1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang berbentuk kepulauan dan memiliki seni dan budaya yang sangat kaya dan beraneka ragam. Hal tersebut dikarenakan oleh keberagaman etnik, suku bangsa, kebudayaan, kebiasaan, serta agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang sepatutnya dilindungi. Kekayaan seni dan budaya tersebut merupakan salah satu kekayaan intelektual yang dapat
dan perlu mendapat perlindungan oleh undang-undang.1
Ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang hidup di masyarakat Indonesia
berkaitan erat dengan konsep Hak Atas Kekayaan Intelektual.2 Di jaman yang
serba modern dan berkat pengaruh globalisasi sekarang ini, segala hal yang ada termasuk ilmu pengetahuan, seni serta budaya tersebut dapat dioptimalkan potensinya hingga dapat berguna dan memberi manfaat secara langsung maupun tidak langsung, serta dapat memajukan taraf ekonomi seseorang apabila dimanfaatkan dalam perdagangan, bahkan bukan hanya dapat memberi dampak bagi seseorang, tetapi juga bagi bangsa dan negara.
Hak Atas Kekayaan Intelektual, selanjutnya disebut dengan HKI,
merupakan terjemahan dari istilah Intellectual Property Rights. Istilah tersebut
apabila dijabarkan terdiri dari tiga kata, yaitu hak, kekayaan, dan intelektual. Hak
1 Adrian Sutedi, 2013, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.114. 2 Budi Agus Riswandi, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum, PT.Raja
▸ Baca selengkapnya: berikut ini beberapa upaya dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah munculnya masalah keberagaman suku bangsa
(2)dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hak Asasi Manusia dan Hak Amanat Aturan/Perundangan, HKI adalah Hak Perundangan yaitu hak yang didapat karena
diberikan/diatur melalui peraturan perundang-undangan. Seiring
perkembangannya, berdasarkan Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2015, istilah HKI diubah menjadi KI dengan tujuan menyelaraskan dengan penyebutan di
negara-negara lainnya.3 Kekayaan adalah segala sesuatu hal yang memiliki nilai
dan dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Kekayaan Intelektual adalah kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, dan seterusnya. Singkat kata, HKI adalah hak-hak (wewenang atau kekuasaan) untuk melakukan sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang
berlaku.4 Selain pengertian yang didapat dari menelaah satu persatu suku kata
yang membentuk kata HKI tersebut, beberapa para ahli juga memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan HKI tersebut. H. OK Saidin misalnya, beliau mengemukakan bahwa Hak Kekayaan Intelektual adalah hak kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio, yaitu
hasil kerja ratio yang menalar, dan hasil kerja itu berupa benda immateriil.5
KI dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah Hak Cipta yang meliputi hasil-hasil karya sastra, musik, fotografi, sinematografi, dan seterusnya. Yang kedua adalah Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Right) yang meliputi
3 Anonim, 2015, “Ini Alasan Berubahnya Nomenklatur Ditjen Kekayaan Intelektual”,
Hukum Online, URL: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cd5c0bcc7c9/ini-alasan-berubahnya-nomenklatur-ditjen-kekayaan-intelektual diakses pada 28 Juni 2016.
4 Adrian Sutedi, op.cit., hlm.38.
5 H. OK. Saidin, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
paten, merek dagang, perlindungan varietas tanaman, rahasia dagang, desain
industri, desain tata letak sirkuit terpadu, dan indikasi geografis.6
Hak cipta merupakan salah satu bagian penting dari KI. Hak cipta meliputi ciptaan atau karya-karya seperti ilmu pengetahuan berupa buku, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lainnya, selain itu juga termasuk dalam hak cipta adalah lagu, tarian, karya seni rupa, serta karya seni modern seperti fotografi. Yang dilindungi dalam hak cipta ini bukanlah benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut, melainkan haknya, yaitu hak Pencipta terhadap sesuatu yang telah
diciptakannya tersebut.7 Oleh karena ciptaan itu diciptakan dengan berbagai
proses dan bukanlah sesuatu hal yang mudah karena tidak semua orang dapat menciptakan karya cipta yang merupakan kekayaan intelektual, maka diperlukanlah pengaturan untuk menentukan apa saja ciptaan yang dilindungi, memberikan kejelasan mengenai siapa-siapa saja yang disebut pencipta, serta memberikan kejelasan mengenai berapa lama jangka waktu perlindungan suatu ciptaan.
