• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSFER KEMISKINAN ANTARGENERASI: PENGARUH NILAI ANAK DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TRANSFER KEMISKINAN ANTARGENERASI: PENGARUH NILAI ANAK DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK

(Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug,

Kabupaten Sukabumi)

AGUS SURACHMAN

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Agus Surachman NIM I24070026

(4)
(5)

Cicurug Subdistrict, District of Sukabumi). Under supervision ofHARTOYO.

This research aimed to analyze intergenerational transfer of poverty in two generation of family and it interplay with value of children and parental investment behavior on child. Design of this research combined cross sectional and retrospective study; involved 60 families (as the second generation family) that dwelled in Pasawahan village with the last child was under five years old, split into two social economic status: poor (30 families) and not poor (30 families), base on BKKBN’s family welfare phasing. Both husband and wife were interviewed by using structure questionnaire to obtain the information of both generations of families. This research revealed that value of children affected parental investment on child, while both variables were affected by family social economic status. Parental investment on child was the determinant factor of children welfare in the future. This research estimated that chance of family with husband came from poor family was 38 times higher to be poor also. Some samples experienced status mobility from poor to be not poor, because of education factor (for husband) and also marital factor (for wife).

Keywords: intergenerational transfer of poverty, value of children, parental investment behavior on child

ABSTRAK

AGUS SURACHMAN. Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan

Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dan keterkaitannya dengan nilai anak dan perilaku investasi pada anak. Desain penelitian ini merupakan kombinasi dari cross sectional dan

retrospective; melibatkan 60 keluarga (sebagai keluarga generasi kedua) yang tinggal di Desa Pasawahan dan memiliki anak terakhir berusia di bawah lima tahun, dikelompokan menjadi dua status sosial ekonomi: miskin (30 keluarga) dan tidak miskin (30 keluarga) berdasarkan data pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Suami dan istri diwawancarai dengan menggunakan kuisioner terstruktur untuk menggali informasi mengenai kedua generasi keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai anak mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak, sementara kedua variabel tersebut sama-sama dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga. Perilaku investasi pada anak merupakan faktor determinan yang menentukan kesejahteraan anak di masa depan. Hasil penelitian memperkirakan peluang keluarga dengan suami berasal dari keluarga miskin 38 kali lebih besar untuk miskin juga. Beberapa contoh dalam penelitian ini mengalami mobilitas status dari miskin menjadi tidak miskin, baik karena faktor pendidikan (suami) dan juga faktor perkawinan (istri).

Kata kunci: transfer kemiskinan antar generasi, nilai anak, perilaku investasi pada anak

(6)
(7)

dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi). Dibimbing Oleh HARTOYO.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga serta menganalisis pengaruh dari persepsi orang tua terkait nilai anak dan investasi orang tua pada anak terkait fenomena tersebut. Lebih lanjut tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis dinamika kemiskinan di antara dua generasi keluarga untuk melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga; 2) menganalisis hubungan antarvariabel transfer kemiskinan antargenerasi, persepsi orang tua terkait nilai anak, dan investasi orang tua pada anak; 3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan investasi orang tua pada anak.

Penelitian ini menggabungkan desain cross sectional dengan retrospective study. Penelitian di lakukan di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi yang dipilih secara purposive berdasarkan perbandingan keluarga miskin dan tidak miskin di wilayah tersebut. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak terakhir berusia balita yang dipilih dengan teknik stratified random sampling dengan kriteria stratifikasi status kesejahteraan keluarga berdasarkan pentahapan keluarga sejahtera BKKBN (Pra KS dan KS I digolongkan miskin, tahapan selanjutnya digolongkan tidak miskin). Dipilih 30 keluarga contoh berstatus miskin dan 30 keluarga contoh lainnya berstatus tidak miskin. Responden dalam penelitian ini adalah ayah dan ibu dari keluarga contoh yang diwawancarai untuk menggali informasi terkait informasi dari keluarga contoh dan keluarga asalnya masing-masing.

Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteritik sosiodemografi dan ekonomi keluarga contoh serta keluarga asal ayah dan ibu, persepsi orang tua dari kedua generasi keluarga menganai nilai anak (nilai psikologis, nilai sosial, dan nilai ekonomi), dan investasi orang tua terhadap anak (alokasi waktu dan uang) pada dua generasi keluarga. Pada generasi pertama, investasi orang tua (kakek dan nenek) terhadap anak (ayah dan ibu) dilihat dari perilaku investasi saat suami dan istri berusia dini, lama pendidikan formal suami dan istri, dan warisan yang diterima suami ayah dan ibu. Investasi orang tua terhadap anak pada generasi kedua dilihat dari perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anaknya saat ini yang berusia di bawah lima tahun. Sementara itu, status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu diukur dengan menggunakan metode Family Life History yang telah dimodifikasi. Sedangkan data kesejahteraan keluarga contoh didapatkan dari data sekunder pentahapan keluarga sejahtera BKKBN. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dalam penelitian ini telah diuji reliabilitasya dengan nilai α-crobbach sebesar 0,653 (persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu), 0,712 (persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak) 0,849 (perilaku investasi orang tua pada ayah dan ibu), dan 0,889 (perilaku investasi ayah dan ibu pada anak).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata usia ayah dan ibu dalam penelitian ini berada pada rentang usia dewasa muda (antara 18-40 tahun). Rata-rata usia suami (M=35,7 tahun; sd=6,6 tahun) lebih tinggi dibandingkan rata-rata usia istri (M=32 tahun; sd=5,7 tahun), dan secara statistik keduanya berbeda nyata (p<0,01). Secara umum, suami menempuh pendidikan formal yang lebih lama (M=9,7 tahun; sd=3,8 tahun) bila dibandingkan dengan istri (M=8,4 tahun; sd=2,7 tahun) dan secara statistik keduanya berbeda nyata (p<0,01). Suami maupun istri yang saat ini tidak miskin menempuh pendidikan formal yang lebih lama dibandingkan suami dan istri yang saat ini berstatus miskin (secara statistik berbeda nyata).

Pekerjaan ayah pada keluarga contoh lebih didominasi oleh buruh pabrik (46,7%). Hal tersebut berkaitan dengan keberadaan sejumlah industri di wilayah tempat penelitian dilakukan. Berbeda dengan orang tua pada keluarga asal ayah maupun ibu yang sebagian besar bekerja di bidang pertanian. Sementara itu, sebagian besar ibu (86,7%) tidak bekerja atau menjadi ibu rumah tangga. Jumlah anak keluarga contoh adalah 2,4 anak (sd=1,3 anak), hampir setengah dari rata-rata jumlah anak keluarga asal ayah maupun ibu. Keluarga contoh yang berstatus miskin memiliki rata-rata jumlah anak

(8)

keluarga per bulan antara Rp500.000,00 hingga Rp999.999,00 sementara pada kelompok keluarga tidak miskin berada pada rentang Rp2.000.000,00 hingga Rp2.999.999,00. Rata-rata pendapatan total per bulan kedua kelompok keluarga secara statistik berbeda nyata (p<0,01). Rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga miskin adalah Rp218.305,60 (sd=Rp91.071,27), sementara keluarga tidak miskin adalah Rp582.182,5 (sd=Rp321.579,40).

Lebih dari setengah keluarga asal ayah dan ibu memiliki status kesejahteraan tidak miskin dengan persentase masing-masing 55 persen dan 51,7 persen. Ayah dan ibu yang saat ini berstatus tidak miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus tidak miskin (persentasenya masing-masing 93,3% dan 86,7%). Begitu pula sebaliknya, ayah dan ibu yang saat ini berstatus miskin, sebagian besar berasal dari keluarga yang juga berstatus miskin (persentasenya masing-masing 83,3%). Dilihat dari status dinamika yang dialami ayah dan ibu, sebagian besar ayah mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (46,7%). Sisanya, 3,3 persen ayah mengalami kondisi keluar dari kemiskinan dan 8,3 persen lainnya mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan. Sementara itu, sebagian besar ibu juga mengalami status dinamika kemiskinan selalu miskin (41,7%) dan tidak pernah miskin (43,3%). Sisanya sebesar 8,3 persen ibu mengalami kondisi terjerumus ke dalam kemiskinan dan 6,7 persen lainnya mengalami kondisi keluar dari kemiskinan.

