• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. dengan ketinggian mencapai meter (m) diatas permukaan laut (dpl).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. dengan ketinggian mencapai meter (m) diatas permukaan laut (dpl)."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di Provinsi Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam. Area seluas 1.094.692 hektar (ha) ini ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai taman nasional pada tahun 1980. Nama TNGL diambil dari Gunung Leuser yang membentang di kawasan tersebut dengan ketinggian mencapai 3.404 meter (m) diatas permukaan laut (dpl). Bersama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Kerinci Seblat, TNGL ditetapkan oleh UNESCO pada tahun 2004 sebagai situs warisan dunia, Tropical Rainforest Heritage of Sumatra pada tahun 2004. Sebelumnya, TNGL juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1981, dan ASEAN Heritage Park pada tahun 1984. TNGL berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang luasnya mencapai 2,6 juta ha dan dianggap sebagai rumah terakhir bagi Orangutan sumatera yang sangat terancam punah. KEL merupakan habitat yang kompleks dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, namun sekaligus rentan. Selain orangutan, terdapat juga sejumlah spesies hewan dan tumbuhan khas TNGL (YOSL-OIC, 2009).

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan habitat dari sejumlah besar spesies fauna mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan ini memiliki daftar spesies burung yang panjang, yakni dari 380 spesies burung yang ada (65% dari total jumlah spesies burung di seluruh Pulau Sumatera), 350 di antaranya tinggal di kawasan ini. Kawasan TNGL juga memiliki 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland. Hampir 65% atau 129

(2)

spesies mamalia dari total 205 spesies (mamalia besar dan kecil) di Sumatera tercatat tinggal di taman nasional ini. TNGL juga merupakan habitat dari satwa langka dan dilindungi, seperti orangutan Sumatera (Pongo abelii), harimau Sumateran (Panthera tigris), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), siamang (Hylobathes lar), kedih (Presbytis thomasi), serta kambing hutan (Capricornis sumatrensis), rangkong (Buceros bicornis), rusa sambar (Cervusunicolor), kucing hutan (Prionailurus bengalensis sumatrana) dan lain-lain. Kawasan TNGL mencakup areal seluas 1.094.962 ha yang menempati dua wilayah propinsi, yakni Propinsi NAD dan Propinsi Sumatera Utara. Kawasan seluas itu, setara dengan lapangan sepakbola sebanyak 1.100 buah karena 1 lapangan sepakbola sama dengan 1 ha (Onrizal, 2010).

Nama taman nasional tersebut diambil dari nama Gunung Leuser yang terdapat dalam kawasan tersebut dengan puncak tertingginya pada ketinggian 3.404 m. Sejarah perlindungan kawasan ini diawali dengan usulan dari tokoh-tokoh Aceh sejak tahun 1912. Para tokoh-tokoh itu meminta kepada pemerintah kolonial untuk melindungi kawasan hutan di Singkil dan Lembah Alas, dan tidak mengijinkan penebangan hutan di sana. Pada tahun 1928, penanam karet Belanda, yaitu dr. F.C. van Heurn menyiapkan proposal yang pertama. Di tahun 1934, suaka alam di Gunung Leuser ditetapkan dengan luas 416.500 Ha. Tahun 1936, lahan basah Kluet (20.000 Ha), dimasukkan sebagai tambahan suaka, dan dua tahun kemudian, Suaka di Sekundur (79.100 Ha), Langkat Barat and Langkat Selatan (127.075 Ha) ditetapkan. Pada tahun 1980, dideklarasikan 5 taman nasional pertama di Indonesia, yaitu Leuser, Ujung Kulon, Gunung Gede

(3)

Pangrango, Baluran, dan Komodo. Menurut SK.Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/91 tahun 1997 luas TNGL adalah 1.094.962 Ha (Onrizal, 2010).

Sejak 1972 hingga 2001, Bukit Lawang merupakan tempat rehabilitasi orangutan. Dalam kurun waktu ini, 229 orangutan bekas peliharaan yang disita dari perdagangan satwa sudah direhabilitasi di lokasi ini. Bukit Lawang hingga kini diakui sebagai pintu gerbang terbaik untuk menikmati keindahan TNGL yang mempesona. Walaupun bukan lagi sebagai tempat rehabilitasi dan pelepasliaran orangutan, hutan di sekitar kawasan Bukit Lawang masih menyisakan peluang

untuk mengamati orangutan dan juga spesies flora dan fauna lainnya (YOSL-OIC, 2009).