Hukum mengakui hak cipta lahir secara otomatis sejak ciptaan tersebut
selesai diwujudkan, maksudnya adalah selesai diwujudkan dalam material form
(fixation) atau telah memiliki bentuk atau wujud sesuai dengan keinginan pencipta dan sesuai dengan karakter khas ciptaan. Dalam Konvensi Bern, yaitu pada Article 2 (2) dinyatakan bahwa akhir penyelesaian ciptaan atau waktu fiksasi
menjadi titik tolak lahirnya hak, dan secara implisit Konvensi Bern mengakui
6 Taryana Soenandar, 2007, Perlindungan Hak Milik Intelektual Di Negara-Negara
ASEAN, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.8.
bahwa hak cipta tidak melindungi ide semata. Sejalan dengan hal tersebut, dalam
TRIPS Agreement Article 9 (2) ditegaskan bahwa hak cipta menganut prinsip
hanya melindungi ekspresi dan bukan ide atau inspirasi, prosedur, metode
pengoperasian atau konsep matematik.8
Hak cipta tidak memiliki keharusan untuk didaftarkan ataupun keharusan persyaratan formal lainnya. Hal ini terdapat secara implisit dalam Konvensi Bern. Di Indonesia penerapan mekanisme pendaftaran hak cipta dilakukan hanya untuk memberikan pelayanan administratif. Pendaftaran tersebut tidak mengesahkan isi, arti maupun jaminan legalitas hubungan kepemilikan ciptaan dengan penciptanya. Pendaftaran ciptaan hanyalah sebagai bukti awal bahwa pencipta memiliki hak
tersebut.9
Salah satu ciptaan yang dilindungi di Indonesia sesuai dengan UUHC adalah karya cipta fotografi. Hal ini diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf k UUHC dan disebutkan secara jelas. Fotografi dalam hal ini adalah termasuk potret, hal tersebut didasarkan pada Pasal 1 angka 10 yang menyatakan bahwa Potret adalah karya fotografi dengan objek manusia, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa potret juga merupakan karya fotografi dan peraturan terhadap potret dapat juga diberlakukan terhadap fotografi. Peraturan mengenai potret dan fotografi ini terdapat dalam UUHC khususnya pada Pasal 12 sampai dengan Pasal 15. Dalam pasal-pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila akan dilakukan pengumuman, penggandaan, pendistribusian dan/atau penggunaan secara
8 H. OK. Saidin, op.cit., hlm.12.
9 Henry Soelistyo, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, PT Raja Grafindo Persada,
komersial terhadap karya potret dan fotografi tersebut, maka haruslah mendapat persetujuan dari pihak yang terdapat dalam potret atau fotografi tersebut ataupun pihak yang merupakan pencipta dari karya tersebut kecuali diperjanjikan lain, karena karya cipta fotografi memiliki hak eksklusif bagi penciptanya, yaitu berupa hak moral dan hak ekonomi.
Dalam era yang semakin modern ini, tentu saja teknologi yang digunakan semakin berkembang dan semakin canggih, dan kegiatan yang berkaitan dengan fotografi juga tidak luput dari perkembangan teknologi tersebut. Sebelum peralatan fotografi menjadi canggih seperti sekarang ini, awalnya untuk memperoleh sebuah foto diperlukan kamera lengkap dengan peralatan-peralatan
lainnya, seperti roll film dan proses pencetakan fotonya memakan waktu yang
terbilang cukup lama. Kualitas foto yang dihasilkan juga tidak sebagus apa yang dapat dihasilkan sekarang ini.