Secara umum anak dipersepsikan bernilai tinggi dalam aspek psikologis dan secara umum persepsi orang tua terkait nilai anak berada pada kategori sedang. Skor persepsi nilai anak ayah dan ibu dari keluarga berstatus miskin dan tidak miskin berbeda nyata. Selain itu, skor persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak secara statistik tidak berbeda dengan skor persepsi orang tua terkait nilai ayah dan ibu. Dalam hal perilaku investasi terhadap anak, ibu secara umum memiliki rata-rata skor yang lebih tinggi (M=48,4; sd= 4,1) bila dibandingkan dengan ayah (M=43,2; sd=4,8). Sebaran tertinggi skor perilaku investasi ayah dan ibu berada pada kategori sedang dengan persentase masing-masing 78,3 persen untuk kelompok ayah dan 53,3 persen untuk kelompok ibu. Hasil uji beda menunjukkan bahwa skor perilaku investasi ayah dan ibu secara statistik berbeda nyata. Dilihat dari skor perilaku investasi terhadapa anak, ayah dan ibu melakukan hal yang lebih baik bila dibandingkan orang tua masing-masing terhadap ayah dan ibu saat keduanya berusia balita.

Hasil uji regresi menunjukkan beberapa faktor yang secara signifikan mempengaruhi perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak. Perilaku investasi ayah terhadap anak dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01), perilaku investasi orang tua terhadap ayah (p<0,1), perilaku investasi ibu terhadap anak (p<0,01), dan persepsi ayah terkait nilai anak (p<0,01). Sementara itu perilaku investasi ibu terhadap anak dipengaruhi oleh variabel status kesejahteraan keluarga contoh (p<0,01) dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1).

Analisis dengan menggunakan uji regresi logistik menunjukkan terdapat tiga variabel yang secara statistik mempengaruhi status kesejahteraan keluarga contoh. Ketiga variabel tersebut adalah status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,1), lama pendidikan ayah (p<0,1), dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu (p<0,1). Keluarga contoh dengan ayah yang berasal dari keluarga miskin memiliki peluang 38 kali lebih besar untuk berstatus miskin juga saat ini dibandingkan keluaga contoh dengan ayah dari keluarga asal tidak miskin. Lebih lanjut, pendapatan keluarga contoh secara statistik dipengaruhi oleh status kesejahteraan keluarga asal ayah (p<0,05) dan lama pendidikan ayah (p<0,01).

Penelitian ini dilakukan dengan menggali informasi dari dua generasi keluarga yang ditanyakan kepada ayah dan ibu (generasi kedua). Hal tersebut bisa menimbulkan bias terkait penggalian informasi keluarga asal masing-masing. Selain itu, penelitian ini juga melakukan simplifikasi terkait status kesejahteraan keluarga asal yang dianggap konstan sepanjang waktu serta dalam hal transfer kapital antargenerasi dalam keluarga. Hal-hal tersebut yang menjadi keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusnan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(10)
(11)

DAN PERILAKU INVESTASI PADA ANAK

(Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug,

Kabupaten Sukabumi)

AGUS SURACHMAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)
(13)

Nama : Agus Surachman NIM : I24070026 Tanggal Lulus: Disetujui, Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Dosen Pembimbing Diketahui, Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc

(14)
(15)

Segala puji serta syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Pengaruh Nilai Anak dan Perilaku Investasi pada Anak (Kasus di Desa Pasawahan, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi)” ini.

Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, diantaranya:

1. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen dan juga dosen pembimbing skripsi atas arahan, masukan, serta saran yang diberikan dalam penyusunan skripsi

2. Ibu Alfiasari, S.P., M.Si. selaku dosen pemadu seminar serta Dr. Lilik Noor Yuliati, MFSA dan Dr. Istiqlaliyah Muflikahti, M.Si. selaku dosen penguji skripsi atas masukan untuk penyempurnaan skripsi

3. Dr. Ir. Diah Krisnatuti P., MS. atas bimbingan dan dorongan kepada penulis selama menjadi dosen pembimbing akademik

4. Kader beserta jajaran pemerintahan Desa Pasawahan dan Kecamatan Cicurug atas bantuan dan kerjasamanya

5. Yayasan Karya Salemba Empat beserta donatur untuk bantuan beasiswa dan dana penelitian sehingga memungkinkan penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, serta pihak Eka Tjipta Foundation untuk bantuan beasiswa bagi penulis

6. Bapak, Ibu (almarhum), Teteh, Aa, dan seluruh keluarga atas doa serta dukungan yang tak pernah terhenti untuk penulis

7. Teman-teman IKK 44 atas kebersamaan yang telah dibangun selama lebih dari tiga tahun, terima kasih karena telah membangun lingkungan yang bersahabat dan saling mendukung; teman-teman pondok de Netto (Panji, Zul, dan Heriana) atas bantuan dan dukungan, juga kepada Bapak Suratman beserta keluarga untuk segala kemurahan hatinya bagi penulis; teman-teman di Koran Kampus IPB, Himaiko, Forces, grantee IELSP batch 7 University of Arizona untuk semua kebersamaan dan pengalaman luar biasa dalam rangka bersama-sama mengembangkan diri

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis menantikan kritik serta saran untuk perbaikan ke arah yang lebih baik.

Bogor, Desember 2011

(16)
(17)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Rumusan Masalah ... 3 Tujuan ... 4 Kegunaan ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 Kemiskinan ... 7 Nilai Anak ... 14

Investasi Orang Tua pada Anak ... 17

Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Penelitian Empiris ... 21

KERANGKA PENELITIAN ... 23

METODE PENELITIAN ... 27

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ... 27

Contoh dan Metode Penarikan Contoh ... 27

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 28

Pengolahan dan Analisis Data ... 29

Definisi Operasional ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

Hasil ... 37

Pembahasan ... 77

SIMPULAN DAN SARAN ... 87

Simpulan ... 87 Saran ... 87 DATAR PUSTAKA ... 89 LAMPIRAN ... 95 Kuisioner Penelitian ... 97 Riwayat Hidup ... 101

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS ... 10 2 Status kesejahteraan keluarga berdasarkan Desa

di Kecamatan Cicurug ... 38 3 Sebaran usia ayah dan ibu berdasarkan

status kesejahteraan keluarga ... 39 4 Sebaran lama pendidikan ayah dan ibu berdasarkan

status kesejahteraan keluarga ... 40 5 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu berdasarkan status

kesejahteraan keluarga ... 41 6 Sebaran contoh berdasarkan bidang pekerjaan orang tua

pada keluarga asal ... 42 7 Sebaran jumlah anak yang dimiliki keluarga contoh berdasarkan

status kesejahteraan ... 42 8 Sebaran usia dan jenis kelamin anak terakhir keluarga contoh

berdasarkan status kesejahteraan ... 43 9 Rata-rata pendapatan per bulan keluarga contoh dan pendapatan

per kapita keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan ... 44 10 Sebaran contoh berdasarkan stabilitas pendapatan orang tua

dan status kesejahteraan keluarga contoh ... 45 11 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan dan kondisi

rumah orang tua serta status kesejahteraan keluarga contoh ... 46 12 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan lahan pertanian

orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh ... 47 13 Sebaran contoh berdasarkan status kepemilikan hewan ternak

orang tua dan status kesejahteraan keluarga contoh ... 47 14 Sebaran contoh berdasarkan kemampuan literasi orang serta

status kesejahteraan keluarga contoh ... 48 15 Sebaran contoh berdasarkan status kesejahteraan keluarga asal

dan status kesejahteraan keluarga contoh ... 49 16 Sebaran keluarga contoh berdasarkan status kesejahteraan

keluarga asal dan status kesejahteraan saat ini ... 50 17 Persentase status kesejahteraan keluarga contoh berdasarkan

status kesejahteraan keluarga asal ayah dan ibu ... 51 18 Sebaran lama pendidikan formal contoh berdasarkan status

dinamika kemiskinan ... 52 19 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan status

kesejahteraan keluarga ... 53 20 Sebaran contoh berdasarkan warisan yang diterima dan dinamika

kemiskinan yang dialami ... 54 21 Sebaran contoh berdaarkan kategori skor nilai anak per dimensi

