untuk biji kedelai transgenik, aturan umumnya terdapat pada Pasal 9 (harus memenuhi persyaratan keamanan hayati dan keamanan dengan mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial-budaya, dan estetika). Aturan khusus dalam Pasal 22 mengharuskan pemohon yang ingin memanfaatkan tanaman atau bagian tanaman transgenik atau hasil olahannya untuk mencantumkan informasi lengkap mengenai asal dan

(16)

sistem reproduksi tetuanya, sumber gen, vektor, dan metode rekayasa yang digunakan, sifat baru yang dipindahkan dan cara pemusnahan bila terjadi penyimpangan. Jika digunakan sebagai bahan pangan atau pakan, persyaratan dalam Pasal 22 tersebut ditambah dengan Pasal 23 yang meng-hendaki dicantumkannya informasi mengenai stabilitas gen sisipan dan efikasinya, kualitas gizi, kandungan senyawa beracun, antigizi dan penyebab alergi, kesepadanan substansial dengan pangan konvensionalnya, penilaian aman untuk dikonsumsi, dan lain-lain yang petunjuk teknisnya disajikan dalam Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan Produk Rekayasa Genetik oleh Tim Teknis Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan (KKHKP). Bila dianggap perlu, KKHKP dapat menyarankan uji laboratorium (kajian teknis) untuk melengkapi semua informasi di atas dengan mekanisme/metode yang sesuai untuk masing-masing risiko yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan bahan transgenik, misalnya potensi alergenik (KKHKP 2004). Pedoman ini juga disusun dengan mengacu kepada guideline yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius (2003) dengan kode CAC/GL.45-2003 untuk bahan pangan yang berasal dari tanaman hasil rekombinan DNA.

Bila informasi mengenai campuran biji kedelai transgenik ingin diguna-kan sebagai salah satu komponen standar mutu, khususnya untuk kedelai impor, harus mengikuti peraturan/ketetapan yang telah berlaku di atas. Hal ini penting untuk dipertimbangkan mengingat jumlah impor kedelai telah mencapai 62% dari total kebutuhan dalam negeri (FAOSTAT 2005). Namun, metode pengukuran kuantitatif yang cepat dan akurat untuk mendeteksi adanya biji kedelai yang berasal dari tanaman transgenik dan dampak negatifnya terhadap kesehatan dan lingkungan masih sangat terbatas. Salah satu metode praktis untuk mendeteksi biji kedelai yang tercampur dengan biji kedelai transgenik dapat digunakan metode RUR Bulk Soybean Test Kit seperti yang dilakukan oleh Monsanto terhadap petani kedelai di Brazil (untuk mendapatkan royalti) dengan tingkat sensitivitas 10%. Maksudnya, hasil pengukuran dengan metode tersebut akan positif bila dalam tumpukan biji kedelai terdapat > 10% biji kedelai transgenik. Namun, pengukuran ini hanya bersifat kualitatif karena tidak dapat menentukan besarnya persentase biji kedelai transgenik dalam tumpukan tersebut. Juga tidak dapat digunakan untuk memisahkan biji kedelai yang berasal dari pemuliaan konvensional dalam transgenik.

PENUTUP

(17)

komersial, tingkat penerimaan konsumen, dan tidak merugikan produsen maupun konsumen. Standar mutu yang telah ditetapkan Pemerintah melalui SNI untuk biji kedelai perlu dipahami oleh seluruh stakeholder kedelai, mulai dari petani, penjual jasa alsintan, pedagang, sampai industri pengolahan, sehingga pengendalian mutu dapat dilakukan mulai dari kegiatan pra dan pascapanen hingga pengolahan.

Penerapan standar mutu kedelai masih mengalami hambatan di tingkat petani karena pengelolaan pascapanen belum sepenuhnya berorientasi pada mutu, sistem pemasaran belum menguntungkan petani, dan belum tersedianya insentif harga jual untuk hasil panen yang mutunya baik.

Ke depan, kebijakan, sosialisasi, dan pembinaan yang mendukung ke arah perbaikan mutu biji dan produk olahan kedelai melalui good agricultural practices, good handling practices dan good manufacturing practices, untuk seluruh stakeholder kedelai masih perlu ditingkatkan. Pengembangan standar mutu biji kedelai yang mencakup spesifikasi tertentu sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, seperti warna, ukuran, keseragaman biji, dan kadar protein perlu dipertimbangkan. Demikian pula dari sisi keamanan pangan, seperti residu pestisida, dan kontaminasi aflatoksin, dan campuran biji yang berasal dari tanaman transgenik. Di samping itu, keragaman sifat fisik dan panas biji kedelai juga perlu dipertimbangkan dalam pengembangan standar mutu biji kedelai.