Anatomi dan Klassifikasi Orangutan Sumatera

Orangutan sumatera merupakan species orangutan terlangka. Hidup endemik di pulau Sumatera, ukurannya lebih kecil dari orangutan kalimantan. Memiliki tinggi sekitar 4,6 kaki dan berat 200 pon. Betina lebih kecil, dengan tinggi 3 kaki dan berat 100 pon (Trihangga et al., 2011).

Orangutan sumatera (Pongo abelii) memiliki penampilan rambut yang lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), warna rambut coklat kekuningan, tebal atau panjang (Supriatna dan Edy), dan jika dilihat dari mikroskop berambut membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (Meijaard et al., 2001). Pada bagian wajah orangutan sumatera terkadang memiliki rambut putih, rambut orangutan sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan rambut orangutan kalimantan yang kasar dan jarang-jarang (Galdikas, 1978).

(4)

Pada orangutan jantan mempunyai kantung suara yang berfungsi mengeluarkan seruan panjang (longcall). Seruan panjang adalah suara orangutan yang dikeluarkan dan dapat terdengar dari jarak jauh yang berfungsi merangsang perilaku seks pada betina yang artinya seruan panjang memiliki peranan penting dalam reproduksi dan untuk seruan panjang orangutan kalimantan terdengar hingga sejauh lebih 2 km serta terdengar memukau dan menakutkan (Galdikas, 1978).

Menurut Jones et al. (2004), klassifikasi orangutan sumatera adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Bangsa : Primata

Anak Bangsa : Anthropoidea

Famili : Hominoidea

Subfamili : Pongidae

Genus : Pongo

Species : Pongo abelii

Distribusi Orangutan

Orangutan hidup pada hutan tropis dataran rendah, rawa-rawa, dan terkadang ditemukan pada hutan perbukitan yang mencapai ketinggian 1500 m dpl. Orangutan sumatera memiliki persebaran yang terbatas, hanya dapat dijumpai di Sumatera bagian utara sampai Aceh, dan hasil survei terbaru diperkirakan dad di Sumatera Utara dan Riau bagian utara (Supriatna dan Edy, 2000). Orangutan

(5)

hidup di dataran rendah dengan kepadatan populasi antara ketinggian 200-400 m dpl, dan di daerah Sumatera, orangutan dapat ditemukan di ketinggian lebih dari 1500 m dpl. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan (Meijaard et al., 2001).

Distribusi orangutan lebih ditentukan oleh faktor ketersediaan makanan yang disukai daripada faktor iklim. Orangurtan termasuk satwa fugivora (pemakan buah), walaupun primata itu juga mengkonsumsi daun, liana, kulit kayu, serangga, dan memakan tanah dan vertebrata kecil. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 species tumbuhan, jamur, dan hewan kecil yang menjadi pakan orangutan (Grundman et al., 2009).

Menurut Singleton (2000), kepadatan orangutan di Sumatera dan Kalimantan bervariasi sesuai dengan ketersediaan pakan. Densitas paling tinggi terdapat pada daerah dataran banjir (food-plain) dan hutan rawa gambut. Di Borneo terdapat 4 lokasi yang memiliki densitas rata-rata 0,5-2,9 individu per km2. Sementara itu di Sumateraterdapat 3 lokasi dengan densitas rata-rata 1,4-6,2 individu per km2. Daerah alluvial merupakan daerah dengan densitas tertinggi kedua, dengan 6 lokasi di Borneo yang memiliki densitas rata-rata densitas 0,8-2,3 individu per km2, dengan lokasi di Sumatera dengan densitas 1,4-3,9 individu per km2. Di hutan perbukitan orangutan ditemukan dalam densitas yang jauh lebih rendah dibandingkan kedua tipe hutan yang lelah disebutkan sebelumnya (Banjarnahor, 2011).

(6)

Kondisi Habitat Orangutan

Hutan tropis merupakan habitat dari orangutan yang kelestariannya harus tetap terjaga. Menurut Daniel et al. (1995) hutan tropis adalah bentuk yang paling tinggi perkembangannya dan paling kompleks dengan daun lebar yang selau hijau dengan proporsi dan kepadatan yang tinggi, kelembaban selalu tinggi, dan dengan curah hujan tahunan tersebar merata dan paling sedikit mencapai 1800-2000 mm (Andriaty, 2008).

