• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

Menurut Fishbein dan Azjen (1975) menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setip perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek.

Winardi (2001) mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses internal yang bermanfaat sebagai filter dan metode untuk mengorganisasikan stimulus, yang mungkin kita hadapi dim lingkungan kita. Proses persepsi menyediakan mekanisme melalui stimulus yang di seleksi dan dikelompokkan dalam wujud yang hampir bersifat otomatik dan bekerja dengan cara yang sama pada setiap individu sehingga secara karakteristik menghasilkan persepsi yang berbeda-beda.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli) hingga manusia memperoleh pengetahuan baru (Rakhmat, 2007).

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang hal

(2)

yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Dengan demikian, persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui panca indra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2002).

Persepsi pada hakikatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat pengelihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap situasi (Thoha, 2007).

Persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui indra pengelihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun objeknya sama (Notoatmodjo, 2007)

Beberapa pengertian persepsi juga dikemukakan oleh beberapa ahli antara lain:

1) Menurut David Krech (1962), persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari kenyataan.

2) Menurut Duncan (1981), persepsi dapat dirumuskan dengan berbagai cara, tetapi dalam ilmu perilaku khususnya psikologi, istilah ini dipergunakan untuk mengartikan perbuatan yang lebih dari sekedar mendengarkan, melihat atau

(3)

merasakan sesuatu. Persepsi yang signifikan adalah jika diperluas di luar jangkauan lima indera dan merupakan suatu unsur yang penting di dalam penyesuaian perilaku manusia.

3) Meurut Luthans (1981), persepsi lebih kompleks dan luas dibandingkan dengan penginderaan. Proses persepsi meliputi suatu interaksi yang sulit dari kegiatan seleksi, penyusunan, dan penafsiran. Dengan kata lain proses persepsi dapat menambah, dan mengurangi kejadian senyatanya yang diinderakan oleh seseorang

Menurut Hidayat (2009), persepsi dapat didefinisikan sebagai proses seseorang memahami lingkungan, meliputi pengorganisasian dan penafsiran rangsang dalam suatu pengalaman psikologis. Persepsi merupakan proses kognitif yaitu menginterpretasi obyek, simbol dan orang dengan pengalaman yang relevan. Persepsi juga merupakan proses ekstraksi informasi persiapan untuk berespon. Persepsi menerima, memilih, mengatur, menyimpan dan menginterpretasi rangsang menjadi gambaran dunia yang utuh dan berarti. Persepsi dapat terjadi saat rangsang mengaktifkan indera, atau pada situasi dimana terjadi ketidakseimbangan pengetahuan tentang obyek, simbol atau orang akan membuat kesalahan persepsi. Persepsi ini akan memengaruhi pembentukan sikap dan perilaku manusia.

2.2. Peran Tenaga Kesehatan

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat (Depdikbud, 2001).Peran adalah suatu pola tingkah laku,

(4)

kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan di pegang kedudukan.Jadi peran menggambarkan prilaku yang seharusnya di perlihatkan oleh individu pemegang peran tersebut dalam situasi yang umum (Sarwono, 2007).

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil.Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Kozier Barbara, 1995).

Menurut Horton dan Hunt (1993) dalam Sudarma (2008), peran (role) adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status. Seseorang mungkin tidak memandang suatu peran dengan cara yang sama sebagaimana orang lain memandangnya. Sifat kepribadian seseorang mempengaruhi bagaimana orang itu merasakan peran tersebut. Tidak semua orang yang mengisi suatu peran merasa sama terikatnya kepada peran tersebut, karena hal ini dapat bertentangan dengan peran lainnya. Semua faktor ini terpadu sedemikian rupa, sehingga tidak ada dua individu yang memerankan satu peran tertentu dengan cara yang benar – benar sama.

Ahli sosiologi menemukan sesuatu yang bermanfaat untuk mempelajari interaksi antara individu sebagai pelaku (actor) yang menjalankan berbagai peranan.Suatu peranan, apakah dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya mempunyai kewajiban atau paling tidak diharapkan untuk menjalankan suatu tugas atau kegiatan yang sesuai dengan peranannya (Muzaham, 2007).

(5)

Tenaga kesehatan adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga dan masyarakat (Azwar, 1996).Tenaga kesehatan berdasarkan pekerjaanya adalah tenaga medis, dan tenaga paramedic seperti tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga penunjang medis dan lain sebagainya.Upaya pengembangan pelayanan puskesmas adalah dengan meningkatkan mutu pelayanan.Hal ini diwujudkan dengan meningkatkan keterampilan staf dan motivasi kerjanya, memberikan pelayanan, dan menyediakanperalatan dan obat-obatanyang mencukupi sesuai kebutuhan pelayanan.Ada dua aspek mutu pelayanan kesehatan yang perlu dilakukan di puskesmas yaitu quality of care dan quality of service, namun keduanya saling terkait.Quality of careadalah lebih banyak terkait dengan ketrampilan kinerja klinis staf medis dan paramedis dan jika mutu pelayanan ini kurang akan menjadi tanggungjawab ikatan profesi untuk meningkatkannya. Sedangkan Quality of service lebih banyak terkait dengan manajemen program dan pelayanan kesehatan, misalnya kualitas dan jumla sarana dan prasarana kesehatan, mutu kebijakan kesehatan, dan penyediaan sarana pelayanan kesehatan.Peningkatan kualitas dimulai dari kebutuhan dan berakhir pada persepsi pelanggan.Hal ini berarti bahwa citra kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi pihak penyedia jasa, melainkan berdasarkan pada sudut pandang atau persepsi pelanggan (Muninjaya, 2004).