(19)

dan status kesejahteraan keluarga contoh ... 55 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu

mengenai nilai anak keseluruhan dan status kesejahteraan

keluarga contoh ... 56 23 Sebaran contoh berdasarkan persepsi orang tua mengenai nilai

Ayah dan ibu serta status kesejahteraan keluarga contoh ... 56 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua

mengenai nilai ayah dan ibu serta persepsi ayah dan ibu

mengenai nilia anak ... 57 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi ayah dan ibu

tentang nilai anak dan status dinamika kemiskinan ... 58 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor persepsi orang tua

Terkait nilai ayah dan ibu serta status dinamika kemiskinan contoh .... 59 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi untuk

tiap dimensi dan status kesejahteraan keluarga contoh ... 59 28 Sebaran perilaku investasi ayah dan ibu terhadap anak

Berdasarkan status kesejahteraan ... 60 29 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi

orang tua terhadap ayah dan ibu serta status kesejahteraan

keluarga contoh ... 61 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi

orang tua terhadap ayah dan ibu serta kategori skor perilaku

investasi ayah dan ibu terhadap anak ... 62 31 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi

ayah dan ibu terhadap anak berdasarkan

status dinamika kemiskinan ... 62 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori skor perilaku investasi

orang tua terhadap ayah dan ibu dan status dinamika kemiskinan ... 63 33 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ayah,

persepsi orang tua terkait nilai ayah, dan perilaku investasi

orang tua terhadap ayah ... 64 34 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal ibu,

persepsi orang tua terkait nilai ibu, dan perilaku investasi orang tua terhadap ibu ... 65 35 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga contoh,

persepsi ayah dan ibu terkait nilai anak, dan perilaku investasi

ayah dan ibu terhadap anak ... 67 36 Koefisien korelasi antarvariabel karakteristik keluarga asal dan

keluarga contoh, nilai anak serta perilaku investasi orang tua

pada dua generasi keluarga ... 70 37 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi perilaku investasi ayah terhadap anak ... 72 38 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga

(20)

39 Ringkasan analisis regresi logistik untuk faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi kesejahteraan keluarga contoh ... 75 40 Ringkasan analisis regresi untuk faktor-faktor yang diduga

mempengaruhi pendapatan keluarga ... 76

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Perangkap kemiskinan ... 11 2 Alur transfer kemiskinan antar generasi ... 13 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya

Dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak ... 16 4 Kerangka berpikir penelitian ... 25 5 Skema cara penarikan contoh ... 28

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Daftar pertanyaan kuisioner ... 94 2 Riwayat hidup ... 101

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan dianggap sebagai permasalahan sosial dan ekonomi yang paling sulit untuk diselesaikan pada abad ini (Wagle 2008). Sekitar 320 hingga 433 juta penduduk dunia terjebak dalam perangkap kemiskinan (CPRC 2008). Mereka mengalami kemiskinan kronis (chronic poverty), yaitu suatu deprivasi untuk jangka waktu yang panjang, bahkan seringkali seumur hidup mereka (Moore 2005).

Masalah kemiskinan juga masih menjadi persoalan yang mendapat prioritas utama di Indonesia. Untuk memenuhi target yang tercantum dalam Millenium Declaration, Indonesia dituntut untuk mengurangi setengah dari angka kemiskinan pada tahun 1990 (sekitar 15%) menjadi sekitar 7,5 persen pada tahun 2015. Menurut data BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sekitar 31,02 juta penduduk (13,33%), masih jauh dari target yang harus dicapai.

Angka kemiskinan pada tahun 2010 merupakan yang terendah sejak 2004. Walaupun terjadi penurunan sejak 2006, namun angka penduduk miskin masih tergolong tinggi. Terlebih bila jumlah penduduk miskin dihitung dengan menggunakan standar kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia (penghasilan per kapita per hari minimal $2), angkanya akan semakin besar yaitu 42 persen (World Bank 2006). Hal tersebut disebabkan oleh besarnya proporsi penduduk Indonesia yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.

Penelitian Widyanti et al. (2009) mengenai dinamika kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan data panel IFLS (Indonesian Family Life Survey) dari tahun 1993 hingga tahun 2000 menunjukkan bahwa 14 persen rumah tangga yang menjadi sampel mengalami kemiskinan kronis (selalu miskin). Sementara itu hasil pengolahan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa selama periode Maret 2006 hingga Maret 2007, jumlah penduduk Indonesia yang selalu miskin adalah sebesar 18,6 juta orang (Urip 2008). Hal tersebut mengindikasikan proporsi penduduk Indonesia yang mengalami kemiskinan kronis tergolong tinggi.

Anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga miskin kronis, memiliki kemungkinan 35 persen lebih tinggi untuk tetap miskin saat dewasa dibandingkan anak yang lahir dan dibesarkan dalam rumah tangga yang tidak

(22)

miskin kronis (Pakpahan et al. 2009). Kemiskinan kronis menyebabkan individu dan keluarga terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, sehingga investasi sumberdaya manusia yang dilakukan kurang. Kemiskinan tersebut akhirnya diturunkan kepada generasi selanjutnya karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang dihasilkan dalam keluarga pada generasi berikutnya (CPRC 2008).

Investasi terhadap sumberdaya manusia, terutama dalam hal pendidikan, akan meningkatkan efisiensi ekonomi sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Schultz 1981). Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan angka kemiskinan (Siregar 2006). Selain itu, investasi terhadap sumberdaya manusia juga dapat menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, sehingga berpotensi untuk menurunkan tingkat kemiskinan (Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007). Dengan demikian, investasi sumberdaya manusia merupakan salah satu determinan tingkat kesejahteraan.

Hasil penelitian Cho (2005) terkait program pengentasan kemiskinan Progressa di Meksiko menunjukkan bahwa program tersebut meningkatkan rata-rata lama sekolah dan akumulasi sumberdaya manusia sehingga meningkatkan pendapatan seumur hidup sebesar 12 persen. Secara makro, tingkat pendidikan penduduk yang semakin tinggi terbukti berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan (Siregar & Widyanti 2008; Chaudry et al. 2010). Bukti empiris tersebut memperlihatkan bahwa akumulasi modal sosial (human capital) yang lebih besar, terutama pendidikan, berdampak pada peningkatan penghasilan sehingga dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan.

Penelitian Leibowitz (1982) dan Hartoyo (1998) memperlihatkan pentingnya peran keluarga dalam meningkatkan kualitas individu melalui investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak. Keluarga, dalam hal ini orang tua, termotivasi untuk melakukan investasi terhadap anak mereka melalui sumberdaya yang dimilikinya dengan harapan anak-anak tersebut akan menjadi lebih sukses di masa depan (Hample 2010).

Investasi orang tua terhadap anak dalam keluarga merupakan suatu hal yang bersifat krusial, terutama pada saat usia dini. Hal tersebut berkaitan dengan peran investasi sumberdaya manusia sebagai salah satu determinan tingkat kesejahteraan individu di masa depan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat kurangnya investasi akan menyebabkan individu terperangkap dalam

(23)

kemiskinan. Perangkap kemiskinan tersebut seringkali menyebabkan adanya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi keluarga dan hubungannya dengan kemiskinan keluarga. Dengan demikian dapat dilihat pengaruh investasi sumberdaya manusia terhadap transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga.