Menurut Kuswanda (2011), kriteria habitat yang sesuai dengan re-introduksi orangutan, yaitu diantaranya:

1. Prioritas kawasan merupakan hutan negara.

2. Lokasi habitat merupakan habitat baru bagi orangutan. 3. Penutupan Lahan masih berupa hutan primer

Kualitas hutan sangat berpengaruh terhadap daya reproduksi orangutan (Population and Habitat Viability Assessment, 2004). Selain itu akan mempercepat adaptasi serta meningkatkan daya reproduksi.

4. Luasan habitat yang cukup ideal

Pada kondisi habitat yang ideal, satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 hektar atau 1 km2. Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5-6 individu dalam luasan1 km2, seperti di Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser yang mencapai kepadatan 5,5 ekor/km2

5. Kerapatan Vegetasi Tinggi (Meijaard, et al., 2001).

Kerapatan vegetasi pada habitat untuk re-introduksi diharapkan mencapai 400-550 pohon/Ha. Indeks keragaman jenis pada setiap tingkat pertumbuhan

(7)

(semai, pancang, tiang, pohon) berada pada selang 2,5 < H maks < sehingga msih tergolong habitat yang tidak terkendala/stabil.

6. Persentase pohon sumber pakan orangutan

Habitat yang akan dipilih sebaiknya habitat yang paling sedikitnya antara 60-80% jenis pohonnya (diameter pohon > 10 cm) teridentifikasi sebagai sumber pakan orangutan.

7. Sebaran pohon sarang yang cukup

Lokasi pelepasliaran orangutan sebaiknya telah teridenfikasi paling sedikit 30-40% dari seluruh jumlah pohon dalam kawasan.

8. Menyediakan tumbuhan obat bagi orangutan

Habitat sebaiknya teridentifikasi paling sedikit 30-40% dari jenis tumbuhan sumber pakan berfungsi sebagai tanaman obat bagi orangutan.

Orangutan sumatera hidup di hutan hujan tropis yang termasuk di antara ekosistem terkaya di bumi dalam bidang keanekaragaman hayati serta digambarkan sebagai kekayaan yang tak tertandingi dari aspek flora dan fauna jika dibandingkan dengan ekosistem darat lainnya (Gaston 2009). Sumatera menduduki peringkat sangat tinggi dan seluruh daerah sebaran geografis orangutan sumatera merupakan salah satu dari tiga hotspot keanekaragaman hayati utama dunia. Hotspot ini merupakan waduk tumbuhan dan hewan paling kaya serta paling terancam di bumi. Hotspot istimewa ini disebut Sundaland yang mencakup pulau Sumatra, Kalimantan dan Jawa, serta Semenanjung Malaysia (Myers et al. 2000). Hutan yang mendukung orangutan sumatera juga merupakan tempat bagi spesies tumbuhan dan satwa lainnya, termasuk beberapa spesies megafauna yang paling banyak dijadikan simbol di dunia, harimau sumatera

(8)

(Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) (Wich et al., 2011)

Pemilihan preferensi habitat dan pohon sarang dipengaruhi oleh ketersediaan pakan sehingga dalam melaksanakan survei sarang informasi mengenai faktor-faktor ekologi terutama pakan menjadi pertimbangan untuk menghindari bias dalam estimasi populasi orangutan. Ketersediaan pakan merupakan faktor ekologi terpenting dalam manajemen populasi orangutan, kegiatan pemantauan ketersediaan pakan alami, dan perbaikan habitat melalui pemeliharaan regenerasi tumbuhan pakan alami dapat menjamin kelestarian orangutan pada habitatnya (Santosa dan Rahman, 2012).

Daya dukung wilayah untuk suatu spesies yang membutuhkan air minum dapat dibatasi oleh distribusi titik air. Setiap sumber air tunggal, terlepas dari jumlah air saat itu, akan mendukung hanya sejumlah terbatas dari hewan. Keterbatasan sebenarnya akan sering dikarenakan oleh pasokan makanan di dalam daerah dekat air. Untuk meningkatkan daya dukung pada suatu daerah, penambahan titik air agar lebih dapat dikembangkan, sehingga membuat sumber makanan lain yang tersedia dapat dimanfaatkan (Dasmann,1981).