DAFTAR PUSTAKA

Antarlina, S.S., J.S. Utomo, E. Ginting, dan S. Nikkuni. 2000. Evaluation of Indonesian soybean varieties for food processing. In: A.A. Rahmianna and S. Nikkuni (Eds.). Soybean production and post harvest technology for innovation in Indonesia. Proceedings of RILET-JIRCAS Workshop on Soybean Research. Malang, 28 September 2000. p. 58-68.

Ardhianto, I. 2005. Penentuan nilai kecepatan terminal benih varietas Burangrang dan Wilis pada beberapa tingkat kadar air. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 149 p.

Balitkabi. 2005. Deskripsi varietas unggul kacang-kacangan dan umbi-umbian. Balitkabi. Malang. 154 p.

Codex Alimentarius. 2003. Guideline fo the conduct of food safety assessment of foods derived from recombinant-DNA plants. CAC/GL.45-2003. www.Codexalimentarius.net/web/standard_list.do? lang=en

(18)

(accessed on March 28, 2007).

Codex Alimentarius. 2006. Pesticides residues in food. www. Codex alimentarius.net/mrls/servlet/pesticideservlet? Pesticides= 0eItems=331&out_style=by+substance&Domain= Pesticides MRLS & language=english&query-form=%2Fpest_2-e-html (accessed on March 23 2007).

Damardjati, D.S. 2005. Penanganan permasalahan mikotoksin pada komoditas tanaman pangan dan dampaknya terhadap perdagangan. Makalah pada Seminar Nasional Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Mikotoksin dan Mikotoksikosis di Indonesia. Jakarta, 30 Juli 2005.

Dharmaputra, O.S. 2005. Kontaminasi mikotoksin pada bahan pangan dan pakan di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Mikotoksin dan Mikotoksikosis di Indonesia. Jakarta, 30 Juli 2005.

FAOSTAT. 2005. Statistical data of food balance sheet. www.fao.org (acessed on March 23 2007).

Ginting, E. dan Suprapto. 2004. Kualitas kecap yang dihasilkan dari biji kedelai hitam dan kuning. Dalam Hardaningsih et al. (Eds.). Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Puslitbangtan. Bogor. p. 267-276.

Ginting, E., A. A. Rahmianna, dan E. Yusnawan. 2004. Pengendalian kontaminasi aflatoksin pada produk olahan kacang tanah. Dalam Makarim et al. (Eds.). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbangtan. Bogor. p. 581-591. Ginting, E. dan M.M. Adie. 2006. Sifat fisik dan kimia beberapa galur/varietas

kedelai berbiji hitam serta kualitas kecap yang dihasilkan. Makalah pada Lokakarya Pengembangan Ubikayu dan Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian. Malang 7-8 September 2006. Balitkabi. Malang. 16 p.

Hermawan, N. 2005. Sifat panas benih kedelai varietas Wilis dan Burangrang pada beberapa tingkat kadar air. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. 248 p. Indrasari, S.D. dan D.S. Damardjati. 1991. Sifat fisik dan kimia varietas kedelai

dan hubungannya dengan rendemen dan mutu tahu. Media Penelitian Sukamandi. 9:43-50.

(19)

genetika. Komisi Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan. 21 p. Krisdiana, R. 2004. Preferensi industri tahu dan tempe dalam menggunakan

bahan baku kedelai di Jawa Timur. Dalam: A.K. Makarim, Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmianna, Heriyanto, dan I.K. Tastra (Eds.). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Puslitbangtan. Bogor. p. 540-548.

Kusbiantoro, B. 1993. Sifat fisikokimia dan karakteristik protein kedelai (Glycine Max (L.) Merril) dalam hubungannya dengan mutu tahu yang dihasilkan. Thesis S2. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Manwan, I. dan Sumarno. 1996. Perkembangan dan penyebaran kedelai.

Dalam: B. Amang, M.H. Sawit dan A. Rachman (Eds.). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. Jakarta. p. 69-150.

Nugraha, S. dan A. Setyono. 1989. Penentuan mutu fisik biji-bijian. Disampaikan pada Latihan Teknik Penelitian Pascapanen dan Benih di Balittan Sukamadi, 14 Agustus-9 September 1989. 20 p.

Purwadaria, H.K. 1989. Teknologi penanganan pascapanen kedelai (edisi kedua). Deptan-FAO, UNDP. Development and Utilization of Postharvest tools and equipment, INS/088/007.

Purwadaria, H.K. 1993. Promoting the powered soybean thresher among farmers and farmer group. Paper for special topic on Extension Experiences of AGPP Country Projects, Bali, Indonesia, 20-22 April 1993.