Rumusan Masalah

Data BPS pada tahun 2004 memperlihatkan bahwa 41,67 persen kepala rumah tangga miskin di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tidak tamat SD, diikuti oleh tamat SD sebesar 38,36 persen (Rusastra & Napitupulu 2008). Lebih lanjut dijelaskan bahwa angka partisipasi sekolah anak-anak dari keluarga miskin lebih rendah dari anak-anak yang berasal dari keluarga tidak miskin, baik pada tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Sebaliknya, angka putus sekolah anak dari keluarga miskin lebih tinggi dibandingkan anak-anak dari keluarga tidak miskin untuk kedua jenjang pendidikan tersebut.

Fenomena tersebut menunjukkan dua hal penting; pertama, kualitas sumberdaya manusia sangat menentukan status sosial ekonomi, salah satunya dilihat dari tingkat pendidikan; kedua, kesadaran pendudukan miskin untuk memperbaiki nasib keturunannya melalui investasi sumberdaya manusia (misalnya di bidang pendidikan) lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok tidak miskin. Hal tersebut memperlihatkan bahwa konsep mengenai nilai seorang anak belum dipahami sepenuhnya oleh lapisan masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin.

Ciri yang menonjol dari keluarga miskin adalah jumlah anak yang banyak (ukuran keluarga yang besar), karena anak dinilai bukan sebagai aset (investasi) melainkan sumber faktor produksi (tenaga kerja) untuk menambah pendapatan keluarga (Rusastra & Napitupulu 2008). Hal tersebut didukung oleh penelitian Puspitawati et al. (2008) di Kabupaten Indramayu yang memperlihatkan bahwa 55,7 persen orang tua atau wali menyetujui bahwa anak adalah tenaga kerja keluarga. Akibatnya orang tua cenderung kurang mementingkan pendidikan anak dan memilih untuk menjadikannya sebagai pekerja untuk membantu perekonomian keluarga (Puspitawati et al. 2009).

(24)

Orang tua yang mendapatkan sedikit investasi dari orang tuanya – terutama dalam hal pendidikan – kurang termotivasi untuk melakukan investasi pada anaknya. Hal tersebut tercermin dari hasil penelitian Puspitawati et al. lainnya yang memperlihatkan bahwa sekitar 62,9 persen ayah dan 64,1 persen ibu dengan anak yang mengalami drop out dari sekolah mempunyai tingkat pendidikan sampai dengan tamat SD. Didukung dengan beberapa hasil penelitian lain (misal Hartoyo et al. 2003; Simanjuntak 2010) yang memperlihatkan rendahnya proporsi pengeluaran keluarga miskin untuk investasi terhadap anak, terutama dalam hal pendidikan dan kesehatan.

Investasi sumberdaya manusia, terutama yang dilakukan oleh keluarga telah terbukti menjadi determinan tingkat kesejahteraan dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan (Cho 2005; Anderson & Hague 2007; Sitepu 2007; Sitepu 2007; Siregar & Wahyuniarti 2008; Chaudry et al. 2010). Kurangnya investasi sumberdaya manusia berpotensi menyebabkan individu dan keluarga terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Anak-anak yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga miskin cenderung akan tumbuh menjadi individu yang juga miskin saat dewasa. Inilah gambaran transfer kemiskinan yang terjadi antargenerasi dalam keluarga.

Berkaca pada fakta-fakta tersebut, penelitian ini berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Apakah terjadi transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga yang dilihat dari dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga?

2. Adakah hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga dengan nilai anak serta perilaku investasi orang tua pada anak, serta adakah hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak dengan perilaku investasi orang tua pada anak pada dua generasi keluarga?

3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan perilaku investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan interaksi dua generasi keluarga?

Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga, serta pengaruh nilai anak

(25)

dan investasi pada anak terhadap transfer kemiskinan tersebut. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis dinamika kemiskinan pada dua generasi keluarga untuk melihat terjadinya transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga, 2. Menganalisis hubungan antara transfer kemiskinan antargenerasi pada

dua generasi keluarga dengan nilai anak, serta perilaku investasi orang tua pada anak,

3. Menganalisis hubungan antara persepsi orang tua tentang nilai anak dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak pada dua generasi keluarga,

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status kesejahteraan keluarga dan investasi orang tua pada anak dalam kaitannya dengan interaksi dua generasi keluarga.

Kegunaan

Dengan dilakukannya penelitian mengenai transfer kemiskinan antargenerasi pada dua generasi keluarga serta keterkaitannya dengan nilai anak dan investasi orang tua pada anak, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan keilmuan di bidang ekonomi keluarga, terutama berkaitan dengan pembahasan terkait masalah kemiskinan dan investasi orang tua terhadap anak. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi pengambil keputusan untuk perumusan kebijakan pengentasan kemiskinan.

(26)
(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan

Kemiskinan didefinisikan secara berbeda oleh berbagai pihak. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar untuk kehidupan yang layak (kebutuhan dasar makanan maupun kebutuhan dasar bukan makanan) (Urip 2008). Lebih lanjut Urip (2008) menyatakan bahwa dalam menggolongkan penduduk ke dalam miskin atau tidak miskin, BPS membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang per bulan.

Sementara itu, World Bank mendefinisikan kemiskinan dengan dimensi yang lebih luas. Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia secara fisik (kebutuhan dasar materi dan biologis termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan) serta sosial (risiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang) (Syafrian 2009).

Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial yang diadakan di Kopenhagen pada tahun 1995 menyatakan bahwa kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif, yang menjamin kehidupan yang berkesinambungan; keterbatasan dan kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan yang tidak aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial (Rahardjo 2006).

Berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan pendapatan, tetapi juga mencakup kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin dan keterbatasan akses masyarakat miskin dalam penentuan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka (Dharmawan et al. 2010). Dengan demikian, kemiskinan merupakan suatu permasalahan sosial yang kompleks karena menyangkut berbagai dimensi kehidupan.

Chambers (1996) menyatakan bahwa kemiskinan (poverty) adalah konsep integrasi dari lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadap situasi darurat (state of

(28)

emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sementara itu, Max Nef memaparkan enam macam jenis kemiskinan, yaitu: 1) kemiskinan subsistensi, 2) kemiskinan perlindungan, 3) kemiskinan pemahaman, 4) kemiskinan partisipasi 5) kemiskinan identitas, dan 6) kemiskinan kebebasan (Muttaqien 2006).

Salim (1976) menyatakan bahwa ciri-ciri penduduk miskin adalah: 1) rata-rata tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan keterampilan, 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja), 4) kebanyakan berada di daerah pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area), dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan sosial lainnya.

Schiller (2008) memaparkan tiga sudut pandang dalam melihat penyebab terjadinya kemiskinan. Sudut pandang pertama adalah flawed character yang menganggap kemiskinan disebabkan oleh individu bersangkutan. Berkaitan dengan seberapa besar upaya tiap individu untuk melakukan investasi sumberdaya manusia melalui pendidikan atau latihan. Sudut pandang kedua melihat kemiskinan sebagai akibat dari keterbatasan kesempatan (restricted opportunity) bagi individu yang bersangkutan. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan diskriminasi ras, gender, dan kelas sosial. Kasus di Indonesia yang lebih relevan terkait dengan sudut pandang ini adalah pembangunan yang bias kota dan wilayah sehingga terjadi ketidakmerataan dan ketimpangan pembangunan.

Sudut pandang yang terakhir menganggap kemiskinan disebabkan oleh kesalahan pemerintah sebagai pengambil kebijakan (big brother view). Kesalahan dari pemerintah bisa disebabkan oleh penerapan kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat miskin, maupun pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang justru membuat kelompok miskin menjadi semakin miskin (terkait sikap dan karakter mereka).