Perkembangan teknologi ini juga berdampak bagi karya fotografi yang meliputi juga pelanggaran-pelanggaran yang dapat terjadi terhadap karya fotografi
ini. Misalnya saja evolusi pada penyimpanan file foto yang sekarang sangat
mudah, cukup dengan menggunakan sebuah alat penyimpanan data yang dinamakan SD Card, seseorang bisa menyimpan ratusan hingga ribuan foto yang
dihasilkan dari kamera digital-nya dan dapat dilakukan dengan waktu yang
singkat, serta melalui SD Card tersebut, hasil foto yang didapat dengan mudah
dapat didistribusikan kemanapun melalui sarana komputer maupun online. Selain
adanya kemudahan-kemudahan tersebut, terdapat juga kelemahannya yaitu karena terlalu mudahnya pendistribusian data tersebut mengakibatkan siapa saja dapat
melakukannya dan susah untuk mengetahui siapa pelaku penyebaran atau
pendistribusian tersebut, terutama apabila data atau file foto tersebut sudah
terunggah di media-media online. Selain perkembangan alat dan piranti fotografi yang ada, perkembangan teknologi pada bidang olah perangkat lunak komputer juga dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak cipta karya fotografi tersebut. Contohnya saja apabila hasil foto seseorang dipindahkan
datanya dari SD Card ke dalam komputer dan melalui program pengolahan foto
dilakukan pengubahan-pengubahan seperti kontur warna, tekstur, dan sebagainya, tentu orisinalitas karya cipta fotografi yang semula merupakan ciri khas karya tersebut akan hilang, dan dapat menyebabkan kerugian pada penciptanya.
Oleh karena itu, fotografer yang ahli dan jeli akan hal tersebut seringkali
membubuhi tanda air atau watermark dalam karya fotografinya sebelum
melakukan pengumuman, penyebaran, dan semacamnya, untuk menunjukkan bahwa karya tersebut adalah miliknya. Di kalangan fotografer, tanda air atau watermark dianggap sebagai penanda bahwa karya cipta itu adalah milik mereka.
Dalam perkembangannya, tanda air atau watermark dianggap sebagai
bukti pencipta dan/atau kepemilikan hak cipta seseorang dan dianggap memiliki
kekuatan hukum. Tetapi, kejelasan mengenai keabsahan tanda air atau watermark
yang kerap digunakan sebagai bukti ini perlu ditelaah lebih lanjut agar tidak
menimbulkan kesalahan pemahaman yang berpotensi menimbulkan
permasalahan, terutama permasalahan terkait dengan hukum di kemudian hari karena belum jelasnya peraturan atau ketentuan yang menyatakan mengenai keabsahan tanda air (watermark) tersebut sebagai bukti pencipta dan/atau
kepemilikan seseorang atas hak cipta serta sebagai bukti perlindungan hak cipta atas karya cipta tersebut. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan ini, dapat ditarik sebuah judul yaitu “Keabsahan Tanda Air
(Watermark) sebagai Bukti Pencipta atas Karya Cipta Fotografi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka dapatlah ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah keabsahan tanda air (watermark) dalam suatu karya cipta
fotografi apabila digunakan untuk menunjukkan bukti pencipta berkenaan dengan kepemilikan hak berdasarkan UUHC?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan UUHC terhadap karya
fotografi yang terdapat tanda air (watermark) tersebut?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang ada dan tidak keluar dari konteks materi yang akan dibicarakan maka perlu dikemukakan ruang lingkup permasalahannya. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk melakukan pembatasan terhadap isi materi dan uraian agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan, sehingga dapat ditemukan hasil yang sistematis dan metodis.