Menurut Wijono (1999), tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

(6)

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi dan tenaga ketehnisian medis, namun dalam penelitian ini tenaga kesehatan yang dimaksud adalah seorang koordinator imunisasi yang diberikan tugas untuk memberikan pelayanan kesehatan tentang imunisasi.

Peran tenaga kesehatan dalam memelihara dan melindungi kesehatan adalah sebagai customer, komunikator, fasilitator, motivator dan konselor (Azwar,1996; Herawati, 2006; Notoatmodjo 2007). Diharapkan tenaga kesehatan melaksanakan ke lima peran ini dalam melakukan pelayanan kesehatan khususnya dalam pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0 -7 hari.

Adapun peran tenaga tenaga kesehatan adalah sebagai berikut: 2.2.1. Customer

Menurut Muninjaya (2004), tenaga kesehatan harus menyadari peranannya sebagai customer yaitu staf yang diberikan tugas istimewa memberikan asuhan pelayanan medis dan kesehatan kepada masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan. Sebagai pemberi pelayanan, petugas membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Petugas memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistic, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan social.Pemberian asuhan memberikan bantuan kepada kepada klien dan keluarga dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan energi dan waktu yang minimal (Potter dan perry, 2007).

(7)

2.2.2. Komunikator

Komunikator adalah orang ataupun kelompok yang menyampaikan pesan ataupun stimulus kepada orang atau pihak lain dan diharapkan pihak lain yang menerima pesan tersebut memberiknn respon. Menurut Mundakir (2006), tenaga kesehatan secara fisik dan psikologis harus hadir secara utuh pada waktu berkomunikasi dengan klien. Petugas tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap dan penampilan dalam berkomunikasi.Sebagai pelaku aktif dalam komunikasi, peran komunikator sangatlah vital. Komunikasi dapat berjalan lancar dan efektif tidak jarang karena faktor komunikator yaitu:

1. Penampilan yang baik, sopan dan menarik sangat berpengaruh dalam proses komunikasi. Seorang yang menerima pesan adakalanya yang pertama diperhatikan adalah penampilan komunikator. Sebagai seorang tenaga kesehatan, penampilan yang bersih, sopan dan menarik sangat perlu dalam menjalankan perannya memberikan asuhan pelayanan kebidanan

2. Penguasaan masalah. Sebelum melakukan komunkasi seorang komunikator hendaknya paham dan yakin betul bahwa apa yang akan disampaikan merupakan permasalahan yang penting. Penguasaan masalah juga dapat meningkatkan komunikasi terhadap komunikator.

3. Penguasaan bahasa. Proses komunikasi akan berjalan lambat apabila bahasa yang digunakan kurang sesuai dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh penerima

(8)

pesan. Penguasaan bahasa yang kurang baik dapat menyebabkan salah penafsiran.

Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran yang lain. Pelayanan mencakup komunikasi dengan klien dan keluarga, komunikasi antar profesi kesehatan lainnya.Memberi perawatan yang efektif, pembuatan keputusan dengan klien dan keluarga atau mengajarkan sesuatu kepada klien, tidak mungkin dilakukan tanpa komunikasi yang jelas.Kualitas komunikasi merupakan faktor yang menentukan dalam memenuhi kebutuhan klien (Potter dan Perry, 2007).

Tenaga kesehatan sebagai komunikator seharusnya memberikan informasi secara jelas kepada pasien. Pemberian informasi sangat diperlukan karena menurut Notoatmodjo (2003), komunikasi diperlukan untuk mengkondisikan faktor kurangnya pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, mereka berperilaku sesuai dengan nilai-nilai kesehatan.Untuk itu diperlukan komunikasi yang efektif dari tenaga kesehatan.

Tenaga kesehatan harus mengevaluasi pemahaman ibu tentang informasi yang diberikan.Juga memberikan pesan kepada ibu apabila terjadi efek samping yang tidak bisa ditanggulangi segera datang untuk konsultasi ke petugas (Mandriwati, 2008). 2.2.3. Motivator

Menurut Azwar (1996) dalam Maulana (2009) Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang artinya adalah rangsangan, dorongan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang hingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi adalah upaya untuk menimbulkan

(9)

rangsangan, dorongan ataupun pembangkit keinginan seseorang maupun sekelompok masyarakat tersebut sehingga mau berbuat dan bekerja sama secara optimal, melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Motivasi juga didefinisikan sebagai kekuatan dari dalam individu yang mempengaruhi kekuatan atau petunjuk perilaku, motivasi itu mempunyai arti mendorong/menggerakkan seseorang untuk berperilaku, beraktivitas dalam mencapai tujuan (Widayatun, 1999).Motivasi adalah perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan pekerjaan atau menjalankan kekuasaan terutama dalam berprilaku.Motivator adalah orang yang memberikan motivasi atau dorongan kepada seseorang untuk berperilaku (Santoso, 2005).