Standar Kemiskinan

Menurut Sayogyo (1977), tingkat kemiskinan merupakan sesuatu yang dapat diukur sehingga munculah istilah garis kemiskinan. Terdapat beberapa konsep atau pendekatan yang dapat digunakan dalam menghitung angka

(29)

kemiskinan, diantaranya konsep kebutuhan dasar (the concept of minimum needs) dan konsep satuan pengukuran (unit of measure) (Schiller 2008).

Konsep kebutuhan dasar diadopsi oleh BPS dan menjadi standar penentuan angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan suatu garis kemiskinan yang dinyatakan dalam rupiah untuk membedakan antara penduduk miskin dan bukan penduduk miskin. Nilai rupiah tersebut ditentukan berdasarkan nilai yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Kebutuhan minimum makanan adalah besarnya nilai rupiah yang dikeluarkan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum energi sebesar 2100 kalori per hari, sedangkan kriteria kebutuhan minimum bukan makanan adalah nilai rupiah yang dikeluaran untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya selain makanan misalnya perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya (Urip 2008).

Sementara itu, konsep satuan pengukuran mengacu pada penjelasan dalam teori ekonomi bahwa kemampuan seseorang untuk memenuhi barang dan jasa tercermin dari daya beli (purchasing power) dan satuan mata uang merupakan pendekatan yang paling efektif untuk mengukur daya beli (Schiller 2008). Konsep tersebut yang diadopsi oleh World Bank untuk menjadi standar kemiskinan, dimana penduduk miskin adalah mereka yang berpenghasilan di bawah $2 per hari.

Bubolz dan Sontag (1993) menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan terminologi lain dari kualitas hidup manusia (quality of human life), yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai hidup. Mengingat kemiskinan merupakan kondisi dimana kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi, maka kesejahteraan merupakan konsep yang berkebalikan dengan kemiskinan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merumuskan konsep keluarga sejahtera yang dikelompokan secara bertahap menjadi keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga sejahtera tahap III, dan keluarga sejahtera tahap III plus. Sunarti (2008) menyatakan bahwa batasan operasional dari keluarga sejahtera adalah kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial, kebutuhan psikologis, kebutuhan perkembangan, dan kepedulian sosial.

Untuk mengkategorisasikan keluarga ke dalam tahapan kesejahteraan, digunakan indikator kesejahteraan keluarga (IKS). Definisi keluarga sejahtera

(30)

menurut tahapan dalam indikator keluarga sejahtera ditunjukkan pada Tabel 1. Indikator kesejahteraan keluarga merupakan satu-satunya alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan di level keluarga yang digunakan di Indonesia (Sunarti 2008). Dengan mempertimbangan pengertian kemiskinan secara luas maka keluarga yang berada pada tahap pra keluarga sejahtera (Pra KS) dan keluarga sejahtera I (KS I) dapat digolongkan sebagai keluarga miskin. Keluarga pada tahap tersebut bukan hanya belum mampu memenuhi kebutuhan dasar, namun juga kebutuhan sosial psikologis seperti akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan makanan yang bergizi.

Hasil penelitian Rambe (2004) terhadap empat alat ukur kesejahteraan yaitu standar kemiskinan BPS, IKS BKKBN, pengeluaran pangan, dan ukuran subjektif, menunjukkan bahwa IKS dianggap paling baik. Alasannya adalah kemudahan dalam pengoprasian hingga ke level administrasi terendah dan dengan cepat dapat mengklasifikasikan keluarga miskin. Namun, IKS memunculkan masalah dalam menerjemahkan indikator sosial dan psikologis seperti menjalankan ibadah sesuai agamanya (Sunarti 2008).

Tabel 1 Definisi keluarga sejahtera menurut tahapan dalam IKS

Tahap Definisi

Pra KS Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.

KS I Keluarga tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. KS II Keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya

dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya.

KS III Keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya.

KS Plus Keluarga yang selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan semacam itu dalam masyarakat.

Sumber: BKKBN (2004)

Kemiskinan Kronis

Hal yang menjadi ciri pembeda dari kemiskinan kronis (chronic poverty) dengan jenis kemiskinan lainnya adalah panjangnya durasi dari kemiskinan tersebut. Istilah kemiskinan kronis digunakan untuk menggambarkan kemiskinan

(31)

yang ekstrim yang terus berlangsung untuk waktu yang panjang – bertahun-tahun, seumur hidup, bahkan berlangsung antargenerasi (CPRC 2008). Individu atau keluarga yang mengalami kemiskinan kronis biasanya terseret ke dalam perangkap kemiskinan yang menyebabkan terjadinya siklus kemiskinan sehingga mereka sulit untuk keluar dari kondisi tersebut. Menurut CPRC (2008) kelompok yang mengalami kemiskinan kronis biasanya mengalami berbagai deprivasi, mulai dari kemampuan yang kurang, kepemilikan aset yang rendah, dan termarjinalkan secara sosial politik.

Ketidakberdayaan penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan disebabkan oleh terperangkapnya penduduk miskin dalam lingkaran kemiskinan (Dharmawan et al. 2010). Rendahnya pendapatan penduduk miskin menyebabkan daya beli kurang. Akibatnya, pemenuhan terhadap kebutuhan dasar seperti pangan dan kesehatan tidak optimal yang berdampak pada rendahnya status kesehatan dan gizi. Hal tersebut akan menyebabkan tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas pada penduduk miskin yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi pendidikan. Sehingga akan berujung pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas dan pendapatan. Fenomena tersebut seringkali disebut sebagai perangkap kemiskinan (Gambar 1).

Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)

Dinamika Kemiskinan

Poverty dynamics atau dinamika kemiskinan berkaitan dengan perubahan tingkat kesejahteraan (dari miskin menjadi tidak miskin atau sebaliknya) yang

Penduduk miskin 

pendapatan rendah

Daya beli rendah Rendahnya kualitas: Pangan Kesehatan Perumahan/ lingkungan

Pendidikan

Status kesehatan dan gizi rendah

Morbiditas dan mortalitas tinggi  Partisipasi pendidikan rendah  Absensi meningkat  Kecerdasan dan keterampilan rendah  Produktivitas masyarakat dan Negara rendah  Prestasi sekolah rendah

(32)

dialami individu atau rumah tangga dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor struktural dan karakteristik individu dan rumah tangga, hingga faktor yang bersifat global (Moore 2005). Kajian mengenai dinamika kemiskinan biasanya mengkategorikan status kemiskinan rumah tangga ke dalam tiga kelompok, yaitu: miskin kronis (chronic poor), miskin sementara (transient poor), dan bukan kelompok miskin (tidak pernah miskin) (Hulme et al. 2001 dalam Widyanti et al. 2009). Sementara itu, Moore (2005) membagi status dinamika kemiskinan keluarga menjadi empat yaitu selalu miskin atau miskin kronis (always poor atau chronic poor), keluar dari kemiskinan (moved out of poverty), terjerumus ke dalam kemiskinan (moved into peverty), dan tidak pernah miskin (non-poor).

Pendekatan dinamika kemiskinan yang dipaparkan sebelumnya berkaitan dengan kondisi kemiskinan suatu keluarga dalam jangka waktu tertentu (intrageneration). Status dinamika kemiskinan tersebut dapat diadapsi untuk menganalisis fenomena transfer kemiskinan antargenerasi dalam keluarga. Status kemiskinan diantara dua generasi keluarga diperbandingkan sehingga bisa diamati dinamika diantara keduanya. Pembagian status dinamika kemiskinan berdasakan Moore (2005) dianggap lebih tepat untuk menggambarkan fenomena transfer kemiskinan antar generasi. Kemiskinan ditransfer antargenerasi bila status dinamika kemiskinan diantara dua generasi keluarga selalu miskin atau terjerumus ke dalam kemiskinan.