Permasalahan pertama yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
apabila digunakan untuk menunjukkan bukti pencipta dalam karya cipta berdasarkan UUHC. Permasalahan kedua adalah bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap karya cipta fotografi dengan tanda air (watermark) tersebut.
1.4. Orisinalitas
Skripsi dengan judul “Keabsahan Tanda Air (Watermark) sebagai
Bukti Pencipta atas Karya Cipta Fotografi berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014” merupakan hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli penulis. Apabila memang terdapat referensi terhadap karya milik pihak lain, maka akan dituliskan sumbernya dengan jelas. Beberapa penelitian sejenis yang ada penulis temukan pada internet ataupun perpustakaan skripsi adalah
“Perlindungan Hukum Terhadap Ciptaan Fotografi Dengan Tanda Air Atau
Watermark Berdasarkan Undang-Undang Nomor.19 Tahun 2002 Tentang Hak
Cipta” dan “Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Fotografi Dalam Kaitannya
Dengan Pelanggaran Melalui Internet”. Dari kedua penelitian yang telah ada tersebut, terdapat perbedaan dengan penelitian ini karena penelitian ini berfokus
pada penelitian tentang keabsahan tanda air atau watermark sebagai bukti
pencipta dan perlindungan hak cipta berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Berikut ini penulis lampirkan perbedaan materi penelitian yang telah ada dengan penelitian ini:
No. Penulis Judul Penelitian Rumusan Masalah
1 Dedy Dermawan
Armadi
Perlindungan Hukum Terhadap Ciptaan Fotografi Dengan
1. Bagaimana status hukum tanda
air atau watermark pada ciptaan fotografi berdasarkan
Undang-Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Tanda Air Atau Watermark Berdasarkan
Undang-Undang Nomor.19 Tahun 2002 Tentang
Hak Cipta
undang Hak Cipta ?
2. Bagaimanakah perlindungan
hukum tanda air atau watermark pada ciptaan fotografi berdasarkan Undang-undang Hak Cipta ? 2 M. Arfiansyah Muhtar Fakultas Hukum Universitas Mataram Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta
Fotografi Dalam Kaitannya Dengan Pelanggaran Melalui
Internet
1. Bagaimanakah Perlindungan
Hukum Atas Karya Cipta Fotografi Jika Terjadi Pelanggaran Melalui Internet?
2. Apa Sajakah Upaya Hukum
Yang Dilakukan pencipta Atas Karya Fotografi Yang Digunakan Pihak Lain Tanpa
Izin? 1.5. Tujuan Penulisan
Penulisan skripsi ini memiliki tujuan yang hendak dicapai berupa tujuan secara umum dan tujuan secara khusus, yakni:
1.5.1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui kejelasan mengenai keabsahan tanda air (watermark) dalam perannya sebagai bukti untuk menunjukkan kepemilikan hak cipta dan perlindungan hukum berdasarkan UUHC.
1.5.2. Tujuan khusus
1. Untuk memahami keabsahan tanda air (watermark) dalam
2. Untuk memahami perlindungan hukum seperti apa yang diberikan oleh Undang-Undang Hak Cipta terhadap karya fotografi dengan tanda air (watermark) tersebut.
1.6. Manfaat Penulisan
Penulisan skripsi ini memiliki 2 (dua) manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.6.1. Manfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dan pengembangan dibidang ilmu hukum secara umum dan di bidang Hak Kekayaan Intelektual khususnya dalam hal hak cipta. Selain itu, diharapkan juga bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi, landasan atau pedoman untuk penelitian lebih lanjut dalam hal hak cipta khususnya Fotografi.
1.6.2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan pemikiran dan penalaran kepada pembaca, serta menambah wawasan juga pengetahuan mengenai hak cipta. Hasil penelitian dan penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah untuk digunakan sebagai pertimbangan dalam hal penyusunan produk hukum yang berkaitan dengan hak cipta.