2.2.4. Fasilitator

Fasilitator adalah orang atau badan yang memberikan kemudahan atau menyediakan fasilitas (Santoso, 2005).Tenaga kesehatan harus dapat berperan sebagai fasilitator bagi klien untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.Sebagai fasilitator tenaga kesehatan harus mampu menentukan kelompok sasaran sehingga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi (Depkes RI, 2000).

Menurut Notoatmodjo (2007), tenaga kesehatan harus memfasilitasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan atau program pemberdayaan.

2.2.5. Konselor

Konselor adalah orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam membuat keputusan atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman terhadap

(10)

fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan-perasaan klien (Depkes RI, 2002). Tujuan umum pelaksanaan konseling adalah membantu ibu mencapai perkembangan yang optimal dalam batas-batas potensi yang dimiliki dan secara khusus bertujuan untuk mengarahkan perilaku yang tidak sehat menjadi perilaku sehat, membimbing ibu belajar membuat keputusan dan membimbing ibu mencegahtimbulnya masalah (Mandriwati, 2008).

Pada umumnya jasa konseling diperlukan apabila ada pihak yang mempunyai kesulitan tentang sesuatu dan berharap dengan konsultasi kesulitan tersebut dapat teratasi.Konseling adalah bagian dari peran dan tanggung jawab tenaga kesehatan kepada klien dalam memberikan pelayanan yang optimal (Mundakir, 2006).Konseling berbeda dengan komunikasi infomasi edukasi karena konseling merupakan upaya untuk menciptakan perubahan perilaku yang dilaksanakan secara individu atau kelompok dengan menggunakan komunikasi efektif, untuk mengutarakan permasalahan sesuai dengan kondisi sasaran sampai sasaran merasakanpermasalahannya dan membimbing dalam pelaksanaannya (Mandriwati, 2008).

Proses konseling terdiri dari 4 unsur kegiatan yaitu pembinaan hubungan baik, penggalian informasi (identifikasi masalah, kebutuhan, perasaan, kekuatan diri, dan sebagainya) dan pemberian informasi sesuai kebutuhan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, perencanaan dan menindaklanjuti pertemuan (Depkes RI, 2002).

Langkah-langkah pelaksanaan konseling menurut Mandriwati (2008) adalah tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.Tahap persiapan yaitu menyiapkan ruangan

(11)

yang kondusif, menyiapkan alat-alat peraga sesuai dengan kebutuhan dan menyiapkan alat tulis, catatan dan kartu ibu sesuai dengan kebutuhan. Tahap pelaksanaan konseling disingkat dengan GATHER yaitu greet (menyapa ibu untuk memulai percakapan dan menciptakan suasana yang akrab), ask (menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi), tell (memberi informasi tentang cara atau metode yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah), help (yaitu membantu ibu memilih cara yang tepat untuk mengatasi permasalahannya sesuai dengan kemampuan ibu), explain (menjelaskan secara rinci tehnik pelaksanaan cara-cara yang dipilih) dan return (membuat kesepakatan dengan ibu untuk pertemuan berikutnya untuk mengevaluasi keberhasilan cara-cara pemecahan masalah yang telah dilaksanakan) (Mandriwati, 2008).

Tenaga kesehatan harus mampu menjadi konselor untuk menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan ditengah-tengah masyarakat. Sebagai konselor petugas harus mampu meyakinkan ibu bahwa ia berada dalam asuhan orang yang tepat sehingga ibu mau berbagi cerita seputar permasalahan kesehatan yang dialaminya dan ibu mau menerima asuhan yang diberikan (Simatupang, 2008).

Konselor yang baik adalah yang mau mengajar dari dan melalui pengalaman, mampu menerima orang lain, mau mendengarkan dan sabar, optimis, respek, terbuka terhadap pandangan dan interaksi yang berbeda, tidak menghakimi, dapat menyimpan rahasia, mendorong pengambilan keputusan, memberi dukungan, membentuk

(12)

dukungan atas dasar kepercayaan, mampu berkomunikasi, mengerti perasaan dan kekhawatiran orang lain dan mengerti keterbatasan mereka (Simatupang, 2008). 2.2.6. Perilaku Kesehatan

Perilaku manusia merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan (Sarwono, 2004).Perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat diketahui melalui persepsi. Menurut Notoatmodjo (2007) setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan dan mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinya. Perilaku seperti inilah yang disebut dengan praktik kesehatan.Oleh sebab itu indicator praktik kesehatan ini sangat berkaitan dengan persepsi.

Perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Menurut Lawrence Green (1980), perilaku seseorang itu dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:

1. Faktor Predisposisi (Predisposing factors)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social, ekonomi dan sebagainya.Faktor- faktor ini terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku kesehatan, maka sering disebut sebagai faktor pemudah.