Transfer Kemiskinan antar Generasi

Kemiskinan tidak ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai satu paket, melainkan sebagai satu komplek faktor negatif dan positif yang mempengaruhi kemungkinan seorang individu untuk mengalami kemiskinan. Pendekatan mata pencaharian atau aset sangat berguna untuk memahami transfer kemiskinan antar generasi (intergenerational transfer of poverty/ Intergenerational transmitted poverty atau IGT of poverty), dengan cara fokus pada terjadinya transfer atau tidak terjadinya transfer aset-aset yang berkaitan dengan kemiskinan dalam berbagai macam bentuk atau disebut capital (human capital, social-cultural capital, social-political capital, material capital, dan natural capital) (Moore 2005).

(33)

Menurut Moore (2001), kemiskinan yang terjadi antargenerasi dapat dilihat sebagai karakteristik dan juga penyebab dari kemiskinan kronis. Konsep penting dalam memahami transfer kemiskinan antargenerasi adalah:

1. Unit analisis. Fokus pada private transmission dari individu dan keluarga dari satu generasi ke generasi selanjutnya atau transfer kemiskinan dalam, antara, atau melalui ranah publik atau komunitas, negara dan pasar.

2. Arah transfer. Transfer hanya dilakukan dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda atau terjadi juga sebaliknya. Terkait dengan hal tersebut, apakah terjadi juga tansfer „jump generation‟, misalnya dari kakek ke cucu atau sebaliknya.

3. Hal-hal yang ditransfer. Kemiskinan antar generasi dapat dipahami dengan baik bila fokus pada transfer, pencabutan (extraction) transfer, dan ketiadaan transfer pada berbagai bentuk modal atau capital (manusia, sosial budaya, sosial politik, keuangan atau materi, dan lingkungan alam), yang dapat menimbulkan kemiskinan baik kemiskinan multidimensional ataupun kemiskinan dalam konteks sempit.

4. Terjadinya transfer, pencabutan, atau kurangnya transfer dalam sejumlah atau seluruh capital dalam memastikan terjadinya IGT poverty.

Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi (Moore 2005)

Hal-hal yang ditransfer antargenerasi, sehingga kurangnya atau ketiadaan transfer tersebut menyebabkan kemiskinan antargenerasi terdiri dari modal finansial atau material, modal manusia (human capital), modal natural atau lingkungan, dan modal sosial budaya (Moore 2001). Sebagian besar penelitian selama ini lebih fokus pada modal manusia (human capital), terutama meliputi investasi orang tua terhadap pendidikan anak dan kesehatan serta gizi dan

Orang tua miskin Dewasa

miskin Anak miskin

Anak Orang tua tidak

miskin Dewasa tidak

misin Anak

Tidak miskin

Life course effect Transfer kapital

(34)

sumberdaya finansial atau materi yang ditransfer antargenerasi melalui warisan dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda (Hulme et al. 2001).

Human capital atau modal manusia didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan atribut-atribut lainnya yang ada pada diri individu yang dapat memfasilitasi terciptanya kesejahteraan pribadi, sosial, dan ekonomi (OECD 2004). Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan human capital dari individu atau keluarga sebagai total simpanan (stock) kapasitas manusia pada satu waktu tertentu yang mempengaruhi sumberdaya di masa depan dan penggunaannya. Syarif (1997) mendefinisikan kualitas sumberdaya manusia (SDM) sebagai gabungan dari karakteristik segenap sumberdaya yang ada dalam diri manusia, mencakup karakteristik fisik, akal, kalbu, dan nafsu yang menentukan derajat kehandalan manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial.

Sementara itu, aset material menurut Deacon dan Firebough (1988) adalah suatu kumpulan barang yang memiliki nilai. Rumah dan hal-hal lainnya yang dimiliki oleh rumah tangga merupakan bagian utama dari aset material keluarga, termasuk juga uang tunai atau deposito yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Aset material berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, baik konsumsi maupun investasi.

Uang dan aset materi lainnya juga ditransfer antar generasi melalui pemberian hadiah atau warisan (gift dan bequest). Pewarisan modal finansial dan material tersebut dipengaruhi oleh budaya sosial dan norma yang berlaku di suatu masyarakat tertentu. Mas kawin dan kekayaan yang didapatkan setelah menikah merupakan bentuk yang penting dari transfer modal secara inter vivos dari modal material (Moore 2001).

Nilai Anak

Dari segi sosial, nilai adalah kualitas dari suatu objek yang menyebabkan objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga. Dari segi ekonomi, nilai berwujud nilai tukar (harga) dan nilai guna (utilitas). Secara umum, nilai adalah sesuatu yang dianggap baik, berguna, dan penting bagi seseorang (Guharja et al. 1992). Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa nilai berkaitan dengan apa yang diinginkan atau dianggap berharga, menjadi kriteria utama dalam mencapai tujuan, sehingga menentukan keberlanjutan seluruh keputusan dan tindakan.

(35)

Hoffman dan Hoffman (1973) dalam Trommsdorff (2005) menyatakan bahwa nilai anak mengacu pada fungsi anak yang bisa diberikan kepada orang tua atau kebutuhan yang bisa dipenuhi oleh anak bagi orang tua. Konsep nilai anak menggunakan pendekatan gabungan antara faktor objektif (ekonomi) dan normatif juga pengaruh psikologis yang mempengaruhi perilaku fertilitas.

Menurut Sam (2001) nilai anak dikonseptualisasikan sebagai konstruksi psikologis yang mengacu pada keuntungan yang diharapkan dari memiliki anak dan juga biaya serta kerugiannya. Secara spesifik, nilai anak dimaknai sebagai refleksi motivasi orang tua untuk memiliki dan membesarkan anak, dan di dalam motivasi tersebut termasuk juga tujuan personal dan pengalaman sosialisasi orang tua (Sam 2001).

Deacon dan Firebaugh (1988) menyatakan bahwa keluarga memiliki tanggung jawab dalam hal perawatan dan perkembangan dari anggota keluarga tersebut. Sebagai penghasil sumberdaya manusia, keluarga juga diharapkan untuk berfungsi dengan baik agar dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Investasi orang tua terhadap anak merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, salah satunya melalui alokasi uang dan waktu untuk pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, motivasi orang tua untuk membesarkan anak dengan baik, dipengaruhi oleh persepsi orang tua tentang nilai anak.

Menurut Suckow dan Klaus (2002) nilai anak terdiri dari tiga dimensi, yaitu: nilai psikologis-emosional anak, nilai ekonomi-utilitarian anak, dan nilai sosial-normatif anak. Sam (2001) menjabarkan ketiga dimensi nilai anak tersebut. Disebutkan bahwa nilai psikologis mengacu pada kebahagiaan, kesenangan, dan kenyamanan atau sebaliknya ketidaknyamanan dan stres yang orang tua persepsikan dengan kehadiran seorang anak. Sementara itu nilai sosial mengacu pada keuntungan sosial atau justru ketidakberuntungan yang dipersepsikan orang tua dengan hadirnya seorang anak (misal penerimaan sosial dan status sosial saat pasangan mendapatkan anak; keberlanjutan keturunan). Sementara itu, nilai ekonomi anak merupakan alasan orang tua untuk memiliki anak secara ekonomi.

Transfernilai anak antargenerasi

Kwast-Welfel et. al (2008) menyatakan bahwa transfer nilai antargenerasi menjadi suatu mekanisme utama untuk keberlanjutan suatu komunitas. Lebih

(36)

lanjut Grolnick et. al (1997) dalam Hayne et al. (2006) menyatakan bahwa nilai dan norma sosial diidentifikasi dan diinternalisasi melalui proses sosialisasi dan enkulturasi. Nilai anak ditransfer dari satu generasi ke generasi selanjutnya dalam keluarga melalui proses sosialisasi orang tua terhadap anak, dalam hal ini pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anak.

Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)

Menurut Trommsdroff (2002), hubungan orang tua-anak merupakan bagian dari “developmental niche”, dimana orang tua melakukan sosialisasi terhadap anak sekaligus juga melakukan transfer nilai dan perilaku yang diharapkan pada diri anak. Lebih lanjut Kuczynski et al. dalam Trommsdroff (2002) menjelaskan bahwa hubungan orang tua-anak yang terjadi pada satu

Variabel personal Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme) - Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi Variabel personal Variabel hubungan Generasi I

Generasi II Variabel personal

Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme) - Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi Generasi III Nilai : - anak - keluarga - individualisme/ kolektivisme) - Kualitas Hubungan - Pengasuhan - Investasi Variabel hubungan Variabel hubungan

(37)

generasi keluarga (misal antara ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing) merupakan suatu syarat untuk perkembangan individu pada generasi selanjutnya (anak). Pada waktu yang bersamaan, ayah dan ibu merupakan hasil dari perkembangan individu dan dipengaruhi oleh hubungan orang-tua anak pada generasi sebelumnya (hubungan kakek-nenek dengan ayah atau ibu). Berdasarkan pada pengalaman yang dialami dari hubungan orang tua-anak (misal ayah dan ibu dengan orang tuanya masing-masing), tua-anak (ayah dan ibu) akan mengembangkan ekspektasi, nilai, dan perilaku preferensi yang sifatnya cenderung stabil sepanjang waktu. Nilai dan perilaku preferensi tersebut diasumsikan mempengaruhi persepsi ayah dan ibu tentang nilai anak saat dewasa, termasuk terkait dengan keputusan fertilitas, persepsi subjektif tentang anak mereka, dan bentuk hubungan ayah dan ibu dengan anaknya (Trommsdroff 2002). Gambar 3 memvisualisasikan proses transfer nilai anak antar generasi dalam keluarga dan kaitannya dengan perilaku investasi orang tua teradap anak.

Investasi Orang Tua pada Anak

Schultz (1981) menyatakan bahwa faktor yang paling menentukan dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin bukanlah ruang, energi, dan tanah untuk pertanian, melainkan peningkatan kualitas manusia (human capital) dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Peningkatan kualitas manusia dilakukan melalui investasi sumberdaya manusia.

Keluarga memegang peranan penting dalam memproduksi modal manusia seorang anak, investasi dalam modal manusia merupakan salah satu cara bagi keluarga untuk meningkatkan produktivitas marginal seorang anak sehingga akan meningkatkan kapasitas pendapatan anak tersebut (Taubman 1996). Deacon dan Firebough (1981) menyatakan bahwa suatu bagian yang signifikan dari pengembangan modal manusia didapat dari proses belajar secara sadar ataupun tidak sadar yang dilakukan dalam keluarga. Orang tua yang menggunakan waktunya untuk mengajarkan anaknya melakukan tugas tertentu akan berkontribusi terhadap pembentukan modal manusia seorang anak. Seperti halnya pendidikan formal, pelatihan yang dilakukan di rumah dapat berkontribusi besar terhadap kapasitas individu. Dengan demikian keluarga merupakan institusi pertama dan utama dalam pembangunan sumberdaya manusia.

Hartoyo (1998) mendefinisikan investasi orang tua terhadap anak sebagai segala usaha, aktivitas, atau alokasi sumberdaya keluarga yang bertujuan untuk

(38)

meningkatkan kualitas anak sehingga diharapkan akan menjadi individu yang produktif saat dewasa. Menurut Bryant dan Zick (2006) investasi terhadap anggota keluarga yang berarti investasi terhadap sumberdaya manusia (human capital) memiliki banyak bentuk, namun cara yang paling umum untuk berinvestasi terhadap sumberdaya manusia adalah melalui pendidikan formal selain juga melalui kesehatan dan pengasuhan anak.

Perilaku investasi pada anak dapat diukur dengan menghitung seberapa besar alokasi sumberdaya keluarga, khususnya sumberdaya uang dan waktu yang dicurahkan untuk anak (Hartoyo & Hastuti 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa curahan sumberdaya keluarga pada anak dapat meningkatkan kualitas modal manusia pada diri anak sehingga kelak akan mempunyai produktivitas yang lebih baik. Oleh karena itu, alokasi waktu dan uang untuk anak dapat dipandang sebagai bentuk investasi, karena orang tua berharap anak memiliki produktivitas yang tinggi dan memberi manfaat lebih besar pada keluarga kelak (Hartoyo & Hastuti 2003).

Sementara itu Bonke dan Andersen (2009) mengukur investasi orang tua pada anak dengan mengukur waktu investasi orang tua pada anak secara kuantitas dan kualitas. Waktu investasi orang tua pada anak secara kualitas dibedakan menjadi developmental dan non-developmental care. Developmental care didefinisikan sebagai keterlibatan orang tua dalam perkembangan intelektual, fisik, dan sosial anak, sementara kegiatan perawatan lainnya digolongkan ke dalam non-develomental. Developmental care meliputi: (a) aktivitas perawatan seperti memandikan dan memberi makan, (b) aktivitas bermain dan companionship seperti bermain aktif dan pasif serta aktivitas waktu luang lainnya bersama anak, (c) aktivitas terkait prestasi seperti menemani belajar, mengerjakan tugas, membaca bersama, dan aktivitas edukatif lainnya, serta (d) aktivitas sosial seperti mengunjungi tetangga, pembicaraan keluarga, aktivitas religius, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial lainnya (Stafferd & Yeung 2005 dalam Bonke & Andersen 2008).

Pengeluaran Orang tua untuk Investasi pada Anak

Investasi terhadap anak meliputi waktu yang dimiliki orang tua (parental time) dan pengeluaran yang dilakukan orang tua (parental expenditures) baik berupa barang ataupun jasa yang digunakan oleh anak. Pengeluaran dalam bentuk barang dan jasa yang dikonsumsi oleh anak meliputi perawatan

(39)

kesehatan, makanan yang sehat, pendidikan, pakaian anak, mainan anak, dan lain sebagainya (Bryant & Zick 2006).

Hasil penelitian Haveman dan Wolfe (1995) memperkirakan bahwa orang tua di Amerika Serikat mengeluarkan setiap tahunnya $7.579 per satu anak berusia antara 0 hingga 18 tahun (berdasarkan dolar tahun 1992) untuk kebutuhan makanan, perumahan, transportasi, dan barang serta jasa lainnya. Temuan Shukul (2007) di India menunjukkan bahwa orang tua menghabiskan rata-rata Rs12,939 per anak tiap tahun untuk biaya pendidikan sebagai bentuk investasi pada anak. Temuan Simanjuntak (2010) pada keluaraga penerima PKH di Kecamatan Darmaga pada tahun 2008 hingga 2009 menunjukkan bahwa sekitar 55,3% dana bantuan digunakan untuk keperluan pendidikan, 15,5% untuk kebutuhan makanan, dan hanya 0.5% yang digunakan untuk keperluan kesehatan. Hasil penelitian Puspitawati et al. (2009) di Kabupaten Indramayu mengkalkulasikan bahwa rata-rata pengeluaran orang tua untuk pendidikan adalah sebesar Rp260.962,33 per bulan atau sekitar Rp3.131.547,90 per tahun.

Investasi Waktu Orang tua pada Anak

Menurut Guhardja et al. (1989) hubungan alokasi waktu rumah tangga dengan lingkungan dipengaruhi oleh empat sistem, yaitu sistem ekonomi, sistem politik, sistem teknologi, dan sistem sosial budaya. Terdapat tiga kategori penggunaan waktu rumah tangga, yaitu: (a) waktu untuk aktivitas pasar, baik untuk upah maupun usaha sendiri, (b) waktu untuk pekerjaan rumah tangga, dan (c) waktu santai.

Investasi waktu orang tua pada anak bukan hanya meliputi kegiatan merawat anak yang utama seperti memberi makan, memandikan, memakaikan baju, mengajarkan membaca, dan bermain bersama anak. Hal tersebut juga meliputi kegiatan merawat anak sekunder seperti menjaga anak sambil mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain. Dalam kegiatan tersebut, biasanya orang tua mengajarkan anak kemampuan tertentu (Bryant & Zick 2006).