Perilaku Orangutan

Bumi ini dihuni oleh berjuta jenis hewan yang berbeda dan setiap jenis memiliki perbedaan sendiri. Demikian juga dengan prilaku, hewan memiliki prilaku umum yang dimiliki oleh banyak jenis, dan sedikit pola perilaku yang dimiliki oleh semua jenis. Ketika semua jenis hewan memerlukan reproduksi, makan dan juga mencoba untuk tidak menjadi santapan oleh makhluk apapun, semua jenis hewan memiliki beberapa tipe prilaku reproduksi, perilaku mencari

(9)

makan, dan prilaku bertahan. Untuk sekian lama, seleksi alam juga memungkinkan jenis hewan tertentu memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan perilaku, termasuk perilaku berkomunikasi, perilaku penguasaan wilayah, perilaku penyebaran dan perilaku sosial (Sukarsono, 2009).

Perilaku orangutan diantaranya adalah aktivitas makan, istirahat, bergerak, sosial, dan membuat sarang. Hasil penelitian terhadap tiga individu orangutan, yaitu jantan dewasa, betina dewasa, dan betina remaja menyimpulkan bahwa rata-rata durasi aktivitas orangutan di cagar alam dolok Sibual-buali adalah 28,47% untuk makan, 29,54% untuk bergerak, 12,55% untuk istirahat, 26,89% untuk sosial, dan 2,50% untuk membuat sarang. Adapun total fkekuensi hariannya adalah 70 kali pada jantan dewasa, 86 kali pada betina dewasa, dan 74 kali pada jantan remaja. Pada pagi hari alokasi penggunaan waktu orangutan sebesar 34,31% untuk makan, aktivitas bergerak 31,39%, sosial 23,61%, dan istirahat 10,69%. Pada periode siang hari durasi aktivitas orangutan lebih banyak digunakan untuk aktivitas sosial yaitu sebesar 42,36% yang salah satunya adalah tidur. Untuk periode sore harinya aktivitas bergerak mempunyai alokasi waktu yang paling banyak yaitu 34,04% menit dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Frekuensi aktivitas harian orangutan pada periode pagi hari yang paling banyak adalah jantan dewasa sebanyak 27 kali, siang hari jantan remaja sebanyak 25 kali, dan sore hari betina dewasa sebanyak 25 kali (Kuswanda dan Sugiarti, 2005a)

Orangutan rata-rata aktif mulai pukul 06.25 (05.27 s/d 07.27), dan mulai tidur pukul 18.21 (16.03 s/d 19.08). Rata-rata lama perilaku harian Orangutan 11 jam 57 menit. Hal ini mirip dengan Orangutan liar yang ditemukan Galdikas (1978) di Tanjung Puting dan Rodman (1988) di Mentoko Kutai. Orangutan

(10)

menggunakan 84%-92% perilaku hariannya untuk melakukan perilaku pergerakan, perilaku istirahat dan perilaku makan. Perilaku makan yang tinggi sepanjang hari, dan agak menurun pada siang hari karena meningkatnya perilaku istirahat (Kuncoro, 2004).

Makanan dan Aktivitas Makan

Salah satu komponen habitat yang penting dan dikategorikan sebagai faktor pembatas (limiting factor) karena berpengaruh terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan populasi satwa adalah makanan. Hal ini dapat dipahami karena makanan merupakan sumber energi yang penting untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, memperbaiki dan mengganti bagian organ tubuh yang rusak, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit, serta untuk perkembang-biakan (reproduksi) satwa. Dengan demikian ketersediaan makanan di suatu habitat baik dalam jumlah maupun mutu yang cukup, akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan populasi satwa (Masy’ud et al., 2008).

Orangutan lebih banyak memakan buah daripada umbut dan daun. Terdapat 95 spesies tumbuhan dan satu spesies rayap Dicus piditermes yang dimakan Orangutan di Pegunungan Meratus. Pernah terlihat orangutan menggunakan ranting sebagai alat untuk mengambil rayap dari dalam sarangnya. Beberapa buah yang dimakan Orangutan antara lain buah bandang (Borassodendron bomeensis), mata pelanduk (Baccaurea stipulata), terap (Arthocarpus anisophyllus), kapul (Baccaurea macrocapd), banitan (Polyalthia sumatrand), kempas (Kompassia spp.), Monocarpia euneura, Diospyros sp. Orangutan juga memakan bunga lae (Durio aaitifolius), umbut rotan (Calamus

(11)

spp., Daemonorops spp., Korthalsia spp.), umbut Zingiberaceae (Alpina sp., Globa sp.) daun Girroniera nervosa dan Xantophylum affine, serta kulit kayu dari pohon Macaranga spp. (Kuncoro, 2004).

