• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Donald Trump Melarang Masuknya Pengungsi Ke Amerika Serikat Ditinjau Dari Konvensi 1951 Dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Donald Trump Melarang Masuknya Pengungsi Ke Amerika Serikat Ditinjau Dari Konvensi 1951 Dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi Chapter III V"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

DAYA IKAT HUKUM INTERNASIONAL DAN KAITANNYA DENGAN

KEDAULATAN NEGARA

A. Tinjauan Umum tentang Kedaulatan Negara

1. Pengertian Umum Kedaulatan Negara

Kata daulat dalam pemerintahan berasal dari kata supremus (bahasa Latin), daulah (bahasa Arab), sovereignity (bahasa Inggris), souvereiniteit (bahasa Prancis), dan sovranita (bahasa Italia) yang berarti “kekuasaan tertinggi”. Kedaulatan, “sovereignity” merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara. Seperti diketahui bahwa salah satu syarat berdirinya negara adalah adanya pemeritahan yang berdaulat. Dengan demikian, pemerintah dalam suatu negara harus memiliki kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan tak terbatas (unlimited).35

Kedaulatan merupakan kata yang sulit untuk dibakukan karena para ahli memberikan pengertian yang berlainan sehingga menimbulkan banyak penafsiran yang berkembang dewasa ini. Dalam konteks itu, Philip Allot mengatakan, bahwa kedaulatan itu bukanlah suatu fakta, akan tetapi adalah teori. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan adalah konsep yang samar (neboulous concept) yang bisa saja berubah dari waktu kewaktu dikarenakan adanya perubahan konstelasi politik Internasional.36

Istilah kedaulatan pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Bodin (1539-1596).

36

(2)

Menurut Jean Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlangsung terus tanpa terputus-putus.37

tergantung dan tanpa terkecuali.

Franz Magnis Suseno menyebutkan bahwa kedaulatan adalah ciri utama negara, yang berarti bahwa tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar suatu negara yang harus dimintai izin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak

38

Menurut Wagiman39

, perkembangan hukum Internasional tidak akan terlepas dari negara sebagai subjeknya. Sebagai subjek hukum internasional, negara dianggap memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sifat hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara terkandung dalam pembicaraan filsafat ilmu negara.

Dalam konteks perananannya, hukum internasional masih tetap diperlukan dan dirasakan urgensinya. Terlepas dari anggapan bahwa hukum Internasional tidak memiliki daya paksa secara nyata sehingga dianggap seolah menjadi bagian dari negara-negara besar/ kuat saja.

2017.

38

Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 175.

39

(3)

Memang dilihat sepintas, dimilikinya kekuasaan tertinggi oleh negara ini bertentangan dengan hukum Internasional sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan internasional terutama hubungan antar-negara. Dapat dikemukakan bahwa hukum internasional tidak mungkin mengikat negara apabila negara itu merupakan kekuasaan tertinggi yang tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi di atasnya.40

Masalah kedaulatan merupakan topik atau kajian hukum Internasional yang senantiasa berkembang secara dinamis. Mirza Satria membagi kedaulatan dalam dua ranah konsep, yaitu kedaulatan dalam kaitan dengan jangkauannya serta kedaulatan dalam format kewilayahan suatu negara. Dua kata kunci pada kedaulatan berdasarkan jangkauannya, demikian Mirza Satria, yaitu independensi dan supremasi.41

Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri. Dengan perkataan lain, negara memiliki monopoli kekuasaan, suatu sifat khas organisasi masyarakat

Independensi suatu negara berhubungan dengan yurisdiksi atau kewenangan suatu negara terhadap wilayahnya. Supremasi suatu negara berhubungan erat dengan suatu pengambilan yang timbul di dalam yurisdiksi negaranya. Dalam ranah supremasi mencakup sumber-sumber hukum negara tersebut yang oleh Mirza Satria disebut meliputi constitution , status, regulations

serta custom.

40

Mochtar Kusumaatmadja& Etty.R.Agoe. 2003. Pengantar Hukum Internasional. (PT. Alumni:Bandung). Hlm. 16.

41

(4)

dan kenegaraan dewasa ini yang tidak lagi membenarkan orang perseorangan mengambil tindakan sendiri apabila ia dirugikan. Walaupun demikian , kekuasaan tertinggi ini mempunyai batas-batasnya.42

Negara merupakan suatu organsasi dalam masyarakat yang telah memenuhi beberapa syarat tertentu. Pengertian negara dalam arti formil dan materil43

a. Negara dalam arti formil di maksudkan negara ditinjau dari aspek kekuasaan, negara sebagai organisasi kekuasaan dengan suatu pemerintahan pusat. Karakteristik dari negara formil adalah wewenang pemerintah untk menjalankan paksaan fisik secara legal. Negara dalam arti formil adalah negara sebagai pemerintah.

:

b. Negara dalam arti materiil adalah negara sebagai masyarakat ( staat – gemenschap ) atau negara sebagai persekutuan hidup.

Dalam kerangka hubungan Internasional, khususnya dalam hal keanggotaan di dalam organisasi internasional maka kedaulatan negara menjadi dasar dan tercermin dalam keputusan negara untuk memberikan persetujuan ( consent ) untuk mengikatkan diri pada organisasi internasional. Dalam konteks seperti ini, consent atau persetujuan negara adalah keputusan suatu negara sebagai subyek yang mandiri dan bebas untuk menjadi anggota organisasi internasional.44

Kedaulatan negara merupakan prinsip yang mendasari hubungan antar negara dan juga merupakan landasan dari tatanan dunia. Prinsip ini merupakan

42

Mochtar Kusumaatmadja& Etty.R.Agoe, Op.cit, hlm 17.

43

Samidjo. Ilmu Negara. (CV. Armico:Bandung). 2002. Hlm 33.

44

(5)

bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law) yang tercantum dalam Piagam PBB (United Nations Charter) serta menjadi komponen penting dalam upaya pemeliharaan perdamaian dan keamanan dunia.

Kedaulatan mendasari beberapa hak yang diakui oleh hukum internasional seperti misalnya; hak kesederajatan (equality), yurisdiksi wilayah (territorial jurisdiction), hak untuk menentukan nasionalitas bagi penduduk di wilayahnya, hak untuk mengijinkan dan menolak atau melarang orang untuk masuk dan keluar dari wilayahnya, hak untuk melakukan nasionalisasi.45

Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence) juga paham kesederajatan (equality). Artinya, bahwa negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya. Suatu negara yang merdeka, maka ia mempunyai hak-haknya, seperti yurisdiksi teritorial dan mempertahankan negaranya. Di samping hak terdapat kewajibannya yang mengikat atau berhubungan dengan negara lain, seperti tidak mengambil jalan kekerasan, traktat dengan iktikad baik, dan tidak intervensi. Prinsip menghormati kedaulatan teritorial suatu negara salah satu contoh hak sekaligus kewajiban.46

Berdasarkan sifatnya, kedaulatan sebuah negara dibagi menjadi dua jenis yaitu:47

1) Kedaulatan Ke Dalam

45

Ibid.

diakses tanggal 24 Mei 2017.

(6)

Pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Kedaulatan Ke Luar

Pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuasaan lain, selain ketentuan ketentuan yang telah ditetapkan. Demikian juga halnya dengan negara lain, harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.

Negara yang berdaulat adalah negara yang mampu membuat suatu keputusan akhir tanpa dipengaruhi pihak atau otoritas lain, dan memperjuangkan haknya untuk menentukan keputusan akhir tanpa harus mematuhi kehendak otoritas lain.48

a) Kedaulatan Berdasarkan Jangkauan (Scope)

Sehingga kedaulatan negara berdasarkan atas jangkauan dan konsep suatu negara.

Sehingga kedaulatan negara berdasarkan atas jangkauan dan konsep suatu negara. Kedaulatan mencakup independesi dan supremasi, dua aspek tersebut sering disebut sebagai kedaulatan eksternal dan kedaulatan internal. Dalam praktik internasional kedua kedaulatan baik eksternal dan internal tidak melalui perjuangan yang mudah. Kedaulatan eksternal (Independensi) adalah hak atau kewenangan eksklusif bagi setiap negara untuk secara bebas menentukan hubungan internasional dengan berbagai negara atau kelompok lain tanpa ada halangan, rintangan, kekangan dan tekanan dari pihak manapun juga. Selain jurisdiksi dan pengakuan negara lain yang sederajat, kedaulatan eksternal haruslah memiliki prinsip non-intervention yang ditegaskan dengan rumusan International

48

(7)

Commission on Intervention and State Sovereignity (ICISS), yaitu “the concept is normally used to encompass all matters in which state is permitted by

international law to decide and act without intervensions from other state.

Kedaulatan eksternal disebut juga independensi negara yang berarti setiap negara sama kedudukannya dalam interaksi internasional dengan negara lainnya.

Dalam kedaulatan internasional, harus ada sumber-sumber hukum seperti

Constitution, Statutes, Regulations, dan Customs yaitu:

(1) Constitution adalah dasar suatu negara, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang mengatur secara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam masyarakat.

(2) Statutes adalah statuta atau undang-undang.

(3) Regulations adalah peraturan-peraturan yang pembuatannya dari badan legislatif kepada badan eksekutif.

(4) Customs adalah kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.Kedaulatan internasional diatas disebut sebagai supremasi negara.

b) Kedaulatan Berdasarkan Wilayah

Apabila seorang berada di wilayah tertentu, maka orang tersebut harus tunduk pada hukum wilayah tersebut, hal ini dikenal dalam bahasa Romawi yang terkenal “qui in territorio meo est, etiam meus subditus est.” Secara geografis, kedaulatan mencakup tiga wilayah yaitu wilayah tanah, wilayah laut dan wilayah udara di suatu negara.

2. Daya Ikat Hukum Internasional dikaitkan dengan Kedaulatan Negara

(8)

Hukum Internasional jika kita kaitkan dengan Kedaulatan Negara. Sebab, tentu akan menimbulkan pertanyaan dalam benak kita apakah yang dilakukan oleh Donald Trump bertentangan dengan Hukum Internasional atau tidak. Sebelum kita membahas lebih lanjut, ada baiknya kita me-review kembali definisi dari Hukum Internasional secara singkat. Para ahli memberikan pandangan serta pendapat mereka tentang definisi Hukum Internasional sebagai berikut:49

a. Menurut J.G. Starke– Hukum Internasional adalah seperangkat hukum (badan hukum), yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan aturan perilaku dan perasaan negara terikat untuk mematuhi membangun hubungan dengan satu sama lain.

b. Menurut Grotius (Hugo de Groot)– Hukum internasional terdiri dari seperangkat prinsip-prinsip hukum dan karena biasanya dalam hubungan antara negara-negara. Hubungan ini didasarkan pada kehendak bebas dan persetujuan dari semua anggota untuk kepentingan Bersama.

c. Menurut Oppenheimer– Hukum internasional sebagai hukum yang timbul dari masyarakat internasional dan perjanjian pelaksanaannya dijamin dengan kekuatan dari luar.

d. Menurut Brierly– Hukum internasional sebagai seperangkat aturan atau prinsip-prinsip untuk melakukan hal-hal yang mengikat negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama lain.

e. Menurut Dr. Mochtar Kusumaatmadja– Kesuluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara.

(9)

f. Menurut Charles Cheny hyde– Hukum internasional adalah seperangkat hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan aturan yang harus ditaati oleh negara. Oleh karena itu, hukum internasional harus ditaati dalam hubungan antara mereka dengan satu sama lain.

Menurut Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., Hukum Internasional merupakan Hukum yang lemah. Meskipun eksistensi hukum internasional sudah tidak perlu diragukan lagi, namun pandangan umum yang masih menghinggapi orang yang awam hukum, bahkan juga kalangan Para ahli hukum pada umumnya, bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah (weak law).50

Contoh kasus yang mendukung pernyataan Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H tersebut dikutip dari artikel “Hukum Internasional Merupakan Hukum yang

Lemah karena Hukum Internasional tidak seperti layaknya Hukum Nasional yang memiliki sanksi tegas dan nyata terhadap yang melanggarnya. Sebenarnya hal semacam ini dapat kita temui di dalam fakta dunia Internasional yang semakin membuktikan bahwa Hukum Internasional sebenarnya memang merupakan hukum yang lemah seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. S.M. Noor, S.H., M.H., peristiwa-peristiwa yang pada dasarnya jelas-jelas merupakan pelanggaran atas kaidah ataupun kebiasaan hukum internasional, tetapi pelakunya (negara-negara yang melanggar) tetap saja tidak dikenai sanksi ataupun tidak mendapatkan tindakan tegas. Apalagi jika negara tersebut merupakan negara besar dan kuat secara dunia Internasional, Hukum Internasional seperti tidak ada apa-apanya. Terlihat bahwa adanya diskriminasi bahkan di dunia Internasional.

50

(10)

Lemah” :51

Dari contoh-contoh diatas, kita bisa melihat kemudian bahwa dalam penerapan sanksi dalam dunia Internasional terlihat ambigu atau mengambang. Politik juga berperan di dalam penerapan sanksi bagi sebuah negara. Ini seperti pelanggaran yang dilakukan oleh Uni Soviet (sekarang Rusia) yang menginvasi (menyerang dan menduduki wilayah Afganistan pada tahun 1980 dan Irak yang menginvasi Kuwait pada tahun 1990), Uni Soviet sama sekali tidak dikenakan sanksi apapun oleh masyarakat internasional c.q. Dewan Keamanan PBB. Demikian Pula Israel yang menduduk i secara illegal wilayah negara-negara Arab sejak tahun 1948, meskipun telah berkali-kali dikenai resolusi Dewan Keamanan PBB, tetap tidak dihiraukan oleh Uni Soviet dan masyarakat internasional ternyata tidak dapat berbuat banyak. Sebaliknya Irak dengan cepat dikenakan saksi oleh Dewan Keamanan PBB atas tindakannya menginvasi Kuwait, bahkan sanksi tersebut masih terus berlangsung secara efektif hingga tahun 2000. Demikian pula tindakan Amerika Serikat yang menginvasi Grenada, sebuah negara kecil di kawasan Laut Karibia pada tahun 1987, sama sekali tidak terkena sanksi apapun. Tampak ada nya penerapan sanksi yang tebang pilih.

Kasus di Afrika Selatan yang menerapkan politik Apartheid ( diskriminasi warga kulit hitam ) bertahun-tahun lamanya yang sudah berkali-kali terkena sanksi berupa embargo dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan olah raga, seperti ditetapkan dalam sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB, sama sekali tidak efektif. Ini disebabkan karena negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan sekutu-sekutunya ternyata tidak dengan sepenuh hati menerima resolusi-resolusi Dewan Keamanan tersebut.

51

(11)

case by case bahwa dalam suatu kasus ternyata terkait kepentingan dan negara-negara di dunia ini, terutama negara-negara-negara-negara besar dan berpengaruh seperti telah dikemukakan di atas. Beraneka macam dan berubah-ubahnya kepentingan negara-negara sesuai dengan waktu dan tempatnya maupun situasi dan kondisinya, sangat menentukan kesediaan negara-negara menaati hukum internasional maupun kesungguhan negara-negara dalam menerapkan sanksi terhadap negara-negara yang melanggarnya. Semua ini pada akhirnya menampakkan diri dalam bentuk pertarungan memperjuangkan kepentingan masing-masing yang muncul kepermukaan dalam wujud percaturan politik internasional. Jadi negara-negara bersedia ataupun tidak bersedia menaati hukum internasional, ataupun negara-negara melanggar hukum internasional, tidak terlepas dan faktor politik. Dengan perkataan lain, dalam penataan atas hukum internasional faktor politik memainkan peranan yang sangat dominan. Dominan-nya faktor politik ini tentu saja tidak terlepas dari kedaulatan yang dimiliki atau melekat pada negara-negara. Selama negara--negara memiliki kedaulatan dan tidak ada lembaga atau badan supra-nasional yang berada di atas kedaulatan, selama itu pula eksistensi maupun penerapan hukum internasional tergantung pada faktor politik.

Ada beberapa ajaran atau mazhab yang berkaitan dengan daya ikat Hukum Internasional, yaitu:52

1. Mazhab atau Ajaran Hukum Alam

Menurut aliran hukum alam (natural law), hukum itu berasal dan alam dan diturunkan oleh alam kepada manusia melalui akal atau rasionya. Hukum dipandang memiliki sifat universal, abadi, tidak berubah-ubah, sama

(12)

mana, seperti halnya dengan alam itu sendiri yang juga universal, abadi dan tidak berubah-ubah, jadi dimanapun juga sama saja. Aliran hukum alam, memandang hukum itu demikian abstrak dan tinggi serta hanya mengakui satu macam hukum yang berlaku di seluruh dunia, yakni, hukum alam itu sendiri. Masyarakat atau manusia dipandang hanya sebagai penerima yang pasif. Sekitar Abad Pertengahan, sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa itu, yakni berkem-bangnya pengaruh ajaran Ketuhanan, aliran hukum alam ini pun tidak luput dari pengaruh Ketuhanan sehingga menampakkan cini-ciri keagamaan Ketuhanan yang sangat kuat. Hukum alam tidak lagi dipandang berasal dan alam, melainkan berasal dan Tuhan. Tuhanlah yang menurun-kannya kepada manusia melalui alam. Hukum alam berasal dan bersumber dan Tuhan.

Jadi, menurut Mazhab Hukum Alam, hukum internasional mengikat karena ia adalah bagian dari hukum alam yang diterapkan dalam kehidupan bangsa-bangsa & negara-negara tunduk atau terikat kepada hukum internasional dalam hubungan antar mereka karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam.

(13)

2. Mazhab atau Ajaran Hukum Positif

Menurut aliran hukum positif, hukum itu mengikat masyarakat atau masyarakat tunduk pada hukum, disebab-kan karena masyarakat itu sendirilah yang membutuhkan hukum tersebut untuk mengatur kehidupannya. Jika pandangan aliran hukum positif ini dihubungkan dengan hukum internasional, maka hukum internasional berlaku dan mengikat masyarakat internasional, disebabkan karena masyarakat internasional itu sendirilah yang membutuhkan dan menghendaki untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional. Jadi ada faktor kehendak negara (state will) yang menyebabkan masyarakat internasional, khususnya negara-negara untuk tunduk dan terikat pada hukum internasional.

(14)

bersangkutan memandang tidak perlu lagi untuk terikat, maka negara itupun bisa saja sewaktu-waktu menyatakan dirinya tidak mau lagi terikat pada hukum internasional. Hal ini berarti, George Jellinek menempatkan kedaulatan negara (state sovereignty) dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum internasional. Pandangan George Jellinek ini dikenal pula dengan teori pembatasan diri sendiri (self limitation theory).

Apabila pandangan George Jellinek ini diterapkan secara konsekuen, jelas akan menimbulkan akibat yang fatal. Jika daya mengikat hukum internasional digantungkan pada kehendak negara, baik secara individual maupun secara bersama-sama, akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum dalam pengertian yang paling ekstrim, sama saja dengan kekacauan, dan kekacauan yang paling kacau adalah keadaan tanpa hukum, dimana setiap pihak merasa memiliki kebebasan yang tanpa batas. lnilah yang disebut anarkisme. 3. Mazhab Wina53

Kelemahan teori-teori berdasarkan kehendak negara melahirkan sebuah teori baru, yang mendasarkan diri pada norma hukum yang telah ada terlebih dahulu. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Hans Kelsen dengan mazhabnya yaitu Mazhab Wina.

Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah

(15)

dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt servanda.

Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara para individu, yang mengandung makna bahwa:

1) Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dan 2) Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan yang melanggar janji atau wanprestasi.54

4. Mazhab Prancis

Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan dasar mengikatnya hukum internasional. Namun, mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula, dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti.

Mazhab Perancis dengan pemuka-pemukanya terutama Fauchile, Scelle dan Duguit mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia

54

(16)

yang mereka namakan fakta-fakta kemasyarakatan yang menjadi dasar. Menurut mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk berabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang seorang menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu perlu mutlak bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.

3. Daya Ikat Perjanjian Internasional Bagi Negara Pihak

Perjanjian Internasional dapat dikatakan sebagai sumber hukum yang terpenting dewasa ini. Melalui perjanjian Internasional, tiap negara menggariskan dasar kerja sama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri.55

Negara adalah salah satu subyek hukum Internasional yang memiliki kemampuan penuh untuk mengadakan atau untuk duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Hak suatu negara untuk mengadakan perjanjian internasional adalah merupakan atribut dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. Negara dapat mengadakan perjanjian apapun tanpa ada hak dari pihak lain untuk membatasi maupun melarangnya.56

Induk dari Perjanjian Internasional adalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Sebelum adanya Konvensi Wina 1969, perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan

55

Sefriani. 2015. Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. (PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta). Hlm. 81.

56

(17)

asas-asas seperti, good faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent dari negara-negara di dalamnya.57

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung 2 aspek yaitu aspek eksternal dan aspek internal:58

a. Aspek eksternalnya adalah keterikatan negara yang bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Suatu negara yang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional berarti negara itu menyatakan kesediaannya menaati dan menghormati perjanjian internasional tersebut. Perjanjian itu akan melahirkan hak dan kewajiban baik secara bersama-sama maupun secara timbal balik antara negara-negara yang sama-sama telah menyatakan persetujuannya untuk terikat.

b. Aspek internalnya adalah berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan. Misalnya, organ manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian Internasional, bagaimana mekanismenya sampai dengan dikeluarkannnya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari keterikatan negara itu pada suatu perjanjian Internasional.

Adapun mengikatnya perjanjian tergantung pada tahap-tahap pembentukan perjanjian itu. Untuk perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi maka penandatangan akan menimbulkan akibat hukum yaitu terikatnya negara

58

(18)

penandatanganan pada perjanjian tersebut. Namun, bila perjanjian mensyaratkan ratifikasi maka negara akan terikat secara hukum setelah ia meratifikasi.59

Ratifikasi adalah konfirmasi untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional. Tahapan ini diperlukan dengan alasan :60

1) Negara berhak untuk meninjau kembali instrumen yang sudah ditandatangani wakilnya sebelum negara memastikan diri bersedia untuk diikat dengan segala hak dan kewajiban yang muncul dari perjanjian tersebut

2) Hak negara berdaulat untuk menarik dari suatu perjanjian yang telah ditandatangani delegasinya apabila negara memang meragukan perjanjian tersebut.

3) Sering suatu perjanjian internasional mengundang dilakukannya amandemen atau penyesuaian dalam hukum nasional

4) Melaksanakan prinsip demokrasi, minat persetujuan rakyat

Bagi masyarakat internasional, ketika negara sudah memberikan konfirmasi untuk mengikatkan diri maka negara terikat secara yuridis kepada perjanjian tersebut.

Dalam hal apabila adanya pertentangan diantara Hukum Nasional dan Hukum Internasional maka yang mana harus didahulukan? Demi memelihara dan mempertahankan tertib masyarakat Internasional, dan demi mempertahankan nilai-nilai dan tujuan luhur dari perjanjian-perjanjian Internasional serta juga supaya negara-negara tidak mudah menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk mengesampingkan suatu perjanjian Internasional, oleh Komisi Hukum Internasional maupun negara-negara Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian

59

Sefriani. 2009. Hukum Internasional : Suatu Pengantar. (PT. RajaGrafindo Persada : Yogyakarta). Hlm. 33.

60

(19)

maka disepakatilah supaya hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan pembenar atas pelanggaran ataupun kegagalannya dalam melaksanakan ketentuan Perjanjian Internasional.61

Apabila dalam suatu kasus bahwa sebuah perjanjian internasional telah berakhir eksistensinya ataupun masa berlakunya suatu perjanjian internasional, maka semenjak itu pula perjanjian itu tidak lagi memberikan hak maupun membebani kewajiban kepada para pihak, karena memang sudah tidak lagi merupakan hukum Internasional positif. Akan tetapi perjanjian-perjanjian Internasional jenis tertentu, yakni, perjanjian yang substansinya (sebagian) merupakan formulasi dari kaidah hukum kebiasaan internasional, hak ataupun kewajiban yang semula berasal dari hukum kebiasaan itu tetap berlaku.62

B. Prinsip Non-Refoulement Sebagai Jus Cogens

1. Pengertian Prinsip Non-Refoulement

Istilah “non-refoulement” berasal dari bahasa Perancis “refouler” yang berarti mengembalikan atau mengirim balik (to drive back).63

61

Parthiana,I Wayan. 2005. Perjanjian Internasional Bagian 2. (PT. Mandar Maju : Bandung). Hlm. 276.

62

Ibid. Hlm. 458.

Prinsip non-refoulement adalah larangan atau tidak diperbolehkannya suatu negara untuk mengembalikan atau mengirimkan pengungsi (refugee) ke suatu wilayah tempat dia akan menghadapi persekusi atau penganiayaan yang membahayakan hidup-nya karena alasan-alasan yang berkaitan dengan ras,

63

(20)

agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau karena keyakinan politiknya.64

Terjadinya pengusiran terhadap para pengungsi, baik oleh negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi 1951 maupun negara-negara yang belum menjadi pihak pada Konvensi tersebut, telah meningkatkan penderitaan pengungsi menjadi semakin berkepanjangan. Beberapa Negara Pihak pada Konvensi 1951 bahkan mengusir para pengungsi dengan alasan para pengungsi tersebut mengancam keamanan nasional atau mengganggu ketertiban umum di negara tersebut.

Prinsip non-refoulement merupakan konsep fundamental dalam sistem perlindungan internasional bagi para pengungsi dan pencari suaka. Prinsip ini muncul dari pengalaman dan sejarah Internasional ketika terjadinya kegagalan negara-negara selama Perang Dunia II untuk menyediakan tempat yang aman untuk pengungsi yang melarikan diri genosida tertentu yang pada saat itu dilaksanakan oleh rezim Nazi. Hari ini, prinsip non-refoulement untuk melindungi pengungsi dan pencari suaka yang diusir dari negara-negara penandatangan Konvensi 1951 atau Protokol 1967.

65

Pada dasarnya, prinsip non-refoulement mewajibkan ketika terjadinya pengungsian massal yang disebabkan oleh sebuah konflik, negara-negara yang sanggup untuk menampung korban perang wajib memberikan tempat aman bagi para pengungsi dan dilarang untuk mengusir atau mengembalikan mereka ke

64

Sigit Riyanto, “Prinsip Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional”. Mimbar Hukum Vol. 22 No. 33 Hlm. 434-449.

65

(21)

tempat asal mereka dimana bahaya dapat ditemukan. Prinsip non-refoulement, prinsip yang paling mendasar bagi keseluruhan sistem hukum pengungsi internasional ini dibahas lebih secara jelas dalam Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi Internasional (1951 Geneva Convention Relating to the status of Refugees).66

Prinsip non-refoulement tidak hanya terdapat di dalam pada Konvensi 1951, namun secara tersirat dapat kita temukan di dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan, Pasal 45 paragraf 4 Konvensi Jenewa IV tahun 1949, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966.67

66

Ibid.

Makna utama dari prinsip non-refoulement adalah tidak boleh ada negara yang mengembalikan atau mengirim pengungsi dan/atau pencari suaka ke suatu wilayah tempat kehidupan dan keselamatan pengungsi atau pencari suaka tersebut akan terancam; kecuali kehadiran pengungsi atau pencari suaka tersebut benar-benar menimbulkan masalah ketertiban dan keamanan bagi negara yang bersangkutan. Ini jelas tercantum di dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi yang berbunyi : “ Namun, keuntungan ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi di mana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara di mana ia berada atau , karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.” Prinsip Non-refoulement hanya berlaku bagi pengungsi dan pencari suaka.

67

(22)

Lebih lanjut, isi pokok prinsip non-refoulement ini juga dikukuhkan oleh Majelis Umum PBB dalam Deklarasi tentang Suaka Teritorial 1967 (1967

Declaration on Territorial Asylum) yang disetujui secara aklamasi. Pasal 3 Deklarasi yang diterima oleh Majelis Umum PBB 14 Desember 1967 ini menegaskan bahwa setiap orang yang berhak mencari suaka tidak boleh diusir atau ditolak masuk oleh negara tempat ia mengajukan permohonan suaka. Pencari suaka ini tidak boleh dikembalikan ke negara manapun dimana dia menghadapi risiko penganiayaan (persekusi).68

2. Prinsip Non-Refoulement sebagai Jus Cogens

Dalam sistem hukum internasional,konsep jus cogens atau yang sering juga disebut sebagai norma pemaksa dalam hukum internasional ( peremptory norm of international law ) adalah suatu ketentuan hukum yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional dan ketentuan hukum tersebut tidak dapat disimpangi atau dikalahkan oleh ketentuan hukum lain.69

Prinsip non-refoulement yang mencerminkan perlindungan minimum berdasarkan alasan kemanusiaan tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi. Pasal 33 ini mencakup beberapa hal penting :70

Pertama, Konvensi 1951 hanya mengikat negara-negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal I ayat (1) Protokol 1967, suatu negara yang tidak menjadi pihak pada Konvensi 1951 namun menjadi pihak pada Protokol, juga terikat pada Pasal 2 hingga Pasal 34 Konvensi 1951.

68

Sigit Riyanto, “Prinsip Non-refoulement dan Relevansinya dalam Sistem Hukum Internasional”. Mimbar Hukum Vol. 22 No. 33 Hlm. 434-449.

70

(23)

Dengan demikian, Pasal 33 Konvensi 1951 mengikat negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau Protokol 1967, atau pada kedua instrument tersebut.

Kedua, Konvensi 1951 bersifat kemanusiaan. Hal ini secara jelas tercantum dalam paragraf pembukaan Konvensi 1951 yang mengemukakan bahwa PBB peduli pengungsi dan menjamin pengungsi mendapatkan hak-hak dasarnya serta kebebasannya sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Hal ini merupakan pengakuan dari seluruh negara terhadap aspek sosial dan kemanusiaan dari masalah pengungsi.

Ketiga, larangan pengusiran mengandung hal yang khusus. Hal ini didukung oleh Pasal 42 ayat (1) Konvensi 1951 yang mengecualikan Pasal 33 dari tindakan reservasi. Dengan demikian larangan pengusiran dalam Pasal 33 Konvensi 1951 merupakan suatu kewajiban non-derogable yang membangun esensi kemanusiaan dalam Konvensi 1951. Sifat non-derogable larangan pengusiran ditegaskan kembali oleh Pasal VII ayat (1) Protokol 1967.

Komite Eksekutif UNHCR bahkan lebih jauh menetapkan bahwa prinsip

(24)

Peremptory norm atau disebut juga jus cogens atau ius cogens (dari bahasa Latin yang berarti hukum yang memaksa) merupakan suatu prinsip dasar hukum internasional yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma yang tidak dapat dikurangi pelaksanaannya. Sebagai peremptory norm atau jus cogens, prinsip non-refoulement harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak dapat diubah. Hak dan prinsip mendasar ini telah diadakan untuk kepentingan semua orang tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak pada Konvensi 1951 atau belum dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah diakui statusnya sebagai pengungsi atau tidak.71

(25)

BAB IV

KEBIJAKAN DONALD TRUMP DITINJAU DARI KONVENSI 1951 DAN

PROTOKOL 1967 TENTANG STATUS PENGUNGSI

A. Sejarah Pengungsi di Amerika Serikat

Amerika merupakan negara yang memang lebih banyak didominasi oleh Imigran dan Pengungsi sejak lama, sebab suku asli di Amerika merupakan suku Indian sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dan bangsa lainnya yang datang dan menetap di Amerika hingga sekarang ini. Namun apa yang dilakukan oleh Donald Trump malah seolah-olah Amerika menutup mata atas fakta tersebut.

Amerika Serikat memiliki tradisi panjang di dalam memberikan perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari konflik dan penyiksaan, dan Gedung Putih di bawah Pemerintahan Obama telah berjanji untuk menampung 110.000 pengungsi di tahun 2017. Akan tetapi, Donald Trump dan pejabat lainnya, memiliki sebuah ketakutan yang tidak berdasar yang mengatakan bahwa teroris mungkin saja menyusup melalui program penerimaan pengungsi, mereka telah menangguhkan program tersebut selama 120 hari dan memotong jumlah penerimaan pengungsi tahun ini ( 2017 ) lebih dari setengah.72

Pada masa pemerintahan Barrack Obama pun , Obama selalu terbuka atas penerimaan pengungsi. Namun, memang sejak lama Donald Trump selalu telah menjadi penentang penerimaan pengungsi jauh sebelum ia menjadi Presiden Amerika. Seperti yang dikutip dari laman Slate73

: “Refugees from Syria are now pouring into our great country. Who knows who they are—some could be ISIS. Is

(26)

our president insane?” asked real estate mogul Donald Trump, who leads the Republican race for president. Former Arkansas Gov. Mike Huckabee said basically the same, using more colorful phrasing. “If you bought a 5-pound bag of peanuts and you knew that in the 5-pound bag of peanuts there were about 10 peanuts that were deadly poisonous, would you feed them to your kids? The answer is no.”

Terjemahan : “Pengungsi dari Suriah kini telah membanjiri negara kita yang hebat ini. Siapa yang tau mereka itu siapa—beberapa mungkin saja ISIS. Apakah Presiden kita sudah gila?” tanya taipan real estate Donald Trump . Mantan Gubernur Arkansas , Mike Huckabee juga mengatakan hal yang serupa, namun dengan kata-kata yang lebih “indah” . “ Jika kamu membeli 5 pound

kacang-kacangan dan kamu tau bahwa di dalam 5 pound kacang-kacang itu ada 10 kacang yang beracun dan mematikan, akankah kamu memberikannya kepada anak-anakmu? Tentu saja tidak.”

(27)

Undang-undang ini dibuat untuk menerima tambahan 400.000 pengungsi dari Eropa.

Kepemimpinan Amerika Serikat ini berlanjut sepanjang periode Perang Dingin, Amerika kembali menerima banyak pengungsi dari Asia Tenggara, orang-orang yang melarikan diri dari Uni Soviet, dan Kuba serta dari Hungaria, Polandia, Yugoslavia, Korea, and China.

Pada tahun 1975, Amerika Serikat kembali menerima ratusan ribu pengungsi Asia Tenggara melalui Satuan Tugas Pengungsi Ad Hoc dengan system pendanaan sementara. Pengalaman ini kemudian mendorong Kongres untuk mengeluarkan Undang-Undang Pengungsi tahun 1980, yang memasukkan definisi PBB tentang pengungsi dan menetapkan standar layanan pengungsian untuk semua pengungsi yang diterima di Amerika Serikat. Undang-undang Pengungsi memberikan dasar hukum untuk Program Penerimaan Pengungsi di Amerika Serikat hingga hari ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat telah menerima pengungsi Darfuri yang melarikan diri dari genosida dan kekerasan, orang Bhutan yang dipaksa keluar dari negara mereka, pengungsi Suriah, Irak, Afghanistan yang menjadi korban oleh karena perang, dan banyak populasi lain yang membutuhkan perlindungan nyawa.

(28)

Saat ini, ada sembilan agen pengungsi A.S. dengan lebih dari 300 situs lokal dan afiliasinya yang membantu pengungsi baru menetap ke komunitas lokal. Organisasi-organisasi ini adalah Church World Service, Dewan Pengembangan Komunitas Etiopia, Kementerian Migrasi Episkopal, HIAS, Komite Penyelamatan Internasional, Layanan Imigrasi dan Pengungsi Lutheran, Komite Pengungsi dan Imigran AS, Konferensi Uskup / Pelayanan Migrasi dan Pengungsi Amerika Serikat, dan Dunia Bantuan. Mereka semua memiliki Perjanjian Kerjasama dengan Departemen Luar Negeri untuk menempatkan kembali pengungsi.

Sejak tahun 1975, Amerika Serikat telah menerima lebih dari 3 juta pengungsi, dengan angka penerimaan tahunan berkisar antara 207.000 pada tahun 1980 sampai tingkat terendah 27.110 di tahun 2002.

Pada Perang Dunia II juga, Amerika Serikat dibanjiri oleh pengungsi Yahudi yang menjadi korban kekejaman Adolf Hitler. Berikut adalah sejarah Penerimaan kaum Yahudi oleh Amerika Serikat dari kekejaman Hitler74

:

Amerika Serikat berupaya menyelamatkan kaum Yahudi dari Holocaust setelah perang telah berlangsung cukup lama. Pada bulan Januari 1944, Sekretaris Keuangan, Henry Morgenthau, Jr., membujuk Presiden Franklin D. Roosevelt untuk membentuk Dewan Pengungsi Perang.

Walaupun laporan-laporan terverifikasi tentang pembunuhan massal kaum Yahudi telah diterima Departemen Luar Negeri AS pada tahun 1942, kalangan pejabat bergeming. Selama perang, Departemen Luar Negeri berkukuh bahwa cara terbaik menyelamatkan para korban dari kebijakan Nazi Jerman adalah dengan memenangkan perang secepat mungkin.

(29)

Dewan Pengungsi Perang bekerja sama dengan organisasi-organisasi Yahudi, para diplomat dari negara-negara netral, dan kelompok-kelompok perlawanan di Eropa untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari wilayah-wilayah kependudukan dan menyediakan bantuan bagi para tahanan di kamp-kamp konsentrasi Nazi. Upaya penyelamatan Dewan Pengungsi Perang yang paling ekstensif dipimpin oleh Raoul Wallenberg, seorang diplomat Swedia yang berdinas di Budapest, Hungaria. Wallenberg membantu melindungi puluhan ribu orang Yahudi Hungaria agar tidak dideportasi ke Auschwitz dengan cara membagi-bagikan paspor Swedia yang memberikan perlindungan. Karena Swedia merupakan negara netral, Jerman tidak bisa begitu saja berbuat semena-mena terhadap warga Swedia. Wallenberg juga mendirikan rumah sakit, tempat penitipan anak, dan dapur umum bagi kaum Yahudi di Budapest.

Dewan Pengungsi Perang memainkan peranan krusial dalam menyelamatkan sebanyak 200.000 orang Yahudi. Akan tetapi, sejumlah kalangan masih bertanya-tanya berapa banyak lagi orang Yahudi yang masih bisa diselamatkan seandainya misi penyelamatan dilakukan lebih awal. Raoul Wallenberg menghilang saat pembebasan Budapest oleh Uni Soviet. Dia terakhir kali terlihat bersama pasukan Soviet pada tanggal 17 Januari 1945. Sepuluh tahun kemudian, Uni Soviet mengakui bahwa dia telah ditangkap dan menyatakan bahwa dia meninggal di penjara pada tahun 1947.

(30)

B. Kebijakan Donald Trump dikaitkan dengan Konvensi 1951 tentang

Status Pengungsi dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi

Kebijakan Donald Trump bukan hanya menyakiti hati para pengungsi yang terdampak untuk masuk ke Amerika, namun kebijakannya sungguh melukai semangat dunia Internasional yang selalu menggaungkan semangat Hak Asasi Manusia. Namun , kali ini Donald Trump telah jelas-jelas mengabaikan semangat tersebut dan seolah tidak memperdulikan nasib tidak beruntung yang menimpa para pengungsi.

Trump di dalam mengeluarkan perintah eksekutifnya ini menyatakan bahwa perintah eksekutifnya adalah karena alasan keamanan di Amerika Serikat. Meskipun alasan ini masih belum ada bukti kuat untuk mendukungnya dan mengingat yang telah kita bahas pada bahasan diatas bahwa Amerika merupakan pihak di dalam Protokol 1967 dan bahkan telah meratifikasi Protokol tersebut, maka sudah seharusnya Donald Trump sadar betul akan hal tersebut.

Ada sebuah fakta yang menarik juga, dimana Amerika Serikat sendiri tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian seperti yang dikutip dari lamanresmi Departemen Negara Amerika Serikat:75

“Is the United States a party to the Vienna Convention on the Law of Treaties?

No. The United States signed the treaty on April 24, 1970. The U.S. Senate has not

given its advice and consent to the treaty. The United States considers many of the

provisions of the Vienna Convention on the Law of Treaties to constitute

customary international law on the law of treaties.”

(31)

Dari kutipan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Amerika Serikat hanya menandatangani Konvensi tersebut namun tidak meratifikasinya karena mereka menganggap banyak dari isi Konvensi Wina tersebut pada dasarnya merupakan kebiasaan Internasional. Maka artinya, mereka seharusnya telah paham betul dengan arti daripada sebuah perjanjian di dalam kebiasaan Hukum Internasional.

Dengan Amerika tidak meratifikasi Konvensi tersebut, maka mereka tidak terikat dengan Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian yang artinya juga secara otomatis Asas Hukum Pacta Sunt Servanda yang tercantum di dalam pasal 26 Konvensi tersebut secara Hukum Internasional tidak mengikat mereka, namun Pacta Sunt Servanda merupakan sebuah asas yang sudah diakui sejak lama di dalam dunia Internasional dan Amerika juga menganggap Konvensi Wina tersebut merupakan kebiasaan Internasional.

Amerika Serikat merupakan pihak di dalam Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi dan faktanya juga adalah Amerika telah meratifikasi Protokol 1967 tentang Status Pengungsi tersebut. Artinya, menjadi negara yang meratifikasi Protokol tersebut maka menjadikan Amerika telah setuju untuk menjalankan segala isi Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi tersebut sesuai dengan kebiasaan Internasional.

(32)

selalu dirumuskan sebagai berikut: “The present agreement shall come into force on the date of its signing”.76

Mari kita kembali lagi kepada Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Jika kita kaitkan dengan kebijakan Donald Trump yang ia tuangkan di dalam Perintah Eksekutifnya, maka jelas Trump telah mengabaikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Di dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi , Donald Trump telah mengabaikan prinsip Non-Refoulement yang tercantum di dalam pasal 33

Kita telah sampai pada fakta bahwa Amerika merupakan negara yang meratifikasi Protokol tahun 1967 tentang Status Pengungsi. Selanjutnya juga kita akan mendapati fakta bahwa di dalam Pasal 1 ayat ( 1 ) Protokol 1967 tentang Status Pengungsi tersebut juga telah jelas termaktub bahwa “ Negara-negara Pihak pada Protokol ini berjanji untuk menerapkan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 Konvensi pada para pengungsi sebagaimana didefinisikan sebagai berikut.”

Pasal tersebut kembali menegaskan fakta bahwa meskipun Amerika bukan merupakan pihak di dalam Konvensi tahun 1951, akan tetapi Amerika menjadi pihak di dalam Protokol 1967 tentang Status Pengungsi yang menjadikan mereka harus menjalankan Pasal 2 sampai dengan Pasal 34 di dalam Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi.

77

1. Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan (“refouler”) pengungsi dengan cara apapun ke perbatasan wilayah-wilayah dimana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya.

:

76

Damos Dumoli Agusman, 2010 , Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktek, (PT. Refika Aditama, Bandung).

77

(33)

2. Namun, keuntungan ketentuan ini tidak boleh diklaim oleh pengungsi dimana terdapat alasan-alasan yang layak untuk menganggapnya sebagai bahaya terhadap keamanan negara dimana ia berada atau, karena telah dijatuhi hukuman oleh putusan hakim yang bersifat final atas tindak pidana sangat berat ia merupakan bahaya bagi masyarakat negara itu.

Donald Trump melanggar prinsip Non-Refoulement. Amerika Serikat merupakan negara yang meratifikasi Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Apa yang dilakukan oleh Donald Trump jelas-jelas telah menolak kedatangan pengungsi ke Amerika Serikat, apalagi bagi Pengungsi Suriah, mereka awalnya tidak diperbolehkan masuk ke Amerika Serikat hingga waktu yang belum ditentukan pasca Trump mengeluarkan perintah eksekutifnya. Beruntungnya, Hakim Federal telah menolak Perintah Eksekutif milik Donald Trump.

Tidak semua hak yang penting bagi pengungsi disebutkan secara khusus dalam Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia. Elemen inti dari perlindungan internasional adalah hak untuk tidak dipulangkan secara paksa atau diasingkan pada situasi yang dapat mengancam jiwa atau kemerdekaan seseorang. Inilah prinsip tidak memulangkan kembali yang telah kita bahasa diatas di dalam dalam pasal 33 Konvensi 1951.

(34)

keadaan bahaya menjadi sasaran penyiksaan” (ayat 1). Lebih jauh lagi, “untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan tersebut atau tidak, instansi yang berwenang memperhatikan semua pertimbangan-pertimbangan yang relevan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius, mencolok dan terjadi secara besar-besaran” (ayat 2).78

Dalam sebuah kesempatan, ahli-ahli di PBB juga mendesak Trump dan jajarannya untuk melindungi orang-orang yang melarikan diri dari peperangan dan penyiksaan dan menegakkan prinsip non-diskriminasi berdasarkan ras, kewarganegaraan dan agama. Amerika Serikat seharusnya tidak memaksa memulangkan pengungsi, praktek ini yang kita ketahui dengan istilah refoulement

, kata mereka79

C. Implikasi Kebijakan Keimigrasian Donald Trump Terhadap Para

Pengungsi

.

Setelah Donald Trump mengeluarkan kebijakan ini melalui perintah eksekutifnya, maka sudah resmilah akan dijalankan pelarangan masuknya imigran dari 7 Negara (90 hari) dan pengungsi dari seluruh negara ( 120 hari ). Pengungsi-pengungsi tidak mendapatkan kesempatan lagi untuk memasuki Amerika Serikat selama 120 hari tersebut. Artinya, mereka harus mencari negara lain yang masih terbuka untuk penerimaan pengungsi.

Pada tanggal 29 Januari 2017 seperti dilansir dari BBC Indonesia, pasca Trump mengeluarkan Perintah Eksekutifnya tersebut, belasan orang ditahan di Bandara John F. Kennedy.80

78

Hak Asasi Manusia dan Pengungsi , Op.cit.

(35)

Kebijakan program pengungsi di seluruh AS - berdampak pada orang-orang dari banyak negara - telah ditangguhkan selama 120 hari. Mereka yang telah keluar dari Suriah sebagai pengungsi dilarang masuk ke AS sampai adanya pemberitahuan selanjutnya.

Ada juga cerita dari Refugee Services Texas yang telah siap menyambut pengungsi Suriah81

, Chris Kelley dan para koleganya terlanjur menyewa beberapa unit apartemen dan menata mebel untuk kedatangan gelombang pengungsi lanjutan di Texas. Termasuk dalam gelombang ini adalah keluarga asal Suriah yang telah mendekam di kamp pengungsi selama bertahun-tahun, sembari diperiksa oleh Departemen Luar Negeri AS. Mereka akhirnya mendapatkan izin untuk datang ke Amerika.

Lalu, tiba-tiba saja Presiden Donald Trump mengeluarkan dekrit berupa penghentian izin masuk imigran asing dari tujuh negara selama 120 hari ke depan. Khusus pengungsi dari Suriah, mereka dilarang masuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Dalam sekejap, segalanya berubah.

"Kami baru diberitahu pagi ini bahwa kedatangan mereka dibatalkan. Kami tidak mendapatkan instruksi atau panduan apapun mengenai apa yang akan terjadi setelah 120 hari berlalu nanti," ujar Kelley selaku direktur komunikasi lembaga Refugee Services Texas. Dia ragu para keluarga pengungsi bakal diperbolehkan masuk Amerika Serikat. Kelley mengamati bahwa hampir semua pengungsi yang dia urus adalah perempuan dan anak-anak, yang tadinya akan menyusul ayah atau keluarga mereka yang lebih dulu menetap di Texas. "Ada banyak anak yang kecewa dan menangis," ujarnya.

(36)

Berdasarkan data sejarah, AS sebetulnya selalu menampung pengungsi perang lebih banyak dibandingkan negara-negara lain. Chris Boian, staf komunikasi senior UNHCR berkata, memang presiden AS memiliki otoritas untuk menentukan jumlah pengungsi dan bahkan menghentikan program transmigrasi. Dia mengaku "sangat cemas dengan ketidakpastian" atas nasib pelarian Timur Tengah yang yang sebelumnya sudah ditetapkan untuk mengungsi ke AS. UNHCR ingin bernegosiasi secepatnya dengan pemerintahan Trump, meski belum memulai langkah riil ke arah sana.

"Para pengungsi di lapangan sangat kewalahan—pertanyaan mereka saat ini adalah, kita hidup untuk apa?" ujar seorang pekerja bantuan kemanusiaan di kamp pengungsi perbatasan Turki-Suriah. Dia menceritakan ulang respon para pengungsi terhadap perintah presiden Trump.

Para pengungsi merasa mereka tidak punya pilihan untuk pindah, kata si pekerja bantuan kemanusiaan itu. AS mengikuti langkah negara-negara Eropa membatasi akses untuk para pengungsi. Kini, semakin banyak pengungsi kehilangan harapan untuk memasuki Eropa karena Makedonia menutup perbatasannya. Sedangkan Turki tak lagi mengizinkan pengungsi untuk pergi menyeberang ke Benua Biru. Bahkan Kanada menurunkan kuota pengungsi untuk tahun anggaran 2017.

"Dampak akumulatif dari peraturan-peraturan yang anti-pengungsi di berbagai negara adalah menurunnya kesehatan mental mereka," kata petugas di kamp Turki. "Mereka merasa sedih, terisolasi, dan tersesat."

(37)
(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perlindungan untuk para pengungsi di dunia Internasional sebenarnya merupakan sebuah kebiasaan Internasional yang juga diatur di dalam Hukum Pengungsi Internasional yang khusus mengatur tentang masalah pengungsi, serta ada juga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi tahun 1954 tentang Orang-Orang tanpa Kewarganegaraan, Konvensi tahun 1961 tentang Pengurangan Keadaan Orang Tanpa Kewarganegaraan , Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Warga Sipil dalam Waktu Perang serta Deklarasi PBB tahun 1967 tentang Suaka Teritorial dan sebagainya.

Hukum Pengungsi Internasional merupakan turunan dari Hukum Internasional itu sendiri, dimana tujuannya adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan pengungsi Internasional di negara tujuan mengungsi, termasuk pada saat pengungsi melewati negara-negara ketika menuju ke negara tujuan.

Hukum Pengungsi Internasional sendiri masih berkaitan dengan Hukum Hak Asasi Manusia, yang artinya hak-hak asasi manusia masih melekat di dalam diri para pengungsi. Sebab para pengungsi merupakan kelompok yang sangat rentan , baik di negara asalnya maupun di negara penerima.

(39)

sebenarnya bukan tentang kedaulatan negara. Akan tetapi, penerimaan pengungsi itu merupakan sebuah dorongan rasa kemanusiaan yang sudah seharusnya dijalankan oleh negara-negara berdaulat di dunia Internasional. Apalagi jika kita mengingat bahwa para pengungsi tersebut merupakan golongan yang sangat rentan dan membutuhkan bantuan dari negara-negara tujuan pengungsian mereka. Lagipula, prinsip Non-Refoulementtelah menjadi sebuah kebiasaan internasional tanpa melihat apakah negara tersebut merupakan negara yang meratifikasi ataupun tidak. Faktanya adalah Amerika Serikat merupakan negara yang meratifikasi Protokol 1967 tentang Status Pengungsi, maka sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan kebiasaan Internasional untuk mematuhi dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat atas dasar kesepakatan bersama. Dalam hal ini maka Amerika Serikat seharusnya menerapkan seluruh isi dari Protokol 1967 tersebut yang termasuk prinsip Non-Refoulment pada pasal 33 Konvensi 1951.

(40)

3. Saran

1. Mungkin sudah saatnya negara-negara Internasional melalui PBB misalnya, bisa menambah peraturan-peraturan yang lebih tegas mengenai Hukum Pengungsi Internasional. Hal ini diperlukan untuk memperkuat perlindungan bagi para pengungsi yang terpaksa harus meninggalkan negara asal mereka yang tidak lagi aman. Meskipun sekarang telah ada peraturan-peraturan Internasional berkaitan dengan pengungsi, akan tetapi masih saja ada negara-negara yang menolak kedatangan pengungsi di negara mereka.

(41)

masuk. Mungkin saja, jika dirasa bahwa sebagai negara pihak, negara-negara pihak tidak mampu lagi untuk menerima pengungsi, maka mungkin harus kembali dibuat sebuah ketentuan baru dan dirundingkan kembali, sehingga ada sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Sebab, yang kasihan itu adalah para pengungsi yang kebingungan untuk mencari tempat mengungsi dan hidup aman dan nyaman.

3. Jika kita melihat pada Pasal 1 ayat (1) Protokol 1967 tentang Status Pengungsi yang intinya bahwa negara-negara pihak di dalam Protokol tersebut berjanji untuk menjalankan pasal 2 sampai dengan pasal 34 Konvensi 1951 dimana di dalam Pasal 33 Konvensi tersebut terdapat prinsip Non-Refoulement. Amerika juga telah meratifikasi Protokol tersebut, dan sebagai perwujudannya, seharusnya Amerika secara kebiasaan Internasional tunduk terhadap Protokol 1967 tersebut dengan itikad baik. DonaldTrump berdalih bahwa untuk alasan keamanan dalam negeri, ia mengeluarkan Perintah Eksekutif tersebut. Sebuah alasan yang tentu tidak bisa kita terima dengan akal sehat, sebab Trump bisa menggunakan pasal 33 ayat (2) dalam Konvensi 1951 di atas untuk mengusir orang-orang yang telah terbukti mengacau di dalam negara dan mengancam keamanan dimana ia ditempatkan. Bukannya mengeluarkan Perintah Eksekutif seperti ini.

(42)

Donald Trump juga seharusnya tidak begitu saja mengabaikan ketentuan di dalam Konvensi dan Protokol tersebut, sebab Konvensi maupun Protokol merupakan salah satu bentuk perjanjian Internasional yang telah disepakati bersama-sama antar negara pihak.

Referensi

Dokumen terkait

Di era Globalisasi ini, jarak pandang semakin luas. Membuat dunia menjadi sempit untuk dijelajahi dengan berbagai macam akses yang mumpuni. Disinilah kemajuan

Prosedur ini jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapatkan maka dapat dikatakan bahwa proses penggunaan barang milik daerah yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan

Secara geografis, ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan

Universitas Negeri Semarang (UNNES) sebagai salah satu lembaga pendidikan perguruan tinggi negeri di Indonesia diharapkan dapat menyiapkan tenaga kerja yang

Jadi, simpulan pada penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pembelian barang secara online pada kalangan mahasiswa yaitu: faktor pribadi, faktor

12. Lembar soal boleh dicorat-coret, sedangkan Lembar Jawaban tidak boleh dicorat-coret. Petunjuk khusus tiap jenis soal ada pada bagian awal setiap jenis soal. SELAMAT MENGERJAKAN

Pengerjaan Tugas Akhir ini bertujuan untuk merencanakan ukuran modul pelat pracetak lantai dermaga yang paling murah dan kuat dalam menahan beban dermaga di pelabuhan

0343-656450 Canned Pasteurized Crabmeat Frozen Demersal Fish Frozen Raw Shrimp Frozen Cooked Shrimp Frozen Crab Meat Frozen Crab Frozen Added Value Frozen Demersal fish Frozen