2.1 Diare
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari (Irianto, 2014).
Menurut Husamah (2012), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda perubahan bentuk dan konsistensi tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya.
Menurut Djitowiyono dan Kristiyanasari (2011), diare adalah pengeluaran tinja yang tidak normal dan cair. Buang air besar yang tidak normal dan bentuk tinja yang cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya.
2.1.1 Jenis Diare
Diare memiliki beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Diare akut, dimana balita akan kehilangan cairan tubuh dalam jumlah yang besar sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang cepat. 2. Disentri, ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang disebabkan akibat
kerusakan usus yang akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak pada penurunan status gizi.
2.1.2 Penyebab Diare
Penyebab diare pada umumnya disebabkan oleh infeksi seperti virus, bakteri, atau parasit. Selain karena infeksi, diare juga disebabkan oleh hal lain seperti efek samping dari obat – obat tertentu, keracunan makanan, atau zat kimia tertentu, alergi, gangguan penyerapan (malabsorpsi), individu dengan imunodefisiensi (sistem imun yang terganggu), penyakit saluran pencernaan, dan lain – lain (Sofwan, 2010).
2.1.3 Gejala dan Tanda Diare
Menurut Widoyono (2008), beberapa gejala dan tanda diare antara lain : 1. Gejala umum
a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala khas diare. b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroenteritis akut. c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare. d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun,
apatis, bahkan gelisah. 2. Gejala spesifik
a. Vibrio cholera : diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis.
b. Disenteriform : tinja berlendir dan berdarah. Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan :
1. Dehidrasi (kekurangan cairan)
2. Gangguan sirkulasi
Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam waktu yang singkat. Bila kehilangan cairan ini lebih dari 10% berat badan, pasien dapat mengalami syok atau presyok yang disebabkan oleh berkurangnya volume darah (hipovolemia).
3. Gangguan asam-basa (asidosis)
Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam tubuh. Sebagai kompensasinya tubuh akan bernapas cepat untuk membantu meningkatkan pH arteri.
4. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah)
Hipoglikemia sering terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia dapat mengakibatkan koma. Penyebab yang pasti belum diketahui, kemungkinan karena cairan ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk kedalam cairan intraseluler sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan koma. 5. Gangguan gizi
Derajat dehidrasi akibat diare dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Tanpa dehidrasi, biasanya anak merasa normal, tidak rewel, masih bisa bermain seperti biasa. Umumnya karena diarenya tidak berat, anak masih mau makan dan minum seperti biasa.
2. Dehidrasi ringan atau sedang, menyebabkan anak rewel atau gelisah, mata sedikit cekung, turgor kulit masih kembali dengan cepat jika dicubit.
3. Dehidrasi berat, anak apatis (kesadaran berkabut), mata cekung, pada cubitan kulit turgor kembali lambat, napas cepat, anak terlihat lemah.
2.1.4 Penularan Diare
Penularan penyakit diare sebagian besar disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui orofekal terjadi dengan mekanisme berikut ini :
1. Melalui air yang merupakan media penularan utama. Diare dapat terjadi bila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik tercemar dari sumbernya, tercemar sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran dirumah terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.
3. Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah buang air besar (BAB) akan memungkinkan kontaminasi langsung (Widoyono, 2008).
2.1.5 Penanganan Diare
Menurut Kemenkes RI (2011) bahwa penanganan diare dilakukan dengan “LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare)” meliputi:
1. Berikan Oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui infus.
2. Berikan Obat Zinc
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.
3. Pemberian ASI / Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.
4. Pemberian Antibiotika Hanya Atas Indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
menimbulkan efek samping yang berbahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
5. Pemberian Nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat tentang :
a) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila : - Diare lebih sering
- Muntah berulang - Sangat haus
- Makan/minum sedikit - Timbul demam - Tinja berdarah
- Tidak membaik dalam 3 hari
2.2 Upaya Kegiatan Pencegahan Diare
Adapun beberapa langkah pencegahan diare yang tepat dan efektif adalah sebagai berikut (Sofwan, 2010). :
1) Memberikan ASI
infeksi serta mengurangi risiko alergi pada anak. ASI eksklusif akan membantu sistem saluran pencernaan bayi berkembang lebih baik. Tidak hanya itu, ASI eksklusif juga akan menambah flora normal (bakteri baik) yang ada dalam usus.