Pada habitat alaminya, orangutan merupakan stwa liar tipe pengumpul atau pencari makan yang oportunis (memakan apa saja yang dapat diperolehnya). Menurut Kuswanda dan Bismark (2007), teridentifikasi sebanyak 36 jenis tumbuhan merupakan sumber makanan orangutan di cagar alam Dolok Sibual-buali seperti asam hing (Ficus racemosa Linn.), durian hutan (Durio zibethinus Murr.), dan hoteng (Quercus gemeliflora Blume). Persentase tertinggi bagian tumbuhan yang dimakan orangutan adalah buah (55%), kemudian daun dan pucuk (14%), umbut (6%), dan kombinasinya (kuswanda dan Sugiarti, 2005).

Aktivitas makan merupakan aktivitas dengan persentase tertinggi yang dilakukan orangutan liar. Pada penelitian yang dilakukan di Wanariset Samboja, Kalimantan Timur orangutan melakukan aktivitas makan sebesar 45,9%, bergerak sebesar 12,1%, dan 41,9% untuk aktivitas istirahat (Ramadhan 2008). Di Hutan Mentoko Taman Nasional Kutai diperoleh persentase aktivitas makan sebesar 46%, aktivitas istirahat sebesar 43%, dan aktivitas bergerak sebesar 10% (Krisdijantoro 2007). Di Tanjung Puting, orangutan menghabiskan 60,1% waktu hariannya untuk makan, 20,5% untuk bergerak, dan 19,3% untuk istirahat (Galdikas 1984). Pola makan sangat berpengaruh terhadap kondisi biologis dan aktivitas hidup hewan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi organisasi sosialnya (Meijaard et al. 2001). Menurut Maple (1980), orangutan yang hidup di penangkaran memiliki waktu aktif yang berkorelasi positif dengan waktu pemberian pakan. Pada kondisi alami, orangutan lebih banyak mengonsumsi buah

(12)

dibandingkan jenis pakan lainnya. Saat ketersediaan buah menurun, orangutan juga mengonsumsi berbagai pakan lain yang dapat ditemui. Pakan lain yang dikonsumsi orangutan adalah daun, pucuk, bunga, epifit, liana, kulit kayu (Galdikas 1984; Sinaga 1992), dan tanah (Meijaard et al. 2001). Menurut (Utami & van Hooff 1997) pada beberapa kasus, orangutan juga mengonsumsi kukang (Nycticebus coucang) (Zuhra et al., 2009).

Menurut Adriaty (2008), berikut data pemanfaatan tumbuhan pakan serta bagian-bagiannya:

Tabel 1. Nama tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan orangutan di Kecamatan Batang Serangan, Langkat.

No. Nama tumbuhan Nama latin Bagian yang dimakan

1. Alban Vitex pubescens Fr, Sd, L, Bk

2. Aren Arenga pinatta Fr, Fl, L

3. Beringin Ficus sp. Fr, L, Bk

4. Bobi Arthocarpus sp. Fr, L, Bk

5. Cempedak Arthocarpus champeden Fr, L, Bk

6. Durian Durio zibethinus Fr, Fl, L, Bk

7. Ganjagat Semicarpus sp. Fr

8. Gondang Ficus sp. Fr, Sd, L, Bk

9. Jengkol Phitellocebium lobatum Fr, L, Bk

10. Jering Phitellocebium jiringa Fr

11. Karet Hevea brasiliensis Sd, Fl, L, Bk

12. Kayu Minyak Arthocarpus sp. Fr, Fl

13. Kedondong Hutan Termelia copelandii Fr

14. Ketepul Arthocarpus rigidus Fr, L, Bk

15. Luingan Ficus sp. Fr, L, Bk

16. Malucabang Trema sp. Fr, Sd, Bk

17. Marak Macaranga sp. Fr, Sd, Bk

18. Meranti Shorea sp. Fr, Bk

19. Pandan Pandanus sp. Fr, L

20. Petai Parkira speciosa Fr, Fl

21. Sisik Naga Drymoglossum piloselloides Fr, L

22. Tanduk Rusa Platycerium bifurcatum L, Rt

23. Terempis Payena sp. Bk

24. Terep Arthocarpus sp. Fr, L, Bk

Keterangan: Fr (Fruit) = Buah, L (Leave) = Daun, Fl (Flower) = Bunga, Bk (Bark) =