(13)

2. Faktor pemungkin (Enabling Factors)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung.Fasilits ini pada hakekatnya mendukung untuk mewujudkan perilaku kesehatan, maka faktor-fakor ini disebut dengan faktor pendukung atau faktor pemungkin.

3. Faktor Penguat atau Pendorong (Reinforcing Factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para tenaga kesehatan.Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.Untuki berperilau sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan juga perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan terlebih lagi para tenaga kesehatan.disamping itu undang-undng juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut (Notoatmojdo, 2007).

2.3. Imunisasi Hepatitis B 2.3.1. Pengertian imunisasi

Imunisasi salah satu cara yang paling efektif untuk memberikan kekebalan khusus terhadap seseorang yang sehat, dengan tujuan utama untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah

(14)

suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manuasia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. (Depkes RI, 2000).

Menurut Musa dalam Mirzal (2008) Imunitas dalam ilmu kedokteran adalah suatu peristiwa mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi benda asing hingga terjadi interaksi antara tubuh dengan benda asing tersebut. Adapun tujuan imunisasi adalah merangsang sistim imunologi tubuh untuk membentuk antibodi spesifik sehingga dapat melindungi tubuh dari serangan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).

Departemen Kesehatan RI (2004), menyebutkan imunisasi adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.Oleh karena itu imunisasi merupakan suatu upaya pencegahan yang paling efektif untuk mencegah penularan penyakit. Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kesehatan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga apabila seseorang terpapar antigen yang serupa maka tidak akan pernah terjadi penyakit (Ranuh dkk, 2001).

2.3.2. Program Imunisasi

Program imunisasi di Indonesia telah dimulai sejak abad ke 19 untuk membasmi penyakit cacar khususnya di Pulau Jawa. Kasus cacar terakhir di Indonesia ditemukan pada tahun 1972 dan pada tahun 1974 Indonesia secara resmi

(15)

dinyatakan Negara bebas cacar. Tahun 1977 sampai dengan tahun 1980 mulai diperkenal kan imunisasi BCG, DPT dan TT secara berturut-turut untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit-penyakit TBC anak, difteri, pertusis dan tetanus neonatorum. Tahun 1981 dan 1982 berturut-turut mulai diperkenalkan antigen polio dan campak yang dimulai di 55 buah kecamatan dan dikenal sebagai kecamatan Pengembangan Program Imunisasi (PPI) (Depkes RI, 2000).

Cakupan imunisasi lengkap secara nasional baru mencapai 4% pada tahun 1984.Dengan strategi akselerasi, cakupan imunisasi dapat ditingkatkan menjadi 73% pada akhir tahun 1989.Strategi ini terutama ditujukan untuk memperkuat infrastruktur dan kemampuan manajemen program. Dengan bantuan donor internasional (antara lain WHO, UNICEF, USAID) program berupaya mendistribusikan seluruh kebutuhan vaksin dan peralatan rantai dinginnya serta melatih tenaga vaksinator dan pengelola rantai dingin .Pada akhir tahun 1989, sebanyak 96% dari semua kecamatan di tanah air memberikan pelayanan imunisasi dasar secara teratur.

Pemerintah bertekad untuk mencapai Universal Child Immunization (UCI) yaitu komitmen internasional dalam rangka Child Survival pada akhir tahun 1990.Dengan penerapan strategi mobilisasi sosial dan pengembangan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS), UCI ditingkat nasional dapat dicapai pada akhir tahun 1990.Akhirnya lebih dari 80% bayi di Indonesia mendapat imunisasi lengkap sebelum ulang tahunnya yang pertama (Depkes RI, 2000).

(16)

2.3.3. Tujuan Pelaksanaan Imunisasi

Tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit yang dapat menyerang anak-anak.Hal ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sedini mungkin kepada bayi dan anak-anak. Menurut Depkes RI (2001), tujuan pemberian imunisasi adalah untuk mencegah penyakit dan kematian bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh wabah yang sering muncul. Pemerintah Indonesia sangat mendorong pelaksanaan program imunisasi sebagai cara untuk menurunkan angka kesakitan, kematian pada bayi, balita anak-anak pra sekolah.

Pencapaian program PD3I perlu adanya pemantauan yang dilakukan oleh semua petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi vaksinasi.Tujuan pemantauan menurut Azwar (2003) adalah untuk mengetahui sampai dimana keberhasilan kerja, mengetahui permasahan yang ada.Hal ini perlu dilakukan untuk memperbaiki program.

Menurut Sarwono (1998), pemantauan yang dilakukan oleh petugas baik pimpinan program, supervisor dan petugas imunisasi adalah sebagai berikut : Pemantauan ringan adalah memantau apakah pelaksanaan pemantauan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, apakah vaksin cukup tersedia, pengecekan lemari es normal, hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditetapkan, peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril, apakah diantara 6 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.