Hak Cipta merupakan salah satu hak yang dilindungi dan diakui di Indonesia sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual atau KI yang sudah memiliki perlindungannya tersendiri di Indonesia yakni Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Berikut ini adalah beberapa teori hukum dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan KI yang melandasi pemikiran perlunya penegasan yang lebih terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kebingungan dalam memenuhi kewajiban dan hak dari pencipta ataupun pemegang hak cipta tersebut.
1.7.1. Natural right theory
Berdasarkan natural right theory yang dikemukakan oleh John Locke,
seorang pencipta mempunyai hak untuk mengontrol penggunaan dan keuntungan
dari ide, bahkan sesudah ide itu diungkapkan kepada masyarakat.10 Teori ini
memiliki 2 unsur, antara lain:
- First Occupancy, yaitu seseorang yang menemukan atau menciptakan
sebuah ciptaan berhak secara moral terhadap penggunaan eksklusif dari ciptaan tersebut
- A Labor Justification, yang berarti seseorang yang telah berupaya
dalam menciptakan KI, dalam hal ini yaitu sebuah ciptaan, seharusnya berhak atas hasil dari usahanya tersebut.
Unsur-unsur tersebut merupakan cerminan daripada hak eksklusif yang dikenal dalam KI, yang terdiri dari dua macam hak, yaitu hak moral dan hak ekonomi.
10 Tomi Suryo Utomo, 2010, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Di Era Global, Sebuah
Teori tersebut kemudian diadopsi dalam Paris Convention yang mengatur
tentang hak moral atau moral rights. Ketentuan yang diberlakukan adalah berupa
kewajiban untuk mencantumkan nama pencipta.
1.7.2. Hak cipta sebagai hak eksklusif
Hak cipta merupakan hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta. Hak eksklusif ini bersifat khusus, yaitu hanya dimiliki oleh pencipta, dan hak ini didapatkan bukan dengan permintaan atau permohonan kepada pemerintah, tetapi diperoleh dengan pengumuman yang dilakukan oleh pencipta dan dalam pengumuman tersebut dicantumkan identitas pencipta dalam ciptaannya. Hal tersebut harus dilakukan oleh pencipta agar mendapatkan hak eksklusif tersebut
dan mendapat perlindungan hukum.11
Hak eksklusif berkaitan dengan hak pencipta atau pemegang hak untuk melakukan pengumuman, memperbanyak ciptaan, atau memberikan izin mengenai hal tersebut kepada pihak lain dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Hak
eksklusif ini tidak bersifat mutlak karena terdapat pembatasan-pembatasan atau pengecualian-pengecualian yang ditetapkan dalam undang-undang.
Hak Eksklusif pencipta secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu hak moral dan ekonomi.13 Hak Moral (moral right) merupakan hak pencipta
yang tidak dapat diambil sedemikian rupa tanpa izin pemegang hak cipta.14 Hak
11 Farida Hasyim, op.cit., hlm.188. 12 Adrian Sutedi, op.cit., hlm.117. 13 Tomi Suryo Utomo, loc.cit. 14 Farida Hasyim, op.cit., hlm.189.
moral ini bersifat abadi dan melekat pada diri pencipta, walaupun pencipta telah meninggal dunia ataupun hak terkait lainnya telah dialihkan kepada pihak lain. Hak moral ini mencakup hak pencipta untuk memakai ciptaannya, mencantumkan nama dalam ciptaan, melakukan pengubahan terhadap isi, judul, dan segala hal dari ciptaannya.
Hak moral dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, antara lain:15
a. Hak untuk diakui sebagai pencipta (authorship right atau paternity right)
yang maknanya mewajibkan nama pencipta dicantumkan atau disebutkan dalam ciptaannya. Tetapi, apabila pencipta tidak berkenan namanya dicantumkan maka nama dari pencipta tidak dicantumkan, dan diperbolehkan juga apabila pencipta menginginkan bahwa yang dicantumkan adalah nama samarannya. Walaupun hak cipta sudah beralih dari pencipta kepada pihak lain, tetapi untuk pencantuman nama pencipta
pada karya ciptaannya tetap harus dilakukan.16
b. Hak keutuhan karya (right of integrity) yang maknanya adalah larangan
terhadap pengubahan, pengurangan, atau perusakan ciptaan yang dapat menghancurkan integritas penciptanya. Secara prinsip, hak ini mengharuskan bahwa ciptaan harus tetap utuh sesuai dengan ciptaan aslinya.