2) Memperbaiki makanan pendamping ASI
Perkenalkan makanan padat ketika anak memasuki usia 6 bulan ke atas (proses penyapihan). ASI tetap diberikan dengan tambahan makanan padat lainnya. Pemberian makanan padat harus disesuaikan dan bertahap, mulai dari makanan lunak, kemudian makanan yang dipotong kecil – kecil, hingga akhirnya diberikan dalam bentuk utuh. Kenaikan konsistensi serta jumlahnya disesuaikan perhari.
Perhatikan kecukupan gizi pada setiap pemberian makanan padat. Selain itu, jangan membiasakan pemberian makanan setengah matang kepada anak, serta usahakan pemberian makanan yang diolah dan dimasak dengan higienis. Jajan sembarangan juga dapat menjadi salah satu penyebab diare. 3) Menggunakan air bersih
4) Sering mencuci tangan
Biasakan anak untuk sering mencuci tangan, baik sebelum dan sesudah makan, sebelum dan sesudah buang air besar, sesudah bermain, dan sesudah beraktivitas diluar rumah.
5) Menggunakan jamban
Jamban atau toilet yang bersih sangat penting. Sanitasi dan kebersihan lingkungan sangat membantu mengurangi resiko diare pada anak. Usahakan selalu buang air besar di jamban, jangan lupa untuk membersihkan jamban secara teratur.
6) Membuang tinja dengan benar
Tinja ataupun popok bayi yang bekas pakai perlu dibuang ke tempat yang benar. Jangan sembarangan membuang popok bayi. Setelah dibuang ketempat yang tepat, jangan lupa untuk mencuci tangan.
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan Masyarakat
Menurut H.L Blum, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan baik individu, kelompok, maupun masyarakat antara lain (Triwibowo dan Pusphandani, 2015):
1. Lingkungan (Environment)
lingkungan, contohnya ketersediaan air bersih pada suatu daerah akan mempengaruhi derajat kesehatan karena air merupakan kebutuhan pokok manusia dan manusia selalu berinteraksi dengan air dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan lingkungan sosial berkaitan dengan kondisi perekonomian suatu masyarakat. Semakin miskin individu atau masyarakat maka akses untuk mendapatkan derajat kesehatan yang baik akan semakin sulit. Misalnya manusia membutuhkan makanan dengan gizi seimbang untuk menjaga kelangsungan hidup, jika individu atau masyarakat berada pada garis kemiskinan maka akan sulit untuk memenuhi kebutuhan makanan dengan gizi seimbang.
Demikian juga dengan tingkat pendidikan individu atau masyarakat, semakin tinggi tingkat pendidikan individu atau masyarakat maka pengetahuan untuk hidup sehat akan semakin baik.
2. Perilaku (Life styles)
dengan kebiasaan masyarakat modern mengkonsumsi makanan cepat saji yang kurang mengandung serat. Fakta tersebut akan mengakibatkan transisi epidemiologis dari penyakit menular ke penyakit degeneratif.
3. Pelayanan Kesehatan (Health Care Sevices)
Pelayanan kesehatan sangat mempengaruhi derajat kesehatan. Pelayanan kesehatan disini adalah pelayanan kesehatan paripurna dan intregatif antara menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan kesehatan, serta faktor lokasi atau jarak ke tempat pelayanan kesehatan, sumber daya manusia, informasi, kesesuaian program pelayanan kesehatan dengan kebutuhan masyarakat.