Prastiwi, L. 2005. Sifat fisik benih kedelai varietas Wilis dan Burangrang pada beberapa tingkat kadar air. Skripsi. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijya. Malang.

Scalzilli, J.C.L., J.P.S. Scalzilli, and L.M. Dias. 2005. Transgenic soybean in Brazil: notes about legislation on planting and intellectual property rights. Monsanto Watch September 5 2005. www.monsantowatch.org/ moduleinterface.php?module=Newsid=cntnt01&cntnt01action=detail& cntnt01articleic (acessed on March 23, 2007).

SNI. 1995. Standar Nasional Indonesia untuk kedelai (SNI 01-3922-1995). Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. 6 p.

Soemardi dan R. Thahir 1985. Pascapanen kedelai. Dalam: S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung dan Yuswadi (Eds.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p. 429-440.

(20)

Rachman (Eds.). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. p. 237-264.

Suharno, P. dan W. Mulyana. 1996. Industri tahu dan tempe. Dalam: B. Amang, M.H. Sawit dan A. Rachman (Eds.). Ekonomi kedelai di Indonesia. IPB Press. p. 265-296.

Susanto, T. dan B. Saneto. 1994. Teknologi pengolahan hasil pertanian. Bina Ilmu. Surabaya.

Tastra, I.K. dan Gatot, S.A.F. 1996. Aspek ergonomik sistem penjualan jasa perontokan dan implikasinya terhadap upaya pengembangan agroindustri berbasis kedelai di Pasuruan, Jawa Timur. Makalah pada Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai di Indonesia. Jakarta 6-7 Agustus 1966.

Tastra, I.K. 2004. Studi pendahuluan sifat viskoelastis biji kedelai untuk mendukung upaya peningkatan mutu benih kedelai. Dalam: Munarso, J., Risfaheri, Abubakar, Setyadjit, dan S. Prabawati (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. p. 145-152.

Tastra, I.K., E. Ginting, S.S. Antarlina, dan J.S. Utomo. 1997. Teknologi pasca-panen dan pengolahan hasil kacang-kacangan dan ubi jalar. Makalah pada pelatihan Pascapanen dan Pengolahan Hasil Tanaman Pangan di BLPP Cibitung, 21-25 Juli 1997. 140 p.

USSEC. 2006. Ouality standards for U.S. soybean and soy products. In U.S. soy: international buyer’s guide chapter 2. U.S. Soybean Expert Council. www.ussoyexports.org/buying_u.s_soy/buyer’s_guide/ Chap2.pdf (accessed on March 23 2007).

Zulham, A. dan M. Yumm. 1996. Pemasaran dan pembentukan harga. Dalam: B. Amang, M.H. Sawit dan A. Rachman (Eds.). Ekonomi Kedelai di Indonesia. IPB Press. p. 319-354.

Gambar

Tabel 2. Persyaratan mutu biji kedelai menurut SNI 01-3922-1995.
Gambar 1. Cara pengambilan contoh primer, contoh kerja, dan contoh analisis  pada analisis mutu biji kedelai.
Gambar 2. Mutu kedelai dalam perspektif penanganan pascapanen kedelai.
Gambar 3. Rantai pemasaran kedelai di Jawa dan di luar Jawa.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Ada pun alat dan bahan yang digunakan dalam Pembuatan mesin pemecah biji kedelai adalah sebagai berikut ;. Tabel

Ada pun alat dan bahan yang digunakan dalam Pembuatan mesin pemecah biji kedelai adalah sebagai berikut ;.. Tabel

protein pada kecap manis biji turi dengan penambahan volume ekstrak nanas. 100 ml sebesar 3,92% sudah memenuhi syarat mutu kecap manis dari

Pada rantai pasok biji kakao tradisional yang menjadi anggota rantai pasok adalah petani, pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul besar dan unit pembelian biji kakao..

Pada penelitian ini dibuat formulasi flakes dari tepung kulit biji kedelai dengan variasi konsentrasi tepung kulit biji kedelai dan tepung jagung yang

Adapun lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao di Kabupaten Pasaman adalah petani, petani bandar, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang

Berdasarkan hasil penelitian, perbandingan komposisi kedelai dan air lebih dominan berhubungan terhadap mutu susu kedelai dibanding dengan varietas3. Perbandingan komposisi

Value chain agribisnis kedelai di Kabupaten Grobogan Produksi Pengumpul Penjualan kedelai Pedagang Besar Pedagang Kecil Petani Kios, Toko, Pengecer Pengolahan Penjualan