(13)

Aktivitas Bergerak

Orangutan merupakan hewan arboreal (hidup di pohon) dan diurnal (aktif di siang hari) yang bersifat semi soliter, artinya orangutan jantan dewasa berkeliaran sendirian sepanjang hari, sedangkan betina yang sudah dewasa diiringi anaknya. Tingkah laku bergerak berlangsung apabila orangutan berpindah dari suatu tempat ke tempat lain atau dari suatu pohon ke pohon lain. Bergerak pindah didefinisikan sebagai perpindahan diantar sumber-sumber makanan atau diantara tempat-tempat istirahat. Walaupun demikian beberapa peneliti lebih cenderung mengatakan bergerak berpindah hanya dalam penjelajahan (Galdikas, 1984). Menurut Napier dan Napier (1985) dalam Margianto (2000), bergerak berpindah dapat berlangsung juga pada aktivitas lain yang memungkinkan terjadinya perpindahan tempat. Menurut Sugardjito (1988) dalam Lubis (1995), bergerak berpindah sebagian besar dilakukan dalam mencari atau memperoleh sumber pakan (Melvitri, 2004).

Pola jelajah pada dasarnya kecenderungan orangutan dalam menggunakan ruang pengembaraannya sehari-hari, mulai bangun tidur di pagi hari, menuju tempat sumber makanan dan tempat istirahat kemudian menuju pohon tempat tidur, dimana letaknya bisa berimpit dengan tempat tidur sebelumnya maupun sebaliknya. Menurut Djojosudharmo (1978) pergerakan orangutan dalam hutan sangat lambat dan malas adapun faktor-faktor yang menyebabkan lambannya pergerakan mereka ialah karena berat badannya yang cukup besar dan pohon-pohon di dalam hutan yang sangat bervariasi tinggi maupun letaknya, hingga harus berhati-hati dalam pergerakannya (Krisdijantoro, 2007).

(14)

Orangutan jantan melakukan lebih banyak perilaku pergerakan, perilaku istirahat dan perilaku makan daripada orangutan betina. Sedangkan orangutan betina lebih banyak melakukan perilaku sosial daripada orangutan jantan, hal ini juga terjadi pada orangutan liar di Tanjung Puting (Galdikas, 1978). Kemungkinan hal ini terjadi karena orangutan jantan perilaku makannya lebih banyak, sehingga perlu perilaku pergerakan banyak dan akibatnya perilaku sosialnya kurang. Menurut Rijksen (1978) bahwa perilaku pergerakan pada orangutan yang berhubungan dengan perilaku makannya kemungkinan besar memang dipengaruhi jenis kelamin. Sedangkan Rodman dan Mitani (1987) mengatakan bahwa ada hubungan antara ukuran tubuh antara orangutan jantan dengan orangutan betina terhadap perilaku pergerakan dan perilaku makannya. Orangutan rehabilitan lebih sering menggunakan permukaan tanah sebagai tempat aktivitasnya, sedangkan pada orangutan liar hanya berada di permukaan tanah apabila akan menyeberangi fragmen-fragmen hutan yang gundul (Rijksen, 1978). Menurut Rijksen (1978), orangutan rehabilitan menggunakan kanopi pohon apabila merasa takut. Sebagian besar waktu orangutan berada dipermukaan tanah, dan baru memanjat pohon untuk makan atau bertemu satwa lain seperti babi, rusa, beruang, kijang dan orangutan lain yang lebih dominan. Fungsi lain kehidupan arboreal pada orangutan berhubungan dengan ketersediaan pakan yang sesuai, saat musim buah, orangutan banyak beraktivitas pada kanopi tengah dan atas (Kuncoro, 2004).