Semakin mudah akses individu atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan maka derajat kesehatan masyarakat semakin baik. Adapun faktor pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi kesehatan, dapat terlihat sebagai berikut ini :
a. Adanya upaya promotif terhadap penularan HIV/AIDS akan menurunkan prevalensi HIV/AIDS.
b. Ketersediaannya sarana dan prasarana kesehatan yang baik akan memudahkan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
4. Keturunan
Faktor keturunan atau genetik ini juga sangat berpengaruh pada derajat kesehatan. Hal ini karena ada beberapa penyakit yang diturunkan lewat genetik atau faktor yang telah ada dalam diri manusia yang dibawa sejak lahir, sebagai contohnya : diabetes mellitus, asma, epilepsy, retardasi mental, hipertensi, buta warna. Faktor keturunan ini sulit untuk diintervensi dikarenakan hal ini merupakan bawaan dari lahir dan jika intervensi maka harga yang dibayar cukup mahal.
2.4 Karakteristik Ibu Dalam Perilaku Kesehatan
Para ahli telah merumuskan berbagai faktor karakteristik individu yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatannya.Menurut Notoatmodjo (2003), beberapa faktor individu terkait kesehatan antara lain :
1. Umur
2. Status Pekerjaan
Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan kejadian diare pada anak balita. Pada pekerjaan ibu maupun keaktifan ibu dalam berorganisasi sosial berpengaruh pada kejadian diare pada balita. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi ibu balita apabila ingin berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan.Dengan pekerjaannya tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan diare, karena kejadian diare lebih banyak terdapat pada anak balita yang ibunya bekerja dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
Pada ibu balita yang terkena diare biasanya kurang cepat tertangani karena kesibukan dari pekerjaan ibu. Dimana penanganan balita yang terkena diare di karenakan ketiadaan waktu untuk memeriksakan ke tenaga kesehatan, hal ini terjadi karena waktunya kadang bersamaan dengan waktu kerja yang tidak bisa ditinggalkan yang akibatnya diare pada balitanya akan semakin kritis. Dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja biasanya akan cepat tertangani dengan penanganan sederhana seperti pemberian cairan oralit serta banyaknya waktu untuk mengontrol keadaan balitanya, hal ini dapat memperlambat diare pada balita.
3. Pendapatan Keluarga
fasilitas kesehatan disuatu keluarga. Walaupun demikian ada hubungan yang erat antara pendapatan dan kejadian diare.
Tingkatan pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup, dimana status ekonomi orang tua yang baik akan berpengaruh pada fasilitas yang diberikannya. Tingkat pendapatan akan mempengaruhi pola kebiasaan dalam menjaga kebersihan dan penanganan yang selanjutnya berperan dalam prioritas penyediaan fasilitas kesehatan. Apabila tingkat pendapatan baik, maka fasilitas kesehatan mereka khususnya didalam rumahnya akan terjamin misalnya dalam penyediaan air bersih, penyediaan jamban sendiri, atau jika mempunyai ternak akan dibuatkan kandang yang baik dan terjaga kebersihannya. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu memenuhi fasilitas kesehatan sesuai kebutuhannya. Pada ibu balita yang mempunyai pendapatan kurang akan lambat dalam penanganan diare misalnya karena ketiadaan biaya berobat ke petugas kesehatan yang akibatnya dapat terjadi diare yang lebih parah lagi.
4. Pendidikan
5. Pengetahuan
Pengetahuan ibu terhadap diare juga sangat penting, karena balita dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan ibu tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan lingkungan sosialnya menjadi sehat. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain. Tingkat pengetahuan ibu berkaitan erat dengan bagaimana seorang ibu balita yang mampu melakukan penanganan terhadap balita yang mengalami diare. Bagi ibu harus memiliki pengetahuan tentang diare secara langsung yang berdampak pada terhindar dari terjadinya diare pada balita.
Sebagian masyarakat masih ada yang beranggapan bahwa penyakit diare banyak disebabkan karena bertambahnya kepandaian anak, salah makan, masuk angin. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat yang disebabkan kurangnya mendapat informasi atau tidak mengetahui tentang penyebab terjadinya diare.