Cakupan imunisasi dapat dilakukan dengan cara memantau cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-masing

(17)

desa. Untuk mengetahui keberhasilan program dapat dengan melihat seperti, bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 75-100% dari target, berarti program sangat berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat antara 50-75% dari target, berarti program cukup berhasil dan bila garis pencapaian dalam 1 tahun dibawah 50% dari target berarti program belum berhasil. Bila garis pencapaian dalam 1 tahun terlihat dibawah 25% dari target berarti program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan provinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan dan kabupaten.Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu mempertimbangkan pula memonitoring evaluasi pemakaian vaksin (Notoatmodjo, 2003).

2.3.4. Imunisasi Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi Hepatitis B merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.Ada dua tipe vaksin Hepatitis B yang mengandung HbsAg, yaitu (1) vaksin yang berasal dari plasma, dan (2) vaksin rekombinan.Kedua vaksin ini aman dan imunogenik walaupun diberikan pada saat lahir karena antibodi anti HBsAg ibu tidak mengganggu respons terhadap vaksin (Wahab, 2002).

Vaksin Hepatitis B sering disebut dengan unject. Unject ini sendiri adalah :Alat suntik (spluit dan jarum) sekali dan tidak dipakai ulang dengan spesifikasi Uniject-HB sebagai berikut:

(18)

a. Isi kemasan 0,5 cc

b. Ukuran jarum 25 G x 5/8”

c. Dimensi; panjang kemasan 2,3 x 3,5 cm d. Satu box karton (3 liter) isi 100 uniject

e. Satu coldbox carton (isi 40 liter) berisi 800 uniject-Hb 12 water pack.

Kemudian uniject ini adalah alat suntik yang tidak perlu diisi vaksin oleh petugas sebelum disuntikan, karena sudah terisi dari pabriknya, alat suntik yang tidak perlu distrerilkan oleh petugas sebelum disuntikan karena sudah strelil dari pabriknya, alat suntik yang dapat mencegah terjadinya penularan penyakit karena jarum suntik hanya dapat dipakai satu kali saja.

Imunisasi Hepatitis B pasif dilakukan dengan memberikan Hepatitis B Imunoglobulin (HBIg) yang akan memberikan perlindungan sampai 6 bulan. HBIg tidak selalu tersedia di kebanyakan negara berkembang, di samping itu harganya yang relatif mahal. Imunisasi aktif dilakukan dengan vaksinasi Hepatitis B. Dalam beberapa keadaan, misalnya bayi yang lahir dari ibu penderita Hepatitis B perlu diberikan HBIg mendahului atau bersama-sama dengan vaksinasi Hepatitis B. HBIg yang merupakan antibodi terhadap VHB diberikan secara intra muskular dengan dosis 0,5 ml, selambat-lambatnya 24 jam setelah persalinan. Vaksin Hepatitis B (hepB) diberikan selambat-lambatnya 7 hari setelah persalinan.Untuk mendapatkan efektivitas yang lebih tinggi, sebaiknya HBIg dan vaksin Hepatitis B diberikan segera setelah persalinan (Dalimartha, 2004).

(19)

2.3.5. Program Imunisasi Hepatitis B di Indonesia

Pedoman nasional di Indonesia merekomendasikan agar seluruh bayi diberikan imunisasi Hepatitis B dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada bulan berikutnya. Program Imunisasi Hepatitis B 0-7 hari dimulai sejak tahun 2005 dengan memberikan vaksin hepB-O monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, pada Tahun 2006 dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 2-3-4 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tujuan vaksin hepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP (Difteria,

Tetanus, Pertusis Whole cell) untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan

cakupan hepB-3 yang masih rendah (Hadinegoro, 2008).Pada umumnya bayi mendapatkan imunisasi Hepatitis B melalui puskesmas, rumah sakit, praktik dokter dan klinik (Dalimartha, 2004).

Pemberian imunisasi hepatitis B segera setelah lahir di Indonesia masih sulit. Kesulitan itu antara lain karena masyarakat belum biasa menerima penyuntikan pada bayi baru lahir dan kontak tenaga kesehatan dengan bayi baru lahir kurang karena sebagian persalinan masih ditolong oleh dukun (Depkes RI, 2000). Koordinasi pelaksanaan imunisasi hepatitis B dilakukan oleh petugas KIA dan imunisasi.Pemberian HB 0-7 hari menjadi kewenangan petugas imunisasi. Penjangkauan bayi baru lahir dengan memantau kohort ibu hamil yang dimulai saat ANC. Persalinan yang ditolong oleh nakes, dosis pertama imunisasi hepatitis B diberikan segera setelah lahir sedangkan persalina yang ditolong oleh dukun,

(20)

penjangkauannya berdasarkan laporan keluarga/kader/dukun kepada nakes/BDD (Depkes RI, 2002).

2.3.6. Tujuan Program Imunisasi Hepatitis B

Tujuan program imunisasi Hepatitis B di Indonesia dibagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan umum

Adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis B.

2. Tujuan khusus

a. Pemberian dosis pertama dari vaksin hepB kepada bayi sedini mungkin sebelum berumur 7 hari.

b. Memberikan imunisasi Hepatitis B sampai 3 dosis pada bayi 2.3.7. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Pada dasarnya jadwal imunisasi Hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat :

1. Minimal diberikan sebanyak 3 kali .

2. Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir.