Hak Ekonomi (economic right) adalah hak pencipta yang berkaitan dengan keuntungan secara ekonomi, atau hak pencipta untuk menikmati hasil dan
15 Henry Soelistyo, op.cit., hlm.16. 16 H. OK. Saidin, op.cit., hlm.99.
keuntungan yang diperoleh dari hasil ciptaannya, yang dapat diperoleh dari
memperbanyak ciptaan, royalti, lisensi, dan lain-lain.17
1.7.3. Prinsip perlindungan terhadap hak cipta
Dalam UUHC disebutkan secara jelas karya-karya apa saja yang mendapat perlindungan hak cipta. Hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 40 ayat (1) yang menyebutkan bahwa:
“Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
a. buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil
karya tulis lainnya;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase;
g. karya seni terapan;
h. karya arsitektur;
i. peta;
j. karya seni batik atau seni motif lain;
k. karya fotografi;
l. Potret;
m. karya sinematografi;
n. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen,
modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
o. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi
budaya tradisional;
p. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan
Program Komputer maupun media lainnya;
q. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut
merupakan karya yang asli;
r. permainan video; dan
s. Program Komputer.”
17 Farida Hasyim, op.cit., hlm.189.
Dengan penjelasan tersebut, sudah sangat jelas bahwa ciptaan-ciptaan yang dilindungi sudah memiliki wujud nyata atau konkrit, dan merupakan suatu ciptaan yang dapat dirasakan oleh indera manusia, seperti dapat dilihat, didengar, dibaca ataupun dirasakan dengan indera lainnya. Hak cipta tidaklah memberi perlindungan terhadap ciptaan-ciptaan yang belum memiliki wujud nyata.
Perlindungan terhadap hak cipta dapat dilihat dari pengertian mengenai hak cipta, yaitu adanya prinsip deklaratif dan timbul secara otomatis. Hak Cipta diakui oleh hukum saat ciptaan memiliki bentuk nyata, dan dilakukan pengumuman oleh orang yang merupakan penciptanya. Pada saat itulah juga,
perlindungan terhadap hak cipta tersebut ada secara otomatis. 18
Karena sistem perlindungan hak cipta bersifat otomatis, maka untuk pencatatan tidak merupakan suatu keharusan bagi penciptanya, dijelaskan dalam Pasal 64 ayat (2) UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa “Pencatatan Ciptaan dan produk hak terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak terkait”. Sistem perlindungan otomatis ini dilandasi oleh Bern Convention yang kemudian diadopsi oleh UU No. 19 Tahun 2002 dan sekarang telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2014. Pencatatan karya cipta akan berarti sangat penting dalam kondisi dimana seseorang terlibat dalam suatu kasus sengketa hak cipta. Pencipta yang telah memiliki bukti-bukti otentik yang didapat dari pendaftaran hak cipta tentu dapat dengan mudah
menunjukkan dan membuktikan hak kepemilikannya di pengadilan.19 Suatu ciptaan tidak wajib didaftarkan karena pendaftaran hanyalah merupakan alat pembuktian semata apabila di kemudian hari terdapat pihak lain yang ingin
mengakui hasil ciptaan seseorang.20 Apabila sudah didaftarkan, lambang
copyright yang disimbolkan dengan © sebagai simbol hak cipta menjadi hak
pencipta untuk disisipkan pada ciptaannya atau tidak.