Data tren penggunaan waktu oleh ibu di Amerika Serikat dari tahun 2003 hingga 2008 menunjukkan bahwa dalam satu minggu, sekitar 13,8 jam dihabiskan untuk kegiatan merawat anak. Angka tersebut meningkat dari data pada tahun 1965 sebesar 10,2 jam dalam satu minggu. Sementara ayah menghabiskan waktu yang lebih sedikit dalam merawat anak, yaitu sekitar 7 jam dalam satu minggu (Bianchi 2010).

(40)

Investasi pada Anak Usia Dini

Kualitas seorang individu pada usia dini sangat penting, bukan hanya untuk alasan apa yang terjadi pada usia tersebut namun juga untuk alasan masa depan. Kapabilitas yang dimiliki oleh individu dewasa sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang dirasakan pada saat usia dini. Investasi dalam pendidikan dan bentuk lainnya yang didapatkan pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan kapabilitas seseorang di masa depan melalui dua cara. Pertama, hal tersebut secara langsung dapat membuat individu hidup lebih kaya dan memiliki lebih sedikit permasalah. Persiapan yang baik pada saat usia dini dapat meningkatkan kecakapan hidup seseorang. Kedua, individu yang dipersiapkan dengan baik saat usia dini akan lebih produktif secara ekonomi dan menghasilkan pendapatan yang lebih baik (Sen 1999).

Meyers (1992) dalam Sunarti (2008) menekankan beberpa alasan pentingnya investasi dalam perkembangan anak sejak usia dini. Hal tersebut merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi anak untuk berkembang sampai potensi optimal. Selain itu, investasi dalam perkembangan anak usia dini juga berkaitan dengan nilai sosial dan moral, serta memberikan sumbangan ekonomi bila ditinjau dari produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan.

Sejumlah penelitian membandingkan tingkat pengembalian dari investasi sumberdaya manusia pada tahapan umur yang berbeda dari perkembangan anak. Mayoritas menyimpulkan bahwa investasi pada anak usia dini menjamin keuntungan perkembangan secara kumulatif dimana sebaliknya – bila tidak dilakukan atau terjadi kekurangan – bisa menyebabkan kehilangan yang bersifat irretrievable (tidak bisa dilakukan kompensasi pada tahapan usia-usia selanjutnya) seperti dalam hal status gizi. Defisiensi pada usia dini akan menyebabkan kerusakan atau cacat (defect) secara fisik dan kognitif yang tidak dapat diperbaiki atau dikompensasi di tahapan usia selanjutnya (irreversible) yang berdampak pada produktivitas anak saat dewasa. Hal tersebut yang menyebabkan tingginya tingkat pengembalian investasi pada anak usia dini (Anderson & Hague 2007).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sedini mungkin pada anak dalam hal kesehatan dan asupan gizi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Alderman & King 2006). Laporan Bank Dunia pada tahun 2006 menyoroti masalah tingkat pengembalian yang tinggi dari investasi pada anak usia dini. Dijelaskan bahwa ketidakberuntungan dalam hal

(41)

kesempatan akan menurunkan akses bagi anak terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut akan berdampak pada produktivitasnya dimasa yang akan datang dan turut mempengaruhi kemajuan negara yang ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi (World Bank 2005).

Nilai Anak, Investasi Orang tua pada Anak, dan Transfer Kemiskinan Antargenerasi: Bukti Empiris

Sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang konsisten bahwa anak merupakan jaminan hari tua bagi orang tua (Hartoyo & Hastuti 2003; Kartino 2005; Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010; Mulyani 2010). Orang tua juga setuju bahwa mereka harus menyediakan pendidikan setinggi-tingginya bagi anak mereka agar kelak bisa menjadi individu yang berkualitas (Hartoyo & Hastuti 2003). Namun, hal tersebut berkebalikan dengan sebagian orang tua yang menyatakan bahwa anak merupakan tenaga kerja bagi keluarga yang diharapkan memberikan kontribusi ekonomi secara langsung bagi keluarga (Puspitawati et al. 2009; Permatasari 2010).

Perbedaan orang tua dalam mempersepsikan nilai anak dipengaruhi oleh perbedaan status sosial ekonomi. Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2003) menyimpulkan bahwa persepsi orang tua tentang nilai anak berbeda antara keluarga buruh dengan keluarga juragan meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Keluarga juragan memberikan penilaian lebih tinggi dalam hal nilai sosial dan psikologis, sementara keluarga buruh menilai anak sebagai faktor produksi yang diharapkan memberi kontribusi ekonomi pada keluarga (nilai ekonomi) (Hartoyo 2003).

Hartoyo dan Hastuti (2003) menambahkan bahwa perbedaan dalam mempersepsikan nilai anak diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan dalam hal pengeluaran keluarga untuk anak. Dengan demikian, persepsi orang tua tentang nilai anak menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku investasi orang tua terhadap anak. Persepsi orang tua mengenai nilai anak dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, tipe keluarga, status pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua (Kartino 2005; Mulyani 2010).

Selain nilai anak, investasi orang tua pada anak dalam bentuk uang dan waktu dipengaruhi secara positif oleh pengeluaran keluarga dan dipengaruhi

(42)

secara negatif oleh ukuran keluarga (Hartoyo 1998). Penelitian Puspitawati et al. (2009) menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua akan meningkatkan persepsi mereka terhadap pendidikan dasar sembilan tahun, meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan dasar anaknya, dan memperhatikan serta memprioritaskan pola asuh dan fasilitas belajar anak. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Leibowitz (1982) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu berkorelasi positif dengan kualitas anak yang diukur dengan IQ.

Kualitas anak akan semakin tinggi dengan meningkatnya investasi yang dilakukan orang tua terhadap anak (Leibowitz 1982; Hartoyo 1998). Lebih lanjut disimpulkan bahwa investasi orang tua dalam bentuk waktu berdampak positif terhadap kualitas anak yang diukur dari status gizi anak (Hartoyo 1998). Artinya, semakin banyak waktu yang dicurahkan orang tua untuk anak, terutama yang mendukung tumbuh kembangnya, akan semakin meningkatkan status gizi anak. Selain itu, investasi waktu orang tua pada anak juga diindikasikan memiliki pengaruh yang negatif terhadap investasi orang tua dalam bentuk uang kepada anak (Hartoyo 1998; Hartoyo & Hastuti 2003).

Gambar

Gambar 1 Perangkap kemiskinan (Dharmawan et al. 2010)
Gambar 2 Alur transfer kemiskinan antargenerasi  (Moore 2005)
Gambar 3 Transfer nilai anak antargenerasi dalam keluarga dan kaitannya dengan  perilaku investasi orang tua terhadap anak (diadopsi dari Trommsdorff 2002)
Gambar 4 Kerangka berpikir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

KOMPETISI MATEMATIKA TINGKAT SD/MI DAN SMP/MTs Se-GERBANG KERTASUSILA 2012 “ BLOW YOUR MIND AND REACH YOUR SUCCESS WITH MATHEMATICS”1. SOAL

Terlaksananya koordinasi program dan kegiatan pengembangan Sistem Inovasi Daerah di Kabupaten Lima Puluh

Cara mengajar dengan metode discovery menurut Mulyasa (2005:110) menempuh langkah- langkah sebagai berikut: (a) Adanya masalah yang akan dipecahkan, (b) Sesuai dengan

Dosen FIK Univetsitas Negeri Yogyakarta. DiberitahukandenganhormatbahwamasaperkuIiahansemesterGenapTahunAkademik20l4/20l5diselenggarakanmuIailangga|09 Februari 2015s.d

[r]

Malah kami memohon daripada-Mu Ya Allah dengan penuh ketaakulan agar majlis anugerah ini akan menjadi katalis dan sumber inspirasi kepada pelajar-pelajar lain supaya

ikan dacgkm nelayan kecil ketakutan akan Keppres tersebut sehingga tidak dapat.. m e q g p d a n

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan calon tetua padi hibrida, yang berasal dari galur padi haploid ganda hasil kultur antera, yang tahan wereng