3. Jadwal imunisasi dianjurkan adalah 0, 1, 6 bulan karena respons antibodi paling optimal.

(21)

Jadwal imunisasi Hepatitis B yaitu :

1. Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir. 2. Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1

yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi hepB-2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Hadinegoro, 2008).

Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B

Umur Bayi Imunisasi Kemasan

Saat lahir Hep B-0 Uniject (hepB-monovalen)

2 bulan DTwP dan hepB-1 Kombinasi DTwP/hepB-1 3 bulan DTwP dan hepB-2 Kombinasi DTwP/hepB-2 4 bulan DTwP dan hepB-3 Kombinasi DTwP/hepB-3

Sumber : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008

Pemberian imunisasi Hepatitis B berdasarkan status HBsAg ibu pada saat melahirkan adalah :

1. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg-nya mendapatkan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan atau 10 mcg (0,5 mL) vaksin asal plasma dalam waktu 12 jam setelah lahir. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan. Kalau kemudian diketahui ibu mengidap HBsAg positif maka segera berikan 0,5 mL HBIg (sebelum anak berusia satu minggu).

2. Bayi yang lahir dari ibu HBsAg positif mendapatkan 0,5 mL HBIg dalam waktu 12 jam setelah lahir dan 5 mcg (0,5 mL) vaksin rekombinan. Bila digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan 10 mcg (0,5 mL) intramuskular dan

(22)

disuntikkan pada sisi yang berlainan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ketiga pada umur 6 bulan.

3. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg negatif diberi dosis minimal 2,5 mcg (0,25 mL) vaksin rekombinan, sedangkan kalau digunakan vaksin berasal dari plasma, diberikan dosis 10 mcg (0,5 mL) intramuskular pada saat lahir sampai usia 2 bulan. Dosis kedua diberikan pada umur 1-4 bulan, sedangkan dosis ketiga pada umur 6-18 bulan.

4. Ulangan imunisasi Hepatitis B diberikan pada umur 10-12 tahun ( Wahab, 2002). 2.3.8. Kontraindikasi dan Efek Samping

Vaksin hepB diberikan kepada semua orang termasuk wanita hamil, bayi baru lahir, pasien dengan immunocompromised, yaitu pasien dengan kelainan sistem imunitas seperti penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Efek samping yang mungkin timbul dapat berupa reaksi lokal ringan seperti rasa sakit pada bekas suntikan dan reaksi peradangan.Reaksi sistemik kadang timbul berupa panas ringan, lesu, dan rasa tidak enak pada saluran cerna. Gejala di atas akan hilang spontan dalam beberapa hari (Dalimartha, 2004).

2.3.9. Faktor yang Berhubungan dengan pemberian Imunisasi Hepatitis B Imunisasi merupakan program penting dalam upaya pencegahan primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular.Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya di imunisasi dengan berbagai alasan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) adalah pengetahuan, lingkungan, logistik, urutan anak dalam keluarga, jumlah anggota

(23)

keluarga, sosial ekonomi, mobilitas keluarga, ketidakstabilan politik, sikap tenaga kesehatan, pembiayaan dan pertimbangan hukum.

Gust (2004), menyebutkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi.Tiga pertanyaan meliputi ketidakinginan orang tuauntuk mengimunisasi bayinya jika mempunyai bayi lagi (sikap), ketidakyakinan orang tua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan), dan pernah menolak bayinya di imunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi.Selain itu faktor sosial ekonomi keluarga, pelayanan kesehatan, dan jumlah balita dalam keluarga juga ikut memberikan kontribusi terhadap status imunisasi bayi.Jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi pada anak.Ibu yang mempunyai banyak anak kesulitan dalam mendatangi tempat pelayanan kesehatan.Karakteristik ibu yang mempengaruhi ketidaklengkapan imunisasi anak adalah ibu kulit hitam, janda, berpendidikan rendah, dan hidup dibawah garis kemiskinan (Luman, 2003).

Siswondoyo dan Putra (2003), melakukan survey terhadap ibu-ibu anak usia 12-23 bulan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kelengkapan imunisasi hepatitis B menyebutkan bahwa penerimaan ibu terhadap imunisasi anak dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, pendapatan, waktu tempuh, dukungan keluarga, dan pelayanan petugas imunisasi.

(24)

2.3.10. Hepatitis B

Hepatitis B didefinisikan sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan ditandai dengan suatu peradangan yang terjadi pada organ tubuh seperti hati (Liver).Penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit kuning, padahal penguningan (kuku, mata, kulit) hanya salah satu gejala dari penyakit Hepatitis itu (Misnadiarly, 2007).

2.3.11. Etiologi

Hepatitis B terjadi karena disebabkan oleh VHB yang terbungkus serta mengandung genoma DNA (Deoxyribonucleic acid) melingkar. Virus ini merusak fungsi liver dan terus berkembang biak dalam sel-sel hati (Hepatocytes). Akibat serangan ini sistem kekebalan tubuh kemudian memberi reaksi dan melawan.Kalau berhasil maka virus dapat terbasmi habis. Tetapi jika gagal virus akan tetap tinggal dan menyebabkan Hepatitis B kronis (si pasien sendiri menjadi carrier atau pembawa virus seumur hidupnya). Dalam seluruh proses ini liver mengalami peradangan (Misnadiarly, 2007).