1.7.4. Metode interpretasi (interpretatiemethoden)
Metode interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
dikemukakan oleh J.J.H. Bruggink dalam bukunya Op Zoek Naar Het Recht
(Rechtsvinding in Rechstheoretisch Perspectief).21 Beberapa jenis interpretasi
yang ada antara lain:22
- Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam
undang-undang sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa
- Interpretasi teleologis atau sosiologis, yaitu pemaknaan suatu kaidah
hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum terhadap apa yang ingin dicapai dalam masyarakat
- Interpretasi komparatif, yaitu suatu metode penafsiran dengan cara
membandingkan dua atau lebih sistem hukum yang berlaku, dengan
19 Yusran Isnaini, 2009, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hlm.16.
20 Farida Hasyim, 2011, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.189.
21 Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2014, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm.25.
22 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
tujuan mendapatkan kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan
- Interpretasi futuristik atau antisipatif, yaitu penafsiran untuk penemuan
hukum yang bersifat antisipatif yang menjelaskan undang-undang yang berlaku (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum berkekuatan hukum atau dicita-citakan (ius constituendum)
1.8. Metode Penelitian
1.8.1. Jenis penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan yang ada seperti peraturan
perundang-undangan, buku-buku tentang ilmu hukum, serta kamus atau ensiklopedi.23
Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data sekunder (bahan kepustakaan).
1.8.2. Jenis pendekatan
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach), serta
pendekatan perbandingan (comparative approach). Pendekatan
perundang-undangan dilakukan dengan cara mengkaji peraturan
23 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Pendekatan analisis konsep hukum dilakukan dengan cara memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan guna mendapatkan pemahaman yang jelas dan tidak menyebabkan bias atau perbedaan pemahaman. Pendekatan perbandingan atau pendekatan komparatif dilakukan dengan membandingkan peraturan perundang-undangan suatu negara dengan lainnya mengenai hal yang sama guna
menemukan solusi atas suatu isu hukum yang terjadi.24
1.8.3. Sumber bahan hukum
a. Sumber bahan hukum primer
Sumber bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, contohnya adalah peraturan
perundang-undangan.25 Dalam penelitian ini bahan hukum primernya adalah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
b. Sumber bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil penelitian, buku-buku, maupun pendapat
para ahli.26 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini adalah buku-buku tentang ilmu hukum serta hasil
24 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm.93-95. 25 Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.118.
penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini yang sudah mendapat validasi sebagai suatu penelitian.
c. Sumber bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk dan/atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, misalnya kamus hukum dan ensiklopedi.27
1.8.4. Teknik pengumpulan bahan hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi kepustakaan, yaitu dilakukan dengan mempelajari konsep-konsep, teori-teori serta mengkaji peraturan perundang-undangan serta bahan penunjang lainnya yang memberikan penjelasan terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara studi kepustakaan ini penulis lakukan untuk mendapat gambaran atau
informasi tentang penelitian sejenis dan berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti, serta mendapatkan data untuk menunjang
penelitian.28
1.8.5. Teknik analisis bahan hukum
Bahan hukum yang telah terkumpul diolah dan dianalisa secara kualitatif karena bahan hukum merupakan data yang bersifat verbal
27Loc.cit.
28 Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
dan bukan merupakan data yang bersifat kuantitatif29. Bahan hukum yang didapat diseleksi untuk memilah hal-hal yang relevan dengan permasalahan, kemudian dilakukan penyusunan secara sistematis agar mudah dipahami, setelah itu dihubungkan dan dikaitkan dengan bahan hukum lain yang memiliki relevansi serta dilakukan penafsiran dengan
berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan untuk
mendapatkan suatu kebenaran. Setelah dilakukan pengolahan terhadap bahan hukum tersebut, maka akan disajikan dengan cara deskripsi dan interpretasi, yaitu dengan menguraikan hasil penelitian dengan disertakan tafsiran-tafsiran dan argumentasi berdasarkan hukum.
29 H. Punaji Setyosari, 2012, Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan, Prenada