6. Sikap
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.Sikap ibu yang negatif terhadap perilaku hidup sehat, besar kemungkinan akan menyebabkan terjadinya kesakitan diare pada balita.
2.5 Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Kejadian Diare
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare (Depkes RI, 2005).
2.5.1 Sumber Air
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492 / MENKES / PER / IV / 2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum menetapkan bahwa kualitas air harus memenuhi syarat kesehatan yang meliputi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif.
Air minum yang ideal seharusnya jernih, tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau. Air minum seharusnya tidak mengandung kuman pathogen yang dapat membahayakan manusia (Slamet, 2009).
Pada umumnya untuk keperluan sehari-hari masyarakat menggunakan sumber air antara lain :
1. PAM (Perusahaan Air Minum)
Daerah Air Minum (PDAM) adalah perusahaan yang merupakan prasarana air bersih (air minum) untuk kebutuhan lebih dari 60 liter/orang/hari yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Air dari PAM dianggap memenuhi syarat sebagai sumber air bersih.
2. Sumur Gali
Persyaratan sumur gali : a. Lokasi
1) Jarak minimal 10 meter dari sumber pencemaran misalnya jamban, tempat pembuangan air kotor, lubang resapan, tempat pembuangan sampah, kandang ternak, dan tempat-tempat pembuangan kotoran lainnya.
2) Lokasi sumur gali harus terletak pada daerah yang lapisan tanahnya mengandung air sepanjang musim.
3) Lokasi sumur gali diusahakan terletak pada daerah yang bebas banjir.
b. Konstruksi
1) Dinding sumur harus kedap air sedalam 3 meter dari permukaan tanah untuk mencegah rembesan dari air permukaan.
3) Cara pengambilan air sumur sedemikian rupa sehingga dapat mencegah masuknya kotoran kembali melalui alat yang dipergunakan misalnya pompa tangan, timba dengan kerekan dan sebagainya.
4) Lantai harus kedap air dengan jarak antara tepi lantai dan tepi luar dinding sumur minimal 1 meter dengan kemiringan kearah tepi lantai.
5) Saluran pembuangan air kotor atau bekas harus kedap air sepanjang minimal 10 meter dihitung dari tepi sumur.
2.5.2 Ketersediaan Jamban
Pembuangan tinja manusia yang terinfeksi yang dilaksanakan secara tidak layak tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat menyebabkan terjadinya pencemaran tanah dan sumber–sumber penyediaan air. Disamping itu serangga-serangga seperti lalat dapat menyebarkan tinja dan kadang–kadang menimbulkan bau yang tidak dapat ditolerir (Priyoto, 2015).
Jamban yang memenuhi syarat kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut. 2. Tidak mengotori air permukaan disekitar.
3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.
4. Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang-binatang lainnya.
7. Dapat diterima oleh masyarakat.
8. Tersedia cukup air untuk membersihkan.
9. Tersedia sabun cuci tangan setelah buang air besar.
Agar persyaratan–persyaratan ini dapat terpenuhi, maka perlu diperhatikan beberapa hal antara lain sebagai berikut :
a. Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan hujan, serangga dan binatang lain, dan terlindung dari pandangan orang lain.
b. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat dan sebagainya.
c. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau dan sebagainya
d. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air dan sabun.
2.5.3 Pengelolaan Sampah
Menurut Notoatmodjo (2003), Pengelolaan sampah yang baik bukan hanya untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Definisi pengelolaan sampah disini meliputi pengumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak menjadi gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Cara–cara pengelolaan sampah antara lain sebagai berikut:
1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah.
mereka harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing–masing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) sampah dan selanjutnya ke Tempat Penampungan Akhir (TPA).
2. Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Pemusnahan dan pengolahan sampah dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain sebagai berikut:
a. Ditanam (landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
b. Dibakar (inceneration), yaitu pemusnahan sampah dengan membakar di dalam tungku pembakaran (incenerator).
c. Dijadikan pupuk (composting) yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk, khususnya untuk sampah organik daun–daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk.
2.6 Kejadian Diare Pada Balita
2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR (Case Fatality Rate) yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5765 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 Kecamatan dengan jumlah penderita 4204 orang dengan kematian 73 orang (CFR 1,74%) (Kemenkes RI, 2011).
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat (Kemenkes RI, 2011).
2.7 Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas, dapat dirumuskan variabel yang akan diteliti sebagai berikut:
1. Karakteristik ibu adalah ciri dari seseorang yang melekat pada ibu, yang dapat membedakan seorang ibu dengan ibu lainnya, berhubungan dengan kejadian diare yang dilihat dari :
a. Umur, adalah usia ibu yang menjadi indikator dalam kedewasaan dalam setiap pengambilan keputusan untuk melakukan sesuatu yang mengacu pada setiap pengalamannya. Karakteristik pada ibu balita berdasarkan umur sangat berpengaruh terhadap kejadian Karakteristik Ibu :
1. Umur
2. Status Pekerjaan 3. Pendapatan Keluarga 4. Pendidikan
5. Pengetahuan 6. Sikap
Kejadian Diare Pada Balita
Faktor Lingkungan :
1. Penyediaan Air Bersih 2. Ketersediaan Jamban 3. Tempat Pembuangan
kesiapan dalam mencegah kejadian diare akan semakin baik dan dapat berjalan dengan baik.
b. Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang erat dengan kejadian diare pada anak balita. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bagi ibu balita apabila ingin berpartisipasi dalam lapangan pekerjaan.Dengan pekerjaannya tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan diare, karena kejadian diare lebih banyak terdapat pada anak balita yang ibunya bekerja dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
c. Pendapatan keluarga menentukan pemanfaatan fasilitas kesehatan yang baik. Dimana semakin tinggi pendapatan keluarga, semakin baik fasilitas dan cara hidup mereka yang terjaga akan semakin baik. Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas fasilitas kesehatan disuatu keluarga. Walaupun demikian ada hubungan yang erat antara pendapatan dan kejadian diare. Pada ibu balita yang mempunyai pendapatan kurang akan lambat dalam penanganan diare misalnya karena ketiadaan biaya berobat ke petugas kesehatan yang akibatnya dapat terjadi diare yang lebih parah lagi.
yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi bisa membantu mengurangi kejadian diare pada anak balitanya.
e. Pengetahuan ibu, tingkat pengetahuan ibu berkaitan erat dengan bagaimana seorang ibu balita yang mampu melakukan penanganan terhadap balita yang mengalami diare. Bagi ibu harus memiliki pengetahuan tentang diare secara langsung yang berdampak pada terhindar dari terjadinya diare pada balita.
f. Sikap, adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tidakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap ibu yang negatif terhadap perilaku hidup sehat, besar kemungkinan akan menyebabkan terjadinya kesakitan diare pada balita.
2. Faktor lingkungan adalah segala sesuatu yang terdapat di lingkungan masing-masing ibu yang dapat mempengaruhi tindakan ibu dalam kejadian diare meliputi:
a. Penyediaan Air Bersih (PAB), adalah penyediaan air dengan kualitas air harus memenuhi syarat kesehatan yang meliputi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan radioaktif.
itu serangga-serangga seperti lalat dapat menyebarkan tinja dan kadang–kadang menimbulkan bau yang tidak dapat ditolerir. c. Tempat Pembuangan Sampah (TPS) merupakan sumber penyakit
dan tempat berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat, kecoa, dsb. Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan menimbulkan gangguan kenyamanan seperti bau yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu pengelolaan sampah sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Tempat sampah harus disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap hari dan dibuang ke tempat penampungan sementara. Bila tidak terjangkau oleh pelayanan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir dapat dilakukan pemusnahan sampah dengan cara ditimbun atau dibakar.
3. Kejadian diare, adalah kasus diare yang terjadi di lapangan diakibatkan hubungan dari beberapa faktor penyebab.
2.8 Hipotesis Penelitian