Aktivitas Istirahat

Aktivitas istirahat berlangsung pada waktu orangutan relatif tidak bergerak, misalnya : duduk, berdiri, tidur pada cabang pohon atau dalam sarang

(15)

pada siang hari (Galdikas, 1984). Hampir 30% dari seluruh aktivitas yang dilakukan sehari merupakan aktivitas istirahat bagi orangutan. Mackinnon (1973) menyatakan meningkatnya suhu dan kelembaban pada siang hari membuat orangutan menjadi kurang aktif dan biasanya beristirahat cukup lama dengan membuat sarang (Melvitri, 2004).

Istirahat merupakan kegiatan yang meliputi seluruh waktu yang digunakan individu orangutan dengan relatif tidak melakukan kegiatan dalam periode waktu tertentu, baik di dalam maupun di luar sarang. Di alam sendiri orangutan menghabiskan waktu beristirahat lebih banyak dikarenakan beberapa faktor seperti ketersediaan makanan (Zendrato, 2009). Apabila musim buah orangutan akan semakin mudah mendapatkan makanan, sehinnga waktu jelajah akan semakin sedikit (Banjarnahor, 2011).

Aktivitas Bersarang

Sebagian hidup orangutan dihabiskan di atas pohon, baik itu dalam hal mencari makanan maupun istirahat. (MacKinnon 1971 dalam Galdikas, 1984), menyebutkan bahwa orangutan membuat sarang baru pada pohon setiap malamnya. Sarang tersebut terdiri dari sarang yang berserakan, dapat dibuat dalam beberapa menit jika ada tempat yang cocok, misalnya di puncak pohon atau di cagak dahan. Dahan dipatahkan dan dibengkokkan, kemudian diletakkan tumpang tindih lalu ditutupi dengan dahan-dahan kecil. Ada orangutan yang membuat sarang lebih besar dan lebih kompleks daripada orangutan lain. Orangutan juga terkadang menggunakan sarang lama dengan menambahkan cabang-cabang segar pada sarang lama dan menggunakan sarang yang telah diperbaiki ini sebagai tempat bermalam (Ela et al., 2001).

(16)

Orangutan merupakan satwa liar yang selalu membuat sarang setiap hari. Jenis pohon sarang yang digunakan orangutan adalah talun (Styrax serrulatus Roxb.), beringin (Ficus benjamina Linn.), hoteng (Quercus sp.), dan durian hutan (Durio zibethinus). Karakteristik pohon sarang yang berpengaruh terhadap perilaku orangutan dalam pemilihan tempat bersarang adalah diameter batang, luas penutupan tajuk, tinggi tajuk, dan bagian pohon sarang. Sedangkan tinggi bebas cabang dan tinggi total, jarak tajuk pohon sarang ke tajuk pohon lainnya, dan tinggi sarang tidak mempengaruhi perilaku orangutan untuk memilih tempat bersarang. Bagian pohon yang sering digunakan untuk membuat sarang adalah puncak pohon dan ujung cabang (Kuswanda dan Sukmana, 2005).

Dalam aktivitas hariannya, orangutan memanfaatkan ranting-ranting atas pohon untuk dijadikan sarang, setiap harinya orangutan membuat sarang 1–3 sarang dengan daya jelajah setiap harinya lebih dari 10 ha (Schaik et al., 1995). Kegiatan pembuatan sarang akan membantu pembukaan kanopi sehingga sinar matahari dapat masuk hingga lantai hutan. Regenerasi anakan pohon terutama jenis pohon-pohon intoleran yang telah ada sebelumnya pada ekosistem hutan pun dapat tumbuh baik dengan adanya kehadiran orangutan pada suatu habitat. Merujuk kepada peranannya dalam ekosistem termasuk terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, maka orangutan disebut sebagai salah satu spesies payung (umbrella species) yaitu spesies yang kelestariannya berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan (Santosa dan Rahman, 2012).

Menurut Schaik dan Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang biasa digunakan oleh orangutan yaitu posisi sarang yang

(17)

terletak di dekat batang utama, posisi sarang yang terletak di tengah atau di pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di puncak pohon.

Gambar 1. Posisi sarang orangutan, a)posisi I, b)Posisi II, c)Posisi III, d)posisi IV - Posisi I : Posisi sarang yang terletak dekat batang utama.

- Posisi II : Sarang berada di pertengahan atau pinggir percabangan tanpa menggunakan pohon atau percabangan dari pohon lainnya.