2.3.12. Sumber Penularan

VHB mudah ditularkan kepada semua orang.Penularannya dapat melalui darah atau bahan yang berasal dari darah, cairan semen (sperma), lendir kemaluan wanita (Sekret Vagina), darah menstruasi. Dalam jumlah kecil HBsAg dapat juga ditemukan pada Air Susu Ibu (ASI), air liur, air seni, keringat, tinja, cairan amnion dan cairan lambung (Dalimartha, 2004).

(25)

2.3.13. Cara Penularan

Ada dua macam cara penularan Hepatitis B, yaitu transmisi vertikal dan transmisi horisontal.

a. Transmisi vertikal

Penularan terjadi pada masa persalinan (Perinatal).VHB ditularkan dari ibu kepada bayinya yang disebut juga penularan Maternal Neonatal. Penularan cara ini terjadi akibat ibu yang sedang hamil terserang penyakit Hepatitis B akut atau ibu memang pengidap kronis Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

b. Transmisi horisontal

Adalah penularan atau penyebaran VHB dalam masyarakat. Penularan terjadi akibat kontak erat dengan pengidap Hepatitis B atau penderita Hepatitis B akut.Misalnya pada orang yang tinggal serumah atau melakukan hubungan seksual dengan penderita Hepatitis B (Dalimartha, 2004).

Cara penularan paling utama di dunia ialah dari ibu kepada bayinya saat proses melahirkan. Kalau bayinya tidak divaksinasi saat lahir bayi akan menjadi

carrier seumur hidup bahkan nantinya bisa menderita gagal hati dan kanker hati.

Selain itu penularan juga dapat terjadi lewat darah ketika terjadi kontak dengan darah yang terinfeksi virus Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.3.14. Masa Inkubasi

Masa inkubasi (saat terinfeksi sampai timbul gejala) sekitar 24-96 minggu (Misnadiarly, 2007).Namun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa masa inkubasi VHB berkisar dari 15–180 hari (rata-rata 60-90 hari).

(26)

2.3.15. Gejala dan Tanda

Gejala penyakit Hepatitis B ditentukan oleh beberapa faktor seperti usia pasien saat terinfeksi, kondisi kekebalan tubuh dan pada tingkatan mana penyakit diketahui. Gejala dan tanda antara lain:

a. Mual-mual (Nausea)

b. Muntah – muntah (Vomiting) disebabkan oleh tekanan hebat pada liver sehingga membuat keseimbangan tubuh tidak terjaga

c. Diare

d. Anorexia yaitu hilangnya nafsu makan yang ekstrem dikarenakan adanya rasa mual

e. Sakit kepala yang berhubungan dengan demam, peningkatan suhu tubuh f. Penyakit kuning (Jaundice) yaitu terjadi perubahan warna kuku, mata, dan kulit 2.3.16. Kelompok yang Rentan

Adapun kelompok yang rentan terkena Hepatitis B adalah : a. Anak yang baru lahir dari ibu yang terkena Hepatitis B

b. Tinggal serumah atau berhubungan seksual dengan penderita Hepatitis B

c. Mereka yang tinggal atau sering bepergian ke daerah endemis Hepatitis B (Misnadiarly, 2007).

2.3.17. Prognosa

Seseorang yang terinfeksi VHB maka proses perjalanan penyakitnya tergantung pada aktivitas sistem pertahanan tubuhnya. Jika sistem pertahanan tubuhnya baik maka infeksi VHB akan diakhiri dengan proses penyembuhan. Namun,

(27)

bila sistem pertahanan tubuhnya terganggu maka penyakitnya akan menjadi kronik. Penderita Hepatitis B Kronik dapat berakhir menjadi sirosis hati atau kanker hati

(Karsinoma Hepatoseluler).Sirosis dan kanker hati sering menimbulkan komplikasi

berat berupa pendarahan saluran cerna hingga Koma Hepatik (Dalimartha, 2004). 2.3.18. Diagnosa

Diagnosa yang dapat dilakukan yaitu serologi (test darah) dan biopsi liver (pengambilan sampel jaringan liver).Bila HBsAg positif maka orang tersebut telah terinfeksi oleh VHB (Misnadiarly, 2007).

2.3.19. Pencegahan Hepatitis B

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui program imunisasi. Imunisasi adalah upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan ke dalam tubuh yang diharapkan dapat menghasilkan zat antibodi yang pada saatnya nanti digunakan untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Hadinegoro, 2008).

Program imunisasi di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Imunisasi Wajib

Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG (Bacille Calmette Guerin), Polio, Hepatitis B, DTP (Difteria, Tetanus, Pertusis) dan campak.

2. Imunisasi yang Dianjurkan

Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat beban penyakit (burden of disease) namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas.Imunisasi yang dianjurkan adalah Hib (Haemophillus Influenza

(28)

Tipe b), pneumokokus, influenza, MMR (Measles, Mumps, Rubella), tifoid,

Hepatitis A, varisela, rotavirus, dan HPV (Human Papilloma Virus) (Hadinegoro, 2008).

2.4. Landasan Teori

Ahli sosiologi menemukan sesuatu yang bermanfaat untuk mempelajari interaksi antara individu sebagai pelaku (actor) yang menjalankan berbagai peranan.Suatu peranan, apakah dokter, perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya mempunyai kewajiban atau paling tidak diharapkan untuk menjalankan suatu tugas atau kegiatan yang sesuai dengan peranannya (Muzaham, 2007).

Peran tenaga kesehatan dalam memelihara dan melindungi kesehatan adalah sebagai customer, komunikator, fasilitator, motivator dan konselor (Azwar,1996; Herawati, 2006; Notoatmodjo 2007).

Pemberian imunisasi diperlukan untuk mencegah meluasnya penyakit-penyakit tertentu dan menghindari risiko kematian yang diakibatkannya.Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya di imunisasi dengan berbagai alasan.

Menurut Leavel and Clark, dalam kesehatan masyarakat ada lima tingkat pencegahan penyakit salah satunya adalah perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu yang merupakan usaha-usaha yang dilakukan sebelum sakit atau disebut dengan pencegahan Primer. Salah satu perlindungan umun dan

(29)

khusus terhadap penyakit tertentu adalah dengan memberikan imunisasi pada golongan yang rentan terhadap penyakit tersebut.

Menurut Hendrik L. Blum (1983) dalam Effendy (1998), mengatakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat yaitu, lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.Sedangkan menurut Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi

(predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor pendorong (reinforcing factors).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teori Blum (1983) tentang pelayanan kesehatan dan teori Lawrence Green (1991) khusunya faktor pendukung

(enabling factors) dan faktor pendorong (reinforcing factors).Menurut Blum (1983)

Pelayanan kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan, pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan.Ketersedian fasilitas sangat dipengaruhi oleh lokasi, dapat dijangkau oleh masyarakat atau tidak, tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilatas dalam memperoleh pelayanan, serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukannya.

Faktor pendukung adalah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya.Faktor pendukung ketersedian, keterjangkauan, dan

(30)

kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan serta sumber daya yang tersedia di masyarakat, kondisi kehidupan, dukungan sosial, dan ketrampilan –ketrampilan yang memudahkan untuk terjadinya suatu prilaku. Untuk berperilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya: perilaku memberikan imunisasi pada bayinya. Ibu yang memiliki bayi akan mengimunisasi bayinya tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat imunisasi saja, melainkan ibu tersebut harus dengan mudah dapat menjangkau fasilitas atau tempat imunsasi, seperti: puskesmas, polindes, bidan praktik atau rumah sakit.

Sedangkan faktor pendorong adalah sikap dan perilaku tenaga kesehatan atau konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah pelaku menerima umpan balik positif atau negatifdan mendapat dukungan sosial setelah perilaku dilakukan. Faktor pendorong mencakup dukungan sosial, pengaruh sebaya, serta advise dan umpan balik dari tenaga kesehatan.

(31)

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori, maka peneliti merumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, diketahui variabel independen dalam penelitian ini adalah peran tenaga kesehatan yaitu sebagai customer, komunikator, motivator, fasilitator, konselor. Sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah Pemberian imunisasi Hepatitis Bpada bayi 0-7 hari.

Persepsi Ibu tentang Peran Tenaga Kesehatan - Customer - Komunikator - Motivator - Fasilitator - Konselor Pemberian Imunisasi Hepatitis Bpada Bayi 0-7

Gambar

Tabel 2.1. Jadwal Imunisasi Hepatitis B
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

(viral cultures and Tzanck smear will confirm diagnosis in patients with atypical presentation).  Antibody to

ü Dalam satu periode (dari kiri ke kanan), EI semakin besar karena jari-jari atom semakin kecil sehingga gaya tarik inti terhadap elektron terluar semakin besar/kuat.

Data hasil belajar aspek afektif setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas di dapat bahwa data berdistribusi normal dan homogen, setelah itu data diuji homogenitas

Pembanding 10 ton jerami dengan 5 ton pupuk kandang ayam per hektar yang diberi 0.4 pupuk kandang per hektar per hektar yang dicairkan sebagai dekomposer berpotensi

Masalah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah unsur-unsur tindak pidana pornografi yang terdapat dalam pasal 4 Undang- undang Nomor 44 tahu 2008 tentang

Tujuan dari Tatacara Pelaksanaan Sistem Akuntansi Instansi pada Kementerian Negara/Lembaga adalah untuk memberi petunjuk dalam melaksanakan Sistem Akuntansi Instansi pada Instansi

Dengan hasil ini pada pelebaran kapasitas jalan di walisongo semarang masih tinggi nya angka kemacetan.Karena jalan walisongo banyak di lalui bus-bus dan truck

Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Bustanul Athfal 38 Kota Semarang, maka dapat disimpulkan bahwa model pengajaran Sains yang diterapkan