• Tidak ada hasil yang ditemukan

Unsur Prominence Dalam Pemberitaan Selebritas (Analisis Deskriptif Kualitatif Unsur Prominence dalam Pemberitaan Selebritas di Harian Lokal di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Unsur Prominence Dalam Pemberitaan Selebritas (Analisis Deskriptif Kualitatif Unsur Prominence dalam Pemberitaan Selebritas di Harian Lokal di Kota Medan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 3.1 Paradigma Kajian

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan paradigma

sebagai kerangka berpikir dan suatu model dalam ilmu pengetahuan.

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu

distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian

berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi

waktu). Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen, adalah kumpulan longgar

dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang

mengarahkan cara berpikir dan penelitian (Moleong. 2005: 49).

Paradigma, menurut Pujileksono, adalah satu set konsumsi,

konsep, nilai-nilai dan praktek dan cara pandang realitas dalam disiplin

ilmu. Paradigma merupakan cara pandang atau pola pikir komunitas ilmu

pengetahun atas peristiwa/ realitas/ ilmu pengetahuan yang dikaji, diteliti,

dipelajari, dipersoalkan, dipahami dan untuk dicarikan pemecahan

persoalannya. Dijelaskan lebih lanjut oleh Pujileksono, paradigma

penelitian merupakan perspektif penelitian yang digunakan oleh peneliti

tentang bagaimana peneliti: (a) melihat realita (world views), (b)

bagaimana mempelajari fenomena, (c) cara-cara yang digunakan dalam

penelitian dan (d) cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan

temuan (Pujileksono, 2015: 26).

Ada beberapa alasan mengapa peneliti perlu memilih paradigma

sebelum melakukan penelitian, yaitu:

1. Paradigma penelitin menggambarkan pilihan suatu kepercayaan yang

akan mendasri dan memberi pedoman seluruh proses penelitian.

2. Paradigma penelitian menentukan rumusan masalah, tujuan penelitian

dan tipe penjelasan yang digunakan.

3. Pemilihan paradigma memiliki implikasi terhadap pemilihan metode,

(2)

data, teknik uji keabsahan data dan analisis data (Pujileksono, 2015:

26).

2.1.1 Paradigma Post-Positivis

Terdapat beberapa jenis paradigma yang dapat digunakan dalam

melakukan penelitian. Paradigma dalam melakukan penelitian komunikasi

memiliki tiga paradigma, yaitu paradigma klasik, paradigma kritis, dan

paradigma konstruktivisme. Namun menurut Sendjaja, dalam

perkembangan ilmu saat ini terdapat paradigma klasik yang merupakan

gabungan dari paradigma positivis dan post-positivis (Bungin, 2008: 237).

Sedangkan menurut Neuman terdapat paradigma postivistik,

pos-positivistik, konstruktivistik dan kritis yang dapat digunakan dalam

penelitian. Hebermas berpendapat lain, bahwa paradigma yang dapat

digunakan dalam penelitian antara lain instrumental knowledge,

hermenetic knowledge dan critical/emancipatory knowledge (Pujileksono, 2015: 27).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma post-positivis. Paradigma post-positivis merupakan paradigma

penelitian yang berusaha melakukan kritik pada paradigma positivis.

Muncul sekitar tahun 1970/1980-an, pemikiran ini muncul dengan

sejumlah tokoh seperti Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf

Frankfurt School, Feyerabend, dan Richard Rotry. Paradigma ini

menganggap bahwa penelitian tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai

pribadi peneliti sendiri. Peneliti perlu memasukkan nilai-nilai sebagai

pendapatnya sendiri dalam menilai realita yang diteliti. Dengan begitu

maka peneliti dapat lebih memandang suatu realita secara kritis

(Pujileksono, 2015: 28).

Berikut ini dikemukakan beberapa asumsi dasar post-positivisme

(Ardianto, 2007: 100):

(3)

(2) Falibilitas teori. Tidak ada satu teori pun yang dapat sepenuhnya

dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki

kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.

(3) Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.

(4) Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah

reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang

penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.

Secara ontologis, post-positivisme bersifat critical realism. Critical

realism memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal yang mustahil bila manusia (peneliti)

dapat melihat realitas tersebut secara benar (apa adanya). Oleh karena itu

secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah

cukup tetapi harus menggunakan metode triangulasi yaitu penggunaan

bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori. Dengan kata

lain dapat ditekankan bahwa pandangan post-positivisme mirip dengan

pandangan konstruksionisme sosial, terutama dalam dua cara. Pertama,

kaum post-positivis meyakini bahwa proses konstruksi sosial terjadi dalam

berbagai cara dan terpola secara relatif pada kerja penelitian. Kedua,

banyak kalangan post-positivis meyakini bahwa konstruksi sosial tersebut

dapat ditemukan secara objektif pada para pelaku dunia sosial (Ardianto,

2007: 101-103).

Secara epistemologi dan aksiologinya, terdapat asumsi yang

melandasi post-positivis dimana asumsi tersebut mengenai landasan

ilmu-ilmu sosial dan aturan nilai dalam produksi pengetahuan sosial yang pada

dasarnya didasarkan pada prinsip-prinsip objektivisme. Asumsi-asumsi ini

mencakup tiga gagasan yang saling terkait bahwa: (a) ilmu pengetahuan

bisa diperoleh melalui pencarian akan relasi kausal dan keteraturan antara

pelbagai komponen dunia sosial; (b) relasi kausal dan keteraturan tersebut

bisa ditemukan bila ada pemisahan total antara penyelidik dan subjek yang

ditelitinya; serta (c) pemisahan ini dapat terjamin melalui penggunaan

(4)

Post-positivis mengacu pada prinsip-prinsip epistemologis dan

aksiologis yang diistilahkan oleh Guba (1990) sebagai objektivisme yang

dimodifikasi. Terdapat dua asumsi objektivisme. Pertama, pencarian atas

pengetahuan dilakukan dengan bersandar pada penjelasan kausal yang

bergantung pada keteraturan yang ditemukan dalam dunia fisik dan sosial.

Kedua, adanya pemisahan antara objek yang diamati dan subjek yang mengamati (Ardianto, 2007: 104).

Selain itu, paradigma pos-positivistik ini lebih cocok apabila

digunakan dalam penelitian kualitatif, karena dalam bukunya Metode

Penelitian Komunikasi Kualitatif, Pujileksono menjelaskan bahwa

paradigma ini lebih bersifat kualitatif. Selanjutnya, dijelaskan bahwa

realita yang diteliti berada di luar dan peneliti berinteraksi dengan objek

penelitian tersebut sehingga jarak hubungan antara peneliti dengan objek

yang diteliti lebih dekat. Tujuan akhir dari penelitian ini tidak berbeda dari

paradigma positivis, yaitu untuk mengetahui pola umum yang ada dalam

masyarakat (Pujileksono, 2015: 28).

Paradigma ini sangat sesuai dengan masalah pada penelitian ini

yaitu melihat seberapa penting rubrik selebritas pada surat kabar dan

bagimana keputusan dalam pengadaan rubrik selebritas di surat kabar lokal

di Kota Medan. Rubrik selebritas dalam media cetak sudah sangat lumrah,

hal ini merupakan fakta dan realitas sosial yang benar adanya. Namun,

kebenaran tersebut tidak akan didapat apabila peneliti mengambil jarak

atau tidak terlibat langsung dengan realitas yang ada. Rubrik selebritas

tidak hadir begitu saja, tentunya memiliki proses yang melatarbelakangi

pengadaannya.

2.2 Kajian Pustaka

Dalam melakukan penelitian ilmiah, teori sangat berperan dalam menentukan landasan berpikir untuk mendukung pemecahan suatu

masalah dengan sistematis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori

merupakan pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,

(5)

ada empat fungsi suatu teori, yaitu (1) mensistematiskan

penemuan-penemuan penelitian, (2) menjadi pendorong untuk menyusun hipotesis

dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, (3)

membuat ramalan atas dasar penemuan, dan (4) menyajikan penjelasan

untuk menjawab pertanyaan mengapa (Moleong, 2005: 57-58). Dalam

penelitian ini, teori-teori yang dianggap relevan adalah sebagai berikut:

2.2.1 Komunikasi Massa

Istilah komunikasi atau dalam Bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis

yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna (Effendy,

2009: 9). Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya,

pendidikan, dan politik sudah disadari oleh para cendikiawan sejak

Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum masehi. Komunikasi

merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia dalam kaitannya

dengan hubungan antar individu. Komunikasi merupakan saran untuk

mengerti diri sendiri, orang lain dan memahami apa yang dibutuhkan

individu tersebut maupun yang dibutuhkan orang lain serta untuk

mencapai pemahaman tentang diri individu tersebut dan sesamanya.

Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat

dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip

paradigma yang dikemukakan Harold Lasswell. Lasswell mengatakan

bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab

pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom

With What Effect?

Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi

meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,

yaitu:

a. Komunikator (communicator, source, sender)

b. Pesan (message)

(6)

d. Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient)

e. Efek (effect, impact, influence)

Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses

penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media

yang menimbulkan efek tertentu (Effendy, 2009: 10).

Menurut pengertian yang dikemukakan Lasswell, media

merupakan salah satu aspek penting dalam melakukan komunikasi. Media

massa adalah jenis media yang menjadikan komunikasi berperan sebagai

penghubung sistem sosial atau yang biasa dikenal sebagi komunikasi

massa.

Menurut para ahli komunikasi, yang dimaksudkan dengan

komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya

merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media

communication) (Effendy, 2009: 20). Joseph A. Devito dalam bukunya, Communicology: An Introduction to the Study of Communication, memberikan definisinya mengenai komunikasi massa, yaitu:

(7)

Seperti hal lainnya, komunikasi massa memiliki fungsinya bagi

masyarakat. Terdapat banyak pendapat dari para ilmuwan mengenai

komunikasi massa. Namun, dalam bukunya, Onong Uchjana

menyimpulkan fungsi-fungsi komunikasi massa menjadi 4 hal, yaitu

menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur

(to entertain), dan untuk mempengaruhi (to influence) (Effendy, 2009: 31). Fungsi komunikasi massa secara lengkap juga disampaikan oleh

Dominick, yaitu fungsi komunikasi massa terdiri dari surveillance

(pengawasan), interpretation (penafsiran), linkage (keterkaitan), transmission of values (penyebaran nilai) dan entertainment (hiburan) (Ardianto, 2004: 16 – 18).

2.2.2 Media Massa

Komunikasi akan lebih efektif bila unsur-unsurnya terpenuhi

dengan lengkap, salah satu unsurnya adalah media. Media adalah alat atau

saran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator

kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam

komunikasi antarmanusia, media yang paling dominan dalam

berkomunikasi adalah pancaindra manusia. Akan tetapi, disini dijelaskan

bahwa media yang dimaksudkan ialah media yang digolongkan atas empat

macam, yakni media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan

media massa.

Sampai saat ini, media massa merupakan salah satu media yang

paling sering digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

mereka akan informasi. Media massa sendiri adalah alat yang digunakan

dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima)

dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar,

film, radio dan televisi (Cangara, 2012: 137).

Karakteristik media massa adalah sebagai berikut (Cangara, 2012:

(8)

1) Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media

terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,

pengelolaan sampai pada penyajian informasi.

2) Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang

memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan

penerima. Jika memang terjadi reaksi atau umpan balik,

biasanya memerlukan waktu dan tertunda.

3) Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu

dan jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas

dan simultan, di mana informasi yang disampaikan diterima

oleh banyak orang pada saat yang sama.

4) Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi,

surat kabar dan semacamnya.

5) Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa

saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin dan

suku bangsa.

2.2.2.1Surat Kabar

Surat kabar boleh dikata sebagai media massa tertua

sebelum ditemukan film, radio, dan TV. Surat kabar memiliki

keterbatasan karena hanya dapat diminati oleh khalayak yang dapat

membaca. Secara umum, surat kabar juga lebih disenangi oleh

kalangan orangtua daripada remaja atau anak-anak. Namun,

kelebihan dari surat kabar adalah surat kabar mampu memberi

informasi yang lengkap, bisa dibawa ke mana-mana,

terdokumentasi sehingga mudah diperoleh bila diperlukan.

Pengertian surat kabar menurut New Universal Dictionary

adalah “Newspaper is a paper printed and distributed use daily or

weekly and containing news, articles of opinion, features and advertising (Surat kabar adalah kertas yang dicetak dan disebarkan secara harian atau mingguan dan berisi tentang berita, opini dalam

(9)

tahun setelah ditemukannya percetakan barulah surat kabar prototif

dapat dibedakan dengan surat edaran dan pamflet. Munculnya surat

kabar merupakan pengembangan suatu kegiatan yang sudah lama

berlangsung dalam dunia diplomasi dan di lingkungan dunia usaha.

Surat kabar pada masa awal ditandai oleh: wujud yang tetap;

bersifat komersial (dijual secara bebas); bertujuan banyak

(memberi informasi, mencatat, menyajikan, hiburan, dan

desas-desus); bersifat umum dan terbuka (McQuail, 1996: 9).

Menurut Hoogerwerf (1990) di Indonesia sendiri, aktivitas

jurnalistik dapat dilacak jauh ke belakang sejak zaman penjajahan

Belanda. Awalnya adalah dengan beredarnya surat kabar bernama

Bataviasche Nouvelles pada tahun 1744. Pada 1776, di Jakarta, juga terbit surat kabar Vendu Niews yang mengutamakan diri pada

berita pelelangan. Kelahiran pers bumiputera, yaitu pers yang

dikelola, dimodali dan dimiliki oleh orang Indonesia sendiri,

sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh perkembangan pers

yang dikelola oleh orang-orang Belanda dan Cina di Indonesia.

Adalah Medan Prijaji yang menjadi surat kabar pertama yang

dimiliki oleh orang Indonesia. Salah seorang dari elite terdidik

yang sadar akan hal itu adalah Raden Mas Djokomono alias Raden

Mas Tirto Hadisurjo, seorang keturunan priyayi dan bekas pelajar

STOVIA. Pada tahun 1906 ia memprakarsai didirikannya Sarekat

Priyayi yang salah satu tujuannya adalah untuk memajukan

penduduk bumiputera dengan cara memberikan pendidikan dan

beasiswa kepada mereka yang kurang mampu. Agar terjadi

komunikasi di antara anggota sarekat itu, maka pada tahun 1907 ia

menerbitkan surat kabar Medan Prijaji di Bandung, yang dianggap

sebagai pers pribumi pertama di Indonesia. Pada mulanya

berbentuk surat kabar mingguan, baru tiga tahun kemudian, 1910,

berubah menjadi harian. Tirto Hadisurjo inilah yang dianggap

(10)

Indonesia, baik dalam cara pemberitaan maupun dalam cara

pemuatan karangan dan iklan (Sumadiria, 2008: 19-20).

Sampai sekarang, surat kabar di Indonesia sudah

berkembang dengan sangat pesat. Terdapat surat kabar nasional

maupun lokal, yang kerap mewartakan informasi, sesuai dengan

kebutuhan masyarakat di lingkungan mereka. Di Sumatera Utara,

khususnya Kota Medan, surat kabar menjadi sumber informasi

yang masih digandrungi oleh setiap elemen masyarakat. Menurut

Dinas Komunikasi dan Informasi Provinsi Sumatera Utara,

terdapat 38 surat kabar di Kota Medan yang tersebar luas di

seluruh Sumatera Utara dan beberapa surat kabar yang sebarannya

hingga ke Aceh. Hal ini membuktikan bahwa surat kabar masih

bertahan hidup ditengah gempuran media elektronik yang semakin

beragam.

2.2.3 Jurnalistik

Jurnalistik atau journalisme berasal dari perkataan journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga

berarti surat kabar. MacDougal (1972) dalam Kusumaningrat

menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun berita,

mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting

dimana pun dan kapan pun dan sangat diperlukan dalam suatu negara

demokratis (Kusumaningrat, 2014: 15).

Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci lahirnya jurnalisme selama berabad-abad. Tetapi jurnalisme itu sendiri

baru benar-benar dimulai digunakan ketika huruf-huruf lepas untuk

percetakan mulai digunakan. Dengan mesin cetak, lembaran-lembaran

berita dan pamflet dapat dicetak dengan kecepatan yang lebih tinggi,

dalam jumlah yang lebih banyak, dan dengan ongkos yang lebih rendah

(Kusumaningrat, 2015: 16).

Ilmu jurnalistik adalah suatu Ilmu Komunikasi Praktika, karena

(11)

Komunikasi Teoritika dalam kehidupan manusia, yaitu cara penyampaian

isi pernyataan dengan menggunakan media massa periodik. Yang

termasuk media massa periodik adalah pers (surat kabar, majalah, buletin

kantor berita), radio, televisi, dan film (Soehoet, 2003: 5-6).

Orang yang bertugas mengatur cara penyampaian isi pernyataan manusia dengan menggunakan surat kabar adalah wartawan. Di Indonesia,

istilah wartawan mulai digunakan sesudah Indonesia merdeka. Wartawan

adalah karyawan yang melakukan kegiatan/pekerjaan/usaha yang sah yang

berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan, dan penyiaran dalam

bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan sebagainya untuk

perusahaan pers. Jadi, semua manusia yang bekerja dalam bidang redaksi

adalah wartawan (Soehoet, 2003: 6). Hal tersebut dikuatkan oleh UU No.

40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 1 ayat 4 yang mengatakan, wartawan

adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Berbicara mengenai jurnalistik, maka berbicara pula mengenai pers. Pers berasal dari perkataan Belanda pers yang artinya menekan. Kata

pers juga merupakan padanan kata Bahasa Inggris press yang juga berarti

menekan. Jadi, secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan.

Namun sekarang pers digunakan untuk merujuk semua kegiatan

jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun

berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun wartawan media

cetak. Dengan kata lain, pers adalah suatu hal yang menyangkut kegiatan

komunikasi baik yang dilakukan oleh media cetak maupun media

elektronik (Kusumaningrat, 2015: 17).

Bernard C. Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T. McIntyre menyebutkan beberapa peran umum yang dijalankan pers

diantaranya sebagai pelapor (informer). Di sini pers bertindak sebagai

mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa yang di luar

pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Pers juga

berperan sebagai pengkritik terhadap pemerintah atau watchdog. Namun,

(12)

watchdog. Terakhir, Cohen menyebutkan bahwa pers sering berperan sebagai pembuat kebijaksanaan dan advokasi. Peran ini tampak pada

penulisan editorial dan artikel, selain juga tercermin dari jenis berita yang

dipilih untuk ditulis oleh para wartawan dan cara menyajikannya (Ishwara,

2015: 18).

2.2.4 Berita

Sebenarnya, sangat sulit untuk mendefinisikan arti berita. Berita

lebih mudah diketahui daripada didefinisikan. Namun secara sederhana

berita dapat didefinisikan sebagai keterangan mengenai peristiwa atau isi

pernyataan manusia (Soehoet, 2003: 23). Menurut Koesworo (1994) berita

adalah sebuah bentuk laporan tentang suatu kejadian yang baru terjadi atau

keterangan terbaru tentang suatu peristiwa. Dengan kata lain berita

merupakan suatu fakta yang menarik atau sesuatu hal yang penting untuk

diketahui oleh khalayak. Doug Newsom dan James A. Wollert dalam

Media Writing: News for the Mass Media mengemukakan, dalam definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui oleh orang

atau lebih luas lagi oleh masyarakat. Dengan melaporkan berita, media

massa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa yang

mereka butuhkan (Sumadiria, 2008: 64).

Suatu peristiwa tidak akan menjadi berita bila tidak memiliki nilai

berita dan layak berita. Dalam berita ada karakteristik instrik yang dikenal

sebagai nilai berita (news value). Nilai berita ini menjadi ukuran yang

berguna, atau yang biasa diterapkan untuk menentukan layak berita

(newsworthy) (Ishwara, 2015: 77).

Nilai berita dianggap sebagai panutan terpilihnya suatu berita atau

tidak dalam sebuah media massa. Beberapa nilai berita yang selalu

dijadikan panutan bagi media massa pada umumnya adalah aktualitas

(13)

2.2.4.1Bentuk Berita

Berdasarkan bentuknya berita terbagi menjadi dua, yaitu

berita lugas dan berita halus. Wartawan menyampaikan pesan dan

gagasannya kepada audience-nya dalam bentuk sebuah cerita yang

mereka sebut “news story”. Praktik jurnalisme dalam bercerita ini

dibedakan antara jurnalisme yang menginformasikan (sesuatu yang

penting) dan jurnalisme yang menceritakan (sesuatu yang menarik)

(Ishwara, 2015: 82).

Jack Hart, dalam A Writer’s Coach, mengatakan bila tujuan

utama seorang wartawan adalah menyampaikan informasi,

wartawan tersebut mungkin akan menulis sebuah laporan. Sebuah

laporan hanya mencatat penemuan-penemuan penelitian seseorang.

Laporan biasanya disusun menurut topik. Mereka mulai dengan

semacam pandangan umum (overview) yang kemudian dilanjutkan,

secara metodik, dengan topik A, topik B, dan seterusnya. Dalam

jurnalisme, laporan seperti ini disebut berita lugas atau hard news.

Bentuk laporan ini sangat cocok untuk diterapkan pada peristiwa

besar yang baru pecah, seperti pecah perang antara kedua negara,

bom bunuh diri, gunung meletus, tsunami, pembunuhan, dan

sebagai. Sebuat peristiwa yang membuat wartawan ingin

secepatnya melaporkan peristiwa ini kepada pembaca. Dalam

berita lugas ini tidak diterapkan teknik naratif, tidak ada gaya

bercerita. Tujuan utamanya adalah untuk menarik perhatian

secepatnya pada berita tersebut (Ishwara, 2015: 82 – 83).

Ada kalanya, berita lugas ini berisi kejadian-kejadian rutin

seperti kegiatan pemerintahan, politik, ekonomi, pengadilan dan

lainnya, yang isinya tidak terlalu menarik bagi pembaca bila hanya

berupa laporan. Berita-berita rutin yang bila dilihat sepintas tidak

menarik ini terkadang ada memiliki bagian-bagian yang penting,

atau setidaknya bisa dikembangkan menjadi cerita yang menarik.

Hal ini sangat bergantung pada ketajaman insting, pengetahuan dan

(14)

penandatanganan perjanjian perdagangan antara dua negara.

Kejadian formal seperti ini berlangsung hanya dalam beberapa

menit mungkin tidak menarik bagi sebagian pembaca. Namun,

akan menarik bagi pembaca apabila wartawan dapat melihat dari

sisi yang berbeda. Wartawan yang kreatif dan skeptis, ia bisa

melihat, misalnya, bahwa di belakang upacara formal tersebut

terdapat berbagai permasalah yang terkait dengan hubungan

perdagangan antara kedua negara tersebut. Wartawan akan

menggali hal-hal menarik yang dapat disajikan untuk pembaca.

Berita tersebut kemudia ditulis dengan cara diperhalus (soft news)

dalam bentuk cerita dengan memberikan sentuhan feature

(Ishwara, 2015: 83).

Bila sebuah laporan (report) disusun terutama untuk

menyampaikan informasi, maka sebuah cerita (story) disusun

terutama untuk mereproduksi pengalaman. Untuk alasan ini maka

elemen struktur dasarnya bukanlah topiknya, tetapi adegan. Karena

prosesnya adalah pengalaman (experiential) daripada sekedar

informasi, bercerita (storytelling) bisa mempunyai dampak

emosional yang sangat kuat pada pembacanya. Wartawan

mengenal tulisan semacam ini sebagai bentuk berita halus (soft

news), yang menggunakan teknik naratif untuk menghasilkan cerita yang dramatik.

Seorang penulis profesional, Daniel R. Williamson,

merumuskan bahwa reportase dalam bentuk berita halus, seperti

feature, sebagai penulisan cerita yang kreatif, subyektif, yang dirancang untuk menyampaikan informasi dan hiburan kepada

pembaca. Feature yang baik adalah karya seni yang kreatif, namun

faktual. Feature bukanlah fiksi. Feature menggali suatu peristiwa atau situasi dengan menata informasi ke dalam suatu cerita yang

menarik dan logis. Tulisan kreatif nonfiksi sering disebut literatur

yang berlandaskan fakta. Pembaca menginginkan fakta, tetapi fakta

(15)

semacam ini mensyaratkan seorang sebagai pencerita dan

kemampuan riset seorang wartawan (Ishwara, 2015: 85).

Tulisan feature kini semakin mendapat tempat dalam surat

kabar, dimuat dalam berbagai rubrik khusus seperti rubrik gaya

hidup, rubrik selebritas, rubrik tentang manusia (people), rubrik

kuliner dan lain-lain.

Entertainment atau hiburan adalah segala hal baik yang berbentuk kata-kata, tempat, benda maupun perilaku yang dapat

menjadi penghibur. Hiburan bersifat subjektif, bergantung pada

penikmatnya. Berdasarkan pengertian di atas entertainment atau

hiburan mencakup banyak hal, di antaranya berita, musik,

permainan, film dan lain sebagainya. Sebagai contoh entertainment

dalam bentuk berita adalah pemberitaan mengenai selebritas yang

selalu ada di surat kabar. Surat kabar selalu menyediakan rubrik

khusus pemberitaan selebritas tanah air maupun luar negeri.

Pemberitaan mengenai selebriti biasanya memiliki gaya penulisan

soft news atau feature karena tidak cocok apabila dimasukkan dalam kategori berita lugas (hard news). Pemberitaan mengenai

selebriti biasanya berupa informasi berupa cerita yang menarik

pembaca ke dalam cerita tersebut. Pembaca membaca jalan

ceritanya melalui serangkaian adegan untuk nilai hiburannya.

2.2.4.2Sumber Berita

Detak jantung dari jurnalisme terletak pada sumber berita.

Menjadi wartawan berarti mengembangkan sumber. Wartawan

harus mengetahui ke mana mencari informasi, siapa yang harus

ditanya. Sehingga untuk pengembangan karier seorang wartawan,

kontak adalah sangat penting.

Mark Potter, wartawan televisi ABC, menamakan data

mengenai sumber berita ini sebagai “kitab suci.” Ia memiliki

sebuah buku lusuh yang berisi nama, profesi, alamat, nomor

(16)

Sekarang, di zaman yang serba canggih, kitab suci ala Mark sudah

lebih mudah, lebih lengkap, dan lebih banyak lagi menyimpan data

yang dibutuhkan. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Mark

Potter di atas adalah wartawan yang baik harus selalu siap dengan

data yang lengkap dan akurat mengenai sumber berita yang dapat

digunakan setiap saat dan di mana pun.

Ada beberapa petunjuk yang dapat membantu wartawan

dalam mengumpulkan informasi seperti yang dikemukakan Eugene

J. Webb dan Jerry R. Salancik,“The Interview or The Only Wheel

in Town, dalam Journalism Monograph (Ishwara, 2015:92), yaitu: (1) observasi langsung dan tidak langsung dari situasi berita;

(2) proses wawancara;

(3) pencarian atau penelitian bahan-bahan melalui dokumen

publik, dan

(4) partisipasi dalam peristiwa.

Dalam melakukan peliputan pada sumber berita, meskipun

dari sumber terpercaya, seorang wartawan atau pers harus memetik

pelajaran berharga dari Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan

dalam menghadapi sumber-sumber yang tidak jujur. Reagan harus

berkomunikasi, bernegosiasi dan malah makan malam dengan

pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Tetapi ketika

pembicaraan sampai pada kekuatan persenjataan, Reagan akan

mengucapkan kata-kata yang kini menjadi terkenal: “Trust, but

verify.” Maksudnya, “Saya tidak hanya akan percaya Anda, saya akan mengecek segala sesuatu yang Anda katakan” (Ishwara, 2015:

94).

2.2.4.3Narasumber

Sumber merupakan suatu hal yang penting untuk

mengembangkan suatu cerita dalam memberikan makna dan

kedalaman suatu peristiwa atau keadaan. Mutu tulisan dari

wartawan sangat bergantung dengan mutu dari sumber beritanya.

(17)

seperti dari catatan, dokumen, referensi, buku, kliping, dan

sebagainya (physical sources), yang akan digunakan oleh wartawan

haruslah disebutkan asalnya (attributed) karena apabila tidak

melakukan hal tersebut maka itu adalah sebuah tindakan plagiat.

Namun, seorang wartawan haruslah memiliki sifat skeptis

dimana seorang wartawan tetap mempertanyakan kebenaran dari

sesuatu hal yang ia liput. Sumber manusia terkadang kurang bisa

begitu dipercaya bila dibandingkan dengan sumber-sumber seperti

dokumen, referensi dan buku. Biasanya orang atau pejabat yang

terlibat dalam peristiwa bisa mempunyai kepentingan untuk

melindungi. Bila ingin menggunakan orang sebagai sumber berita,

carilah seseorang yang layak atau memenuhi syarat untuk bicara.

Sebaliknya, bila menggunakan catatan atau kliping, wartawan tetap

harus berhati-hati karena mungkin saja sudah ada perkembangan

baru, sementara berita kelanjutannya itu tidak pernah disiarkan

(Ishwara, 2015: 102)

Selain itu, sering pula wartawan mendapatkan sumber yang anonim yang artinya adalah sumber tersebut tidak ingin diketahui

nama dan identitasnya. Sesekali, memakai sumber anonim memang

tidak bermasalah, namun terdapat beberapa hal yang dapat

merugikan dan membahayakan serta merugikan bagi wartawan

atau media, seperti:

(1) Bahaya dimanfaatkan. Ada kemungkinan bahwa media

dimanfaatkan oleh sumber rahasia itu atau oleh wartawannya

sendiri yang membuat cerita dengan menyebutkan dalam

tulisannya sebagai sumber yang dirahasiakan padahal sumber

tersebut sama sekali tidak ada. Wartawan atau media tersebut

pada akhirnya membuat berita bohong (Ishwara, 2015: 104)

(2) Kredibilitas hilang. Kemungkinan hilangnya kredibilitas jika

pembaca tidak diberi tahu sumber yang menyampaikan

(18)

pada sumber tanpa nama, semakin berkurang kepercayaan

orang terhadap ceritanya (Ishwara, 2015: 105)

(3) Tuntutan hukum. Kesulitan membela dalam tuntutan hukum

bila hakim menolak pembuktian akurasi dari berita yang

didasarkan pada sumber yang tidak mau disebutkan

identitasnya. Joe Lelyveld, editor pelaksana New York Times

seperti yang dikutip dalam The Elements of Journalism

karangan B. Kovach & T. Rosenstiel, mensyaratkan wartawan

dan editor NYT untuk bertanya pada diri mereka sendiri

sebelum memakai sumber anonim:

a. Sejauh mana sumber anonim itu memiliki pengetahuan

langsung tentang peristiwa tersebut?

b. Motif apa, jika ada, yang mungkin dimiliki sumber

yang bisa menyesatkan kita, berbohong, atau

menyembunyikan fakta penting yang mungkin bisa

mengubah kesan kita tentang informasi tersebut?

(Ishwara, 2015: 105).

Deborah Howell, editor di Washington untuk surat kabar

Newhouse, menambahkan dua pegangan lain yang melengkapi apa yang sudah dibuat Lelyved:

(1) Jangan pernah memakai sumber anonim untuk

menyampaikan suatu opini tentang orang lain.

(2) Jangan pernah memakai sumber anonim sebagai kutipan

pertama dalam sebuah berita (Ishwara, 2015: 106).

2.2.5 Selebriti

Selebriti atau artis merupakan sosok yang dikenal oleh banyak

orang. Menurut KBBI, selebriti adalah orang terkenal atau masyhur.

Selebriti adalah orang-orang yang mendapat ketenaran publik dari

sebagian besar lapisan kelompok masyarakat, dimana faktor-faktor seperti

(19)

pribadi selebriti yang membuat masyarakat menyukai mereka dan

mengidolakan mereka.

Selebriti tidak harus seseorang yang bekerja di dunia entertainment

seperti penyanyi dan pemain film. Pelawak, atlit olahraga, eksekutif dan

politikus pun dapat dikategorikan sebagai selebriti karena memiliki

kepopuleran di tengah masyarakat. Setiap lapisan usia di masyarakat

memiliki idolanya masing-masing misalnya seperti anak-anak yang

mengidolakan penyanyi anak-anak, remaja yang mengidolakan penyanyi

remaja, selebriti yang tampan dan atlit-atlit muda yang sekarang banyak

masuk dalam pemberitaan media massa. Tak hanya kaum muda saja,

bapak-bapak serta ibu-ibu juga tak jarang mengidolakan selebriti yang

naik daun pada masanya. Selebriti seakan-akan sudah memiliki tempat

khusus dalam kehidupan bermasyarakat khususnya masyarakat Indonesia.

Khalayak tentu selalu ingin mengetahui berita terbaru mengenai

selebriti, dari selebriti senior maupun yang baru saja tenar. Gaya hidup

yang dianggap selalu mewah, pendapat mereka, film kesukaan mereka,

seolah-olah adalah sabda yang harus diikuti oleh masyarakat. Cerita-cerita

tentang selebriti seakan menarik untuk terus dikuliti dan diketahui oleh

khalayak luas. Tak hanya cerita yang mengandung nilai positif, terkadang

informasi mengenai selebritis yang banyak mengandung nilai negatif lebih

digandrungi oleh masyarakat Indonesia.

Di Indonesia, apa saja yang dikatakan dan dilakukan bintang film,

bintang sinetron, penyanyi, penari, pembawa acara, pejabat dan bahkan

koruptor sekalipun, selalu dikutip pers. Ucapan mereka dibuat judul

mencolok dan kadang-kadang asosiatif, konotatif, imajinatif. Hal inilah

yang menyebabkan pemberitaan tentang selebriti seperti tidak ada

habisnya.

2.2.6 Prominence

Media adalah sarana yang kuat untuk memperluas jangkauan

entertainment. Entertainment (dunia hiburan) telah ada sejak zaman

(20)

gua-gua purba. Entertainment sampai saat ini masih bertahan, terutama

musik, literatur (sastra), sport, film dan seks (Vivian: 2008, 397). Selain

itu, sekarang, teknologi juga membantu penyebaran entertainment

sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Setelah teknologi media

masuk ke bentuk fotografi dan elektronik, literatur dapat beradaptasi

dengan media baru. Film-film memperluas jangkauan dan bentuk artistik

buku. Demikian pula radio dan televisi. Musik juga termasuk barang

langka sebelum ada teknologi rekaman, kini masyarakat sudah dapat

menikmatinya dimana saja.

News is about people. Semua entertainment tersebut tentu ada yang melakoninya. Semakin besar nama si pelakon, semakin besar pula

entertainment tersebut diberitakan oleh media massa. Berita adalah tentang

orang-orang penting, orang-orang terkemuka, di mana pun selalu membuat

berita. Jangankan ucapan dan tingkah lakunya, namanya saja sudah

membuat berita (Sumadiria, 2008: 88).

Nilai prominence memiliki andil dalam pemberitaan entertainment. Umumnya disetujui bahwa nama membuat berita dan nama besar

membuat berita yang lebih besar. Ada aura berita di sekeliling orang-orang

terkenal tersebut. Apa yang mereka lakukan dan katakan sering

membuatnya sebagai berita karena ada konsekuensinya. Prediksi seorang

pengamat film nasional bisa mempengaruhi rating film tersebut, demikian

pula pemimpin politik nasional yang berjabat tangan dengan seorang calon

politik lokal akan meningkatkan derajat sang kandidat.

Prominence sangat mempengaruhi sebuah pemberitaan yang melibatkan orang-orang atau daerah atau tempat-tempat terkenal. Kejadian

yang menyangkut tokoh terkenal memang banyak menarik pembaca.

Dalam ungkapan jurnalistiknya dapat diungkapkan dengan “personages

make news,” dan “news about prominent persons make copy” (“Tokoh membuat berita” atau “tokoh-tokoh terkenal membuat berita.”)

(21)

Seorang wartawan Amerika, George C. Sebastian, bahkan membuat definisi yang menarik yang disebutnya sebagai “News

Arithmatic”, sebagai berikut (Kusumaningrat, 2014: 33): 1 ordinary man + 1 ordinary life = 0 (bukan berita)

1 ordinary man + 1 extra-ordinary adventure = NEWS

1 ordinary husband + 1 ordinary wife = 0

1 husband + 3 wives = NEWS (dimana poligami dilarang)

1 bank cashier + 1 wife + 7 children = 0

1 bank cashier - $10.000 = NEWS

1 chorus girl + 1 bank president - $10.000 = NEWS

1 man + 1 auto + 1 gun + 1 quart = NEWS

1 man + 1 achievement = NEWS

1 ordinary man + 1 ordinary life of 79 years = 0

1 ordinary man + 1 ordinary life of 100 years = NEWS.

Kehidupan public figure, memang dijadikan ladang emas bagi pers

dan media massa terutama televisi. Mereka menabur perkataan dan

mengukuhkan perbuatan, sedangkan pers melaporkan dan

menyebarluaskannya. Simbiosis mutualisme. Semuanya dikemas lewat

sajian paduan informasi dan hiburan. Masyarakat sangat menyukai

acara-acara ringan semacam ini.

2.2.7 Teori Shoemaker dan Reese

Shoemaker dan Reese (1996) dalam bukunya yang berjudul

Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content, mengemukakan terdapat perbedaan dalam memaknai suatu peristiwa

dalam institusi media. Terdapat 5 level faktor yang memengaruhi isi

sebuah media massa, antara lain faktor individual, rutinitas media,

(22)

Gambar 2.1 Model hierarki pengaruh isi media

(Dalam Shoemaker, Pamela J and Stephen D Reese, “Mediating The Messages: Theories of

Influences on Mass Media Content”, Second Edition, 1996 hlm. 64)

a. Faktor Individual (wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya)

Faktor individu menjadi tahap pertama dalam menentukan

isi berita. Wartawanlah yang melakukan peliputan langsung ke

lapangan. Wartawan pula yang memutuskan realitas mana yang

akan ditulis dalam beritanya. Realitas yang dipilihnya akan sangat

bergantung pada pemaknaan peristiwa yang dipilihnya. Pemaknaan

tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kesukaan,

agama, gender dan sikap wartawan tersebut kepada peristiwa yang

akan diberitakannya (Shoemaker & Reese, 1996: 63-64).

Dalam level ini dijelaskan bahwa peran dari seorang

jurnalis yang memiliki pengaruh dalam proses pemberitaan.

Seorang wartawan, misalnya, ia meliput suatu berita mengenai

toko kelontong yang terbakar dan si pemilik toko selamat.

Baginya, kehidupan si pemilik toko pasca terjadinya kebakaran

merupakan berita yang lebih menarik ketimbang hanya meliput

peristiwa terbakarnya sebuah toko. Hal ini memengaruhi isi berita

yang ia tulis.

Begitu pula halnya dengan editor. Dalam komunikasi massa

dengan salah satu elemennya adalah informasi, mereka yang

bertugas untuk memengaruhi informasi tersebut (dalam media

(23)

gatekeeper-lah yang memberi ijin bagi tersebarnya sebuah berita. John R Bittner (1996) mengistilahkan gatekeeper sebagai

“individu-individu atau kelompok orang-orang yang memantau

arus informasi dalam sebuah saluran komunikasi (massa)”. Jika

diperluas maknanya, yang disebut sebagai gatekeeper adalah orang

yang berperan penting dalam media massa (Nurudin, 2004: 109).

Secara umum, peran gatekeeper sering dihubungkan dengan berita.

Khususnya surat kabar. Editor sering melaksanakan fungsinya

sebagai gatekeeper ini. Mereka ini menentukan apa yang khalayak

butuhkan atau sedikitnya menyediakan bahan bacaan untuk

pembacanya.

Terdapat tiga faktor intrinsik individu yang turut

memengaruhi isi media. Pertama, karakteristik pekerja, personaliti

dan latar belakang pekerja. Kedua, sikap, nilai dan keyakinan

pekerja. Ketiga, orientasi dan peran konsep profesi yang

disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang

jurnalis berpikir bahwa ia adalah penyampai peristiwa yang netral,

berdasarkan fakta dan aktual atau seorang jurnalis yang hanya akan

menyampaikan peristiwa untuk membangun citra dari laporan yang

ia buat (Shoemaker & Reese, 1996: 98).

b. Rutinitas Media

Rutinitas media merupakan poin penting untuk dipahami

karena rutinitas media dalam hal proses produksi berita

memengaruhi isi berita. Rutinitas media berarti suatu yang sudah

terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulang-ulang. Sehingga

membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh pekerja media

setiap hari. Manusia adalah makhluk sosial dan mereka

berpatisipasi dalam pola tindakan yang tidak mereka ciptakan

sendiri. Mereka berbicara bahasa yang digunakan kelompok

mereka, mereka berpikir dengan cara kelompok mereka berpikir.

(24)

Faktor ini berhubungan dengan kegiatan redaksional sebuah

media massa dalam hal memproduksi berita. Setiap kantor berita

pasti memiliki kriteria sendiri dalam menentukan sebuah berita

untuk rubrik A, rubrik B, atau rubrik C. Kriteria yang menyatakan

bagaimana suatu berita dianggap layak naik. Tentunya setiap

kantor berita memiliki ukuran masing-masing dalam menentukan

kegiatan redaksionalnya. Ukuran tersebut yang dinamakan sebuah

rutinitas media. Dengan kata lain, rutinitas media ini merupakan

prosedur standar yang harus dikerjakan oleh setiap pekerja media.

Hal penting yang harus diingat dalam faktor ini adalah

rutinitas sebuah media dalam memproduksi berita dapat

memengaruhi isi berita tersebut. Rutinitas media berarti suatu yang

sudah terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulang-ulang. Pada

akhirnya membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh pekerja

media setiap hari (Shoemaker & Reese, 1996: 103).

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa faktor ini

sangat memengaruhi kegiatan redaksional sebuah kantor berita.

Dimulai dari pemilihan berita mana yang akan diliput, penulisan

berita, pengolahan berita di meja editor sampai berita tersebut naik

cetak, setia kantor berita pasti memiliki standarnya masing-masing

sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara satu kantor berita

dengan kantor berita lainnya.

Rutinitas telah menciptakan pola yang sedemikian rupa dan

terus diulang oleh para pekerjanya. Rutinitas juga menciptakan

sistem dalam media sehingga media tersebut bekerja dengan cara

yang dapat diprediksi dan tidak mudah untuk dikacauan. Hal-hal

yang memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri

(processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer)

(25)

c. Struktur Organisasi

Pada level ini dijelaskan bahwa struktur organisasi secara

langsung juga dapat mempengaruhi isi media. Pengelola media,

pemilik media atau pekerja media yang bekerja di meja redaksi

bukan satu-satunya penentu dari isi sebuah media. Setiap

organisasi berita tentunya memiliki struktur organisasi atau dengan

kata lain komponen-komponen yang menjadikan organisasi berita

tersebut menjadi sempurna. Setiap komponen dari organisasi berita

tersebut tentunya memiliki target-target yang ingin dicapai.

Komponen-komponen yang dimaksudnya adalah dalam kantor

berita tentu ada bagian redaksi, bagian iklan, bagian sirkulasi dan

beberapa bagian lainnya yang turut menyempurnakan organisasi

berita tersebut namun tidak selalu selaras dalam bekerja. Hal

tersebut dikarenakan setiap bagian memiliki target dan mempunyai

cara untuk mencapai target tersebut.

Sebagai contoh, bagian redaksi sudah memiliki

perencanaan liputan yang matang untuk edisi besok, namun bagian

iklan menelepon bahwa ada sebuah perusahaan yang telah

bekerjasama dengan organisasi tersebut yang ingin acara mereka

diliput dan ditaruh di halaman yang banyak dilihat oleh pembaca.

Bisa pula dari bagian sirkulasi yang meminta menaikkan berita

tertentu karena sudah jelas penjualan akan naik bila berita tersebut

dinaikkan. Hal seperti inilah yang dimaksudkan bahwa struktur

organisasi mempengaruhi isi dari pemberitaan organisasi berita.

Menurut Turow (1984), sebuah organisasi media dapat

didefinisikan sebagai entitas sosial, formal atau ekonomi yang

mempekerjakan awak media dalam usaha untuk memproduksi isi

media. Organisasi tersebut memiliki ikatan yang jelas dan dapat

diketahui dengan mudah mana yang menjadi anggotanya dan

mana yang bukan. Terdapat tujuan jelas yang menciptakan

saling ketergantungan antara bagian-bagiannya dan struktur secara

(26)

jelas dan peran yang standardisasi. Bagan struktur organisasi yang

dimiliki sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan

empat pertanyaan penting, yaitu: apa peran organisasi; bagaimana

organisasi terstruktur; apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana

kebijakan tersebut diimplementasikan; serta bagaimana kebijakan

tersebut dijalankan (Shoemaker & Reese, 1996: 142-144).

Dalam organisasi media terdapat tingkatan posisi

(Shoemaker & Reese, 1996: 136-137).

1. Tingkat bawah atau pekerja lapangan seperti penulis, reporter,

staf kreatif dan fotografer yang bertugas mengumpulkan dan

mengemas bahan mentah.

2. Tingkatan menengah seperti manajer, editor, produser dan

lainnya yang bertugas mengkoordinasikan proses dan

menjembatani proses antara posisi atas dan bawah dalam

organisasi.

3. Tingkat atas yang bertugas membuat kebijakan organisasi,

membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting,

melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial,

dan saat dibutuhkan melindungi pekerjanya dari tekanan luar.

Sebuah institusi media terdiri dari beberapa orang yang

mempunyai job description yang berbeda-beda, tujuan medianya pun berbeda-beda. Pekerja media yang langsung turun ke lapangan

bukanlah satu-satunya pihak yang menentukan isi berita. Pekerja

media tetap harus tunduk dan patuh pada perusahaan media. Sering

kali terjadi pertentangan antara idealisme awak media dengan

kepentingan perusahaan. Kekuatan pemilik media, tujuan dari

media dan kebijakan media memengaruhi pesan yang disampaikan

media tersebut. (Shoemaker & Reese, 1996: 144)

d. Kekuatan Ekstra Media

Apakah pekerja media dan organisasi adalah yang paling

(27)

tersebut, dimana pada level ini dijelaskan bahwa tidak hanya

internal dari organisasi berita saja yang dapat memengaruhi isi

media, namun pihak eksternal juga memiliki andil dalam

memengaruhi isi media.

Shoemaker menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor

eksternal yang memengaruhi isi media. Faktor-faktor tersebut

antara lain sumber berita, kelompok-kelompok diluar organisasi,

kampanye public relations, pengiklan, pembaca, institusi sosial (bisnis, pemerintahan dan politik), lingkungan media secara

ekonomi, dan teknologi (Shoemaker & Reese, 1996: 166).

Sesuai dengan penjelasan Shoemaker, secara lebih lanjut

dijelaskan beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar

media:

a) Sumber berita

Seorang jurnalis hampir tidak pernah menjadi saksi mata

sebuah kecelakaan pesawat. Mereka belajar mengenai kecelakaan

tersebut dari jurnlis lainnya (melalui berita atau media), dari

orang-orang yang ada di TKP, dari pemerintahan dan polisi dan dari

perwakilan maskapai pesawat, dimana setiap individu memiliki

sudut pandangnya masing-masing dari kejadian tersebut. Setiap

sumber memberikan keterangan yang berbeda-beda. Ini adalah

tugas jurnalis dimana harus menyeleksi informasi tersebut agar

menjadi laporan yang lengkap dan akurat (Shoemaker & Reese,

1996: 169).

Sumber berita disini dipandang bukanlah sebagai pihak

yang netral yang memberikan informasi apa adanya, tentunya

masing-masing individu mempunyai kepentingan untuk

memengaruhi media, untuk memenangkan opini publik, atau

(28)

b) Sumber penghasilan media

Altschull (1984) reminds us, “The content of the press is directly correlated with the interests of those who finance the press. The press is the piper, and the tune the piper plays is composed by those who pay the piper” (Shoemaker & Reese, 1996: 181).

Penjelasan halus dari Altschull bahwa isi media dipengaruhi oleh siapa yang berkontribusi secara finansial di

organisasi berita tersebut. Sumber penghasilan media bisa berupa

iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli dari media tersebut.

Agar dapat bertahan hidup di antara semakin banyaknya ragam dan

jenis media, media tertentu pasti akan membutuhkan pengiklan dan

konsumen agar media mereka tetap hidup. Mereka harus mau

berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka.

Pengiklan misalnya, mereka tentu mempunyai strategi tertentu

untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin

kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan di antaranya dengan cara

memaksa media agar tidak menerbitkan berita yang buruk bagi

mereka. Pelanggan juga turut memengaruhi ini media. Tema

tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan

terus-menerus diliput oleh media. Tentunya, media tidak akan

menyia-nyiakan momentum sebuah peristiwa yang disenang oleh

khalayak.

Keterkaitan antara pengiklan-media-audiens dijelaskan oleh

Shoemaker sebagai berikut:

(29)

(perilaku dan gaya hidup). Pengiklan membeli ruang atau waktu dari media yang memiliki target pemirsa terbaik untuk produk mereka) (Shoemaker & Reese, 1996: 182).

c) Pihak eksternal

Pihak eskternal seperti pemerintahan dan lingkungan bisnis

juga dapat memengaruhi isi media. Meskipun beberapa negara

memiliki pemerintah yang tidak banyak mengontrol pers, namun

tetap memiliki batasan-batasan tertentu, sehingga isi media

terkadang tetap bergantung pada pihak-pihak tertentu di lingkungan

pemerintahan dan bisnis. Bagi negara yang menganut sistem

otoriter, tentu saja segala isi media akan dikontrol oleh pemerintah.

Meskipun lebih mendapat kelonggaran dari kontrol pemerintah,

negara yang demokratis dan menganut liberalisme tetap

medapatkan sedikit campur tangan dari pemerintahan, namun

pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

e. Ideologi

Samuel Becker berpendapat bahwa ideologi mengatur cara

kita memandang dunia kita dan diri kita sendiri; ia mengendalikan

apa yang kita sebagai sesuatu yang ‘alami’ atau sesuatu yang

‘jelas’. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka berpikir yang

menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita

bertindak. Level ini merupakan level paling besar dalam model

hierarki pengaruh isi media (Shoemaker & Reese, 1996: 213).

Setiap lembaga pemberitaan (media) tentu memiliki

seperangkat pengetahuan yang diwarisi dan dijalankan atau

ideologi. Pengetahuan yang dimaksud adalah aturan-aturan

perilaku yang sesuai dengan lembaga media tersebut. Bagaimana

suatu media menggambarkan realitas akan menjadi subjektif

karena setiap media mempunyai proses konstruksi yang

(30)

Raymond William (dalam Eriyanto, 2001)

mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.

1) Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau

kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan

psikologi yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang

dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren.

Contohnya, seseorang mungkin mempunyai seperangkat sikap

tertentu mengenai demonstrasi buruh. Ia percaya bahwa buruh

yang berdemontrasi mengganggu kelangsungan produksi.

Oleh sebab itu, demontrasi tidak boleh ada, karena hanya akan

menyusahkan orang lain, membuat keresahan, mengganggu

kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami

kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang

semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu

mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi

di sini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini

tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu

sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

2) Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan

dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini

adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu

dimana kelompok yang berkuasa atau dominan

menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain.

Kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan

menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam

masyarakat. Mereka akan membuat kelompok yang didominasi

melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai

kebenaran. Ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari

pendidikan, politik, hingga media massa.

3) Proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah

(31)

makna. Ideologi menjadi proses dalam menghasilkan sebuah

makna dan ide.

2.3 Model Teoritis

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesis, yang sebenarnya merupakan jawaban

sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Adapun variabel dalam

konsep yang diteliti dalam penelitian ini adalah:

Gambar 2.2 Model Teoritis Unsur Prominence

pada Rubrik Selebritas

Analisis Teori

Shoemaker &

Reese 1. Mengetahui seberapa penting rubrik

selebritas dalam sebuah surat kabar khususnya surat kabar lokal.

2. Mengetahui keputusan seperti apa yang dibuat oleh Harian Waspada dan Medan Bisnis dalam mendapatkan berita mengenai selebriti.

Harian Waspada

Gambar

Gambar 2.1 Model hierarki pengaruh isi media
Gambar 2.2  Model Teoritis

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan adalah bahan hukum publik yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi

Deskripsi Glosarium ditulis berdasarkan abjad dan berisi kosa kata yang terdapat dalam teks dan latihan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia baku dan diletakkan pada

Anggaran yang telah ditentukan jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan realisasinya sehingga selisih anggaran yang dihasilkan dari biaya reparasi dan perawatan

Sistem pengolahan air siap minum ini merupakan kombinasi proses oksidasi dengan kalium permanganat atau khlorine, penyaringan dengan filter pasir, filter mangan zeolit dan

oleh perusahaan dimana dalam penggunaan asset atau dana tersebut perusahaan harus mengeluarkan biaya tetap atau beban tetap lihat ( Martono Harjito, 2010 : 295). Penggunaan

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa pengalaman usaha dan pendapatan UMKM berpengaruh signifikan pada kolektibilitas kredit. Hasil tersebut mampu memberikan

Hampir semua department store memberikan tawaran yang menarik kepada pelanggan dengan mengadakan promosi besar-besaran seperti discount dan hadiah langsung, sebab

Pelbagai hipotesis tentang kehadiran kelompok Aryan-Kamboja, raja-raja India, orang Cina, pedagang dan pendakwah Arab, pengembara Parsi, imperial Eropah dan bermacam-macam