- Posisi III : Posisi sarang terdapat di puncak pohon

- Posisi IV : Posisi sarang yang terletak di antara dua pohon yang berbeda (Dalimunthe, 2009)

Konsevasi Orangutan

Keppres No. 43 Tahun 1978 (Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna and Flora), Ramsar Keppres No. 48 Tahun 1991 (Perjanjian internasional untuk konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara berkelanjutan), UU No. 5 Tahun 1994 (Pengesahan united nations convention on biological diversity), serta dalam PP no. 7 Tahun 1999 (Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa), orangutan sumatera termasuk dalan status Critically Endangered (CR) atau kritis (Trihangga et al., 2011).

Menurut Population and Habitat Viability Assessment (PHVA, 2004) populasi orangutan diduga akan menurun sebanyak 50% dalam waktu 10 tahun dan 97% dalam 50 tahun mendatang apabila tidak ada upaya konsevasi yang serius untuk menjaga dan mencegah laju kepunahan orangutan. Untuk itu,

(18)

konservasi orangutan harus ditingkatkan karena pelaksanaan konservasi akan menghadapi berbagai permasalahan lebih kompleks di tengah perkembangan aktivitas pembangunan. Indonesia akan mengalami kerugian dari berbagai segi apabila oranguatan sampai punah. Orangutan telah menjadi maskot yang sangat istimewa untuk memeperoleh perhatian publik dan paling memikat untuk mencari dukungan dana internasional (Kuswanda, 2007).

Diketahui bahwa jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara kontinyu dalam beberapa dekade terakhir akibat semakin berkurangnya hutan-hutan dataran rendah dan dalam beberapa tahun belakangan ini penurunan populasi yang terjadi cenderung semakin cepat. Masih terjadinya perburuan dan perdagangan orangutan, termasuk untuk diselundupkan ke luar negeri juga memberikan kontribusi terhadap penurunan populasi orangutan liar di alam. Hilangnya habitat dan perburuan serta perdagangan masih merupakan ancaman utama terhadap keberlangsungan hidup orangutan di Indonesia. Pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan orangutan dan habitatnya dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundangan serta mengembangkan berbagai program kemitraan dengan sektor lain dan pemangku kepentingan lainnya. Bersama dengan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk para ahli orangutan nasional maupun internasional, pemerintah juga telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2008 – 2017 untuk mendukung upaya konservasi orangutan. Dimasa mendatang, sektor industri kehutanan seperti HPH, sawit dan hutan tanaman diharapkan dapat berperan lebih banyak untuk mendukung upaya konservasi orangutan yang terdapat di area konsesi mereka (Suhut dan Saleh, 2007).

Gambar

Tabel 1. Nama tumbuhan dan bagian tumbuhan yang dimakan orangutan di  Kecamatan Batang Serangan, Langkat
Gambar 1. Posisi sarang orangutan, a)posisi I, b)Posisi II, c)Posisi III, d)posisi IV  -  Posisi I  :  Posisi sarang yang terletak dekat batang utama

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengelasan baja karbon rendah yang diberikan variasi kuat arus, dilakukan pengujian impak terhadap material tersebut. Material yang memiliki harga

Respon tanaman pakcoy pada bobot bersih per petak terhadap pemberian pupuk organik cair memberikan hasil yang terbaik pada perlakuan E (8,764 kg) dan perlakuan F

Demikian halnya dengan pilihan kata yang juga dapat kita gunakan untuk membuat rasa kenyamanan serta mebangun kedekatan dengan lawan bicara, yaitu dengan cara

Era pascaperindustrian dan pascaglobalisasi yang serba mencabar akal dan minda kita telah menjadikan institusi tahfiz lebih kreatif dalam menawarkan kursus pengajian di

terlebih dahulu, dengan terdaftarnya diri anda di perpustakaan ini anda telah di izinkan peminjaman buku dengan tempo waktu yang telah ditentukan oleh pihak

Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar PLTGU yang diproyeksikan pada tahun 2050 sudah 100% menggunakan gas, kondisi infrastruktur gas di wilayah Jawa-Bali diasumsikan sudah

20 08-09-2005 Seminar International Bahasa Arab; Penggunaan Multimedia Interaktif dalam Pembelajaran Bahasa Arab. Ikatan Pengajar Bahasa Arab Indonesia - Hotel

Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pasal 2 mengenai Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang